Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Lanjut Gan...

Tahun pertama, hubunganku dengan Mbak Ais betul sebatas rekan kerja. Saat itu ekonomi keluarga belum cukup mapan, walaupun jalur karier cukup menjanjikan. Fokus di urusan kerjaan adalah opsi logis yang kupunya, tanpa pernah berpikir macam-macam soal kehidupan ranjang dan percintaan. Apalagi nyari perempuan lain. Istriku pegawai sebuah unit kerja pemerintah, dengan beban kerja yang lebih berat dariku. Aku tahu posisi itu yang ia inginkan sejak sebelum menikah. Karakternya cenderung cuek, komunikasi dan chemistry yg kami punya juga lemah sekali. Aku memilihnya karena sosok keibuannya yang dibutuhkan anak-anak ku kelak. Dia adalah sosok ibu yang luar biasa, dengan akar budaya jawa mataraman yang sangat kuat. Namun, tidak demikian sebagai istri. Hubungan intim kami nyaris tanpa meninggalkan kesan apapun. Sekadar menunaikan kewajiban layaknya suami-istri. Pun demikian, puji tuhan kami dikaruniai putra sulung. Saat itu masih usia 1 tahun.

Di tahun pertama pertemananku dan Mbak Ais, aku tahu kepala kantor menginginkan mbak Ais. Beliau memang cukup terkenal sebagai petualang kehidupan malam. Dalam beberapa kesempatan, beliau tidak segan mengumbar ketertarikannya. Beberapa kali kudapati Mbak Ais diajak rapat berdua di ruangannya. Aku yakin itu hanya modus. Padahal dari gelagatnya, Mbak Ais tampak tidak nyaman. Atau emang si embak lagi main malu-malu kucing. Entahlah. Nggapleki cuk....

Saat itu, Mbak Ais memang menjalin hubungan dekat pula dengan pegawai keuangan kami. Teman seruanganku. Sembilan tahun lebih tua dariku. Dia memang bertubuh atletis, punya bisnis sampingan yang cukup maju. Dengan pembawaan yang tenang, plus paham seluk beluk keuangan. Urusan yang ditangani si mbak memang menuntut pemahaman keuangan dan teknis yang ciamik. Mungkin itu yang membuat Mbak Ais dekat. Lebih dari itu, wanita muda, jauh dari suami, kesepian, pastilah membutuhkan sosok pria, setidaknya sebagai tempat berbagi. Atau ada alasan lain. Hingga kini aku tidak pernah menanyakan lebih jauh.

Di akhir tahun, kontrak Mbak Ais habis. Dia kembali ke pulau seberang, bersatu lagi dengan suami. Saat itu tidak ada rasa kehilangan. Dia masih kuanggap partner kerja yang baik, menarik secara penampilan, tidak lebih. Tidak demikian dengan seisi kantor. Nyaris semua om-om genit itu tidak rela ditinggal. Di akhir tahun itu, saat aku masih bergelut dengan persoalan keuangan kantor, gosip tentang Mbak Ais menggangguku. Dia dikabarkan bisa di-BO. Tarifnya cukup tinggi, semalam nyaris sebulan gajiku. Aku mencoba tidak memikirkannya lebih jauh. Gagal. Kok bisa?

Sebulan setelahnya, aku sedang mencari alat elektronik di sisi selatan kota. Di tengah obrolan basa-basiku dengan penjaga counter, aku yang tengah memakai seragam kantor ditanya tentang tempat kerjaku. Saat kujawab kantor X di sisi utara kota, mas penjaga spontan merespon.

"Sekantor ro Ais, mas?"

Lah. Kok kenal. Dia dengan enteng menjawab pertanyaanku. "Yo, ngerti wae (tahu aja)..."

Percakapan tidak penting itu ternyata membekas di kepalaku. Hingga sekarang. Waktu itu pikiranku seakan mengiyakan gosip yang kudengar. Tanpa alasan dan alur logika yang jelas, dengan cocoklogi ngawur, aku menyimpulkan.

Mbak Ais pancene iso dinggo tah??? Wah kacau lah.


Sambung lagi....
 
Terakhir untuk hari ini.

Di tahun kedua, kantor mengalami penataan ulang. Sebagian karyawan diganti oleh personil dari unit teknis lain. Aku kembali ditunjuk di posisi strategis. Atasanku, seorang ibu yang tengah sakit organ dalam, adalah orang pindahan dari kantor pusat. Di akhir tahun lalu beliau telah mulai bekerja di kantor kami. Telah mengenal Mbak Ais pula. Saat kami membuka slot untuk tenaga ahli pendukung, tanpa banyak ba-bi-bu dipilihlah Mbak Ais. Sekejap mata,.....mmmm, gak terlalu sekejap, sebulan lah, Mbak Ais telah kembali ke kantor kami. Kini ruangannya tak jauh dariku. Hanya berbatas lorong dan ruang arsip, yang sering kami pakai sebagai mushola darurat.

Tahun ini beban kerja kami lebih berat, pada akhirnya kuputuskan untuk manambah personil, tenaga bantu, satu level dengan Ais. Dua orang terpilih. Keduanya sangat bisa diandalkan. Namun Mbak Ais tetap lebih menonjol. Secara harfiah, memang Ais lebih menonjol dari tahun lalu. Dia Tampak lebih dewasa, komunikasi lebih baik, penampilan lebih elegan. Dalam satu kesempatan meeting sempat kubercandai.

"Koe kok dadi ayu mbak? (kamu kok jadi cantik, mba)"

"Iyo lah, mulane butuh perawatan. Pencairanku ojo mok tunda-tunda loh. (iya dong, makanya perlu perawatan. Gajiku jangan ditunda loh)"

Saat itu salah satu tugasku adalah mengurus pencairan gaji para tenaga ahli pendukung

"Ra mempan, mok rayu po piye ngono loh (gak mempan, kamu beri rayuan atau gimana gitu)"

Dijawab sekenanya dengan "Ishhh, nyebeli"

Seingatku, momen itulah yang memulai kedekatan kami. Entah bagaimana, kami jadi teman akrab, tidak sungkan bercanda, aku yang sebelumnya seolah menjaga kharisma tetiba merasa muda lagi. Suasana kantor yang tadinya kaku, tiba-tiba mencair. Mbak Ais benar-benar membawa energi baru. Kantor kami seolah bertransformasi menjadi sekelas Google dan facebook, agak berlebihan sih, tapi tau lah ya pointnya gimana.

Tentu saja, kehadiran Mbak Ais menarik perhatian para om-om. Setidaknya demikian pengakuan Ais ke aku. Tidak hanya dari kantor kami, dari mitra kerja, dari kantor pusat, bahkan dari pengendara motor yang hanya berpapasan di jalan (rela putar balik, ngejar, sebelah-sebelahan, ngajak kenalan, minta nomor). Gitu katanya.

Lalu perasaan aneh itu muncul. Tentang kabar Mbak Ais yang bisa di-BO. Walau kami sudah akrab, hingga kini pun, gak sampai hati aku tanyakan. Tapi di sisi lain rasa penasaran itu sungguh mengganggu. Puncaknya suatu malam aku bermimpi. Jelas sekali mimpi itu. Sedemikian jelas, sampai-sampai aku gak fokus kerja nyaris seminggu. Koyok wong linglung.

.......
Aku seperti berada di sebuah bangunan.
Bangunan ini bersih, tanpa jendela kaca, tanpa atap.
Ada dua lantai. Aku tengah berdiri di lantai satu. Tepat di bawah tangga.
Dari ruang sebelah kudengar suara tawa kecil.
Suara Mbak Ais.

Dia berbusana muslim, daster panjang, tidak memakai hijab, rambutnya hitam terurai.
Dia berlati ke arahku.
Tanganku digenggamnya. Tersenyum dia kepadaku. Manis sekali.
Segera ditarik aku ke lantai atas.
Dibawa masuk ke ruang kanan, tepat setelah anak tangga terakhir.
Ruangan ini lebih bersih dari lantai bawah.
Di lantai hanya ada tikar agak tebal. Mungkin semacam karpet permadani, tapi tipis. Tidak cukup hangat.

Tiba-tiba saja kami dalam posisi siap tempur. Busana entah kemana.
Si adik kecil sudah tegang. Ujungnya tepat menempel di bibir vijay si embak.
Aish di bawah, berbaring di tikar. Tangannya merangkul leher belakangku. Msih dengan senyumnya
Aku kaku. Tidak ada gerakan apapun.

Tak lama, si adik bergerak masuk. Anehnya aku berusaha menariknya keluar. Memaksanya untuk sopan dikit. Jangan langsung tusuk lah. Gagal.
Si Adik malah makin tegang. Lalu Hangat.

Mbak Aish mendesah. Tipis. Lalu suaranya tertahan.
Badannya menggeliat.
Pantatnya berusaha naik.
Dia mendesah lagi. Dengan suara desahan paling hot yang pernah aku tahu.
Aku bahagia. Entah bangga. Entah sok perkasa.
Aku bagai pahlawan.
Yang tengah memimpin pasukan merayakan kemenangan setelah perang tujuh hari tujuh malam. Melawan pasukan gajah. Entahlah.

Lalu mata mbak Ais berkaca-kaca.
Senyumnya tipis.
Dia menoleh ke kanan. Ke arah pintu keluar.
Lalu matanya membesar. Kaget.
Ada pak Kepala Kantor di luar sedang membawa buku catatannya.
Dengan pakaian dinas lengkap.
"Ayo meeting"

Mbak Aish segera berpaling ke arahku.
"SERIOUSLY????"
....


Aku terbangun. Aku mimpi basah.
Jinguk.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd