deyondaime
Suka Semprot
permisi para suhu sekalian… hanya mencoba publish karya, kritik dan saran sangat diterima, enjoy.... jangan lupa likesnya kalau terhibur
part 1
“ah…..” aku mendesah sekeras mungkin menyambut sebuah dorongan kenikmatan yang mengalir dari seluruh tubuh menuju batang kemaluanku yang seketika itu pula memuntahkan cairan sperma. Seluruh syaraf dalam tubuhku melemas membuatku rileks. Dengan ini aku siap menyambut pagi. Seperti biasanya aku selalu melakukan masturbasi setiap pagi sebelum memulai aktifitas. Suara air gunung yang dialirkan melalui pipa ke dalam bilik kecil yang kusebut kamar mandi ini sanggup meredam suara desahan-desahanku setiap pagi. Lagipula kamar mandiku ini terletak cukup jauh dari rumah, sekitar 6 meter, dan tak ada rumah tetangga di radius 15 meter, hanya ada ladang dan sawah. Aku segera membersihkan tubuh dan kembali ke dalam rumah. Di dapur, ibuku sedang memasak gorengan untuk sarapan, sementara ayahku telah duduk di dipan di belakang rumah sambil menikmati teh manis lengkap dengan gorengan gurih buatan ibu.
“gus… sini duduk dekat ayah.” Beliau memanggilku setelah menyadari kepulanganku dari kamar mandi. “ayah dan ibu sudah membicarakan soal beasiswamu itu….” ayah menyeruput teh manisnya pelan.
“gapapa ko yah, kalau memang keputusannya tidak diambil, agus bantu-bantu ayah saja di sawah, dan juga jaga ternak.”
“kamu itu, ayah belum selesai ngomong ko main ambil kesimpulan saja,” ayahku tersenyum.
“lalu?”
“ayah dan ibu menyetujuinya, kamu harus ambil beasiswa itu.” kata ayahku mantap.
“tapi kan, beasiswa itu hanya menutup biaya kuliah, bagaimana dengan biaya hidup agus di kota nanti? Agus tidak mau merepotkan ayah dan ibu lebih jauh lagi.”
“nak… jika ada kemauan pasti ada jalan… kemarin sebuah surat datang dari kota. Itu adalah surat balasan dari teman lama ibumu, wa asih. Kamu bisa tinggal bersamanya selama kuliah dan kamu pun bisa bantu-bantu usahanya untuk tambahin uang biaya hidup nak.”
“benarkah?”aku menatap ayah tak percaya. Ia mengangguk membuat hatiku gembira tak terkira.
“nah sana siap-siap, kita urus persyaratan yang harus dilengkapi untuk beasiswamu itu.”
Namaku adalah Agus Budiman, aku tinggal di desa terpencil di kaki gunung yang sangat jauh dari kota, bahkan di peta saja nama desaku tidak tercantum. Mayoritas penduduk di desa kami adalah petani dan peternak sapi dan kambing. Walau banyak anak remaja di sini putus sekolah setelah smp hanya karena mereka dan orang tua mereka lebih tertarik bertani dan beternak daripada sekolah tinggi, ayahku tidak demikian. Dia melihat antusias dan semangatku untuk belajar, terutama ilmu sains, dan dia berharap aku bisa menggapai cita-citaku untuk menjadi seorang dokter. Maka ia banting tulang membiayaiku sekolah ke SMA terbaik di kabupaten kami. Walau jaraknya cukup jauh dari rumah, sekitar satu jam perjalanan jalan kaki membelah gunung, aku tetap semangat belajar. Satu karena aku sangat suka belajar, dua karena aku melihat dukungan orang tuaku yang begitu besar. Ditambah lagi, aku adalah anak satu-satunya, setelah adik dan kakakku meninggal dunia karena sakit sewaktu kecil, aku tidak ingin menjadi anak yang tidak memuaskan harapan orang tua.
Kerja kerasku terbayar, dan kurasa ditambah takdir yang sepertinya memihakku, aku berhasil mendapat beasiswa kuliah kedokteran dari pemerintahan kabupaten untuk siswa berprestasi. Awalnya kaluargaku ragu karena biaya yang ditanggung hanyalah biaya kuliah tanpa ada biaya hidup di kota, tapi dengan datangnya surat dari teman lama ibuku, kini aku mantap pergi ke kota dengan beasiswa tersebut.
“ini alamat uwa asih kamu simpan baik-baik, kalau sampai hilang bisa repot nanti.” Ayahku memberikan secarik kertas. “nanti ketika menumpang, jadi anak yang baik ya, jangan bikin malu ayah dan ibumu” aku mengangguk mengerti.
“jangan lupa kabari ayah dan ibu di rumah nak.” Ibu memelukku erat, anak semata wayangnya kini akan pergi jauh dan lama. Dia pasti akan sangat rindu, pikirku.
Ketika bus mulai melaju, aku melihat kedua orang tuaku menatapku lekat, seakan tak ingin melepaskanku. Tapi ini harus dilakukan. Berpisah dengan orang yang disayang itu tidak enak, kita pasti ingin selalu bersama mereka. selain itu, pergi ke daerah baru yang tidak aku kenal membuatku takut, aku hanyalah remaja berumur 17 tahun yang tidak tahu dunia luar, yang kutahu selama hidup ini hanyalah desaku yang asri di kaki gunung. Tapi guruku pernah berkata bahwa rasa nyaman itu akan merusak kita, dan jika kita ingin maju, kita harus keluar dari zona nyaman itu. Maka dengan tekad bulat, aku keluar dari zona nyamanku di desa.
Aku tiba di terminal pukul 9 malam, dengan bertanya pada sopir – sopir angkot aku diarahkan naik angkutan yang melewati daerah tempat tinggal wa asih. Sekitar 15 menit kemudian aku telah tiba di alamat yang dimaksud. Aku berdiri di depan pagar sebuah rumah sederhana dengan nomor rumah yang sama dengan yang ada di kertas, dengan hati cemas aku memencet tombol bel yang terdapat di pagar. Jujur saja aku merasa khawatir karena pertama aku belum pernah bertemu dengan wa asih, aku hanya mendengar sedikit cerita tentangnya dari ibu sebelum berangkat. Ibu bilang wa asih adalah sahabat karib ibu saat kecil, lalu saat remaja setelah ibuku dinikahkan dengan ayah oleh orang tuanya, wa asih merantau ke kota dan tidak pernah kembali ke kampung sejak itu. menurut ibu, ia tidak pernah kembali ke desa karena sudah tidak ada orang tuanya lagi yang hidup di sini, dan saudara nya pun sudah tidak ada yang tinggal di sini. Tapi wa Asih sempat beberapa kali berkirim surat pada ibu dan ayah, jadi mereka tidak benar-benar hilang kontak.
Kedua, aku cemas karena beban pesan ayahku untuk menjadi anak baik. Aku tidak ingin membuat orangtuaku malu jika di mata wa asih ternyata aku bertindak tak sopan, atau tidak baik. Apalagi dia sudah berbaik hati memperbolehkanku untuk menumpang bersama dia dan keluarganya. Hatiku berdegup kencang ketika ada suara dari dalam rumah membuka pintu. Seorang wanita paruh baya seumur ibuku berjalan ke pagar rumah. Tubuhnya gempal seperti ibu-ibu di umur 45 tahun, tapi kulitnya masih terlihat kencang dan bersih. Jika wanita ini adalah wa asih, jelas dia terlihat lebih muda dari ibuku.
“cari siapa ya?”
“maaf, benar ini rumah wa asih?”
“benar, ada apa ya?”
“saya agus budiman, anaknya Pak Panji Gumilang.”
“oalah… nak agus? Ya ampun kamu mirip banget sama ayahmu ya… ayo masuk-masuk, kirain kamu datengnya minggu depan loh…”
“maaf di desa ayah tidak punya hape soalnya, jadi tidak bisa memberi kabar.”
“haduh… zaman udah canggih gini, kenapa desa kita itu tidak maju-maju ya…” wanita paruh baya yang ternyata wa asih itu tertawa. Aku segera mengikutinya ke dalam rumah. Kini kami duduk di ruang tamunya yang tidak terlalu besar, di salah satu dindingnya terdapat lukisan desa yang menampilkan sawah, sungai dan gunung, mirip suasana di desaku, mungkin itu adalah pengobat rindu wa asih pada kampung halamannya. Lalu terdapat beberapa foto wa asih dalam berbagai acara seperti hajatan atau pernikahan. Tap aku tidak menemukan fotonya bersama keluarganya.
“kamu pasti cape banget ya, perjalanan dari desa ke kota kan jauh. Nih minum dulu biar seger.” Wa asih menyajikan sirup dingin di meja.
“terimakasih wa…” aku segera meminumnya habis, maklum perjalanan jauh bikin haus dan letih.
“nah sekarang kamu uwa anter ke kamar ya, kita ngobrol – ngobrolnya besok aja, kasihan kamu kecapean. Ayo sini bawa barang-barangmu.” Aku segera mengikuti wa asih menuju kamar belakang. “ini kamarmu, tidak usah sungkan, disini Cuma ada kita berdua, uwa tinggal sendiri di sini, jadi jangan malu-malu ya. Uwa seneng banget loh ya pas ayah kamu kirim surat itu. uwa jadi ada temen tinggal disini, gak kesepian terus.”
“iya wa…” aku hanya tersenyum mendengar ocehannya.
“kalau mau ke kamar mandi, langsung ke dapur aja, ada di sana kok. Selamat istirahat ya, uwa juga sudah mengantuk nih.”
“iya wa terimakasih.” Wa asih segera menutup pintu kamarku. Aku membaringkan tubuh yang letih ini di tempat tidur yang sangat terasa empuk dan harum. Ada banyak pertanyaan yang muncul dalam kepala soal wa asih, seperti kenapa dia hanya tinggal sendiri? Kemana keluarganya? Tapi aku belum berani, mungkin karena kami belum akrab dan aku takut salah ucap yang membuatnya tidak enak hati. Aku memendam semua pertanyaan itu untuk nanti, dan dalam sekejap aku terlelap.
part 1
“ah…..” aku mendesah sekeras mungkin menyambut sebuah dorongan kenikmatan yang mengalir dari seluruh tubuh menuju batang kemaluanku yang seketika itu pula memuntahkan cairan sperma. Seluruh syaraf dalam tubuhku melemas membuatku rileks. Dengan ini aku siap menyambut pagi. Seperti biasanya aku selalu melakukan masturbasi setiap pagi sebelum memulai aktifitas. Suara air gunung yang dialirkan melalui pipa ke dalam bilik kecil yang kusebut kamar mandi ini sanggup meredam suara desahan-desahanku setiap pagi. Lagipula kamar mandiku ini terletak cukup jauh dari rumah, sekitar 6 meter, dan tak ada rumah tetangga di radius 15 meter, hanya ada ladang dan sawah. Aku segera membersihkan tubuh dan kembali ke dalam rumah. Di dapur, ibuku sedang memasak gorengan untuk sarapan, sementara ayahku telah duduk di dipan di belakang rumah sambil menikmati teh manis lengkap dengan gorengan gurih buatan ibu.
“gus… sini duduk dekat ayah.” Beliau memanggilku setelah menyadari kepulanganku dari kamar mandi. “ayah dan ibu sudah membicarakan soal beasiswamu itu….” ayah menyeruput teh manisnya pelan.
“gapapa ko yah, kalau memang keputusannya tidak diambil, agus bantu-bantu ayah saja di sawah, dan juga jaga ternak.”
“kamu itu, ayah belum selesai ngomong ko main ambil kesimpulan saja,” ayahku tersenyum.
“lalu?”
“ayah dan ibu menyetujuinya, kamu harus ambil beasiswa itu.” kata ayahku mantap.
“tapi kan, beasiswa itu hanya menutup biaya kuliah, bagaimana dengan biaya hidup agus di kota nanti? Agus tidak mau merepotkan ayah dan ibu lebih jauh lagi.”
“nak… jika ada kemauan pasti ada jalan… kemarin sebuah surat datang dari kota. Itu adalah surat balasan dari teman lama ibumu, wa asih. Kamu bisa tinggal bersamanya selama kuliah dan kamu pun bisa bantu-bantu usahanya untuk tambahin uang biaya hidup nak.”
“benarkah?”aku menatap ayah tak percaya. Ia mengangguk membuat hatiku gembira tak terkira.
“nah sana siap-siap, kita urus persyaratan yang harus dilengkapi untuk beasiswamu itu.”
Namaku adalah Agus Budiman, aku tinggal di desa terpencil di kaki gunung yang sangat jauh dari kota, bahkan di peta saja nama desaku tidak tercantum. Mayoritas penduduk di desa kami adalah petani dan peternak sapi dan kambing. Walau banyak anak remaja di sini putus sekolah setelah smp hanya karena mereka dan orang tua mereka lebih tertarik bertani dan beternak daripada sekolah tinggi, ayahku tidak demikian. Dia melihat antusias dan semangatku untuk belajar, terutama ilmu sains, dan dia berharap aku bisa menggapai cita-citaku untuk menjadi seorang dokter. Maka ia banting tulang membiayaiku sekolah ke SMA terbaik di kabupaten kami. Walau jaraknya cukup jauh dari rumah, sekitar satu jam perjalanan jalan kaki membelah gunung, aku tetap semangat belajar. Satu karena aku sangat suka belajar, dua karena aku melihat dukungan orang tuaku yang begitu besar. Ditambah lagi, aku adalah anak satu-satunya, setelah adik dan kakakku meninggal dunia karena sakit sewaktu kecil, aku tidak ingin menjadi anak yang tidak memuaskan harapan orang tua.
Kerja kerasku terbayar, dan kurasa ditambah takdir yang sepertinya memihakku, aku berhasil mendapat beasiswa kuliah kedokteran dari pemerintahan kabupaten untuk siswa berprestasi. Awalnya kaluargaku ragu karena biaya yang ditanggung hanyalah biaya kuliah tanpa ada biaya hidup di kota, tapi dengan datangnya surat dari teman lama ibuku, kini aku mantap pergi ke kota dengan beasiswa tersebut.
“ini alamat uwa asih kamu simpan baik-baik, kalau sampai hilang bisa repot nanti.” Ayahku memberikan secarik kertas. “nanti ketika menumpang, jadi anak yang baik ya, jangan bikin malu ayah dan ibumu” aku mengangguk mengerti.
“jangan lupa kabari ayah dan ibu di rumah nak.” Ibu memelukku erat, anak semata wayangnya kini akan pergi jauh dan lama. Dia pasti akan sangat rindu, pikirku.
Ketika bus mulai melaju, aku melihat kedua orang tuaku menatapku lekat, seakan tak ingin melepaskanku. Tapi ini harus dilakukan. Berpisah dengan orang yang disayang itu tidak enak, kita pasti ingin selalu bersama mereka. selain itu, pergi ke daerah baru yang tidak aku kenal membuatku takut, aku hanyalah remaja berumur 17 tahun yang tidak tahu dunia luar, yang kutahu selama hidup ini hanyalah desaku yang asri di kaki gunung. Tapi guruku pernah berkata bahwa rasa nyaman itu akan merusak kita, dan jika kita ingin maju, kita harus keluar dari zona nyaman itu. Maka dengan tekad bulat, aku keluar dari zona nyamanku di desa.
Aku tiba di terminal pukul 9 malam, dengan bertanya pada sopir – sopir angkot aku diarahkan naik angkutan yang melewati daerah tempat tinggal wa asih. Sekitar 15 menit kemudian aku telah tiba di alamat yang dimaksud. Aku berdiri di depan pagar sebuah rumah sederhana dengan nomor rumah yang sama dengan yang ada di kertas, dengan hati cemas aku memencet tombol bel yang terdapat di pagar. Jujur saja aku merasa khawatir karena pertama aku belum pernah bertemu dengan wa asih, aku hanya mendengar sedikit cerita tentangnya dari ibu sebelum berangkat. Ibu bilang wa asih adalah sahabat karib ibu saat kecil, lalu saat remaja setelah ibuku dinikahkan dengan ayah oleh orang tuanya, wa asih merantau ke kota dan tidak pernah kembali ke kampung sejak itu. menurut ibu, ia tidak pernah kembali ke desa karena sudah tidak ada orang tuanya lagi yang hidup di sini, dan saudara nya pun sudah tidak ada yang tinggal di sini. Tapi wa Asih sempat beberapa kali berkirim surat pada ibu dan ayah, jadi mereka tidak benar-benar hilang kontak.
Kedua, aku cemas karena beban pesan ayahku untuk menjadi anak baik. Aku tidak ingin membuat orangtuaku malu jika di mata wa asih ternyata aku bertindak tak sopan, atau tidak baik. Apalagi dia sudah berbaik hati memperbolehkanku untuk menumpang bersama dia dan keluarganya. Hatiku berdegup kencang ketika ada suara dari dalam rumah membuka pintu. Seorang wanita paruh baya seumur ibuku berjalan ke pagar rumah. Tubuhnya gempal seperti ibu-ibu di umur 45 tahun, tapi kulitnya masih terlihat kencang dan bersih. Jika wanita ini adalah wa asih, jelas dia terlihat lebih muda dari ibuku.
“cari siapa ya?”
“maaf, benar ini rumah wa asih?”
“benar, ada apa ya?”
“saya agus budiman, anaknya Pak Panji Gumilang.”
“oalah… nak agus? Ya ampun kamu mirip banget sama ayahmu ya… ayo masuk-masuk, kirain kamu datengnya minggu depan loh…”
“maaf di desa ayah tidak punya hape soalnya, jadi tidak bisa memberi kabar.”
“haduh… zaman udah canggih gini, kenapa desa kita itu tidak maju-maju ya…” wanita paruh baya yang ternyata wa asih itu tertawa. Aku segera mengikutinya ke dalam rumah. Kini kami duduk di ruang tamunya yang tidak terlalu besar, di salah satu dindingnya terdapat lukisan desa yang menampilkan sawah, sungai dan gunung, mirip suasana di desaku, mungkin itu adalah pengobat rindu wa asih pada kampung halamannya. Lalu terdapat beberapa foto wa asih dalam berbagai acara seperti hajatan atau pernikahan. Tap aku tidak menemukan fotonya bersama keluarganya.
“kamu pasti cape banget ya, perjalanan dari desa ke kota kan jauh. Nih minum dulu biar seger.” Wa asih menyajikan sirup dingin di meja.
“terimakasih wa…” aku segera meminumnya habis, maklum perjalanan jauh bikin haus dan letih.
“nah sekarang kamu uwa anter ke kamar ya, kita ngobrol – ngobrolnya besok aja, kasihan kamu kecapean. Ayo sini bawa barang-barangmu.” Aku segera mengikuti wa asih menuju kamar belakang. “ini kamarmu, tidak usah sungkan, disini Cuma ada kita berdua, uwa tinggal sendiri di sini, jadi jangan malu-malu ya. Uwa seneng banget loh ya pas ayah kamu kirim surat itu. uwa jadi ada temen tinggal disini, gak kesepian terus.”
“iya wa…” aku hanya tersenyum mendengar ocehannya.
“kalau mau ke kamar mandi, langsung ke dapur aja, ada di sana kok. Selamat istirahat ya, uwa juga sudah mengantuk nih.”
“iya wa terimakasih.” Wa asih segera menutup pintu kamarku. Aku membaringkan tubuh yang letih ini di tempat tidur yang sangat terasa empuk dan harum. Ada banyak pertanyaan yang muncul dalam kepala soal wa asih, seperti kenapa dia hanya tinggal sendiri? Kemana keluarganya? Tapi aku belum berani, mungkin karena kami belum akrab dan aku takut salah ucap yang membuatnya tidak enak hati. Aku memendam semua pertanyaan itu untuk nanti, dan dalam sekejap aku terlelap.