Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Kisah Cinta di Kantor Desa

Status
Please reply by conversation.
Bagian 3 : Enaknya Hidup di Desa

Rian POV


Sesampai dirumah, aku parkir sepeda motor dan menuju ke dapur untuk menyimpan sayuran yang baru saja dibeli. Kulihat sekeliling dapur yang terlihat kosong, hanya ada kompor gas di bagian selatan dapur selain tempat nasi dan lauknya.

Dengan santai aku melangkah ke kamar dan tanpa membuka pakaian, kurebahkan badan yang terasa penat diatas kasur. Sambil memandang langit-langit kamar, berbagai macam kenangan dari masa lalu seperti diputar kembali. Bagaimana ayah dan ibu meninggalkanku sejak kecil, hingga hanya tersisa kakek yang merawatku sampai SMA dan ketika aku bingung hendak lanjut kuliah atau tidak, kakek pun pergi meninggalkanku.

Mungkin semua sudah takdir, walaupun dengan keadaan yang pas-pasan, namun dengan beasiswa yang kuraih, akhirnya 4 tahun masa kuliah bisa diselesaikan dengan cukup memuaskan. Sepeda motor, handphone, bahkan laptop bisa kubeli, walaupun bukan dalam kondisi baru, namun setidaknya bisa berfungsi dengan baik.




Ringtone dari Bondan menyadarkanku dari lamunan, dengan malas kuambil handphone dan melihat sebuah panggilan WA dari nomor tak dikenal.

“Halo, selamat siang….”

“Bil Kadek, Ne Vian, simpan ya...” suara Vian terdengar diiringi suara penggorengan di latar belakangnya.

“Sipppp…. ” sahutku singkat.

“Oke Bli Dek,” sahutnya sambil menutup panggilan.

Kusimpan nomernya sambil mengenang kejadian tadi. Saat tes maupun saat di warung nya Vian. Mau tak mau aku teringat kondom yang jatuh dari tas nya Irina dan tersenyum ketika mengingat kalau itu dikira balon oleh Vian.

“Aii...Irina..Irina...” gumamku sambil mengingat badan yang seksi dengan pantat dan dada yang menyembul.

Setelah beberapa lama ku ganti pakaian dan menuju ke dapur untuk menyiapkan makanan, yah, walaupun cuma nasi goreng untuk siang ini.

Selesai makan kulihat ada WA masuk di HP ku, satu nomor baru terlihat lagi disana. Dari profil picturenya sepertinya itu Irina.

“Bli Dek, ini Irina...”

“Yups, tak simpan sekarang ya,”

“Apanya disimpan Bli Dek?”

“Nomernya lah, apanya men?”

“Ouwh… Tak kira Iriina yang mau disimpan,hihihi ”

“Emang mau?”

“Mau lah, ngapain gak?”

“Yuk nae sini, mulai sekarang tak simpen, hahaha”

“Emang berani?”

“Ngapain gak?”

“Duh, entar ada yang marah lagi?”

“Wkwkwkw… Yang resmi udah gak ada yang marah kok”

“Wuih, yang gak resmi berarti banyak dong?”

“Adalah, mau jadi yang gak resmi juga?”

“Emang punya apa?”

“Irina mau apa?”

“Coklat”

“Yang batangan aja ada, mau? Hahaha”

“Iiihhh… Gak...ah..***k nolak maksudnya hihihi, udah dulu Bli Dek, ne anaknya mau mimik susu, ”

Aiihhhhh… Irina...Irina….

Sambil menghela nafas aku mengganti pakaian dengan celana pendek dan kaos lalu mengambil sapu dan mulai membersihkan kamar dan halaman. Sejak kuliah, praktis rumah ini kosong hanya sesekali ditengok oleh sepupu. Rumah dengan konsep bali, ada bale daja, bale dangin, bale dauh, paon dan kamar mandi sekaligus toilet. Sebagian kamar kosong,perabotan pun nyaris tak ada, baru ketika selesai kuliah aku bisa merawat kembali rumah ini dan membeli barang-barang keperluan pokok.

Untungnya, akses listrik dan air bisa dengan mudah dicari sehingga setidaknya untuk mandi dan keperluan yang lain lebih mudah. Hanya saja, akses internet tidak ada dan kalau menggunakan paket internet dari provider seluler, biaya akan membengkak. Moga saja ada paket promo dari perusahaan pelat merah sehingga aku bisa melakukan pekerjaan sampingan dari rumah.

Empat tahun kuliah, namun terus terang tidak banyak ilmu dari bangku kuliah yang bisa diterapkan dalam pekerjaan atau kehidupan sehari-hariku. Justru, pergaulan dengan teman-teman semasa kuliah yang membuatku bisa bertahan hidup dengan melakukan berbagai pekerjaan sampingan semasa kuliah dan akan coba ku teruskan sekarang, yah, walaupun prospeknya tidak sebanyak saat kuliah.

Sebagai contoh, perbaikan komputer, kalau semasa kuliah ada saja teman yang perlu bantuan untuk perbaikan komputernya, walaupun kadang-kadang upahnya hanya beberapa bungkus mie instan! Namun, setidaknya itu cukup untuk makan beberapa hari.

Kalau sekarang, entah pekerjaan sampingan apa yang bisa aku lakukan di desa yang cukup jauh dari pusat keramaian ini. Sambil membersihkan kamar kutata laptop dan mengaturnya biar rapi diatas meja. Kemudian kukeluarkan sisa-sisa barang dari jaman kuliah dari tas didalam lemari. Ada beberapa diktat kuliah, celengan, bahkan ada teropong yang sering kami pakai untuk mengintip cewek-cewek tetangga kosan!

Sore harinya aku berjalan menuju sungai kecil yang berjarak sekitar 5 meter di sebelah timur rumah. Sungai yang dulu berfungsi sebagai sumber mata air utama dan tempat mandi masa kecilku, posisinya yang menurun dari arah rumah sehingga dulu aku dengan mudah bisa mengintip cewek-cewek tetangga yang mandi disana. Sayangnya sekarang sudah jarang ada yang mandi di sungai ini. Seingatku disebelah timur sungai ada tegalan yang sebagian besar berisi pohon kelapa milik warga dusun yang jarang dikunjungi nya.

Sekian lama aku berjalan, di kejauhan kudengar suara seperti desahan.

Eh, desahan???

Siapa nih main kuda-kudaan di tegalan? Gak takut apa itunya digigit semut pikirku sambil dengan pelan-pelan mendekat kearah sumber suara desahan itu.

Sialan, kenapa gak bawa teropong tadi? Kan dapat nonton adegan gratis!

“Eh bli, nanti, mandi dulu, bau nih,” suara centil seorang gadis membuat langkahku terhenti.

“Sambil mandi yuk?” suara seorang lelaki yang kurasa masih muda juga terdengar.

“Dimana bli? Ah gak ah, entar ada orang lagi,” tolak si gadis

“Tenang saja, disana ada tempat bagus, gak kelihatan kalau dari pinggir kok” rayu silelaki dan akupun berbalik kembali menuju rumah, kalau dugaanku betul, tempat yang dimaksudnya bisa dengan mudah terlihat dari rumahku!

Dengan tergesa-gesa aku menuju ke kamar dan mengambil teropong yang ada diatas meja. Sambil berharap dugaanku benar, aku menuju ke tembok pembatas di sebelah timur yang tingginya kurang lebih satu meter. Diantara tembok ini ada sebuah lobang seukuran kepala yang mana dari dulu sering aku gunakan untuk mengintip ibu-ibu mandi di sungai.

Dan benar saja, kulihat pasangan tadi menuruni sungai. Disana sungainya berkelok seperti ular sehingga kalau ada yang mandi dicekungan itu sulit terlihat. Apalagi disebelah selatan cekungan ada sebuah batu besar yang membatasi pandangan .Pasangan itu mulai membuka pakaiannya. Yang wanita tak seperti suaranya yang centil badannya cukup tinggi, mungkin sekitar 165 cm dengan kulit yang kecoklatan. Beha warna putih senada dengan celana dalamnya terlihat dengan jelas. Sedangkan yang lelaki hampir sama tingginya denganku namun dengan badan yang lebih berisi dariku. Kalau tidak salah mereka pasangan yang baru saja menikah bulan ini, yang pria namanya Ketut Suar yang wanita kalau tidak salah Erma.

“Kalau ada yang lihat gimana nanti Bli?” tanya Erma terlihat masih cemas sembari melihat ke utara dan selatan.

“Tenang aja, sudah jarang ada orang yang lewat sini sekarang, lagian kan kita udah kawin, ngapain takut?” jelas suaminya sambil membuka pakaiannya hingga telanjang bulat. Senjatanya yang sudah tegang maksimal terlihat mengacung namun itu membuatku tersenyum, tidak sebanding dengan badannya yang tegap, penisnya terlihat pendek!

“Aduhhhh bli… Udah tegang aja?” seru Erma sambil membuka bra yang digunakannya hingga payudaranya yang kencang terlihat dengan jelas. Namun tangannya ragu-ragu ketika hendak membuka celana dalam yang digunakannya.

“Pakai CD aja ya bli? ” tanya Erma sambil mendekat kearah suaminya yang sudah duduk berendam di air. Beningnya air membuat vaginanya yang berbulu lebat terlihat dengan jelas dibalik celana dalam putih yang dikenakannya.

“Duh dingin bli,”

“Sini duduk,” ajak Suar yang duduk bersila sambil menarik tangan Erma dan mengarahkannya untuk duduk mengangkang di atas pinggangnya.

“Ehhmmm… Pelan-pelan bli...” lenguh Erma ketika dengan rakus payudaranya yang kencang disedot oleh suaminya sambil tangan si suami bergerilya ke bawah dan terlihat membelai pantat istrinya yang bulat walaupun masih dibalut celana dalam tipisnya.

Beberapa menit kemudian

“Ahhh bli, yang kenceng bli” desis Erma ketika dengan rakus tangan suaminya berpindah meremas kedua payudaranya sambil mulutnya tetap membelai putingnya yang terlihat tegang, entah karena dinginnya air sungai atau karena terangsang atau keduanya. Wajahnya terkadang mendongak, merasakan kenikmatan mulut dan tangan si suami di bagian sensitif tubuhnya.

Perlahan tubuh Erma terlihat maju mundur di atas tubuh suaminya. Pinggangnya yang ramping sesekali bergoyang seolah ingin meremas penis suaminya yang tepat berada di bawah vaginanya.

“Bli… Masukin please….” rayu Erma dengan wajah yang sudah merona merah terbakar gairah, terangsang dengan perlakuan suaminya.

“Tadi bilang takut, sekarang minta,,,” goda suaminya sambil tangannya menuju kebawah dan menyibakkan celana dalam yang menghalangi penis yang sudah mengacung sedari tadi.

“Tapi pelan-pelan ya bli, masih sakit kadang-kadang” pinta Erma pelan sambil tangannya memeluk leher suaminya. Pantatnya sedikit menungging, memudahkan suaminya menusuk vaginanya yang sempit.

“Sakit, tapi enak kan,”

“Ahhhhh…. Blii!” jerit Erma ketika suaminya terlihat menghentak keatas.

“Stttt...Pelan-pelan...”

“Abis bli nakal, sekali tusuk gitu” kata Erma sambil mulai bergerak naik turun diatas pangkuan suaminya. Suara kecipak air dan suara desahannya mulai terdengar beraturan.

“Ahhh bli… terus… ”

“Gini?” tanya suaminya sambil menggigit pelan puting istrinya yang membesar dan terlihat kecoklatan.

“Uhmmm… iya bli...”

“Remes bli...” kata si wanita sambil mengarahkan tangan suaminya kearah payudaranya yang terlihat basah, padat dan menantang.

“Ahhhh...tterus bli...terus”

Suara si wanita semakin keras, seolah tidak peduli lagi kalau ada yang mendengar desahan dan jeritannya. Gerakan badannya semakin cepat naik dan turun di atas tubuh suaminya, mengejar orgasme yang semakin dekat.

“Aahhhhhhhhhh bliii...UHgh” jeritan kenikmatan si wanita terdam tangan suaminya yang mungkin takut suara jeritan nya ada yang mendengar.

“Hah...hah...hah...” dengan lunglai si wanita memeluk tubuh suaminya dengan badan yang bergetar dan berkelojotan merasakan nikmatnya persetubuhan mereka.

“Ayo Ma...” kata suaminya sambil menarik tangan istrinya yang masih lunglai menuju ke batu besar yang ada di belakang mereka dan mendorong tubuh istrinya hingga nungging di batu. CD warna putih itu sedikit diturunkan hingga aku bisa dengan mudah melihat vagina yang kemerahan .Dengan sekali tusukan, penisnya masuk, menghentak rongga vagina itu.

“Ahhhhhh.. ”

Suara hentakan semakin cepat dan sering terdengar dan sepertinya si suami sudah tidak tahan lagi karena beberapa menit kemudian, tubuhnya terlihat menghentak beberapa kali.

“Jangan dicabut dulu mas… Biarin bentar, biar jadi” suara Erma ketika suaminya hendak mencabut penisnya.

Beberapa menit kemudian mereka berendam di dalam sungai sambil berbincang-bincang.

“Bli, gak bisa diundur berangkatnya?” tanya Erma.

“Kan masih dua minggu lagi ma, tenang aja, pasti isi...” jawab suaminya sambil tersenyum.

“Kalau gak?”

“Kalau belum, baru diundur berangkat, sampai isi,hehehe” kekeh suaminya sambil tersenyum jahil ke arah istrinya.

“Uuhhhh… Capek tau, masa tiap hari,” jawab istrinya sambil cemberut.

“Tapi suka kan?”

“Suka si…. suka, nanti kalau ketagihan gimana? Kalau mas udah dikapal terus aku pengen gimana?” tantang Erma..

“Ye, kan udah tak bliin mainan itu, ehm….”

“Uhhhh…. Bli enak disana, kalau pengen gampang cari cewek di kapal, lah aku gimana?”

“Ya cari aja kalau dapet,hehehe” jawab suaminya.

Sambil tersenyum mendengar percakapan mereka aku menuju kamar. Bali, pulau yang terkenal karena pariwisatanya, namun sisi gelapnya, sebagian besar bisnis pariwisata bukan milik orang Bali. Anak bali, sebagian besar bekerja di bidang pariwisata, namun tidak sedikit yang mencari peruntungan ke luar negeri. Sebagian besar memilih bekerja di kapal pesiar, dengan harapan mendapatkan dollar untuk kehidupan yang lebih baik, Ketut Suar ini contohnya.

Tak terasa malam pun tiba, hanya dengan mengenakan celana pendek kupandang langit yang bertaburkan bintang. Tak seperti di kota, yang tak peduli siang atau malam, suara kendaraan selalu memekakkan telinga. Disini, malam ini, sudah hampir satu jam dan tak satupun kendaraan yang lewat atau terdengar. Dengan jarak sekitar 50 meter dari jalan dan rumah terdekat sekitar 900 meter dari sini, walaupun aku menghidupkan musik dengan keras, kurasa tak akan ada tetangga yang mengetuk pintu rumah dan marah-marah karena tidurnya terganggu.

Kalau saja saat kuliah bisa seperti ini, saat dengannya, mungkin…..

‘Krikkk...krikkkkk’

Bunyi jangkrik dan angin malam membuatku merasa damai di tengah dingin nya malam. Kalau saja ada yang bisa menemani saat ini…

Ah sudahlah, mending tidur dulu, biar besok fresh untuk kerja di tempat yang baru.

Emang bner bnget, ce itu terkadang susah bt dimengerti...
Prtma blg g mau, to kl dah msuk goyangnya kencengan dia....

Wokeh Rian.....
Ada Erma yg harus dihamilin.....

:konak:
 
Bagian 4 : Awal Baru

Rian POV





Suara Bobby Kool membangunkanku di pagi hari ini. Dengan malas aku membuka mata dan melihat matahari pagi sudah bersinar di ufuk timur. Dinginnya udara pedesaan membuatku ingin kembali menarik selimut dan melanjutkan tidur yang terasa kurang. Namun hari pertama kerja, rasanya tidak elok jika sudah terlambat membuatku bangun dan melihat jam di handphone.

06.00 Rabu 4 Januari 2017

Dengan malas aku beranjak bangun dari kasur dan membuka pintu. Dinginnya angin pagi membuatku menggigil kedinginan. Saatnya masak dan bersiap ke kantor desa. Hasil lulusan 4 tahun kos saat kuliah, setidaknya aku sudah menguasai kemampuan wajib anak kos. Masak air, masak nasi, mie dan goreng telur!

Menu pagi ini nasi goreng sisa dari nasi kemarin.Sambil membuat nasi goreng aku juga memasak nasi untuk nanti siang dan malam. Untuk lauk, seperti biasa telur goreng sudah cukup untuk mengawali pagi ini.

Selesai masak dan sarapan aku mandi dan bersiap menuju ke kantor desa. Sambil mengendarai motor aku merasakan udara pedesaan yang masih segar. Banyak petani yang yang sudah bekerja di sawahnya masing-masing, ibu-ibu yang bergerombol di warung, entah untuk membeli kebutuhan dapur atau sambil bergosip ria. Anak-anak sd yang berjalan ke sekolah atau pekerja kantoran yang berangkat ke tempat kerjanya masing-masing.

Tak sampai 5 menit aku sudah sampai di kantor desa, kutaruh sepeda motorku di parkiran yang baru terisi sebuah sepeda motor dengan plat merah. Dengan langkah santai aku masuk ke dan menemui pak sekdes yang asyik membaca koran.

“Pagi dek, ayo duduk dulu,” sapa pak sekdes ramah.

“Pagi pak,” sahutku sambil mengambil tempat duduk di dekat pak sekdessambil melihat sekeliling dengan lebih teliti. Kantor desa ini cukup luas, bangunannya mungkin sekitar 15 x 8 m dan memiliki dua lantai.

“Panggil bli saja,” katanya ramah.

“Kok masih sepi bli?” tanyaku sambil melihat belum ada siapa yang datang selain kami berdua.

“Iya, masih pagi, biasanya setengah sembilan baru ramai datangnya, ni bli dapat giliran piket makanya datang pagi-pagi,” jelasnya sambil meletakkan surat kabar yang dibacanya.

“Oh iya bli, tugas kaur umum apa ya?” kataku sambil melirik name tag di bajunya, Wayan Arta.

“Secara umum tugasnya di administrasi umum desa, seperti surat masuk dan surat keluar, di administrasi perangkat desa, inventaris kekayaan desa, operasional perkantoran sama pemeliharaan dan pengadaan aset desa, ” jelasnya.

“Untuk surat masuk dan surat keluar seperti ini formatnya,” katanya sambil memberikan dua buah buku folio, yang satu berisi surat masuk, yang satunya surat keluar.

“Sebelumnya bli yang pegang kaur umum, nanti lebih jelasnya bli bantu” sambungnya sambil tersenyum. “Oh iya, nanti kadek ruangannya disini sama kasi dan kaur yang lain. Kalau bli di lantai atas sama pak kades,“ katanya sambil menunjukkan tangga kelantai atas.
Ruangan kantor desa ini cukup sederhana, ada meja memanjang ketika memasuki kantor yang berfungsi sebagai meja pelayanan umum. Di atas meja ini ada 3 komputer dan 1 printer, di ujung meja ada televisi yang menempel di dinding. Di belakang meja panjang ini ada 5 meja kecil dengan kursi. Di masing-masing meja ada papan nama masing-masing kasi dan kaur.

“Ayo bli tunjukkan ruangan yang lain,” ajaknya sambil melangkah keselatan ruangan ini. Dipisahkan tembok dan lorong, ada ruang rapat tempat aku tes kemarin. DI lorong ini ada 2 sofa yang menempel di dinding.

“Ini ruang rapat, ” katanya sambil melangkah ke barat.

“Nah ini ruangan kaur keuangan, sementara ini toilet dan yang terakhir” itu dapur,” seru pak sekdes sambil melangkah ke dapur.

“Tek!” Kulihat pak sekdes menghidupkan kompor untuk menyalakan rokok yang entah kapan sudah ada ditangannya.

“Ngerokok dek?”

“Nggak pak” sahutku sambil tersenyum.

“Bah, ngerokok nggak, dirokokin pasti sering ya? Hahaha” tanyanya sambil tertawa.

“Dulu iya… Sekarang juga nggak bli,hahaha” jawabku sambil tertawa.

“Beh… cari pacar dulu… Jangan kayak bli, udah duda….” katanya pelan.

“Loh, beneran bli?”

“Iya, istri bli sudah meninggal, sakit...” jelasnya sambil menghembuskan nafas.

“Sudah lama, sekarang kayak remaja jadinya,hehehe. Apalagi di sini, banyakan ceweknya hahaha” katanya sambil beranjak ke ruang depan.

“Enak kerja di kantor desa, gampang nyari libur, apalagi kita di Bali, banyak perlu libur, BaLi, Banyak Libur.” terangnya. “Kalau swasta libur sulit, cuma kalau di sini, ya perlu hati-hati juga,” tambahnya lagi.

“Hati-hati gimana bli?” tanyaku penasaran.

“Kerja di kantor desa itu, intinya pelayan masyarakat, harus jaga sikap, omongan, dan pandai-pandai baca situasi melayani masyarakat. Misal, ada yang nyari surat buat warisan, ya kita harus pastikan semua ahli waris sudah tanda tangan, intinya, biar gak kita yang disalahkan nanti kalau ada apa-apa kedepannya,” jelasnya panjang lebar.

“Selain itu…”

Sambil merokok pak sekdes menjelaskan panjang lebar bagaimana keadaan di desa, suka duka menjadi perangkat desa serta bagaimana agar hati-hati tidak terjebak dalam politik di desa. Dalam hati aku berpikir, ternyata tidak semudah itu kerja di desa. Banyak faktor yang harus diperhatikan.

Hampir setengah jam aku berbincang dengan pak sekdes, ketika sudah pukul delapan suara motor vario memasuki parkiran kantor terdengar. Kulirik kearah pintu dan melihat Irina memasuki kantor.

“Eh Bli Kadek, sudah duluan aja… ” sapa Irina.

“Beh, Bli Kadek saja yang disapa ne, saya gak...” kata pak sekdes sambil melihat kearah Irina yang hari ini masih sama memakai baju yang dipakainya kemarin. Kemeja putih dan rok hitam ketat yang menonjolkan lekukan-lekukan yang tepat di tubuhnya.

“Beh, pak sekdes, cuma mau disapa saja? Gak mau yang lain?” pancing Irina sambil melangkah ke kursi paling timur di meja pelayanan dan duduk disana.

“Mau dong, apalagi kalau gratis,hehehe” jawab pak sekdes.

“Enaknya!” seru Irina sambil menghadap kami sambil mengangkat tangannya untuk memperbaiki rambutnya. Itu membuat payudaranya semakin jelas tercetak di kemeja ketat yang digunakannya.

“Hahaha… ” jawab pak sekdes sambil melotot memandangi payudara Irina.

“Eh, dilarang lihat-lihat ” seru Irina pura-pura marah namun badannya malah semakin dibusungkan kedepan.

“Oh iya dek, kamu kan jurusan komputer, bisa benerin komputer gak?” tanya pak sekdes.

“Lumayan bisa bli, kenapa bli?”

“Ini, cuma satu saja yang hidup komputernya, yang dua lagi gak bisa dipakai, coba cek dek,” saran pak sekdes sambil menunjuk ke arah dua komputer yang berada di tengah dan barat.

“Saya coba bli,” jawabku sambil melangkah ke komputer yang berada paling barat.

“Ya coba liat dulu dek, bli lanjut baca dulu,” jawabnya sambil lanjut membaca koran yang tadi ditinggalkannya.

Kulihat komputer yang paling barat dan mengecek sambungan kabel power, colokan usb mouse dan keyboard serta melihat pemasangan kabel dari CPU dan monitor. Semua normal saja. Kutekan tombol power dan terdengar proses booting komputer dan tampilan awal terlihat di layar.



Hmmm… Mungkin baterai CMOS nya yang mati, pikirku sambil menekan tombol F1 di keyboard dan tampilan windows 7 pun terlihat di layar.

Kucoba mematikan dan menghidupkan kembali komputer itu dan kembali eror yang sama terlihat dilayar.

Hmmm… Kemungkinan besar baterai CMOS nya dah… Pikirku sambil kembali menekan tombol F1 di keyboard dan tampilan desktop windowspun kembali kelihatan.

“Eh, hidup Dek? Masalahnya dimana? ” seru pak sekdes ketika melihat komputer paling barat sudah menyala.

“Baterai CMOS nya mati bli, perlu diganti.” jawabku.

"Mahal gak dek?"

“Nggak bli, sekitar 10 sampai 20 ribu,”

“Wah, kalau begitu nanti beli saja dek, biar bisa dipakai,” jawab pak sekdes sambil kembali melanjutkan membaca korannya.

“Iya bli,” jawabku sambil melangkah ke komputer yang berada ditengah. Sama seperti proses sebelumnya, aku coba mengecek sambungan kabel-kabelnya dulu, dan menekan tombol power. Namun tidak seperti tadi, komputer tidak masuk ke BIOS sama sekali.

Harus di buka nih…
Tapi gak bawa alat-alat dan obeng.


“Bli, ada bawa obeng?” tanyaku ke pak sekdes.

“Beh, gak dek, Irina punya obeng?” tanya pak sekdes.

“Ada bli, di jok motor, ini ambil sendiri Bli Dek” kata Irina sambil memberikan kunci motornya kepadaku.

Sambil mengambil kunci yang diberikan Irina aku melangkah menuju ke parkiran dan membuka jok motor Irina dan mencari obeng yang kuperlukan.

Eh, apa ini? Pikirku ketika melihat sebuah kresek warna hitam yang ada di jok motor Irina.

“Ehhhhh Bli Dek!!! Tunggu dulu!” seru Irina sambil berlari ketika baru saja kuangkat kresek itu dan kain kecil berenda terjatuh ke atas jok.

"Iiihhh Bli Kadek, " seru Irina sambil mengambil g-string itu dan memasukkannya kembali ke dalam kresek.

“Nah lo… Ngapain bawa gituan di jok?” godaku sambil mengambil obeng yang ada di jok sepeda motor Irina.

“Pengen tau aja,weeekkkk….” katanya sambil mengambil tas kresek itu dari jok dan kabur ke dalam.

Sambil membayangkan Irina memakai g-string itu aku menuju kedalam dan menuju komputer yang berada di tengah untuk memperbaikinya.

“Dek, Bli ke warung dulu ya, belum sarapan ne,” kata pak sekdes sambil melangkah keluar kantor. “Kalau nanti ada yang bikin surat, minta tunggu dulu ya, dan, jangan macem-macem neh berdua,” katanya bercanda.

“Oke bli, gak bakalan macem-macem, paling satu macem,hehehe” candaku sambil membuka tutup cpu yang ada di lantai.

Alamak….! Debunya….! Nih cpu apa vacuum cleaner???

“Kenapa tuh bli dek?” tanya Irina yang duduk di kursi paling timur.

“Belum tau Na, mungkin perlu dibersihkan,” sahutku sambil menoleh ke arahnya.

Karena posisiku yang ada di lantai, sedangkan Irina duduk di depanku, otomatis pandangan mataku tertuju ke arah lututnya yang terbuka dan bisa melihat samar vaginanya yang mulus gak ada rambutnya.

Ehhhh!! Kok bisa?

Irina...

Dia..***k pake celana dalam!

“Eh, lihat apa Bli Dek?” goda Irina melihat pandangan mataku.

“Gak jelas, bisa dibuka dikit lagi gak?” pintaku iseng.

“Gini?” tanyanya sambil membuka pahanya sehingga sekarang aku bisa melihat dengan jelas apa yang ada di pangkal pahanya itu. Bisa kurasakan geliat samar di celanaku yang sudah lama tidak mendapatkan pelampiasan.

“Ehhhh. Glekk...” aku hanya bisa bengong sambil menelan ludah melihat kenekatan Irina.

“Hihihi...Ada yang bangun tuh….” katanya sambil merapatkan pahanya.

“Udah ah…. Udah cukup yang gratisnya….” katanya nakal.

“Kok gak pake daleman Na?” tanyaku penasaran.

“Mau tau apa mau tau banget? ”

“Mau tau banget banget….” seruku.

“Irina..” katanya sambil bangun dari kursinya dan mendekat ke arahku.

“Lagi masa subur...dan… yang dibawah itu, sering banget basah, kayak sekarang...” katanya sambil menunduk dan bibirnya mendekat kearah bibirku sampai hanya sekitar 1 cm saja.

"Jadi males kalau pakai celana dalem, mending gak pake kayak sekarang " terangnya

“Bli Dek mau gak puasin Ina?” desahnya sambil bibirnya mendekat ketelingaku dan meniupnya pelan.

“Fuck!” gerutuku sambil melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 8 kurang seperempat.

Sempat gak nih?

Ayo bli Kadek...., tumbuk si Irina dlu...
Lngsung masukin aja....
GPL....


:konak:
 
Terakhir diubah:
Bagian 5 : Teman Baru

Rian POV


Baru saja aku hendak bangun dan melumat Irina, suara sepeda motor membuatku kembali tersadar.

Vian….

Nasib-nasib…


“Hahaha...Anda belum beruntung,” ejek Irina sambil kembali ke kursi yang didudukinya tadi. Kakinya dengan sangat perlahan disilangkan sehingga paha mulusnya itu bisa terlihat dengan jelas.

“Awas nanti ya,”gerutuku sambil kembali mencoba memperbaiki cpu yang penuh debu ini. Satu persatu bagiannya kubuka, dari memori, hardisk, kipas, dan terakhir motherboardnya.

“Ngapain to Bli Dek?” tanya Vian sambil duduk di sebelah Irina.

“Ne bersihin cpu nya Vian”

“Eh, Na, pahamu jadi pemeran to, ” kata Vian sambil melirik paha irina yang terlihat cukup jelas dari rok pendeknya yang hampir tertarik setengah bagian pahanya itu.

“Biarin, ada Bli Kadek gen masi,” kata Irina cuek.

“Bah, entar Bli Kadek kepengen, hahaha” tawa Vian

“Biarin, paling gak berani juga,”tantang Irina.

Beh, ne anak…..

Tak lama kemudian kembali suara sepeda motor memasuki halaman parkir dan kulihat kepala Dusun Tengah yang datang hari ini. Sambil menaikkan bagian-bagian komputer keatas meja, aku lirik kembali ke arah paha mulus Irina yang sayangnya sekarang sudah duduk dengan manis ketika melihat langsung kedatangan pak Kadus Tengah.

“Wah… Ada staf baru nih,” kata Ketut Kantor, Kadus Tanggahan Tengah, sambil memegang pundak Irina dan meremasnya. Terlihat Irina menggeliat tidak nyaman dengan perlakuan pak kadus itu.

“Ada Vian dan Kadek juga, ” sapanya ke arahku dan Vian.

“IIhhh..Pak Kadus apaan sih?” elak Irina sambil mencoba menyingkirkan tangan pak kadus yang berusaha meraih payudara Irina.

“Beh, sok jual mahal...” ejek pak kadus sambil berlalu kearah ruang rapat.

“Hati-hati Na, sama Pak Kantor,” bisik Vian.

“Eh, emang kenapa?” tanyaku heran.

Sambil menoleh ke arah pintu dan memastikan kalau orang yang dimaksud tidak ada disana Vian berbisik ke arahku.

“Pak Kadus terkenal suka megang-megang staf disini Bli Kadek, dan juga, pak kadus tu selingkuhannya Mbok Mirna , itu loh, Kasi Pelumnya, ” bisik Vian yang membuatku terhenyak.

Wah… Gak di kota gak di desa, urusan selangkangan sama-sama banyak peminatnya. Pikirku sambil melihat ke arah Irina yang cemberut.

“Apaan sih pak kadus, mau pegang-pegang seenaknya, gak liat wajah ama umur apa, kalau Bli Kadek baru boleh megang-megang” katanya sambil mengedipkan matanya ke arahku.

“Cuitttt...cuittttt…. Bli Kadek, tanda-tandane” kata Vian sambil melirik ke arahku.

“Ini siapa?” tanyaku ketika melihat staf yang kemarin membagikan soal tes datang dengan jalan kaki ke kantor desa, berbarengan dengan Mbok Mirna yang datang dibonceng anaknya kalau tidak salah.

“Mbok Anisa, kaur perencanaan kalau gak salah, dan Mbok Mirna, kasi apa kaden gak ingat Bli Dek” terang Vian.

“Pagi mbok,” sapaku , Vian dan Irina berbarengan.

“Pagi,” jawab Mbok Anisa singkat, terlihat wajahnya agak buram dan langsung duduk di salah satu kursi yang di mejanya berisi papan nama kaur perencanaan. Dengan rok hitam sedikit diatas paha dan atasan yang masih terbungkus jaket membuatku tidak bisa mengira apa yang ada di baliknya.

“Pagi Mbok,” sapaku kembali kepada Mbok Mirna yang yang berdiri di belakang Irina.

“Wah… Ada Staf baru, Vian dan Kadek, ne Irina kalau gak salah ya?” tanya Mbok Mirna kearah kami bertiga.

“Iya mbok” jawabku yang serupa dengan jawaban yang lainnya.

“Vian dan Kadek kan sudah tau mbok, Irina juga sering ketemu di sawah, jadi gak perlu kenalan lagi ya,” kata Mbok Mirna Sambil melihat kearah Mbok Anisa yang terlihat muram di mejanya.

“Hahaha… Anisa, pasti gak dapet jatah ne, murung terus,” ejek Mbok Mirna sambil duduk di kursi yang ada di belakang mejanya Anisa.

“Iya...Iya… Tau yang gak dirumah gak disini bisa ngejoss, ” sahut Mbok Anisa ketus.

“Gak dapet jatah apa gak puas Nis?” tanya Mbok Mirna usil.

Sambil membersihkan CPU dari debu aku mengikuti percakapan mereka. Kulihat wajah Mbok Anisa memerah dan menjawab dengan ketus.

“Gak puas lah, ne i Beli ngasih jatah gak pernah tuntas, nenggel buang e ben ne,” jawabnya dengan wajah merah.

(Gak puas lah, ne suaminya ngasih jatah, gak pernah tuntas, nafsu di ubun-ubun jadinya)

“Hahaha…. Ne Kadek Rian suruh bantu, masih seger ne pastinya, pasti kuat dan tahan lama,” jawab Mbok Mirna sambil tersenyum jahil ke arahku.

“Eh, gak boleh, udah Irina yang duluan mesen,” seru Irina tiba-tiba.

“Beh Irina, udah punya pengganti, gak boleh lagi!” jawab Mbok Mirna.

“Apanya, penggantinya , peltu tau, gak puas ” jawab Irina blakblakan.

“Wah, tentara apa polisi tu Na” tanya Vian.

“Hahahaha”

“Hahahaha”

“Hahaha”

Kami semua tertawa mendengar pertanyaan Vian yang lugu.

“Polisi Vian, polisi ” jawab Mbok Mirna yang membuat kami tersenyum mendengar keluguan Vian. Entah memang lugu atau pura-pura lugu.

“Eh, masa na?” tanya Mbok Mirna penasaran.

“Iya lah, udah peltu, kecil lagi, gak puas jadinya” jawab Irina lagi
.
Sementara itu aku memasang CPU yang sudah dirakit di bawah meja. Dan kembali Irina menggodaku dengan membuka dan menutup kakinya sehingga belahannya yang gundul terlihat menggoda.

“Eh, mau masak air dulu ya” kata Mbok Mirna sambil melangkah ke dapur. Berbeda dari yang lain, mungkin karena umur, badan Mbok Mirna terlihat montok dengan pantat yang bahenol menggoda di balik rok hitam selutut yang digunakannya. Dengan tinggi mungkin sekitar 155 cm, terlihat semok dan montok.

Sambil memasang CPU, aku mencoba melirik kearah Mbok Anisa dan terlihat dari celah kakinya, kain putih dengan samar warna hitam di tengah-tengahnya.

Wah, lebat juga tu goa…

Pikirku sambil mengamati Mbok Anisa dengan lebih teliti, badannya terlihat lebih tinggi dari Vian, mungkin sekitar 165 cm, sayangnya, walaupun tinggi namun pantat dan dadanya terlihat rata. Namun, wajahnya terlihat cantik dengan make up minimalis dan rambut sebahu yang digerai dan dicat dengan warna sedikit pirang. Kucoba kembali berkonsentrasi memasang CPU dengan layar monitor. Setelah selesai kutekan tombol power dan akhirnya komputernya pun bisa kembali menyala seperti biasa.

“Eh, bisa hidup dek?” tanya Mbok Anisa tepat dari belakangku, samar kucium bau parfum dari tubuhnya.

“Iya mbok, tak bersihin saja tadi,”

“Eh, jangan panggil Mbok, panggil Anisa atau Nis saja, eh bisa sambil ngecas gak? Lupa bawa charger nih” katanya sambil menyerahkan kabel USB kepadaku.

”Bisa Nis” jawabku sambil mengambil kabel USB dan memasangnya di CPU. Sementara itu Anisa mengambil kursi dan duduk disebelahku dengan handphone yang terhubung ke komputer. Entah kapan dia membuka jaketnya, namun baju putih yang digunakannya terlihat sangat ketat dan membuat lekuk tubuhnya terlihat dengan jelas. Dadanya terlihat lebih kecil daripada punya Irina dan Vian.

Eh, kok ada folder opo di komputer? Jangan-jangan. Pas terhubung tadi Anisa memilih mode transfer file. Ide jahil muncul di kepalaku dan membuka folder opo itu dan mencari file DCIM dan mengcopynya ke hardisk komputer.

10 Menit.

Sambil menunggu transfer file selesai aku melihat-lihat file-file yang ada di komputer. Sementara itu kulihat Irina masih asik bermain dengan Iphonenya dan beberapa kali kulihat dia tertawa kecil.

“Eh, Mbok Anisa, nih cocok buat mbok deh,” tiba-tiba Irina berjalan kearah Anisa dan dengan sengaja dadanya di gesekkan ke punggungku.

Bah, ne anak nantangin neh….

“Apaan na?” tanyanya penasaran.

“Ini nih….” seru Irina sambil memberikan Hp nya untuk dilihat.

“Aahhhhh…. Gak doyan, mending yang asli saja,” sahut Anisa.

“Apaan sih?” tanyaku juga penasaran.

“Ini Bli Kadek,”

“Beh, dildo, gak sekalian yang vibrator Na?” tanyaku setelah melihat gambar dildo warna ungu dengan size yang lumayan besar di handphonenya.

“Eh, apa bedanya Dek?” tanya Anisa penasaran.

“Kalau dildo gak bisa getar, yang vibrator bisa getar-getar gitu,” jawabku spontan.

“Wihhhhh… Bli Kadek ternyata tau banyak masalah ginian,” komentar Irina mendengar jawabanku.

“Tapi, kalau itu bisa getar-getar, gimana tuh rasanya, iihhh...” katanya sambil mengatupkan pahanya.

“Hehehe…. Coba aja sendiri beli satu,” elakku.

“Ogah, udah punya yang asli juga, neh Vian baru perlu,” katanya sambil memperlihatkan gambar dildo itu kepada Vian yang membuatnya terpekik dengan wajah merah padam.

“Apaan sih Irina, ihhh” serunya dengan wajah merah padam.

Sementara mereka sibuk berdebat aku mengambil hardisk ekternal dari dalam tas dan mengcopy file DCIM punya Anisa kedalamnya.

Hehehe… Moga aja ada yang bening-bening di dalam sana.

Selesai mengcopy file kumasukkan hardisk kedalam tas dan berdiri hendak ke kamar mandi.

“Eh, kemana Bli Dek?” tanya Irina.

“Mau ke kamar mandi? Mau ikut?” tantangku.

“Wekkkk.. “ jawabnya sambil mencibirkan bibirnya yang kemerahan.

Sambil berjalan menuju ke toilet kulihat pintu ruang rapat yang masih tertutup.

“Eh, Pak Kadus dan Mbok Mirna dimana?” pikirku ketika sampai ke toilet. Ku intip kearah dapur yang kosong melompong dengan hanya ada panci berisi air yang belum panas disana.

Jangan-jangan, mereka, di ruang rapat?

Dengan pikiran dipenuhi bayangan Mbak Mirna yang ditindih badan besar Pak Kadus aku menuju ke dalam toilet.

Setelah selesai kencing aku keluar dari toilet dan tiba-tiba saja sebuah bibir merah menyapu bibirku dan tangan yang mungil terasa meremas penisku dari balik celana yang aku kenakan.

Belum sempat aku bereaksi atas serangan ini kudengar suara Irina yang berlalu masuk ke toilet.

“Kalau mau lebih nanti ya Bli Kadek,hihihi” tawanya dari balik pintu yang tertutup.

“Uasemmmmm”

Sambil kentang aku menuju ke ruangan depan, di sana sekarang sudah ada dua orang gadis yang baru pertama kali aku lihat sekarang.

“Eh panjang umur, baru aja ditanyain neh Bli Kadek,” kata Vian sambil menunjuk kearah dua orang gadis yang hampir seumuran. Yang pertama agak gendut dengan tinggi sekitar 160 cm. Dadanya terlihat bongsor dengan pantat yang lebar. Sedangkan yang satunya terlihat mungil dengan tinggi 150 cm dengan dada dan pantat yang rata. Usia keduanya kutaksir diatasku.

“Ini Rani, kaur keuangan, ” jelas Anisa sambil menunjuk gadis yang bongsor “Sedangkan yang itu Budi, staf kasi pemerintahan.” katanya lagi sambil menunjuk ke arah si mungil.

“Udah sold out ya dek keduanya, kalau Budi udah double lagi sold outnya,” tambah Anisa yang membuatku mengernyitkan kening.

“Weh… enak aja, baju apa sold out, masih kenceng gini,” kata Mbok Budi dengan dada yang dibusungkan, yang sedikit percuma rasanya mengingat ukurannya yang dibawah rata-rata.

“Iya sold out, jangan main-main sama Mbok Budi ya Dek,” pancing Anisa lagi.

“Kalau sama Anisa boleh berarti ya?” jawabku sambil melihat ke arah dadanya yang sedikit mengintip dari kerah kemeja yang dikenakannya..

“Waahhhhh… nambah ne buaya nya lagi satu...ckckckc” seru Mbok Budi ketika melihat arah pandanganku.

“Hahaha… Kalau ada yang bagus kenapa gak dilihat?” tanyaku balik.

“Emang kelihatan? Berani bilang bagus? ” pancing Anisa sambil tersenyum.

Pagi ini kami awali dengan bercanda, apalagi setelah kedatangan Irina yang bercandanya selalu mengarah ke selangkangan. Untungnya sampai setengah sembilan pagi, belum ada masyarakat yang datang sehingga kami bisa bersantai. Dari percakapan dan guyonan kami baru ku ketahui kalau Anisa seangkatan denganku, sedangkan Mbok Budi tiga tahun lebih tua dariku. Rani setahun lebih muda, sedangkan Vian dan Irina tiga tahun lebih muda dariku.

Vian baru saja lulus SMK sedangkan Irina keburu kebobolan ketika SMK yang seangkatan dengan Irina. Dari candaan Anisa juga baru kusadari kalau Budi adalah teman mesranya Kasi Pemerintahan. Dipikir-pikir, banyak yang jadi pasangan disini. Mungkin namanya yang lebih tepat bukan kantor desa, tapi kantor cinta.

“Eh, jangan ke ruang rapat dulu dek, biasanya jam segini ada yang indehoi di sana,” kata Mbok Budi yang membenarkan dugaanku.

“Kalau ruangan atas apa saja mbok?” tanyaku penasaran dengan ruangan diatas.

“Ruangan pak kades dan sekdes, toilet dan gudang, dulunya gudangnya di ruang rapat yang sekarang, entah kenapa ditukar.” jawab mbok budi.

“Eh, ayo bikin kopi dulu,” kata Mbok Mirna yang entah kapan berdiri di pintu kelorong. Wajahnya terlihat kemerahan dengan senyuman yang lebar, entah apa saja yang dilakukannya di ruang rapat tadi.

“Ayo, sekalian rapat” jawab pak sekdes yang masuk dari pintu utama diikuti dengan pak kades. Kami semua kemudian keruangan rapat, untuk mengikuti rapat perdana yang bagi kami staf baru disini.

Pak Kades berada di depan ruang rapat dan kulihat pandangannya mengarah ke arah Irina yang duduk tepat disampingku. Irina, seperti biasa menggodaku dengan tangannya yang kadang-kadang diusapkan tepat diatas celana yang kugunakan.

“Baik, untuk rapat kali ini adalah untuk mengenalkan staf baru kita. Mungkin seperti teman-teman sudah tahu, kita ada penambahan Kaur Umum atas nama Kadek Rian,” jelas pak sekdes sambil menunjuk ke arahku

“Juga ada penambahan dua staf baru, yaitu Luh Vian yang nanti akan berada di bawah kasi kesra dan Putu Irina yang berada di bawah kasi pelum,” sambung pak sekdes sambil menunjuk ke arah Vian dan Irina.

“Mungkin Kadek, Vian dan Irina sudah kenal pada yang lain, kalau belum jelas, bisa dilihat nanti di struktur organisasi pemerintahan desa yang ada di tembok ruang rapat ini,” tunjuk pak sekdes pada struktur yang ada di ruang rapat.

“Untuk rapat kali ini hanya untuk pengenalan ini, pak kades, ada tambahan?” tanya pak sekdes sambil melihat kearah pak kades.

“Eh, nggak ada, sampai disini saja , nanti untuk pengenalan tugas kaur umum dan staff bisa langsung nanti sama pak sekdes ya, ” kata pak kades sedikit tergagap.

“Irina, tolong keruangan bapak sebentar ya,” surah pak kades sambil menuju ke ruangannya yang berada di lantai atas.

“Beh, pasti mau lagi nih,” bisik Irina di sebelahku sambil mengikuti pak kades keruangannya.

Sementara itu aku mengikuti pak sekdes untuk belajar mengenai tugas-tugas kaur umum. Ternyata lumayan banyak juga tugas kaur umum. Yang sulit pencatatan aset desa yang belum ada datanya sama sekali.

“Untuk surat keluar dan masuk sama Budi ya dek, dia yang mencatat itu selama ini,” kata pak sekdes sambil memanggil Mbok Budi dan memintanya menjelaskan tentang metode pencatatan surat masuk dan keluar.

“Dek Rian, ini buku surat masuk dan keluar, untuk caranya gampang, seperti ini,” jelasnya sambil menunjukkan cara pencatatannya. Hampir 30 menit aku diajarinya.

“Eh Dek, Irina pasti digarap tuh sama boss diatas, hihihi” bisik Mbok Budi.

“Kok tau mbok?” tanyaku pura-pura tidak mengerti.

“Ngapain men lama-lama diatas? Udah bukan rahasia lagi kalau di kantor ini dek, ” jelasnya lagi.

“Kayak Mbok dan Mbok Mirna juga hehehe” katanya terus terang tanpa malu-malu.


“Beh, aku aja yang gak ada nih” pancingku.

“Beh, kalau Mbok Di belum ada, pasti mau lah, tapi sayang udah ada, mungkin sama Anisa tuh, masih single disini, walaupun udah punya anak kalau di rumahnya,hehehe” katanya sambil melirik ke arah Anisa yang duduk di belakang kami sambil mencatat sesuatu. Entah apa itu.

“Masa mau?” tanyaku penasaran.

“Eh, dia tu gak pernah dapet O sejak nikah loh… Kalau main sama suaminya, gak pernah nyampe, makanya sering uring-uringan di kantor.” jelasnya lagi.

“Masa , kok bisa?” tanyaku keheranan.

“Punya suaminya kecil dan pendek, lagian kalau main gayanya itu-itu aja, jadinya gak dapet tu anak, gitu sih katanya dia” tambah Mbok Budi.

Setelah hampir satu jam aku bersama Mbok Budi kulihat Irina turun dari tangga dengan wajah kemerahan dan akhirnya dia menjadi bahan ejekan kami semua,

Tak terasa jam di dinding sudah menunjukkan pukul 13.30 dan kami semua pun bersiap untuk pulang. Kulihat Vian membonceng Mbok Mirna dan duluan pulang sementara aku masih menghidupkan motorku.

Sambil pulang aku berpikir tentang keadaan di kantor desa, teman baru, kantor baru, dan mungkin juga teman tidur baru. Sampai di rumah, kubuka pakaianku dan dengan hanya menggunakan boxer saja aku berbaring di ranjang. Bayangan celah gundul Irina dan samar hitamnya Anisa membuat penisku menggeliat di bawah sana.

“Brmmmmm…….” suara sepeda motor terdengar di jalan memasuki rumahku dan dengan penasaran aku bangun dan berdiri di pintu untuk melihat siapa yang datang ke rumahku kali ini.

Bner² Kantor Kelurahan Mesum....
Kyak dlm wktu 3 th Kadek Rian bkl jd Kepala Desa, neeh....

N yg ngevote, pasti 98% ce, deh....

:D
 
Bagian 6 : Desah dan Kisah Irina

Rian Pov


Irina.

Dengan kemeja ketat putih dan rok hitam yang sekarang terangkat sampai setengah pahanya, dia memarkir motornya di halaman dan tersenyum manis ke arahku.

“Eh, ada apa n..” Belum habis perkataanku Irina melumat bibirku dan dengan agresif tangannya meremas pelan penisku yang mengeras dari balik boxer yang aku gunakan.

Sehabis hilang kagetku, kutarik tangannya memasuki kamar dan menutup pintu.

Ketika aku berbalik menghadapnya, wajahnya Irina kemerahan dengan nafas yang terengah. Tangannya mulai membuka kancing kemejanya satu persatu dan terlihatlah bra warna krem yang digunakannya membungkus payudaranya yang padat.

“Uuhhh… Li Dek…” Bisiknya ketika kuangkat roknya dan jariku meraba vaginanya yang merekah dan basah.

“Gini na,” tanyaku sambil menggosok klitorisnya dengan jempol. Kugerakkan memutar jariku diatas daging kecil yang menonjol disana yang diiringi dengan desahan erotis Irina.

“Ahhhh Bli Dek, puasain Ina,” pintanya sambil membuka bra yang digunakannya sehingga gunung kembar itu terpangpang di depan mataku.

“Ehhmmm…” jawabku sambil menjilat payudaranya yang membusung padat. Perlahan kuitari putingnya yang kecoklatan dan menggigitnya dengan pelan.

“Ahh… “Jeritku ketika tangan Irina menelusup masuk ke dalam boxerku dan menggenggam penisku di tangannya yang mungil itu.

“Ehhh Bli Dek!” serunya terkejut sambil menjauh dan menarik turun boxer yang aku kenakan sehingga penisku mengacung tegak ke arahnya.

“Gilak!” katanya dengan mulut terbuka lebar ketika melihat penisku lalu berlutut dan mulutnya yang mungil itu tanpa ragu menjilati kepala penisku. Sambil memandang ke arahku jemari dan bibirnya bergerak seirama yang membuatku mendesah keenakan.

“Ahhh… Irina...” erangku ketika bibirnya yang tipis menjilati kepala penisku dengan lidahnya yang merah. Tangannya tak tinggal diam dan mengocok batang penisku yang sudah membesar maksimal. Kocokan tangannya semakin cepat seiring dengan gerakan kepalanya yang semakin cepat maju mundur dikepala penisku.

“Ahh na.. ” kataku sambil menghentikan jilatannya dan mengarahkannya berbaring diranjang. Kuciumi putingnya yang tegang sambil jemariku meremas payudaranya yang membusung.

“Kondom?” tanyaku.

“Ditas Bli Dek,” katanya dengan nafas terengah.

Kuambil satu kondom dan memasangnya di penisku sambil melihat Irina berbaring telentang di ranjang. Kakinya terbuka lebar memperlihatkan vagina yang merah dan terlihat basah, lidahnya menyapu bibirnya dengan pelan sedangkan jemari tangan kiri membelai payudaranya sedangkan tangan kanannya menggosok klit nya yang membengkak.

Tak sabar kuciumi pelan bibir vaginanya bergantian, terus ke atas, ke perutnya yang rata sampai ke gunung kembarnya yang menggoda. Tak lupa putingnya sesekali kuhisap dengan pelan.

“Mmmm ,” gumamnya lirih yang kurespon dengan memasukkan jari tengah, telunjuk dan jari manis sekaligus ke vaginanya yang sudah banjir.

“Ah , perih ahh.” erangnya dengan vaginanya yang menjepit erat serta tangannya memegang tanganku. Kurasakan jepitannya, sempit dan menggigit.

“Tapi enak kan Na?”, bisikku sambil mendiamkan jariku didalam sana, jempolkupun bergerak pelan, menekan dan membelai daging kecil yang mengintip malu-malu di atas vaginanya itu.

“Bangets...” jawabnya sambil mulai menggerakkan pinggulnya, maju mundur. Pertama pelan tapi kemudian semakin cepat dan sesekali pinggulnya bergoyang memutar.

“Uh.. Bli Dek, cepetin...” pintanya lirih.

Kutekuk jariku di dalam sana sehingga terasa menggaruk dinding dalam vagina Irina yang membuatnya semakin mendesah tidak karuan.

Kugerakkan jariku dengan cepat di dalam vaginanya yang sudah basah kuyup. Desahan Irina semakin menjadi seiring dengan gerakan tubuhnya yang semakin tidak karuan.

“Ahh Bli Dek, Ahhhhhh….” jerit Irina ketika orgasme pertama menyerangnya. Badannya menggelinjang hebat yang membuat jariku terlepas dari vaginanya. Kupandangi wajahnya yang sedikit berpeluh dengan rambut acak-acakan dan nafas yang terengah. P

Sambil menunggu dia tenang, ku tindih tubuhnya dan mulai menyedot putingnya yang mengacung tegak. Desah nafas Irina masih terdengar memburu dengan dada yang naik turun.

“Ah… hah...ha… Udah dulu bli dek,” pintanya.

“Yakin?” tanyaku sambil menggesekkan kepala penisku di belahan vaginanya. Kugerakkan maju mundur dan sesekali mencoba menyeruak masuk, membelah lubang yang basah itu.

“Bli dek, pelan-pelan… Kegedean nih, Ina belum pernah sama yang segede ini,” katanya dengan wajah memerah. Titik keringat membasahi rambut di dahinya yang dengan pelan kusapu dengan tangan kananku.

Dengan pelan kucium leher Irina dan beranjak ke telinganya, nafas Irina terdengar semakin tak beraturan. Sambil tetap merangsang bagian atas tubuhnya, penisku tetap berusaha membelah vaginanya, namun baru saja kepalanya yang masuk ketika vaginanya menjepit erat dibawah sana.

“Ahh… Diemen bentar Bli Dek, masih nyeri dikit...” katanya sambil membelai punggungku, lalu bergerak kedadaku. Perlahan didorongnya tubuhku sehingga berbaring telentang diranjang dan Irina mengambil inisiatif memasukkan penisku kedalam vaginanya.

“UUhhh.. Kegedean sih,” katanya sambil mengangkat pantatnya lalu dengan tangan kanannya mengarahkan kepala penisku ke pintu masuk vaginanya. Perlahan pantatnya diturunkan dan dengan ekspresi sakit namun nikmat, kepala penisku berhasil menyeruak masuk kedalam rongga basah itu.

“Aahh.. hah..hah” hanya desahan yang terdengar dari Irina ketika dia mencoba menaikturunkan pantanya di tubuhku. Tangannya kemudian bersandar di dadaku dan dengan sekali hentakan vaginanya turun membungkus penisku keseluruhan.

“Cing…!” makinya kasar dengan tubuh kaku tak bergerak.

Ku remas payudara Iriina dengan kasar untuk mengalihkan perhatiannya.

“Na, suka yang pelan apa yang gini,” tanyaku.

“Ahhh...Yang gini!” jeritnya, antara sakit dan nikmat.

“Plak! Gini?” tanyaku sambil meremas dan sesekali menampar putingnya dengan tangan.

“Ahh..iya Bli Dek” jawabnya dengan pantat yang mulai bergerak maju mundur di tubuhku. Jepitan vaginanya terasa begitu nikmat di bawah sana dan gerakan pantat Irina pun mulai cepat setelah beberapa menit berlalu.

“Boleh dikeluarin dimana nanti Na?” tanyaku sambil meremas payudaranya.

“Di mulut aja, Ina pengen ngerasain pejuhnya Bli Kadek,” katanya dengan nafas yang semakin menderu. Dengan kepala mendongak ke belakang, dada yang membusung, dan pantat yang bergerak maju mundur, Irina terlihat begitu seksi kali ini.

“Plok...plok...plok...” suara pantat Irina naik turun dan maju mundur bergema di kamar. Nafasnya yang semakin memburu membuatku sadar kalau dia sudah semakin dekat lagi dengan puncaknya.

“Na, percaya sama Bli Dek, jangan berhenti ya,” kataku sambil tanganku mengarah ke lehernya, dengan dua jari kucengkram lehernya sehingga Irina mulai sedikit kesulitan bernafas,

“Ugh..Bli ekh?” tanya nya sedikit bingung dengan yang kulakukan.

“Jangan berhenti,” kataku sambil tetap memegang lehernya namun pinggulku sekarang juga ikut memompa naik turun berlawanan dengan gerakan Irina.

“Ahh..ah..ugh….” suara Irina mulai tidak jelas dengan wajah merah padam namun gerakannya tidak berhenti malah semakin cepat.

“Ahh...ah..Bli.. Dah...”

“Ayo keluarin Na,” kataku sambil mengeratkan cengkramanku di lehernya dengan pinggul yang bergerak semakin cepat.

“Ahh..ah..Bli..ahh… udah..ampir...” katanya dengan nafas yang menderu dan akhirnya ku lepaskan tanganku dilehernya berbarengan dengan teriakan kepuasan dari Irina.

“Srrttt...srttt..srtttt….”

“Aaaahhhhhhhhhh.. ” teriak Irina dengan pantat diangkat, tubuh ambruk kedadaku dan pinggulnya menghentak beberapa kali dengan kuat. Berbarengan dengan teriakan nya terasa semprotan cairan beberapa kali di perutku.

Squirt….Nyemprot...Muncrattt....

Kubalikkan tubuh Irina, membuka kondom yang berlumuran dengan cairan vaginanya dan mengarahkan penisku ke mulutnya. Sadar dengan apa yang ingin kulakukan, Irina hanya bisa membuka mulutnya dan memejamkan matanya.

Kukocok penisku dengan cepat dan sambil menempelkannya di mulut Irina. Dan,

“Crootttt...croottt...croott...”

Beberapa kali semprotan spermaku memasuki mulut Irina.

“Uhukk..Uhuk...” Irina terbatuk beberapa kali namun tidak ada cairan spermaku yang keluar dari mulutnya. Akupun ambruk kelelahan di sebelah Irina.

“Hah..hah...Mantap na, sempit dan menggigit,” pujiku.

“Apa! punya Bli Dek yang jumbo tuh,” jawabnya dengan mata terpejam.

“Eh Bli Dek, tumben lo Ina keluar sampai dua kali, dan tumben ampe muncrat gitu, pasti sering praktek dah Bli Kadek ya? Ahli gini mainnya” tanyanya dengan badan yang dimiringkan menghadap ke arahku.

“Iya lah, enak, ngapain juga gak?” kataku sekenanya.

Kulihat jam di dinding sudah menujukkan pukul 14.00, dan perutku sudah mulai keroncongan. Kupakai boxer yang ada di lantai.

“Na, mau makan disini? Aku mau masak, laper neh...” kataku sambil mengambil kondom bekas di lantai dan membuangnya di tong sampah sambil membuka jendela biar aroma pertempuran kami tidak begitu menyengat di kamar.

“Boleh bli dek, tapi Ina mau mandi dulu, lengket nih...”

“Tuh ambil handuk di belakang pintu, kalau mau mandi, tu kamar mandi disebelah timur dapur” jawabku sambil menuju ke dapur dan menyiapkan makan siang. Dengan hanya memakai handuk kulihat Ina menuju ke kamar mandi. Untung saja rumahku sepi dan jauh dari yang lain, kalau ndak pasti sudah jadi gosip pertempuranku dengan Ina tadi mengingat suara erangannya dan desahan kami yang tak terkontrol.

Selesai masak Ina masuk ke dapur dengan hanya mengenakan kemeja putih yang aku pakai. Pahanya hanya tertutup setengah dan bisa kulihat dua titik kecoklatan menjiplak di dadanya.

“Eh, jangan kelamaan liatnya, nanti pengen lagi bli dek,” goda Irina.

“Kalau pengen ya tusuk lagi,” jawabku singkat dan mengambil nasi dan lauknya.

“Kanggoin na, cuma bisa ini,” kataku nyengir melihat sup dan telur goreng yang ada.

“Yang penting bisa dimakan bli dek, lagian laper berat abis Bli Dek tusuk neh tadi,” kata Irina sambil duduk ngangkang sehingga vaginanya yang kemerahan dan mungkin sedikit memar itu kelihatan.

Selesai makan kami kembali ke kamar, dengan santai aku berbaring di kasur sementara Irina berdiri dekat jendela.

“Bli Dek pasti nganggep Ina cewek gampangan ya?” tanya Irina dengan senyum miris diwajahnya.

“EH?”

“Iya lah Bli Dek, ama ada cewek baik-baik ke rumah cowok yang baru dikenalnya, ngeseks, sekarang numpang makan laagi, hahaha” tawanya. Namun bisa kudengar nada getir disuaranya.

"Apa bedanya kalau udah kenal lama terus mau maen Na?" tanyaku balik

"Bli dek, dulu Ina gak kaya gini, tapi belakangan ini, Ina gak tahan sama semuanya..." jelasnya lalu bercerita mengenai kehidupan rumah tangganya.

"Ina dulu belum sanggup nikah, apalagi punya anak, yah tapi nasib, sekali tendang langsung gol, pertama Ina maen sama suami langsung jadi," kenangnya.

"Sama-sama belum siap, awal pernikahan kami sering banget bertengkar, apalagi ketika Yuni, anak Ina udah perlu susu seperti sekarang ini, Ina gak sanggup buat belinya, suami Ina jadi sopir antar pulau, jarang pulang, penghasilannya sebagian besar habis di jalan, " lanjutnya lirih.

"Ujung-ujung nya Ina sendiri yang harus kerja, tapi kerja apa? SMK saja gak lulus, nyari kerja apa men?" Kata Irina dengan mata yang mulai basah.

"Suatu hari Ina lihat hp suami, banyak pesan dari cewek-cewek lain, bahkan ada yang dari selingkuhannya di luar sana, pengen Ina cerai, tapi kasian sama anak. Ina kesepian, terus banyak cowok-cowok yang mulai sms atau WA, mau kenalan lah, mau apa lah" katanya dengan pandangan menerawang jauh.

"Kalau suami Ina boleh nyari cewek lain? Kenapa Ina gak boleh nyari cowok lain?. Bli Dek tau, Ina cuma balas chat cowok-cowok yang duluan chat Ina, tapi bli dek tau apa gosipnya?" tanyanya sambil beranjak dan duduk di ranjang.

"Ina dah tidur ma mereka kan?" tebakku.

"Hah. Bener Bli Dek, suatu hari Ina dihubungi pak kades, ditawari jadi staff, tapi Ina harus mau tidur sama dulu dia, awalnya Ina menolak, tapi..." suara Ina terbata.

Aku bangun dari ranjang dan memeluk Ina, wajahnya yang sudah basah dengan air mata ditelungkupkan ke dadaku.

“Huhuhu, suatu hari, anak Ina sakit, perlu ke dokter, Ina gak ada uang sama sekali, suami entah dimana gak bisa dihubungi, mertua juga gak ada punya uang, mau jual barang gak punya apa dirumah, berusaha minjem gak ada yang ngasih, dan akhirnya, huhuhu” tangis Irina sambil memeluk badanku. Kuelus pelan rambutnya sambil merenung.

Uang bukan segalanya, tapi segalanya perlu uang…

Aku teringat dengan kakek dahulu, yang menjual tanah sawah satu-satunya, agar aku bisa sekolah smp dan sma. Sekarang hanya tinggal rumah ini saja, dengan sedikit halaman. Keadaan kami dulu bisa dibilang hanya mengandalkan peluh sendiri untuk bisa bertahan hidup.

Keluarga semakin menjauh, teman, ah, kalau bisa dibilang ada yang masih mau berteman denganku dulu. Mungkin hanya satu dua yang bisa dibilang temanku dulu.

“Kurenan Ina ne dadi ngatuk nak luh len tapi nelahang pis, ngujang Ina sing dadi katuk e tapi nekaang pis?” tanya Irina penuh dengan ironi.

(Suami Ina boleh ngeseks dengan wanita lain tapi menghabiskan uang, kenapa Ina gak boleh ngeseks dengan orang lain tapi menghasilkan uang?

Aku terdiam mendengar pertanyaan Irina, kalau lelaki boleh menjadi hidung belang dan mata keranjang, kenapa wanita juga tidak boleh?

“Maaf bli dek, Ina malah jadi curhat gini,” kata Ina sambil menjauh dariku.

“Ina boleh nginep disini hari ini bli dek?” tanyanya dengan manja.

“Eh, men anakmu?” tanyaku ragu.

“Sama nenek dan kakeknya, Ina bilang nginep dirumah ibu sekarang” jawabnya pelan.

“Boleh dong, siapa sih yang gak mau ditemenin cewek cantik, apalagi masih kangen neh ma yang dibawah itu,” tanyaku sambil menunjuk ke arah pahanya.

“Pinjem celana dong Bli Dek, dingin nih kena angin, ” katanya sambil merapatkan pahanya.

Kuambil boxer dan kaos dan memberikannya kepada Ina yang langsung memakainya setelah membuka kemejaku, kami pun bercerita tentang pengalaman kami sambil tiduran dan tentunya saling meraba-raba. Semilir angin sore membuatku ketiduran.

Entah berapa lama aku tertidur ketika suara motor yang tidak asing terdengar memasuki halaman. Kulirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 17.00.

Dengan ragu aku mengintip dari jendela dan ketika melihat siapa yang datang aku merasa sedikit heran sekaligus senang. Dengan hanya memakai boxer aku keluar dari kamar dan menyapanya.

Dayu?” sapaku, antara heran dan senang.

“Eh, lagi sibuk ya?” katanya sambil melihat motorku dan motor Irina serta melirik aku yang hanya memakai boxer.

“Pacar baru atau?” tanyanya

“Cuma temen,” kataku lirih sambil menariknya kedalam pelukan. Diapun membalas pelukanku dengan hangat, bau parfum dan aroma tubuh yang menemaniku selama hampir tiga tahun ini memasuki hidungku, membangkitkan kenangan yang masih terasa segar di pikiranku.

“Gak diajak duduk neh?” godanya.

“Eh, ayo, kok tau rumahku?” tanyaku penasaran sambil mengajaknya duduk di beranda sehingga dia bisa melihat sekilas Irina yang masih tertidur dengan hanya boxer saja.

“Aaahhh… Itu kan boxer yang aku beri dulu?” katanya sambil mencubit pahaku.

“Ehhh… Cuma dipinjem kok,” kataku sambil meringis menahan sakit.

“Beh, boleh juga tuh, sudah berapa lama?” tanyanya.

“Apa berapa lama, sudah punya suami tuh,” jelasku.

“Eh, ganti selera sekarang? Gak suka daun muda lagi neh?” katanya sambil membuka jaket yang dikenakannya sehingga kaos hitam yang dipakainya terlihat jelas. Dua titik kecil tercetak jelas di permukaan kaos itu.

Kemudian dia menunduk membuka sepatu dan kaos yang digunakannya sehingga payudara yang entah berapa kali kulumat mengintip dari kerah kaos yang digunakannya.

“Gak nyasar nyari rumahku?” tanyaku lagi.

“Lah, kan ada google map, “katanya sambil menunjuk ke HP yang dibawanya. Lupa dulu akalu pernah memberikan koordinat rumahku kepadanya.

“Dek, aku nginep yah, besok baru mau ke Denpasar, ” katanya manja sambil merentangkan tangannya sehingga dua buah gunung kembar itu tercetak jelas di kaos ketat nan tipis yang digunakannya.

Eh, tunggu dulu, mau nginep, terus Irina…

“Ehemm…. Ayo mikir apa?” katanya sambil tangannya kembali mencubit lenganku.

“Hehehe… Biasa lah… ” jawabku sambil membayangkan tidur dengan dua orang wanita yang sama-sama besar gairah seksualnya.

Gimana kalau mereka mau…

Modhar toh kowe, an....

Bklan 'diperkosa' semlman, kro 2 cewek....

Sesoke mlebu Kantor pk wheelchair, Rak kuat mlaku......

:ngakak...
 
Bagian 7 : Kisah Cinta Waktu Kuliah.

Irina POV


"Dek, aku nginep yah, besok baru mau ke Denpasar, ” suara wanita terdengar samar di telingaku. Sambil berusaha membuka mata yang terasa berat, kulirik kearah depan pintu.

“Ehemm…. Ayo mikir apa?” suara itu terdengar lagi, sambil membuka mata lebih lebar, kulihat seorang wanita dengan kaos ketat warna hitam duduk di beranda.

“Hehehe… Biasa lah… ” suara tawa Bli Kadek terdengar menjawab pertanyaan wanita yang badannya terlihat dari samping.

Wajahnya cantik! Dengan dagu yang runcing, bibir tipis dan kulit yang putih terawat. Mau tak mau kulihat ke arah dadanya dan membandingkannya dengan milikku.

"Uuhhhh..." Keluhku pelan ketika merasakan vaginaku sedikit perih.

Ingatankupun melayang ke arah ular besar yang baru saja bersarang disana.

"Eh, pacarmu dah bangun tuh dek," kata wanita itu yang membuat wajahku terasa panas.

"Eh Na, ayo kenalan dulu," kata Bli Kadek yang berdiri didepan pintu dan melambaikan tangan ke arahku. Dengan ragu aku bangun dan menghampiri mereka dan wanita itu pun berdiri sambil tersenyum.

"Irina"

"Dayu" jawabnya sambil kami berjabat tangan.

"Pacarnya Kadek ya?" tanyanya sambil duduk dan tersenyum ke arahku.

"Eh nggak kok, cuma temenan," jawabku malu.

"TTM ya? Teman tapi mesum ya?," tanyanya blak-blakan yang membuat wajahku panas. Entahlah, tapi ku dengar sedikit nada cemburu di dalam pertanyaanya itu.

“Ehh… itu… ” aku pun tergagap, tidak tau bagaimana cara menjawab pertanyaannya. Yang bisa kulakukan hanya memandang Bli Kadek yang tersenyum saja melihat kami berdua.

“Eh, ayo duduk, jangan pada berdiri aja,” ajak Bli Kadek sambil duduk di beranda. Aku hanya bisa mengangguk dan duduk disebelah Dayu yang dengan manja bersandar di badannya Bli Kadek.

“Eh, jangan tegang gitu, santai aja, aku bukan pacarnya Kadek kok, sama kayak kamu, TTM nya,hehehe” kata Dayu yang membuatku membelalak heran. Bagaimana tidak, biasanya kalau TTM-an ketemu teman wanita yang lain pasti akan cemburu, Dayu justru cuek saja.

“Ah…. Kasi tau Dek, biar gak salah sangka, ” pinta Dayu. “Aku mau ganti baju dulu,” sambungnya sambil melangkah ke dalam kamar. Dari belakang bentuk tubuhnya yang proporsional membuatku iri.

“Kami dulu deket banget saat kuliah, bisa dibilang hampir seperti pacaran, cuma banyak hal yang membuat kami tidak bisa pacaran atau melanjutkan hubungan kami ke tingkat yang lebih lanjut,” terang Bli Kadek.

“Masalah kasta?” tebakku.

“Mungkin salah satunya, tapi bukan hanya itu saja. Dayu anak tunggal, aku juga anak tunggal disini, yah, tau kan sekarang?” kata Bli Kadek sambil tersenyum getir.

Duh, salah satu rintangan yang sulit dilewati, terutama disini di Bali. Masalah penerus keturunan, yang kalau di Bali memakai garis keturunan laki-laki.

“Bli Dek gak mau nyentana? Toh Bli Dek kan sendiri juga disini?” tanyaku heran.

“Ah.. Nyentana ya? Aku juga pernah berpikir begitu, tapi rasanya sulit meninggalkan rumah ini Na, apalagi aku sudah berjanji pada kakek, akan menjaga rumah dan meneruskan garis keturunan keluarga kami. Sejak kecil kakek tidak pernah meminta apapun kepadaku, namun sesaat sebelum meninggal, beliau minta itu kepadaku. Aku bukan orang baik-baik Na, tapi dalam hidupku, aku berusaha menepati janji yang aku berikan kepada siapapun itu, apalagi janji kepada orang sangat berjasa dalam hidupku” jelas Bli Kadek. Kudengar nada bangga dalam suaranya dan ketika menyebutkan kakeknya, Bli Kadek yang biasanya ceria terlihat sedih.

“Sejak pertama kali kami bertemu saat kuliah, kami sudah merasa cocok, namun, yah.. Halangan itu membuat kami tidak bisa melanjutkan ke hubungan yang serius, aku dan Dayu sama-sama tahu itu. Sejak awal kami sudah membuat kesepakatan, kalau kami menemukan pasangan, saat itulah hubungan kami akan berakhir, tapi entahlah, gak ada yang menemukan pasangan saat kami kuliah,” katanya lagi.

“Namun saat-saat terakhir kuliah, Dayu dijodohkan dengan seseorang yang mau nyentana dengannya, bahkan ku dengar mereka akan segera menuju ke pelaminan,” lanjut Bli Kadek dengan getir.

Sambil menarik nafas panjang kulihat Bli Kadek memandang ke kejauhan. Pedih itu terlihat di matanya.

“Sudah-sudah, jangan bahas itu lagi,” sela Dayu yang sekarang sudah berganti pakaian. Aku sendiri sebagai cewek terkesan melihat penampilannya. Sama sepertiku dia mengenakan boxer, yang mungkin punya Bli Kadek, sedangkan atasannya dia memakai tanktop tipis sehingga samar terlihat aset bagian atasnya dengan puting yang terjiplak jelas. Rambutnya yang tadi dikuncir kuda sekarang digerai sebahu dengan wajah yang bersih dari make up.

“Dek, dulu katamu ada sungai disini, mandi yuk? Gerah nih,” ajaknya sambil tersenyum ke arah Bli Kadek dan ke arahku.

“Eh, aku gak bawa ganti, ” jawabku berusaha mengelak.

“Beh, gak usah ganti, lagian kalau sama Kadek, gak bakalan dikasi pake pakaian malemnya, hihihi” sela Dayu yang membuatku tertegun, lupa dengan kedekatan mereka.

“Ayok dah, mumpung belum terlalu sore,” ajak Bli Kadek sambil mengambil handuk dan perlengkapan mandi. Dayu juga sama, mengambil perlengkapan mandi dari kamar.

“Eh, tunggu,” pintaku ketika melihat Dayu keluar kamar dengan membawa handuk dan yang lainnya. Didalam kamar aku mengambil kaos tanpa lengan tipis untuk baju ganti sambil membuka boxer yang aku kenakan dan memakai celana dalam merah berenda. Kupakai kembali boxer yang tadi kulepas dan menghampiri Bli Kadek dan Dayu yang menunggu di depan.

“Ayo,”ajak Bli Kadek sambil memimpin di depan. Kami keluar dari halam rumah Bli Kadek dan menuju ke sungai yang jaraknya tidak terlalu jauh.

“Wah, masih bening nih airnya,” seru Dayu ketika kami sampai di pinggir sungai. Namun Bli Kadek tidak berhenti disini tetapi mengajak kami menuju sedikit ke utara, dimana sekilas lokasinya cukup tersembunyi.

“Aww...awww…. Tempatnya bagus neh, sepi lagi...” kata Dayu sambil tanpa malu-malu membuka tanktop yang digunakannya. Sehingga payudaranya yang kencang terlihat menyembul menantang. Sambil melirik kearah Bli Kadek Dayu berbalik dan nungging sambil melepas boxer yang digunakannya.

Dengan gerakan yang perlahan dan sensual serta sambil menggoyangkan pelan pantatnya, boxer itu turun melewati pantat yang membulat itu, yang hampir tak tertutup lagi, hanya tali warna hitam yang berbentuk T kontras dengan warna kulitnya yang putih. Samar kulihat vaginanya dari belakang.

“Wow.. ” seru Bli Kadek dengan pandangan yang tidak berkedip memandang aksi Dayu.

“Eh, kok kalian masih pake baju sih?” katanya ketika berbalik menghadap kami. G-string hitam tipis itu seolah tidak bisa menutupi vaginanya yang masih terlihat rapat dengan bibir yang tipis dan kecoklatan itu. Samar terlihat rambut kemaluannya yang pendek ditata dengan bentuk segitiga.

“Eh, siapa takut?” jawab Bli Kadek sambil menurunkan boxer yang dikenakannya sehingga ular besarnya terlihat menggantung dengan gagahnya.

Aku masih ragu untuk telanjang di depan Dayu, namun melihatnya yang hampir bisa dikatakan telanjang, aku memegang kaos yang aku kenakan namun masih ragu untuk melepasnya.

“Eh, aku bantu ya,” kata Dayu dan tanpa bisa kucegah tangannya memegang ujung kaosku dan dengan pelan membantu melepaskannya. Entah sengaja atau tidak, ketika tangannya mengangkat kaos yang aku kenakan, kedua tangannya itu menggesek putingku yang hampir membuat aku mendesah.

"Eits, gak boleh megang" katanya ketika Bli Kadek mendekat ke arah kami.

"Behhhhh…." Gerutu Bli Kadek sambil menjauh dan duduk berendam di air sungai.

Sambil menutupi payudaraku dengan kedua tangan, tangan Dayu memegang karet boxer yang aku kenakan dan menurunkannya. Otomatis aku hanya mengenakan celana dalam merah berenda itu saja sekarang.

Sambil tersenyum Dayu menaruh boxer dan kaos di tumpukan baju kami di tepi sungai. Dia menarikku sedikit ke utara, berhadapan dengan Bli Kadek yang duduk menghadap ke utara, di belakangnya terlihat ada batu besar.

"Ihhh kok ditutupi sihh… Bagus gini kok, " katanya sambil menarik tanganku sehingga payudaraku bisa dilihat Bli Kadek dengan jelas. Dia lalu sedikit pindah sehingga berada di belakangku. Kulihat Bli Kadek, ularnya terlihat mulai menggeliat di bawah sana.

"Giliran nanti ya," bisik Dayu yang membuatku sedikit bingung dan terkejut ketika kurasakan tangannya menarik pundakku sehingga kami jongkok di air, menghadap Bli Kadek lalu tangannya menyendok air sungai dan memercikkannya kearahku.

Tidak itu saja, dia meraih ke arah sabun cair yang dibawanya dan kemudian menuangkannya ke pundakku. Perlahan sabun itu mengalir ke arah dada, perut, sampai akhirnya hanyut terbawa air.

Awalnya aku merasa risih, namun melihat Bli Kadek yang hanya bisa menelan ludah melihat aksi kami, membuat nafasku sedikit memburu dengan hati yang penasaran dengan apa yang akan dilakukan Dayu berikutnya.

Perlahan tangannya mengusapkan sabun cair itu di leher, pundak, hingga punggung. Jemari lentik itu kemudian bergerak ke dadaku dan mengusapnya dengan gerakan memutar. Putingku yang mengeras, entah karena dingin atau menikmati keadaan ini pun tak luput dari jarinya. Kurasakan juga dua gundukan padat, menekan punggungku. Kulihat tangan Bli Kadek meraih penisnya dengan mata yang tak berkedip melihat live show di depannya.

"Eits…Gak boleh ngucut..." Kata Dayu vulgar. Sementara itu tangannya beralih keperutku dan dengan gerakan memutar membelainya. "Nikmati saja na, " bisik Dayu ketika aku memegang tangannya yang hendak mengarah ke vaginaku.

"Hmmm…." Desahku pelan ketika jemari Dayu membelai bibir vaginaku dari balik celana dalam yang aku kenakan.

"Aahhh..." Desahku lagi ketika payudara kiriku diremas dengan sedikit keras yang membuat tangan kananku melepas jemarinya yang menyusup masuk, membelai klitorisku yang sensitif.

"Iiihhhh dek… puting dan klitnya Ina dah keras gini nih… Pasti dah kepengen banget nih..." Bisik Dayu dengan lidahnya menjilat pelan daun telingaku yang membuat aku menggelinjang geli.

Kulirik Bli Kadek, penisnya terlihat mengacung tegak, keras maksimal.

"Aahhhhh….." jeritku ketika kurasakan jemari Dayu menerobos vaginaku dan mengocoknya dengan cepat. Aku hanya bisa mengerang merasakan kenikmatan yang diberikannya dibawah sana. Ingin kuminta dia mengocoknya dengan lebih cepat.

Perlahan aku mengarahkan jemariku ke belakang, kearah bagian bawah tubuh Dayu dan mencari lobang vaginanya, namun sayangnya tanganku ditepisnya. Sementara itu, jemarinya juga berhenti mengocok lobangku.

"Hihihi… ayo mandi dulu" katanya sambil menarikku hingga berdiri.

"Plakk!"

"Aduh,"jeritku ketika tangannya menampar pantatku lalu tangannya menarik turun celana dalam yang aku pakai dan melemparnya ke arah Bli Kadek yang menangkapnya dan menciumnya dengan rakus.

Wajahku terasa panas melihat kelakuannya, namun belum sempat aku melarangnya, kurasakan tangan Dayu memelukku dan menggesekkan dadanya di punggungku. Tangannya juga tak tinggal diam,meremas pantat, dada dan terkadang menggesek pelan daging kecil diatas vaginaku.

"Ayo na," kata Bli Kadek sambil menarik tanganku ke arah batu besar di belakangnya. Tangannya menarik kepalaku ke arah penisnya. Kukocok pelan penis dengan kepala kemerahannya itu. Sementara itu, Dayu mengambil posisi tegak lurus denganku, tangannya meremas pantatku sebelum dengan nakalnya masuk ke celah basahku.

Kulirik kebelakang dan Dayu dengan tangan di vaginaku, pantatnya menungging ke arah Bli Kadek.

"Aahhh.. terus yank," katanya sambil memejamkan mata, ketika jemari tangan Bli Kadek maju mundur di vaginanya.

"Hisep na," pinta Bli Kadek sambil mengarahkan penisnya yang tegang itu ke mulutku. Kuhisap kepala penisnya sambil terkadang menyedotnya dengan pelan. Tangan Bli Kadek menekan kepalaku kerahnya, berusaha memasukkan penisnya lebih dalam ke dalam mulutku.

Kocokanku di penis Bli Kadek semakin cepat, seiring dengan kocokan Dayu di vaginaku. Pengalaman pertama aku bermain bertiga membuat nafsuku semain naik.

"Ugf...ufg..uh…"

"Uhmm..uhh…"

"Ahh…."

Suara desahan kami terdengar bersahutan, mencoba mengejar puncak kenikmatan masing-masing. Pelan tapi pasti rasa itu semakin dekat, berpusat di klitorisku yang membengkak setelah digesek Dayu dengan cepat sehingga tak sengaja, pinggulku bergerak kebelakang mencoba menekan klitorisku lebih keras.

Hisapanku di penis Bli Kadek juga semakin cepat dan kudengar nafas Bli Kadek sudah mulai memburu.

"Ehhh…?"

"Sudah-sudah… nanti lanjut dirumah" kata Dayu dengan nakal.

"Yah..."

Suara kecewa Bli Kadek terdengar ketika dengan sengaja Dayu menarikku menjauh darinya. Tubuh kami yang basah oleh sabun hanya bisa dinikmati oleh Bli Kadek lewat matanya. Dengan jahil Dayu bergoyang pelan, menggosokkan sabun ke tubuh kami. Beberapa kali dia mencoba mencium bibirku namun kutolak dengan malu.

Setelah capek menggoda Bli Kadek, kamipun kembali kerumah.

Bner khan....
Ht² jgn smp bsok msti pk wheelchair, gr² semlman ngecrot ya, bli Kadek.....


:nohope:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd