Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Bimabet
Bagi yang ingin melengkapi ceritanya di lapak KK, akun saya ada, tetapi karena dikategorikan dewasa, maka tidak dapat dicari hanya bila langsung di alamat situs.

k@rya@k@rs@(dot)com/KhaNab3

Gantib@ dengan a
Ganti (dot) dengan .
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 


Bab 5. Lose-lose Situation

Sepeninggal Prapto pukul sembilan, Listiana terbujur di sofa. Niatnya untuk mengajar dihentikan oleh kenikmatan tambahan dari Ajeng yang sibung menjilati peju Prapto yang mengalir kelaur dari memek Listiana. Kepuasan melanda dirinya meskipun sebetulnya dia hendak meminta lebih.

“Ust Lis. Karena Ust Lis udah mau jadi punyanya Abi Ustad, mulai besok Ust Lis jadi wakil kepala sekolah ya, gantiin Bu Rini yang pindah. Sekarang mandi, terus pulang,” kata Ajeng ketika tidak didapatkannya lagi peju Prapto di memek Listiana.

“Naam, Umm. Terima kasih,” jawab Listiana. Kegembiraannya tidak mampu dia luapkan akibat kelelahan. Di benaknya dia ingin berbagi kabar baik itu dengan Seno. Sebuah rencana muncul di kepalanya. Dengan kepuasan yang telah didapatkannya, Listiana bertekat untuk menuntaskan apa yang dia hentikan kepada suaminya tadi pagi.

Di parkiran Mac Donald, Seno termenung di dalam mobil. Dia sadar karma telah berbalik menghantamnya tepat di tempat yang paling menyakitkan. Istrinya terlanjur rusak, dan yang merusak wanita baik-baik itu adalah suaminya sendiri, dirinya. Pria itu berharap ada keajaiban yang dapat menyelematkan pernikahannya yang dia rasakan semakin mendekati akhir.

“Pak! Bapaaak!” Sebuah seruan yang diiringi ketukan di kaca jendela mobil, membuat Seno terperanjat. Dia memang datang lebih awal, dan hampir setengah jam menunggu. Segera dia keluar menyambut Dewi sambil membuang rokoknya yang masih tersisa setengah.

“Sejak kapan ngerokok?” tanya Dewi. Belum pernah sekali pun dilihatnya boss-nya itu merokok selama dia bekerja. “Eh, Bapak pulang gak sih?” tanya sekretaris itu ketika melihat kemeja yang dikenakan Seno.

“Kenapa, Wi?” tanya Seno tidak mengerti.

“Itu bukannya kemarin? Kok gak ganti? Emang gak ketauan Ibu?” Dewi memberondong Seno dengan pertanyaan sambil menunjuk bekas lipstick tipis di bagian dada kemeja Seno. Entah apa yang pria itu pikirkan sampai-sampai dia kembali memakai kemeja kemarin. Pantas saja sepanjang jalan hidungnya mencium bau tidak sedap.

Keduanya sama-sama terdiam. Namun, dalam hitungan detik Seno malah tertawa. Digandengnya Dewi yang keheranan menuju Mac Donald. “Sarapan, yuk! Saya laper. Abis itu temenin saya belanja beli baju.”

Meskipun penasaran, respon Seno membuat Dewi sementara menurut. Tidak mungkin, dipikinya, boss-nya itu dapat tertawa dan setenang itu bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dia putuskan untuk mengikuti keinginan Seno.

“Pak …,” kata Dewi. Namun, ucapannya dipotong Seno.

“Mulai sekarang, kalau cuma ada kita, panggil saya Mas aja,” kata Seno sambil mengeratkan genggamannya kepada jemari Dewi.

Entah siapa yang memulai, keduanya tanpa sadar sudah saling menyuapi. Boss dan karyawannya itu saling bertukar cerita untuk kemudian tertawa bersama. Sesekali bertukar senyum dengan mencuri-curi kesempatan untuk sekadar menempelkan bibir pada saat tidak ada orang di sekitar meja mereka. Cumbuan-cumbuan kecil tidak luput mereka lakukan, layaknya remaja yang baru kenal cinta.

Mereka sampai di kantor pukul tiga sore lewat beberapa menit. Tidak ada yang curiga dengan kedatangan keduanya yang terlambat berbarengan. Semua orang tahu betapa tegasnya Seno bahkan kepada Dewi. Mungkin untuk mereka hanya Seno yang mampu bersikap dingin dan keras kepada Dewi. Tidak jarang pula keduanya harus melakukan perjalanan dinas bersama. Jadi, selamatlah Seno dan Dewi hari itu.

“Pak Seno, permisi. Mohon maaf, ini ada tamu mau bertemu Bapak. Sudah menunggu dari jam sebelas.” Seorang petugas keamanan berlari menghampiri Seno yang baru keluar dari mobil bersama Dewi. “Namanya Pak Basuki. Katanya dari Astro Enterprise.”

“Shit!” gerutu Seno. Dewi yang mendengar nama itu maklum mengapa Seno memaki. Pria bernama Basuki itu adalah wakil dari grup perusahaan Astro—salah satu yang terbesar di Indonesia—untuk bernegosiasi dengan perusahaan Seno. Nilai proyeknya yang melewati satu triliun membuat Seno menutup mata terhadap sifat Basuki, meskipun dengan ketidaksukaan yang sulit untuk dikendalikan.

“Emang kita ada jadwal miting sama dia, Wi?” tanya Seno kepada Dewi. Sekretaris itu dengan sigap memeriksa jadwal dua kali, di buku agenda serta tablet pintarnya. Tidak perlu waktu lama dia menggeleng.

Seno berjalan dengan cepat setelah mengucapkan terima kasih. Diabaikannya si petugas keamanan yang hendak menyampaikan informasi lain. Perasaannya tiba-tiba saja menjadi tidak enak. Dia kenal Basuki, seorang tua bangka yang bahkan tidak akan sudi menunggu barang lima menit saja. Reputasi Basuki yang mentereng hanya bisa diperbandingkan dengan sifatnya yang sulit untuk diajak bekerja sama. Sedangkan hari ini, Basuki telah menunggunya lebih dari empat jam dan tidak menghubunginya sama sekali.

“Sampai di mana perembangan negosiasi kita dengan Astro, Wi?”

Dewi dapat merasakan perubahan aura Seno. Tidak banyak yang dapat membuat Seno stres dan Basuki adalah salah satunya. Perundingan alot pada pertemuan terakhir mereka meninggalkan kesan bahwa kerja sama dengan nilai lebih dari satu triliun itu sepertinya tidak akan terwujud. Sebuah kerugian bagi pihak Seno, meskipun sebetulnya jelas siapa yang tampaknya ogah-ogahan dalam berunding.

“Sampai masalah fee ke dia, Pak,” kata Dewi sedikit berbisik. Seno berharap Dewi menjawab sesuatu yang berbeda, tetapi sepertinya ingatan mereka berdua masih sama. Permintaan lima persen dari nilai proyek bukan hal kecil bagi Seno, terutama pada saat hal itu luput sebagai bagian dari bagian RAB yang diajukan. Pergantian pejabat di Astro ternyata membuat masalah yang cukup pelik bagi Seno.

“Pak Basuki! Sudah lama? Maafkan saya,” kata Seno sesampainya di ruangannya. “Kok gak ngasi tau mau berkunjung, Pak?”

Basuki yang sibuk dengan ponselnya, tersenyum ramah. Sebuah senyum yang membuat Seno semakin tidak tenang. DI kepalanya beragam skenario terburuk berputar. Satu pun tidak ada yang dapat Seno jadikan sebuah pegangan sebagai bahan pertimbangan.

“Gak apa. Santai sajalah. Kebetulan tadi pas lewat,” kata Basuki. Seno memaki di dalam hati. Kebetulan pas lewat, sebuah hinaan yang jelas menempatkan bahwa perusahaannya hanyalah sebuah sambilan.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak Basuki? Soalnya seingat saya, kerja sama bisa dibilang gagal.” Seno tanpa berbasa-basi lebih panjang langsung bertanya. Namun, reputasi Basuki sebagai negosiator berpengalaman nyatanya bukanlah isapan jempol belaka. Pria itu hanya tertawa saja.

“Ah! Gak begitu juga, Pak Seno. Masa hanya karena masalah fee, hubungan tahunan jadi rusak?” jawab Basuki.

Seno meradang. Padahal maksud ucapannya tdai adalah sebah pengusiran halus. Namun, intuisinya mengatakan bahwa akan ada pembahasan lebih lanjut. Satu hal yang tidak dia pahami adalah alasan Basuki melunak. Bukan hal aneh sebuah perusahaan mengganti rekanan kerja atau vendor dengan alasan apa pun. Dan tujuh puluh milyar Rupiah sebagai fee yang tidak dapat dipenuhi Seno jelas bisa menjadi sebuah alasan.

“Dua persen!” potong Seno. Sekali lagi intuisinya bekerja, memerintahkan untuk langsung menekan Basuki. Pengalaman berbisnis membuat Seno meyakini ada sebuah ketidakberesan yang sedang dihadapi Basuki. Entah apa, tetapi jelas bukan sebuah hal ringan.

“Ditambah dua lagi,” sahut Basuki dengan ceria, di luar dugaan Seno.

“Dua persen lagi? Saya tidak sangg ….”

“Bukan! Dia dan dia. Dua persen plus dua karyawati Pak Seno,” potong Basuki sambil menunjuk Dewi dan … Listiana. Seno terkesiap melihat Listiana yang entah sejak kapan ada di belakangnya.

*
*
*
Teaser ya, Suhu semua. Kalau tertarik baca utuh ada di lapak berbayar KK.

k@ry@k@rs@(dot)com/KhaNab3/bab-5-lose-lose-situation
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd