Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Kisah Nyata) Bumbu Kehidupan

Bonus gan
Penampakan TS dan Mbak Ais, diambil sekitar dua tahun yang lalu.
Mohon bagi yang kenal kami berdua. Sekut sekut aje ye

(terpaksa di sembunyikan, terindikasi kehadiran PK)

Kira kira berapaan tu BB nya? Td ditanyain, gak mau jawab dia :)
 
Terakhir diubah:
Bonus gan
Penampakan TS dan Mbak Ais, diambil sekitar dua tahun yang lalu.
Mohon bagi yang kenal kami berdua. Sekut sekut aje ye



Kira kira berapaan tu BB nya? Td ditanyain, gak mau jawab dia :)
gemol:genit: mentek mlenuk-mlenuk... tapi kalau skala ukur dengan bobot 60-70 isinya corr kale mass.. bingung nggendonge..
tapi memang ada perempuan kecil padat macam Vicky Burky full otot otomatis :berat:berat kalau diangkat-angkat.:bata:
 
Kuy lanjut ah

Pertengahan tahun kedua.
Kantor super sibuk. Istri pun demikian. Pulang ke rumah hampir selalu di atas jam 8 malam. Urusan rumah nyaris tak tersentuh. Jangankan untuk bercinta, ngobrol saja jarang. Sebagai laki-laki dewasa, tentu aku rindu kehangatan istri, perhatian, seharusnya kami bisa menyisakan sedikit waktu untuk berdua. Kenyataan tidak begitu. Sibuk dengan urusan masing-masing.

Di Kantor aku dan Mbak Ais semakin dekat. Urusan kerjaan yang berjubel, nyatanya medekatkan kami, bahkan tanpa kami sadari. Di depan tim kerja, kami tampak saling melengkapi. Aku mengatur teknis, detail administratif dikerjakan Mbak Ais. Komunikasi jadi makin intim.

Ada satu momen ketika kami membercandai kesendirian mbak Ais. Bagaimana sepinya hidup jauh dari suami. Di ruangan tim pendukung ahli yang mayoritas perempuan itu, kami tak canggung menjadikan topik esek-esek sebagai bahan candaan. Gayung bersambut. Ternyata Ais merespon dengan guyonan pula. Jadilah kami pasangan imajinatif. Teman sekantor tau kalo kami hanya bercanda. Pimpinanpun tau jika tim kerja kami memang berisi anak muda yang gemar ngelawak. Aku anggap ini adalah ekosistem kerja yang baik. Setidaknya kekompakan kami berdua bernilai positif bagi karier masing-masing.

Kerjaan yang bertumpuk itu memaksa tim kerja untuk ber-overtime. Masalahnya, sebagian besar anggota tim telah berkeluarga. Tentu aku memahami jika mereka lebih mengutamakan waktu kebersamaan dengan keluarga masing-masing. Silakan saja. Aku sebagai penanggungjawab, akhirnya terpaksa bekerja lebih keras. Tidak sendiri. Bertiga. Ditemani ibu bendahara (staf senior) dan tentu saja Mbak Ais. Tim mubeng, sebutan kami. Mulih Bengi.

Awalnya bertiga. Menjelang magrib, kami rehat sebentar. Biasa pesan makan malam di warung dean kantor. Sekadar mie instan pedas, gorengan, dan susu jahe. Cukup me-recharge semangat. Apalagi ditemani Mbak Ais, yang ditengah cahaya lampu ruang kerja, tampak lebih mempesona. Juga karena obrolan guyon-dewasa yang biasa kami lontarkan.

Ah saya jadi kangen momen itu.

Oke lanjut.

Makin kesini, ibu bendahara makin sulit menyempatkan waktu sorenya. Konon kabarnya si suami tidak mengizinkan beliau pulang larut. Tersisa aku dan mbak Ais. Dengan rutinitas nge-mie dan nyusu yang tetap kami pegang teguh. Karena tinggal berdua, topik obrolan bergeser ke soal pribadi. Kami mulai mengenal satu sama lain. Aku yang tadinya ber-imej pendiam. menjadi diriku yang sebenar. Tukang ceramah.

Apapun kubagi dengan Mbak Ais. Tentang masa lalu, kondisi keluarga, juga kehidupan ranjang. Seperti dugaanku, dia membalas dengan cerita dirinya. Tentang suami yang beberapa kali kepergok main serong. Hingga kesedihannya karena belum bisa memiliki keturunan.

"Ganti jago, noh. (ganti laki lakinya aja)" sambutku
"Sopo? koe? (siapa, kamu?)"
"Yo nek gelem. Hehehehe (ya, kalau mau)"

Kujawab sambil lalu. Serius tapi guyon. Mancing kali, usaha, sapa tau ya kan.

Aku tak berani memandangnya. Setelah senyum genit, sambil angkat alis, kutinggalkan dia sediri di ruang meeting. Aku bergegas kembali ke meja kerja. Headset kupasang. Fokus dengan itungan excel di layar monitor.

Tak lama, Ais menyusul masuk ruangan.

"Ini laporan, kegiatan bulan lalu" katanya sembari menyerahkan setumpuk dokumen bercover biru muda.

"Siip. gak perlu diperiksa lah. Udah percaya aku mah"

Dia hanya tersenyum. Tak beranjak dari tempatnya berdiri. Dia menatapku, senyum tipis, tapi tampak tegas. Aku buka headset. Tangan kulipat di atas meja. Mirip anak SD yang akan mulai pelajaran pagi.

"Kamu serius tadi mas?" kata dia

"Kalo iya, gimana?"

Aku bangkit dari kursiku. Kami masih saling menatap.
Kuberanikan diri mendekat.
Tanganku spontan menyentuh pinggang. Lanjut ke pantat. Lembut. Hangat. Ini luar biasa.

Seakan waktu terhenti.

Kami berciuman. Sangat intim.

Bibirnya lembut. Mbak Ais jago banget.
Gerakan kecil bibir dan lidah itu menunjukkkan semahir apa dirinya.
Ini ciuman seorang yang dipenuhi gelora.
Mbak Ais membuaiku. Aku bahagia. Membuncah. Melayang.
Ambyar.

Aku mencoba menikmati momen itu. Senikmat-nikmatnya.
Matanya masih terpejam. Kadang membuka tipis. Lalu kembali terpejam.
Aku tau dia sedang menikmati kontak fisik kami.
Tangan kiriku menahan punggungnya. Lebar. Lebih nyaman dipeluk.
Jauh lebih nyaman dari pelukan istri.

Lama hingga akhirnya kuputuskan cukup.
Bibirku kutarik pelan.

Kupandang wajahnya. Cantik. Pasrah. Dewasa. Penuh harap.
Kuberikan senyumku. Senyum tulus. Seolah berterima kasih.

Kami berpelukan...

.....
Bersambung kembali
 
Masuk musim hujan. Tahun kedua. Triwulan keempat.

Aku dan mbak Ais. Kami berusaha senatural mungkin. Berusaha menutupi hubungan terlarang ini dalam bayang-bayang cahaya remang. Semua orang tau kalau kami partner kerja yang profesional. Istriku pun tau itu. Walaupun belum pernah bertemu. Sepanjang yang kutahu, dia percaya full ke suaminya ini. Saat bersamanya aku memang berkesan spontan. Saat melihat ada wanita cantik, aku sampaikan

"Mah, mbake ayu ik"

Dia paham itu sebagai selingan semata. Palingan ditanggapi sambil lalu.

Aku ingin menunjukkan padanya bahwa aku adalah sosok yang terbuka. Tidak ada yang perlu ditutupi. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Semua partner kerja, dikenalnya. Demikian juga aku mengenal mitra kerjanya. Aku bercerita tentang sibuknya urusan kantor. Semua, kecuali satu.
Kami seolah pasangan normal. Bahagia. Harmonis.

Betul?

Tidak.
Tidak Ferguso.
Tidak begitu.
Sesungguhnya aku tidak bahagia.

Aku jauh lebih bahagia saat bersama Mbak Ais. Di kantor, maupun di lapangan. Saat meeting bersama tim, juga saat berbalas pesan pendek. Saat melihatnya dirayu para mitra kerja kami. Pun saat dia tampak kebingungan mengatur jadwal acara.
Aku menikmati saat saat itu.

---------

Sejak ciuman pertama kami sore itu. Aku tenggelam lebih dalam.

Satu kali, masih di ruang kerjaku. Aku iseng pegang bokong ranumnya. Cubit kecil.
Diam saja dia. Senyum saja.

"Kamu mau? pegang aja sini"

Lah. Malah ditawari. Adoh, haussss.....

Momennya mirip saat ciuman pertama. Sore. Lepas maghrib.
Pada akhirnya aku mulai meremas-remas bagian luar saja. Agak kasar. Terganggu kain roknya yang berbahan kasar.

Tangannya kutarik masuk ke ruang dapur. Kecil di seberang lorong. Hanya ada satu pintu masuk. Jendela belakang gelap. Tampaknya para OB sudah pulang. Aku belum memastikan. Rada takut. Takut ketahuan. Tapi, ah, bodo amat, sikat aja.

Kudorong ia ke dinding.
Kucium bibirnya dengan nafsu membuncah.
Dia bereaksi, sama seperti saat ciuman pertama.
Kali ini lebih kasar. Lidahnya turut serta.

Tanganku masih menempel di pantat semoknya.
Berusaha kuremas kuat kuat. Jangkauan telapak tangan kupaksa selebar-lebarnya.
Tidak berhasil.
Bokongnya terlalu besar. Sintal. Empuk. Memabukkan.

Aliran udara panas kini telah menjalar di seluruh tubuh.
Aku terangsang hebat.
Si terong pastinya bereaksi.

Aku tak berani mengeluarkannya. Kuatir crot duluan. Malah Bubarr...
Tapi Mbak Ais tahu. Dia seakan paham apa yang tengah kualami.
Dielusnya perutku, lembut. Turun ke selangkangan.
Bagian luar celana jinsku telah dijaganya.
Resleting masih terpasang.

Tangannya mulai menjamah bentuk si terong.
Aku malu.

Terong semakin keras. Permainan lidahnya makin memancing huru hara.
Aku tahu ia mau. Dia juga pengen.
Harusnya begitu. Pastinya begitu.

Tangan kananku mulai tak terkendali. Diraihnya dada kiri mbak Ais, masih tertutup baju kerja.
Besar. Besar sekalis susunya.
Jauh lebih besar dari punya istri.
Menggemaskan.
Mulai kuremas lembut.

Mbak Ais mendesah.

Aduh pakde, ajurrr aku rek.....

Lalu Adzan isya terdengar. Keras. Tepat dua dinding dibalik gedung kantor.

Spontan kami berhenti.
Stop begitu saja.
Nyesss. Bagai bara arang disiram air es.


...bersambung lagi ndan. Siap siap jumatan
 
Terakhir diubah:
Lanju
Masuk musim hujan. Tahun kedua. Triwulan keempat.

Aku dan mbak Ais. Kami berusaha senatural mungkin. Berusaha menutupi hubungan terlarang ini dalam bayang-bayang cahaya remang. Semua orang tau kalau kami partner kerja yang profesional. Istriku pun tau itu. Walaupun belum pernah bertemu. Sepanjang yang kutahu, dia percaya full ke suaminya ini. Saat bersamanya aku memang berkesan spontan. Saat melihat ada wanita cantik, aku sampaikan

"Mah, mbake ayu ik"

Dia paham itu sebagai selingan semata. Palingan ditanggapi sambil lalu.

Aku ingin menunjukkan padanya bahwa aku adalah sosok yang terbuka. Tidak ada yang perlu ditutupi. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Semua partner kerja, dikenalnya. Demikian juga aku mengenal mitra kerjanya. Aku bercerita tentang sibuknya urusan kantor. Semua, kecuali satu.
Kami seolah pasangan normal. Bahagia. Harmonis.

Betul?

Tidak.
Tidak Ferguso.
Tidak begitu.
Sesungguhnya aku tidak bahagia.

Aku jauh lebih bahagia saat bersama Mbak Ais. Di kantor, maupun di lapangan. Saat meeting bersama tim, juga saat berbalas pesan pendek. Saat melihatnya dirayu para mitra kerja kami. Pun saat dia tampak kebingungan mengatur jadwal acara.
Aku menikmati saat saat itu.

---------

Sejak ciuman pertama kami sore itu. Aku tenggelam lebih dalam.

Satu kali, masih di ruang kerjaku. Aku iseng pegang bokong ranumnya. Cubit kecil.
Diam saja dia. Senyum saja.

"Kamu mau? pegang aja sini"

Lah. Malah ditawari. Adoh, haussss.....

Momennya mirip saat ciuman pertama. Sore. Lepas maghrib.
Pada akhirnya aku mulai meremas-remas bagian luar saja. Agak kasar. Terganggu kain roknya yang berbahan kasar.

Tangannya kutarik masuk ke ruang dapur. Kecil di seberang lorong. Hanya ada satu pintu masuk. Jendela belakang gelap. Tampaknya para OB sudah pulang. Aku belum memastikan. Rada takut. Takut ketahuan. Tapi, ah, bodo amat, sikat aja.

Kudorong ia ke dinding.
Kucium bibirnya dengan nafsu membuncah.
Dia bereaksi, sama seperti saat ciuman pertama.
Kali ini lebih kasar. Lidahnya turut serta.

Tanganku masih menempel di pantat semoknya.
Berusaha kuremas kuat kuat. Jangkauan telapak tangan kupaksa selebar-lebarnya.
Tidak berhasil.
Bokongnya terlalu besar. Sintal. Empuk. Memabukkan.

Aliran udara panas kini telah menjalar di seluruh tubuh.
Aku terangsang hebat.
Si terong pastinya bereaksi.

Aku tak berani mengeluarkannya. Kuatir crot duluan. Malah Bubarr...
Tapi Mbak Ais tahu. Dia seakan paham apa yang tengah kualami.
Dielusnya perutku, lembut. Turun ke selangkangan.
Bagian luar celana jinsku telah dijaganya.
Resleting masih terpasang.

Tangannya mulai menjamah bentuk si terong.
Aku malu.

Terong semakin keras. Permainan lidahnya makin memancing huru hara.
Aku tahu ia mau. Dia juga pengen.
Harusnya begitu. Pastinya begitu.

Tangan kananku mulai tak terkendali. Diraihnya dada kiri mbak Ais, masih tertutup baju kerja.
Besar. Besar sekali.
Jauh lebih besar dari punya istri.
Mulai kuremas lembut.

Mbak Ais mendesah.

Aduh pakde, ajurrr aku rek.....

Lalu Adzan isya terdengar. Keras. Tepat dua dinding dibalik gedung kerjaku.

Spontan kami berhenti.
Stop begitu saja.
Nyesss. Bagai bara arang disiram air es.


...bersambung lagi ndan. Siap siap jumatan
Setelah jumatan mohon di sambung ya suhu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd