Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Love, Friendship, and Other Miscellaneous Things

Bimabet
Oalah seorang yg ahli dan paham tinder, gugup kenalan sama cewe, crazy, pasti cantiknya melebihi ratu Diana, di tunggu next ny gan..
 
Ikutan bingung sama angga...

Ada cewek yg sudah avaible
di depan mata kenapa cari yg di awan..
 
Yang di kejar Sonia , tapi menyapanya kog Claudina ....

:bata::bata::bata: ...

Gimana kalau kosa kata " Dosen ngoceh "di ganti dengan " Dosen menerangkan " suhu , biar enak bacanya ...

:ampun::ampun::ampun:
 
Cerita yg sangat amat menarik , dan sangat di tunggu" kelanjutannya
:kretek:
 
Bagus nih cerita
Ditunggu updet selanjutnya hu
Sukses selalu
 
Jadi secret admirer mah sedih nan ujungnya pasti tragis klo gak naek level mah
 
keren nih.. sekali nya apdet panjang n ga bertele-tele.. aing suka.
lanjut buos..
 
Bimabet
Bab 3

Sonia mematikan keran shower. Hawa dingin menembusi pori-pori kulit yang tersebar di sekujur tubuhnya. Bulir demi bulir air mengalir dari helai rambutnya, turun menuju bahu dan punggung. Sonia baru saja selesai keramas; hal yang biasa ia lakukan jika kepalanya sudah dibekap pening karena materi perkuliahan yang begitu banyak. Keramas selalu ampuh membasmi kepeningan. Itu terbukti lagi. Kondisinya sekarang sudah membaik dari sebelumnya. Jauh lebih segar dan "hidup".

Di dalam kamar mandi, Sonia kemudian mendengar suara getaran dari arah tilam. Ia tahu penyebabnya secara pasti: ponselnya. Sonia lekas membelit rambut serta badannya yang basah dengan handuk terpisah dan meraih ponsel itu.

Sebuah notifikasi telah masuk ke dalam ponselnya. Sonia membukanya. Ia "terpasang" dengan seseorang di aplikasi tinder. Dia seorang perempuan. Ini menarik. Sonia memang memasang opsi mencari laki-laki dan perempuan ketika mengatur profil. Tetapi, setelah sekian lama, baru kali ini ia "terpasang" dengan perempuan. Sonia sudah lama tidak bersenggama dengan kaumnya sendiri. Terakhir terjadi sekitar satu tahun yang lalu.

Sonia lantas membuka menu kalendar di ponselnya. Tanggal untuk keesokan hari tampak ditebalkan dengan warna merah. Hari libur. Ia merasa, berdasarkan kondisinya sekarang, ada baiknya jika menggunakan hari itu untuk bersenang-senang, dan ia tak bisa memikirkan hal lain yang lebih menyenangkan selain menghabiskannya dengan hubungan cinta satu malam.

Sonia lantas membuka profil pribadi perempuan itu. Dipandanginya secara saksama. Namanya Yeni. Usianya tiga puluh tahun. Rambutnya legam bergaya bob angled cut dengan poni dan sloping layers di sekitar wajah. Tahi lalat kecil tumbuh di dekat pipinya. Matanya bulat dan nyaman untuk dipandang. Lawa dan menawan.

Sonia mengerucutkan bibir. Yeni merupakan seorang pegawai kantor, tertentang dari pakaian yang dikenakannya dan latar belakang ruangan di gambar profilnya. Satu pertanyaan terbesit di benaknya: mengapa dia mau bersamaku yang berusia jauh lebih muda darinya?

Ia berniat untuk menanyakan pertanyaan itu nanti. Mungkin.

Nalarnya segera menyusun kata demi kata untuk dikirimkan kepada Yeni.

"Hi, you look intersting in that photo."

"Thanks," jawab Yeni. "Aku jarang dipuji setelah potong rambut macam itu."

Sonia membalas, "Really? Why?"

Sebuah pesan baru seketika masuk.

"Dunno. Kata mereka, mukaku kayak baskom."

Sonia tertawa kecil. "No. You're cute. Don't listen to them."

Ia baru ingin mengetik kalimat lanjutannya ketika sebuah pesan dari Yeni kembali masuk.

"Thanks. Btw, i have a question. ONS itu apa?"

Sonia mengernyit. Apakah dia sedang bercanda? Pertanyaan itu (meski tak didengar Yeni secara langsung sebab Sonia bertanya dalam hati) segera terjawab beberapa detik kemudian.

"I'm serious."

Tidak mungkin. Jemari Sonia mulai mengetik untuk membalas.

"ONS stands for One Night Stand. Cinta satu malam. It's the same thing."

"Oh. I see..."

Sonia menghela napas. Usia Yeni jauh lebih tua dibandingkan dengannya, tetapi ia yakin, usia petualangan seks Yeni jauh lebih muda dibandingkan dengannya. Sonia juga memiliki sebuah pendapat atas alasan Yeni memilihnya sebagai pelabuhan cinta satu malam: Yeni mengira kalau ia masih belia di ranjang, tak berpengalaman...

Sonia seketika tersentak. Ia didera kegundahan. Apakah Yeni menyadari kalau Sonia hanya ingin one night stand dengannya? Atau Yeni justru sebenarnya ingin mengajak Sonia berkencan? Tetapi, profile description Yeni menjelaskan kalau dia hanya mencari perempuan untuk melakukan seks saja.

"Sorry if my question sounds stupid for you." Pesan baru dari Yeni yang tertulis.

Sonia membalas, "It's ok. You never heard the term 'ONS' before?"

"One Night Stand-nya tau. Tapi aku gak mikir kalau singkatannya ONS. But, i did want to do ONS with you."

Sebuah pesan kembali masuk dari Yeni.

"This is actually my first time."

Sonia terbelalak. Malam ini, kesempatannya terkejut belum habis. Yeni masih menyimpan kejutan lain untuknya.

"First time for what? ONS?"

"Many things. Use tinder, do it with a woman-"

Sonia tidak lanjut membaca. Ia segera mengetik.

"With a woman? You just found out that you're like women or what?"

"No. I realised my affection for women since Junior High School. What i mean is that i never had sex before."

Sonia kembali mengernyitkan alis. Bertubi-tubi kata "apa" menggema di hatinya. Ia mencoba membaca kembali pesan itu. Mungkin saja ia salah baca.

Tidak. Ia tidak salah baca.

"Please don't judge me."

Sonia mendadak kasihan pada Yeni. Yeni lebih tertentang sebagai orang yang membutuhkan teman bicara daripada mencari kepuasaan berahi. Tinder adalah sebuah tempat brutal bagi seseorang yang polos. Hal buruk bisa saja datang hanya karena tidak lihai memainkan aplikasinya.

"I won't," balasnya. "Actually, we can just meet and talk tommorow. No need for sex."

"No. Please. I want to."

"Can i ask why? And are you really trust me to deflowered you?"

"I'm just curious. I also trust you. You seems like a nice person."

"Are you sure?"

"Yes."

Sonia menghela napas.

"Ok. Would you like to meet me tommorow?”

"Absolutely. What time?"

"Around 6:30 P.M? Sekalian makan malam?"

"Ok. See you later."

Sonia mematikan ponselnya dan mengembuskan napas.

-----

Mall A. Sonia telah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di dekat food court kurang lebih tiga puluh menit lamanya. Yeni belum datang. Sonia sudah mengirimkan pesan, menanyakan di mana posisi Yeni sekarang, tetapi dia belum membalas. Sonia menduga kalau Yeni sedang terjebak macet.

Sonia sengaja memilih duduk di sana. Ia belum memesan meja di food court. Yeni mungkin saja memilih makan di restoran lain yang tidak terletak di area food court. Sonia juga iba terhadap orang yang benar-benar ingin makan di sana. Mereka akan kesulitan mendapatkan tempat duduk hanya karena ia dan Yeni yang tak pasti makan di sana.

Lambat laun, Sonia dikerubungi kebosanan. Ia pun memandang-mandang sekeliling lantai untuk mengusir kebosanan. Matanya berjelajah ke segala penjuru. Kiri... kanan... depan... belakang...

Belakang. Sebuah bioskop berdiri di seberang sana. Sonia tidak bisa menahan diri untuk menyunggingkan senyum. Pikirannya mendadak disusupi ingatan mengenai pertemuannya dengan Angga untuk pertama kali. Bagaimana ia cemberut luar biasa saat keluar dari dalam bioskop setelah menyaksikan Coco. Astaga! Sonia masih ingat gerak-gerik Angga; matanya yang melirik secara diam-diam, bibirnya yang kerap kali membuka sedikit, seolah ingin mengajak berbicara tetapi selalu diurungkannya pada detik-detik akhir.

Tanpa sadar, Sonia telah meletupkan sebuah tawa. Ini lucu, pikirnya. Mengapa ia bisa teringat dengan Angga ketika sedang menunggu kedatangan orang lain?

Tiga puluh menit selanjutnya berlalu. Yeni masih belum tiba. Belum ada balasan juga darinya. Sonia lantas mengambil sebuah novel yang ia bawa di dalam tas dan membacanya untuk mengusir rasa bosan yang kian merabung.

Di tengah-tengah tenggelam dalam lautan kalimat, Sonia menangkap gelagat aneh seorang pria berkepala plontos yang tengah memperhatikan dirinya dari kejauhan. Sonia ingin konsentrasi membaca, tetapi tindak-tanduk pria tersebut telah menghalaunya melakukan itu. Sonia akhirnya hanya memandangi kalimat demi kalimat yang berbaris dalam novel tanpa menyerap satu makna pun.

"Sendirian, Neng?" tanya pria itu dari kejauhan. Sonia tidak menjawab. Apakah pertanyaan itu ditujukan untukku? tanyanya dalam hati. Sepenglihatan, tidak ada siapa-siapa lagi di dekat posisi duduknya yang berjenis kelamin perempuan selain ia sendiri.

"Sendirian, Neng?" tanya pria itu sekali lagi. Kali ini Sonia benar-benar yakin pertanyaan itu ditunjukkan padanya. Pria itu kemudian berjalan mendekat ke arahnya dan duduk di sebelahnya tanpa permisi.

"Mukanya suntuk amat." Pria itu mencoba melirik isi novel yang dibaca Sonia. "Lagi ngapain?"

Sonia tidak membalas pertanyaan yang dilontarkan. Itu pertanyaan bodoh. Dia mempunyai dua bola mata utuh. Seharusnya organ-organ itu dapat dipergunakan. Dia jelas tidak terampil dalam mengelih.

Sonia mengernyitkan alis. Pria itu baru saja selesai beringsut. Mereka sekarang hanya berjarak sekitar lima sentimeter. Bahunya--kalau ia mau--dapat menyenggol bahu pria itu. Melihat ini, Sonia bersiaga. Ia sudah menyiapkan beberapa upaya jika pria itu berniat buruk padanya. Pertama: buku yang dipegangnya akan ia lempar ke arah wajah pria itu. Dua: sikut kanannya akan ia hantamkan ke arah kemaluan pria itu.

Setelah dipertimbangkan dengan masak, ia meyakini kalau upaya kedua akan berdampak jauh lebih telak dibandingkan upaya pertama. Itu akan menjadi pilihan utamanya.

"Lagi nunggu, ya?" Pria itu kembali bertanya. "Tunggu siapa?"

"Orang," jawab Sonia sembarang. Matanya kelayapan. Tidak ada satpam di sekitarnya. Semua orang yang berlalu-lalang pun menganggap tindakan yang dilakukan pria itu sebagai hal yang wajar. Sonia sungguh tidak nyaman dengan keadaan yang sedang terjadi. "Mas. Saya lagi gak mau diganggu. Maaf, ya?"

Pria tersebut tidak mendengarkan. Dia malah mendekatkan wajahnya ke arah Sonia. Tangannya mulai menyentuh pipi Sonia. Sonia sudah bersiaga untuk melaksanakan upaya kedua ketika matanya tiba-tiba melihat seorang pria berkulit sawo matang dan berambut keriting mendekat ke arahnya.

"Hei," panggil pria berambut keriting. Sonia menoleh ke arah suara itu. Ia benar-benar tidak mengenalinya. Tetapi, ia yakin kalau panggilan itu ditujukkan padanya. "Sudah lama nunggu?"

Pria berambut keriting semakin mendekat. Sonia buru-buru berdiri. "Baru."

Melihat kedatangan itu, pria jahanam yang mengganggu Sonia segera minggat dari tempat duduk dan menghilang entah ke mana.

"Sorry," ucap pria berambut keriting. "Aku lihat kamu digangguin cowok itu. Kamu gak apa-apa, kan?"

Sonia mengangguk. Pria berambut keriting tersebut tersenyum.

"Sekali lagi, aku gak bermaksud ganggu kamu. Kamu ingin aku temani atau tinggalkan?"

Sonia tersenyum. "Ditinggalkan saja. Saya tidak apa-apa."

"Baiklah."

Pria itu kemudian pergi menjauh. Sebuah notifikasi tiba-tiba masuk ke dalam ponsel Sonia. Dari Yeni. Dia mengatakan tidak bisa datang karena mendadak disodori sebuah urusan penting oleh bosnya yang tidak bisa ditolak. Hingga sekarang, dia masih terjebak di dalam kantor. Dia lantas meminta maaf pada Sonia. Berkali-kali.

Sonia menghela napas. Wajarnya, kalau sudah seperti ini, ia akan menggerutu tak keruan karena kesal. Waktunya telah terbuang sia-sia hanya untuk menunggu seseorang yang tidak jadi datang. Tetapi, saat ini, Sonia tidak begitu kesal. Ia baru saja menjalani pertemuan singkat yang mengejutkan tetapi menyenangkan dengan seorang lelaki berperilaku menarik yang tidak dikenal dan diketahui namanya. Sonia bersyukur mengetahui masih ada pria baik yang menghirup nafas di dunia. Akhir-akhir ini, ia cukup kesulitan menemukan pria baik hati seperti dia. Dan Angga.

-----

Kafe F. Bising perbincangan hilir mudik di telinga Angga. Ia dan keempat temannya baru saja selesai mengerjakan tugas kelompok. Bau nikotin bermekaran dari segala sudut kafe, menutup kuar bau masakan yang sedang dimasak di dapur, juga membuatnya sedikit kesulitan bernafas. Udara seakan tak lagi bermakna di sini.

Gelak seketika menyembur gila-gilaan dari mulut teman-temannya. Angga sendiri tidak tahu apa yang sedang dibicarakan mereka. Ia sibuk mengais-ngais sisa udara jernih di antara yang keruh untuk dihirup. Ia tahu; seharusnya ia meminta izin keluar ruangan kepada teman-temannya agar tak kepayahan mencari udara segar di sana. Tetapi, ia tetap bergeming sebab matanya sedang betah menyaksikan sebuah acara yang tayang di layar televisi. Acara itu memperlihatkan sepasang laki-laki dan perempuan yang mengunjungi berbagai tempat menarik. Angga tak mengerti mengapa duo host itu harus mengadakan tipu muslihat berupa gerakan memegang kamera yang menciptakan ilusi seolah-olah sedang vlogging. Apakah ini usaha mereka agar tetap terlihat "muda"? Angga tidak bisa menerimanya. Trik mereka kelihatan begitu palsu. Angga tahu itu bukan ponsel ataupun kamera mini. Ia juga tahu kamera itu tidak dipegang oleh keduanya. Itu kamera HD untuk siaran televisi, dan dipegang oleh seorang kru. Ukuran kameranya cukup besar dan agak sulit jika dipegang bermodalkan ibu jari dan telunjuk saja. Kualitasnya pun takkan sebaik itu kalau menggunakan ponsel ataupun kamera mini.

Angga lantas berpikir: apakah masih banyak kalangan muda yang menonton televisi saat ini? Sebab, apa yang dilihatnya di sana tak jauh berbeda dengan apa yang beredar di internet. Bahkan sepertinya mereka banyak mencomot konten dari internet, atau kalau ingin sedikit terlihat beda tinggal dipoles sedikit, dan voila! Jadi.

Namun, Angga tidak terheran dengan pemikirannya tersebut. Biaya produksi yang dikeluarkan stasiun televisi untuk sebuah acara akan jauh lebih murah jika demikian caranya. Inilah prinsip yang dipegang stasiun televisi, bahkan bisnis secara umum: pengeluaran sedikit, pemasukan banyak. Itu sebabnya acara kontes menyanyi atau semacamnya sering terlihat wara-wiri di televsi; karena biaya produksinya tidak mahal. Andaipun yang menyaksikan acaranya sedikit, kerugian yang didapat tidak akan sampai membuat jenggot para petinggi kebakaran.

Beberapa menit kemudian, acara itu diselipi dengan sebuah breaking news. Angga menghela napas. Entah mengapa, ia selalu was-was tiap kali breaking news muncul secara tiba-tiba. Mungkin karena seringkali berita yang akan disampaikan bernada buruk; bencana alam, kecelakaan transportasi, kematian public figure, public figure terciduk narkoba... berita-berita yang membuat kepalanya kusut memikirkan perasaan iba untuk para korban ataupun relasi dari para korban.

Dan malam itu, firasatnya kembali sahih. Berita yang keluar adalah berita buruk. Memang bukan tentang bencana alam, kecelakaan transportasi, kematian public figure, ataupun public figure terciduk narkoba, melainkan kasus penipuan yang dilakukan seorang pejabat pemerintahan. Seorang menteri. Ia ditangkap sebagai terduga penggelapan uang P.T. HSM. Di perusahaan itu, dirinya menempati jabatan sebagai komisaris.

Nama menteri itu adalah Sutanto Kartali.

Dengan wajah tertunduk, tangan terborgol, dan tubuh terbalut pakaian jingga, dia dibawa ke dalam ruangan kepolisian. Kilat kamera berpendar mengarah kepadanya, sementara dia terus berjalan. Beberapa wartawan berusaha mendekati dan memberinya pertanyaan. Dia tidak menjawab apa-apa. Tidak menggubris sama sekali.

"Itu bukannya bapaknya Clamidina, ya?" tanya teman Angga, Haris.

"Iya," jawab Anto, teman Angga yang lain, menganggukan kepala. Pembicaraan teman-temannya sebelumnya telah terputus. Kini, mereka semua mengalihkan fokus pada layar televisi yang sedang menyiarkan breaking news.

"Gila, ya? Gue kira dia orang baik, lho."

Angga menoleh. Kalimat itu terdengar dari meja sebelah. Seorang perempuan yang mengatakannya.

Tak lama, breaking news usai. Acara jalan-jalan itu kembali dilanjutkan. Teman-teman Angga lantas menyambungkan lagi perbincangan mereka sebelumnya yang tak berhubungan dengan kasus Sutanto Kartali. Sama sekali. Tawa demi tawa terus menyembul bersusulan dari mulut mereka. Angga terpuruk di tempat duduknya. Sebercak kelam tengah melumatnya diam-diam.

Matanya melirik ke arah Roni yang sedang mengisap rokok. Perhatiannya tertuju pada gumpalan asap berwarna putih yang berterbangan dari bibir Roni. Malam ini, Angga mendadak menjadi seperti itu; sekepul asap rokok yang terhembuskan mulut. Melayang menjauh sebelum akhirnya lenyap tidak tertangkap mata. Jiwa Angga sudah tak berada di kafe itu. Pikirannya mengawang-awang, memikirkan satu pertanyaan yang harus ia sampaikan kepada satu perempuan secara khusus. Clamidina.

Apakah kamu baik-baik saja?

-----

Lima menit lagi kelas advertising management akan dimulai. Ruang kelas gaduh dengan suara mahasiswa yang saling berbincang. Sang dosen yang berada di depan kelas tengah menyiapkan berbagai media ajarnya: laptop, mouse, dan kabel untuk disambungkan ke proyektor. Angga terduduk menekur di posisi tempat duduk favoritnya: pojok kanan belakang. Kepalanya sibuk memikirkan berita penangkapan Sutanto Kartali. "Apakah dia benar-benar bersalah?" dan pertanyaan semacamnya ia kemukakan dan ia jawab sendiri berdasarkan praduga serta apriori yang diciptakannya.

Di tengah keruwetan yang bermain di kepalanya, matanya melirik ke arah kursi di depan kelas, posisi di mana Clamidina biasanya bertempat jika mereka sekelas. Clamidina sendiri terdaftar dalam kelas ini, tetapi dia belum juga tiba di kursinya hingga sekarang. Angga tidak berharap lebih. Dia mungkin tidak akan datang hari ini. Sampai minggu selanjutnya. Sampai bulan setelahnya.

Ia menoleh ke arah sang dosen. Dia sudah menyelesaikan persiapannya. Bising kelas pun berangsur mereda. Semua mahasiswa tahu kalau sang dosen sudah bersiaga mengajar, meski jadwal memulai kelas baru akan berlangsung tiga menit lagi.

Sang dosen berdiri dari tempat duduknya. Dia memperhatikan seluruh penjuru, mungkin melihat apakah masih ada mahasiswa yang belum memberikan konsentrasi untuknya. Dia berkata, "Ya, sebe-"

Kalimat yang diucapkannya terpotong suara pintu yang menguak. Clamidina sudah berdiri di sana.

"Maaf, saya telat," ucapnya datar. Dia kemudian berjalan dan duduk pada sebuah kursi di pojok kiri depan. Seluruh mata manusia di dalam kelas memandang ke arahnya, termasuk Angga. Angga begitu terkejut. Dengan pemberitaan ayahnya yang begitu masif, dia masih berani datang ke kampus dengan kepala tegak, seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa. Angga memberikan salut setinggi-tingginya kepada Clamidina dalam hati karena jika dirinya terjebak dalam situasi yang sama seperti Clamidina, ia pasti akan memilih mengurung diri di kamar dan membenamkan kepalanya dalam-dalam di antara tumpukan bantal, berharap kalau ia tidak pernah tercipta di dunia.

Kelas pun dimulai. Semua berjalan seperti kerutinan yang sering dilaluinya. Sang dosen menjelaskan, ia mendengarkan. Dua jam dan tiga puluh lima menit berlalu begitu saja seperti sekelebat bayangan yang berlari.

Tersisa lima menit lagi untuk mengakhiri kelas. Sang dosen sudah kehabisan bahan ajar. Dia pun memutuskan berbicara mengenai topik di luar area pelajaran. Para mahasiswa menyambut dengan antusias. Pada awalnya, dia berceloteh seputar dunia olahraga nasional. Timnas yang kemarin hari baru saja memenangkan pertandingan hingga pemain bulu tangkis yang meraih gelar di kejuaraan terbuka. Pembicaraan kemudian bergeser ke arah kinerja pemerintahan, bagaimana mereka dirasanya berhasil membawa bidang olahraga setingkat lebih baik dan semacamnya.

Sang dosen kemudian menyuruh para murid mencarikannya topik lain. Para mahasiswa terdengar saling berbisik. Tiba-tiba saja, seseorang berceletuk dengan cukup kencang dari barisan belakang.

"Bagaimana dengan kasus Sutanto, Pak?"

Angga menoleh ke arah sumber suara. Pertanyaan itu berasal dari Roni, temannya.

Sang dosen mengangguk perlahan. "Boleh. Ide menarik. Adakah yang mau kamu bicarakan?"

"Ya..." jawab Roni, "ini masih berhubungan dengan materi bapak. Begini." Dia berdeham, entah karena tenggorokannya gatal betulan atau hanya bergaya. Suara letupan tawa kecil dari para mahasiswa terdengar menyambut. "Yang saya tangkap kan advertising management itu proses kompleks dari 'memperkerjakan' banyak media untuk menjual produk atau servis. Hal tersebut akan jadi sesuatu yang menghasilkan bagi perusahaan jika advertising campaign-nya bertahan lama dengan baik hingga melewati batas lifetime produk atau servisnya, mencapai pelanggan yang tepat, dan menghasilkan pendapatan yang diinginkan." Dia menarik napas. "Berdasarkan pendapat saya tadi, secara tidak langsung, Sutanto Kartali telah melakukan advertising management itu sendiri. Dia melakukan sebuah tindakan, yang mana membuat dirinya dijebloskan ke dalam penjara. Akibatnya, dia pun masuk berita dan memperkerjakan banyak media untuk menyiarkan kasusnya di mana-mana. Orang-orang jadi tahu. Pertanyaan saya: menurut Bapak, tindakannya itu 'fruitful' atau tidak?"

Sang dosen tampak memikirkan jawaban. Matanya menatap ke arah jendela sekejap sebelum kembali menatap Roni.

"Tergantung. Dari mana dulu kamu melihatnya," jawabnya. "Kalau dari sudut pandang stasiun televisi, Sutanto jelas ladang rating dan uang. Semua mata tengah tertuju pada dia. Pemberitaan mengenainya jelas akan menarik minat banyak orang untuk menyaksikan stasiun televisi tersebut."

Roni mengernyit. "Kalau dari dia?"

"Kalau dari dia?" Sang dosen tertawa kecil. "Ya hancur leburlah! Ibarat tanaman, dia itu sudah kena hama. Dari akar sampai ke daun-daunnya jadi busuk. Tamat karir dan keluarganya."

Seisi kelas kemudian meledak dalam tawa, kecuali Angga, Clamidina, dan beberapa temannya. Telinga Angga merah padam mendengar suara itu. Betapa memalukan dan tidak punya harga diri. Angga tidak mengerti sama sekali. Relasi terdekat dari orang yang tengah dijadikan bahan pembicaraan ikut serta dalam ruangan itu. Mereka sama sekali tidak punya rasa iba. Mengapa tertawa? Itu tidak lucu. Perandaian tanaman sang dosen. Apa pula maksudnya? Apakah itu sebuah metafora untuk keluarga Sutanto bahwa mereka tidak akan bisa bangkit? Apa yang menjadikannya berpikiran seperti itu? Bahwa Sutanto Kartali adalah seorang penjahat dan dengan dia melakukan kejahatan maka orang-orang yang berhubungan darah dengannya akan melakukan hal yang sama? Kehidupan manusia tidak sesederhana itu. Ia jauh lebih kompleks. Moral kehidupan tidak hanya terdiri dari warna hitam dan putih saja. Ada abu-abu; titik tengah di antaranya. Setiap orang sesunggunya tinggal di titik itu. Semua orang bisa menjadi siapa saja, dan soal menjadi siapa, tidak ada yang bisa menerka. Semua ada di tangan masing-masing individu.

Ia kemudian tersadar bahwa seharusnya ada telinga yang lebih memerah lagi dibandingkan kepunyaannya. Matanya melirik ke arah Clamidina dengan tangar. Ia mengira, sesaat lagi, secara dramatis, Clamidina akan bangkit berdiri, memberondongkan kalimat ceramah dari mulutnya, lalu pergi meninggalkan ruang kelas yang membisu, seperti yang sering dilihatnya dalam berbagai film. Tidak. Bukan itu yang terjadi.

Clamidina hanya terdiam menatap lembar bukunya yang kosong. Pasif. Tidak ada daya kejut. Akan tetapi, itu sudah cukup membuat hati Angga remuk berkecaian. Ia dapat melihat sejumput air mata tengah berkumpul di pelupuk mata Clamidina, menanti waktu kebebasannya tiba.

Tak lama kemudian, sang dosen akhirnya membubarkan kelas. Clamidina bergegas keluar dari kelas seperti dikejar hantu. Melihat ini, Angga secara reaktif langsung mengejarnya. Nafasnya menyengal berulang kali. Langkah demi langkah yang diambil Clamidina begitu cepat dan jauh. Angga harus bersusah payah hingga tergopoh-gopoh di koridor kampus untuk menyusul ketertinggalannya.

"Clamidina! Tunggu!"

Clamidina berhenti berlari. Dia menoleh. Matanya sudah sembab. Angga mendadak gemetar menyaksikan itu. Banyak emosi meruap dari dalam hatinya. Marah, kesal, sedih, kecewa... semuanya tumpah ruah, campur aduk, dan saling berkelindan menciptakan kesenakan yang begitu membuncah. Ia juga bisa merasakan hal yang sama tengah bersimburan dari diri Clamidina.

"Gue Angga. Kita sering sekelas. Kita juga sekelas tadi. Gue mau ngomong kalau gue minta maaf atas ucapan teman gue tadi di kelas. Gue tahu itu salah."

Clamidina hanya tertawa kecil dan tersenyum palsu.

"Oh, itu teman lu? Bilangin, coba sekali-kali, bayangin kalau dia ada di posisi gue," ucapnya datar, tanpa emosi, namun tajam menombak hati Angga. Dia lantas pergi meninggalkan Angga yang hanya bisa diam terpekur.

Tanpa disadarinya, kalimat tersebut telah merontokkan seluruh jiwa dan raga Angga. Mendadak, dua butir air mata mencelat dari pelupuk matanya dan jatuh ke tanah. Ia menyadari sesuatu: harapannya telah sobek dan takkan pernah bisa disambung lagi.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd