Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MISTERI HISTORY OF AXEL

SEBUAH KATA PENGANTAR
#001


Kepala rasanya luar biasa pusing ketika gue sampai di Pelabuhan, bahkan gue menjadi bahan tertawaan orang-orang karena berjalan membawa koper dan tas seperti orang mabuk. Hingga akhirnya gue tersandung kaki gue sendiri, jatuh lalu muntah-muntah di dekat koper.

“Kenapa pula ada orang kota datang kesini ?”

“Iya, padahal di sini tidak ada objek wisata..”

“Halah, kayak kau tidak tahu saja, orang Kota yang datang kesini gak ada yang beres. Ini tempat orang dari jauh untuk mengasingkan diri atau ya menghindar dari kejaran. Ya bisa polisi, bisa juga karena lari dari perkara hutang. Termasuk dua orang Kota ini. Kalau mereka tidak bermasalah, tidak mungkin akan menginjakkan kaki ke ujung timur negara kita tercinta.”

“Hahahaha benar-benar !”

“Eh dua orang ? tahu darimana dia tidak sendiri ?”

“Kau taruh dimana matamu ? Apa dari tadi kau tidak lihat di antara orang-orang kulit hitam macam kita, ada dua orang kulit putih yang keluar dari Pelabuhan ?”

“Tidak.”

“Payah. Itu anak datang berdua sama orang yang saya yakin bapaknya..”

“Wuh, Bapak Anak ini pasti bermasalah di Jawa, sampai datang merantau di sini..hahaha !”

“Mereka tidak akan lama di sini. Entah mereka yang pergi dari sini lebih cepat atau Riwayat mereka berakhir di sini…”

Bang…sat…

Orang-orang yang berada di luar Pelabuhan, membicarakan kami dengan santai. Bokap yang terus berjalan mendahului gue seakan tidak peduli dengan gue, kalau anaknya mabuk laut parah, sedang kesulitan membawa satu koper besar, satu tas jinjing, tas ransel yang semuanya penuh nyaris tanpa sisa tempat. Bahkan resleting tas jinjing dan tas ransel gue sepertinya menunggu rusak karena penuh sesak menampung isinya.

Mabuk laut gue menjadi bertambah parah dengan bau dan sengatan matahari yang luar biasa panas. Rasanya gue mau pingsan, tetapi kalau gue pingsan di sini, gue merasa keselamatan gue akan terancam. Kehadiran kami, gue dan bokap, yang menjadi satu-satunya penumpang kapal dengan kulit berbeda jelas menarik perhatian. Kalau gue di todong atau di rampok, bahkan sampai kena tusuk kemudian barang-barang berharga gue, termasuk satu-satunya barang berharga gue yakni laptop, akan raib.

Gue mengambil sebotol air yang terselip di kantung samping tas ransel. Setelah minuman gue habiskan, gue merasa lebih baik. Rasa pusing masih ada, pandangan mata juga masih naik turun seperti masih berada di kapal yang melaju di atas ombak, namun gue mengerahkan tenaga serta tekad yang gue punya.

“Masih bocah udah mabok !

“Haahahhaha !!”

“Selamat datang di Kota 666, wahai orang kulit putih dari kota..hahahah !”

Gue berusaha tidak mengabaikan semua teriakan ejekan kepada kami, terus maju dengan Langkah terseok-seok. Tanah yang gue lihat naik turun, terus gue lawan dengan mengatakan dalam hati, bahwa gue sudah berada di daratan yang stabil sehingga sugesti tersebut secara tidak langsung membuat Langkah kaki gue menjadi lebih mantap.

Gue terus menyeret kaki serta beban tas yang gue bawa, mencoba mengikuti dari belakang bokap. Gue sebenarnya cukup terkesan karena bokap terlihat masih baik-baik saja, sama sekali tidak menderita mabok laut.

Tapi Cuma sampai di situ saja, kekaguman gue, karena sepanjang perjalanan yang di mulai tiga hari yang lalu, bokap adalah “rekan” perjalanan yang sangat buruk. Tidak mengajak gue mengobrol. Hanya menjawab seperlunya ketika gue tanya, bahkan lebih sering berteriak marah karena gue terlalu lamban.

Gue capek bangsaatt !!! batin gue dalam hati.

Bagaimana tidak, dari Kota XXX gue sudah pindah pesawat 4 kali dan transit di 3 pulau berbeda. Pesawat terakhir bahkan pesawat kecil, dimana guncangan-guncangan sangat terasa sekali. Jantung gue turun, usia seperti berkurang satu tahun ketika, ketika pesawat seringkali menurunkan elevasinya demi menghindari menerobos awan secara langsung.

Saking kesalnya, sampai di satu titik, gue berdoa biar ini pesawat jatuh sekalian saja… tapi doa dari pendosa macam gue, tentu tidak di dengar.

Setelah menempuh 3 jam perjalanan dengan pesawat kecil, perjalanan di lanjutkan dengan perjalanan darat naik mobil travel selama 5 jam. Gue bisa tidur sejenak di dalam mobil meski guncangan dan hawa panas terus menemani. Yang jelas, kami sampai di Pelabuhan menjelang tengah malam.

Di titik ini gue mengira bokap akan mengajak menginap di penginapan sekitara Pelabuhan. Tapi gue salah. Bokap meneruskan perjalanan dan kali ini naik kapal.

Anjing.

Rasanya mau mati saja ketika badan dan pikiran Sudah letih, di dalam kabin gue sama sekali tidak bisa tidur !! karena goyangan kapal saat menerjang ombak sangat terasa. Gue naik kapal menyeberangi selat bali saja mabuk apalagi mesti naik kapal dengan tujuan akhir yang mesti di tempuh selama 15 jam.

Iya 15 jam.

Bajingan..

Pikiran untuk bunuh diri dengan memilih melemparkan diri ke samudera, terus terbayang selama di perjalanan. Saking letihnya gue sampai rasanya bisa mati lemas karena kehilangan tenaga karena terus muntah-muntah hebat sepanjang perjalanan. Gue sama sekali tidak bisa menikmati makanan di atas kapal, apalagi makan nasi. Alhasil gue lebih banyak makan pop mie. Selama 15 jam itu gue sudah menghabiskan 10 cup pop mie dimana mayoritas mie instan tersebut paling lama hanya bertahan beberapa jam di lambung sebelum akhirnya gue muntahkan.

Bokap ? dia sama sekali tidak peduli dengan bau muntahan di dekatnya. Dia lebih banyak tidur, meringkuk menghadap dinding. Hanya bangun saat kelaparan dan ke kamar mandi.

He doesn’t give a shit bout me…at all…fucking old man…

“Lamban sekali..” ucap Bokap pelan tanpa menoleh ke arah gue ketika akhirnya gue bisa menyusul dan berdiri di sampingnya. Kini kami berdua sedang berada di halte bus. Tidak banyak orang yang menunggu di halte, sehingga gue tidak perlu was-was dengan keamanan barang bawaan.

Sumpah, demi apapun, saat ini gue sedang melawan bisikan dari setan yang berkata pelan di samping kuping..

“Bunuh saja orang tua tidak berguna seperti dia…Ambil batu, lalu hantamkan persis di belakang kepalanya.. Pukul terus kepalanya jika dia masih bernafas… Di matanya, lo sudah bukan lagi anak kebanggannya. Sekarang lo adalah beban dan menjadi penyebab utama kenapa dirinya di usir dan di buang ke tempat ini…”

Di halte, gue sudah mengambil satu batako besar, sudah sempat gue pegang. Tak kurang dari satu menit, gue bisa menghabisi nyawa bokap.

Ketika bus yang akan membawa kami ke kota Sudah terlihat, batu gue letakkan.

Pada akhirnya, logika dan akal sehat yang tersisa, membuat gue sadar, kalau gue bunuh bokap di sini, gue akan ikut mati bersamanya di pengasingan.

Gue tidak tahu kota macam apa ini…jadi gue masih butuh bokap..

Paling tidak untuk saat ini..
.
.
.
.
.
36 jam kemudian…



Gue terperangah saat masuk ke dalam kelas yang nama kelasnya, di tulis dengan kapur di pintu luar, bukan tercetak di papan yang biasanya di pasang di atas pintu.

Bagian dalam kelasnya besarnya sama dengan kelas gue yang dulu, tetapi hanya itu persamaannya.

Selebihnya...Gue kehilangan kata-kata untuk menggambarkan kelas baru gue di SMAN 666.

Meja kursi yang kusam, tua, reyot hanya terisi separuh saja. Dari deret tengah ke belakang. Mungkin tidak sampai 20 siswa di kelas ini dan semuanya laki-laki, tidak ada satu pun siswa perempuan di kelas ini.

Keadaan kelas juga sangat menyedihkan.

Lantai kelas sudah porak-poranda, keramik murah yang sudah pecah, retak di sana-sini, berdebu. Dinding kelasnya tembok kasar berwarna kuning kusam, cat mengelupas bercampur dengan coret-coretan berupa tulisan serta gambar-gambar tidak senonoh, menyeramkan. Jendela yang mengarah keluar kelas terbuat dari kawat teralis yang sudah berkarat, tanpa korden, membuat kelas ini sangat panas.

Kipas yang tergantung di plafon sudah tidak menyala, bahkan seperti tinggal menunggu waktu saja untuk roboh karena atap plafon sudah rusak berat, hanya tinggal beberapa kotak asbes di pojokan yang sudah berjamur. Di atas plafon langsung atap seng, karena ketinggian atap seng tidak sampai 3 meter, mungkin 2, 5 meter, membuat hawa panas di dalam kelas ini benar-benar sempurna, seperti berada di dalam sekam !

Belum ada 5 menit gue di sini, baju seragam gue sudah basah oleh peluh di punggung. Sudah beberapa kali gue menyeka keringat di dahi.

Hampir tidak bedanya dengan berjemur langsung di luar kelas ! Gila...Negara ini masih mempunyai kelas yang amat sangat tidak layak seperti ini di sebuah sekolah dengan status SMA Negeri ?!

Tetapi kondisi kelas yang mengerikan ini, menjadi semakin ngeri jika gue lihat "teman-teman" baru gue di kelas.

Tidak ada yang memakai seragam OSIS. Mereka semua memang celana panjang abu-abu namun tidak dengan bagian atas. Mereka memakai kemeja lengan pendek, berbagai warna dan hampir semuanya tidak di kancingkan. Memperlihatkan singlet di balik kemeja.

Mereka semua menatap gue dengan pandangan yang sangat menusuk, membuat gue tidak sanggup atau berani menatap mereka lebih lama.

Dari semua murid yang menatap gue, gue merasakan tekanan yang sangat besar, berasal dari para siswa yang menempati meja di deret paling belakang. Ada empat deret meja dan semuanya terisi. Itu berarti ada 8 siswa “istimewa”.

Gue tidak berani menatap ke arah belakang karena takut. Tatapan dan ekspresi mereka terlihat menakutkan dan bengis.

Glek...gue menelan ludah... merasakan hawa yang terasa mencekik.

"Selamat pagi anak-anak.. Mulai hari ini kalian mendapatkan teman baru. Silahkan perkenalkan dirimu.." kata Pak Moro, salah satu guru yang mengantar menuju kelas gue.

Kalimat Pak Moro "Mulai hari ini kalian mendapatkan teman baru", memiliki arti yang berbeda buat gue. Lebih seperti "Mulai hari ini kalian mendapatkan mainan baru.."

Anjing..

"Nama...nama...gue... Leo."

Perasaan insecure, inferior, minoritas, takut, gugup bercampur menjadi satu ketika Pak Moro meminta gue untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Sehingga hanya kalimat perkenalan singkat itu saja yang terucap dari mulut.

"Beuh, ada orang kota nih. Pakai gue, gue, elo, elo..."

"Mantap, orang kota nih, berarti anak orang kaya.."

"Aku dengar dia pindah sama Bapaknya ke sekolah kita."

"Bapaknya guru ?"

"Staf admin yang baru."

"Untuk apa ada staf admin di sekolah kita ? sekolah mau rubuh seperti ini sok pakai ada admin segala.."

"Tidak tahu lah."

"Dan yang lebih aneh lagi, kenapa mereka berdua, bapak anak ini pindah ke sini ?"

"Santai, kita punya banyak waktu bertanya kepada si anak kota ini.."

"Ya sambil minta traktir dong.."

Semua siswa bertampang sangar ini membicarakan gue tepat di depan muka gue. Mereka semua terlihat "senang" melihat kedatangan gue.

Gue menelan ludah.

"Hey Moro ! ngapain kau lama-lama berdiri di sini? sana urus urusannmu sendiri. Hari ini kami sedang tidak minat belajar. Kami mau menyambut kawan baru kami dari Kota !!!" pekik satu siswa sambil berdiri.

Pak Moro terlihat gugup dan keringat keluar dari keningnya. Membuat bau keringat darinya semakin menguat.

"Karena sudah berkenalan. Kalian bisa melanjutkan tugas kemarin. Bapak tinggal dulu karena ada acara penting yang mesti Bapak hadiri. Leo, kau bisa pilih tempat duduk di manapun kau mau. Untuk buku materi serta buku soal, karena keterbatasan anggaran penyediaan buku untuk siswa baru, sementara kau kerjakan di buku tulis. Buku soal bisa pinjam atau berbagi dengan teman sebangkumu."

Pak Moro kemudian terburu-buru keluar dari kelas dan menutup pintunya dari luar.

Meninggalkan gue sendiri di depan kelas, di hadapan siswa yang di mata gue, mereka tidak pantas lagi di sebut sebagai siswa, tetapi ....

Gue benar-benar kehilangan kata untuk menggambarkan mereka yang berada di hadapan gue.

Bahkan kedua kaki gue gemetar hebat ketika beberapa siswa yang duduk di bangku area tengah berdiri dan mendatangi gue. Sementara para siswa yang duduk di paling belakang, tetap duduk namun tidak melepaskan pandangannya dari gue.

“Kau bawa berapa duit ?” satu siswa yang mengenakan topi merah terbalik bertanya sambil duduk di meja paling depan. Sementara tiga siswa lainnya masing-masing berdiri di samping kanan kiri dan belakang. Ketiganya punya fisik besar-besar, berambut kriting kribo, berkulit gelap.

Dan saking dekatnya mereka berdiri, gue bisa mencium aroma keringat dari mereka.

Gue sebisa mungkin tidak memperlihatkan ekspresi kalau gue benar-benar terganggu dengan bau badan mereka, karena bau keringat bercampur dengan bau ikan yang amis. Kalau sampai mereka tahu, gue bisa mampus.

Sekolahan ini memang hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari pantai. Tidak jauh pantai ada dermaga dan pasar ikan yang selalu ramai. Mungkin saja mereka ini sering berkeliaran di pasar ikan sehingga aroma ikan amis menempel di baju mereka.

Gue sadar kalau gue sepertinya bakal kena palak secara terang-terangan, makannya gue sudah mengantisipasi hal ini. Ponsel tidak gue bawa dan uang saku sebesar lima puluh ribu, gue simpan dalam dua tempat. Selembar uang dua puluh ribu di dompet dan tiga lembar uang sepuluh ribu, gue selipkan di kaus kaki sebelah kanan.

Uang lima puluh ribu itu adalah uang makan gue untuk dua hari. Jika gue habiskan dalam satu hari, bokap tidak akan peduli besoknya gue akan makan apa. Pokoknya dua hari sekali baru dia kasih gue uang.

“Apa yang bisa gue lakukan dengan uang dua lima ribu rupiah untuk makan tiga kali sehari ?”

“Tabungan di rekening di batasi, hanya bisa saya tarik seminggu sekali sebesar tujuh ratus ribu rupiah. Dua ratus ribunya untuk bayar kontrakan per minggu. Seratus lima puluh ribu buatmu seminggu seharusnya cukup, jadi jangan boros.”

Begitu kata bokap ketika kemarin gue keberatan dengan uang saku yang di berikannya. Bagaimana tidak, saat di kota XXX, gue bisa menghabiskan uang satu juta per hari, untuk jajan, traktir teman-teman, nongkrong, makan enak.

Untuk saat ini gue gak bisa protes dan terpaksa menerimanya.

“Dua puluh ribu.”

“Piuuh !! bohong banget.. Gak mungkin orang kota kayak kau Cuma pegang uang receh.”

Si topi merah memberikan kode kepada temannya yang berada di belakang gue. Siswa yang di belakang menarik paksa tas yang aku bawa. Dia lalu membuka dan menggeledah tas yang hanya berisi dua lembar buku tulis kosong dan beberapa pulpen. Mengetahui tas gue tidak ada barang berharga, tas beserta isinya di buang begitu saja, di lempar ke jendela luar.

“Tidak ada apa-apa,” ujar siswa tersebut.

Si topi merah lalu memberikan kode ke temannya lalu siswa yang di sebelah kiri gue, menggeledah kantong saku dan kantong belakang. Tentu saja ia langsung menemukan dompet serta isinya, yakni selembar uang dua puluh ribu.

“Hanya dompet saja, tidak ada ponsel ?”

“Nihil.”

“Hahaha !” Si topi merah tertawa sembari mengambil uang tersebut dari tangan temannya yang mengambil paksa dompet gue.

Gue agak panik sebenarnya jika uang dua puluh ribu gue di ambil, gue Cuma punya tiga puluh ribu untuk dua hari ke depan. Bokap, masih pegang duit meski beberapa ratus ribu, meskinya ia punya sedikit rasa belas kasihan, masih mengganti uang dua puluh ribu yang di palak.

Perasaan itu sedikit menenangkan gue.

“Cuma ini saja ?” tanya si topi merah.

Gue mengangguk.

PLAK !!!!!

Tiba-tiba pipi kiri gue kena tampar si topi merah keras sekali !!! sampai mata gue langsung berkunang-kunang. Gue udah terhuyung tetapi badan gue di pegang dari belakang dan di paksa untuk tetap berdiri.

“Sekali lagi aku tanya, jawab yang benar. Cuma ini saja uangmu ?”

“I..iya..”

PLAKKKKK !!!

Muka gue kena sambar punggung tangan si topi merah dan gue bisa merasakan darah merembes dari lubang hidung.

Bang..sat…

“Lemah kali kau punya badan. Baru aku colek sudah mimisan.,Cih. Ini pertanyaan terakhir kalinya, kalau kau masih bohong, aku patahkan tanganmu..sekarang juga..”

Apakah..dia..tahu…kalau gue masih menyembunyikan uang ?

“Cuma..ini..sajakah..uangmu ?” Si topi merah memajukan wajahnya dekat sekali dengan wajah gue.

Bau rokok campur alcohol tercium dari nafasnya.

“I-iya..Cuma ini saja..” gue jawab dengan ketakutan.

CUHHH !!!

BAMM !!!!

Si topi merah meludah ke arah muka gue dan mengenai mata kiri kemudian rasa sakitnya menjalar dari arah perut setelah kena pukul keras sekali, sampai gue membelalak, tidak bisa bernafas.

Belum sampai di situ saja, kedua tangan gue di pegang dari samping lalu di tekuk, kemudian belakang kepala di pegang, selanjutnya…muka gue di dorong dengan sangat kasar dan kencang ke arah meja.

BUAGHHHHH !!!

Rasanya luar biasa sakit, terutama ketika wajahku di terus di tekan ke arah meja, sehingga hidung dan mulut gue terhimpit meja, membuat gue kesulitan bernafas..

Seseorang kemudian merogoh ke arah kaki, lebih tepatnya ke kaus kaki dan tentu saja dia menemukan uang yang gue selipkan. Belum sampai di situ, kedua sepatu dan kaus kaki di lolosi secara terpaksa.

Kemudian kedua kaki gue yang tidak mengenakan alas, di injak dan di tekan dengan sesuatu yang amat sangat keras dan kokoh. Tekanannya terasa ke tulang kaki.

“Mmmmmpphh….mpppppphhhh….” gue mengerang kesakitan karena gue sudah kesulitan bernafas dan punggung kaki rasanya retak karena tekanan yang sangat menyakitkan. Kalau benda yang menindih punggung kaki ini di tekan lebih keras, akan membuat retak tulang tarsal dan juga tulang metatarsal sekaligus. Benda yang menekan punggung kaki sepertinya kaki kursi yang di duduki seseorang.

Gue memberontak sebisa mungkin karena asupan oksigen sudah tipis, bukan oksigen yang masuk melalui hidung melain darah di sela lubang hidung yang gue hisap masuk, membuat gue benar-benar di ambang kematian.

Apakah…gue…mati..di tempat…menyedihkan…seperti…ini…

Itulah kalimat yang terbatin dalam diri gue, ketika kesadaran gue sudah menipis.

Tiba-tiba rambut gue di Tarik ke atas, sampai mendongak.

Otomatis mulut gue terbuka lebar untuk menghirup oksigen dari mulut. Oksigen segera masuk mengisi paru-paru di waktu krusial namun apa yang gue lihat berikutnya membuat mental gue sudah jatuh di titik terbawah.

Bogem melayang ke arah muka.

BAAAAMMMM !!!!!

KRAK !!!!!

Di tengah rasa sakit yang makin menghebat, gue masih bisa mendengar bagaimana pukulan barusan, membuat hidung gue patah. Badan gue ambruk ke belakang dan terkapar di lantai.

“Uhuk…uhuk….hiks…hua…uhuk….” Gue mengerang, menangis ketakutan dan terbatuk-batuk di waktu yang bersamaan serta memegangi hidung yang agak bengkok ke kanan.

“Urrgh…”

Gue melenguh saat perut gue di duduki seseorang. Gue gak bisa melihat dengan jelas karena pandangan mata gue berair dan kabur.

“Seharusnya kau mengatakan sedari awal, kalau kau sama miskinnya dengan kami hahahah !! kalau kau serahkan semua uang yang kau punya, kau tidak akan mendapatkan penyambutan yang agak kasar dari kami..”

“Diego ! ini orang mau kita apakan lagi. Dia ini orang kota miskin.”

“Buang saja.”

A-apa…maksud dari perkataan orang yang Bernama Diego tersebut. Gue masih belum kehilangan kesadaran jadi masih bisa mendengarnya..

“Kalau mati gimana tuh…”

“Nanti sore, kau cek lagi, kalau dia mati, bawa saja ke bukit, kubur di sana.”

“Oke.”

Tiba-tiba badan gue di angkat, kedua kaki dan tangan di pegang. Gue di bawa mendekati jendela yang tidak memiliki kaca. Lalu badan gue terayun, di lempar keluar, melayang beberapa detik sebelum akhirnya mendarat di luar kelas.

Brugh..

“Arghhhh !” gue berteriak, sekali lagi, karena badan gue mendarat di bebatuan bercampur dengan semak-semak berduri.

Sialan…gue di bopong lalu di lemparkan keluar dari kelas melalui lubang jendela…

Sengatan sinar matahari di tambah akumulasi rasa sakit, mental yang benar-benar jatuh, penghinaan total, membuat gue tidak bisa lagi menahan kesadaran.

Sebelum sepenuhnya gue pingsan…atau mati…pikiran gue mundur tepat satu hari sebelumnya..
.
.
.
.
.
24 jam sebelumnya..



"Berkat koneksi saya, kita beruntung hanya berada di sini selama satu tahun saja. Bertahanlah jika kau masih ingin kembali pulang. Tundukkan dan rendahkan kepalamu. Kota sekarang dimana kita tinggal, Kota 666, yang berjarak 3.500 Km dari Kota XXX, adalah worst of the worst city to live, jauh lebih keras, lebih miskin, lebih buruk daripada semua tempat di negeri ini.

Tetapi jika tidak kuat lagi, jangan merengek kepada saya. Lebih baik kau mati saja di sini sendirian, jangan libatkan saya.

Melindungimu adalah kesalahan terbesar yang saya lakukan, kesalahan yang mesti saya bayar sedemikian mahal. Seharusnya kupaksa dulu mamamu untuk ****** atau membuangmu ke jalan setelah kau lahir.

Mulai hari ini, saya tidak akan melindungimu lagi. Urus dirimu sendiri. Dasar anak bangsat.."
.
.
.
Hal terakhir yang gue lihat sebelum mata gue terpejam adalah tangan kanan gue terkepal erat….erat sekali…
.
.
.
“Jimi.. Masih ada nafas dia !”

“Oh iya..”

Samar-samar gue mendengar suara orang bercakap-cakap di barengi dengan kepala yang terasa luar biasa berat. Saat gue membuka mata secara perlahan, gue lihat dua bayangan berdiri. Satu berambut kribo, satu lagi seperti botak. Gue tidak bisa melihat wajah mereka karena gelap.

“Oi orang kota.. Sekarang pilihanmu cuma dua…kau pilih mati saja terjun dari tebing sana atau kau bangkit lanjutkan hidup…Tapi apapun pilihanmu kau sama sengsaranya.

Entah apa agamamu, tapi kalau kau bunuh diri, kau auto neraka jalur VVIP, kau tidak akan bisa kembali lagi ke sini. Bapa pun tidak akan sanggup menebus dosamu.

Kalau kau masi hidup, sudah pasti neraka kecil akan menunggumu dalam wujud Diego Dos Santos. Meski kau akan banyak di siksa, tetapi paling tidak kau masih hidup, bisa tidur bisa makan bisa berak. Bahkan kalau berani, kau punya kesempatan melawan..”

“Jimi ! bicara apa kau..Kau pikir kecoak kota ini punya keberanian?”

“Haha ! tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini kawan. Orang nekat itu kalah sama orang yang sudah tidak punya apa-apa. Diego punya segalanya, dia orang takut mati kehilangan kesenangan dunia terlalu cepat. Dia belum pernah ketemu dengan makhluk dari dasar rantai makanan yang tidak takut kehilangan apa pun.”

“Kau ngelantur Jimi. Aku tahu kamu masih menyimpan dendam sama Diego. Tetapi bahaya membicaraka dia sembarangan.”

“Ya kecuali kau buka mulut kepada Diego tentang apa yang kukatan kepada anak kota ini, aku sih ama sentosa.”

“Ah brengsek kali. Sudah ayo kita pergi. Kita pergi minum-minum saja di rumah sergio. Tugas kita sudah selesai..”

“Ayo lah…hey Leo.. di sini dekat hutan, kalau kau masih mau hidup, segera pergi dari sini sebelum kau di santap sama ular.”

Lalu keduanya pergi menghilang di tengah kegelapan.

Tadinya gue mau mati saja, tetapi gue menemukan pesan tersirat dari orang yang bernama Jimi.

Menarik

Gue punya kesempatan untuk terus hidup di sini. Tapi tidak mudah.

Pertama gue mesti mencari tahu dulu apa saja hal berharga, sesuatu yang membuat gue takut untuk mati.

Gue perlahan bangkit berdiri berpegangan di pohon. Ketika gue bisa berdiri, pandangan gue tertuju kepada garis horison berwarna jingga kemerahan yang menampakkan garis batas laut dengan langit.

Indah sekali pemandangan dari sini, membuat gue merambat berpegangan ke dahan saat mendekati tepian jurang. Gila, tidak kurang dari 20 meter dari kelas gue, ada bibir jurang. Gue melongok ke bawah dan terlihat hutan gelap yang seakan melambaikan kedua tangan samar-samar seperti asap kabut, meminta gue untuk mendatanginya dengan cepat.

“Ayo sini Leo..”

“Tidak ada gunanya hidup..”

“Neraka itu tidak ada. Setelah kematian, tidak ada apa-apa. Hanya ada keheningan ketenangan abadi.”

“Tidak usah takut, kamu akan mati dengan cepat jika kamu meloncat dari atas sana. Pastikan saja kamu mendarat dengan kepala menghadap ke bawah. Kalau kamu beruntung, jika kepalamu menancap di salah satu dahan, tidak akan terasa sakit.”


Mendengar suara-suara dari alam di bawah sana, membuat gue semakin mendekat ke bibir jurang.

“Gue akan datang bergabung dengan kalian tetapi tidak hari ini !! masih ada yang perlu gue selesaikan tugas gue di dunia ini.

Tapi gue janji, satu hari nanti gue akan kembali sini dan gue tidak aka sendiri, akan gue bawakan banyak kawan untuk persembahan !!

“Asyikkkkkkkk !”

“Rasanya sudah tidak sabar untuk bersatu dengan banyak kawan !”


Gue pasti sudah setengah gila, karena berbicara dengan suara-suara misterius dari hutan di bawah sana.

Sebelum sunset sepenuhnya menghilang, gue mesti segera pulang ke rumah. Kalau sudah gelap, gue akan kesulitan mencari jalan pulang.

Tapi gue tidak hilang akal, daripada gue memutar halaman belakang sekolah, lebih baik gue kembali ke dalam kelas lalu keluar dari ruangan. Kalau gue sudah berada di dalam area sekolah, lebih mudah buat gue untuk pulang tanpa tersesat. Karena bentuk sekolah ini seperti huruf L besar.

Kalau gue berdiri di depan pintu kelas mengarah ke halaman, sudah pasti gerbang sekolah akan terlihat.

Di tengah rasa sakit di seluruh badan dan wajah karena di hajar habis-habisan oleh “teman-teman baru” gue masih bisa berpikir jernih.

Itu artinya gue tidak lah gila. Hanya kadar imajinasi yang berkembang terlalu jauh.

Saat gue masuk kembali ke dalam kelas melalui jendela-jendela tanpa kaca, kelas tentu saja dalam keadaan gelap.

Memang tidak sepenuhnya gelap total, masih ada sebaris sinar jingga yang tembus menimpa papan hitam di depan kelas.

Lalu ada dorongan aneh dalam diri gue, untuk mengambil kapur.

Gue turuti dorongan tersebut dan menulis empat kata dengan huruf kapital di papan tulis menggunakan batang kapur yang tergeletak di meja guru.



S C U M


 
Mau nerusin Axel, tetapi terlalu kompleks, butuh waktu ekstra. anjink gak mudah nulis Axel di antara kerjaan, main game, deadline si yandi

Sementara gw akan buat mini-seri sebanyak 9 Episode berkisah tentang Leo dan Bokapnya yang terusir dari SMA NEGERI XXX.

Yah target sebelum presiden baru 2024-2029 di lantik, dah kelar mini serinya.

Indeks SCUM akan gw taroh di bawah indeks halaman Axel di pejwan.

Jangan berharap drama percintaan panas penuh air mata, gak bakalan ada 🤡🤡🤡

SS ? ada nanti d antara 9 episode
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd