Masuk musim hujan. Tahun kedua. Triwulan keempat.
Aku dan mbak Ais. Kami berusaha senatural mungkin. Berusaha menutupi hubungan terlarang ini dalam bayang-bayang cahaya remang. Semua orang tau kalau kami partner kerja yang profesional. Istriku pun tau itu. Walaupun belum pernah bertemu. Sepanjang yang kutahu, dia percaya full ke suaminya ini. Saat bersamanya aku memang berkesan spontan. Saat melihat ada wanita cantik, aku sampaikan
"Mah, mbake ayu ik"
Dia paham itu sebagai selingan semata. Palingan ditanggapi sambil lalu.
Aku ingin menunjukkan padanya bahwa aku adalah sosok yang terbuka. Tidak ada yang perlu ditutupi. Tak ada yang perlu dikuatirkan. Semua partner kerja, dikenalnya. Demikian juga aku mengenal mitra kerjanya. Aku bercerita tentang sibuknya urusan kantor. Semua, kecuali satu.
Kami seolah pasangan normal. Bahagia. Harmonis.
Betul?
Tidak.
Tidak Ferguso.
Tidak begitu.
Sesungguhnya aku tidak bahagia.
Aku jauh lebih bahagia saat bersama Mbak Ais. Di kantor, maupun di lapangan. Saat meeting bersama tim, juga saat berbalas pesan pendek. Saat melihatnya dirayu para mitra kerja kami. Pun saat dia tampak kebingungan mengatur jadwal acara.
Aku menikmati saat saat itu.
---------
Sejak ciuman pertama kami sore itu. Aku tenggelam lebih dalam.
Satu kali, masih di ruang kerjaku. Aku iseng pegang bokong ranumnya. Cubit kecil.
Diam saja dia. Senyum saja.
"Kamu mau? pegang aja sini"
Lah. Malah ditawari. Adoh, haussss.....
Momennya mirip saat ciuman pertama. Sore. Lepas maghrib.
Pada akhirnya aku mulai meremas-remas bagian luar saja. Agak kasar. Terganggu kain roknya yang berbahan kasar.
Tangannya kutarik masuk ke ruang dapur. Kecil di seberang lorong. Hanya ada satu pintu masuk. Jendela belakang gelap. Tampaknya para OB sudah pulang. Aku belum memastikan. Rada takut. Takut ketahuan. Tapi, ah, bodo amat, sikat aja.
Kudorong ia ke dinding.
Kucium bibirnya dengan nafsu membuncah.
Dia bereaksi, sama seperti saat ciuman pertama.
Kali ini lebih kasar. Lidahnya turut serta.
Tanganku masih menempel di pantat semoknya.
Berusaha kuremas kuat kuat. Jangkauan telapak tangan kupaksa selebar-lebarnya.
Tidak berhasil.
Bokongnya terlalu besar. Sintal. Empuk. Memabukkan.
Aliran udara panas kini telah menjalar di seluruh tubuh.
Aku terangsang hebat.
Si terong pastinya bereaksi.
Aku tak berani mengeluarkannya. Kuatir crot duluan. Malah Bubarr...
Tapi Mbak Ais tahu. Dia seakan paham apa yang tengah kualami.
Dielusnya perutku, lembut. Turun ke selangkangan.
Bagian luar celana jinsku telah dijaganya.
Resleting masih terpasang.
Tangannya mulai menjamah bentuk si terong.
Aku malu.
Terong semakin keras. Permainan lidahnya makin memancing huru hara.
Aku tahu ia mau. Dia juga pengen.
Harusnya begitu. Pastinya begitu.
Tangan kananku mulai tak terkendali. Diraihnya dada kiri mbak Ais, masih tertutup baju kerja.
Besar. Besar sekali.
Jauh lebih besar dari punya istri.
Mulai kuremas lembut.
Mbak Ais mendesah.
Aduh pakde, ajurrr aku rek.....
Lalu Adzan isya terdengar. Keras. Tepat dua dinding dibalik gedung kerjaku.
Spontan kami berhenti.
Stop begitu saja.
Nyesss. Bagai bara arang disiram air es.
...bersambung lagi ndan. Siap siap jumatan