Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

KENANGAN PADA SEBUAH KAPAL[2019]

Karakter dan alur yg kuat membuat cerita ini enak dibaca dan cenderung tidak membosankan, konflik yg minim mungkin krn dibatasi jumlah maksimal kalimat. anyway, selamat ya suhu sdh menghasilkan karya yg bagus 👍👍
 
Karakter dan alur yg kuat membuat cerita ini enak dibaca dan cenderung tidak membosankan, konflik yg minim mungkin krn dibatasi jumlah maksimal kalimat. anyway, selamat ya suhu sdh menghasilkan karya yg bagus 👍👍
Terima kasih telah membacanya dan terima kasih atas komentarnya.
 
II. Hari Kedua

Pagi itu, laut tenang bergelombang. Aku berada di ruang rekreasi, dimana anak gadisku bermain bersama banyak anak-anak lain. Suasana hiruk dengan suara anak-anak yang ceria dan terkadang ditimpali teriakan para orang tua. Sambil menggendong anak jantanku, aku bersender di pagar pembatas agar mudah memantau keberadaan anak gadisku.

Perhatianku terpecah. Mataku mengarah kepada lelaki berseragam putih yang baru saja masuk ke dalam ruang rekreasi. Wajah tampannya menarik perhatian banyak perempuan yang berada di ruang rekreasi ini. Meski aku tahu matanya mencari keberadaan aku, beberapa kali lelaki berseragam putih itu berhenti karena diajak bercakap-cakap oleh perempuan-perempuan yang dengan sok akrab menyapanya. Tidak suka aku melihat dia meladeni kegenitan perempuan-perempuan itu.

Jantung ini bergemuruh saat dia berjalan ke arahku. Dilema melanda. Apakah aku harus berpura-pura tidak mengenalnya agar tidak menarik perhatian penumpang lain, terutama kaum hawa yang mendadak menjadi genit itu, atau haruskah aku menyambut kedatangannya dengan satu senyuman dan sebuah ucapan seperti yang dilakukan para perempuan lain di ruang rekreasi ini?

Akhirnya, kupilih alternatif pertama bahwa aku harus pura-pura tidak mengenalnya. Padahal sangat ingin kusambut kedatangannya, sangat ingin kutunjukkan pada dunia betapa lelaki ini adalah milikku.

"Selamat pagi,"sapanya ramah setelah berdiri didepanku.

Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala untuk kemudian mengarahkan pandangan ke kumpulan anak-anak yang riang bermain. Pura-pura abai dengan kehadirannya.

Lelaki itu berdiri disampingku. Rasa bahagia menyergap. Ah, semoga tidak ada orang, terutama kaum hawa, yang memerhatikan perubahan di wajah ini. Aku berusaha tenang, tapi, sumpah! Aku benar-benar di mabuk asmara. Jatuh cinta kepada lelaki ini. Aku sangat ingin jika semua orang yang ada di ruang ini mengetahui kalau semalam aku berada di kamarnya.

Seandainya mereka, perempuan-perempuan itu, tahu kalau semalam kami berbagi kehangatan, bagaimana pendapat mereka, ya? Pikirku nakal.

"Adik cantik sekali pagi ini," ucapnya pelan tapi memabukkan, "Cantik seperti yang kulihat semalam."

Kami bertatapan. Hanya sebentar. Mata lelaki itu mengarah ke tempat beberapa perempuan muda bercengkrama riang dan tertawa bahagia.

"Semuanya cantik. Tinggal pilih mana yang disuka,"ujarku, dengan nada rasa cemburu.

"Semua cantik, tapi tidak ada yang mampu menggugah hati ini."Suara lelaki itu seperti berbicara dengan dirinya sendiri."Dan baru kemarin aku bertemu orang tersebut."

Mendengar gombalannya, dada ini berbunga-bunga. Bahagia. Dasar perempuan!

Dia berbalik, menghadap ke pagar pembatas, menatap keluar, ke laut lepas yang mengelilingi kami. Lalu, "Ada waktu pagi ini?"

Aku termangu mendengar ajakannya yang tanpa basa-basi itu. Ingin kutatap dia untuk memastikan, tapi tidak ada keberanian.

"Aku tunggu di kamar."Tanpa menghiraukan aku, sang Kapten berlalu.

Setelah sang Kapten menghilang dari ruang rekreasi, secepatnya aku mendatangi tempat anak gadisku bermain. Sayangnya, Tanti tidak mau aku ajak pulang ke kamar. Belum puas dia bermain. Aduh! Bingung aku jadinya. Apa yang harus kulakukan?

Haleluyah! Tuhan memang baik. Di saat kebingungan melanda, tangan Tuhan membantu aku. Seorang ibu bersedia menjaga anak gadisku.

Setelah menitipkan Tanti dan mewanti-wanti agar dia tidak nakal, sambil tetap menggendong anak jantanku, bergegas aku ke luar ruang rekreasi. Kuselusuri dek kapal yang dipenuhi manusia itu. Aku harus secepatnya tiba di kamar karena aku harus mempersiapkan diri terlebih dulu. Aku 'kan harus tampil sempurna dihadapannya.

Beruntunglah aku. Kamar masih terkunci. Berarti sang Kapten belum ada di kamar. Secepatnya aku mengeluarkan kunci dari tas sandangku dan membuka pintu kamar. Oh ya, dengan alasan agar aku bisa bebas keluar masuk kamar, sang Kapten menitipkan satu anak kunci untuk aku pegang. Setelah menaruh anak jantanku di tempat tidur dan memberinya botol susu, kutuju kamar mandi, dan menelanjangi diri. Untung saja anak jantanku seperti memahami keadaan mamanya sehingga mau aku tinggal mandi. Tanpa membuang waktu, aku mandi, walau pun hanya sebentar aku mandi, hanya untuk membuang keringat dan agar tubuhku segar untuk dinikmati lelaki itu.

Dengan hanya berlilitkan handuk menutupi tubuh telanjangku, aku keluar kamar mandi, tetapi, sungguh terkejut aku karena didepanku, kutemui senyuman memabukkan itu. Lelaki yang duduk di kursi sambil memangku anak jantanku itu memandang aku.

Spontan telapak tanganku menutupi belahan payudara sementara tangan satunya mengarah ke bawah untuk menutupi selangkangan. Biar pun semalam puas dia menikmati tubuhku, tapi masih ada rasa malu melihat matanya yang buas menatap aku.

Dengan anak jantanku masih berada dalam gendongannya, sang Kapten berdiri dan melangkahkan kaki mendekatiku. Mematung aku. Kencang berdetak jantungku. Aku hanya bisa menatapnya, tapi aku sudah siap untuk dia telanjangi.

"Tanti mana?"tanyanya.

"T-Tanti tidak mau diajak pulang,"jawabku gugup,"tapi, sudah kutitip dengan ibu yang anaknya bermain dengannya."

Sang Kapten menuju meja kerjanya. Diangkatnya pesawat telepon, menekan tombol-tombolnya, dan, setelah menunggu lama, dia pun berbicara dengan seseorang di seberang sana.

Tak lama kemudian, dia meletakkan kembali gagang pesawat telepon, dan"Sudah aku minta a-be-ka untuk mengantarkan kemari bila anakmu minta ketemu Mamanya."

Kuberikan dia satu senyuman sebagai tanda terima kasih, tetapi lelaki itu tidak menyambutnya. Dia menatap ke arah aku, membuat aku gugup, gugup menunggu dia membawa aku ke pembaringan.

Sayangnya, anak jantanku yang sedari tadi dia gendong merengek. Tangannya menggapai-gapai ke arahku, mamanya, agar aku mengambilnya. Setelah berada dalam gendonganku, anak jantanku masih merengek, tangannya masuk ke dalam handuk, meraba payudaraku, mencari puting susu.

Terlihat kekecewaan di wajah tampan sang Kapten saat aku membawa anak jantanku rebah di tempat tidur. Segera kubuka lilitan handuk, mengeluarkan payudara dan menyodorkannya ke mulut anak jantanku. Nikmat sekali anak jantanku menyedot-nyedot puting susuku sementara tangannya memilin-milin puting susu satunya.

Duduk sang Kapten di depanku, menonton aku yang menyusui anakku. Tersipu aku jadinya. Dengan telapak tangan, seadanya aku tutupi payudaraku sementara mataku beralih menatap anak jantanku yang mulai lelap.

"Kayaknya enak, ya, susu Adik?"guraunya.

Kutatap dia dan tersenyum menanggapi gurauannya, tapi sang Kapten belum beranjak dari depanku, membuat aku salah tingkah. Telapak tangan masih aku letakkan di payudaraku.

"Sekarang jatahnya untuk anak."Satu senyuman aku hadirkan untuk sang Kapten."Yang lain, harap sabar menunggu."

Tersenyum dia. Lalu,"Sepertinya masih lama jatah untukku, ya."

Aku balik tersenyum. Menatap dia dengan penuh cinta.

Sang Kapten meninggalkan tempat duduknya. Berlalu dia dari hadapanku. Tapi, tak lama kemudian, tempat tidur di belakangku memberat. Rupanya dia rebah dibelakangku. Dapat aku rasakan kalau dia mendekati aku. Nafasnya berhembus di leherku, lalu disibaknya rambutku yang menutupi leher. Perlahan bibir sang Kapten menempel dan mencumbui pundakku, membuat aku menggelinjang geli.

"Anakku masih menyusu,"ucapku sembari menghalau bibirnya dari leherku.

Sang Kapten meninggalkan aku. Duduk dia dibelakangku. Tangannya jatuh di pahaku, mengelusnya. Handuk yang menutupi pahaku dia tarik turun, membiarkan tubuhku tanpa penutup.

Hangat nafasnya terasa di pahaku. Bibirnya menempel di pahaku, mulai menciuminya. Sambil tetap menciumi pahaku, jari-jemarinya menggelitiki pahaku, mengelusnya. Lelaki dibelakangku itu berbaring. Kini mulutnya menjamah pantatku. Tangannya melingkar di pahaku, menggapai kemaluanku. Bergidik aku jadinya.

Tertawa aku. Geli karena kepalanya mendesak masuk di antara dua pahaku. Maka aku angkat paha kiriku meninggi. Kepalanya pun muncul dari antara dua paha. Lalu, ah! Menjenjit aku ketika bibirnya mencumbui kemaluanku. Kutahan nafasku ketika lidahnya menari-nari di belahan memanjangnya, menusuk masuk, sementara jari-jari tangannya mengelus bulu-bulu di kelamin.

Kemaluanku dia tinggalkan. Melalui pundakku, dia mengintip anak jantanku yang terpejam tapi mulutnya masih menyosor di puting susu. Pasrah aku manakala sang Kapten menelentangkan aku. Dibukanya lebar dua pahaku. Dua tangannya menjejak di kiri dan kanan tubuhku, lalu selangkangannya menindih selangkangankul. Dengan sangat pintar, kontol itu menggesek-gesek areal kemaluanku, tanpa mau masuk ke lubang kemaluan yang sudah banjir. Nakal sekali lelaki ini. Dia hanya menekan-nekankan batangan daging mengeras itu di ambang lubang kemaluan milikku, menggesek-gesekkannya di belahan memanjang yang ada di selangkangan itu, serta kembali menekan-nekannya.

Tidak mau berlama-lama lagi, karena birahi sudah memenuhi otakku, kuambil batang daging itu. Kebelet sudah aku ingin merasakan kontol sang Kapten mengobrak-abrik kemaluanku. Lawanku itu membiarkan tanganku menaruh kontolnya di ambang lubang kemaluan milikku.

"Ah,"desahku akibat Sang Kapten mendorong masuk kontolnya.

Memejam mataku, membuka mulutku, membiarkan lepas nafasku, menikmati daging keras yang dengan perlahan menekan masuk di kedalaman lubang kemaluanku.

"Ah-ah--ah!"desahanku tak bisa aku bendung. Kontol lelaki ini maju mundur menyerang kemaluanku. Nikmat sekali.

Dua pahaku diambilnya dan diulurkannya memanjang ke atas. Dipeluknya kedua kakiku dan dia melanjutkan menggenjot kemaluanku. Jemari tanganku berpegangan ke seprai.

Desahanku terhenti karena dia mencabut kontolnya dari kemaluanku. Duduk dia dan membangunkan aku. Diajaknya aku menungging.

Dia menepuk pantatku yang telah menungging siap dia pompa. Menjengit tubuh ini karena jemarinya mengelus belahan pantatku, memainkan lubang anus.

"Jangan, Pak."Aku menjatuhkan diri ke kasur.

Sang Kapten menindih aku yang tengkurap. Tangannya masuk ke bawah, meremas dua payudaraku sementara bibirnya menciumi punggungku. Bibirnya berjalan. Dari punggung, naik ke pundak, ke leher, dan akhirnya diambilnya wajahku, diciumnya bibirku.

Puas dengan bibirku, dia bangkit. Ditariknya aku untuk kembali menungging. Melewatkan belahan pantatku, kontol itu menempel di kemaluan. Aku ambil kontolnya dan aku arahkan ke lubang kemaluan.

Hanya bisa melenguh aku manakala kontol itu masuk ke lubang kemaluan. Tangannya memegang erat pinggangku, lalu, kontol itu pun maju mundur. Ditariknya tanganku. Tegak aku di atas dengkulku dengan kontolnya masih menusuki kemaluan. Desahan terdengar.

"Aku mau keluar,"bisiknya.

Bersamaan dengan itu, dia mendorong aku rebah di kasur. Diangkatnya pantatku meninggi, lalu diterjangnya kemaluanku.

Plok-plok, plok-plok! Hanya itu yang terdengar di kamar ini karena selangkangannya mengenai pantatku yang ditimpali desahanku dan deru nafasnya. Sang Kapten mempercepat serangannya, hingga akhirnya percikan sperma menyiram lubang kemaluan.

Sang Kapten mendorong aku rebah. Ditimpanya aku. Nafasnya terdengar seksi di telingaku. Detak jantungnya terasa di punggungku. Lama kubiarkan dia menindihku, membiarkan dia mengelus leherku, memainkan bibirku. Keheningan pun mendekap.

"Mau pipis, Pak?"Akhirnya suaraku memecah keheningan kamar.

Bergeser dia, meninggalkan aku. Tetap berbaring. Membiarkan tubuhnya tetap telanjang. Karena tidak kutemukan pakaian di atas tempat tidur, kuambil selimut untuk menutupi ketelanjanganku. Tapi, dia menahannya. Menggeleng kepalanya sembari menarik kembali selimut yang kupegang. Sepertinya dia menginginkan aku tetap polos. Aku mengalah. Dengan tubuh telanjang, aku menuju kamar mandi. Tanpa menutup pintu, aku berjongkok dan mulai pipis.

Setelah pipis, aku berlama-lama dengan berkaca di cermin yang ada di kamar mandi sambil berharap lelaki itu mendatangiku. Karena lelaki itu tidak juga hadir, masih dengan ketelanjanganku, aku kembali ke tempat tidur. Tertumbuk mataku ke selangkangannya, ke arah senjatanya yang hitam mengacung itu. Sepertinya bakal ada serangan lagi, nih, pikirku.

"Sini, adik."Sang Kapten membuka kedua tangannya, mengajak aku jatuh ke dalam pelukannya.

Berbaring aku dalam pelukannya. Hangat. Kuambil tangan sang Kapten yang memelukku, melihat jam tangannya. Jarum jam menunjuk ke angka sebelas.

"Kenapa Tanti belum pulang, ya?"gumamku pelan seperti pada diriku sendiri.

Sang Kapten menggeser jatuh aku."Biar aku jemput. Sekalian beli makan siang kita."

Turun dia dari tempat tidur. Diam aku melihat dia mengenakan pakaian.

"Cium dulu."Dia mendekati aku. Aku pun mencium pipinya.

Begitu sang Kapten menghilang, aku buka tas bawaanku. Aku keluarkan kaos untuk aku bersalin pakaian untuk kemudian menuju kamar mandi. Aku perlu mandi untuk menyegarkan diri. Dengan menggunakan sabun milik sang Kapten, berlama-lama aku menyabuni diri. Setelah puas mandi, aku berpakaian, lalu keluar kamar.

Berdiri aku didepan cermin. Rambutku yang masih basah, aku sisir. Kaos putih yang aku kenakan terlihat seksi dengan beha hitam membayang. Begitupula jins pendek ketat yang memperlihatkan paha mulusku. Semoga dia senang dengan penampilanku ini.

Sembari menunggu kedatangan anak gadisku, aku menyiapkan susu di dalam botol untuk anak jantanku, lalu duduk aku di kursi dan menyantap kue yang ada di atas meja.

Pintu membuka, lalu,"Mama!"

Sambil berteriak, anak gadisku berlari ke arahku, memelukku. Mendengar teriakan kakaknya, anak jantanku terbangun dan mulai menangis. Maka, kudatangi tempat tidur, duduk di sana, lalu menepuk-nepuk pantat anak jantanku agar kembali tidur.

"Haus, Ma,"ucap Tanti.

Belum sempat aku beranjak, sang Kapten telah mengambil gelas dari meja, mengisinya dengan air minum, kemudian menyerahkannya ke anak gadisku. Gelas pun diserahkannya ke anak gadisku yang duduk disampingku.

Kapten yang duduk di kursi dan menghadap ke arahku, menatap aku dari atas ke bawah, ke atas lagi dan berhenti di payudaraku.

"Matanya,"ucapku kepadanya.

"Cantik sekali Adik."Sang Kapten mengedipkan sebelah matanya genit."Seksi sekali kaosnya."

"Makasih,"ucapku senang.

"Tanti lapar, tidak?"Dia bertanya pada anak gadisku.

"Sudah makan, Om. Tadi makan bareng Oom yang dibawah."

"Kakak main apa saja di bawah? Kenapa lama pulangnya?"tanyaku.

"Dilarang sama Oomnya pulang, Ma. Takut mengganggu Mama sama Oom, katanya."

Berbarengan sang Kapten dan aku tertawa.

III. Hari Ketiga

Di satu bantal yang sama, kepalaku dan kepala sang Kapten berada. Berdampingan kami berbaring di kasur. Masih telanjang dan kusut, kami saling diam. Menatap langit-langit yang sama. Keheningan yang menyergap, menekan dada, dan mengalirkan air mata. Isak pun terdengar. Pelan, sangat pelan. Aku berusaha menahan tangis ini.

"Mengapa menangis?"Kepalanya terangkat, memandang aku yang telanjang disampingnya.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tanpa mampu berucap. Aku takut tangisku mengeras bila membuka mulut.

"Aku sayang Adik,"kata itu terdengar manis di telingaku.

Suara sirene kapal terdengar keras dan panjang di luar sana, pertanda kapal telah mendekati dermaga, bersiap untuk merapat, untuk akhir perjalanan.

Membayangkan akan berakhirnya perjalanan ini, air mata tak mampu kutahan, satu per satu berlari turun karena aku sayang dia. Aku jatuh cinta dan karena itulah aku menangis. Aku menangis karena aku tahu tak akan bisa memiliki dia.

Jari-jarinya menghalau air mata dari pipiku. Ditariknya aku mendekat. Diciuminya rambutku, diciuminya mataku. Erat dia memelukku, membagi bersama detak jantung ini, merasakan kebersamaan irama napas kami.

"Adik jangan menangis. Kita 'kan masih bisa bertemu."

Ya, aku memang tidak boleh menangis. Buat apa aku menangis? Toh, dia tak akan bisa aku miliki. Jadi, biarlah aku nikmati jalinan asmara sesaat ini. Apakah yang aku jalani saat ini nafsu atau cinta, aku tak tahu. Hanya yang kufahami, aku mencintainya. Karena mencintainyalah aku menyerahkan apa yang bisa kuberi, melayaninya dengan sepenuh hati, ikhlas.

Berbaring kami, menyamping saling berhadapan. Dia mengelus pipiku dan kami bertatapan. Aku gerakkan jari tangan untuk mengusap dadanya, menyentuh puting susunya. Lalu kuambil bibirnya, mengulumnya. Diam sang Kapten membiarkan aku melampiaskan rasa cinta ini.

Kudorong dia rebah. Ke atas tubuhnya, aku naik. Berbaring dan melingkarkan tangan ke tubuhnya, erat aku memeluknya. Kepalaku menempel di dadanya, menikmati debaran jantungnya di telinga. Tangannya menelusuri punggungku, mengelus rambutku.

Aku tinggalkan dadanya. Kudatangi wajahnya. Mencium matanya, hidungnya, keningnya, semuanya aku cium. Kuciumi wajahnya, sepuas-puasnya. Pipinya aku raba agar aku bisa mengingat lekuk paras wajahnya.

"Ma, Mama."Satu suara lembut membangunkan kesadaranku. Aku menoleh, kutemui sepasang mata polos menatap aku, mamanya, dan Oom Kapten yang sama telanjang saling tindih.

Aku bangun dan duduk di atas pahanya. Tangan kami berpegangan erat. Lalu Kutatap anak gadisku.

"Adik mencari Mama,"ucapnya lagi.

"Kakak jagai adik dulu, ya. Kasih adik susu botol. Botolnya ada di atas meja."

Anak gadisku mundur meninggalkan kami. Kembali berdua kami. Kutatap dia yang berada dibawahku. Jemariku berpindah ke dadanya, mengelus bulu-bulu di dadanya yang lebih dominan putih sementara jari-jarinya memegang pinggangku. Perlahan didorongnya pantatku mundur.

Tersenyum aku karena ada yang mengganjal pantatku. Pelan-pelan aku gerakkan pantatku maju mundur, ke kiri ke kanan, memutarinya. Tersenyum sang Kapten dan diraihnya payudaraku, meremasnya, memilin-milin puting susunya.

Pantat aku angkat, aku rengkuh daging mengeras yang sudah tegak itu, dan mengarahkannya ke ambang lubang kemaluan. Lalu, saat aku tekan pantatku menurun, aku melenguh. Daging itu menancap dalam-dalam di kemaluanku. Sang Kapten tersenyum kepadaku, maka pantatku mulai aku maju mundurkan, lalu ke kiri ke kanan, dan maju mundur kembali. Makin lama makin cepat aku gerakkan.

Lenguhan sudah berganti desahan. Kedua tanganku berpegangan di dadanya dan badanku sedikit merunduk karena pantat sang Kapten melonjak-lonjak. Aku rebahkan tubuh, merapat kepadanya, dengan desahan menguar ketika kembali lelaki itu melonjak-lonjakkan pantatnya.

Tapi, tiba-tiba, kapal seperti membentur sesuatu. Anak gadisku berteriak ketakutan, menghambur mendekati kami, meninggalkan adiknya. Aku pun terkejut dibuatnya.

"Tidak apa-apa,"hibur sang Kapten."Itu berarti kapal sudah merapat."

Aku menjadi maklum. Lalu, kepada anak gadisku, aku berucap,"Kakak tidak usah takut. Kakak main lagi sama adik, ya."

Patuh sekali anak gadisku sore ini. Dia kembali menjauh dari kami.

"Kapalnya sudah merapat, kan?"tanyaku.

"Iya."

"Aku harus siap-siap. Aku belum merapikan pakaianku. Masih berantakan di luar."Aku hendak beranjak meninggalkan tubuhnya ketika dia menahanku, membalikkan aku. Kini aku berada dibawah tindihannya. Kontolnya merapat di selangkangan.

"Aku ini pejabat di kapal ini,"sambil meremas payudaraku, dia berkata,"Kalau aku mau Adik turun besok, siapa yang bisa marah?"

"Terserah yang punya kapallah, kalau begitu."Tersenyum aku, memeluknya kembali.

Dia pun memeluk aku. Kubiarkan dia mendorong masuk kontolnya ke kemaluanku dan, aku hanya bisa mendesah."Ah..."

Dengan kontol terus saja maju mundur di kemaluanku, dia mencecapi leherku, menjilati telingaku, membuat desahanku semakin deras keluar.

"Aku mau keluar, Dik,"bisiknya di telingaku. Bersamaan dengan itu, gerak maju mundur kontolnya semakin kencang menggagahiku hingga akhirnya dapat aku rasakan percikan air hangat memenuhi lubang kemaluan.

Terkapar dia di atas tubuhku. Ngos-ngosan napasnya. Sementara aku diam menikmati irama jantungnya, menikmati kontolnya yang perlahan mengecil dan lepas dari lubang kemaluan, menikmati aroma tubuhnya yang pasti tidak akan aku lupakan karena di detik-detik terakhir kebersamaan kami ini, aku ingin mengenang indahnya kebersamaan kami ini untuk menjadi kenangan terbaik.

IV. Hari Ini

Dan, kini, aku berada di sisi pinggir KM Kelud, berdiri pada pagar. Kupandang liuk memanjang yang kehitaman di kejauhan sana. Itu pulau Sumatera, kataku pelan. Suasana sepi. Hanya terdengar gemuruh ombak menerpa lambung kapal dan deru mesin. Di langit, rembulan penuh ditemani gemintang.

Aku menoleh ketika seseorang mendekat. Ikut berdiri dia di sampingku.

"Sudah hampir jam dua belas. Masuk, yuk, Ma,"kudengar dia berkata.

Sebenarnya aku belum hendak beranjak karena aku masih ingin menikmati malam ini karena aku pernah berada di sini, di tempat ini, pada jam yang sama bersama satu sosok yang telah menjejakkan kenangan dalam hidupku. Sosok yang mampu membuat aku merasakan indahnya jatuh cinta.

Masih terekam jelas diingatan. Selepas dari perjalanan tiga hari yang penuh kehangatan cinta dan birahi, hubunganku dengan sang Kapten masih berlanjut. Kami berkomunikasi melalui pesawat telepon. Maklum saja saat itu handphone masih menjadi barang mewah dan belum memasyarakatkan seperti saat ini.

Biar pun hanya berbagi rindu melalui pesawat telepon, tapi semua tetap indah. Sang Kapten tetap hadir dalam setiap ingatanku. Seiring berjalannya waktu, rindu pun kian tebal.

Setelah dua bulan di Jakarta, suamiku datang menjemput. Sayangnya, bersamanya, kami meninggalkan Jakarta menuju Medan dengan menggunakan transportasi darat, dengan bus antar kota antar provinsi. Tidak ada kapal laut, seperti yang aku harap.

Tapi, dengan sang Kapten, aku tetap berkomunikasi. Masih indah jalinan asmara kami. Pernah sang Kapten mengirimkan fotonya, tapi langsung aku sobek karena takut diketahui oleh suamiku.

Memasuki bulan ke tiga, sang Kapten menghilang. Menghilang bagai ditelan bumi. Tidak ada lagi telepon dari dia. Tidak ada lagi surat dari dia. Entah kemana aku harus mencari keberadaannya. Aku tidak bisa menghubunginya karena dia tidak meninggalkan nomor kontak yang bisa aku hubungi. Dia lebih sering menggunakan wartel, warung telekomunikasi, sarana berkomunikasi yang booming di era 90-an saat menghubungiku. Itu pun dari tempat-tempat yang berbeda. Sayangnya aku pun tidak mempunyai nomor telepon kantornya.

Aku hanya bisa menunggu dan terus menunggu kabar dari sang Kapten. Apakah dia sudah menemukan wanita lain sebagai penggantiku? Tapi, biarpun sudah ada penggantiku, seharusnya dia tidak melupakan aku secepat ini. Waktu terus berjalan. Sang Kapten masih menghilang.

Walaupun telah menghilang dan tetap menghilang sampai saat ini, sosok itu tidak mampu aku hilangkan dari kehidupanku. Meski aku belajar untuk melupakan dia, semua terasa sulit bagiku. Walaupun sakit hati ini, karena dia melupakan aku begitu saja, tapi cinta ini tak bisa pudar dan terus mengakar kuat.

"Masuk, Ma. Nanti masuk angin,"ucapnya untuk kedua kali.

Pandangan aku alihkan dari laut ke wajah yang ada disampingku. Wajah yang menghadirkan kerinduan akan kenangan masa lalu, setiap kali aku memandangnya. Itulah hasrat terbesar aku saat ini, mempertemukan mereka berdua agar sang Kapten mengetahui satu kebenaran.

"Mama diam terus. Ada apa?"tanyanya.

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku melangkah menjauhi pagar palka. Dari belakang, lelaki itu mengikuti langkahku. Kami masuk ke dalam kamar. Tidak berubah kamar ini. Masih ada tempat tidur yang menjorok masuk di dalamnya. Di depan tempat tidur tadi, terdapat meja kecil dengan dua kursi, sedangkan di sudut lain, ada tirai yang rapat tertutup. Masih sama seperti dulu saat aku diminta beristirahat di kamar ini oleh sang pemilik kamar.

Di dinding kamar, di atas meja kecil itu, terpasang gambar seorang lelaki muda. Gagah dengan seragam putihnya.

"Aku mau kontrol dulu, ya, Ma,"ucapnya.

Kutatap dia yang berdiri didepanku. Di pakaiannya tergantung badge nama: Bahari. Sebuah nama yang mengingatkan aku akan kehadiran seseorang dalam hidupku, nama yang terpatri indah dalam kenanganku. Suamiku setuju saat aku mengusulkan nama itu untuk anak kami.

Anak kami? Aku tidak tahu. Yang aku tahu aku hamil dan melahirkan Bahari, sembilan bulan setelah berlibur ke Jakarta ketika libur Natal.
Lebih aneh lagi, anak ketigaku ini sejak kecil menyukai laut dan kapal laut. Sang Kapten, dia kupanggil.

Mengikuti cita-citanya yang tidak pernah berubah, yaitu menjadi pelaut, maka setamat SMA, dia aku arahkan belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran dan sekarang dia kadet di kapal ini, kapal yang dua puluh satu tahun lalu menghadirkan kenangan bagiku.[wk]
Setahun sudah ternyata.
 
II. Hari Kedua

Pagi itu, laut tenang bergelombang. Aku berada di ruang rekreasi, dimana anak gadisku bermain bersama banyak anak-anak lain. Suasana hiruk dengan suara anak-anak yang ceria dan terkadang ditimpali teriakan para orang tua. Sambil menggendong anak jantanku, aku bersender di pagar pembatas agar mudah memantau keberadaan anak gadisku.

Perhatianku terpecah. Mataku mengarah kepada lelaki berseragam putih yang baru saja masuk ke dalam ruang rekreasi. Wajah tampannya menarik perhatian banyak perempuan yang berada di ruang rekreasi ini. Meski aku tahu matanya mencari keberadaan aku, beberapa kali lelaki berseragam putih itu berhenti karena diajak bercakap-cakap oleh perempuan-perempuan yang dengan sok akrab menyapanya. Tidak suka aku melihat dia meladeni kegenitan perempuan-perempuan itu.

Jantung ini bergemuruh saat dia berjalan ke arahku. Dilema melanda. Apakah aku harus berpura-pura tidak mengenalnya agar tidak menarik perhatian penumpang lain, terutama kaum hawa yang mendadak menjadi genit itu, atau haruskah aku menyambut kedatangannya dengan satu senyuman dan sebuah ucapan seperti yang dilakukan para perempuan lain di ruang rekreasi ini?

Akhirnya, kupilih alternatif pertama bahwa aku harus pura-pura tidak mengenalnya. Padahal sangat ingin kusambut kedatangannya, sangat ingin kutunjukkan pada dunia betapa lelaki ini adalah milikku.

"Selamat pagi,"sapanya ramah setelah berdiri didepanku.

Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala untuk kemudian mengarahkan pandangan ke kumpulan anak-anak yang riang bermain. Pura-pura abai dengan kehadirannya.

Lelaki itu berdiri disampingku. Rasa bahagia menyergap. Ah, semoga tidak ada orang, terutama kaum hawa, yang memerhatikan perubahan di wajah ini. Aku berusaha tenang, tapi, sumpah! Aku benar-benar di mabuk asmara. Jatuh cinta kepada lelaki ini. Aku sangat ingin jika semua orang yang ada di ruang ini mengetahui kalau semalam aku berada di kamarnya.

Seandainya mereka, perempuan-perempuan itu, tahu kalau semalam kami berbagi kehangatan, bagaimana pendapat mereka, ya? Pikirku nakal.

"Adik cantik sekali pagi ini," ucapnya pelan tapi memabukkan, "Cantik seperti yang kulihat semalam."

Kami bertatapan. Hanya sebentar. Mata lelaki itu mengarah ke tempat beberapa perempuan muda bercengkrama riang dan tertawa bahagia.

"Semuanya cantik. Tinggal pilih mana yang disuka,"ujarku, dengan nada rasa cemburu.

"Semua cantik, tapi tidak ada yang mampu menggugah hati ini."Suara lelaki itu seperti berbicara dengan dirinya sendiri."Dan baru kemarin aku bertemu orang tersebut."

Mendengar gombalannya, dada ini berbunga-bunga. Bahagia. Dasar perempuan!

Dia berbalik, menghadap ke pagar pembatas, menatap keluar, ke laut lepas yang mengelilingi kami. Lalu, "Ada waktu pagi ini?"

Aku termangu mendengar ajakannya yang tanpa basa-basi itu. Ingin kutatap dia untuk memastikan, tapi tidak ada keberanian.

"Aku tunggu di kamar."Tanpa menghiraukan aku, sang Kapten berlalu.

Setelah sang Kapten menghilang dari ruang rekreasi, secepatnya aku mendatangi tempat anak gadisku bermain. Sayangnya, Tanti tidak mau aku ajak pulang ke kamar. Belum puas dia bermain. Aduh! Bingung aku jadinya. Apa yang harus kulakukan?

Haleluyah! Tuhan memang baik. Di saat kebingungan melanda, tangan Tuhan membantu aku. Seorang ibu bersedia menjaga anak gadisku.

Setelah menitipkan Tanti dan mewanti-wanti agar dia tidak nakal, sambil tetap menggendong anak jantanku, bergegas aku ke luar ruang rekreasi. Kuselusuri dek kapal yang dipenuhi manusia itu. Aku harus secepatnya tiba di kamar karena aku harus mempersiapkan diri terlebih dulu. Aku 'kan harus tampil sempurna dihadapannya.

Beruntunglah aku. Kamar masih terkunci. Berarti sang Kapten belum ada di kamar. Secepatnya aku mengeluarkan kunci dari tas sandangku dan membuka pintu kamar. Oh ya, dengan alasan agar aku bisa bebas keluar masuk kamar, sang Kapten menitipkan satu anak kunci untuk aku pegang. Setelah menaruh anak jantanku di tempat tidur dan memberinya botol susu, kutuju kamar mandi, dan menelanjangi diri. Untung saja anak jantanku seperti memahami keadaan mamanya sehingga mau aku tinggal mandi. Tanpa membuang waktu, aku mandi, walau pun hanya sebentar aku mandi, hanya untuk membuang keringat dan agar tubuhku segar untuk dinikmati lelaki itu.

Dengan hanya berlilitkan handuk menutupi tubuh telanjangku, aku keluar kamar mandi, tetapi, sungguh terkejut aku karena didepanku, kutemui senyuman memabukkan itu. Lelaki yang duduk di kursi sambil memangku anak jantanku itu memandang aku.

Spontan telapak tanganku menutupi belahan payudara sementara tangan satunya mengarah ke bawah untuk menutupi selangkangan. Biar pun semalam puas dia menikmati tubuhku, tapi masih ada rasa malu melihat matanya yang buas menatap aku.

Dengan anak jantanku masih berada dalam gendongannya, sang Kapten berdiri dan melangkahkan kaki mendekatiku. Mematung aku. Kencang berdetak jantungku. Aku hanya bisa menatapnya, tapi aku sudah siap untuk dia telanjangi.

"Tanti mana?"tanyanya.

"T-Tanti tidak mau diajak pulang,"jawabku gugup,"tapi, sudah kutitip dengan ibu yang anaknya bermain dengannya."

Sang Kapten menuju meja kerjanya. Diangkatnya pesawat telepon, menekan tombol-tombolnya, dan, setelah menunggu lama, dia pun berbicara dengan seseorang di seberang sana.

Tak lama kemudian, dia meletakkan kembali gagang pesawat telepon, dan"Sudah aku minta a-be-ka untuk mengantarkan kemari bila anakmu minta ketemu Mamanya."

Kuberikan dia satu senyuman sebagai tanda terima kasih, tetapi lelaki itu tidak menyambutnya. Dia menatap ke arah aku, membuat aku gugup, gugup menunggu dia membawa aku ke pembaringan.

Sayangnya, anak jantanku yang sedari tadi dia gendong merengek. Tangannya menggapai-gapai ke arahku, mamanya, agar aku mengambilnya. Setelah berada dalam gendonganku, anak jantanku masih merengek, tangannya masuk ke dalam handuk, meraba payudaraku, mencari puting susu.

Terlihat kekecewaan di wajah tampan sang Kapten saat aku membawa anak jantanku rebah di tempat tidur. Segera kubuka lilitan handuk, mengeluarkan payudara dan menyodorkannya ke mulut anak jantanku. Nikmat sekali anak jantanku menyedot-nyedot puting susuku sementara tangannya memilin-milin puting susu satunya.

Duduk sang Kapten di depanku, menonton aku yang menyusui anakku. Tersipu aku jadinya. Dengan telapak tangan, seadanya aku tutupi payudaraku sementara mataku beralih menatap anak jantanku yang mulai lelap.

"Kayaknya enak, ya, susu Adik?"guraunya.

Kutatap dia dan tersenyum menanggapi gurauannya, tapi sang Kapten belum beranjak dari depanku, membuat aku salah tingkah. Telapak tangan masih aku letakkan di payudaraku.

"Sekarang jatahnya untuk anak."Satu senyuman aku hadirkan untuk sang Kapten."Yang lain, harap sabar menunggu."

Tersenyum dia. Lalu,"Sepertinya masih lama jatah untukku, ya."

Aku balik tersenyum. Menatap dia dengan penuh cinta.

Sang Kapten meninggalkan tempat duduknya. Berlalu dia dari hadapanku. Tapi, tak lama kemudian, tempat tidur di belakangku memberat. Rupanya dia rebah dibelakangku. Dapat aku rasakan kalau dia mendekati aku. Nafasnya berhembus di leherku, lalu disibaknya rambutku yang menutupi leher. Perlahan bibir sang Kapten menempel dan mencumbui pundakku, membuat aku menggelinjang geli.

"Anakku masih menyusu,"ucapku sembari menghalau bibirnya dari leherku.

Sang Kapten meninggalkan aku. Duduk dia dibelakangku. Tangannya jatuh di pahaku, mengelusnya. Handuk yang menutupi pahaku dia tarik turun, membiarkan tubuhku tanpa penutup.

Hangat nafasnya terasa di pahaku. Bibirnya menempel di pahaku, mulai menciuminya. Sambil tetap menciumi pahaku, jari-jemarinya menggelitiki pahaku, mengelusnya. Lelaki dibelakangku itu berbaring. Kini mulutnya menjamah pantatku. Tangannya melingkar di pahaku, menggapai kemaluanku. Bergidik aku jadinya.

Tertawa aku. Geli karena kepalanya mendesak masuk di antara dua pahaku. Maka aku angkat paha kiriku meninggi. Kepalanya pun muncul dari antara dua paha. Lalu, ah! Menjenjit aku ketika bibirnya mencumbui kemaluanku. Kutahan nafasku ketika lidahnya menari-nari di belahan memanjangnya, menusuk masuk, sementara jari-jari tangannya mengelus bulu-bulu di kelamin.

Kemaluanku dia tinggalkan. Melalui pundakku, dia mengintip anak jantanku yang terpejam tapi mulutnya masih menyosor di puting susu. Pasrah aku manakala sang Kapten menelentangkan aku. Dibukanya lebar dua pahaku. Dua tangannya menjejak di kiri dan kanan tubuhku, lalu selangkangannya menindih selangkangankul. Dengan sangat pintar, kontol itu menggesek-gesek areal kemaluanku, tanpa mau masuk ke lubang kemaluan yang sudah banjir. Nakal sekali lelaki ini. Dia hanya menekan-nekankan batangan daging mengeras itu di ambang lubang kemaluan milikku, menggesek-gesekkannya di belahan memanjang yang ada di selangkangan itu, serta kembali menekan-nekannya.

Tidak mau berlama-lama lagi, karena birahi sudah memenuhi otakku, kuambil batang daging itu. Kebelet sudah aku ingin merasakan kontol sang Kapten mengobrak-abrik kemaluanku. Lawanku itu membiarkan tanganku menaruh kontolnya di ambang lubang kemaluan milikku.

"Ah,"desahku akibat Sang Kapten mendorong masuk kontolnya.

Memejam mataku, membuka mulutku, membiarkan lepas nafasku, menikmati daging keras yang dengan perlahan menekan masuk di kedalaman lubang kemaluanku.

"Ah-ah--ah!"desahanku tak bisa aku bendung. Kontol lelaki ini maju mundur menyerang kemaluanku. Nikmat sekali.

Dua pahaku diambilnya dan diulurkannya memanjang ke atas. Dipeluknya kedua kakiku dan dia melanjutkan menggenjot kemaluanku. Jemari tanganku berpegangan ke seprai.

Desahanku terhenti karena dia mencabut kontolnya dari kemaluanku. Duduk dia dan membangunkan aku. Diajaknya aku menungging.

Dia menepuk pantatku yang telah menungging siap dia pompa. Menjengit tubuh ini karena jemarinya mengelus belahan pantatku, memainkan lubang anus.

"Jangan, Pak."Aku menjatuhkan diri ke kasur.

Sang Kapten menindih aku yang tengkurap. Tangannya masuk ke bawah, meremas dua payudaraku sementara bibirnya menciumi punggungku. Bibirnya berjalan. Dari punggung, naik ke pundak, ke leher, dan akhirnya diambilnya wajahku, diciumnya bibirku.

Puas dengan bibirku, dia bangkit. Ditariknya aku untuk kembali menungging. Melewatkan belahan pantatku, kontol itu menempel di kemaluan. Aku ambil kontolnya dan aku arahkan ke lubang kemaluan.

Hanya bisa melenguh aku manakala kontol itu masuk ke lubang kemaluan. Tangannya memegang erat pinggangku, lalu, kontol itu pun maju mundur. Ditariknya tanganku. Tegak aku di atas dengkulku dengan kontolnya masih menusuki kemaluan. Desahan terdengar.

"Aku mau keluar,"bisiknya.

Bersamaan dengan itu, dia mendorong aku rebah di kasur. Diangkatnya pantatku meninggi, lalu diterjangnya kemaluanku.

Plok-plok, plok-plok! Hanya itu yang terdengar di kamar ini karena selangkangannya mengenai pantatku yang ditimpali desahanku dan deru nafasnya. Sang Kapten mempercepat serangannya, hingga akhirnya percikan sperma menyiram lubang kemaluan.

Sang Kapten mendorong aku rebah. Ditimpanya aku. Nafasnya terdengar seksi di telingaku. Detak jantungnya terasa di punggungku. Lama kubiarkan dia menindihku, membiarkan dia mengelus leherku, memainkan bibirku. Keheningan pun mendekap.

"Mau pipis, Pak?"Akhirnya suaraku memecah keheningan kamar.

Bergeser dia, meninggalkan aku. Tetap berbaring. Membiarkan tubuhnya tetap telanjang. Karena tidak kutemukan pakaian di atas tempat tidur, kuambil selimut untuk menutupi ketelanjanganku. Tapi, dia menahannya. Menggeleng kepalanya sembari menarik kembali selimut yang kupegang. Sepertinya dia menginginkan aku tetap polos. Aku mengalah. Dengan tubuh telanjang, aku menuju kamar mandi. Tanpa menutup pintu, aku berjongkok dan mulai pipis.

Setelah pipis, aku berlama-lama dengan berkaca di cermin yang ada di kamar mandi sambil berharap lelaki itu mendatangiku. Karena lelaki itu tidak juga hadir, masih dengan ketelanjanganku, aku kembali ke tempat tidur. Tertumbuk mataku ke selangkangannya, ke arah senjatanya yang hitam mengacung itu. Sepertinya bakal ada serangan lagi, nih, pikirku.

"Sini, adik."Sang Kapten membuka kedua tangannya, mengajak aku jatuh ke dalam pelukannya.

Berbaring aku dalam pelukannya. Hangat. Kuambil tangan sang Kapten yang memelukku, melihat jam tangannya. Jarum jam menunjuk ke angka sebelas.

"Kenapa Tanti belum pulang, ya?"gumamku pelan seperti pada diriku sendiri.

Sang Kapten menggeser jatuh aku."Biar aku jemput. Sekalian beli makan siang kita."

Turun dia dari tempat tidur. Diam aku melihat dia mengenakan pakaian.

"Cium dulu."Dia mendekati aku. Aku pun mencium pipinya.

Begitu sang Kapten menghilang, aku buka tas bawaanku. Aku keluarkan kaos untuk aku bersalin pakaian untuk kemudian menuju kamar mandi. Aku perlu mandi untuk menyegarkan diri. Dengan menggunakan sabun milik sang Kapten, berlama-lama aku menyabuni diri. Setelah puas mandi, aku berpakaian, lalu keluar kamar.

Berdiri aku didepan cermin. Rambutku yang masih basah, aku sisir. Kaos putih yang aku kenakan terlihat seksi dengan beha hitam membayang. Begitupula jins pendek ketat yang memperlihatkan paha mulusku. Semoga dia senang dengan penampilanku ini.

Sembari menunggu kedatangan anak gadisku, aku menyiapkan susu di dalam botol untuk anak jantanku, lalu duduk aku di kursi dan menyantap kue yang ada di atas meja.

Pintu membuka, lalu,"Mama!"

Sambil berteriak, anak gadisku berlari ke arahku, memelukku. Mendengar teriakan kakaknya, anak jantanku terbangun dan mulai menangis. Maka, kudatangi tempat tidur, duduk di sana, lalu menepuk-nepuk pantat anak jantanku agar kembali tidur.

"Haus, Ma,"ucap Tanti.

Belum sempat aku beranjak, sang Kapten telah mengambil gelas dari meja, mengisinya dengan air minum, kemudian menyerahkannya ke anak gadisku. Gelas pun diserahkannya ke anak gadisku yang duduk disampingku.

Kapten yang duduk di kursi dan menghadap ke arahku, menatap aku dari atas ke bawah, ke atas lagi dan berhenti di payudaraku.

"Matanya,"ucapku kepadanya.

"Cantik sekali Adik."Sang Kapten mengedipkan sebelah matanya genit."Seksi sekali kaosnya."

"Makasih,"ucapku senang.

"Tanti lapar, tidak?"Dia bertanya pada anak gadisku.

"Sudah makan, Om. Tadi makan bareng Oom yang dibawah."

"Kakak main apa saja di bawah? Kenapa lama pulangnya?"tanyaku.

"Dilarang sama Oomnya pulang, Ma. Takut mengganggu Mama sama Oom, katanya."

Berbarengan sang Kapten dan aku tertawa.

III. Hari Ketiga

Di satu bantal yang sama, kepalaku dan kepala sang Kapten berada. Berdampingan kami berbaring di kasur. Masih telanjang dan kusut, kami saling diam. Menatap langit-langit yang sama. Keheningan yang menyergap, menekan dada, dan mengalirkan air mata. Isak pun terdengar. Pelan, sangat pelan. Aku berusaha menahan tangis ini.

"Mengapa menangis?"Kepalanya terangkat, memandang aku yang telanjang disampingnya.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tanpa mampu berucap. Aku takut tangisku mengeras bila membuka mulut.

"Aku sayang Adik,"kata itu terdengar manis di telingaku.

Suara sirene kapal terdengar keras dan panjang di luar sana, pertanda kapal telah mendekati dermaga, bersiap untuk merapat, untuk akhir perjalanan.

Membayangkan akan berakhirnya perjalanan ini, air mata tak mampu kutahan, satu per satu berlari turun karena aku sayang dia. Aku jatuh cinta dan karena itulah aku menangis. Aku menangis karena aku tahu tak akan bisa memiliki dia.

Jari-jarinya menghalau air mata dari pipiku. Ditariknya aku mendekat. Diciuminya rambutku, diciuminya mataku. Erat dia memelukku, membagi bersama detak jantung ini, merasakan kebersamaan irama napas kami.

"Adik jangan menangis. Kita 'kan masih bisa bertemu."

Ya, aku memang tidak boleh menangis. Buat apa aku menangis? Toh, dia tak akan bisa aku miliki. Jadi, biarlah aku nikmati jalinan asmara sesaat ini. Apakah yang aku jalani saat ini nafsu atau cinta, aku tak tahu. Hanya yang kufahami, aku mencintainya. Karena mencintainyalah aku menyerahkan apa yang bisa kuberi, melayaninya dengan sepenuh hati, ikhlas.

Berbaring kami, menyamping saling berhadapan. Dia mengelus pipiku dan kami bertatapan. Aku gerakkan jari tangan untuk mengusap dadanya, menyentuh puting susunya. Lalu kuambil bibirnya, mengulumnya. Diam sang Kapten membiarkan aku melampiaskan rasa cinta ini.

Kudorong dia rebah. Ke atas tubuhnya, aku naik. Berbaring dan melingkarkan tangan ke tubuhnya, erat aku memeluknya. Kepalaku menempel di dadanya, menikmati debaran jantungnya di telinga. Tangannya menelusuri punggungku, mengelus rambutku.

Aku tinggalkan dadanya. Kudatangi wajahnya. Mencium matanya, hidungnya, keningnya, semuanya aku cium. Kuciumi wajahnya, sepuas-puasnya. Pipinya aku raba agar aku bisa mengingat lekuk paras wajahnya.

"Ma, Mama."Satu suara lembut membangunkan kesadaranku. Aku menoleh, kutemui sepasang mata polos menatap aku, mamanya, dan Oom Kapten yang sama telanjang saling tindih.

Aku bangun dan duduk di atas pahanya. Tangan kami berpegangan erat. Lalu Kutatap anak gadisku.

"Adik mencari Mama,"ucapnya lagi.

"Kakak jagai adik dulu, ya. Kasih adik susu botol. Botolnya ada di atas meja."

Anak gadisku mundur meninggalkan kami. Kembali berdua kami. Kutatap dia yang berada dibawahku. Jemariku berpindah ke dadanya, mengelus bulu-bulu di dadanya yang lebih dominan putih sementara jari-jarinya memegang pinggangku. Perlahan didorongnya pantatku mundur.

Tersenyum aku karena ada yang mengganjal pantatku. Pelan-pelan aku gerakkan pantatku maju mundur, ke kiri ke kanan, memutarinya. Tersenyum sang Kapten dan diraihnya payudaraku, meremasnya, memilin-milin puting susunya.

Pantat aku angkat, aku rengkuh daging mengeras yang sudah tegak itu, dan mengarahkannya ke ambang lubang kemaluan. Lalu, saat aku tekan pantatku menurun, aku melenguh. Daging itu menancap dalam-dalam di kemaluanku. Sang Kapten tersenyum kepadaku, maka pantatku mulai aku maju mundurkan, lalu ke kiri ke kanan, dan maju mundur kembali. Makin lama makin cepat aku gerakkan.

Lenguhan sudah berganti desahan. Kedua tanganku berpegangan di dadanya dan badanku sedikit merunduk karena pantat sang Kapten melonjak-lonjak. Aku rebahkan tubuh, merapat kepadanya, dengan desahan menguar ketika kembali lelaki itu melonjak-lonjakkan pantatnya.

Tapi, tiba-tiba, kapal seperti membentur sesuatu. Anak gadisku berteriak ketakutan, menghambur mendekati kami, meninggalkan adiknya. Aku pun terkejut dibuatnya.

"Tidak apa-apa,"hibur sang Kapten."Itu berarti kapal sudah merapat."

Aku menjadi maklum. Lalu, kepada anak gadisku, aku berucap,"Kakak tidak usah takut. Kakak main lagi sama adik, ya."

Patuh sekali anak gadisku sore ini. Dia kembali menjauh dari kami.

"Kapalnya sudah merapat, kan?"tanyaku.

"Iya."

"Aku harus siap-siap. Aku belum merapikan pakaianku. Masih berantakan di luar."Aku hendak beranjak meninggalkan tubuhnya ketika dia menahanku, membalikkan aku. Kini aku berada dibawah tindihannya. Kontolnya merapat di selangkangan.

"Aku ini pejabat di kapal ini,"sambil meremas payudaraku, dia berkata,"Kalau aku mau Adik turun besok, siapa yang bisa marah?"

"Terserah yang punya kapallah, kalau begitu."Tersenyum aku, memeluknya kembali.

Dia pun memeluk aku. Kubiarkan dia mendorong masuk kontolnya ke kemaluanku dan, aku hanya bisa mendesah."Ah..."

Dengan kontol terus saja maju mundur di kemaluanku, dia mencecapi leherku, menjilati telingaku, membuat desahanku semakin deras keluar.

"Aku mau keluar, Dik,"bisiknya di telingaku. Bersamaan dengan itu, gerak maju mundur kontolnya semakin kencang menggagahiku hingga akhirnya dapat aku rasakan percikan air hangat memenuhi lubang kemaluan.

Terkapar dia di atas tubuhku. Ngos-ngosan napasnya. Sementara aku diam menikmati irama jantungnya, menikmati kontolnya yang perlahan mengecil dan lepas dari lubang kemaluan, menikmati aroma tubuhnya yang pasti tidak akan aku lupakan karena di detik-detik terakhir kebersamaan kami ini, aku ingin mengenang indahnya kebersamaan kami ini untuk menjadi kenangan terbaik.

IV. Hari Ini

Dan, kini, aku berada di sisi pinggir KM Kelud, berdiri pada pagar. Kupandang liuk memanjang yang kehitaman di kejauhan sana. Itu pulau Sumatera, kataku pelan. Suasana sepi. Hanya terdengar gemuruh ombak menerpa lambung kapal dan deru mesin. Di langit, rembulan penuh ditemani gemintang.

Aku menoleh ketika seseorang mendekat. Ikut berdiri dia di sampingku.

"Sudah hampir jam dua belas. Masuk, yuk, Ma,"kudengar dia berkata.

Sebenarnya aku belum hendak beranjak karena aku masih ingin menikmati malam ini karena aku pernah berada di sini, di tempat ini, pada jam yang sama bersama satu sosok yang telah menjejakkan kenangan dalam hidupku. Sosok yang mampu membuat aku merasakan indahnya jatuh cinta.

Masih terekam jelas diingatan. Selepas dari perjalanan tiga hari yang penuh kehangatan cinta dan birahi, hubunganku dengan sang Kapten masih berlanjut. Kami berkomunikasi melalui pesawat telepon. Maklum saja saat itu handphone masih menjadi barang mewah dan belum memasyarakatkan seperti saat ini.

Biar pun hanya berbagi rindu melalui pesawat telepon, tapi semua tetap indah. Sang Kapten tetap hadir dalam setiap ingatanku. Seiring berjalannya waktu, rindu pun kian tebal.

Setelah dua bulan di Jakarta, suamiku datang menjemput. Sayangnya, bersamanya, kami meninggalkan Jakarta menuju Medan dengan menggunakan transportasi darat, dengan bus antar kota antar provinsi. Tidak ada kapal laut, seperti yang aku harap.

Tapi, dengan sang Kapten, aku tetap berkomunikasi. Masih indah jalinan asmara kami. Pernah sang Kapten mengirimkan fotonya, tapi langsung aku sobek karena takut diketahui oleh suamiku.

Memasuki bulan ke tiga, sang Kapten menghilang. Menghilang bagai ditelan bumi. Tidak ada lagi telepon dari dia. Tidak ada lagi surat dari dia. Entah kemana aku harus mencari keberadaannya. Aku tidak bisa menghubunginya karena dia tidak meninggalkan nomor kontak yang bisa aku hubungi. Dia lebih sering menggunakan wartel, warung telekomunikasi, sarana berkomunikasi yang booming di era 90-an saat menghubungiku. Itu pun dari tempat-tempat yang berbeda. Sayangnya aku pun tidak mempunyai nomor telepon kantornya.

Aku hanya bisa menunggu dan terus menunggu kabar dari sang Kapten. Apakah dia sudah menemukan wanita lain sebagai penggantiku? Tapi, biarpun sudah ada penggantiku, seharusnya dia tidak melupakan aku secepat ini. Waktu terus berjalan. Sang Kapten masih menghilang.

Walaupun telah menghilang dan tetap menghilang sampai saat ini, sosok itu tidak mampu aku hilangkan dari kehidupanku. Meski aku belajar untuk melupakan dia, semua terasa sulit bagiku. Walaupun sakit hati ini, karena dia melupakan aku begitu saja, tapi cinta ini tak bisa pudar dan terus mengakar kuat.

"Masuk, Ma. Nanti masuk angin,"ucapnya untuk kedua kali.

Pandangan aku alihkan dari laut ke wajah yang ada disampingku. Wajah yang menghadirkan kerinduan akan kenangan masa lalu, setiap kali aku memandangnya. Itulah hasrat terbesar aku saat ini, mempertemukan mereka berdua agar sang Kapten mengetahui satu kebenaran.

"Mama diam terus. Ada apa?"tanyanya.

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku melangkah menjauhi pagar palka. Dari belakang, lelaki itu mengikuti langkahku. Kami masuk ke dalam kamar. Tidak berubah kamar ini. Masih ada tempat tidur yang menjorok masuk di dalamnya. Di depan tempat tidur tadi, terdapat meja kecil dengan dua kursi, sedangkan di sudut lain, ada tirai yang rapat tertutup. Masih sama seperti dulu saat aku diminta beristirahat di kamar ini oleh sang pemilik kamar.

Di dinding kamar, di atas meja kecil itu, terpasang gambar seorang lelaki muda. Gagah dengan seragam putihnya.

"Aku mau kontrol dulu, ya, Ma,"ucapnya.

Kutatap dia yang berdiri didepanku. Di pakaiannya tergantung badge nama: Bahari. Sebuah nama yang mengingatkan aku akan kehadiran seseorang dalam hidupku, nama yang terpatri indah dalam kenanganku. Suamiku setuju saat aku mengusulkan nama itu untuk anak kami.

Anak kami? Aku tidak tahu. Yang aku tahu aku hamil dan melahirkan Bahari, sembilan bulan setelah berlibur ke Jakarta ketika libur Natal.
Lebih aneh lagi, anak ketigaku ini sejak kecil menyukai laut dan kapal laut. Sang Kapten, dia kupanggil.

Mengikuti cita-citanya yang tidak pernah berubah, yaitu menjadi pelaut, maka setamat SMA, dia aku arahkan belajar di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran dan sekarang dia kadet di kapal ini, kapal yang dua puluh satu tahun lalu menghadirkan kenangan bagiku.[wk]
Jujur...saya sangat suka dan sll menantikan karya suhu wangikehudupan, sll trbaik dan sngt dinikmati....smoga semakin sukses dgn karya2 trbaik
 
Izin ngki disini om :beer: meski dah kadaluarsa juga
 
Terakhir diubah:
sik asik sik.. tapi perasaan ada cerita lain yg mirip2 juga ya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd