Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Love, Friendship, and Other Miscellaneous Things

Bab 4

Sonia berbaring di atas tilam kamar tidurnya sembari membuka aplikasi tinder di ponselnya. Ia sedang meninting mana saja yang menarik untuk dijadikan cinta satu malamnya di antara foto-foto profil yang masuk ke dalam jangkauan pencariannya, dan--kalau beruntung--akan "dipasangkan" untuknya. Matanya menyipit. Jemarinya berulang kali menyentuh layar untuk menggeser ataupun menekan. Satu demi satu profil yang ia temui ditelisik dengan saksama. Ia tak mau terjebak dalam perangkap kesialan ketika sedang bersenang-senang.

Ia kemudian berhenti cukup lama pada sebuah foto pria dengan rambut keriting bernama Bayu. Alisnya bertaut. Ia merasa mengenali sosok dalam foto itu. Ia seperti pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. Otaknya kemudian mencoba mengingat-ingat kembali wajah serupa yang pernah dilihatnya.

Matanya sontak membeliak. Ia teringat. Pria itu. Pria yang menolongnya di mall A. Tak pelak, Sonia segera menekan icon like untuk dia. Ia ingin berbicara dengannya. Ada yang seharusnya ia sampaikan sejak dulu: kata terima kasih.

Sebuah notifikasi segera masuk. Mereka telah "terpasang". Sonia pun mengirimkannya pesan.

"Halo. Mungkin kamu gak tahu, tapi kita pernah ketemuan sekitar sebulan yang lalu.

"Yang benar?" tanya Bayu. "Kamu yakin?"

Sonia mengetik jawaban. "Iya. Di mall A?"

Bayu tak kunjung membalas pesannya. Sonia lambat laun jengah. Bayu barangkali bukanlah orang yang sama dengan yang ia maksud. Dia hanya mirip belaka.

Jemari Sonia lantas mengetik dengan lesu. "Kamu tidak ingat dengan saya? Mungkin saya yang salah orang."

Sebuah pesan masuk.

"Tunggu."

Sonia mengernyit menunggu kelanjutannya.

"Sepertinya aku tahu. Kamu yang waktu itu lagi baca novel, kan?"

Sonia mengembuskan napas. Lega. "Benar. Saya kira sudah salah orang tadi."

"Sorry, sorry. Aku baru ingat."

Sonia lanjut mengetik. "Sebelumnya, saya mau mengucapkan terima kasih. Waktu itu belum sempat. Maaf."

"Tidak perlu. Respons orang bukan hal utama yang kucari. Aku menolong karena iba saja."

"I feel bad."

"Don't be. Gimana kalau kita ketemuan saja? Kita bisa bicara mengenai hal remeh-temeh lain."

Sonia belum berniat membalas. Bayu kembali mengiriminya pesan.

"Atau kalau kamu mau, kita bisa melakukan itu sembari berkeliling mengunjungi tempat-tempat menarik di kota ini seharian. Tidak perlu seks. Aku sudah menyusun planning-nya. Akomodasi aku tanggung semua. Bagaimana?"

Sonia mengerucutkan bibirnya. Pesan itu sungguh menarik sekaligus mencurigakan. Apakah Bayu bermaksud sungguhan atau hanya membual belaka? Atau justru ingin menjebak? Ia harus berhati-hati.

"Kamu bercanda."

"Enggak," balas Bayu. "Aku serius. Biasanya aku sendirian kalau trip begini. Tapi berhubung ada kamu, sekalian saja. Lumayan, ada teman."

Sonia menahan diri untuk tidak membalas. Terlalu banyak resiko yang menghadang. Ia tak mau pulang dalam bentuk debu, dan disebabkan karena salah memilih pasangan cinta satu malam bisa jadi merupakan berita kematian terkonyol yang pernah ia dengar.

Bayu mengiriminya pesan lagi. "Biar kamu percaya, aku bakal jemput kamu. Kamu yang pilih tempat. Aku tak perlu datang ke rumahmu. Kalau aku gak datang lebih dari tiga puluh menit, kamu bisa pergi dan mencoret namaku dalam hidup kamu. Sounds like a win-win solution?"

Sonia menimang keputusan yang akan ia buat. Setelah lima menit, ia menyerah. Ia tak bisa menolak tawaran itu. Bayu terlihat tulus dalam mengajukannya. "Ok."

"Yes. Di mana?"

"Di rumahku saja."

"Kamu yakin?"

"Iya."

"Baiklah. Besok aku jemput di sana jam sebelas pagi, ya?"

Selang beberapa detik, sebuah pesan dari Bayu kembali masuk.

"Eh, kamu sudah kerja atau masih kuliah?"

"Kuliah," Sonia menjawab.

"Ada kelas gak?"

"Tidak."

"Oke. Saya tunggu kamu besok, ya?"

"Ya."

Tidak ada balasan selanjutnya dari Bayu. Sonia pun mematikan ponsel.

-----

Sonia berdiri menatap wajahnya di depan kaca wastafel kamar mandi. Tangannya memegang sebatang gincu berwarna merah muda. Gincu itu dipoleskannya ke permukaan bibir secara perlahan dan merata. Sesudah itu, ia menyetuhkan bagian atas dan bawah bibir dengan cepat sebanyak dua kali. Itu adalah sentuhan akhir riasan wajahnya. Sonia meyakini kalau yang dilihatnya sekarang di kaca adalah penampilan terbaik yang bisa ia berikan untuk Bayu.

Telinganya kemudian menangkap suara mesin mobil yang menderu. Ia segera melesat ke dekat jendela kamarnya. Sebuah mobil sedan hitam telah terparkir di sana. Dari pintu kemudi, seorang pria berambut keriting keluar. Sonia tersenyum. Bayu sudah datang. Pria yang ditunggunya. Ia meletakkan gincu itu ke dalam sebuah rak kecil di dekat watafel dan kembali menatap wajahnya sendiri di depan kaca. Meyakinkan diri untuk yang terakhir kali. Ia lantas menyungar rambutnya sedikit sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamar dan mengunci pintu kamar.

"Permisi."

Sonia segera menghampiri pintu rumah dan membukanya. Bayu terlihat santai untuk hari ini. Siap bersenang-senang. Pakaiannya terkesan kasual; kaus berkerah merah, celana jeans, dan sepatu kets.

"Hai," sapa Sonia.

Bayu tersenyum. "Hai. Sudah siap untuk hari ini?"

"Sudah." Sonia mengangguk. Ia pun keluar dari dalam rumah dan mengunci pintu. Bayu sempat melihat suasana rumah secara sekilas.

"Kamu sendirian?" Dia mengernyit. "Gak ada orang lain lagi kelihatannya di sini."

"Iya.”

Keduanya berjalan ke arah mobil.

"Orang tua kamu masih ada?" tanya Bayu.

"Masih," jawab Sonia. "Tapi... panjang ceritanya."

"Well," kata Bayu, "aku punya waktu seharian untukmu." Dia membukakan pintu mobil untuk Sonia. Sonia masuk ke dalam. Dia menyusul setelahnya lewat pintu kemudi. Setelah duduk, dia menoleh kepada Sonia. "Berceritalah."

Sonia tersenyum. Ia pun mulai bercerita sejak pertemuan awal kedua orangtuanya. Ia merupakan anak dari seorang janda dan duda beranak dua. Lima tahun setelah dirinya lahir, orangtuanya bercerai dan masing-masing menikah kembali dengan pasangan lain. Ia kemudian memilih tinggal bersama seorang sepupu dari ibunya.

"Nah, rumah ini hasil pemberian ayahnya ibu. Dia bekas tentara. Panglima, gitu. Waktu masih bertugas dulu, dia dapat hibahan rumah banyak dari dinas. Salah satunya ini. Daripada gak ada yang pakai, dikasih ke saya. Waktu itu, saya sudah SMA," jelasnya.

Bayu mengangguk, tampak mengerti. Dia kemudian mengernyit. "Gak takut sendirian?"

"Gak." Sonia menggeleng. "Sudah terbiasa."

Bayu tersenyum dan menyalakan mesin mobil. Sonia terdiam merenung. Ia memang terbiasa sendiri. Relasi keluarganya banyak, tetapi ia tidak menjalin hubungan dekat dengan mereka. Ia lebih suka menyendiri atau berkumpul dengan teman-temannya. Sebenarnya, ia menganggap teman-temannya sebagai keluarga, sementara keluarganya sendiri ia anggap sebagai teman. Berkebalikan.

-----

Mobil Bayu sampai di depan sebuah gedung TK. Keadaan gedung saat itu lumayan sepi. Sonia dan Bayu tiba di saat bel jam pulang sudah berdering setengah jam yang lalu. Sebagian besar murid tentu sudah pulang ke rumahnya masing-masing, diajak jalan-jalan, dan sekian banyak alasan atau lainnya.

Kurang lebih lima meter ke sebelah kanan dari tempat Bayu memarkirkan mobilnya, ada sebuah pemandangan yang berbeda: tenda panjang berwarna hijau memayungi ramai orang yang duduk di atas kursi plastik berwarna merah. Tempat itu adalah sebuah warung jajanan kaki lima yang menjajakan banyak jenis makanan.

"Saya gak pernah tahu tempat ini," ucap Sonia.

Bayu tersenyum sembari mematikan mesin mobil. "Di sana ada banyak pilihan makanan. Enak-enak semua.”

Mereka pun keluar dari dalam mobil dan berjalan ke arah warung kaki lima. Warung tersebut terbagi menjadi beberapa bagian. Dimulai dari yang paling dekat dengan posisi parkir mobil, yakni penjual sate ayam, lalu berjejer setelahnya: penjual baso, pecel, nasi goreng, dan ikan bakar yang terletak paling ujung.

Kedatangan mereka disambut dengan mengepulnya asap putih yang berasal dari satu alat pemanggangan panjang berwarna hitam. Puluhan potongan daging ayam yang ditusukkan ke dalam kayu dijejerkan dan dipanggang di atas bara yang menyala. Semerbak makanan itu menggoda siapapun yang lapar di sekitar, tak terkecuali Sonia yang sedari tadi di dalam perutnya sudah ada yang bernyanyi dengan nada konstan.

Setelah masuk ke dalam tenda, Sonia dan Bayu segera mencari tempat duduk. Mereka berhasil mendapatkan sebuah meja kosong yang letaknya berdekatan dengan penjual nasi pecel. Mereka pun duduk di sana.

Seorang pelayan berbaju oranye mendatangi keduanya dan memberikan daftar menu. Bayu memutuskan untuk memesan nasi pecel dan es jeruk, sedangkan Sonia memilih sate ayam, lontong, dan es teh manis. Pelayan tersebut pergi meninggalkan mereka setelah menerima pesanan.

"Sembari nunggu, kita ngobrol, yuk."

Ponsel Bayu tiba-tiba berdering dari saku celananya. Dia mengambilnya. "Sebentar, ya? Penting," katanya meminta izin kepada Sonia yang menggangguk. Dia lantas mengangkat panggilan.

Sonia mendengar percakapan itu. Dia tak mengerti detail percakapkan yang dilakukan Bayu dengan lawan bicaranya, tetapi berhasil menangkap sebuah fakta mengenai kehidupan Bayu: dia seorang pengusaha.

Bayu mengakhiri panggilan dan memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celananya. "Sorry. Sampai mana tadi?"

"Mau ngobrol," jawab Sonia. "Saya punya pertanyaan."

Bayu mengedikkan kepala. "Apa?"

"Kamu seorang pengusaha?"

"Iya."

Sonia mulai memandangi perawakan Bayu secara terperinci; matanya, rambutnya, bibirnya, hidungnya, kulitnya, lengannya. Bayu lantas mengernyitkan alis.

"Kenapa? Ada yang salah?"

Sonia tertawa kecil. "Kamu stereotipikal seorang pengusaha. Kulit agak legam, rambut berantakan... hobinya mengembara di jalanan, ya?"

"Kamu benar," jawab Bayu. "Tapi, tidak semua pengusaha seperti itu."

Sonia mengernyit. "Tapi, saya benar tentang kamu, kan?"

Bayu mengangguk.

"Pegang usaha apa?" Sonia lanjut bertanya.

"Elektronik," jawab Bayu agak lemah.

Sonia menyipitkan mata. Ia merasa ada sesuatu yang disimpan Bayu dari cara penyampainya. "Pasti bukan cuma itu saja."

Bayu terdiam sejenak.

"Aku sebenarnya paling malas menjawab pertanyaan itu." Dia menghela napas. "Aku punya banyak usaha."

"Sombong." Sonia memajukkan bibir, bercanda.

Bayu memuputkan napas. "Nah, itu. Itu yang kutakutkan."

Bayu kemudian menekur. Sonia yang melihat itu segera merasa bersalah. Ia sudah lancang dalam berucap.

"Sorry," katanya. "Lagi banyak masalah?"

"Ya... begitulah." Bayu mengernyit. "Kamu tahu apa soal pengusaha?"

"Tidak ada, kecuali stereotipikal seorang pengusaha." Sonia menyengir. "Dan Sutanto Kartali."

Ia mendadak tercenung dengan kalimat yang baru saja dilepaskan. Ia teringat dengan buah hati Sutanto, Clamidina, yang menjadi pujaan Angga. Ia merasa kasihan terhadap keduanya. Berita penangkapan Sutanto pasti menyakiti hati mereka.

"Bisa bicara hal lain?" ujar Bayu. "Aku sedang tidak ingin pusing." Dia tertawa kecil. "Kita bisa membicarakannya. Tetapi, itu akan membuat hari ini terkesan murung. Kita ingin bersenang-senang, bukan?"

Sonia tersenyum. "Kamu benar."

Tepat setelahnya, seorang pelayan kembali mendatangi meja makan dengan membawa serta dua piring berwarna merah dan kuning. Kedua piring tersebut diletakkan di atas meja. Piring berwarna merah di hadapan Bayu, sementara yang berwarna kuning di hadapan Sonia.

Di atas permukaan piring berwarna merah, terdapat nasi yang sudah diselimuti saus kacang dan ditumpuk oleh bermacam-macam sayuran seperti kangkung, kacang panjang, daun ubi, dan daun pepaya. Nasi tersebut juga diapit dua tempe goreng di sebelah kanan dan satu peyek berukuran cukup panjang di sebelah kiri.

Sementara di atas piring berwarna kuning, terdapat sepuluh tusuk potongan daging ayam dan potongan lontong, dengan permukaan berwarna coklat tua berupa bumbu campuran kacang dan kecap yang telah dihaluskan hingga mencair. Di pojok atas sebelah kanan piring itu terdapat cabai merah yang telah digiling dan irisan bawang bombai di bawahnya.

Kepulan asap kecil membubung dari kedua piring. Sonia dan Bayu masih saling memperhatikan. Keduanya terlalu segan untuk memulai makan terlebih dahulu.

Bayu akhirnya mengedikkan kepala. "Kamu saja duluan."

"Ok," Sonia menjawab. Ia lantas melahap suapan pertama dari makanan yang ada di hadapannya. Permukaan daging itu pun mendarat mulus; sebagian di giginya, sebagian lagi di lidahnya. Perpaduan rasa manis dan pahit dari bumbu dan daging yang dipanggang terasa meresap ke dalam pori-pori lidahnya, menghantarkan sebuah rasa legit yang langsung membuat benaknya meledak kegirangan.

"Wow, ini enak banget!" ucapnya berbisik dengan mata berbinar.

Dengan lahap, Sonia memasukkan semua makanan yang ada di piringnya ke dalam mulut. Keadaan yang begitu berbeda terjadi pada Bayu. Sejak makanan dihidangkan, dia tampak tertegun dan tak menyentuh makanannya sedikitpun.

"Kok, kamu gak makan?" tanya Sonia setelah menangkap pemandangan ganjil Bayu terhadapnya. Ia menghentikan kegiatan makannya. Jejak bumbu kecap tertera di kedua ujung bibirnya.

"Aku heran sama kamu." Bayu menggeleng-gelengkan kepala. "Makannya lahap banget? Kamu gak sempat makan kemarin?"

"Ini enak banget!" Sonia menujuk ke arah piring dengan cepat dan menggebu. "Dan seingat saya... saya masih sempat makan kemarin."

"Oke..." Balas Bayu sambil mengangguk-anggukan kepala, seperti mencoba memahami jawaban Sonia. Matanya kemudian melihat ke arah piring Sonia. "Kamu selalu makan dengan porsi sebanyak itu?"

Sonia mengedikkan bahu. "Ya, mungkin," jawabnya tidak yakin.

Bayu mengernyit. "Lalu kenapa kamu bisa tetap kurus?"

"Gen, barangkali," Sonia menjawab singkat, tak peduli. Nafsu laparnya masih membuncah. Ia pun kembali mengalihkan fokusnya untuk memberantas tuntas jajaran daging berwarna cokelat yang ada di hadapannya.

Bayu mencoba melahap pesanannya, sembari sesekali melirik Sonia yang begitu trengginas menghabiskan makanannya seperti manusia yang belum diberi makan berabad-abad lamanya.

Lima belas menit kemudian, Sonia berhasil menggasak dua piring sate berisi sepuluh tusuk beserta lontong dan dua buah es teh manis. Ia akhirnya terduduk lemah dengan wajah yang begitu terpuaskan.

"Eugh..." Ia beserdawa. "Aku kenyang sekali."

Bayu terkesiap. Matanya membeliak. "Pelankan suaramu."

Sonia seketika menutup mulutnya dengan telapak tangan. Matanya ikut membeliak. Ia lalu pelan-pelan menyingkirkan telapak tangannya dari mulut.

"Memangnya terdengar?" tanyanya dengan volume suara yang sedikit dikecilkan.

Bayu mengangguk. "Banget."

Sonia mengawasi keadaan sekitar. Seorang bapak yang duduk di belakangnya memperhatikan. Ia pun hanya mengembangkan senyum kepada bapak itu.

Bayu mengangkat tangannya ke udara dan memanggil seorang pelayan untuk meminta tagihan pesanan. Tak lama, pelayan itu datang membawakan tagaihan. Tertera angka enam puluh ribu di kertas tagihan itu. Sonia seketika mengambil sesuatu dari dalam tas.

"Aku saja yang bayar. Hanya itu, kan?" ujarnya sembari mengeluarkan uang dari dalam dompetnya.

"Tak perlu. Biar aku saja," jawab Bayu sambil mengambil dompet yang ditaruhnya di saku belakang celananya.

Sonia menghela napas. "Jadi gak enak aku..."

"Gak apa-apalah. Aku yang ajak kamu ini, kok," balas Bayu dengan senyum. "A deal is a deal."

Sonia termangu. Kalimat itu sering memasuki lubang telinganya. Pengirimnya adalah seseorang yang begitu dikenalnya: Angga. Sonia tidak mengerti. Mengapa pula dia terbawa lagi dalam ingatannya? Ia sedang berjalan dengan pria lain. Apakah ini tanda-tanda dari alam yang memberitahu bahwa dirinya telah memlih pria yang salah? Atau justru pria yang tepat?

"Pikirin apa?"

Pertanyaan Bayu berhasil meruntuhkan pemikiran Sonia.

"Enggak." Sonia menggeleng. Dia lantas mengedikkan kepala. "Bayar saja."

Bayu mengambil uang dengan nominal enam puluh ribu dari dalam dompet; Sonia kembali menaruh uang yang telah ia keluarkan tadi kedalam dompetnya dan memasukkan dompet itu lagi ke dalam tas.

Mereka kemudian meninggalkan warung dan kembali ke mobil. Masih banyak tempat yang harus dikunjungi.

-----

Mobil Bayu menelusuri jalanan dengan kecepatan normal. Hanya tersisa satu tempat lagi bagi mereka untuk disambangi hari ini: kedai T. Kedai T adalah sebuah kedai makanan yang mengusung tema wildwest. Mereka akan makan malam di sana sebelum akhirnya pulang kembali ke rumah Sonia.

Sonia yang sedang memandang ke arah jendela tak hentinya mengembangkan senyum. Perjalanannya sejauh ini amat menyenangkan. Bayu telah memperkenalkan sudut-sudut kota menarik yang tak pernah ia ketahui ataupun datangi sebelumnya karena keterbatasan dana. Bayu juga merupakan pribadi yang menyenangkan. Dia ramah, peduli, akas... semua hal yang baik.

Mobil Bayu akhirnya berhenti di depan kedai T. Mata Sonia langsung menangkap pemandangan bangunan dengan konsep unfinished wall. Tembok-tembok yang tersusun dari batu bata dibiarkan natural begitu saja, tanpa ditutupi dengan cat putih ataupun warna-warna pada umumnya. Terlihat juga pintu kecil dengan dua daun pintu yang dapat dibuka dari kedua sisi. Dari jendela yang ada di sebelahnya, dapat terlihat deretan meja kayu dan kursi bulat dengan warna coklat muda serta dinding kayu khas western.

Tetapi itu semua tidak menarik perhatiannya. Sebuah plang putih bertuliskan "closed" yang menggantung di jendela; inilah yang menarik perhatiannya.

Bayu juga melihat pelang tersebut. Tetapi, dia tampak tidak yakin. Dia keluar dari dalam mobil dan menghampiri pintu depan kafe untuk memastikan. Tak lama, dia kembali ke dalam mobil dan menghempaskan bokongnya di permukaan kursi sembari mengembuskan napas dengan keras. Bayu tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya.

"Ditutup lagi," gerutunya pelan. Dia kemudian menoleh ke arah Sonia. "Aku minta maaf. Aku gak sempat cek kemarin kalau ternyata tokonya tutup."

Sonia tersenyum. "Gak apa-apa."

Bayu terus memandang ke depan dengan nanar. Sonia melihat Bayu dan membuat apriori. Bayu mungkin sedang bertanya-tanya bagaimana bisa melakukan kelalaian seperti itu. Mengecek--bisa jadi--adalah sebuah hal kecil. Tidak perlu tenaga banyak. Tidak perlu waktu banyak. Tinggal membuka internet dan akan ada informasi yang tercantum di sana. Tetapi, untuk sebuah alasan yang dia sendiri tidak tahu, dia tidak melakukannya.

Itu membuat Sonia iba terhadap Bayu. Bayu telah memberikan hari yang sangat baik, dan kerikil permasalahan seperti itu tidaklah perlu dianggap menyusahkan. Yang terpenting adalah ia bahagia hari ini.

"Hei," panggil Sonia sedikit lebih keras. Bayu akhirnya menoleh.

"Gak apa-apa." Sonia tersenyum. "Aku sudah cukup senang kok hari ini."

"Tetapi, seharusnya kamu bisa lebih senang." Bayu berdecak. "Dan aku mengacaukannya."

Sonia menggeleng. "Tidak. Jangan mikir gitu."

Ia kemudian berpikir bagaimana caranya mengubah suasana hati Bayu agar kembali cerah.

"Bagaimana kalau saya yang menentukan tempat selanjutnya?" usulnya. "Tempat yang saya pilih pasti buka."

Bayu mengernyit. "Memangnya kamu punya?"

"Iya." Sonia mengangguk yakin.

Bayu mengedikkan bahunya.

-----

Sonia dan Bayu duduk di sebuah kursi kayu. Piring-piring tandas berserakan di meja. Bunyi mesin wahana permainan serta teriakan keseruan penumpang mengaung di telinga. Semerbak masakan laut yang sedang dipanggang menguar dan terendus hidung. Mereka tengah berada di sebuah pasar malam, baru saja selesai menikmati hidangan malam.

Bayu senantiasa memandang ke hadapan. Tempat itu terlihat cukup ramai dipenuhi manusia. Anak-anak berlarian, muda-mudi berpacaran, orang tua sibuk mencari anaknya yang kabur entah kemana; semuannya campur aduk. Wajahnya begitu sumringah. Dia telah menceburkan diri pada suasana keceriaan yang tidak palsu.

Di satu sisi, Sonia sedang memandangi wajah Bayu. Ia senang dengan ekspresi Bayu yang positif. Ia senang melihat orang bahagia. Menurutnya, itu adalah emosi terbaik yang dapat dikeluarkan manusia. Cerah. Menyejukkan.

Bayu kemudian berkata setelah menyadari dirinya sedang dipandang, "Aku kira kamu gak suka tempat yang kayak gini."

"Siapa bilang?"

Bayu menoleh kepada Sonia. "Ya, berdasarkan pengalaman saja. Setiap wanita yang kutemui di tinder selalu seperti itu. Ketika kubawa ke tempat ini, mereka tidak betah."

"Buktinya saya enggak." Sonia mengernyit.

"Makanya itu. Aku sepertinya sering sial. Beruntunglah bisa bertemu denganmu. Aku juga sesungguhnya lebih senang yang seperti ini. Tidak berpretensi."

Bayu kembali memandang ke arah kejauhan. Begitu meresapi. Sonia melihat Bayu. Ia ingin mengusulkan sesuatu kepadanya. Sesuatu yang akan membuat malam ini semakin menyenangkan.

"Kamu mau coba naik wahana?"

"Kalau kamu mau."

Sonia menunjuk salah satu wahana yang jika dilihat sekilas berbentuk seperti mahkota, dengan satu tiang berwarna hijau menjulang di dalamnya. Dari puncak tiang itu, terdapat tali-tali baja yang langsung terikat ke berbagai sisi kursi kayu berwarna merah yang melingkar.

Bayu agak tersedak melihat pemandangan itu. "Seriusan kamu mau langsung naik ombak banyu?"

"Iya." Sonia mengangguk.

Bayu mengernyit. "Gak mau yang lain dulu?"

"Gak."

Bayu menghembuskan napas panjang. Dia sebenarnya paling tidak suka menaiki wahana yang melibatkan gaya "putar" didalamnya. Masalahanya, hampir seluruh wahana di pasar malam melibatkan gaya tersebut. Dia jelas tak bisa berbuat apa-apa.

Mereka pun mulai mengantre di loket karcis untuk wahana ombak banyu. Seluruh kalangan masyarakat hadir di sana; anak kecil, anak muda, bahkan orang tua sekalipun.

Setelah mendapatkan tiket, mereka langsung mengambil posisi duduk di wahana ombak banyu. Lambat laun, semua kursi melingkar itu terisi penuh. Pemuda berjumlah lima orang kemudian datang dan mulai memutar kursi kayu melingkar itu ke arah kiri sembari berlari. Pelan-pelan, kecepatan wahana semakin meningkat. Para penumpang yang pada awalnya tenang sekarang berubah menjadi cemas. Sahut teriakan mulai terdengar.

“Aaaaaa."

Para pemuda itu tak peduli. Mereka tetap memacu wahana agar dapat berputar sekencang mungkin. Wahana berputar naik-turun seperti hoola hoop yang hampir lepas kendali dari perut pemainnya. Para pemuda itu dengan siaga bergelantungan ketika bagian kursi melingkar yang mereka tarik melayang ke udara.

Sonia berteriak kegirangan. Ia menyukai permainan itu. Ia gemar diputar-putar di udara. Merasakan angin menerpa wajahnya dengan begitu deras.

Sementara itu, Bayu hanya diam membisu. Dia sedari tadi mencengkeram erat pegangan yang berada terletak di belakang badannya. Matanya menatap tajam ke arah para pemuda yang bergelantungan, seolah tatapannya itu berupa mantra yang bisa membuat mereka segera khilaf dan menghentikan laju wahana.

Beberapa menit kemudian, wahana semakin lambat berputar. Gerakannya tak seliar sebelumnya. Lima pemuda itu sudah berhenti berlari dan mulai berjalan.

Meski wajah Bayu masih terlihat pucat pasi, dia akhirnya bisa bernapas lega. Wahana telah berhenti total. Dia pun segera turun dari kursi dan pergi meninggalkan Sonia yang masih meresapi sisa-sisa sensasi menaiki wahana. Dia bergegas menuju bagian pasar malam yang tak terlalu ramai. Setelah sampai, dia menghentikan langkah. Ditekannya kedua lututnya dengan tangan, lalu membungkuk ke depan.

"Hoek."

Dia ingin muntah namun tak ada yang keluar dari mulutnya.

Sonia yang terlambat sadar berlari menghampiri. Tangannya mengelus-elus punggung Bayu. Ia merasa ini akibat ulahnya sendiri yang terlalu memaksa.

"Maaf," katanya. "Seharusnya kamu kalau gak kuat bilang saja. Aku gak bakal nge-judge, kok. Daripada kayak gini."

Bayu terbatuk. Sonia mempercepat elusan tangannya di punggung Bayu.

"Gue gak apa-apa, kok. Tenang saja," ucap Bayu sebelum kembali batuk dan membuang ludah di tanah. Dia dapat melihat kunang-kunang bermunculan di matanya.

"Sebentar. Aku beli air mineral dulu," kata Sonia sebelum pergi ke warung yang berada tepat di depannya. Tak lama, ia kembali dengan sebotol air mineral. Ia langsung membukakan tutup botol dan memberikan botol itu kepada Bayu. Bayu meneguk isi botol dengan akas. Setengah dari isi air mineral di dalam botol langsung lenyap. Sonia kemudian memberikan tutup botol yang tadi ia pegang kepada Bayu. Bayu menutup kembali botol itu dengan sempurna.

"Mau ke mana habis ini?" tanya Bayu.

"Pulang saja," jawab Sonia. "Kasihan saya sama kamu."

Bayu mengernyit. "Tapi masih ada wahana yang lain. Rumah miring, tong setan-"

"Bukannya kita ada janji?" potong Sonia.

Bayu menyengir. "Oh, iya."

-----

Sonia membuka pintu kamarnya. Tangannya menekan saklar untuk menyalakan lampu. Ia kemudian mempersilahkan Bayu masuk ke dalam kamar. Bayu langsung memperhatikan seisi ruangan. Aksesoris, pernak-pernik, dan perabotan; semuanya tertata rapih.

Tiba-tiba saja ada sebuah tangan halus yang mengelus dadanya perlahan dari belakang. Sangat sensitif dan merangsang. Bayu pun berbalik ke belakang. Sonia tengah tersenyum intens. Bayu tampak terkesima melihat senyum itu. Senyum Sonia adalah senyum terindah yang pernah dilihatnya sepanjang dia hidup. Bayu tak bisa berkata apa-apa ataupun bergerak. Dia telah terpesona.

Keheningan bergelayut dengan ria di dalam kamar Sonia. Sonia dan Bayu terus bersirobok dalam diam. Keduanya terlihat yakin kalau malam ini akan dihabiskan dengan pesta birahi yang bergelora. Keduanya pun saling menunggu untuk menentukan siapa yang terlebih dahulu membakar bara. Akan tetapi, tiga menit berlalu, keduanya tetap bergeming pada posisinya masing-masing.

Lambat laun, mereka mengerti dengan keadaan canggung itu. Sesungguhnya, tidak ada satupun dari mereka yang menyediakan bahan percikkan maupun berniat menyediakan.

"Sonia?" Bayu akhirnya membuka pembicaraan.

"Iya?"

"Did you still want to..."

Sonia menggeleng. "No. Capek gue. But this is fun day, though. Thanks." Ia secara impulsif mengecup pipi Bayu.

Bayu mengernyit. Dia jelas terkejut menerima kecupan itu. "Kok dicium?"

"I just want to." Sonia tersenyum. "It's a compliment from me."

Hening sejenak. Bayu menyadari kalau itu adalah sebuah batas yang meyakinkan dirinya kalau Sonia tidak berharap lebih untuk hari ini. Tidak ada tindakan lain yang perlu dilakukannya untuk Sonia. Dia hanya perlu pulang. Hari telah berakhir.

"I'm happy with you," ucap Sonia lirih.

"So do i," Bayu membalas.

Sonia dan Bayu saling melempar senyum. Keduanya percaya kalau malam ini bukanlah pertemuan terakhir mereka.
 
Terakhir diubah:
Hmm.....
Ini dia.. hubungan berdasarkan perasaan bakal hadir..
Lanjuut...
 
Sonia selalu teringat Angga saat dekat dengan cowo lain, apakah Angga juga merasakan hal yg sama, kita tunggu di next episode :semangat:
 
pasar malam ya? hhmm udah lama ane ga main ke pasar malam euy..
sonia, gak pengen ngajak abang yg tjakep ini ke pasar malam? :ngupil:
 
Bimabet
Bab 5

Kantin kampus. Sonia menyuapkan sendok berisi nasi goreng ikan teri ke dalam mulutnya. Angga memainkan plastik bekas tempat penyimpanan sedotan di tangannya, sementara sorot matanya tak lepas dari Sonia. Ia teramat rindu kepadanya. Dengan gaya bicaranya. Dengan tingkah lakunya. Akhir-akhir ini, ia memang sulit menemui Sonia. Sonia beralasan kalau dirinya sedang disibukkan tugas yang datang menerjang. Beruntungnya, Angga diberi kesempatan bersua lagi dengan Sonia hari ini. Seluruh tugas Sonia--menurut Sonia--sudah terselesaikan.

"Ni, belakangan ini ada sesuatu yang menarik gak di hidup lu?"

"Gue masih napas," jawab Sonia cepat.

Angga berdecak, kecewa menerima jawaban itu. "Yah... ditanyain."

"Lha, benar, kan?" Sonia mengernyit. "Beruntung gue masih bisa napas. Coba kalau gak. Yang ada di depan lu itu sekarang bukan gue."

"Iya juga, ya." Angga menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Sonia menatap Angga yang masih terlihat merenungi jawabannya. "Lu sendiri bagaimana?"

Angga balik menatap Sonia. Ia tahu pasti apa yang akan dibicarakannya.

"Kira-kira sebulan yang lalu gue ketemu sama Clamidina," katanya, penuh keyakinan. "Dan gue didamprat."

Sonia melongo. "Kok bisa?"

"Lu tahu kasus bapaknya, kan?"

Sonia menepuk jidatnya. Dia seolah dapat memprediksi ke mana arah perkara akan dibawa. "Oh, iya."

Angga mengembuskan napas. Ia lantas mulai menceritakan kronologis kejadian yang menimpanya beberapa minggu lalu itu secara terperinci.

"Shit. I'm so sorry."

Angga tersenyum getir mendengar ibaan itu. "Bukan lu yang salah, kok. Gue.”

Sonia memanyunkan bibir. "Gak ada yang salah dalam kejadian itu, Ga." Tangannya mengelus pelan punggung tangan Angga yang ada di atas meja. "Coba lagi."

Angga menutup mulut. Ia sudah membulatkan tekadnya untuk menyerah mengejar Clamidina. Tak ada yang mampu mengubah pendapatnya, sekalipun itu Sonia.

"Alexander Graham Bell gak berhasil menciptakan telepon dalam satu-dua kali percobaan, Ga. Cinta seharusnya juga begitu," ucap Sonia berusaha tetap positif.

Angga menatap lesu Sonia.

"Tapi, telepon bukan benda hidup yang berperasaan, Nia."

Sebuah ponsel berdering. Angga dan Sonia saling memeriksa diri. Dering itu rupanya berasal dari ponsel Sonia. Sonia mengangkat panggilan. Dia berbincang cukup lama. Dalam perbincangan, berulang kali kata "aku", "kamu", dan "sayang" terlontar dari mulutnya. Angga tercengang mendengarnya. Seumur-umur mereka bertemu, Sonia belum pernah mengucapkan kata-kata itu kepada seseorang, kecuali sepupunya atau yang berelasi keluarga dengannya. Itu pun jarang.

"Kok, manggilnya aku-kamu?" tanya Angga setalah Sonia mematikan panggilan.

Sonia memasukkan ponsel ke dalam saku celana. "Memangnya kenapa? Iri?"

"Ya... Gue gak pernah dengar lu manggil aku-kamu sama orang lain.” Angga menjengitkan bahu. ”Kecuali saudara lu.” Alisnya bertaut. “Tapi tadi itu terlalu mesra buat ukuran saudara." Ia memajukkan badannya ke depan. "Siapa sih yang telpon?"

"Mau tahu saja," ucap Sonia pelan tanpa melihat Angga.

Hening menyaputi keduanya. Rasa penasaran Angga kian memuncak.

"Pacar gue.”

Angga menggeleng sembari tergelak. "Gak mungkin."

Sonia tidak kunjung membalas pernyataan itu. Angga terbelalak kaget. Jika Sonia sudah melakukan hal tersebut, pernyataan yang dibicarakan sebelumnya hampir pasti berupa kebenaran. Meski begitu, Angga masih tak yakin benar kalau Sonia telah mempunyai seorang kekasih.

"Lu serius?"

Sonia mengangkat bahu, membuat pernyataan sebelumnya terkesan ambigu. Dia tampak tak berniat menjawab.

"Sekarang, lu yang selalu menghilang dan susah ditemui ini jadi masuk akal," gerutu Angga. "Padahal kemarin katanya gak minat cari pacar. Buktinya? Malah duluan dapat pacar."

Sonia tertawa kecil. "Sudah dibilang kalau gue hanya nunggu." Dia tiba-tiba tampak bersiap pergi meninggalkan kantin. Angga mengernyit, heran.

"Lu mau ke mana?"

"Pacaran."

Angga mendengus. Ia sedang sendirian dan kesepian saat ini, dan satu-satunya orang yang diharapkan bisa menemaninya kini justru minggat bersama orang lain.

"Eh... si anjing."

"Apa?"

"Anjing." Angga mengulangi perkataannya nyaris tanpa suara namun tetap tajam.

Sonia mengerucutkan bibir. "Mmm... gak apa-apa deh gue disebut anjing. Anjing kan setia? Teman terbaik manusia selain manusia."

Angga tertawa kecil. Ia sadar dirinya tidak bisa membenci Sonia untuk hal secuil itu. Dia terlalu spesial dan istimewa.

"Babi."

"Apa?" Sonia kembali mengernyit. "Babi? Babi juga gak apa-apa. Lucu."

Angga menggerematakkan gigi "Ya, sudah." Ia tersenyum. "Sana, pergi."

Sonia meninggalkan Angga sembari cengengesan.

-----

Layar laptop. Berkas. Layar laptop. Berkas. Hanya itu yang ditatap Bayu sejak dua jam yang lalu. Angka-angka yang tertera di sana berhasil membuat keningnya berkerut. Beberapa perusahaan yang ia miliki tampak mengalami kerugian signifikan.

Belum selesai ia berkutat pada permasalahan yang ada, tiba-tiba ponselnya berdering. Sekejap matanya melirik layar ponsel. Napasnya seketika jebrol. Sang ayah menelpon. Bayu tahu kalau ia tidak bisa menghindar dari panggilan itu.

"Halo?"

"Halo, Nak," jawab sang ayah di ujung sana. "Apa kabar?"

"Baik." Bayu berusaha tersenyum meskipun senyum itu tak terlihat oleh sang ayah. "Bapak bagaimana?"

"Baik. Kamu ingat kalau minggu depan ada acara ulang tahun perkawinan kakek-nenekmu, kan?"

Bayu tak menjawab. Belakangan ini, ia sedang sibuk mengurusi dan memikirkan keuangan perusahaannya yang sedang bocor seperti genteng rumah tua saat hujan badai menerpa selama satu bulan berturut-turut. Tentu saja ia lupa.

"Masa kamu lupa, sih?"

Bayu terdiam. Napasnya terdengar mengeras. Ia menyadari kalau minggu ini terhitung begitu buruk untuknya.

"Kamu sudah punya pasangan buat dibawa nanti?"

"Belum."

"Haduh, Bayu."

Bayu memejamkan mata. Sang ayah mulai berceramah melalui ponselnya. Tak ada satupun kata atau kalimat yang masuk ke telinganya. Semua berlalu begitu saja.

Ia kemudian mendengar suara seorang perempuan menyela sesi ceramah sang ayah. Perempuan itu adalah sang ibu.

"Kenapa?"

"Ini si Bayu. Dia lupa."

"Lupa?"

Bayu menelan ludah. Seakan belum cukup, ibunya kini ikut serta berceramah. Lebih beringas dari sang ayah. Bayu pun refleks menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Suara sang ibu--walau masih terdengar--sudah tidak terlalu jelas lagi. Meski begitu, kepala Bayu justru kian jangar dibuatnya.

"Halo? Dengar gak kamu?"

"Dengar, Bu."

"Pokoknya, Ibu gak mau tahu. Minggu depan, kamu sudah bawa pasangan ke acara itu. Mau taruh di mana muka kita nanti?"

Bayu punya seribu alasan untuk tidak melakukannya, tetapi ia sedang malas berdebat. Ia tak mau membuat kepalanya yang sudah pusing tujuh keliling kian runyam lagi dengan permasalahan baru.

"Baik, Bu."

"Ya, sudah. Selamat sore."

"Sore."

Bayu menutup panggilan. Ia menangkupkan ponsel tersebut di atas meja. Cukup lama tatapannya terarah ke permukaan meja. Nanar. Dalam hatinya lantas timbul keinginan untuk membenturkan kepalanya berulang kali ke bidang datar yang keras itu.

-----

Sonia duduk, nyaris menyatu dengan kursi belajar di kamarnya. Jemarinya berlompatan dari satu tombol ke tombol yang lain di atas papan ketik. Matanya lekat menyorot layar laptop di hadapannya. Sinar senja yang menerobos masuk dari jendela kamar tak mampu mengalihkan perhatiannya.

Sesungguhnya, ia berbohong kepada Angga. Ia ingin mengerjakan tugas yang baru diberikan sang dosen sore ini. Ia merasa harus menyelesaikannya sebelum serangan tugas lain membuat dirinya terlilit banyaknya tenggat waktu. Meski begitu, ia juga rindu kepada Angga. Mendengar kisah romansanya yang pahit. Melihat tingkah konyol Angga tatkala melahap bualan yang ia buat. Itu sebabnya ia rela menghabiskan sepeser waktu luangnya yang sedikit untuk bertatap muka dengan Angga di kantin tadi.

Ponsel yang diletakkannya di atas meja bergetar. Ia ingin mengabaikannya, tetapi kadung lelah mengerjakan tugas. Sudah tiga jam ia melakukan hal tersebut. Seluruh sendinya terasa kaku. Ia butuh beristirahat sejenak.

Ia lantas merenggangkan jemari, menggerak-gerakkan badan, dan mengambil ponselnya. Sebuah pesan baru dari Bayu.

"Hai. Aku ganggu, ya?"

Sonia tersenyum. Bayu biasanya selalu menawarkan hal menarik jika sudah bertanya seperti itu. Jalan-jalan dan semacamnya.

"Enggak juga. Ada apa?"

"Aku pengen ajak kamu ke pesta ulang tahun perkawinan ortuku minggu depan. Kamu mau gak?"

Sonia mengernyit. Nalarnya bekerja. Pesta ulang tahun perkawinan orang tua? Tawaran Bayu kali ini sedikit janggal. Mengapa harus dia? Apakah karena mereka sudah saling mengenal? Tetapi, alasan itu tidaklah cukup menjelaskan ajakan Bayu. Bayu bisa saja memilih orang lain yang lebih dekat dengannya. Lagi pula, itu acara keluarga. Apakah Bayu akan memperkenalkannya kepada orang tua Bayu? Sejauh yang Sonia tahu, mereka bukan sepasang kekasih. Belum.

Lima menit berlalu. Sonia tidak kunjung mengirimkan pesan balasan kepada Bayu.

"Sonia?"

Bayu kembali mengiriminya pesan. Sonia tidak bereaksi. Rentetan pesan kemudian masuk bertubi-tubi ke dalam ponselnya.

"Kamu pasti bingung kenapa aku mengajakmu."

"Aku tahu kita baru kenal beberapa bulan belakangan, tetapi aku butuh pasangan di acara itu. Keluargaku belakangan ini selalu bertanya apakah aku sudah punya pacar atau belum. Aku lelah menjawabnya. Aku lelah mengelak."

"Kamu ngerti, kan?"

"Please?"

Sonia menautkan alis. Ia setengah tak percaya. Bayu baru saja memohon kepadanya. Dia tak pernah seperti itu sebelumnya; berada dalam posisi "lemah". Dia pasti sedang menghadapi permasalahan kronis. Sonia membenci permasalahan kronis. Ia selalu menaruh simpati terhadap orang yang sedang berjuang mengatasinya. Bayu--kemungkinan besar--juga sedang melakukan hal yang sama, dan dia membutuhkan bantuannya.

Sebagai teman yang baik, Sonia akhirnya membalas, "Oke."

"Terima kasih. Kamu gak tahu kalau itu sangat berarti buatku."

"Dress code-nya apa? Biar saya bisa siap-siap nanti."

"Semiformal."

"Omong-omong, acaranya nanti hari sabtu jam enam malam. Aku yang jemput kamu ke rumah, ya? Jam empat sore."

"Baik, Bos."

"Aku tak akan menggagumu lagi hari ini. Jadi, sampai ketemu minggu depan."

Sonia mematikan ponselnya. Ia kembali menyibukkan diri dengan menyelesaikan tugas kampus.

-----

Angga berdiri di bawah gemerlap warna-warrni sebuah plang kelab berlampu neon. Sebelumnya, teman-temannya telah mengajaknya ikut masuk ke dalam kelab. Ia tak menurut. Ia lebih senang menghabiskan waktunya memandangi keadaan lingkungan yang tak pernah dikunjunginya daripada larut dalam ilusi cairan alkohol dan musik yang berdentum, meski yang didapatinya pasti serupa dengan pemandangan dari jendela kamar kosnya. Untuk hal itu, ia tak pernah merasa bosan. Ada sesuatu yang membuatnya tak pernah bosan terhadap pemandangan kota.

Seringkali, kota dicap sebagai medan yang keras. Biadab. Tak berperasaan. Kejam. Segala kata berbau busuk. Tetapi sesungguhnya, kata-kata itu hanyalah sekelumit dari apa yang dikandung kota. Kata-kata itu tentu tidak bisa dijadikan patokan gambaran kota yang seutuhnya. Bagi Angga, kota juga menawarkan kehangatan (kata bermakna baik), sekalipun terbalut dalam sebentuk keangkuhan yang membabi buta. Ia bisa mendapati seorang pengamen bernyanyi dengan nada merdu di antara lautan kendaraan yang saling berlomba mendahului serta bunyi klakson yang bersahutan menyalak. Ia pun bisa mendapati pengunjung warung kaki lima meletup riang ketika merasakan lezat makanan di lidah di antara preman yang berpatroli di daerah kekuasaan serta maling yang membawa lari barang curian. Kehangatan-kehangatan seperti itu membuatnya tak pernah bosan dan jatuh cinta kepada kota. Ia yakin takkan pernah menanggalkannya, walau dihinggapi banyak kekurangan. Bukankah itu tabiat kehidupan?


Beberapa saat setelah Angga selesai melamun, hujan mulai mengguyur kota. Ia segera berteduh di area muka kelab. Di sana, terdapat genteng yang mampu membentengi air agar tak mengenai tubuhnya. Seorang satpam kelab melihatnya dengan tatapan heran. Angga terkesan seperti anak yang kehilangan orang tuanya. Sendirian. Lugu. Tidak tahu harus berbuat apa.

Pintu keluar kelab tiba-tiba saja terkuak. Seorang perempuan berjalan sempoyongan dari dalam. Tak jelas arahnya ke mana. Dia tampak begitu mabuk. Dia pun menjadi sasaran usil orang-orang di jalanan. Payudaranya dipegangi. Bokongnya dipukuli.

Angga membeliak. Jantungnya berdegup cepat seakan tengah berlari. Ia tahu gerangan perempuan itu. Dia Clamidina. Ia yakin tidak salah lihat.

Ia pun segera melesat dan menyelamatkan Clamidina dari tangan-tangan nakal yang menjamah. Ditariknya Clamidina menjauh dari keramaian.

"Clamidina? Clamidina?"

Clamidina menatap Angga dengan nanar. Matanya begitu sayu. Aroma alkohol yang begitu kuat menguar dari mulutnya.

"Clamidina?"

"Apa?" Clamidina akhirnya membalas.

"Kamu sama siapa ke sini? Naik apa?" tanya Angga, panik.

Clamidina tersenyum. "Sendirian. Naik taksi."

Angga segera berpikir. Ia harus membawa perempuan itu ke tempat aman. Kondisinya sudah buruk. Tak mungkin ia membiarkannya begitu saja di jalanan. Sesuatu yang lebih buruk dapat menimpanya.

Ia meraba saku celananya. Sebuah kunci mobil milik temannya tersimpan di sana. Sebelum masuk kelab, salah satu temannya menitipkan kunci itu. Temannya takut akan kemungkinan kunci itu hilang atau dicuri tanpa sepengatahuannya. Ia dapat menggunakan mobil itu untuk mengantarkan Clamidina pulang. Soal pengembalian mobil... urusan nanti. Angga tahu pasti kalau pemiliknya akan "membeli" satu gadis dari kelab dan menyewa kamar hotel. Dia baru akan bangun esok siang.

"Aku antar kamu pulang, ya?"

Clamidina mengangguk. Angga pun segera memapah Clamidina ke arah sebuah mobil sedan berwarna merah yang terparkir dan memasukan Clamidina ke dalam sana. Ketika sudah duduk di kursi pengemudi dan bersiap menyalakan mesin, ia menyadari sesuatu.

"Rumah kamu di mana?"

Clamidina sontak menggeleng kencang. "Gak mau!"

Angga terkesiap dan terheran di waktu yang bersamaan. Ia kesulitan mencerna jawaban Clamidina. Jawabannya itu tidak bertautan dengan apa yang ia tanyakan sebelumnya.

"Maksud kamu?"

Ia mengerti: agak sedikit bodoh untuk bertanya kepada seseorang yang tengah mabuk. Tetapi, tidak ada salahnya dicoba.

"Aku gak mau pulang ke rumah," Clamidina menatap sayu Angga. "Aku maunya pulang ke rumah kamu."

Angga tergagap. "Kok rumah aku?"

"Maunya rumah kamu!" jawab Clamidina penuh penekanan. Angga tidak mengerti sama sekali.

"Ken-"

"RUMAH KAMU!"

Angga mengembuskan napas. Ia tahu dirinya tak bisa bertanya lebih lanjut. Segera dinyalakannya mesin mobil dan mobil itu pun bergerak meninggalkan kelab.

-----

Hujan telah terusap sepenuhnya. Mobil itu berhenti beberapa meter di muka kos Angga. Mesinnya mendadak mati. Angga menghela napas. Ia sangat bersyukur karena mobil itu tidak "ngambek" di tengah perjalanan. Usahanya menyelamatkan Clamidina tentu akan jauh lebih rumit.

"Sudah sampai?" tanya Clamidina.

"Sedikit lagi," jawab Angga.

Ia keluar dari dalam mobil dan mendorongnya agar berhenti tepat di muka kosnya. Ia kemudian membukakan pintu untuk Clamidina. Clamidina dengan susah payah berusaha berdiri. Keseimbangannya nyaris nihil. Angga harus bersusah payah menahannya lalu memapahnya hingga mencapai muka kamar.

Pintu kamar terkuak. Angga--dengan barang bawaan berupa Clamidina--masuk ke dalam dan menutup pintu itu. Ia lantas mencoba mendudukkan Clamidina di tepi tilam. Tetapi, Clamidina malah menarik lengan Angga hingga Angga ikut duduk bersamanya. Dalam satu gerak campin, Clamidina kemudian menaruh telapak tangannya di atas kemaluan Angga dan meremasnya dengan teramat keras. Angga sontak membelalak.

"Clamidina!" pekiknya, kesakitan. "Kamu ngapain?" Ia tergopoh berdiri dari tempat duduknya dan beringsut menjauh dari Clamidina.

Clamidina menyeringai. "Kamu mau 'itu', kan?"

Angga menggeleng cepat.

Clamidina berdecak. "Tapi punya kamu sudah keras," katanya lirih. "Yakin gak mau?"

"Saya masih waras," balas Angga terengah. Ia takut ucapannya terbantahkan. Ia takut tidak mampu menahan aksi Clamidina yang nalarnya sedang terkena semacam korslet.

Clamidina tersenyum melihat Angga. "Mungkin kamu perlu lihat aku telanjang."

Dia mulai melucuti segala yang membalutnya. Sepersekian detik kemudian, dia sudah telanjang bulat. Angga kepayahan menelan ludah, seakan ada batu yang mengganjal di tenggorokannya. Napasnya semrawut. Meski begitu, nalarnya tidak ikut runtuh melihat tubuh telanjang perempuan di hadapannya. Ia tak mau mengambil keuntungan dari keadaan Clamidina. Tak ada guna dan tak baik.

"Sayang," ucap Clamdina sembari berdiri dan mendekati Angga.

Angga sekuat tenaga menghindar. Keduanya lantas berlari mengitari ruangan seperti anak kecil yang sedang bermain kejar-kejaran. Angga tak menyadari itu. Kalut tengah melanda benaknya. Ia tak bisa berpikir dengan jernih.

Dalam satu kesempatan, Clamidina tiba-tiba membuat satu gerakan tak terduga. Dia melompat dan menerkam tubuh Angga ke arah tilam hingga Angga tertindih. Clamidina berhasil mengunci posisi mereka. Angga tak bisa ke mana-mana.

"Kena kamu," kata Clamidina sembari tertawa kecil.

Angga menelan ludah. Ia kembali mencium aroma alkohol yang menguar dari bibir Clamdina. Mampus, pikirnya.

Clamidina lantas mendekatkan bibirnya ke bibir Angga. Dalam kegentingan, Angga hanya terpikir untuk memejamkan mata, berharap kalau apa yang ia alami saat itu hanyalah sebuah mimpi buruk.

Bibir Clamidina tiba-tiba saja meleset dari sasarannya. Dia justru mengecup seprai tilam dan tidak bergerak lagi. Angga yang melihat ini pun segera memindahkan tubuhnya. Begitu mudah. Clamidina tidak memberikan reaksi apa-apa.

Angga akhirnya berhasil berdiri. Ia memandangi tubuh Clamidina dari kejauhan sembari menjebrolkan napasnya dengan keras berulang kali. Ia mengetahui kalau dirinya baru saja selamat. Clamidina sudah jatuh tertidur.

-----

Pagi hari. Angga menggeliat lega. Dia baru saja selesai membuang isi kantung kemihnya yang penuh ke dalam kloset. Telinganya kemudian mendengar sebuah bunyi gemerisik dari kamar tidur. Clamidina. Dia sudah bangun. Angga pun menekan tombol untuk menyiram dan keluar dari dalam kamar mandi.

Ia mendapati Clamidina tengah melihat pemandangan kota di jendela. Sinar matahari menyambar tubuh Clamdina yang terbalut dengan selimut. Angga membeliak. Ia baru menyadari sesuatu: Clamidina tak mengenakan apa-apa. Selepas Clamidina terlelap, Angga hanya menyelimuti tubuhnya dan ikut menyusul terlelap di lantai.

"Tadi malam, gue ngewe sama lu, ya?" tanya Clamidina tenang namun mengusik. Dia kemudian berbalik dan menatap Angga.

Angga gelagapan. Ia begitu takut diserang Clamidina karena kesalahpahaman. Ia pun hanya bisa menggeleng-geleng kaku tanpa memberikan penjelasan lebih.

Clamidina tersenyum kecil. "Enggak apa-apa kalau beneran juga. Itu artinya lu sudah pernah nyicipin anak pejabat, kan? Lumayan, achievement."

Tubuh Angga menjadi kaku. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Semua langkah dan gerakan terlalu salah untuk diambil. Seluruh kalimat yang ada dirasanya tidak pantas dilontarkan.

Clamidina menyisir ruangan itu sebelum akhirnya terduduk di tepi tilam. Kepalanya menekur lama.

Tiba-tiba saja, nafasnya mulai tersengal. Sejak malam, Angga merasa sesuatu yang buruk akan menerkam Clamidina. Ia dengan takut berharap bahwa apa yang dipikirkannya tidak pernah terjadi. Akan tetapi, percuma berharap sekarang. Sesuatu itu telah terjadi. Dia menangis. Bahunya berguncang hebat. Bulir air bercelatan dari pelupuk matanya.

"Gue capek." Clamidina tampak tak bisa menahan lagi segala keluh kesah yang memenuhi rongga dadanya. "Pada awalnya, gue ingin membuktikan kalau gue gak akan mundur dari kampus meskipun bokap kena kasus. Gue bukan bokap. Tapi, setelah gue jalanin selama ini, keyakinan gue mulai goyah. Gue sepertinya lebih baik mundur daripada harus gila melihat reaksi teman-teman gue yang kurang ajar. Gak ada yang anggap gue seperti manusia, yang bisa berpikir, yang bisa merasakan."

Angga merasakan kepedihan yang teramat dalam pada untaian kalimat itu. Hatinya ikut teriris. "Jangan gitu, Clamidina. Lu harus tetap semangat-"

"Tapi gak ada yang memanusiakan gue!" Clamidina memotong. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kencang. "Gue gak mau gila. Gak mau gila."

Dia tak berbicara lagi. Dia hanya terisak. Tidak perlu kata-kata ataupun kalimat tambahan untuk membuat orang lain mengerti bahwa apa yang dihadapinya lebih dahsyat dari sekedar badai biasa.

Angga menggeleng kencang. Tiba-tiba saja keseganan yang menghinggapi hatinya hilang begitu saja. Ia menyadari ada yang lebih penting daripada permasalahan asmara ataupun gengsi. Ini soal kehidupan. Hidup seseorang. Ia perlu menolong Clamidina. Peduli setan dengan nasib asmaranya. Yang terpenting, perempuan dihadapannya itu tidak patah semangat dan terjerembab dalam lumpur kemuraman. Ia enggan membiarkan hal itu terjadi selama ia ada.

"Clamidina," panggilnya halus tetapi penuh keyakinan. "Gue bakal temenin lu di kampus, bantuin lu... apa pun yang lu mau. Lu tinggal temuin gue. Tapi, lu janji sama gue kalau lu bakal tuntasin kuliah. Ya?"

"Emang lu siapa?" Clamidina bertanya sinis. "Apa urusan lu sama gue?"

Angga menggeleng. "Gue emang bukan siapa-siapanya lu. Gue hanya orang yang gak suka melihat seorang manusia tidak diperbolehkan menjadi manusia." Ia mendekati Clamidina dan duduk di sebelahnya. "Tapi, gue lebih sedih lagi kalau lu setuju sama pernyataan itu. Lu itu manusia hebat. Gak seharusnya lu kayak gini."

Clamidina menoleh. Angga tersenyum.

"Demi kebaikan lu," katanya. "Boleh, ya?"

Clamidina tertegun menatap wajah Angga. Dua bola mata Angga. Dia seolah mengetahuinya. Sebuah ketulusan; dia merasakannya begitu kuat memancar dari sana. Dia tampak yakin akan penglihatannya. Benar-benar yakin.

Tanpa menunggu waktu, dia segera melekapkan tubuhnya ke arah Angga dan memeluknya. Angga pun refleks membalas pelukan.

Clamidina tersenyum. Itu adalah pelukan terhangat dan termurni dari seseorang di luar relasi keluarganya yang pernah dia rasakan setelah sekian lama.

-----

Terik pagi menyengat tubuh Clamidina dan Angga yang berdiri di atas trotoar di dekat kos Angga. Mereka sedang menunggu pengojek motor yang akan mengantar Clamdinia pulang ke rumahnya.

Tak lama, pengojek yang ditunggu tiba. Clamidina segera menaiki motor tersebut.

"Terima kasih, ya?" ujarnya. "Nanti kalau ada apa-apa, gue telepon nomor lu."

Angga mengangguk. "Sama-sama. Hati-hati."

Clamidina tersenyum. Motor pun melaju meninggalkan kos Angga. Angga tersenyum. Hari ini begitu indah.

-----

Terik siang membakar tubuh-tubuh manusia yang terduduk di hamparan hijau taman kampus. Beberapa dari mereka tengah memegang laptop ataupun ponsel. Bising percakapan membaur dan menyaru menjadi sebentuk suara yang tak jelas. Angin yang bersemilir kencang senantiasa menggerakan helai rambut mereka. Angga mengamati itu semua dengan lesu. Ia tengah menunggu teman-temannya yang sudah berjanji untuk kerja kelompok di sana. Sudah setengah jam, tetapi, tidak ada satu pun batang hidung temannya yang terlihat hingga sekarang. Ia masih koteng di antara kerumunan itu. Terisolir dan terpinggirkan.

"Sendirian saja."

Angga menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya nyaris melesat keluar dari sarang. Dia tak percaya apa yang sedang dilihatnya. Clamidina.

"Eh, la- lagi ngapain?" tanyanya terbata.

Clamidina mengedikkan bahu. "Lewat saja, terus ngeliat lu."

"Oh." Angga menggarukan kepalanya yang tidak gatal. Ia ingin berbincang lebih tetapi tidak tahu apa yang ingin dibicarakannya.

"Lu sendiri lagi ngapain?"

"Tunggu teman kerja kelompok. Ngaret semua."

Clamidina tertawa kecil. Angga tersenyum.

Lalu, hening. Tampak tak ada yang menyalurkan niat berbicara. Angga terlalu sibuk meladeni keantusiasannya karena dihampiri Clamidina hingga terlupa melanjutkan perbincangan. Tanpa disadari, Clamidina justru terjebak di dalam kerikuhan yang diciptakan Angga itu. Dia seolah ingin segera mengakhirinya.

"Kayaknya gue ganggu lu, deh," katanya pelan. "Gue tinggal saja, ya?"

Angga membalasnya dengan tersenyum. Clamidina berjalan meninggalkan Angga. Angga merutuk dalam hati. Apa yang tadi dipikirkannya tak sejalan dengan sasmita yang ia keluarkan. Ia ingin mengajaknya jalan bersama. Tetapi, ia tak berkutik. Mulutnya seakan mogok berbicara.

Clamidina terus menjauh. Batin Angga berteriak, ajak dia jalan... ajak dia jalan... ajak dia jalan...

Ia tersentak. Clamidina sudah mulai menghilang dari pandangan matanya. Ia segera berlari tunggang langgang mengejar Clamidina.

"Clamidina!"

Clamidina menghentikan langkah dan berbalik. "Iya?"

Angga berhasil mendekati Clamidina. Nafasnya terputus-putus karena kelelahan setelah berlari. "Mmm..."

Clamidina menunggu. Tetapi, Angga hanya bergumam selama satu menit.

"Gue pergi aja kalau-"

"Kapan-kapan kita jalan, yuk?" tanya Angga cepat seperti berondongan peluru. Akhirnya. Ia bernapas lega seperti seorang penderita sembelit baru berhasil mengeluarkan feses.

Clamidina tersenyum kecil. Angga begitu kikuk. Dia tampak gemas melihat tingkahnya. "You ask me for a date?"

Angga menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kaku berulang kali. "Gak. Gak. Not that kind of a date." Ia menyengir. "A friendship date."

Clamidina tertawa kecil. "Gak usah nervous." Dia mengelus-elus bahu Angga. "It's ok. When?"

"Jadwal kosong kamu kapan?" tanya Angga.

Clamidina berpikir. "Minggu saja, ya? Kamu pasti kosong juga hari itu."

"Ok. Aku nanti jemput ke kosmu dulu, ya? Jam sepuluh pagi?"

"Jemput ke kos jam sepuluh pagi," jawab Clamidina mengulang. Angga tersenyum. Hatinya berbuih dalam kemenangan. Ia telah berhasil mengajak Clamidina jalan bersamanya.

"Well," ucap Clamidina, "sampai ketemu nanti." Dia perlahan pergi meninggalkan Angga.

Angga tidak bisa menyembunyikan senyum yang terus mengembang di pipinya. Ia ingin melantangkan kegembiraannya saat itu juga. Namun, ia menyadari kalau dirinya tengah berada di taman kampus. Akan lebih baik jika mulutnya diberangus daripada wajahnya harus tersembur malu.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd