Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
di KK lu terlalu frontal bang dr cover sama judulnya. auto ke banned.
di sini aja ada banyak aturan yg harus di taati bang. apalagi di KK yg emang open platform bang.
 
Akhirnya lepas dari warning. Dan seperti janji, saya akan posting bab 4 full. Buat yang penasaran bab full sebelumnya, bisa baca full di lapak KK. Linknya ada di bio saya. Terima kasih, Suhu semua.



BAB 4. REBORN, BUT SLUTTY

Seperti biasa, satu jam sebelum azan Subuh Listiana telah bangun. Entah pukul berapa suaminya pulang, dia dapati pria itu tidur di sofa tanpa berganti pakaian. Melihat itu, timbul penyesalan di hati Listiana. Entah sebab apa belakangan dia mudah sekali berkata kasar kepada suaminya itu. Belum lagi perselingkuhannya dengan Tarno. Sampai saat ini, belum dapat dia temukan alasan hingga menerima pemerkosaan Tarno sebagai perselingkuhan. Perlahan didekatinya Seno.

“Maafkan aku, Pah,” bisik Listiana sambil mencium kening Seno. Belum sempat niatnya terlaksana, hidungnya menangkap wangi parfum asing dari baju Seno.

Hampir saja kemarahannya meledak andai Listiana tidak mengingat dosa yang dia lakukan pun sama. Lagipula, belum tentu Seno melakukannya. Bukti parfum itu terlalu kecil untuk diturutinya melepas kemarahan.

“Mandi, Pah! Sudah pagi,” bisik Listiana sambil meneruskan niatnya yang tertunda, memberikan Seno sebuah kecupan di bibir. Perlahan, akibat napsu syahwat yang belum terpuaskan kemarin, Listiana memulaskan lidahnya ke bibir Seno. Seno terbangun ketikalidah itu berhasil menjajah Pahuk ke dalam rongga mulutnya.

“Eh, Mamah! Sudah bangun?” tanya Seno sambil melepaskan diri dari dekapan Listiana.

Listiana tidak menjawab, melainkan melolosi celana dan sempak Seno. Setelah tersenyum manis, wanita itu berlutut dengan wajah sejajar kontol Seno. Direngkuhnya pantat Seno ketika suaminya itu hendak berdiri, lalu ditariknya hingga kontol itu lenyap di jepit bibir sang istri.

“Eh, Mah! Eh, Mah! Ahhh!” desis Seno. Suaranya tidak sepenuhnya mewakili kenikmatan yang seharusnya dia rasakan, tetapi tercampur banyak kekhawatiran akan ketidakmampuannya memuaskan istrinya. Tangannya merengkuh kepala Listiana, terombang-ambing antara ingin mendorong atau membelai kepala yang bergerak maju mundur memanjakan kontolnya.

“Bentar ya, Pah, Mama sange,” kata Listiana setelah melepaskan kontol Seno. Wanita itu berdiri lalu melepskan piyama tipisnya. Kemudian dengan bernafsu, wanita itu langsung mengangkangi kontol Seno.

Tidak ingin kehilangan momentum tegang maksimalnya kontol Seno, Listiana langsung saja menurunkan memeknya menelan kontol Seno. Terbersit sekelebat kekecewaan akibat mulusnya proses penetrasi itu di benak Listiana. Seketika saja kekecewaan itu membuncah, berubah menjadi kemarahan setelah beberapa kali kocokan hanya sedikit geli yang perlahan pudar didapatnya. Tiba-tiba saja Listiana merindukan Terno, lebih tepatnya kontol Tarno.

“Sudah, ah! Bentar lagi Subuh. Mamah mau mandi terus siap-siap,” kata Listiana sambil bangkit meninggalkan kontol Seno yang langsung menciut sekeluar dari memek istrinya. Perasaan terluka ditambah kondisi ‘kentang’ menampar keras harga dirinya sebagai laki-laki. Ingin dikejar dan diperkosanya Listiana, tetapi Seno sadar hal itu percuma saja. Toh, sama saja hasilnya entah itu sukarela atau perkosaan. Size does matter, bisik Seno lemah di dalam hati.

Ketika Listiana kembali ke kamar mereka untuk mandi di kamar mandi dalam, Seno pun turut mandi, tetapi di kamar mandi luar. Dibiarkannya air shower menerpa pucuk kepalanya, berharap airnya dapat mengikis kekesalan sekaligus menumbuhkan rasa percaya dirinya yang hancur.

“Mamah berangkat. Assalamualaikum!” kata Listiana seusai sarapan. Bahkan piring bekas makannya pun dia tinggalkan begitu saja, apalagi mencium punggung tangan suaminya. Seno hanya memandang kepergian Listiana dengan perasaan yang semakin terluka.

Usai deru mobil Listiana tidak lagi terdengar, Seno pun memutuskan untuk juga berangkat ke kantor. Namun, sebuah ide muncul dibenaknya. Segera saja dia raih ponselnya lalu sebuah pesan dia kirimkan kepada Dewi. “Wi! Kujemput di MacD deket rumahmu jam delapan.” Setelah itu dia berangkat dengan perasaan yang sedikit lebih senang, membayangkan akan segera bertemu dengan Dewi yang lembut.

Sementara itu, seiring menjauh dari rumah, akal sehat Listiana mulai kembali sehat. Kembali dia menyesali kekasarannya kepada sang suami. Hanya kaarena ukuran kontol, begitu mudahnya dia merendahkan sang suami. Dirutukinya Tarno di dalam hati. Timbul mual ketika diingatnya bahwa dia telah mencicipi tidak hanya peju Tarno, tetapi juga ketiak, dan yang lebih parahnya lagi lubang pantat Tarno. Namun, ketika kontol Tarno yang berukuran tidak biasa itu diingatnya dengan gagah memompa memeknya, Listiana tanpa sadar tersenyum dan melenguh. Memeknya berkedut-kedut seolah-olah benar-benar sedang dientot oleh kontol itu. Niatnya untuk menghindari Tarno luruh seketika. Terbersit untuk menemui rekan kerjanya itu ketimbang menunutaskan rencana awal untuk memetik keperjakaan Fajar.

Jantung Listiana berdebar parah semenjak keluar dari mobil di halaman parkir. Semakin parah ketika dia jumpai Tarno di ruang guru. Disunggingkannya senyum malu-malu kucing, berharap Tarno menangkap kode yang dia lemparkan. Sayangnya rekan kerjanya itu bukan hanya seperti tidak menangkap kodenya, melainkan juga terlihat ketakutan pada saat Listiana menyapa.

“Maaf, Ustazah. Saya permisi,” kata Tarno membalas sapa Listiana. Pria itu bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke luar ruang guru dengan membawa hampir seluruh barang pribadinya. Dia meninggalkan Listiana yang kebingungan, tidak tahu harus bersikap seperti apa.

Belum sempat kebingungannya hilang, pintu ruang guru terbuka. Dari luar, masuklah kepala sekolah—Bu Ajeng—dengan perlahan. Wanita awal empat puluhan tahun yang masih cantik itu melihat kiri dan kanan, mengabaikan sapaan beberapa orang guru sebelum mendekati Listiana.

“Ustazah Lis …,” tegur Ajeng yang membuyarkan lamunan Listiana. Listiana terlonjak kaget mendengar suara Ajeng. Hampir belum pernah dia ditegur pimpinannya itu secara pribadi, kecuali sedang kebetulan berpapasan.

“I-i-ya, Ummi! A-a-da apa?” Listiana buru-buru bangkit dari duduknya. Di kepalanya berkelebatan ingatan tentang ucapan rekan sesama guru yang mengatakan, kalau sampai Bu Ajeng datang ke ruang guru, maka kemungkinan besar hanya ada sebuah peristiwa yang akan menimpa rang yang ditegur, yaitu pemecatan.

“Ikut saya ke ruangan, yuk,” ajak Ajeng. Meskipun mengajak, tetapi nadanya jelas tidak ingin ditolak atau pun dibantah. Listiana hanya dapat mengangguk pasrah. Dia mencoba menerka-nerka nasib apa yang akan menunggunya di ruangan itu. Setiap langkahnya mengikuti Ajeng terasa berat.

“Yuk, masuk!” kata Ajeng ramah sambil membuka pintu ruangannya. Wanita itu amat cantik dan anggun, bahkan di mata sesama wanita seperti Listiana. Terbersit di kepala Listiana ingatan tentang fantasi Seno yang pernah menggodanya dengan bisikan ingin melihat pertunjukan ‘apem makan apem’ alias lesbian.

“Afwan, Ummi. Permisi,” kata Listiana mengikuti perintah Ajeng. Baru masuk, dia dikejutkan dengan sesosok pria yang menatapnya sambil tersenyum. Listiana semakin gugup ketika menyadari bahwa pria yang sedang duduk di kursi kepala sekolah itu adalah Suprapto yang sering dipanggil Prapto, sang kepala yayasan alias pemilik yayasan tempatnya mengajar.

“A-a-assalamualaikum, Abi Ustad!” Listiana terburu-buru mengahampiri Prapto lalu meraih tangan pria akhir lima puluhan tahun itu, melupakan bahwa hal tersebut adalah haram. Dikecupnya punggung tangan Prapto takzim. Tanpa Listiana sadari, Prapto tersenyum memandang Ajeng yang balas tersenyum. Bukan senyum biasa, tetapi ada sesuatu yang seperti mereka sepakati tentang satu hal, yaitu Listiana.

“Waalaikumussalam, Ustazah Lis. Apa kabar? Gimana ngajar di sini? Betah?” jawab Prapto sambil berdiri lalu memeluk Listiana erat, seolah sepasang kekasih yang baru bertemu setelah lama terpisah. Listiana yang kaget tidak dapat berbuat banyak, termasuk ketika boss-nya itu menangkup kedua bahunya lalu dengan gemas mengecup kedua pipinya berulang kali hingga beberapa kali ujung bibirnya pun terkena ciuman Prapto. Listiana merinding, tetapi tertegun dan tidak bisa melakukan apa-apa.

“Duduk, Nduk! Lama ndak jumpa kita, ya? Dari jaman masih gadis sampai sekarang sudah bukan perawan. Abi ketikung nih, ya Umm? Ha-ha-ha-ha!” kata Prapto sambil menyambut tangan Ajeng yang juga mengecup punggung tangan Prapto. Kepala sekolah itu pun juga diperlakukan sama seperti Listiana, mendapat kecupan pipi kiri dan kanan berulang kali. Satu perbedaan besar adalah Ajeng mendapat penutup ciuman panas di bibir dari Prapto. Keduanya berpagutan cukup lama di hadapan Listiana yang terpana melihat adegan panas itu.

“Udah dulu, Umm! Kasihan Lis tuh, jadi mupeng,” kata Prapto yang sekejap saja memulas wajah Listiana menjadi seperti kepiting rebus. Listiana semakin salah tingkah ketika matanya melihat aksi Ajeng yang di luar nalar, menelusuri lembut celana Prapto tepat di bagian kontolnya dengan jari telunjuk sambil cekikikan.

“Gitu, ya! Yang bakal belah duren baru, lupa sama duren lama. Mmmmh?” balas Ajeng dengan nada genit sebelum mundur dan duduk di sofa. Prapto tertawa saja membalas cibiran Ajeng. Jelas tawa yang penuh dengan nada dan aroma mesum.

“Langsung aja, ya, Ustazah Lis. Saya masih ada kegiatan lain siang ini,” kata Prapto sambil duduk kembali. Diraihnya layar komputer yang ada di meja lalu diputar menghadap Listiana. Meski pun tidak ada suara, tetapi adegan yang ada di monitor itu menghantam Listiana teramat telak hingga melemparkannya ke alam serba gelap dan hening.

“Ustazah Lis mau diselesaikan baik-baik atau enak-enak?” tanya Prapto disambut tawa Ajeng. Listiana tidak dapat melepaskan matanya dari adegan dewasa di layar monitor di mana pemerannya adalah dirinya dan Tarno.

“P-p-p-ripun, A-a-bi U-u-ustad?” tanya Listiana yang masih belum pulih dari kekagetannya. Dia tidak menyangka bahwa ternyata ruang guru memiliki CCTV. Dari jumlah monitornya ada lebih dari sembilan titik dengan beragam lokasi.

“Mau ke polisi atau kekeluargaan, Ustazah?” Ajeng menjelaskan setelah bangkit dari sofa lalu menghampiri Listiana. Wanita itu membelai lembut kepala Listiana ebelum kedua tangannya memijat ringan kedua bahu bawahannya itu.

“Kalau Tarno tadi pilih kekeluargaan. Resign, tapi tidak dapat pesangon. Katanya gak sanggup kalau sampai keluarganya tau. Aib,” kata Prapto sambil melepaskan dua kancing atas baju batiknya. “Gerah ya di sini? Iya, gak Ustazah Lis? Buka aja gamisnya,” kata Prapto lagi. Padahal ada blower AC tepat di atas belakangnya dengan kekuatan hembusan dan dingin maksimal.

Listiana yang kebingungan, semakin kebingungan ketika jilbabnya tanpa dia kehendaki tersampir di bahunya. Bahkan, dia juga merasakan kalau kancing gamisnya terlepas satu per satu dari yang paling atas dan berhenti ketika seluruh kancing terakhir di bagian perut telah terlepas. Prapto seperti sedang menonton pertunjukan striptease. Ajeng yang tuntas meloloskan gamis bagian atas Listiana, lalu membuka kaitan beha putih bawahannya itu.

“Ini cara kekeluargaan, Ust Lis. Enak-enak bareng. Ngenakin Abi Ustad,” bisik Ajeng sambil melepaskan beha putih Ajeng lalu membelai lembut kedua tetek Listiana. Dari samping kepala Listiana, Ajeng menjulurkan kepala untuk memburu bibir Listiana.

“Ummi!” desis Listiana ketika bibirnya berhasil dikuasai Ajeng. Prapto tidak berkedip menyaksikan pertunjukan lesbian di hadapannya. Belum lagi ketika kedua tangan Ajeng meninggalkan kedua tetek Listiana. Pria itu menjilati bibirnya, mengingat-ingat betapa napsunya dia dulu ketika mewawancarai Listiana. Niatnya untuk mempersunting Listiana kandas karena didahului oleh Seno. Kebetulan pula pada saat itu Prapto sedang sibuk dengan pembukaan sekolah cabang baru di luar kota.

“Anjing! Teteknya Ustazah Lis! Memangnya boleh semontok itu?” ucap Prapto dengan gaya gaul kekinian. Listiana yang tersadar hendak menutupi kedua teteknya, tetapi Ajeng dengan sigap menahan.

“Abi Ustad jangan kebanyakan narasi, deh! Katanya siang ada acara lagi? Buruan belah durennya!” tegur Ajeng kepada Prapto yang terbahak-bahak mendengarnya. Setelah berterima kasih telah diingatkan, pria itu bangkit dan menghampiri Listiana sambil membuka celananya.

“Sayang udah gak perawan, ya, Jeng?” kata Prapto sambil membelai pipi Listiana dengan menggunakan kontolnya. Listiana seperti tersengat listrik ketika kontol itu mulai membelai kulit wajahnya. Aroma yang dia rindukan, tetapi gengsi untuk diakui membuatnya seperti sesak napas.

“Maafkan aku, Mas Seno. Semua ini gara-gara kamu,” bisik Listiana di dalam hati. Setetes air mata yang tumpah seperti membawa hanyut seluruh kesadaran dan harga dirinya sebagai istri dan akhwat terhormat. Kemudian, bahkan sempat baks air mata itu kering, tanpa disuruh Listiana langsung mencaplok kontol Prapto.

“Inisiatifnya tinggi, Umm! Skillnya juga yahud! Beugh! Ketagihan Abi kalau gini,” racau Prapto ketika Listiana dengan lihainya memraktekkan ajaran Seno. Meskipun tidak sebesar Tarno, kontol Prapto jelas masih lebih besar dan lebih panjang ketimbang milik suaminya.

“Ambil aja, Bi! Modelan gini aja, pasti gampang disuruh cerai,” kata Ajeng melepaskan Listiana ketika dia lihat bawahannya itu dengan bersemangat memanjakan kontol Prapto.

“Beneran, Nduk? Uh! Ah! Kamu mau jadi punya Abi?” tanya Prapto kepada Listiana yang memilih untuk berfokus kepada kontol Prapto.

“Kata orang, diamnya wanita itu tanda setuju, Abi! Gak peka banget jadi cowok!” kata Ajeng lagi. Prapto tertawa senang dengan ucapan Ajeng. Dibelainya kepala Listiana dengan lembut seperti kepada kekasihnya sendiri.

Mendapat perlakuan semanis itu membuat Listiana mendongak. Ketika pandangannya beradu dengan tatapan Prapto, bibirnya mengibarkan senyum malu-malu meskipun dengan batang kontol menghunjam. Tanpa sadar dia menganggukkan kepala, tunduk kepada pria yang mampu memberinya kenikmatan syahwat.

“Waaah! Sah! Sah! Sah!” seru Ajeng sambil bertepuk tangan. Wajah Listiana memerah melihat hal itu. Diturutinya tarikan Ajeng untuk berdiri meskipun terpaksa melepaskan kontol Prapto. Gamisnya melorot tuntas, membuat Listiana hanya tertutup oleh kancut putih tipis, beha putih yang sudah tidak terkait, serta selembar jilbab pink yang sudah awut-awutan.

“Foto! Ayo foto! Biar ada bukti sah hari ini Abis Ustad sah jadi pemilik Ust Lis,” kata Ajeng seperti remaja yang sedang menemukan permainan baru.

Lima enam kali Ajeng mengabadikan pose Listiana yang hampir telanjang berdampingan dengan Prapto yang tanpa celana. Setelahnya, dengan lagak seperti fotografer profesional, dia mengarahkan Listiana.

“Salim sama Abi Ustad! Tahan! Ya, bagus!” kata Ajeng.

“Sekarang Abi Ustad duduk. Ust Lis sungkem,” kata Ajeng lagi. “Jangan malu, Ust Lis! Sama pemiliknya kok malu-malu. Pegang kontol Abi! Yang mesra! Ya! Tahan! Sekarang cium lubang pipisnya! Ya! Yang mesra! Tahaaan! Ya!”

Prapto tertawa-tawa bahagia, sesekali melenguh ketika Listiana berhasil mengikuti arahan Ajeng dengan sempurna. Berikutnya yang Listiana sadari, dia telah terbawa oleh kegilaan kedua orang yang seharusnya menjadi contoh. Ajeng yang telah mengubah fungsi kamera ponselnya menjadi perekam video begitu antusias mengarahkan Listiana. Sementara Prapto jelas amat menikmati pelayanan karyawannya itu.

Tidak lama kemudian, Ajeng hanya sibuk merekam. Listiana jelas tidak membutuhkan pengarahan untuk mengabdikan jiwa dan raga kepada pria yang mampu mendominasinya. Ajeng bahkan beberapa kali merinding melihat totalitas Listiana.

Listiana duduk di lantai dengan kepala bersandar ke dudukan sofa. Sementara Prapto dengan buas mengaduk-aduk mulut Listiana dengan menggunakan kontolnya. Tidak ada penolakan oleh Listiana, bahkan tangannya meremas pantat Prapto dan mendorongnya pada saat penetrasi.

“Umm! Lonte wahid ini! Lonte wahid!” seru Prapto keenakan kepada Ajeng. Begitu nikmatnya layanan mulut Listiana sampai-sampai Prapto masih belum rela menggantinya dengan memek. Belum lagi tetek dengan pentil coklat muda Listiana. Prapto begitu bersyukur dengan keberuntungannya.

“Berdiri, Ust!” kata Prapto. Seiring waktu yang kian menipis, Prapto tidak ingin meninggalkan Listiana tanpa mencicipi hidangan utamanya, memek sang guru matematika cantik.

Listiana tanpa membantah menuruti perintah Prapto hanya untuk didorong sehingga membungku di sofa. Tanpa babibu, Prapto menaungi tubuh Listiana sambil mengarahkan kontolnya ke memek guru matematika cantik itu.

Lenguhan dua orang berbarengan memenuhi ruangan itu ketika kontol Prapto perlahan merekahkan bibir memek Listiana. Pria itu jelas sekali ingin menikmati prosesnya, karena meskipun Listiana sudah memohn-mohon untuk segera dieksekusi, Prapto dengan sengaja mengeluarkan lagi kontolnya yang baru saja masuk sampai bagian kepala.

Dengan gemas, Listiana merengkuh pantat Prapto dengan posisi tetap membelakangi boss-nya itu, lalu menarik kuat sampai kontol Prapto masuk utuh tanpa sisa. Prapto memejamkan mata ketika kontolnya terasa dijepit sekalgus diurut oleh dinding memek Listiana. Keduanya sepakat diam, menikmati apa yang diberikan oleh lawan ngentot mereka.

Tinggalah Ajeng yang malah gelisah melihat kedua orang itu terdiam. Tanpa disadari oleh kedua orang itu, Ajeng telah membuka baju kerja dan beha-nya. Jadilah kepala sekola itu menjadi videografer dengan bertelanjang dada. Tetek 34 C-nya yang masih kencang bergoyang setiap Ajeng bergerak ke sana ke mari mengabadikan Listiana dan Prapto.

“Gerakin ya, Ust,” kata Prapto kepada Listiana. Sebuah kode agar Listiana melepaskan rengkuhan tangannnya di pantat Prapto. Berpindahnya tangan Listiana ke sofa jelas adalah sebuah izin yang membuat Prapto memulai pompaannya dari perlahan hingga cepat.

“Hamilin, Bi! Hamilin!” kata Ajeng ketika dari kameranya tertangkap perubahan wajah Prapto yang amat dia kenal, wajah yang sudah hampir sampai di ujung kenikmatan.

“Boleh, Ust? Boleh Abi hamilin? Ah! Ah!” bisik Prapto kepada Listiana. Di kepalanya membuncah rasa bahagia dapat menitipkan benih ke dalam rahim wanita yang telah memenuhi mimpinya selama bertahun-tahun semenjak awal pertemuan mereka.

“Ah! Ah! Li-li-lis kepunyaan Abi U-u-ustad,” jawab Listiana.

Jawaban itu seperti memberi kenikmatan ekstra bagi Prapto. Sebuah pengakuan, sebuah penyerahan, atau apalah namanya bagi Prapto, yang jelas ucapan Listiana itu seperti rangsangan yang menaikkan kenikmatannya hingga puluhan kali lipat.

Tanpa banyak kata lagi, Prapto mempererat remasan kepada tetek Listiana dan mendaratkan kontolnya dalam-dalam pada hunjaman terakhirnya yang dia lakukan sekuat tenaga sebelum kontolnya itu berkedut lalu berakhir dengan menyemprotkan banyak sekali peju di dalam memek Listiana.

Bab 4 selesai
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd