1.6-[bukan] Karena Cinta
(POV Alex)
Oh my God!!!
Zyan menciumku. Ciuman pertamaku dari seorang laki-laki, yang bahkan tak tahu apa benar-benar mencintaiku, yang bahkan tak kuketahui apa aku mencintainya.
Bagaimana rasanya ciuman pertamaku?
Basah. Ya, bibir Zyan terasa basah.
Bergetar. Tak cuma bibir Zyan. Aku merasakan seluruh tubuhnya bergetar pelan.
Aku sendiri. Apa yang kurasakan.
Sesak. Itu hal yang pertama kurasakan. Nafasku terasa sesak, berat, dan memburu. Jantungku berdegub cepat dan keras. Bergemuruh di dadaku. Rambut-rambut halus di seluruh tubuhku berdiri. Geli sekaligus menggelisahkan.
Oh God. Perasaan apa ini? Aku ingin Zyan- berhenti, tapi juga tak rela. Aku mau dia mundur menjauh, tapi sekaligus ingin tubuh kami kian mengerat.
Getar bibir Zyan seakan menular. Bibirku ikut bergetar, begitu juga tubuhku. Kemudian sesuatu yang lebih basah menyapu bibirku.
Lidah Zyan? Mau apa?
September nanti adalah sweet seventeen-ku. Di keremajaan ini, jelang kedewasaan ini, aku belum pernah mengalami apa yang terjadi malam ini, dan aku tak memahaminya.
Aku sering menonton drama-drama romantis, dan membaca novel-novel cinta. Tak ada satupun yang menggambarkan seperti apa seharusnya ciuman antara pria dan wanita. Sepanjang yang kutahu, ciuman itu hanya bibir ketemu bibir.
Lalu, apalagi ini? Sentuhan lidah Zyan di bibirku terasa geli. Semakin menggetarkanku. Apalagi bibir cowok ini perlahan bergerak, seakan memijit lembut bibirku. Tanpa mampu kutahan, akupun membuka bibir dan mendesah pelan.
Seketika lidah Zyan merangsek ke dalam mulutku dan akupun tersentak. Hanya sejenak, kemudian naluri kewanitaanku mengambil alih.
Ciuman Zyan berganti menjadi cumbuan penuh gairah. Akupun belajar dengan cepat, membalas tiap aksi cowok itu dengan reaksi yang tak kalah panasnya, walau awalnya sedikit kaku.
Serangan Zyan semakin menjadi-jadi. Tangan kanannya tak lagi memegangi kepalaku. Dia tak perlu melakukannya, aku tidak akan kemana-mana. Sebaliknya, aku justru kini merangkul leher cowok itu erat-erat. Seakan tak rela dia menjauh dan melepas cumbuan.
Alih-alih, tangan kanan Zyan kemudian menyasar melingkari pinggangku, menarik tubuh bagian bawahku semakin merapat padanya.
Dalam birahi yang menggelora, aku masih sadar di mana kami berada, apa yang kami lakukan, dan risiko yang akan kami hadapi andai terpergok. Tapi apa peduliku, kenikamatan percumbuan kami menutupi logika.
Aku tak peduli. Instingku terus membimbingku untuk mengejar sesuatu yang mendesak. Sebuah penyelesaian. Hanya saja aku tak memahami, penyelesaian seperti apa.
"Hemphhh... Hhh..."
Tiba-tiba aku tersentak, nafasku sejenak terhenti. Zyan lepas kendali, kedua tangan cowok itu telah menyusup ke balik pakaianku dan sedetik kemudian mulai menjelajahi bagian belakang tubuhku dalam belaian dan remasan.
Nuraniku sontak berteriak, stop!!! Aksi Zyan telah melewati batasan yang seharusnya boleh kuizinkan. Sampai detik ini dia bukan siapa-siapaku, cuma sebatas sahabat. Bahkan kalaupun dia pacar, aku seharusnya tak membiarkan dia berbuat sejauh ini.
Tapi toh aku malah membungkam nurani dan akal sehatku, membiarkan Zyan berbuat semaunya. Aku bahkan tetap membisu saat cowok itu menarik turun celana dalamku dan tak lama meremas langsung bongkahan pantatku.
Geli, sedikit sakit, namun nikmat.
Aku adalah gadis yang lugu. Jangankan bercumbu seperti ini, 'dekat' dengan cowok pun belum pernah. Sejauh yang kuingat, aku selalu berusaha berpakaian sopan dan menjaga tubuh dari mata nakal laki-laki. Tapi sekarang, aku justru membiarkan tubuh bawahku dibuka begitu saja oleh Zyan. Bahkan cd-ku menggantung begitu saja di paha.
Aku semakin mengejang dan sesekali tersentak kecil. Desah nafasku berganti erangan tatkala Zyan membebaskan bibirku, beralih mencumbu leher dan pundakku. Saat itulah aku baru menyadari, sesuatu milik Zyan terasa menekan perutku.
OMG. Zyan ereksi. Tentu saja hal ini pasti terjadi. Bahkan aku sendiri sudah sangat terangsang.
Lagi, saat itu aku masih lugu. Aku mengerti konsep seks, kemaluan pria masuk kemaluan wanita, tapi ya hanya sebatas itu. Itupun dari buku-buku biologi. Aku tak paham riilnya.
Sontak rasa takutku muncul. Apa yang akan Zyan lakukan? Apa malam ini aku akan kehilangan keperawananku? Apa aku akan membiarkannya?
Namun rasa lain ikut muncul, penasaran. Bagaimanakah rasanya?
Dan ketakutanku menang.