Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

MBAK GITA DAN MAS ANGGA (CUCKOLD INSIDE)

Aswasada

Suhu Semprot
Daftar
23 Jun 2022
Post
3.003
Like diterima
28.708
Bimabet
Cerita ini hanya fiktif belaka, sangat ngawur dan tidak ada alur. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.​

-----ooo-----​

Namaku Abimanyu Gading Giandra. Teman-teman sering memanggilku ‘Abi’. Aku mahasiswa jurusan hukum semester akhir di sebuah universitas negeri ternama, di sebuah kota yang dijuluki ‘Kota Pendidikan’ atau ‘Kota Pelajar’. Aku tinggal di komplek perumahan BTN yang sederhana, terdiri atas dua kamar saja. Aku tinggal sendiri di sana, sudah hampir lima tahun aku menempatinya, karena sebenarnya aku bukanlah asli orang Yogyakarta. Dalam KTP milikku, aku adalah warga DKI Jakarta. Di kota pelajar ini aku adalah perantau.

Belakangan ini aku sangat sibuk dengan kuliahku. Menyusun semua proposal yang akan aku serahkan ke dosen pembimbing. Aku juga sibuk dengan berbagai kegiatan sosial di kampus. ‘Pemuda tampan yang aktif’. Ya, begitulah orang-orang menilaiku. Aku hanya tersenyum dengan senyuman yang paling manis saat mendengar pujian itu. Memang tak berlebihan mereka menyebutku seperti itu, sebab aku rasa wajahku cukup tampan dan beberapa wanita pun tertarik padaku karena wajahku. Tubuhku sangat proporsional bahkan banyak yang mengatakan seksi, dengan tinggi 175 cm dan berat badan 67 kg, dada bidang, perut rata tanpa lemak, dan jangan lupakan otot perut yang berbentuk persis seperti roti sobek.

Sekitar tiga bulan yang lalu, aku mempunyai tetangga baru persis di depan tempat tinggalku. Sebuah keluarga yang terdiri atas suami-istri dan satu orang anak yang masih duduk di kelas 4 sekolah dasar. Si suami bernama Mas Angga dan si istri bernama Mbak Gita. Kutaksir keduanya berusia di sekitaran 35 tahunan. Hanya beberapa hari setelah pindahan mereka, aku langsung akrab dengan tetangga baruku itu. Dan jujur, alasan aku mengakrabkan diri pada mereka adalah karena aku mengagumi kecantikan Mbak Gita.

Cantik memang relatif. Tiap laki-laki mempunyai kriteria cantik menurut mereka masing-masing. Begitu pun penilaianku terhadap Mbak Gita. Walaupun aku sadar masih banyak wanita yang lebih cantik dari Mbak Gita, namun aku menganggap Mbak Gita adalah wanita tercantik yang pernah aku temui. Fitur wajahnya sangat eksotis, rambut panjang sebatas bahu, tubuhnya sedikit gemuk tetapi padat, buah dadanya begitu bulat proporsional dengan ukuran kira-kira 34 C, pinggulnya bak gitar spanyol, dan pantatnya bulat menyenangkan sekali untuk dipuja dengan kecupan. Intinya, aku sangat mengagumi setiap inci tubuh Mbak Gita. Wanita itu benar-benar menjadi khayalanku hampir setiap malam.

Di sebuah pagi yang indah, aku melihat Mbak Gita berjalan menyusuri koridor kampusku. Dia terlihat seperti orang kebingungan. Wanita itu membawa tas tangan dan map plastik. Langkahnya agak tersendat-sendat yang sesekali kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan. Aku segera berlari kecil menghampiri Mbak Gita. Saat aku sampai di dekatnya tampak wajah sumringah, kaget dan senyum paling indah terukir di wajahnya.

“Ah, syukurlah! Mbak nyari-nyari kamu loh ...!” Seru Mbak Gita, suaranya penuh kelegaan.

“Oh, ya? Emangnya ada apa?” Aku kaget tetapi senang pada saat yang bersamaan.

“Mbak mau daftar kelas ekstensi, tapi bingung harus kemana. Kamu mau kan nganter mbak?” Pinta Mbak Gita sangat anggun.

“Dengan senang hati. Arahnya ke sini mbak ...” Kataku sambil mulai melangkah yang diikuti Mbak Gita di sampingku.

“Luas banget kampus ini, tadi mbak sampai nyasar ke fakultas lain.” Ucap Mbak Gita.

“Lagian mbak gak bilang sama saya kalau mau ke sini. Kalau bilang kan kita bisa sama-sama dari rumah.” Kataku.

“Tadinya rencana mbak mau besok. Tapi mumpung Adinda mau ditinggal sekarang, makanya mbak hari ini datang ke sini.” Ucap Mbak Gita. Adinda adalah nama anak semata wayang Mbak Gita.

“Oh ... Adinda mau ditinggal sendirian?” Tanyaku cukup kaget.

“Ya ...” Jawab Mbak Gita sambil tersenyum.

“Baik banget ya ... Udah gitu baik dan cantik ... Kayak ...” Aku menjeda ucapanku sambil melirik Mbak Gita di sampingku.

“Kayak siapa hayo?” Mbak Gita pun melirik sambil tersenyum. Beberapa detik bola mata kami saling beradu. Terasa sekali ada rasa yanga asing dalam diriku. Menguasai hati hingga rela menjadi budak rasa.

“Em ... Seperti ibunya ...” Aku berkata lirih sembari mempertahankan senyumku.

“Gombal!” Mbak Gita mencubit lenganku tapi lemah.

Aku pun tertawa renyah melihat kegenitan Mbak Gita. Tak lama, kami sampai di ruangan tata usaha tempat pendaftaran mahasiswa baru program ekstensi. Mbak Gita segera mendaftarkan diri, sementara aku menunggu di luar ruang tata usaha. Sekitar 15 menit berselang, Mbak Gita selesai dengan urusannya. Mbak Gita menolak saat aku ajak ke cefetaria dengan alasan harus segera pulang karena khawatir meninggalkan anaknya sendirian. Maksud hati ingin sekali mengantar wanita cantik itu pulang, apa daya aku ada janji dengan dosen pembimbingku. Akhirnya aku hanya bisa mengantar Mbak Gita sampai gerbang kampus dan membiarkannya pulang dengan menggunakan taksi online.

Tetapi apa yang terjadi hari itu adalah awal kedekatan aku dan Mbak Gita. Sejak saat itu, aku lebih sering bertemu muka dengannya. Dalam rentang waktu dua minggu berikutnya, kedekatan kami semakin terbentuk. Mbak Gita sudah mulai cukup terbuka padaku mengenai kehidupan pribadinya. Hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk ‘bertindak’ ke level yang lebih tinggi. Aku mulai berani menggoda dan merayunya lebih frontal, bahkan memeluk pinggang Mbak Gita saat duduk dan ngobrol berduaan dengannya.

Pada hari Kamis sore, aku mendapat telepon dari Mbak Gita supaya aku datang ke rumahnya. Tanpa berpikir panjang, aku setengah berlari pergi ke rumahnya. Saat Mbak Gita membuka pintu, mataku melebar sempurna dengan mulut sedikit menganga. Di depanku berdiri Mbak Gita yang hanya memakai tanktop ketat berwarna pink dan hotpans yang sangat pendek. Mbak Gita hampir seperti hanya mengenakan pakaian dalam. Syarafku mengirim impuls ke otak dan menciptakan gelenyar hawa birahi melingkupi seluruh tubuhku.

“Kok malah bengong? Ayo masuk!” Ujar Mbak Gita sembari menarik tanganku.

“Luar biasa ...” Gumamku pelan tapi aku yakin Mbak Gita mendengarkan gumamku.

“Duduklah! Aku buat kopi dulu.” Perintah Mbak Gita.

Aku pun duduk sambil terus memperhatikan body superb milik wanita cantik itu. Aku pandangi tubuh belakang Mbak Gita, indah sekali. Badannya seksi dan padat, pinggulnya meliuk-liuk cantik saat dia berjalan bak model profesional, pantatnya begitu bulat montok membuat tergoda untuk menepuk dan bahkan meremasnya. Pemandangan itu membuat darah kelelakianku berdesir tanpa diminta. Kejantananku pun makin lama makin menegak dan terasa sesak di celanaku.

“Aku sendirian di rumah, jadi kesepian deh ...” Mbak Gita berterian dari arah dapur.

“Memangnya pada kemana?” Tanyaku yang juga agak berteriak.

“Papanya Adinda dinas luar kota sampai sabtu. Adinda dibawa neneknya menginap.” Jawab Mbak Gita.

“Wow!” Kataku spontan.

“Apanya yang wow?” Tanya Mbak Gita sembari berjalan membawa gelas kopi mendekatiku.

“Aku bisa dong menginap di sini?” Candaku tapi berharap.

“Hi hi hi ... Kamu mau?” Mbak Gita malah seperti menantangku.

“Tentu saja ... Siapa yang akan menolak tidur dengan wanita cantik dan seksi seperti mbak ...” Aku semakin berani.

“Hi hi hi ... Siapa juga yang mau tidur denganku?” Mbak Gita meletakkan gelas kopi di atas meja sambil mengedipkan sebelah mata. Aku tidak pernah melihat Mbak Gita seperti ini sebelumnya, tetapi aku menemukan dia benar-benar genit hari ini.

Tanpa ragu lagi, aku mengambil tangannya dan berkata, “Ijinkan aku tidur denganmu ...”

Mbak Gita hanya tersenyum yang dikulum. Wajahnya menunduk dan rona merah terlihat di wajah cantiknya. Sikap yang diperlihatkan Mbak Gita seperti itu merupakan ‘lampu hijau’ buatku untuk memulai tindakan. Kugeser dudukku agar lebih merapat pada tubuhnya, lalu kuambil dagunya, mengelusnya pelan, sambil menatapnya dengan tatapan penuh hasrat. Kami saling menatap dan entah siapa yang memulai, tahu-tahu bibir kami sudah saling melumat. Bibirnya basah hangat, rasanya manis. Kami terus berciuman, hanya jeda sejenak untuk mengambil oksigen dari udara. Kini tangan Mbak Gita memeluk erat punggungku, dan tanganku memeluk erat tubuh seksinya.

Tak ada kata-kata yang terucap, hanya tubuh kami yang bergerak. Aku yang cukup berpengalaman menempatkan mukaku di leher Mbak Gita. Setelah itu aku jilat lehernya dan aku tidak menyangka Mbak Gita akan mendesah pelan, "Aaaahhhh..." Kuteruskan jilatan liarku hingga ke telinganya. Wanita seksi itu seperti kewalahan tetapi tetap pasrah.

"Enak mbak?" Sambil aku melihat muka Mbak Gita yang cantik di umurnya sekarang.

“Kamu lihai juga ...” Mbak Gita terlihat sudah sangat nafsu dan nafasnya tak tentu.

“Mbak sangat seksi. Aku sudah lama menginginkan tubuh mbak.” Kataku dengan tangan menangkup di kedua pipinya.

“Kenapa kamu gak bilang? Coba kalau bilang, mbak pasti akan memberikannya.” Desah Mbak Gita begitu nakal dan merangsang.

Kami pun bertatap mata lagi dan kudekatkan mukaku ke muka Mbak Gita yang mulus tanpa cacat. Dia pun tahu dan langsung membuka mulutnya. Kami berciuman begitu panas, lidah bertemu lidah, gigit saling menggigit, desahan demi desahan. Aku akui Mbak Gita hebat dalam ciuman.

“Kamu jangan sungkan ...” Katanya sesaat setelah melepas ciuman.

Tanpa aba-aba, Mbak Gita menidurkan aku di sofa dan dia menindihku dengan tubuh seksinya. Dia menciumku dengan sangat ganas. Dia juga menciumi semua bagian mukaku, kemudian dilanjutkan dengan kecupan dan jilatan di leher. Aku benar-benar menikmati keganasan Mbak Gita ini. Setelah puas dengan mukaku Mbak Gita mendudukan aku, dan dia duduk di pangkuanku.

“Aku ingin ngewe denganmu. Aku harap kamu tidak mengecewakanku.” Ucapnya terdengar agak kejam.

Aku pun tersenyum dan menjawab, “Aku jamin mbak akan ketagihan samaku.”

“Kalau begitu ... Kita pindah ke kamar ...” Ucap Mbak Gita sembari turun dari pangkuanku.

Kami pun pindah ke kamar. Di sana, kami saling menelanjangi. Penisku yang sudah tegak dan keras langsung menjadi mainan mulut Mbak Gita. Mulutnya langsung mengulum seluruh penisku. Aku heran juga dengan perlakuan Mbak Gita. Dia sangat mahir mengulum penisku. Lidahnya memutari seluruh batang penisku. Terkadang ia melepas kulumannya dan lidahnya menjulur berputar pada batang penisku. Lidahnya turun hingga buah zakar. Tangan Mbak Gita menggenggam penisku sambil lidah Mbak Gita menjilati buah zakarku. Aku cukup kaget apa dengan yang dilakukan oleh Mbak Gita.

“Uuughh ... Mbaakkk ...” Aku melenguh ngilu-ngilu sedap.

Mbak Gita langsung memasukkan penisku ke dalam mulutnya lagi. Mulutnya terasa sangat hangat dan sempit. Lidahnya mulai bergerak dari bawah batang penis hingga samping penisku. Kepalanya ikut berputar hingga lidahnya dapat melingkari penisku. Kepalanya mulai maju mundur dengan lidahnya yang melingkar pada batang ereksiku.

"Oouuuggghhh gila ... Uudaaah ..." Aku memekik pelan.

Mbak Gita pun melepaskan penisku dari mulutnya, "Hi hi hi ... Gimana rasanya Abi?" Katanya sambil tersenyum menggoda.

"Hebat ... Mbak hebat ..." Jawabku.

Dalam posisi setengah menungging, Mbak Gita memutar badannya. Dia menumpukan setengah badannya di kasur. Pantat bohainya sekarang berada di depan penisku. Kedua kakinya agak mengangkang membuat pantatnya terlihat lebih bulat. Kepalanya yang menumpu kasur membuat pinggulnya sedikit terangkat.

"Ayo Abi, giliranmu..." Kata Mbak Gita sambil menatapku dari balik bahunya. Tangan Mbak Gita menggenggan penisku sambil mengarahkan di lubang yang tepat. Tak pakai lama, aku segera mendorong kejantananku hingga perlahan memasuki lubang kenikmatan miliknya.

"Aaaaaaahhh.... sssssshhh..." Mbak Gita mendesis ketika penisku mulai masuk ke dalam vaginanya. Aku mendiamkan penisku sebentar di dalam vagina Mbak Gita. Aku merasakan hangatnya dinding vagina itu yang menjepit penisku.

“Hei! Gerakan!” Pinta Mbak Gita tak sabar.

Aku tersenyum sembari mulai menggerakan pinggulku. Keperkasaanku masuk dan keluar dalam vagina Mbak Gita. Desahan wanita itu terus keluar dari mulutnya. Aku semakin menambah kecepatan genjotan. Kakiku sedikit diangkat sehingga penisku tegak lurus ke bawah memompa vaginanya. Genjotan kencangku membuat Mbak Gita semakin tidak kuat lagi mengeluarkan cairan kenikmatannya. Dinding vaginanya yang semakin licin membuatku terus menggenjot vagina itu kencang.

Serangan batang kejantananku kulakukan semakin cepat, dengan gerakan berubah-ubah baik dalam hal sudut tembakannya, maupun bentuknya dalam melakukan penetrasi. Kadang lurus, miring, juga memutar, membuat Mbak Gita benar-benar seperti orang kesurupan. Wanita ini kelihatanya sudah total lupa diri. Tangannya mencengkram sprei sangat erat, lalu mendadak kepalanya terangkat ke atas, matanya terbeliak.

"Abbiiii... Pipiiiissss..."

Mbak Gita pun orgasme. Vaginanya seperti menyemprot penisku yang ada di dalamnya. Aku hanya tersenyum dan terus menggenjot vagina Mbak Gita. Pinggul Mbak Gita aku pegang sebagai pengendali kecepatan. Pinggul itu aku tarik ketika penisku menyodok masuk.

"Aabbiiii ... Daleeem bangeeet..... Ooooh..."

"Enak kan?" Candaku sambil terus menggenjot.

"Enaaaaaakk ... Aaaaaahhh....."

Aku pun berhenti sejenak dan mengangkat bahu Mbak Gita. Badannya yang terangkat aku kunci di bagian leher dan dadanya menggunakan lenganku. Mbak Gita seperti terikat oleh badanku. Libido Mbak Gita yang naik kembali membuatku menggenjot semakin kencang vaginanya. Kuncian lenganku terasa sangat kencang ketika penisku menggenjot maju dan mundur.

"Abbiii... Lagiii..." Mbak Gita dihantam orgasmenya lagi. Gerakan keluar-masuk batang kejantananku kutahan dan hanya memutar-mutarnya, mengaduk seluruh liang sanggama Mbak Gita, agar bisa menyentuh dan menggilas bagian-bagian sensitif di sana. Wanita berpinggul besar ini meregang dan berkelonjotan berulang kali, dalam tempo waktu sekitar dua puluh detik. Semuanya kemudian berakhir.

“Aaaahhh ... Gila ... Kontolmu enak banget, bi ...” Ucap Mbak Gita disela engahannya sambil tersenyum.

“Jadi gimana? Apakah aku memuaskan?” Tanya candaku sembari membelai-belai bokongnya yang bulat dan mulus.

“Ya ... Aku akan ketahihan kontolmu ...” Ujar Mbak Gita sambil tersenyum.

"Kalo gitu .... Aku akan memberi mbak kenikmatan lain yang lebih nikmat." Kataku sambil melepaskan pertautan kelaminku.

Dalam posisi yang sama, aku menarik kaki Mbak Gita yang masih menungging dengan tangan yang menumpu di kasur. Posisi kakinya yang lebih tinggi membuat badannya miring ke bawah dengan kepala lebih rendah. Bukannya menancapkan penis, aku malah mengocok vagina Mbak Gita dengan kedua jari untuk memancing squirt Mbak Gita.

"Mbak tahu squirt kan ... Ayooo tunjukiiin ..." Kataku dengan dua jari tangan mengocok vaginanya.

"Aaaaah.. Abiiii... oooouuugghhh......"

"Ayo mbak ..." Kocokanku semakin cepat.

“Aaaaaccchh ... Aaabbiiiiii ... Keelluuaaaarrrrrr ...!!!” Tak lama, badan Mbak Gita pun bergetar hebat. Kakinya menekuk. Vaginanya menyemburkan cairan banyak sekali sampai-sampai membasahi tubuhku. Beberapa detik berselang, Mbak Gita pun lemas. Kakinya menekuk hingga badannya ambruk ke bawah. “Anjing ... Enak banget ...!” Lontaran kata kasar keluar dari mulutnya.

“He he he ... Percayalah mbak ... Aju bisa membuat mbak pingsan keenakan ...” Kataku bangga.

“Sialan ... Aku gak akan kalah ...!” Pekik Mbak Gita sambil berdiri. “Sekarang giliranku. Berbaringlah di atas kasur!” Katanya sambil melotot.

Aku pun berbaring terlentang di atas kasurku dan membiarkan Mbak Gita menaiki tubuhku. Tangannya mengambil penisku untuk masuk tepat di vaginanya. Penisku kembali masuk penuh ke dalam vagina Mbak Gita. Diam sebentar, Mbak Gita mengatur nafasnya. Kaki wanita itu yang lemas membuatnya hanya menekuk di samping kakiku. Tak sabar, aku menggoyangkan pinggul Mbak Gita maju dan mundur. Sensasi vagina itu sangat terasa bagiku. Dinding vaginanya yang menjepit membuat kepalaku mabuk kepayang. Payudara yang bergoyang itu membuat pemandanganku semakin sempurna. Bentuk payudara yang bulat dan kencang membuatku semakin bernafsu.

Tiba-tiba Mbak Gita bergerak brutal di atas penisku. Badannya bergerak maju mundur diselingi gerakan naik turun seperti menaiki rodeo. Tangannya menyambut tanganku yang menjadi tumpuannya. Kakinya yang dari tadi lemas sekarang mendapatkan energi lebih. Kakinya ikut bergerak membantu gerakan naik turunnya. Badannya terus bergerak maju mundur sambil naik dan turun diatas penisku. Gerakan Mbak Gita sangat liat sehingga aku sedikit kewalahan. Nafasku pun semakin kencang untuk mengimbangi gerakan Mbak Gita.

“Oooh.. Mbak ... Ennaakk sekaliii ...” Kataku yang kini meremasi payudaranya.

“Hi hi hi ...” Mbak Gita malah tertawa kecil sambil terus bergerak lincah.

Tiba-tiba Mbak Gita berdiri dan berjongkok membelakangiku. Pantatnya yang bulat menjadi pemandangan indah dari belakang badannya. Tangan Mbak Gita menuntun penisku kembali masuk ke dalam vaginanya. Aku memposisikan badanku setengah duduk dengan bertumpu pada tangan. Mbak Gita kembali bergerak brutal. Kali ini gerakannya berganti memutari penisku yang sudah masuk seluruhnya ke dalam vaginanya. Mbak Gita memuta pinggulnya yang dibarengi dengan naik dan turun di atas penisku. Gerakan itu malah membuatku semakin kewalahan. Penisku yang mulai berkedut membuatku semakin dekat dengan puncak kenikmatannya.

"Aaaah ... Aku sebentar lagiii nih mbaakk..." Kataku menahan gejolak yang hebat di perutku.

Aku akhirnya mengambil alih gerakan Mbak Gita. Aku tekuk kakiku ke atas dan menarik tubuh Mbak Gita untuk menindihnya. Mbak Gita yang kaget hanya pasrah dengan aku yang menggejotnya lagi. Penisku bergerak kencang memompa vagina Mbak Gita. Otot vagina yang mulai berkedut membuat Mbak Gita seperti merasakan orgasmenya lagi.

"Abbiii.... Keluuaar lagiiii...."

Mbak Gita pun mencabut penisku dan menyemprotkan cairan orgasmenya lagi. Tanpa menunggu squirt Mbak Gita selesai, aku kembali menempatkan penisku di dalam vaginanya. Tangan Mbak Gita yang lurus ke bawah menumpu badannya. Badanku yang telentang dengan kaki mengangkat badan Mbak Gita membantu tumpuan Mbak Gita dengan tanganku yang memegang pinggangnya. Pompaanku sangat kencang. Buah zakarku ikut bergerak menandakan aku memompa vagina Mbak Gita dengan cepat. Payudara Mbak Gita pun ikut menghentak ke atas dan ke bawah. Mbak Gita terus mendesah kencang dengan pompaan penisku.

"Abbiiiiii......" Teriak Mbak Gita.

"Aku keluaar mbbaakkk...."

"Jangan cabuutt Abiii...."

Mbak Gita merasakan orgasmenya lagi. Badannya menegak membuat penisku menancap penuh dan tidak dapat keluar dari vaginanya. Otot vaginanya terasa menjepit penisku supaya tidak lepas.

"Aaaaaakkkhhhh...." Teriakku.

Aku mendorong tubuh Mbak Gita sehingga badannya menjadi setengah menungging. Tangan Mbak Gita pun aku tarik ke belakang untuk membantuku menggenjot vaginanya.

"Aakuuu tanggaaal aman kok bbiiii....."

"Beneran niih?" Tanyaku.

"Iyaaaaa....." Teriak Mbak Gita.

Mendengar pengakuannya itu, aku malah semakin bersemangat untuk terus menggenjot Mbak Gita. Lampu hijau diberikan oleh Mbak Gita. Tangan Mbak Gita aku lepas dan sekarang aku memegang bahu Mbak Gita. Genjotanku semakin mengencang. Mbak Gita pun mendesah kencang tak karuan lagi. Rambutnya yang terhelai sekarang sudah dibuat berantakan olehku.

"Abbiii....." Kata Mbak Gita dengan vagina yang berkedut akan orgasme lagi.

"Mbbaak.. barengiiin..."

Mbak Gita yang sudah tidak kuat lagi akhirnya mengalami orgasmenya lebih dulu. Aku pun mempercepat genjotanku dan melepaskan semua kenikmatan yang dari tadi aku tahan.

"Aaaaaakkkhhh.... Mbbaaaakkk......" Erangku.

Spermaku menyeprot sangat banyak di dalam vaginanya. Mbak Gita merasa vaginanya menjadi hangat karena spermaku yang ada di dalamnya. Badan Mbak Gita langsung lemas menikmati orgasme kami barusan. Mbak Gita duduk di pinggiran kasur sementara aku merebahkan badanku di atas kasur.

"Makasih Bi..." Kata Mbak Gita yang masih duduk di pinggir kasur.

"He he he ... enak ya ... Sampe basah ini kasur." Kataku sambil menyentuh sprei yang basah akibat squirting Mbak Gita.

"Iiih jadi malu..."

"Jangan malu, itu kelebihan mbak yang gak semua orang bisa." Hiburku.

"Tapi bikin aku jadi lemes. Ini aja aku duduk pengennya tiduran."

"Ya udah sini ..." Kataku.

Mbak Gita pun menyusulku dan merebahkan badannya di sampingku. Kepalanya bersandar di dadaku. Tak lama, Mbak Gita pun menyosor bibirku yang kusambut hangat. Ciuman kami sangat lembut. Cukup lama kami berciuman, Mbak Gita akhirnya melepaskan ciuman. Dan malam ini kami bercinta seakan lupa segalanya. Saling mendesah, meresapi kenikmatan demi kenikmatan yang kami rasakan masing-masing sepanjang malam.​

...

...

...


Minggu pagi, biasanya aku akan tetap tidur sampai menjelang siang namun berbeda dengan hari ini, aku membersihkan rumah yang lumayan berantakan hingga semua tempat menjadi rapi dan bersih. Saat aku hendak mandi, tiba-tiba Mas Angga masuk ke rumahku tanpa permisi. Mas Angga membawa bungkusan dan langsung meletakkan di meja.

“Bawa dua piring dan dua sendok, Bi ... Kita sarapan nasi kuning.” Ujar Mas Angga yang sungguh membuatku terkejut karena tiba-tiba saja Mas Angga mau berkunjung ke rumahku yang sebelumnya dia tidak pernah melakukannya.

“Oh, iya ...” Jawabku masih dengan pikiran bingung. Aku bawa dua piring dan dua sendok ke depan lalu meletakkannya di meja.

“Duduklah ... Kita sarapan dulu mumpung masih anget.” Kata Mas Angga begitu santai.

Aku pun duduk di sofa tunggal dan tak lama aku dan Mas Angga menyantap nasi kuning. Entah kenapa hatiku mulai terasa tidak karuan saat melihat Mas Angga sering melirikku dengan senyuman yang sulit diartikan. Terbersit di otakku kalau Mas Angga ‘mencium’ hubungan gelapku dengan istrinya. Karuan saja, makanan yang aku telan seperti seret sebagai akibat kerongkonganku menyempit.

“Abi ... Kamu gak perlu gugup begitu. Santai aja.” Ucap Mas Angga tanpa menoleh. Dia malah meneruskan makanannya. Tentu saja, hatiku semakin gelisah. Rasanya aku bisa menebak-nebak maksud ucapannya tadi.

“Iya mas.” Kataku dibuat senormal mungkin.

“Gita cerita hubunganmu dengan dia. Gita cerita semuanya.” Aku bagai disambar geledek di tengah malam. Alangkah terkejutnya saat kedua telingaku mendengar jelas apa yang diucapkan Mas Angga. “Tapi aku gak marah, kok. Aku malah mau berterima kasih.” Lanjutnya semakin aku limbung.

“Ma..maaf ...” Lidahku seperti berhenti berfungsi. Aku sulit berkata-kata selain mengeluarkan wajah ketakutanku.

“Kamu tidak perlu meminta maaf, Abi. Aku sangat berterima kasih karena kamu sudah mau menggantikan posisiku di atas ranjang.” Ucapan tenang Mas Angga tidak lantas membuatku senang. Aku malah tambah merasa ketakutan dan khawatir.

“Mas Angga lagi bercanda, kan?” Tanyaku dan kini aku memasang mode waspada.

“Aku serius, Abi. Ayolah! Tenangkan dirimu. Aku bicara bersungguh-sungguh dan apa adanya. Demi apapun aku senang kamu bisa ngentotin Gita.” Katanya yang kini dengan tatapan bersahabat.

“Ta..tapi ... Kenapa?” Tanyaku yang belum lepas dari kegugupanku.

“Karena aku tidak bisa melakukannya. Aku impoten.” Ungkap Mas Angga yang entah untuk keberapa kali aku terhenyak.

“Mas ... Jangan main-main ...” Kataku masih menyangsikan ucapannya.

“Benar, Bi ... Aku tidak bisa memenuhi kebutuhan seks istriku karena aku impoten.” Kata Mas Angga lagi serius sekali.

Aku termenung dengan mata menatap mata pria di dekatku itu. Aku ingin melihat kejujuran dari sana karena aku masih belum sepenuhnya percaya. Mas Angga tersenyum ramah lalu meneruskan makannya. Dilihat dari gesturenya kini aku tahu kalau Mas Angga berkata yang sebenarnya.

“Tapi aku harus minta maaf.” Kataku setelah bisa menguasai perasaanku sendiri.

“Untuk apa?” Tanyanya dengan nada bercanda.

“Seharusnya aku tidak melakukannya karena bagaimana pun juga itu akan menyakitkan Mas Angga.” Jawabku.

“Tidak sama sekali, Bi ... Karena Gita telah memberitahukan sebelumnya kalau dia ingin ngentot sama kamu. Santai aj, Bi ... Semua ada dalam kendali.” Ungkap Mas Angga yang lagi-lagi membuatku terperangah.

“Sebenarnya ... Apa yang terjadi?” Tanyaku lagi. Aku sangat penasaran oleh kehidupam Mas Angga dan Mbak Gita.

“Seperti yang aku bilang tadi, aku impoten. Koreksi, aku masih bisa tegang tapi tak lama. Setiap akan baru mulai, juniorku langsung layu. Itu terjadi sudah dua tahunan. Aku sudah periksa ke dokter dan pengobatan alternatif, tapi tak ada hasil. Celakanya, aku sangat mencintai Gita dan aku tak ingin kehilangannya. Sebagai ganti atas kelemahanku, akhirnya aku menyarankan pada Gita untuk mencari laki-laki yang dia suka untuk menggantikan aku di ranjang. Jujur, kamu bukanlah laki-laki yang pertama bersama Gita, bahkan sekarang pun Gita sedang berhubungan dengan laki-laki lain selain kamu.” Tutur Mas Angga panjang lebar. Sekarang aku mengetahui duduk persoalannya.

“Aku mengerti sekarang ... Tapi aku harus tetap meminta maaf. Aku mohon, maafkanlah aku.” Kataku agak memelas.

“Ya, aku maafkan karena kamu memaksa.” Jawabnya dengan senyuman tipisnya.

Kami pun akhirnya berbincang-bincang tentang latar belakang dan pengalaman hidup kami. Tak lama, Mas Angga berpamitan dan aku pun segera membersihkan badan di kamar mandi. Setelah merasa rapi, aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Mas Angga untuk meminta klarifikasi kepada Mbak Gita. Kebetulan mereka sedang bersantai dan menonton televisi. Aku lantas ikut bergabung dengan mereka, dan aku duduk di samping Mbak Gita di sofa panjang.

“Kenapa Mbak Gita gak bicara sebelumnya sama aku?” Aku langsung menodong wanita cantik di sampingku.

“Maksudmu?” Mbak Gita menoleh ke arahku, begitu juga Mas Angga.

“Iya ... Mbak Gita gak bilang kalau Mas Angga sudah diberitahu sebelumnya.” Kataku agak kesal.

“Hi hi hi ... Biar menjadi kejutan.” Canda Mbak Gita sambil terkikik.

“Bener-bener ya mbak ini.” Kataku sambil merangkul bahunya lalu menjitaki pucuk kepalanya tapi pelan dan mesra.

“Hi hi hi ... Tadi Mas Angga cerita kalau kamu ketakutan dan stress. Itu kan lucu.” Katanya lagi penuh canda.

“Itu gak lucu tau?” Kataku sembari mengeratkan pelukannya. Tanpa sengaja telapak tangan yang merangkul bahu Mbak Gita menempel di buah dada sebelah kanannya. Entah kenapa, aku refleks meremas gundukan daging yang kenyal itu. Kejadian itu tentu dilihat oleh Mas Angga yang sedang tersenyum.

“Kalian benar-benar serasi banget dan seksi.” Tiba-tiba ucapan Mas Angga menyadarkanku.

“Oh, maaf mas ... Aku agak kesal saja sama dia.” Kataku sembari melepaskan pelukan.

“Kamu ini sering sekali minta maaf. Santai saja, Bi ...” Kata Mas Angga.

“He he he ...” Aku pun terkekeh.

Kami bertiga ngobrol sambil bercanda-canda. Diam-diam aku kagum kepada Mas Angga yang mempunyai hati yang begitu lapang. Dalam obrolan itu, Mbak Gita sering mencandaiku yang dibalas dengan aku yang berpura-pura ingin menghajar wanita itu, padahal aku hanya memeluknya yang terkadang dibarengi dengan menyentuh dan meremas payudaranya. Semua dilakukan di depan mata Mas Angga. Saat tawa dan canda berlangsung, terdengar suara dering smartphone Mbak Gita. Wanita itu pun menyambar alat komunikasinya itu. Mbak Gita mengatakan kalau yang menelepon adalah ibunya. Mbak Gita pun keluar dari rumah untuk berbicara dengan ibunya karena sinyal buruk.

“Bi ...” Tiba-tiba Mas Angga bersuara sangat serius.

“Apa mas.” Jawabku sambil memandang wajahnya yang benar-benar serius.

“Waktu kamu memeluk Gita. Aku merasa horny banget. Juniorku bahkan lebih lama berdiri.” Kata Mas Angga yang sukses membuat mataku terbuka lebih lebar.

“Serius mas?” Tanyaku tak percaya.

“Ya ... Sekarang saja juniorku masih setengah keras. Jujur, aku sangat terangsang.” Kataku yang memang sarat dengan kejujuran.

“Hhhmm ... Jangan-jangan ...” Kataku sambil menatap tajam mata Mas Angga.

“Jangan-jangan apa?” Tanya Mas Angga balik menatapku tajam.

“Sebentar ... Apa Adinda ada di rumah?” Aku balik bertanya.

“Dia di rumah neneknya. Tadi itu nenek Adinda yang menelepon Gita.” Jawab Mas Angga.

Sebelum aku berkata, Mbak Gita masuk ke dalam rumah dan duduk di sebelahku lagi. Mbak Gita mengungkapkan kalau Adinda tidak ingin pulang dan dia ingin menginap di rumah neneknya. Aku menatap lagi mata Mas Angga. Seakan mata kami terkoneksi, Mas Angga pun lalu mengangguk kecil padaku.

“Mbak ... Mau kah kamu duduk di pangkuanku?” Tanyaku yang membuat Mbak Gita melotot.

“Apa-apaan sih kamu?” Suara Mbak Gita agak kesal.

“Aku hanya ingin membuktikan teoriku saja. Duduklah di sini.” Pintaku lagi.

“Duduklah di pangkuannya.” Sambung Mas Angga.

Dengan wajah bingung, Mbak Gita akhirnya bergerak dan duduk di pangkuanku. Tanpa aba-aba, tanganku merangkulnya dari belakang dengan kedua telapak tanganku menggenggam buah dadanya kiri dan kanan. Mbak Gita memekik kaget namun tak menghalau tanganku yang mulai meremasi benda bulat dan kenyal itu.

“Mbak Gita harus rileks dan nikmati ya ...” Kataku.

“Sebenarnya ini ada apa?” Tanya Mbak Gita kebingungan.

“Rileks dan nikmati.” Tegasku dengan terus meremsi buah dadanya.

Terasa tubuh Mbak Gita lebih santai. Tanganku terus meremas-remas payudaranya. Gemas sekali aku dengan bukit kembar seksi itu. Sementara mataku terus memandang wajah Mas Angga yang tampak sekali sangat menikmati pemandangan yang aku buat bersama Mbak Gita. Akhirnya aku memutuskan untuk meningkatkan level pertunjukan. Tanganku dengan terampil membuka kancing kemeja yang Mbak Gita kenakan. Maka kini telapak tanganku meremas payudara Mbak Gita hanya dibalik branya. Terasa sekali kalau buah dada Mbak Gita mengeras dengan puting menegang.

Aku terus memperhatikan perubahan mimik Mas Angga yang semakin menampakan peningkatan libidonya. Aku berbisik pada Mbak Gita kalau suaminya sangat terangsang. Entah apa yang ada dalam pikiran Mbak Gita, tiba-tiba saja wanita itu melepaskan kemeja dan branya. Sekarang aku meremasi payudara Mbak Gita tampa penghalang. Mbak Gita pun bermain peran, dia pura-pura mendesah dan mengerang. Faktanya adalah wajah Mas Angga semakin memerah dengan sedikit keringat di keningnya.

“Abi ... 69 yuk ...?!” Pinta Mbak Gita sangat genit.

“Di sini?” Tanyaku yang juga sedang berdrama.

“Gimana kalau di kamar saja biar leluasa.” Jawabnya.

“Siapa takut ...” Kataku.

Mbak Gita beranjak dari atas tubuhku. Dia berjalan lenggak-lenggok bak peragawati dengan bagian atas tubuhnya tak tertutupi sehelai benang pun. Saat melintasi Mas Angga, tangan Mbak Gita mengusap pipi suaminya. Aku pun lantas berdiri dan berjalan mengikuti langkah Mbak Gita menuju kamar. Saat aku akan melintasi Mas Angga, aku berbisik agar dia ikut ke dalam kamar. Aku dan Mas Angga pun melangkah memasuki kamar.

“Mas duduklah di sini.” Kataku sambil mengambil kursi dan menempatkannya di sisi ranjang. Pria itu seperti kerbau dicocok hidungnya, dia mengikuti perintahku.

Aku segera melucuti pakaianku sendiri hingga benar-benar bugil. Pada saat yang sama Mbak Gita pun melepas rok dan celana dalamnya. Aku naik ke atas ranjang dan berbaring terlentang. Setelahnya, Mbak Gita menaiki tubuhku dengan posisi terbalik. Dia menempatkan selangkangannya di mukaku. Langsung saja lidahku berputar-putar di vaginanya, dan Mbak Gita dengan rakusnya ‘melahap’ penisku. Entah berapa lama, aku dan Mbak Gita bermain-main dengan posisi 69 ini. Dan aku tak tahu apa yang terjadi karena wajahku terhalang oleh selangkangan dan paha Mbak Gita. Namun yang terjadi adalah kini Mbak Gita sedang ‘melahap’ dua penis, penisku dan penis Mas Angga.

“Oooohhh ...” Terdengar lenguhan nikmat keluar dari mulut Mas Angga.

“Sepertinya papa sudah siap.” Terdengar suara Mbak Gita.

“Ya ...” Jawab Mas Angga.

Mbak Gita pun bangkit. Wajahku kini terbebaskan. Kulihat penis Mas Angga tegak berdiri dengan kokoh. Aku menggeser sedikit badan membuat ruang untuk Mbak Gita berbaring terlentang. Mas Angga menaiki ranjang lalu mengatur posisinya di atas tubuh Mbak Gita. Kulihat penis pria itu yang lumayan besar dan panjang mulai menembus kelembutan lubang kenikmatan Mbak Gita.

“Oooohh ... Sayang ...” Lenguh Mbak Gita.

Mas Angga pun mulai memompakan pinggulnya untuk menggerakan penis miliknya bolak-balik di lorong cinta Mbak Gita. Aku tidak ingin menonton. Segera saja aku bangkit dan menyodorkan penisku ke mulut Mbak Gita. Wanita itu pun mulai melakukan pekerjaan mulut pada penisku, sementara tanganku meremas-remas payudaranya.

“Enak sekali mulutmu, mbak.” Kataku mendramatisir yang bertujuan untuk mempertahankan libido Mas Angga.

“Eemmpphh ...” Mbak Gita menjawab dengan gumaman karena mulutnya tersumpal oleh penisku.

“Mas ... Ini susunya jangan dianggurin.” Kataku sembari meremas buah dada sebelah kiri Mbak Gita.

Sambil terus menggenjot, tangan Mas Angga meremas buah dada Mbak Gita sebelah kanan. Aku bisa melihat kalau Mas Angga sedang mempertahankan ereksinya. Langsung saja aku memberikan motivasi agar Mas Angga rileks dan menikmati persenggamaannya. Terkadang aku dan Mbak Gita berbicara mesum yang kasar agar bisa terus membangkitkan rangsangan seksual pada Mas Angga. Menit demi menit berlalu, Mas Angga ternyata mampu mempertahankan ereksinya, bahkan kini tampak lebih rileks. Penis Mas Angga bergerak keluar masuk vagina Mbak Gita yang basah. Penis Mas Angga ikut basah terlumasi oleh cairan vagina milik Mbak Gita.

“Oooohhh ... Aaakkkuuu ...” Tiba-tiba Mas Angga berteriak.

Ternyata Mas Angga sampai di puncak kenikmatan. Dia menggeram hebat seakan hendak melepaskan nyawa. Tubuhnya tegang, setegang-tegangnya. Terlihat otot-otot lehernya keluar karena menahan perasaan nikmat yang ia tahan. Tak lama, tubuh pria itu melemas.

“Sayang ...” Lirih Mbak Gita sambil tersenyum.

“Aku bisa ...” Balas lirih Mas Angga.

“Mudah-mudahan sembuh permanen.” Kataku.

“Ya ... Mudah-mudahan papa sembuh.” Sambut Mbak Gita sambil bangkit dan duduk di atas kasur.

“Aku juga berharap begitu ...” Mas Angga merespon dengan suara riang.

“Apakah masih sanggup berdiri?” Tanyaku bercanda.

“Aku tidak tahu ... Tapi perlu dicoba.” Jawab Mas Angga sambil tersenyum.

“Baiklah kalau begitu.” Kataku sambil memerintahkan Mbak Gita menaiki tubuhku.

Tangan Mbak Gita membantu penisku untuk berada di tempat yang seharusnya. Wanita itu mulai menurunkan tubuhnya dan tak ayal lagi penisku termakan oleh vaginanya. Mbak Gita mulai menggerakan pinggulnya. Ia memejamkan mata menikmati penyatuan dua kelamin kami. Tanganku memegang pinggul Mbak Gita yang sedang bergerak. Melihat wajahku yang keenakan, Mbak Gita menambahkan temponya. Kami terus memburu kenikmatan. Denyutan pada otot-otot kemaluan kami saling memberikan kenikmatan ekstra. Setelah kurang lebih lima menit, aku melihat penis Mas Angga menegang walau belum maksimal.

“Oh mas ... Memek istrimu enak sekali ...” Aku coba memanas-manasi Mas Angga.

“Aaahh ... Paaa ... Kontol ini ... Eeennnaakk sekalliiii ...” Ujar Mbak Gita setengah mendesah.

Tak lama, penis Mas Angga kembali tegang sempurna. Rupanya libidonya naik lagi. Mas Angga pun naik ke atas ranjang dan menyodorkan penisnya ke mulut Mbak Gita. Wanita itu pun dengan senang hati menangkap penis suaminya lalu mengulum dan memerasnya. Entah sudah berapa lama, kami bertiga dalam posisi ini. Jujur, aku kehilangan hitungan. Permainan bertiga ini sungguh membuatku terlena. Begitu pula Mbak Gita yang aku rasa wanita itu telah orgasme dua kali.

“Mbak ... Aaaakkuu ... Mau ...” Kataku saat spermaku sudah berada di ujung kepala penis.

Crroott ... Crroott ... Crroott ... Crroott ...

Aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Sambil menggeram, aku muntahkan lahar panasku ke dalam vagina Mbak Gita. Badanku seperti di awang-awang. Nikmatnya bukan kepalang. Kini giliran Mas Angga yang diservice oleh Mbak Gita. Dengan posisi yang sama, Mbak Gita menunggangi Mas Angga. Aku kagum dengan ketahanan bercinta Mbak Gita yang luar biasa. Walaupun sudah beberapa kali orgasme tapi dia tetap berstamina. Dan tak lama berselang, Mas Angga pun menembakan spermanya bersamaan dengan orgasme yang dialami Mbak Gita.

“Selamat ya mas ...” Kataku.

“Terima kasih, Bi ... Terima kasih ...” Ucap Mas Angga sembari menjabat tanganku erat dengan kedua tangannya.

“Kalau papa sembuh, mama tidak akan bercinta dengan laki-laki lain.” Ucap Mbak Gita sambil memeluk suaminya.

“Papa tidak yakin, ma ... Masalahnya papa hanya terangsang kalau mama dilecehkan Abi.” Jawab Mas Angga.

“Kita lakuin sedikit-sedikit mas ... Mungkin ke depannya kita akan mendapatkan cara untuk menyembuhkan masalah Mas Angga secara total.” Kataku berusaha membesarkan hati Mas Angga.

“Ya, mudah-mudahan.” Ujar Mas Angga.

Hari minggu ini, kami habiskan untuk bercinta bertiga. Kami bercinta lalu beristirahat barang sejam atau dua jam, kemudian bercinta lagi. Untuk saat ini, Mas Angga hanya bisa ereksi jika melihat aku dan Mbak Gita bercinta. Namun bagaimana pun itu merupakan kemajuan yang dirasakan Mas Angga. Paling tidak ia bisa merasakan lagi kenikmatan dunia.

TAMAT
 
satu kata :mantap:



suwun ceritane @Aswasada
👍😎👍 story .....
lanjut bos...mungkin Gita dgn pria lain lalu cerita ke Angga secara detail dgn harapan Angga dapat horny...
Wah ini kalo dijadiin cerbung asik pasti nih.
Ceritanya bagus hu, mungkin bisa berlanjut jadi cerbung juga. Masih banyak yg bisa di explore sih
cerita bagus.. berharap jadi cerbung
Ditunggu kisah selanjutnya suhu
Cerpen nih suhu @Aswasada .

Ditunggu karya lainnya hu
Terima kasih para suhu ... Terima kasih sudah mau menilai cerita ini yang ngawur dan tak beralur. Tapi untuk menjadi cerbung kayaknya saya belum siap, takut macet di jalan. Sekali lagi terima kasih banyak untuk para suhu. Ini menjadi motivasi saya untuk membuat cerita yang lain.
:ampun:
 
Mantap Hu. Saya sdh baca 4 ceritanya suhu @Aswasada. Suka alur dan karakter tiap ceritanya. Variatif.
Khusus buat cerpen ini, sex talk nya Abi pas lg bikin suaminya Gita panas suka banget Hu. Lgsg bikin Nubie semriwing hehe...
Monggo dilanjut :beer:
 
Bimabet
Mantap Hu. Saya sdh baca 4 ceritanya suhu @Aswasada. Suka alur dan karakter tiap ceritanya. Variatif.
Khusus buat cerpen ini, sex talk nya Abi pas lg bikin suaminya Gita panas suka banget Hu. Lgsg bikin Nubie semriwing hehe...
Monggo dilanjut :beer:
He he he ... Makasih suhu @Bankonk ... Saya juga membaca komen-komen suhu di cerita lain. Kayaknya suhu seorang pengamat cerita yang mumpuni. Tapi, apakah suhu bisa juga membuat cerita? Tidak perlu cerita utuh, alurnya saja, nanti biar saya yang mengolesnya menjadi cerita utuh ...
:Peace:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd