Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

BAGIAN 3 : AKAR
**​
POV 3D

“Nggan.. apa pun yang ada dalam diri kita adalah titipan, amanah, sesuatu yang perlu dijaga dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan orang banyak.”

Seorang wanita renta dengan umur berbilang di atas 60 tahun tengah terduduk takzim di atas sebuah saung bambu yang terapung di atas sebuah rawa. Kedua kakinya teguh bersila, dengan kedua telapak tangan berada di atas pahanya, telapak tangan wanita itu terbuka menghadap ke langit, dengan ujung ibu jari dan jari tengahya saling bersentuhan. Wanita itu berucap tanpa membuka matanya. Dengan napasnya yang terarur dan seirama dengan embusan angin malam yang syahdu menggoyangkan daun-daun pohon bakau di sekitarnya.

Di hadapan wanita tersebut, seorang anak kecil yang belum genap berusia sepuluh tahun berdiri tegap dengan tubuh terendam sebatas dagu dan kedua matanya tertutup. Tubuh anak itu sesekali bergetar karena menahan rasa dingin, namun pikirannya tetap diusahakan agar bersih dan kosong seperti yang biasa Neneknya perintahkan.

Di alas air rawa yang bening bak pualam, bayangan rembulan yang berbentuk bundar sempurna terpantul dengan utuh, seolah air rawa itu adalah cermin, tak memiliki riak sedikit pun. Di bawah batas air yang merendam tubunya, kedua tangan anak kecil itu teguh tergantung di sisi tubuhnya, dengan telapak tangan terbuka menghadap langit yang terhalang batas air, dengan ujung ibu jari yang menyatu dengan jari tengahnya sendiri, persis seperti apa yang dilakukan Neneknya.

“Nggan.. Sesuatu yang ada di dalam tubuhmu itu adalah bagian dari diri kamu. Persis sama seperti seluruh anak manusia yang tak bisa memilih di mana ia akan dilahirkan, di keluarga seperti apa ia akan dibesarkan, memiliki semua titipan dan amanah ini bukanlah sebuah pilihan Nggan. Ini adalah sebuah garis takdir yang sudah tersurat, dan harus dijalani dengan penuh tanggung jawab.”
Wanita renta itu kembali berucap dengan lembutnya, membuat seisi rawa yang dipenuhi rimbun hutan bakau itu semakin menghening senyap tak bersuara. Tak ada apa-apa, tidak terdengar apa-apa. Tak ada suara serangga malam, tak ada riak suara hewan yang menyebrang, tak ada. Benar-benar hanya desau angin dan embusan napas yang memenuhi ke seluruhan tempat ini.

Sedang anak kecil di hadapan wanita itu terus menyelami baik-baik setiap kalimat yang keluar dari bibir Neneknya, tidak satu pun luput dari pendengarannya. Bersamaan dengan itu, ia terus memusatkan alam bawah sadarnya, berusaha menjaga keseimbangan di sana. Berusaha membuat fikirannya sebersih mungkin. Di waktu yang sama juga, anak itu berusaha agar tubuhnya tak terbawa arus bawah rawa ini, namun berusaha pula agar telapak kakinya tidak tertelan lumpur dasar rawa.

Ya.. anak itu tengah berdiri dengan telapak kaki menyentuh dasar rawa yang berlumpur, namun hanya sekedar menyentuh saja, ia tidak boleh membiarkan telapak kakinya terlalu keras memijak lumpur tersebut, karena tentu akan membuat ia semakin tenggelam dalam dinginnya air rawa menjelang tengah malam ini. Namun di saat bersamaan ia harus menjaga tubuhnya agar tidak berpindah posisi, dan percayalah.. jika bukan karena latihan yang berulang. Niscaya anak itu takkan mampu melakukannya.

Latihan seperti ini memang sudah sering ia lakukan sedari kecil, ia tak ingat tepatnya kapan ini di mulai, namun yang jelas, sejak memori otaknya mampu menyimpan kenangan, sejak itu pula anak bernama lengkap Regan Denta Purnama itu sudah melakukan latihan semacam ini, dengan Nenek dari garis Ibunya sebagai pembimbing.

Latihan ini hanya dilakukan setiap satu bulan sekali, ketika rembulan tengah dalam bentuk sempurnanya. Dan hal itu membuat anak itu harus rutin dalam satu bulan menyisihkan waktu untuk berkunjung ke tempat tinggal Neneknya yang berada di sebuah daerah tak jauh dari pesisir, daerah yang dikenal dengan sebutan Kepala Burung. ini mengerucut pada bentuk daratan daerah tersebut yang jika dilihat di peta menyerupai kepala burung.

Bibir Regan kecil pun sudah tampak membiru, bahkan ia harus menambah titik fokusnya untuk menahan gemeratak di gigi nya yang rapat terkatup. Sesekali ujung-ujung kain batik yang melilit di sekitar pinggang sampai ke batas lutut miliknya bergerak lembut, mengikuti aliran air yang terpecah karena menerpa tubuh Regan kecil.

Waktu terus berlalu, aliran air terus pergi silih berganti, hingga tepat ketika rembulan sempurna berada di atas kepala anak itu, tepat ketika anak itu sudah hampir mencapai ambang batas dirinya. Sang Nenek membuka matanya yang sedari tadi terkatup, seiring dengan itu, tepat di dahinya samar-samar terlihat empat titik bercahaya muncul, titik pertama ada di bagian atas, titik kedua di bagian bawah, dan dua titik lainnya ada di kanan dan kiri dari dua titik tersebut, seperti membentuk empat arah mata angin.

Lalu secara perlahan namun pasti, dari keempat titik tersebut, muncul cahaya yang bergerak membentuk garis yang saling menghubungkan. Hingga kemudian membentuk sebuah lingkaran sempurna. Dan pola lingkaran dengan empat titik mata angin itu semakin terlihat benderang tatkala Sang Nenek mulai meluruskan kakinya, beringsut ke tepian saung bambu tersebut.

Dengan tenangnya, wanita tua itu pun turun dari saung dengan telapak kaki berpijak di atas permukaan air, kemudian dengan ringannya ia pun berdiri. Berdiri dengan sempurna di alas air yang sedikit memunculkan riak.

Sunggguh, bagi siapapun yang melihatnya, pasti akan langsung tertegun seribu Bahasa. Karena bagaimana bisa seorang manusia berpijak dengan sempurna di atas alas air tanpa tenggelam. Sungguh itu adalah sebuah pemandangan yang amat tak lazim dipandang mata manusia, sungguh sungguh sangat tidak masuk akal.

Dan wanita renta yang kini sudah berdiri tepat di hadapan cucu kesayangannya itu pun menengadahkan kepala ke langit malam yang bersih dari awan, bibirnya dengan lembut melafalkan sesuatu yang bahkan telinganya sendiri pun tak mampu menangkapnya dengan jelas, dan tiba-tiba angin berembus lebih kencang dari sebelumnya, membuat dahan-dahan pohon bakau bergerak-gerak tak beraturan, membuat beberapa daun tanaman pemecah ombak itu berguguran.

Setelah itu, wanita renta tersebut menurunkan pandangannya. Dipandangnya cucu kecintaannya yang kelak akan mewarisi apa yang sekarang ia emban. Senyum kecil tersungging dari bibir sang nenek, bersamaan dengan itu bulir bening meluncur dari kelopak matanya.

Ia tahu, cucu kesayangannya ini akan mengemban tugas berat atas warisan yang kelak ia tinggalkan. Ia pun sebenarnya tak ingin sang cucu mewariskan apa yang sekarang ia emban, namun ia tak memiliki pilihan lain, karena jika ini tidak ia wariskan, maka sesuatu yang ia emban ini, akan lenyap, dan hal tersebut tak boleh terjadi.

Sebab apa yang ia emban saat ini adalah sebuah titipan, perihal yang keberadaannya tak boleh hilang, karena jika hilang, sebuah peristiwa besar yang sudah digariskan akan datang di tanah ini akan sulit untuk diatasi, sebuah peristiwa besar yang diceritakan oleh Nenek dari wanita renta itu adalah alasan utama mengapa ia bersedia untuk menerima dengan lapang dada apa yang ada di dalam raganya kini, dan selama hidupnya, ia selalu menunggu peristiwa itu datang, namun.. sepertinya bukanlah dirinya yang akan menghadapi peristiwa itu, melainkan garis keturunannyalah yang akan menghadapinya.

Peristiwa yang ia tunggu bukanlah peristiwa besar yang diharap-harapkan, malah ia berharap supaya peristiwa itu takkan pernah datang, namun itu adalah kemustahilan. Sebab cepat atau lambat, peristiwa mengerikan yang dikatakan oleh Nenek dari wanita renta itu pasti akan datang jua. Peristiwa yang benar-benar amat sangat mengerikan, yang saking mengerikannya, ia bahkan tak sanggup untuk sekedar membayangkan jikalau ia benar-benar harus menghadapi peristiwa tersebut.

Dan Regan, si kecil yang sedari tadi berusaha memusatkan pikiran pun mulai terusik, pijakannya di atas lumpur dasar rawa ini mulai terganggu, kelopak matanya yang tertutup sesekali berkedut, ia masih berusaha keras menjaga ruang-ruang fikirannya. Sang Nenek yang melihat hal tersebut pun segera mengusap pipinya sendiri, lalu dengan Gerakan yang begitu lembut bak daun yang terbang tertiup angin, ia berpindah dari titik ia berdiri saat ini, ke atas tanah yang berada di seberang rawa, tepat berseberangan dengan saung di mana ia tadi khusyuk bersila.

Setelah itu, ia membalikan tubuh, kembali memperhatikan sang cucu yang masih takzim di posisinya. Dipandanginya bahu mungil Regan yang terlihat ringkih dan tak seberapa lebar itu, benaknya tersayat, betapa nanti bahu ringkih itu akan mengemban beban yang teramat berat, beban yang bahkan ia sendiri akui, tak mampu ia bayangkan.

“Nggan.. sudah cukup, kita pulang..” Seru sang nenek dengan suara yang begitu lembut namun terdengar jelas di telinga Regan kecil.

Dan seketika saja, tepat ketika Regan kecil membuka matanya, tubuhnya langsung turun ke dalam air, membuat kepalanya tenggelam di bawah alas air.
Sang Nenek tersenyum lebih lebar dari sebelumnya, dipandangnya riak di bawah air yang bergerak menuju ke arahnya. Sesekali dari riak tersebut, samar-samar terlihat titik cahaya yang tak seberapa terang. Dan tak butuh waktu lama, Regan kecil pun muncul dari dalam air, tepat di hadapan Sang nenek. Anak kecil itu mengusap wajahnya, menampilkan satu titik cahaya samar yang ada di dahinya. Lalu keluar dari rawa tersebut dengan wajah Lelah namun tetap menampilkan raut ketenangan yang amat tentram.

“Nggan haus Nek..” Ujar Regan kecil ketika sudah berdiri tepat di hadapan Sang Nenek.

Dipandanginya lingkaran cahaya dengan empat titik mata angin di dahi Sang Nenek. Entah mengapa, Regan kecil selalu semangat tiap memandang lingkaran tersebut, baginya, pola di dahi Sang Nenek amatlah memukau, indah dan begitu elok dipandang.

“Iya Nenek tahu.. dari itu makanya Nenek bilang cukup kan? Karena Nenek tahu, Nggan sudah kehausan. Kan enggak lucu kalau jagoan Nenek ini minum air rawa hehehe..” Sang Nenek berkata sembari menundukkan tubuh, kedua telapak tangannya memegang lembut sisi kepala Regan.

Kemudian dengan lembut, kedua jemarinya memijat areal dahi di mana titik cahaya samar milik Regan kecil berada. Dan tak butuh lama, titik tersebut pun mulai meredup hingga hilang sepenuhnya dari dahi Regan.
Setelah itu, Sang Nenek merentangkan tangannya lebar-lebar, mengundang Regan untuk masuk ke dalam pelukannya. Dan Regan pun langsung menghambur ke pelukan Sang Nenek, kemudian Wanita Renta itu pun menegakkan tubuhnya, menggendong Regan yang kepalanya sudah tersandar di bahu renta miliknya.

“Pegangan ya Nggan..” Ucap Sang Nenek lembut, dan tanpa bicara, Regan pun memeluk Neneknya erat-erat.
Sang Nenek juga melakukan hal yang sama, dipeluknya lebih erat Regan kecil yang berada di gendongannya. Dimantapkan pijakan kakinya, bersamaan dengan itu, pola lingkaran empat titik mata angin di dahinya terlihat semakin terang bersinar.

Lalu dengan sekali hentakan kaki, tubuh kedua insan manusia itu pun menghilang dari tepian rawa, menghilang begitu saja, seperti asap yang tertiup angin, menyisakan kekosongan.

Dan seiring kepergian Regan dan Sang Nenek, Rawa tersebut pun mulai kembali hidup. Riuh suara serangga malam kembali terdengar, riak-riak air kembali, dan binatang-binatang malam pun mulai keluar dari tempat-tempat tak terlihat. Rawa itu kembali ke kodratnya, hidup dan memiliki kehidupan.

**​
POV REGAN
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, mencoba beradaptasi dengan cahaya di sekitarku, silau sekali ini soalnya, beneran deh, enggak bohong.

Bahkan aku butuh beberapa saat lamanya sampai aku bisa menjernihkan pandanganku, dan setelah beberapa saat, mataku akhirnya bisa beradaptasi dengan sempurna, dan syukurnya lagi, pandanganku kembali seperti semula, tidak lagi monokrom seperti tadi ketika..
Wait.. wait wait wait! Tadi kan aku di.. arrgghhh.. iya!

Tadi aku kan lagi di studio music sekolahku, berusaha meredam gejolak di dalam tubuhku. Lalu setelah itu.. arrghh.. sakit! Iya, aku merasakan sakit yang teramat sangat menusuk bagian dadaku. Sakit tersebut datang bersamaan ketika aku melihat wajah seseorang yang menyentuh bahuku, seseorang yang aku kira adalah Nenekku.

Aku pun segera duduk seraya menggerak-gerakkan bahuku yang terasa sedikit berat dan kaku. Bersamaan dengan itu aku baru menyadari, bahwa aku tengah berada di ruang kesehatan sekolahku.

Siapa yang membawaku ke sini? Apa dia yang membawaku ke sini? Tapi siapa dia sebenarnya? Mengapa ketika tadi aku menatap matanya, seluruh tubuhku seperti bergejolak hebat? Gejolak yang diiringi dengan rasa sakit teramat sangat. Rasa sakit yang sudah lama sekali tidak pernah aku rasakan.

Sial.. siapa sih dia sebenarnya?
Dan di tengah kekalutanku, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Lalu seorang gadis dengan rambut tergerai, yang sembab matanya, yang sedih raut wajahnya pun masuk ke dalam ruangan ini.

Matanya yang terfokus pada gelas teh di tangan kanannya, membuat ia tak memiliki alasan untuk memandang ke arahku, sebab tangan kirinya pun sibuk berhati-hati menutup pintu.

Dan begitu ia berbalik, wajahnya sedikit menampilkan raut terkejut ketika bersitatap denga mataku.

Langkahnya pun segera ia percepat, lalu diletakkan gelas teh di atas meja. Dan langsung menghambur memelukku. Seketika tangisannya pun terdengar, bahunya mulai berguncang, wajahnya ia tenggelamkan di tengkukku.

“Han.. meluknya jangan kenceng-kenceng bisa enggak? Gua susah napas ini..” Ucapku lembut tanpa membalas pelukan Hani. Ia pun seketika langsung melepaskan pelukannya, menarik tubuhnya dari tubuhku, membuatku merasakan sedikit kekecewaan.

Lah aku kan Cuma minta direnggangin dikit ya? Bukan dilepas juga maksudnya. Padahal baru aja ngerasain lembut dan empuknya benda di balik logo osis-nya Hani, malah diudahin. Bajigur sekali..

Setelah melepas pelukan, Hani langsung memutar tubuhnya membelakangiku, dari gelagat, gesture dan bahasa alam semesta, aku tahu kalau Hani sedang membersihkan sisa-sisa air mata yang tadi sempat jatuh di pipinya.

“Han..” Panggilku pada Hani.

“Hmm..” Sahut Hani tanpa memutar tubuhnya, masih sibuk dengan aktivitas hapus menghapus air matanya.

“Haaann..” Panggilku lagi dengan nada yang kubuat sedikit berayun.

“Apasih?!” Sahut Hani lagi sedikit meninggikan suaranya, masih sibuk dengan kegiatannya.

“Haaaani..”

“Bentar!”

“Maharaaaani..”

“Ih bentar!”

“Maharani Sukkkkkmaaaa..” Panggilku ke sekian kali sambil beringsut menurunkan kedua kakiku ke tepi ranjang.

“Bawel ih! Bentaaarrr..” Sahutnya lagi.

Aku pun mulai menjejakkan kakiku, lalu berdiri dan berjalan mendekat ke belakang Hani. Lalu kumajukan sedikit wajahku hingga tepat berada di samping kepalanya.

“Lu nangisin apaan sih?” Tanyaku santai, namun berhasil membuat Hani terperanjat dan memutar kepalanya ke arahku, membuat wajah kami begitu dekat. Mungkin jika dimajukan sedikit, bibir mungil merah muda miliknya pasti menempel di pipiku.

“Ihhh!” Serunya sembari mendorong pipiku dan memundurkan langkahnya. Aku hanya terkekeh sembari berjalan untuk mengambil teh yang ada di meja. Lalu menyandarkan pinggulku di sana, memandang Hani yang terlihat sedikit susah bernapas.

Kembang kempis gitu dadanya, bikin ser-seran gitu hehe

“Lu ngapa sih?” Tanyaku lagi setelah mereguk teh tersebut. Hani dengan tatapan sebal pun mendekat ke arahku.

“Harusnya gue yang nanya! Ishh..” Rajuk Hani begitu berada tepat di depanku. Aku hanya menautkan alisku, lalu mengangkat bahuku, tanda aku tak tahu.

“Lu bisa serius dikit enggak sih Gan? Enggak tau orang-orang pada khawatir apa!” Protes Hani seraya memukul lembut dadaku. Iya lembut, lembut-lembut manja minta direngkuh ke dalam pelukanku.

“Apasih Han.. enggak kenapa-kenapa gua.. paling Cuma karena telat sarapan doang..” Kilahku sembari mereguk habis isi gelas di tanganku.

Kulihat Hani menarik napasnya resah, lalu memajukan lagi langkahnya, membuat ia berada hanya sejengkal di hadapanku.

Lalu dengan lembut, ia letakkan telapak tangan kanannya di pipi kiriku, membuatku langsung membeku sedalam-dalamnya.

“Lo sebenarnya kenapa sih Gan? Lo tadi tuh keliatan beda banget. Lo kaya lagi nahan sakit.. dan gua ngerasa bersalah karena udah bikin lo sampe pingan kaya tadi..” Ucap Hani dengan nada suara yang sangat lembut.

Ini kok yang disentuh pipi, tapi yang hangat malah hatiku sih? Aneh sekali ini. Bajigur!

Lalu dengan segenap kekuatan hati yang tengah ser-ser merinding disko, aku beranikan memegang punggung telapak tangan Hani yang masih menempel di pipiku. Kemudian kugenggam dengan sedikit remasan lembut, membuat rona pipi Hani bersemu merah.

“Gua gak sakit Han, dan pingsan gua tadi juga bukan karena elu.. jadi please banget.. jangan pernah nyalahin diri lu..” Ucapku pelan dengan mata menatap dalam-dalam hitam bola mata Hani.

Gadis ini.. gadis yang dulu satu kelas denganku di SMP ini, masih saja sama. Masih begitu baik dan masih begitu perhatian padaku. Dan jika ditanya, apa alasan utamaku bisa terbawa ke sekolah ini, maka Hani adalah jawabannya.

Selepas keputusan orangtuaku yang mengirim aku untuk pindah sekolah ke kampung, tinggal terpisah dari mereka, dan hidup di bawah pengawasan Uwak-ku, Hani adalah satu-satunya alasan mengapa aku bersedia ketika Ayah dan Ibu memintaku untuk kembali ke kota ini selepas lulus SMP. Sebab, entah mengapa, setelah apa yang terjadi saat itu. Hani satu-satunya teman yang masih mensuportku. Satu-satunya orang yang tak menyudutkanku, satu-satunya orang yang tetap memandangku sebagai aku, bukan sebagai orang aneh yang menyeramkan.

Dan meski aku tak punya apa-apa lagi di kota ini selepas kembali, tak punya teman lagi, dan tak tahu harus bersekolah di mana, Hani adalah jalan yang membawaku pada arah yang lebih jelas. Di sini, di sekolah ini, satu-satunya murid lulusan SMP lamaku hanyalah Hani. Tidak ada selain dia, hanya Hani seorang perwakilan dari SMP tersebut yang mengenyam pendidikan lanjutan di SMK ini. Dan itu sangat membantuku untuk tidak tenggelam dalam masa lalu itu. Hani.. hanya dia kawan masa lalu yang masih berada di sisiku.

“Nggann..” Hani berucap dengan lirihnya, matanya sayu dengan bening kaca yang mulai terlihat mengkilap di dalamnya. Dengan tangan kananku yang sedari tadi tergantung diam, kuusap lembut tepi pipi bagian bawah kelopak matanya. Menghilangkan sisa-sisa basah di sana.

“Lagian kalau pun pingsan gua tadi harus ada alesan, pasti alesannya lebih keren kali dari sekedar gara-gara elu..” Ucapku acuh sembari mentoel lembut ujung hidung Hani. Membuat ia langsung memanyunkan bibir seraya menarik tangannya dari genggamanku.

“Rese lo!” Protesnya dengan tangan mendorong dadaku. Membuatku hanya bisa tertawa kecil.

Lalu dari pintu di belakang Hani kembali terbuka, dan Dito muncul dengan dua orang kawan sekelasku yang lain di belakangnya.

“Kampret.. bikin panik orang aja lu kunyuk..” Maki Dito begitu masuk ke dalam ruangan ini, haizz.. ngapain coba dia pake segala ke sini? Ganggu suasana aja. Enggak tahu orang lagi berduaan apa?

“Bacot bat dah lu.. berisik tau enggak?” Sahutku jengkel seraya beringsut duduk di tepi ranjang, hal yang sama dilakukan Hani, ia duduk di sampingku, sedang Dito dan dua kawanku berdiri.

Wajah Dito? Hhhmm tak usah dijelaskan, asem se asem-asemnya.

“Sok-sokan sih lu pake acara milih dijemur, pingsan kan lu jadinya? Tai..” Cibir Dito dengan tangan tersilang di dada. Aku hanya tersenyum kecil, malas menanggapi ocehan Dito.

“Gimana Gan? Udah mendingan?” Tanya satu kawanku yang berada di sebelah kanan Dito. Wawi namanya, dengan perawakan kurus tinggi menjulang, rambut bagian atasnya yang panrapi tersisir rapi ke belakang, mengkilap di beri pomade, sedang bagian sampingnya dipotong tipis, model undercut gitu.

“Kaya gua kenapa aja Wi, heran..” Jawabku santai, membuat Wawi tersenyum kecil dan menganggukkan kepala. Wawi ini pembawaannya memang kalem dan banyak diam, Cuma kalau sudah marah, beuh.. jangan ditanya, nyeremin. Bisa-bisa kepala orang yang bikin dia sebel dipotek kaya motek buah mangga.

“Ini.. ini.. minta dihantem nih yang begini.. asuu..” Oman, kawanku yang berada di sebelah kiri Dito terlihat geregetan. Pemuda dengan perawakan pendek dan sedikit gemuk (kalau tidak mau aku bilang gendut), rambutnya dipangkas pendek ala-ala militer, wataknya sih sebelas dua belas sama Dito, ramai gitu.

Aku hanya terkekeh saja mendapati omelan mereka, selain aku memang malas berdebat, aku juga senang kok kalau mereka lagi menggelar opera kaya gini, kaya dapet tontonan aja gitu.

“Oh iya Gan, Nyokap lu nunggu di ruang guru. Mau gua panggilin enggak? Dari tadi nunggu lu sadar, tapi lu kaya kebo pingsannya.” Wawi kembali buka suara, dan itu benar-benar membuatku terkejut.
Ibu? Ibu ke sini? Tapi siapa yang ngasih tahu coba?

Aku langsung menatap Dito dengan tajam, membuat kawanku itu sedikit blingsatan.

“Bukan gua.. suer tekewer kewer dah..” Dito lekas mengelak, namun apakah aku percaya? Oh tentu tidak.. yang suka rese dan mengadu ke Ibuku perihal apa-apa yang bersangkutan denganku kan biasanya Dito.

Dia ituloh, kalau lagi main ke rumah, kaya mata-matanya Ibu. Apa aja dikasih tahu, tiap Ibuku nanya tentang aku, pasti Dito ini menjawab dengan jujur, padahal aku sering kedip-kedip ke arahnya. Tapi dia itu emang tipikal cowok kebanyakan, kurang peka sama kode-kode.

“Terus siapa kalo bukan lu? Setan?” Tanyaku lagi sedikit jengkel pada Dito.

“Lo ngatain gue setan? Jahat lo Nggan!” Tiba-tiba Hani yang sedari tadi diam menyambar pertanyaanku. Seraya beringsut turun dari tepian ranjang dan berjalan ke arah pintu.

Jadi Hani yang ngasih tahu Ibu? Tapi.. tapi kenapa? Padahal aku kan udah sering wanti-wanti ke Hani, juga ke tiga kawan di hadapanku ini, agar kalau aku ada apa-apa, jangan buru-buru kasih tahu keluargaku. Apalagi Ibuku, bukannya aku takut dimarahi, aku Cuma enggak mau bikin keluarga repot dan khawatir aja.

“Mampus lu..” Ejek Dito sambil terkekeh.

“Ckckck.. diambekin lagi..” Timpal Oman menahan tawanya. Sedang Wawi hanya menggeleng-geleng pelan. Dan Hani, ia sudah berada di ambang pintu dan melangkah keluar, menghilang dari pandanganku.

“Kejar sono.. dia itu Cuma ketakutan pas tau lu pingsan sambil ngingo Nenek lu. Dia khawatir sama lu Gan..” Wawi berucap sembari mendekat padaku, nadanya datar datar saja. Seperti ia biasanya.

“Tapi kan Wi..” Aku coba menyanggah ucapan Wawi, tapi olehnya segera dipotong.

“Kejar sana.. abis itu kalau lu enggak dipaksa pulang sama Nyokap, baru temuin kita-kita di kantin.”

Mendengar ucapan Wawi aku segera menghela napas dalam-dalam, lalu turun dari tepian ranjang dan berjalan cepat mengejar Hani. Begitu sudah di luar aku segera mengarahkan kakiku untuk menuju tangga sisi kanan gedung ini, hendak naik ke lantai tiga di mana kelas Hani berada, namun baru saja aku hendak mencapai tangga, tiba tiba..

“Dede..” Langkahku seketika terhenti ketika sebuah panggilan yang amat kuhafal. Karena hanya ada beberapa orang yang memanggilku dengan panggilan tersebut, yaitu keluargaku. Dan ini.. duh.. ini suara Ibuku.

Aku pun dengan pasrah menoleh, lalu mendapati Ibuku tengah berjalan menuju arahku. Senyumnya mengembang tipis, tatapannya seteduh naungan pohon angsana, langkahnya anggun bak putri kerajaan, dan semburat kecantikan Ibuku menguar ke sekitar.

Ibuku, meski usianya sudah kepala empat, namun tanda-tanda penuaan tak terlalu terlihat di wajahnya. Ia tetap seperti perempuan usia menjelang tiga puluh tahun, dengan rambut hitam panjang terkepang, yang kepangannya diletakkan di depan bahu, benar-benar membuat semua mata lelaki yang melihat Ibuku pasti terpana. Aku saja ini terdiam kan? Tapi bukan karena terpana atau semacamnya lho ya, aku ini lagi deg-deg ser, soalnya Ibuku itu pasti bakal melakukan hal yang paling aku hindari untuk dilakukan di depan umum.

“Ibu nungguin juga, bukannya disamperin..” Protes Ibuku begitu sudah berada tepat di hadapanku, seraya kedua tangannya bergerak, lalu mencubit kedua pipiku. Mencubit yang sambil digoyang-goyang gitu loh.

Bukannya aku enggak suka ya diginiin sama Ibu, Cuma kan ini di sekolahku, malu lah aku kalau sampai banyak yang lihat. Masa seorang Regan Denta Purnama, dicubit-cubit manja pipinya, lengkap dengan panggilan Dede yang menggemaskan. Kan enggak keren jadinya.

“Bu.. malu ah..” Aku memprotes lembut perlakuan Ibuku seraya hendak menarik badan, namun bukannya mendengarkanku, Ibu malah memeluk tubuhku erat-erat, sembari mengelusi punggung dan menciumi pipiku. Dulu sih waktu kecil seringnya kepalaku yang dicium Ibu, tapi karena sekarang tinggiku lebih tinggi dari Ibu, jadilah keseringan Ibu mencium pipiku saja.

“Malu kenapa sih? Kamu kan emang Dede-nya Ibu yang paling gemesin..” Ujar Ibu seraya merenggangkan pelukannya, matanya yang indah menatap dalam-dalam mataku.

“Bu.. Nggan kan udah gede, malu nanti kalau keliatan temen-temen..” Ucapku lembut seraya menunduk dalam-dalam menatap balik keteduhan di mata Ibuku, Ibu pun tersenyum lalu membelai lembut pipiku.

“Takut pacarnya ngeliat ya? Hihihi..” Goda Ibuku dengan manisnya. Membuat pipiku memerah seketika. Pacar? Pacar darimana coba? Akuloh jomblo karatan ini.

“Ibu mah..” Protesku lagi karena jengah. Ibuku tertawa, lalu melepaskan pelukannya.

“Hihihi.. yaudah yuk pulang..” Ajak Ibuku seraya menggapai tanganku dan membalikkan tubuh. Aku yang meski berat tetap mengikuti langkah Ibuku dengan berat hati.

“Emang Nggan harus pulang ya Bu? Kan masih ada pelajaran..” Aku berkata dengan tetap mengikuti langkah Ibuku. Beliau hanya menoleh, lalu melempar senyum dan menganggukkan kepala.

“Emang Dede tega biarin Ibu pulang sendiri?” Tanya Ibu sembari memiringkan kepalanya, aku lekas menggeleng pelan, yang oleh Ibu langsung dibalas dengan senyuman.

Dan kami pun terus berjalan ke halaman parkir sekolahku. Sembari mengikuti tarikan Ibuku, kepalaku tertoleh, menatap ke arah lantai tiga sekolahku, ke arah kelasnya Hani. Entah mengapa aku merasa sedikit berat untuk pulang sebelum menemui Hani.

Hingga aku dan Ibu tiba di depan mobil, Ibu menghentikan langkahnya, mensejajarkan tubuhnua dan ikut memandang ke arah pandanganku.

“Ngeliatin apa sih De?” Tanya Ibu dengan alis tertaut, aku segera menggeleng dan mendekat ke arah pintu mobil yang digunakan Ibu ke sini.

“Bukan apa-apa Bu, Cuma ngeliatin burung gereja aja..” Jawabku acuh seraya memegang handle pintu bagian depan, samping kemudi. Ibuku mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu berjalan ke arah pintu kemudi dan mengeluarkan kunci mobilnya, setelah itu bunyi bip terdengar, dan aku segera masuk ke dalam mobil, hal yang sama dilakukan Ibuku.

Setelah memastikan aku sudah mengenakan sabuk pengaman, Ibu pun mulai menyalakan mesin mobil, dan perlahan mobi Ibu pun bergerak meninggalkan halaman parkir sekolah.

Lewat jendela, aku pun kembali memandang ke arah kelas Hani yang berada di lantai tiga, berharap ia berdiri di sana. Namun kosong, tak ada sesiapa di sana kecuali angin dan dedaunan tanaman hias yang bergoyang anggun. Biarlah, nanti aku akan menghubunginya jika sudah jam pulang sekolah.

Mobil pun terus berjalan, melewati gerbang sekolah, lalu melaju lancar di kelokan jalan yang berada di depan sekolah. Menjauh dengan tegas dari bangunan sekolah bergaya klasik yang satu tahun dua bulan ini menjadi tempat aku meniti kembali jenjang pendidikanku di kota ini.

Aku menyandarkan dalam-dalam kepalaku. Memejamkan mataku, menghela napasku dengan pelan dan teratur. Hahh.. Kota ini.. Kota yang mengajarkanku banyak hal, kota yang pernah kutinggalkan karena sesuatu hal, dan kota yang kembali kutinggali karena sesuatu hal pula.

Dan entah mengapa, aku tiba-tiba merasakan kantuk menjalar di syaraf-syaraf sekitar mataku. Tubuhku pun terasa lelah sekali, seperti habis berlari jauh, penat sekali. Aku ingin rebah sejenak, ingin berbaring lama setelahnya. Ingin tenang dan tentram setelah melalui hari yang tak seperti hari-hari sebelumnya, hari yang tak berjalan baik-baik saja seperti hari-hari sebelumnya.

Dan Hani.. ah.. aku harus menghubunginya setelah ini.

***​

Hatiku selembar daun..
melayang jatuh di rumput.

Nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini.
Ada yang masih inginkan kupandang,
yang selama ini senantiasa luput.

Sesaat adalah abadi,
sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi.

(Sapardi Djoko Damono)
 
Terakhir diubah:
Selamat malam semuanya, terimakasih sudah mau membaca dan bersedia menunggu update cerita ini. Sebelumnya saya minta maaf kalau agak lambat dalam update, sebab ternyata banyak sekali yang harus saya revisi dari draft cerita ini.

Ini bukan berkaitan dengan konsep maupun tema utama, tapi berkaitan dengan latar tempat dan penamaan sesuatu yang muncul di cerita ini, saran ini saya dapat dari salah satu kawan yang sudah lama menjadi pembaca di sini, jadi dia menyarankan agar beberapa hal terkait penamaan, entah tempat, atau pun perihal lain yang memiliki nama untuk disamarkan, ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Dan satu lagi, hari ini salah satu penyair yang mengenalkan saya pada dunia tulis menulis berpulang. Benar sekali, beliau adalah Eyang Sapardi Djoko Damono, penyair di balik puisi-puisi legendaris semacam "Hujan Bulan Juni", maupun "Aku ingin". Jadi mari sejenak kita berdoa untuk beliau, agar mendapatkan tempat sebaik-baiknya. Aamiin.

**
Untuk Eyang Sapardi..

Yang fana adalah waktu, engkau abadi. Dan dalam larik-larik sajakmu yang mengembara ke tempat-tempat jauh, yang lembut menyentuh inti-inti perasaan anak-anak manusia, kau terkenang sebagai apa yang takkan bisa dilupakan.

Dan dari daun-daun yang melayang di halaman rumah, tanggal pada tanah yang selalu setia menanti kepulangan, kau akan bahagia sebagaimana orang-orang berbahagia mengenang sajak-sajakmu.

Meski seharusnya Juli menjadi cermin untuk menatap Bulan Juni yang menjadi kepunyaanmu, kami takkan lama untuk menangisi engkau. Sebab engkau tak boleh dirupai sebagai kesedihan, kau harus dirupai sebagai sebuah arti ketabahan.

Karena bukankah kau tak pernah pergi dari sisi kami? Kau tetap ada, dan tetap menemani. Sebab yang fana adalah waktu, engkau abadi, di hati anak cucuk kami hingga nanti-nanti.

Minggu, 19 Juli 2020 yang basah air mata.
 
Amazing ceritanya, keren gaya penulisannya, kualitas!! Mengingatkanku pada salah satu penulis dgn cerita legend di 46 ini..

Permisi mau ngapling tanah dimari hu

:ampun::ampun:
 
Terakhir diubah:
Bimabet
Al-Fatiha buat Eyang Sapardi.
Tubuhnya kerdil termakan waktu, namun anak-anak katanya tak lekang tergerus waktu.

Btw, mantab karyanya suhu, semangat selalu..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd