Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Menuju Puncak ( Ritual Sex di Gunung Kemukus)

Status
Please reply by conversation.
Keren pisan si agan...silat cimande jadi inget jurus tonjok ambreg, tonjok sabeulah, kelid selup, kelid tilu....
 
Asik nih nunggu mbak dea...

Gimana scene ane soal rumah harem kedua yg isinya asih..rina..rini dan ratna Tuanku..
 
Sudah ada pov karakter lainnya jadi sedkit membuka hubungan antar karakter yang ada.
Ntar malam minggu yah.....updet dong.
 
Karya yg biikin adiksi.. kayak obat saja suhu
Gak ada sehari saja meriang badan rasanya semuA..
 
Bimabet
Chapter 3 : Dhea Sang Pengawas

"A ada yang nyari, katanya sangat penting!" kata Lilis kepadaku yang sedang asik menjilati memek indah istriku Ningsih.

"Bilang aja, A Ujang lagi istirahat." kataku enggan melepaskan menikmatan yang tersaji di hadapanku, siap santap.

"Lilis sudah bilang begitu. Tapi katanya penting banget." kata Lilis membuatku terpaksa bangun.

Aku bisa melihat kekecewaan di mata istriku Ningsih yang berusaha disembunyikannya.

"Maafin Aa ya, Sayang.!" kataku berusaha menghibur Ningsih yang harus melepaskan kenikmatan yang gagal diraihnya.

"A Ujang, gak salah." kata Ningsih berusaha untuk mengerti.

Aku segera keluar kamar menemui orang yang mencariku. Ternyata salah satu anak buah ayahku yang kulihat di lokasi pertarunganku dengan ayahku. Kedatangannya sangat membuatku terkejut dan juga ketakutan. Apa mungkin yelah terjadi sesuatu dengan Mang Karta dan Mang Udin? Tapi kalau terjadi sesuatu terhadap salah satu di antara mereka, pasti sudah ada telepon yang memberi tahukannya. Tidak perlu datang langsung yang akan memakan waktu lebih lama. Pasti ada masalah lain.

"Ada apa?" tanyaku langsung pada tujuan.

"Saya menemukan ini di markas, Kang !" kata pria itu memberikanku sepucuk surat di dalam amplop.

"Surat untuk siapa?" tanyaku heran memerima surat tersebut.

"Untuk Kang Jalu," kata pria itu.

Aku membuka amplop dan membaca surat yang ditujukan untukku masih tersegel, berarti belum dibuka. Ternyata isinya selembar kertas bertuliskan :

Kutunggu kamu di Gunung Kemukus. Ingat kombinasi yang sudah aku berikan kepadamu.

Tertanda : ayahmu.


Dan satunya lagi sebuah tiket Bis malam jurusan Solo. Apakah ini juga jebakan seperti yang ditujukan ke Mang Karta dan Mang Udin?

Lalu kenapa harus bertemu di Gunung Kemukus? Ada rahasia apa lagi di Gunung Kemukus? Sebuah jebakan barukah? Entahlah, hidupku semakin rumit. Aku terjebak dalam sebuah labirin dan aku belum bisa keluar dari dalamnya. Banyak pintu yang aku lewati tetapi aku selalu kembali ke tempat yang sama.

"Kalau begitu saya pulang dulu, Kang?" kata pria itu berpamitan kepadaku.

Aku melepas kepergian pria itu sampai pagar halaman depan, sampai orang itu hilang dalam pandanganku. Aku kembali masuk.

"Loh, tamunya mana A?" tanya Lilis yang membawa minuman ke ruang tamu.

"Sudah pulang." kataku sambil merangkul pundak Lilis.

"Jangan begini, A. Nanti gelasnya jatuh. Sana, Ningsih masih nungguin. Kasian memeknya sudah basah. Hihihj." Lilis tertawa geli membayangkan Ningsih yang masih telanjang menunggu kehadiranku.

Ingat akan hal itu membuatku tertawa geli. Kasian istriku yang telanjang pasti kedinginan di kamar Lilis yang ber AC. Aku seger masuk kamar Lilis, kulihat Ningsih menutup tubuhnya dengan selimut tebal.

"Kok sebentar amat, A?" Ningsih tersenyum menyambut kedatanganku, selimutnya dibuka sehingga tubu bugilnya terlihat menggiurkan.

"Iya, cuma ngasih surat." katak membuka seluruh pakaianku siap melaksanakan kewajibanku sebagai suami yang bertanggung jawab.

Ningsih langsung berjongkok di selangkanganku. Tanganya membelai kontolku yang baru stengah tegang. Lidahnya lincah menggoda kontolku yang secara perlahan menggeliat karena aliran darahku memenuhinya hingga ahirnya menegang sempurna mempertontonkan keperkasaannya.

Melihat kontolku yang sudah tegang sempurna, Ningsih mendorongku rebah di spring bed empuk yang selalu harum dan bersih. Ningsih merangkak naik ke atas tubuhku, kontolku dalam genggaman tangannya menuju lobang memeknya yang sudah sangat basah.

"A, ennnak...!" Ningsih tersenyum bahagia saat kontolku bersarang di dalam memeknya yang hangat dan sebentar lagi anakku akan keluar lewat lobang memeknya. Kadang aku membayangkan anakku akan keluar lewat lobang sempit yang selalu memberiku kenikmatan. Lobang yang sedang aku masuki akan meregang sangat besar saat anakku keluar nanti.

Ningsih memeluk tubuhku dengan manja, bibirnya menciumi leherku dengan pinggul yang tetap bergoyang memompa kontolku menimbulkan riak riak kenikmatan yang semakin memabukkan. Tanganku meremas pantanya yang besar dan padat.

"Ennnak, Ning. Kamu makin pinter bikin A Ujang keenakan." kataku berbisik.

"Ningsih bahagia bisa jadi istri, A Ujang." kata Ningsih tidak menggubris perkataan yang mengandung rayuan dariku. Mungkin Ningsih menganggapnya bukan sebagai rayuan. Karena aku sendiri tidak pernah bisa mengucapkan kata kata rayuan. Kadang aku heran, betapa mudahnya aku bisa menikmati tubuh para wanita yang aku kenal.

"A, Ningsih kelllluarrrrr...!" tanpa disadari, Ningsih menggigit dadaku saat badai orgasme melandanya. Tubuhbya menggeliat tanpa dapat dikendalikan.

Aku meringis menahan sakit, untung dadaku tidak berdarah. Setelah Ningsih mulai melemas setelah badai orgasmenya selesai, aku membalikkan tubuh istriku ke samping dan sekarang aku berada di atas mengambil alih kendali.

Perlahan aku mulai memompa tubuh istriku dengan lembut dan berirama. Gerakan yang disertai rasa cinta agar wanita yang aku cintai bisa merasakan kenikmatan yang maksimal.

Kami berciuman lama mengiringi kenikmatan yang mengalir ke stiap pembuluh darah kami yang mengalir ke sel sel saraf diotak, rasa nikmat yang dikirim kembali ke setiap sel sel yang tersebar di tubuh.

"Ampun A, enak amat kontol A Ujang..." kata Ningsih menggerakkan pinggulnya menyambut hujaman kontolku di dasar terdalam memeknya.

Lama kami saling berpacu memadu kasih dan memadu birahi. Pertemuan kontolku dan memeknya berpadu dengan dengus nafas kami yang semakin tidak beraturan. Kami berlomba menuju puncak kenikmatan yang semakin dekat.

"A, Ningsih mauuu kelllluarrrrr lagi...?" kata Ningsih mengangkat pinggulnya menyambut hujaman kontolku himgga terbenam sampai dasar memeknya.

"Aa juga kelllluarrrrr..!" kataku menekan kontolku sekuatnya diiringi semburan pejuhku ke dasar memeknya.

Kami berpelukan bersama mengarungi puncak kenikmatan yang tiada tara membawa kami ke langit ke tujuh.

Setelah badai orgasme reda, aku merebahkan tubuhku ke samping Ningsih yang langsung memelukku dengan mesra.

Nafasku mulai teratur, kulihat Ningsih memejamkan matanya. Aku mengelus pipinya yang halus. Tidak ada respon sama sekali. Nafasnya teratur, bibirnya tersenyum tipis. Ternyata Ningsih tertidur puas.

Perlahan aku mengangkat tangan Ningsih yang memelukku, lalu aku bangun pelan pelan. Aku teringat untuk memeriksa tulisan dalam sutat yang dikirim ayahku. Aku ingin menyamakan tulisannya dengan suratnya yang dulu yang tersimpan rapi di dalam kotak. Kotaknya tersimpan dengan aman di dalam brakas besi peninggalan Pak Budi.

Aku segera memakai pakaianku yang berserakan di lantai lalu aku berjalan membuka pintu kamar. Aku menutup pintu pelan pelan agar Ningsih tidak bangun.

Di kamar Pak Budi aku melihat Lilis menutup pintu brankas Pak Budi, dia tidak menyadari kehadiranku yang melihatnya dari depan pintu kamar yang tidak tertutup. Entah apa yang dicarinya dari brankas besi yang sekarang sudah menjadi milikku dan dia mendapatkan nomer kombinasi kunci brankas dari man? Setahuku dia tidak tahu nomer kombinasi brankas milikku.

******

Aku duduk di kursi bis yang.akan membawaku ke Solo. Kursi sampingku masih kosong, masih 15 menit lagi bis baru akan berangkat. Aku memilih naik lebih dulu sambil mengistirahatkan semua indraku yang sudah lelah.

"Permisi Kang, boleh saya duduk di dekat jendela? Itu kursi saya." suara merdu seorang wanita menyadarkanku. Aku seperti mengenal suaranya. Suara yang tidak asing buatku. Aku membuka mata dan benar.

"Bu Dhea?" tanyaku terkejut melihat Bu Dhea berdiri menatapku. Apakah ini sebuah kebetulan atau sesuatu yang sudah direncanakan sehingga Bu Dhea berada di bis yang sama yang akan membawaku ke Solo. Aku lebih yakin ini semua sudah direncanakan.

Aku memberi jalan Bu Dhea duduk di sampingku dekat dengan jendela. Aku mencium parfumnya yang lembut, parfum mahal tentunya. Aku buta sama sekali tentang parfum. Satu satunya parfum yang aku tahu adalah parfum yang biasa dipakai Ningsih dan Lilis, itupun hanya dipakai kalau akan berpergian.

Tapi bukan parfumnya yang menjadi pusat perhatianku. Melainkan pakaian yang dipakai Bu Dhea. Sangat jauh berbeda, Bu Dhea yang selalu memakai kemeja dipadukan dengan blazer warna hitam dan rok selutut kini memakai kaos berwarna biru ditutupi jaket berwarna hitam dan celana jeans yang juga berwarna hitam.

"Bu Dhea mau ke Solo juga?" tanyaku heran atau lebih tepatnya curiga. Semuanya pasti sudah direncanakan sehingga kami naelik bis yang sama dengan tujuan yang aku yakin juga sama.

Kalau benar Bu Dhea akan pergi ke Solo untuk suatu urusan, Bu Dhea bisa berangkat dari Pulogadung yang lebih dekat dari rumahnya.

"Iya, ke tempat yang Kang Ujang tuju." bisik Bu Dhea sehingga nafasnya yang hangat menerpa kulit yelingaku dan membuatku merinding geli.

Tidak ada jawaban yang bertele tele. Apakah Bu Dhea dikirim seseorang untuk mengawasiku? Seperti saat dia menemani Ningsih ke Gunung Kemukus. Lalu siapa orang yang menyuruh Bu Dhea? Waktu menemani Ningsih, Bu Dhea disuruh Pak Budi. Lalu sekarang siapa yang menyuruh Bu Dhea untuk mengawasiku. Apa ayahku yang menyuruhnya?.

"Bu Dhea disuruh Gobang untuk mengawasiku, bukan?" tanyaku tanpa basa basi.

"Pertanyaan yang mudah ditebak, bukan?" Bu Dhea tersenyum, tangannya mengusap pahaku.

"Untuk apa dia sampai mengirim Bu Dhea mengawasiku? Apa Bu Dhea selama ini bekerja untuknya?" tanyaku menatap tajam wanita cantik yang duduk di sampingku selama 12 jam ke depan.

"Bukan untuk mengawasimu, tapi untuk menuntunmu menemukan jawaban dari rahasia yang terpendam dan juga menuntunmu untuk meraih puncak yang tidak bisa didapatkan ayahmu." kata Bu Dhea lembut.

"Katakan rahasia itu?" kataku berbisik karena bangku di bis mulai penuh dan aku tidak mau ada yang mendengar. Bisa jadi yang mendengar adalah lawanku. Aku merasa gerak gerikku sekarang selalu diawasi seseorang yang aku tidak tahu ada di mana dan siapa. Tapi mereka ada di sekelilingku.

"Aku sendiri belum tahu rahasia besar itu, seperti kamu. Aku hanya ditugasi menuntunmu untuk mengetahui rahasia yang tersembunyi." kata Bu Dhea menghentikan ucapannya saat kondektur bis membagikan air mineral gelas dan snack ke para penumpang bis.

Perlahan bis mulai berjalan meninggalkan terminal.

*******

Pov Gobang

Gobang menatap album photo yang sudah mulai memudar warnanya. Photo Kokom satu satunya eanita yang pernah dia nikahi. Ada juga photo si Jalu dan ke dua adiknya ketika mereka masih kecil.

Belasan tahun dia bersembunyo dari kejaran orang itu agar keluarganya tidak terusik, hingga ahirnya dia mendengar kabar keluarganya mulai diawasi. Dan orang itu mulai menyadari kematiannya yang janggal dan pada ahirnya mereka tahu dirinya masih hidup.

Gobang terpaku menatap photo Kokom istrinya. Bukan, tapi mantan istri. Sudah belasan tahun semua orang menganggap dirinya sudah mati, belasan tahun dia tidak memberi nafkah lahir dan batin, artinya talak sudah jatuh dengan sendirinya.

"Aku mencintaimu dan kamu adalah satu satunya wanita yabg aku cintai. Maafkan aku yang sudah menghianatimu." Gobang mendesis lirih.

Pandangannya beralih ke photo anaknya Jalu atau lebih suka dipaggil Ujang. Sekarang dia sudah besar dan sebentar lagi akan mempunyai anak. Tidak percuma dia memberinya nama Jalu, anak itu sudah tumbuh menjadi pria jantan perkasa yang mampu menghadapinya dalam sebuah pertarungan terbuka. Satu satunya kelemahannya dia masih hijau dan bertarung dengan terburu buru ingin secepatnya menjatuhkan lawannya. Sama seperti Karta.

Karta, Gobang ragu bisa mengalahkan sahabatnya itu kalau saja Karta bsa mengendalikan emosinya. Masih seperti dulu, Karta sangat mudah terpancing emosinya, dia pasti bisa mengalahkannya. Sifat Karta menurun ke Jalu, mungkin karena kedekatan emosi mereka.

Ya, sejak Jalu masih kecil Gobang selalu menjaga jarak dengan anaknya. Dirinya menjadi sosok yang menakutkan untuk anaknya. Dia beranggapan dengan cara seperti itu Jalu akan tumbuh menjadi kuat dan tangguh.

Pada saat itulah kedekatan Jalu dengan Karta terjalin. Karta yang lembut dan merasa berhutang budi kepada mertuanya, memberikan kasuh sayangnya yang murni ke Jalu. Dia berubah menjadi sosok ayah yang sangat dihormati ole Jalu. Anak itu berusaha sekuat tenaga meniru Karta, bukan meniru dirinya sebagai ayahnya.

"Kang, aku sudah berhasil mengumpulkan orang orang kita yang terpecah. Kita sudah siap melakukan perang terbuka." kata seorang pria berwajah sangar yang baru saja datang mengusik ketenangannya.

Gobang menatap wajag pria yang seusia dengannya. Pria yang sudah teruji kesetiannya sejak dia masih merajai preman bersama dengan Karta. Pria yang ikut bersembunyi dan mengatur sandiwara kematiannya. Bahkan pria ini pula yang mempersiapkan rencana kembalinya ke Jakarta.

Bersambung......

Semoga berkenan dan bisa memuaskan para pembaca.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd