Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG LAKUNA : SESUATU YANG HILANG

BAGIAN 4 : PENYINTAS

***
POV 3D

Pagi itu, di tepian pantai yang terletak di bagian selatan pulau, langit yang tadinya biru cerah dengan semburat cahaya putih mentari, dengan burung-burung berterbangan riang ke sana-sini, perahu-perahu nelayan yang lincah menunggangi ombak, dalam waktu singkat berubah menggelap. Awan kelabu yang begitu luas berarak cepat dari cakrawala, membawa hawa dingin menerpa wajah-wajah nelayan yang tertegun di atas geladak, tak mengira bahwa laut yang sebegitu baiknya subuh dan awal pagi ini, hendak berubah menjadi sebuah badai yang rasanya lebih dari sekedar cukup untuk membuat khawatir.

Burung-burung seolah mengurungkan niat untuk menjelajah alam raya, kembali ke tempat-tempat awal mereka bangun dari sang malam. Penduduk tepi pantai kembali menggulung tikar yang menjadi alas menjemur ikan maupun rumput laut, dengan terburu-buru, takut air hujan membasahi usaha mereka yang beberapa hari ini diusahakan kering. Pakaian-pakaian yang baru dijemur dimasukkan kembali, jendela-jendela ditutup, tirai-tirai bambu diturunkan untuk menghalau tampias nanti.

Benar saja, tak butuh waktu lama, tanpa menunggu para nelayan merapat bibir pantai, awan hitam sudah megah menaungi daratan landai itu, mengirimkan bulir-bulir air langit untuk menyatu dengan segala sesuatu yang ada di atas daratan ini. Tanpa gerimis, tanpa rinai kecil, hujan turun begitu lebat dan banyak, disertai angin kencang dan petir yang sahut menyahut bertukar teriakan. Ombak-ombak meninggi, kayu-kayu yang dipahat sedemikian rupa untuk mengambang di atas air pun berguncang ke sana ke mari. Badai.. di pagi yang awalnya tenang dan cerah itu, kini badai merundung segala penjuru arah.

Pohon-pohon kelapa dan pohon Ketapang bergoyang hebat, daun-daun kering yang jatuh di atas pasir berterbangan tak tentu arah. Ini bulan Agustus, meski hujan sesekali turun, namun badai bukanlah suatu yang lumrah datang.

Orang-orang meringkuk di dalam rumah-rumah bambu, berkurung kain dan segala apa pun yang bisa dijadikan penghangat. Semua orang tak peduli pada apa yang berada di luar tempat mereka bernaung, mereka hanya peduli pada dingin yang menyelasap di pori-pori.

Mereka tidak peduli, dan tak tahu, jikalau jauh dari pemukiman penduduk, jauh di sisi kanan garis pantai ini, yang kontur pantainya langsung berbatasan dengan perbukitan lebat dengan tebing-tebing curam nan tinggi, seorang lelaki tua berdiri menantang laut yang seolah berubah menjadi anak bayi yang tengah menangis hebat.

Lelaki tua, yang terlampau renta itu berdiri dengan punggung yang sedikit membungkuk, kedua tangannya bertopang pada sebuah tongkat kayu yang sedikit bengkok d bagian tengahnya. Rambut putihnya yang Panjang bergelombang sudah basah, beberapa gerombol helai rambutnya bahkan menutup sebagian wajah.

Lelaki tua itu berdiri di sebuah bibir tebing, tebing kokoh yang bagian tengah menahan tempaan-tempaan dari amukan sang ombak. Di hadapan lelaki tua itu, tepay di seberang tebing yang menjorok ke laut di mana kakinya berpijak, ada sebuah karang besar yang membentuk sebuah pulau. Karang yang dahulunya adalah bagian dari tebing itu, namun kemudian terpisah belasan meter karena sesuatu hal. Kaki lelaki tua itu sedikit gemetar, di pandangnya lamat-lamat laut di hadapannya yang sudah mengabur tak terpandang.

Kemudian ditengadahkan kepalanya ke langit dengan bibir yang sibuk melafalkan sesuatu, lafalan yang sebenarnya cukup kencang ia lafalkan, namun tak mampu mengalahkan riuh angin yang berkolaborasi dengan deru ombak serta gelegar Guntur.

Lalu dari arah belakang lelaki tua itu, dari rimbun pepohonan yang bergoyang hebat dan meringkik menahan tumbang, seroang pemuda dengan ikat kepala khas daerah tersebut berlari dengan napas terengah, pemuda itu sejenak berhenti seraya mengatur napasnya. Kedua telapak tangannya ia letakkan di atas lutut, tubuhnya sedikit membungkuk, Lelah.. ia sangat Lelah. Namun lelahnya itu terbayar, tatkala melihat lelaki tua yang menjadi alasannya berlari menembus tanah hutan yang basah sudah berada di hadapannya.

“Kenapa terburu-buru sekali Jang?” Di tengah riuhnya badai, suara lelaki tua itu terdengar jelas di telinga sang pemuda. Pemuda yang masih sibuk mengatur napas, segera menegakkan tubuhnya, dan berjalan mendekat kearah lelaki tua tersebut. Hingga berdiri tepat di belakang si lelaki tua, wajahnya sedikit ia tundukkan, napasnya masih memburu tak beraturan.

“Hah.. Hah.. Hah.. Huh..” Pemuda itu mengatur napasnya sekuat tenaga.
“A.. apa.. hah.. i..ni.. Aruhara itu Bah?” Pemuda itu bersuara dengan sedikit lantang namun sedikit terbata, tangan sebelah kanannya terangkat sebatas kening, berusaha menahan deras hujan yang dibawa angin.

Lelaki tua dengan tongkat di tangan tersenyum, senyum yang tentunya tak bisa dilihat oleh sang pemuda yang berada di belakang lelaki tua itu.

“Kenapa kamu berpikir seperti itu Jang? Badai seperti ini sudah biasa terjadi, bukan?” Tanya Lelaki tua itu, tanpa menolehkan kepala. Pemuda itu lekas menggelengkan kepala, lalu maju selangkah, menyampingi lelaki tua bertongkat itu.

“Ini sudah musim timur Bah.. dan badi ini.. rasanya berbeda..” Pemuda itu berucap dengan parau. Matanya ikut menatap laut yang semakin tersamar air hujan. Sedang lelaki tua disampingnya mengangguk takzim, dieratkan pegangannya pada kepala tongkat yang sedikit membulat.

“Kamu merasakannya juga Jang..” Ujar lelaki tua itu, kini gantian pemuda dengan ikat kepala tersebut yang mengangguk pelan. Ia mengerti maksud dari lelaki tua di sampingnya.

Telapak kaki pemuda itu yang tak mengenakan alas kaki adalah alasan dari perkataan lelaki tua di sampingnya. Ya.. beberapa saat yang lalu, ketika hujan belum turun, ketika laut baru menunjukkan gelagat mendung, pemuda itu merasakan suatu getaran lembut dari tanah yang tengah ia pijak. Getaran yang sangat lembut, yang saking lembutnya, takkan mungkin dirasakan orang lain, selain ia dan lelaki tua di sampingnya.

Ketika getaran itu terasa, pemuda itu tengah menjemur hasil ikan-ikan kecil hasil tangkapan melaut semalam. Ikan-ikan yang sudah dibersihkan dan dibelah menjadi dua untuk kemudian dijemur agar menjadi panganan lauk yang awetnya tak perlu diragukan. Namun seketika ia tinggalkan kegiatannya itu tatkala ia merasakan getar dari bawah daratan tersebut, getar aneh yang langsung membuat ia berlari menuju rumah dari lelaki tua di sampingnya. Hendak memberitahu dan mungkin bertanya akan apa yang ia alami.

Namun setibanya pemuda itu di sebuah rumah bambu di kaki bukit tujuannya, ia tak mendapati lelaki tua tersebut di rumah, hal yang tak pernah ia alami sebelumnya, karena seumur hidup pemuda itu, sekali pun ia tak pernah melihat lelaki tua di sampingnya tidak berada di rumah, paling jauh hanya sampai teras saja.

Terlebih tatkala ia diberitahu oleh orang yang biasa mengurusi rumah lelaki tua tersebut, bahwa sang empunya rumah berjalan tergesa ke arah perbukitan dengan sebuah tongkat di tangan. Sebuah tongkat yang selama ini digantung di dinding itu sebelumnya tak pernah digunakan, dari itu pemuda tersebut tahu, bahwa ia harus segera menyusul ke tempat ini, ke sebuah tebing yang berada di balik bukit, sebuah tebing yang langsung berbatasan dengan laut, sebuah tebing.. yang sudah lama ia tahu, harus ia kunjungi jika sudah tiba waktunya. Dan pagi ini, pagi yang diselimuti badai ganas ini adalah waktu tersebut.

“Apa getaran tadi berasal dari Putra Mandara Bah?” Tanya pemuda itu dengan perasaan sedikit menguarkan ketakutan. Lelaki tua tersebut menggeleng lemah.

“Bukan.. tapi melihat bahasa alam, rasanya Sang Ibu sudah tidak mampu lagi menenangkan rengekan anaknya Jang..” Lelaki tua itu berucap dengan bibir sedikit bergetar, ia pun merasakan ketakutan bangkit dari dalam dirinya.

Dan Putra Mandara yang tadi dibicarakan oleh pemuda dan lelaki tua itu tak lain adalah nama sebuah gunung berapi aktif yang berada di tengah selat.
Gunung berapi yang sebenarnya masih dalam tahap pertumbuhan itu memang menunjukkan aktivitas yang terus meningkat beberapa tahun terakhir, namun hanya aktivitas kecil, para ahli geologi pun tak pernah luput dalam memantau pertumbuhan gunung berapi yang baru muncul ke permukaan laut sekitar 70 tahun yang lalu.
Karena beratus tahun yang lalu, di lokasi Putra Mandara berada kini, ada sebuah gunung berapi purba yang tersohor namanya ke sepenjuru dunia, gunung berapi itu bernama Mandara, yang berarti gunung laut. Sebuah gunung berapi purba yang gagah menjulang di tengah selat, selat yang memisahkan dua pulau besar, tempat di mana kehidupan manusia negeri ini terpusat.

Dan sekira dua abad yang lalu, Mandara yang sudah berabad-abad tertidur lelap tiba-tiba meletus dahsyat. Letusannya bahkan terdengar sampai beribu kilometer jauhnya.

Namun bukan itu yang menjadi mimpi buruk bagi penduduk di dua pulau tersebut, melainkan efek berantai dari letusan dahsyat itu yang mampu membangkitkan neraka dunia. Karena dari efek dahsyat letusan gunung tersebut langsung menyebabkan gelombang tsunami setinggi puluhan meter, gelombang ganas nan tinggi yang menyapu apa saja yang berada dalam radius puluhan kilo meter dari bibir pantai, memporak-porandakan dua pulau besar itu, serta beberapa pulau kecil yang berada dalam garis perjalan gelombak dahsyat itu. Membuat pemukiman-pemukiman hilang dari peta, menghantarkan ratusan ribu orang menemui sang pencipta.

Bukan itu saja, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya setelah letusan itu terjadi, abu yang dimuntahkan Mandara menutup langit, membuat sinar matahari tak mampu menembusnya, menyebabkan hampir sebagian dunia mengalami musim dingin berkepanjangan. Tanaman-tanaman gagal panen, sebab tak mampu berfotosintesis, kelaparan merajalela, dan perubahan iklim benar-benar tak bisa dihindarkan.

Setelah kejadian pula, Mandara yang melegenda itu hanya bersisa nama dan kenangan. Lokasi di mana gunung tersebut berada hanya bersisa pulau-pulau kecil. Tak ada lagi gunung megah di sana, seolah hilang tercabut bersama letusannya yang mahadahsyat.

Baru sekira 70 tahun yang lalu, para ahli geologi menemukan sebuah daratan kecil menyembul dari bawah laut, sebuah puncak gunung mungil yang tengah berusaha tumbuh. Layakanya anak bayi yang terlahir ke dunia. Dan seluruh ahli sepakat, memberi nama gunung berapi baru itu dengan.. Putara Mandara, karena lokasinya berada persis di koordinat di mana dulu Mandara Agung, sang Ibu Gunung berada.

Dan selama kurun waktu tujuh puluh tahun itu pula, Putra mandara terus bertumbuh, terus bertambah tinggi. Kini tingginya bahkan sudah hampir mencampai seperempat dari tinggi Ibunya dulu, dan akan terus bertumbuh seiring aktivitasnya yang tak pernah berhenti, Putra Mandara seperti anak kecil yang tak butuh tidur, terus bermain dan bermain.

“Bah..” Pemuda dengan ikat kepala itu menggumamkan panggilan ke lelaki tua di sampingnya, tubuhnya tiba-tiba merinding hebat. Hal itu disebabkan getaran yang ia rasakan di telapak kakinya, getaran ini jauh lebih kuat dibanding getaran yang ia rasakan sesaat sebelum badai datang tadi. Kedua kakinya tanpa sadar ia perlebar jaraknya, kuda-kuda di kakinya sudah terpasang setengah.

“Hematala sudah bergerak Jang, mereka sudah dekat, tinggal menunggu beberapa kedipan mata sampai Putra Mandara menangis hebat..” Lelaki tua itu menyahut dengan helaan napas berat. Pemuda itu semakin tertegun dalam, di antara gelegar Guntur dan amukan badai hatinya mendadak diliputi ketakutan besar.

“Sudah sedekat apa mereka Bah?” Tanya pemuda itu ragu-ragu.

“Sangat dekat Jang.. sangat dekat..” Jawab lelaki tua seraya menundukkan wajahnya dalam-dalam, takzim melafalkan sesuatu. Sedang pemuda itu semakin memantapkan pijakannya, dirasakannya gemuruh dari bawah telapak kakinya semakin menjadi-jadi.

Dadanya pun semakin gelisah, sedari kecil, ia sudah dipersiapkan untuk menghadapi situasi ini. Tapi tetap saja, ketakutan di hatinya tak bisa untuk ia redam. Ia selalu merasa tak pernah siap, meski ratusan purnama sudah ia lewati untuk mempersiapkan diri. Dan lagi, ia tak menyangka bahwa Aruhara yang selalu terngiang di tiap purnama tersebut akan datang secepat ini.

“Ketakutan di hatimu itu wajar adanya Jang.. Abah juga sama, merasakan ketakutan yang kau rasakan. Tapi bukan berarti kau harus tunduk dan tertahan oleh rasa takut itu. Kau harus tetap menjalankan tugasmu Jang..” Lelaki tua itu sudah selesai dengan kalimat-kalimat di bibirnya, wajahnya sudah kembali ia angkat, dan kini sudah ia tolehkan sepenuhnya kepada pemuda di sampingnya.

Mata mereka bertemu pandang, bersamaan dengan itu wajah pemuda tersebut pun berubah tegang. Matanya berpindah dari mata lelaki tua di hadapannya, menuju suatu pola bercahaya yang muncul di dahi si lelaki tua. Ditelannya ludahnya sendiri dalam-dalam, tenggorokannya mendadak tercekat.

Pola bercahaya itu bentuknya mirip dengan bangun limas segitiga, hanya saja posisinya terbalik, di mana bagian tiang utama dari limas segitiga itu mengarah ke bawah, ke ruang antara sepasang alis lelaki tua itu, pola tersebut sendiri berwarna biru tua, senada dengan warna samudera. Pemuda itu merinding, ia tak pernah melihat pola itu memancarkan cahaya seterang dan setegas seperti saat ini. Dan itu lebih dari cukup untuk membuat pemuda itu tersadar, bahwa Hematala.. orang-orang yang berada di pegunungan utara sudah sebegitu benar-benar dekatnya.

“Jang.. kau tahu bukan mengapa kau diberi nama Aswatama?” Lelaki tua itu bertanya dengan nada suara yang terdengar lebih berat dari sebelumnya. Pemuda itu pun segera mengangguk, membuat lelaki tua itu langsung tersenyum kecil.

“Sebagai kuda utama pesisir selatan, Abah memerintahkanmu untuk melepas Asta Braja yang selama ini kau kunci, lepaskan selepas-lepasnya, dan gunakan sebijak mungkin..”

“Tapi Bah..”

“Aswatama!” Pemuda itu hendak menyanggah ucapan lelaki tua di sampingnya, namun belum sempat ia menyampaikan sanggahan, lelaki tua itu dengan cepat memotong kalimat sang pemuda.

Dan itu langsung membuat sang pemuda terdiam, seumur hidup ia mengabdi pada lelaki tua itu, baru kali ini ia dibentak oleh lelaki tua tersebut dengan menggunakan Namanya sendiri, Aswatama. Sebab selama ini ia lebih sering dipanggil dengan Jang atau Ujang, yaitu panggilan yang dipergunakan oleh seseorang yang lebih tua kepada seseorang yang jauh lebih muda.

“Tidak ada waktu untuk berperang dengan hatimu sendiri Jang, kau harus melepas penuh Asta Braja milikmu, Abah yakin kau pasti bisa Jang..” Ucap lelaki tua itu masih dengan suara yang parau dan berat. Pemuda itu mengangkat wajah, menghela napasnya dalam-dalam, dan memberikan anggukan yakin.

“Sekarang.. pergilah ke Purantara, segera temukan dan temui si pewaris lebur angin, usahakan secepat mungkin Jang..”

Pemuda itu dengan berat hati mengangguk, ini pasti akan menjadi tugas yang sangat berat baginya. Ini bukan perihal tingkat kesulitan dalam menemukan si pewaris lebur angin, sebab lelaki tua di sampingnya sudah menyebutkan nama Purantara sebagai lokasi yang harus ia tuju, sebuah kota besar yang menjadi pusat pemerintahan dan pusat ekonomi negeri ini. Tapi jalan menuju kesanalah yang tidak akan mudah, kemungkinan orang-orang Hematala sudah menyebar di daerah ini, dan itu akan menjadi pekerjaan yang sedikit merepotkan baginya.

“Tapi bagaimana jika saya tidak berhasil sampai ke sana Bah?” Tanya pemuda itu dengan memperhitungkan skenario terburuk.

“Kau adalah Aswatama, dan ini adalah tugasmu. Tak perduli rintangan apa yang akan menyambutmu nanti, kau harus mampu melewatinya, dankau harus menyelesaikan tugasmu. Lagi pula, jika asta braja-mu disandingkan dengan lebur angin, harapan untuk menghentikan Aruhara akan semakin besar Jang..” Lelaki tua itu berucap dengan nada bergetar, pemuda itu kembali menganggukkan kepala, meski tak yakin, hatinya mengamini bahwa jika ia dan pewaris lebur angin Bersama, setidaknya itu bisa menambah kekuatan untuk menahan pergerakan orang-orang Hematala.

“Bawa Anggaraksa Bersamamu, tunjukkan ini pada para penjaga si lebur angin..” Lelaki tua itu berujar sembari mengangkat tongkat yang sedari tadi menjadi tumpuan kedua tangannya, dengan kedua tangan, diserahkannya tongkat tersebut pada si pemuda.

“Jika Anggaraksa ikut dengan saya, bagaimana dengan Abah?” Tanya pemuda itu dengan raut khawatir. Karena ia tahu, tongkat yang diberi nama Anggaraksa itu adalah salah satu sumber kekuatan dari lelaki tua yang selama dua puluh tahun lebih ini membimbingnya.

“Hahaha.. jangan meremehkan Abah Jang, dengan atau tanpa Anggaraksa pun Abah masih bisa melemparmu ke bawah sana..” Jawab lelaki tua itu dengan sedikit berkelakar. Membuat pemuda itu tersenyum perih, lalu diterimanya tongkat tersebut dengan penuh haru. Ditimang-timangnya berat tongkat bernama Anggaraksa itu, dielusnya sebentar, dipandanginya lekuk-lekuk dan ukiran yang ada di tongkat tersebut baik-baik, seumur hidup, ini adalah kali pertama ia menyentuh tongkat tersebut, bahkan kini ia dipercayakan untuk membawanya dalam tugas.

Di tengah keterpanaannya pada tongkat tersebut, tanah dipijakannya kembali terasa bergetar, jauh lebih terasa dari getaran sebelumnya. Itu membuat ia dan lelaki tua segera memandang ke arah laut, mereka sama-sama menghela napas berat. Getaran di tanah pun terasa semakin kuat, hingga dari tengah kecamuk badai, sebuah dentuman keras terdengar, membuat tanah yang mereka pijak bergetar amat dahsyat.

“Pergilah Jang..” Ujar lelaki tua itu dengan nada suara bergetar, seperti menahan suatu kesedihan yang amat dalam.

“Apa saya tidak bisa membantu Abah dulu?”

“Tidak Jang.. ini tugas Abah, lagi pula kau sudah memiliki tugasmu sendiri..”
“Tapi bagaimana dengan para penduduk Bah? Apa saya bisa mengevakuasi mereka terlebih dahulu sebelum pergi?”

“Tidak Jang.. biar itu jadi tanggung jawab Abah. Kau pergilah sekarang juga, jangan mengulur waktu lebih lama..”

Mereka pun sama-sama terdiam, angin terasa berderu lebih kencang dari sebelumnya, air hujan pun terasa lebih deras jatuh menghujam. Mereka sadar, mungkin ini adalah pertemuan terakhir mereka, lebih dari sekedar sadar. Dan hal itu tentu saja membuat kesedihan menguar di hati masing-masing dari mereka.

Dan dengan limbung, pemuda itu memutar tubuhnya, kemudian langsung memeluk lelaki tua tersebut dengan begitu erat. Tangisnya mulai tumpah, dan sesak terasa betul di inti perasaannya. Lelaki tua itu membalas pelukan sang pemuda dengan senyuman haru, dielusnya punggung pemuda itu, punggung yang sudah ditempa berbagai beban itu terasa berguncang, dan hal tersebut membuat lelaki tua itu ikut meneteskan air mata, sebab setelah ini, punggung pemuda yang berada dalam pelukannya tersebut akan diterpa beban yang jauh lebih berat, bertubi-tubi, dan mungkin amat Panjang.

“Maafkan Abah yang hanya bisa memberikan beban kepadamu Jang..” Ujar lelaki tua itu dengan suara parau ketika pelukan mereka berangsur terlepas.

“Tidak Bah.. ini justru sebuah kehormatan untuk saya. Dan sudah melalui setiap purnama dibawah bimbingan Abah, adalah suatu kebahagiaan yang akan selalu saya ingat..” Jawab pemuda itu dengan nada tegas.

Mereka berdua saling melempar senyum, saling melempar anggukkan, lalu ketika sebuah angin kencang menerpa, angin yang bersumber dari dentuman keras tadi. Mereka pun sepakat melangkahkan kaki.

Lelaki tua itu melangkahkan kaki semakin mendekati bibir tebing, sedang si pemuda dengan ikat kepala sudah menggerakkan kakinya ke arah berlawanan, menuju hutan tempat darimana ia datang tadi. Mereka berdua akan memenuhi tanggung jawab mereka masing-masing. Tanggung jawab lelaki tua yang dipanggil Abah itu adalah menjaga daerah pesisir selatan ketika Aruhara yang sudah diramalkan datang, selain itu, ia juga bertanggung jawab untuk mempersiapkan Aswatama, selaku pewaris Asta Braja.

Asta Braja sendiri adalah sebuah kemampuan khusus, di mana seseorang yang memiliki kemampuan tersebut akan memiliki kekuatan yang amat dahsyat di kedua tangannya, dan jika sekiranya ada orang yang terkena pukulan dari tangan pemilik Asta Braja, niscahya tubuhnya akan terasa bak disambar petir.

Sementara itu, dengan tongkat di tangan kanan, pemuda itu terus berlari menuju rimbun pepohonan, dan tepat sebelum ia memasuki hutan, ia menghentikan langkahnya, menoleh sejenak ke arah tebing tempat ia berbincang dengan lelaki tua tadi.

Mata pemuda itu berair, lelaki tua itu sudah tak berada di sana, hanya ada deras hujan yang jatuh bertubi-tubi di bibir tebing itu. Pemuda itu menyeka matanya, bersamaan dengan itu dentuman yang lebih kencang dari sebelumnya terdengar, membuat tanah di pijakannya kembali berguncang.

Ia tak boleh membuang-buang waktu lebih lama, dan segera meneruskan langkah kakinya, berlari menembus hutan lebat dengan kontur curam menanjak.


Bah.. saya janji.. saya akan menemukan Si lebur angin.. saya janji akan menjaga harapan Abah.. saya janji Bah!

***
POV REGAN

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, dingin embusan AC mobil terasa meresap ke pori-pori terdalam kulitku. Aku menggeliatkan tubuhku, merasakan leherku sedikit kaku sebab tertidur dalam posisi duduk. Aku memicingkan mata, sebab jalanan di depanku terlihat sedikit asing. Aku menoleh pada Ibu, beliau melempar senyum manis kepadaku seraya menyodorkan botol air minum.

“Kita kok..” Aku hendak bertanya mengapa jalan yang kami lalui terlihat asing. Namun oleh Ibu segera dipotong.
“Kita ke Bandara dulu enggak apa-apa kan De? Nanti kamu tidurnya dilanjut lagi aja..” Ucap Ibu seraya menekan gas mobil lebih dalam, menyalip mobil yang berada di depan. Setelah itu Ibu menyodorkan bungkusan roti kepadaku. Untuk mengganjal perutku yang belum terisi apa-apa katanya.

“Bandara?” Tanyaku bingung sembari membuka bungkusan roti tersebut. Dan saat itu juga aku menyadari, bahwa kami tengah berada di jalan tol dalam kota.

“Iya.. Ayah mendadak pulang hari ini, kata Ayah kerjaanya selesai selebih awal. Hihihi.. Ibu seneng deh, akhirnya kita bisa kumpul bareng-bareng lagi..” Seru Ibuku dengan tawa yang terlihat riang sekali, namun seperti menyimpan sesuatu yang entahlah apa.

“Kok Nggan enggak dikasih tau Bu?” Tanyaku lagi sedikit kebingungan, kucaplok dengan rakus roti ditanganku hingga bersisa setengah.

Sembari kepalaku berputar bingung, bagaimana tidak, Ayah kan baru berangkat seminggu yang lalu, dan biasanya butuh dua sampai tiga minggu untuk Ayah kembali. Tapi kok ini malah sekarang udah pulang lagi?

“Ini Ibu kasih tau kamu kan?” Ucap Ibuku sembari bertanya balik.

“Ya iya sih.. tapi kenapa enggak dari pagi gitu ngasih taunya..”

“Kan namanya juga dadakan De, gimana sih.. wwoo..” Seru Ibu sembari menyorakiku. Membuat aku akhirnya mengalah, dan akhirnya sedikit tersenyum sebab tingkah Ibu yang memang selalu terlihat manjalita itu. Menggemaskan sekali sumpah.

Ini kalau aja aku bukan anaknya Ibu, dan lahir di kisaran tahun di mana Ibu dilahirkan, sumpah.. aku enggak akan ragu-ragu buat menggebet Ibuku ini. Karena sungguh, Ibuku ini kecantikannya sangat paripurna, Ayah beruntung sekali karena berhasil mempersunting Ibuku yang cantik dan bertubuh indah ini.

“Tapi Bu, kok aneh banget sih..” Aku berpikir sejenak, karena bagaimana ya.. tetap saja rasanya seperti ada yang mengganjal dari kepulangan Ayah yang mendadak ini.

“Ish kamu itu.. nyebelin ah lama-lama.. Ayahnya pulang cepet bukannya seneng..” Ujar Ibu seraya memasang wajah cemberut, membuatku akhirnya mengalah, dan tak melanjutkan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam kepalaku.

“Iya iya.. Maafin Nggan Bu.. maafin ya?” Rengekku seraya memiringkan tubuh ke arah Ibu. Namun Ibuku tetap memasang wajah cemberut, ditekuk dengan bibir sedikit dimajukan. Aku langsung mencaplok sisa rotiku, mengunyahnya cepat, dan langsung memaksanya tertelan dengan bantuan air mineral pemberian Ibu tadi.

“Ibu.. maafin Nggan ah..” Aku kini mencondongkan tubuhku, membuat tubuhku semakin mendekat ke tubuh Ibu.

“Hm.. Hm..” Ibu hanya bergumam sembari menggelengkan kepalanya pelan. Aku menghela napas berat, lalu mendekatkan wajahku pada wajah Ibu. Dan..

CUPPP..

Aku mengecup pipi Ibu, membuat Ibu sedikit menggeliat manja dan langsung memugar senyum merekah. Diciumnya balik pipiku, dan dicubitnya pipiku dengan gemas. Lalu kami pun tertawa, dan dengan riang Ibu memacu mobilnya dengan kecepatan yang lebih cepat dari biasanya. Iyalah jelas.. di jalan tol gini loh, enak buat ngebut.

*
“MAASSS!!” Suara melengking Ibuku langsung berkumandang tatkala mendapati sosok Ayahku yang tengah berdiri di lobi utama penjemputan.

Ibu bahkan sudah berlarian menyongsong Ayah yang melambaikan tangan ke arah kami, sedang aku hanya berjalan santai, tertinggal belasan langkah jauhnya dari Ibu yang langsung menubruk dan memeluk Ayah dengan hebohnya. Sedang Ayah adalah Ayah, ia hanya membalas pelukan Ibu dengan usapan tenang, senada dengan raut wajahnya yang hanya menampilkan segaris senyum kecil.

Dan ketika aku sudah berada dekat dengan mereka, Ibu langsung melepas pelukannya pada Ayah, dan mempersilahkan Ayah untuk berjalan menyongsong kedatanganku. Koper Ayah kini sudah berpindah tangan ke Ibu, yang masih tersenyum-senyum manis, semanis es teh yang ada di kantin sekolahku.

Aku melempar anggukkan pada Ayah, dan mencium tangan beliau. Setelah itu aku langsung mendapatkan pelukan dari Ayah, hal yang sebenarnya jarang sekali Ayah lakukan padaku. Dan entah mengapa, aku merasa nyaman sekali berada dalam pelukannya. Akuloh jarang-jarang dipeluk sama Ayah, paling biasanya Cuma ditepuk-tepuk pundak saja.

“Ayah udah hampir satu jam loh nunggu kalian..” Ucap Ayah dengan nada suara berat, khas nada suaranya yang selalu menampilkan kewibawaan. Aku yang kini sudah terbebas dari pelukan Ayah, segera mengambil koper yang berada di tangan Ibu.

“Maaf Yah, tadi Nggan kecapean karena lupa sarapan, terus pingsan.. jadinya Ibu harus ke sekolah Nggan dulu..” Aku menyahuti perkataan Ayah sembari menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tak gatal.

“Iya.. Ibu sudah bilang tadi. Lain kali kamu tuh harus biasain sarapan De, setelat apa pun kamu bangun, ya tetap harus sarapan. Untung pingsannya di sekolah, coba kalau di bis? Apa enggak repot nanti?” Ayah berkata dengan tenangnya sembari mengacak-acak lembut rambutku. Aku hanya menggangguk dan tersenyum mendengar wejangan Ayah.

Setelah berhaha-hihi sejenak, Ayah pun mengajak kami untuk lekas meninggalkan bandara. Di parkiran, Ayah meminta untuk mengambil alih kemudi, katanya rindu menyetir. Ibu menurut saja, dan kini kami sudah meluncur meninggalkan terminal 3 bandara utama negeri ini. Selama di perjalanan, Ibu dan Ayah banyak bercanda, sesekali aku juga menimpali obrolan mereka, apalagi jika itu menyangkut tentangku.

Sungguh, rasanya bahagia sekali bisa berkumpul seperti ini. Hal yang jarang sekali terjadi, sebab kesibukan Ayah di kantor seringkali membuat ia harus pergi ke luar kota, ke luar pulau, bahkan ke luar negeri. Dan kehangatan di antara kami bertiga benar-benar mampu membuang pertanyaan-pertanyaan tentang mengapa Ayah pulang lebih awal.

Dan tanpa terasa, setelah menempuh perjalanan yang hampir memakan waktu satu jam lamanya. Kami pun tiba di rumah, rumah kami bukanlah rumah yang terlalu besar. Hanya rumah berlantai satu dengan gaya bangunan khas kolonial kuno, namun dipadukan dengan beberapa ukiran kayu yang selalu terlihat mengkilap seperti baru. Ya kurang lebih seperti perpaduan bangunan rumah kuno khas kolonial, dengan tambahan sentuhan tradisional.

Oh iya, rumah kami ini di selatan kota, tak seberapa jauh dari sebuah kebun binatang milik pemerintah, jadi tentu saja hawa lingkungannya masih rimbun oleh pepohonan. Namun harus kuakui, luas halaman rumah kami memang lebih dari cukup untuk membangun dua sampai tiga rumah lain dengan ukuran sama besar.

Setelah tiba di depan gerbang, Ayah pun lekas membunyikan klakson, gerbang rumah kami dengan cepat terbuka dengan wajah Mang Diman muncul di sana, Ayah membuka kaca jendela dan melempar senyum pada Mang Diman, yang langsung berbalas dengan senyuman ramah nan ikhlas. Mobil pun terus melaju, dan berhenti di bawah sebuah pohon beringin besar yang ada di halaman sebelah kanan. Aku segera turun dan membuka bagasi, lalu mengambil koper Ayah, dan langsung memanggulnya di pundak.

Hehehe enggak tahu ya, aku kalau bawa sesuatu tuh lebih senang dipanggul, apalagi koper Ayah ini beratnya lumayan, apa enggak mendem nanti kalau ditarik di atas rumput yang habis di siram oleh Mang Diman, sipemelihara utama kebun yang ada di halaman rumah kami ini.

“MANG.. UDAH NGOPI BELOM?” Teriakku pada Mang Diman yang baru saja selesai mengunci gerbang. Ia berjalan dengan tergopoh ke arah kami.

“Aduh Nnggan.. sini biar Mamang aja yang bawa..” Serunya seraya mempercepat langkah, aku hanya terkekeh dan berlari ke dalam, meninggalkan Mang Diman yang pasti berniat untuk merebut koper Ayah dari pundakku.

Melihatku berlarian dengan Mang Diman yang mengejarku, membuat Ayah dan Ibu tertawa dan sedikit menggelengkan kepala.

Aku berhenti sejenak untuk melepas sepatuku, kemudian kembali berlari ke ruang tengah di mana terlihat Teh Arum tengah menonton televisi. Oh iya, kalau Mang Diman bagian mengurus halaman, nah Teh Arum ini bagian mengurus bagian dalam rumah, dari mulai bersih-bersih, mencuci sampai memasak. Namun tentu saja Teh Arum enggak melakukannya seorang diri, jika Ibu sedang di rumah, maka Ibu akan membantu Teh Arum. Ya.. meski statusnya adalah asisten rumah tangga, namun Ayah, Ibu dan tentunya aku sudah menganggap Teh Arum dan Mang Diman sebagai bagian dari keluarga kami.

Dan di rumah ini juga menerapkan peraturan tak tertulis, di mana sebelum masuk, alas kaki wajib di lepas di teras rumah. Entahlah, tapi kata Ayah dan Ibu, itu dilakukan untuk menghargai orang yang sudah membersihkan rumah ini, dan dalam konteks ini berarti menghargai Teh Arum.

“Ih kalian mah.. berisik pisan..” Protes Teh Arum yang merasa terusik dengan kegaduhan yang tercipta dari aku dan Mang Diman.

Oh iya, Teh Arum ini anaknya Mang Diman, dan sudah cukup lama menjadi asisten rumah tangga kami, kalau tidak salah Teh Arum ini mulai menjadi bagian dari keluarga kami beberapa bulan setelah aku dikirim Ayah dan Ibu ke kampung Uwak, ya.. sudah tiga tahun lebih mungkin, enggak tahulah, aku enggak pernah ngitungin juga. Umurnya kalau tidak salah, kalau tidak salah ya.. antara 25 atau 26 gitu, lupa sih, enggak ngitungin juga.

Teh Arum ini mulai bekerja di sini, ketika istri Mang Diman meninggal, dan sebagai anak bungsu, dimana anak-anak Mang Diman yang lain sudah menikah semua, Mang Diman pun meminta izin pada Ayah untuk membawa Teh Arum ikut tinggal di sini, kayaknya ya, kurang ngerti juga sih. Dan kalau enggak salah, Ayah dan Ibu sempat membujuk Teh Arum untuk berkuliah, namun olehnya ditolak halus, sudah diizinkan tinggal bersama kami dan Ayahnya saja sudah lebih dari cukup katanya.

“Apa sih Teh? Galak bener, Mang Diman tuh yang ngejar-ngejar aku..” Aduku pada Teh Arum sembari meletakkan koper di dekat sofa. Sedang Mang Diman yang baru sampai terlihat ngos-ngosan, napasnya kembang kempis seperti habis lari mengelilingi halaman. Lebay memang penguasa halaman rumah kami ini.

“Air.. air..” Ucap Mang Diman sudah jatuh terduduk dengan kaki berselonjor lebar. Aku dan Teh Arum hanya bisa tertawa, sedang Ayah dan Ibu yang baru muncul dari pintu pun mendekat ke arah Mang Diman.

“Mang.. Mang.. lain kali tuh inget umur, mau-maunya diajak balap lari sama Dede..” Ujar Ayahku seraya menyerahkan satu botol air mineral dari balik jas yang terlipat di tangannya.

Mang Diman hanya terkekeh dengan senyuman lebar, diterimanya air tersebut dan langsung diteguk hingga habis. Sedang Ayah dan Ibu langsung duduk di sofa panjang, berseberangan dengan Teh Arum dan aku yang masih berdiri.

Aku sudah tidak memedulikan gerutuan Mang Diman, karena mataku kini terfokus pada televisi yang tengah menyiarkan sebuah berita. Kami semua sama-sama diam dan takzim menatap ke televisi, termasuk Mang Diman yang kini berdiri dengan lengan dikalungkan di leherku.

Di layar televisi, tersaji sebuah berita yang mengabarkan bahwa di pesisir selatan pulau diterjang gelombang tsunami setinggi 5-7 meter. Tsunami tersebut disebabkan oleh letusan sebuah gunung berapi aktif yang berada di tengah selat, Putra Mandara nama gunung api tersebut.

Dari berita tersebut, letusan terjadi sekitar tiga jam yang lalu, yang disusul gelombang tsunami beberapa menit kemudian. Berati letusan gunung tersebut terjadi ketika aku tengah tidak sadarkan diri, namun mengapa di sekolah tadi tidak ada yang memberi tahuku? Atau mungkin teman-temanku juga belum mengetahuinya? Entahlah.

“Mang Diman.. Arum.. kalian sudah dapat kabar dari keluarga di sana?” Di tengah kebisuan kami, Ayah membuka suara. Membuat aku segera menatap Mang Diman yang terlihat khusyuk.

“Sudah Pak.. tadi sebelum Ibu berangkat ke sekolah, Mamang sudah dikasih tahu sama Ibu..” Jawab Mang Diman dengan senyum di bibirnya. Dan jawaban Mang Diman terang saja langsung membuatku mengalihkan pandang ke Ibu. Aneh.. berarti Ibu sudah tahu tentang berita ini? Tapi kenapa Ibu tidak menyinggung hal ini sebelumnya? Ah apasih.. lagian untuk apa juga Ibu memberitahuku tentang berita ini? Aku kan Cuma anak kecil di mata Ibu.

“Terus keluarga gimana Mang?” Tanyaku mencoba mengentaskan keherenan tentang Ibu.

“Syukurnya daerah Mamang enggak terlalu dekat sama laut Nggan.. jadi semua keluarga Mamang dalam keadaan baik-baik aja..” Jawab Mang Diman dengan sumeringah, raut yang sama ditunjukkan oleh Teh Arum Aku tersenyum, ikut lega mendengarnya.

Setelah mengobrol sebentar, aku pun memutuskan untuk masuk ke kamarku yang terletak di bagian belakang rumah ini. Heran juga aku, kenapa kamarku justru berada di bagian belakang, dekat dengan dapur, bersisian dengan kamar Mang Diman. Sedang kamar Ayah dan Ibu justru berada di depan, dekat ruang tamu. Nah kalau kamar Teh Arum ada di dekat ruang tamu juga, berseberangan dengan kamar Ayah dan Ibu. Entahlah, itu salah satu hal yang menjadi pertanyaanku selama ini. Aku sempat berpikir bahwa Ayah dan Ibu lebih menyayangi Teh Arum dibandingkan aku tahu, cemburu gitu, tapi ya enggak cemburu buta juga sih, Cuma pemikiran iseng aja. Atau.. apa mungkin itu agar aku tidak terganggu ketika Ayah dan Ibu lagi.. hi hi hi.. ngawur aku hahaha..

Sudahlah, sekarang aku akan mengajak kalian ke kamarku. Kamar yang meskipun berada di bagian belakang rumah ini, namun tetap terasa nyaman dan luas. Dekorasi kamarku? Biasa saja, hanya memang di dinding kamarku, tergantung sebuah poster besar dari seseorang yang paling aku idolakan.

Bukan presiden pertama negeri ini, bukan pula presiden hebat dari negeri-negeri jauh. Bukan poster pemain sepak bola kenamaan, bukan juga poster vokalis-vokalis band terkenal dunia. Melainkan poster seseorang pria berkacamata dengan kelala plontos yang tengah beraksi menggebuk drum. Yap.. siapa lagi kalau bukan The Living Legend, The One And Only, Surendro Prasetyo. Atau yang lebih dikenal dengan nama Yoyo Padi.

Wuhu.. yeah.. aku memang sangat mengidolakan dummer dari band Padi tersebut. Yang tentu saja, aku juga sangat menyukai lagu-lagu dari Band yang saat ini tengah vakum dari industri musik negeri ini. Entah mengapa, aku seperti merasa bahwa lagu-lagu dari Padi benar-benar lagu yang sangat amat jujur. Maksudku jujur dalam artian lelaki ya.

Karena jarang sekali Band yang menciptakan lagu tentang perasaan seorang lelaki, perasaan jujur dari seorang lelaki tepatnya. Belibet ya? Mending kita kerucutkan pada maksudku. Kalian tahu lagu padi berjudul Rapuh? Atau mungkin Sesuatu yang Indah? Pasti tahu kan? Tahu dong? Tahu pastinya lah. Kalau kalian belum tahu, silahkan dengarkan, dan resapi lirik demi liriknya. Terutama Rapuh yang amat terasa jujur bagiku.

Bagiamana tidak? Baru di lagu tersebut yang menggambarkan betapa lelaki juga tersiksa ketika harus menyakiti seorang perempuan! Iya enggak? Kan lelaki tuh terkenal buaya daratlah, tak berhatilah, bangsat, playboy, bajingan, pokoknya semua lelaki itu sama kalau kata perempuan. Kalau enggak brengsek, ya paling melambai.

Dan lagu inilah yang menjadi tolak ukurku, yang membuatku bisa mengatakan bahwa lagu-lagu Padu itu laki banget, dan jujur sekali lirik-liriknya. Ya tapi aku ini generasi nanggung, meski sudah suka band ini dari jaman SMP, tapi aku belum sekali pun menonton konsernya. Ditambah, sekarang band ini tengah vakum, entahlah akan kembali atau tidak. Padahal, aku ngarep banget bisa nonton konser band ini, terus loncat-loncat bareng merdunya gedebak-gedebuk Om Yoyo, yang diperindah dengan betotan bas-nya Mas Rendra. Lalu dibalut melodi menyayat hati dari Mas Piyu, yang selalu didampingi apik dan rapihnya rhythm-nya Mas Ari. Dan semua itu diharmonisasikan dengan suara indah yang dimiliki Mas Fadly. Pokoknya kalau ditanya band dengan komposisi paling solid, Padi adalah nama yang langsung mencuat di kepalaku.

Ini aku terlalu bersemangat ya cerita tentang Padi? Hahaha maaf.. maaf.. nah daripada aku makin panjang mendongeng, mending enaknya kita setel lagu padi nih ya kan? Gimana? Setuju dong? Ayolah. Bentar aku nyalain komputer dulu, plus nyambungin speaker oke.

Oh iya, sambil nunggu komputer tabung jadulku ini nyala. Mending aku bbm temen-temenku ya? Mereka pasti ngedumel hebat nih karena aku pulang tanpa pamit.

Aku pun mengeluarkan handphone dari tasku, sebuah handphone dengan keypad qwerty yang beberapa tahun lalu tengah booming-boomingnya. Iya.. beberapa tahun lalu, kalau sekarang sih yang booming handphone-handphone layar sentuh gitu. Yang bisa dipake buat main game kejar-kejaran di atas rel kereta. Teman-temanku rata-rata sudah pada punya tuh, dari yang merknya Sumsang, Lenpopo, Assuh, sampai merk lokal yang sebelumnya hanya bergerak di bidang profider jaringan komunikasi, Smartprang. Pokoknya handphone android itu tuh emang lagi naik-naik daunnya, menggeser pamor dari handphone qwerty milikku sekarang.

Kalian tahu kan merk handphoneku? Atau juga pernah menggunakan? Yap.. handphoneku adalah sebuah handphone yang pernah booming beberapa tahun lalu, dari brand kenamaan asal negeri uncle sam, apalagi kalau bukan Blikbirry, atau biasa disingkat BB. Nah kalau handphoneku ini tipenya BB Davis, warnanya putih bersih bak seragam-seragam ketat yang digunakan siswi sekolahku.

Sebenarnya waktu itu Ayah hendak membelikanku BB yang sama seperti miliknya dan Ibu saat itu, yaitu BB tipe Onyx. Tapi entah mengapa, aku kurang suka bentukan dan modelnya, selain itu harganya juga jauh lebih mahal dari BB Davis yang sekarang aku gunakan, dan lagipula, aku lebih suka modelan Davis ini, simple aja gitu diliatnya, enggak neko-neko. Pokoknya aku udah cinta bangetlah sama Si Davis ini. Dan meski beberapa bulan lalu Ayah menawarkanku untuk membeli handphone baru jenis android yang sedang naik daun, tapi aku menolaknya dengan halus. Ya gimana ya.. aku masih merasa kerasan dengan Si Davis ini, belum berminat untuk menggantikannya dengan yang lain. Setia kan aku? Iya dong.. Regan gitu loh haha.

Oke, aku enggak mau berlama-lama membahas tentang Si Davis ini, nanti yang ada malah besar kepala dia. Aku pun segera membuka BBM, dan mengirimkan pesan pada Dito, mengabarkan bahwa aku dipaksa pulang oleh Ibu. Setelah itu, aku juga mengirim pesan pada Hani, dengan isi pesannya seperti ini;

"Han.. tentang yang di ruang UKS tadi, sorry ya.."

Setelah aku kirim pesan tersebut, langsung terlihat huruf D berwarna biru di samping pesan yang kukirimkan, pertanda pesanku sudah masuk di handphone Hani. Setelah itu aku langsung melemparkan sembarang Si Davis ke kasur, langsung duduk di depan komputerku yang sudah menyala dan siap di operasikan.

Aku langsung membuka aplikasi peramban, yang kemudian membawaku pada platform berbagi video, aku langsung mengetikkan kata Padi di kolam pencarian, dan keluarlah deretan hasil yang menampilkan kompilasi lagu-lagu dari band favoritku ini. Aku langsung memilih salah satu video tersebut, dan meninggalkan komputerku tepat saat sayatan melodi dari Mas Piyu menggema dari speaker bass kesayanganku, dan hanya menunggu beberapa detik, gebukan termerdu kecintaanku pun terdengar.

Lagu pertama yang terputar adalah lagu Sang Penghibur, ini salah satu lagu yang paling sering aku dan kawan-kawanku bawakan jika tengah jamming di studio sekolah, maupun di rental-rental studio musik.

Sembari mengangguk-anggukkan kepala, aku pun melepas seragamku. Dan dengan hanya mengenakan celana dalam model pende sepaha atas, aku pun berjalan ke arah pintu, menguncinya, lalu berjalan ke dekat jendela. Membuka lebar-lebar kedua daun jendela kamarku, yang langsung berbatasan dengan halaman samping. Kontan saja, pemandangan teduh langsung terpampang di mataku. Sepasang pohon kelapa yang tinggi menjulang, pohon angsana yang dahannya menggeelayut ke bawah, serta pohon jambu air dengan ayunan ban menghiasi halaman samping rumahku ini.

Aku lalu mengambil rokok garpit dari tas, kemudian membawa rokok tersebut. Setelah itu aku naik ke kusen jendela, duduk menyamping dengan punggung bersandar. Aku sulut batang pertama garpitku ini, dan seketika aku merasakan sebuah kenikmatan yang amat sangat hangat menjalar ke paru-paruku. Huh… mantap.

Seiring gebukan drum Om Yoyo yang sangat merasuk, aku terus menikmati hisapan demi hisapan rokok di jemariku ini. Fikiranku mengawang jauh, memikirkan tentang apa yang tadi diberitakan di televesi, mengenai letusan gunung Putra Mandara yang menyebabkan tsunami. Entah mengapa aku merasa amat terganggu dengan peristiwa ini, padahal aku tidak memiliki keluarga di sana. Namun rasanya, seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Entahlah apa, aku juga tak tahu. Seperti ada sesuatu yang amat aku khawatirkan gitu, aneh ya? Eh tapi enggak dong, ini namanya aku tengah bersimpati dan berempati. Karena bagaimanapun, tsunami tersebut pasti menelan korban jiwa bukan? Jadi rasanya wajar bila aku bersimpati, bukan?

Seiring batang rokokku yang sudah terbakar setengah, kini lagu pun berganti. Dan dari gebukannya saja aku sudah tahu lagu apa ini, ini adalah lagu Mahadewi. Lagu yang benar-benar indah nan kultus bagi para penikmat lagu-lagu Padi. Aku terus menikmati rokokku, sampai ketika aku mendengar ketukan di pintuku.

“NGGAN… MAKAN DULU.. KATA IBU KAMU BELUM MAKAN DARI PAGI..”

Ah itu suara Teh Arum, aku pun segera mendekat ke pintu, membukanya santai. Membuat Teh Arum sedikit tertegun memandangi tubuhku.

“Ntar dulu ya Teh.. lagi rokokkan nih..” Ucapku sembari menggaruk-garuk kepalaku sendiri. Teh Arum tidak merespons ucapanku, dia malah bengong tidak karuan, membuat aku bingung sendiri.

Perasaan Teh Arum kan udah tahu kalau aku merokok, kok dia kaya kaget gitu sih?

“Teh..” Tegurku padanya, membuat ia tersadar dari lamunan. Pipinya terlihat bersemu merah, membuatku bingung sendiri kenapa dia ini sebenarnya.

“Teteh kenapa?” Tanyaku penasaran dengan mata tetap awas ke sekeliling, jaga-jaga kalau Ayah atau Ibu muncul. Meski Ayah dan Ibuku mengetahui bahwa aku ini perokok, dan meski tidak ada larangan, tapi tetap saja aku segan jika harus merokok di depan kedua orangtuaku.

“Eh.. itu.. anu.. Makanannya udah aku siapin di dapur..” Jawab Teh Arum dengan gelagat aneh, seperti gugup gitu. Dan tanpa menunggu responku, ia langsung pergi begitu saja, meninggalkanku yang masih terbengong memandangi bagian belakang tubuhnya.

Teh Arum loh hari ini pakai daster katun dengan bagian bawah yang jatuh tepat di atas lututnya, pas badan pula modelnya, bikin bagian bempernya tercetak jelas dan menantang. Uhh.. merinding aku hihihi.

Aku pun segera menutup dan mengunci kembali pintu kamarku, dan kembali duduk di kusen jendela. Rokokku yang sudah mendekati filternya pun segera kuselesaikan, lalu aku menyulut batang kedua rokokku. Dengan diiringi alunan lagu Begitu Indah, aku kembali menikmati hangat tembakau yang menjalar di ruang-ruang dadaku. Menatap langit yang terlihat sedikit mendung siang ini. Huh.. baguslah, semoga saja hujan turun, karena rasanya sudah lama hujan tidak turun mengguyur kota ini.

Setelah melewati enam lagu dari band Padi, dengan tiga batang rokok yang sudah tandas, aku pun segera berjalan ke lemari untuk memilih baju. Dan setelah mengenakan celana jeans pendek dengan robekan kecil di bagian paha, serta kaos polo berwarna hijau, aku pun segera keluar kamar dengan alunan lagu padi yang kubiarkan tetap terputar.

Aku pun berjalan ke dapur, mengambil piring dan membuka tudung saji di meja. Hhhmm.. Tempe orek yang dipadukan dengan Ayam balado, serta tambahan sayur sop dan kerupuk kulit yang berada dalam toples benar-benar langsung menggugah selera makanku. Aku langsung memenuhi piringku dengan nasi dan lauk, lalu kusiram dengan sop yang ternyata diisi dengan irisan daging sapi. Kemudian aku membawa piringku ke halaman belakang, di mana ini menjadi tempat favoritku untuk nongkrong selain jendela kamarku tentunya.

Di halaman belakang ini memang tidak seluas halaman samping maupun depan, karena di halaman belakang ini terdapat satu buah saung bambu yang berada tepat di seberang kolam ikan, letaknya persis di bawah pohon jamblang. Aku pun naik ke atas saung tersebut dan mulai menyantap makananku dengan ditemani riak ikan mujair yang sesekali mengambil udara ke permukaan air.

Dan ketika tengah khidmatnya menyantap hidanganku, kegaduhan datang dengan bar-barnya, membuatku sedikit kaget. Dan kegaduhan itu berasal dari dua mahluk yang hidupnya tidak pernah akur, Kepin dan Bogi. Mereka berlarian mengitari kolam dengan riuhnya. Kepin di bagian depan, sedang Bogi mengejarnya dengan kesal di bagian belakang. Hah.. mereka ini, selalu saja.

Eh bentar, tadi aku sudah memperkenalkan mereka belum? Kayanya belum ya? Oke oke maaf, aku lupa. Nah yang depan itu, yang tadi aku bilang namanya Kepin. Dia adalah kucing oren yang tingkat ke-bar-bar-annya di atas rata-rata kucing biasa. Nah si Bogi yang di belakangnya itu adalah Anjing jenis pitbul berukuran sedang, warnanya hitam legam.

Dan sepertinya, Si kepin ini pasti abis ngejailin si Bogi, soalnya Si Bogi keliatan emosi bener ngejarnya. Sampai lidahnya tergundal-gandul kesana sini. Waduh, bisa bonyok ini Si Kepin kalau ketangkep Bogi.

“HOY!!” Teriakku lantang pada kedua peliharaan kesayangan keluargaku itu, sontak saja teriakanku tersebut langsung membuat Kepin dan Bogi menghentikan aksi kejar-kejaran mereka.

“OUGH.. OUGH..” Bogi menggonggong padaku, seolah tengah mengadu. Sedang Kepin dengan santainya, berjalan gagah ke arahku, kepalanya sedikit di tengadahkan, jalannya dilenggak-lenggokkan.

Sialan Si kepin ini.. dialoh laki-laki, masa jalan kaya model-model catwalk gitu. Memalukan!

“Aauugh..” Bogi kini meraung dengan wajah yang begitu memelas, ia masih di posisi yang sama. Berbeda dengan Kepin, yang dengan santainya sudah naik ke atas saung dan langsung duduk samping pahaku.

“Sini..” Aku melambaikan tangan pada Bogi, yang olehnya langsung direspon dengan berlari ke arahku. Badannya yang bogel itu bergoyang-goyang bak truk gandeng.

“Nih..” Aku menyodorkan paha ayam yang masih utuh dan sudah kubersihkan bumbunya pada Bogi, ia langsung terlihat berseri dan menggonggong riang. Namun baru saja Bogi hendak memajukan kepalanya untuk menerima paha ayam pemberianku, kepin dengan segala ke-selowan-nya, mengayunkan cakaran yang hampir mengenai wajah Bogi, membuat Bogi termundur beberapa langkah sembari memberikan gonggongan, protes terhadap kelakuan Kepin.

Sedang Si Kucing oren ini dengan santainya meletakkan kaki sebelah kanan bagian depan di punggung telapak tanganku, wajahnya di tengadahkan menatapku, matanya dibuat seimut mungkin, seolah memintaku untuk memberikan paha ayam tersebut kepadanya.

“Miauw..” Aum Kepin dengan lembut dan merdunya, seolah tengah merayuku. Aku hanya bisa menghela napas berat, lalu menepiskan halus kaki kepin tersebut dari telapak tanganku.

“Nanti aku ambilin ya, ini buat Bogi dulu..” Ucapku mencoba memberi pengertian.

“Miauw miauw miauw..” Sahut Kepin dengan kaki depannya yang mengelus-elus lenganku, seolah masih berusaha merayuku. Sedang kulihat Bogi sudah gelisah bukan main, matanya sendu seolah meminta dikasihani.

Sialan.. dilema sekali ini, dilema! Aku pada akhirnya meletakkan piringku, mengambil sedikit bagian dari paha ayam tersebut, lalu menaruhnya di depan Kepin. Meski awalnya seperti protes karena menginginkan lebih, namun dengan tatapan mautku, si bar-bar itu pun menurut, dan menurunkan wajahnya, mulai menyantap cuilan daging ayam pemberianku.

Sedang dengan cepat aku menyodorkan kembali paha ayam yang sudah tercungkil tersebut pada Bogi, yang olehnya langsung disambut dengan lompatan kecil. Dengan semangatnya ia mengambil paha ayam tersebut menggunakan gigi-giginya yang terlihat tajam, lalu berlari meninggalkanku. Aku tersenyum lebar, Bogi itu bukannya tidak tahu terimakasih, tapi ia hendak menghindari gangguan lanjutan yang kapan saja bisa dilakukan oleh Kepin.

Setelah kepergian Bogi, aku pun kembali melanjutkan makanku, meski hanya dengan tempe orek dan beberapa potong daging tentuny. Bersamaan dengan itu, mataku tak lepas-lepasnya dari Kepin, mengawasi dan sedikit memberi tekanan padanya agar jangan dulu mengganggu Bogi. Dan itu sepertinya berhasil, Kepin yang meskipun sudah selesai menyantap bagian kecil daging ayam pemberianku tadi, tetap berada di posisinya, dengan sesekali sibuk menjilati bagian bawah kakinya sendiri. Bagus, ini baru namanya kucing, enggak petantang-petenteng.

Setelah menyelesaikan makanku, aku langsung kembali ke dapur dengan Kepin yang mengekor di belakangku. Aku tahu betul si Kepin ini sedang menuntut haknya padaku, jadi aku tak bisa membuang-buang waktu. Langsung kutaruh piring di westafel, dan segera membuka kulkas, mengeluarkan sepotong ikan kemasan dan langsung memberikannya pada Kepin.

Dan setelah menerima itu, tanpa miauw miauw lagi, tanpa terimakasih, Kepin langsung berjalan angkuh meninggalkanku. Membuatku akhirnya sebal dan menggerutu sendiri. Kucing itu.. haizzz..

Alunan musik dari Band Padi masih terdengar dari dalam kamarku, saat ini yang terputar adalah lagu Harmoni, dengan dominasi suara Mas Piyu yang serak-serak mengayun. Sembari bersendandung, aku mengambil gelas dengan mengisinya dengan air kombinasi panas dan sejuk dari dispenser, lalu meneguknya hingga tandas. Uwahh.. mantap ini.. perut sudah kenyang, tinggal menjalani ritual penutup ini, habis makan enaknya ngapain? Yap.. betul.. ngudud hahaha

Aku pun dengan santai berjalan ke kamarku, namun anehnya pintu kamarku setengah terbuka. Padahal tadi perasaan aku sudah tutup, apa Ibu? Atau Ayah? Ah ngapain sih pakai tebak-tebakan segala, mending cek langsung.

Aku pun mempercepat langkah, dan langsung membuka lebih lebar pintu kamarku. Seketika itu juga aku tertegun, kedua bola mataku sedikit melebar. Sebab di tepian ranjangku, duduk seorang gadis dengan kaki menjuntai ke bawah yang sedikit diayun-ayunkan.

Rambutnya yang tergerai di jadikan satu kemudian diletakkan di depan bahunya. Wajahnya berkeliling memperhatikan isi kamarku, sebelum akhirnya berhenti ketika mata kami beradu.

“Kok bisa di sini?” Tanyaku seraya mulai melangkah masuk, dan reflek menutup pintu.

“Dasar bebel!”

Bersamabung..
 
Terakhir diubah:
Selamat malam suhu-suhu semua, maaf baru bisa update, dikarenakan kesibukan di RL masih agak padat. Sebelumnya terimakasih juga bagi yang sudah berkenan membaca, ditunggu saran dan masukkannya.

Dan berhubung saya masih benar-benar Newbie, kiranya saya ingin bertanya mengenai bagaimana membuat index cerita di sini. Jika sekiranya suhu-suhu tahu, bisa langsung komen atau bisa pm saya ya, terimakasih banyak semuanya.

🙏🙏🙏🙏
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd