Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Ritual Sex di Gunung Kemukus (edisi revisi)

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
edisi revisi kayaknya lebih natural ceritanya, jadi ane ijin gelar tiker sambil jualan kentang disini ya hu...
 
mantap kang Ujang, ane setia menanti lanjutannye, tp kalo bisa ya itu, typo yg masih ada dikurangin, hehehe.

mungkin ada profreader / editor yg berminat melancarkan misi kang Ujang biar revisi cerita ini lebih yahud dibaca.

thanks
have a good time, master
 
Bimabet
Ritual Pertama




Setibanya di kamar, Mbak Wati memesan kopi pahit, kopi manis, susu dan air putih. Piring kosong untuk tempat bunga, semuanya diletakkan di meja. Dari dalam tas, Mbak Wati mengeluarkan lisong, rokok klobot dan juga daun sirih.

“Untuk sesaji, " kata Mbak Wati menjelaskan melihat tatapanku. Senyumnya tidak lepas dari bibir mungilnya. Aku hanya mengangguk, karena hal ini bukan hal asing untukku. Aku dibesarkan oleh Ibu dan Abah/kakekku serta Mang Karta yang sangat memegang teguh adat istiadat, tradisi yang rutin kami lakukan pada malam malam tertentu dan saat saat tertentu. Menaruh sesajen di tempat PENDARINGAN/ TEMPAT MENYIMPAN BERAS, selalu rutin kami lakukan. Membakar menyan, tidak pernah Abah lewatkan.

"Sudah siap, buka bajunya Jang. Kita akan melakukan meditasi dalam keadan tubuh telanjang, memohon agar semua keinginan kita terkabul." kata Mbak Wati tersenyum menatapku yang asik melihat persiapan yang dilakukan Mbak Wati. Mbak Wati membuka jilbab perlahan lahan, membuatku menahan nafas. Walau aku tahu dan selalu melihat rambut dan lehernya tapi saat ini terasa berbeda, entah apa yang membuatnya berbeda.

"Kamu kenapa Jang, ngeliat Mbak seperti itu? " kata Mbak Wati sambil menggeraikan rambutnya yang panjang dan basah, semakin menambah kecantikannya, leher yang tidak jenjang tidak mengurangi keindahan rambutnya.

"Gak apa apa, Mbak..!" jawabku berbohong, jantungku berdegup makin kencang saat Mbak Wati mengangkat bajunya perlahan sehingga aku melihat perutnya yang berlemak, tidak mengurangi keindahan tubuhnya.

"Perut Mbak, gendut ya?" tanya Mbak Wati mengelus perutnya yang berlemak, seolah ingin menunjukkan lipatan lemak yang berada di perutnya.

"Iyyyya, Mbak!" jawabku gugup dengan pertanyaan Mbak Wati.

"Ujang jahat, perutku dibilang gendut." kata Mbak Wati kembali menurunkan bajunya sehingga aku gagal melihat keindahan payudaranya yang sudah menyihirku di Sendang Ontrowulan, tentu saja hal ini membuatku panik.

"Bukkkan begitu, Mbak. Perut Mbak Wati sexy..!" kataku berusaha meredakan kemarahan Mbak Wati. Aku tidak menyangka perkataanku menyinggung perasaan Mbak Wati.

"Hihihi, kamu lucu, Jang. Dasar perjaka ting tong..!" kata Mbak Wati kembali mengangkat baju atasnya perlahan lahan berusaha menggodaku yang bisa menarik nafas lega, ternyata Mbak Wati tidak marah seperti dugaanku. Dia hanya sedang menggodaku saja.

"Mbak Wati ngeledek..," kataku cemberut, setidaknya keteganganku mulai berkurang, ketegangan yang kurasakan sejak dari Bogor.

Pandanganku kembali tertuju ke Mbak Wati yang semakin tinggi menaikkan bajunya, kembali aku menarik nafas saat payudaranya yang tertutup BH warna putih terlihat.

"Tetek Mbak, gede nggak?" tanya Mbak Wati memegang kedua payudaranya yang tidak tertampung seluruhnya oleh BH yang menurutku sangat kekecilan untuk ukuran payudara Mbak Wati.

"Gede, Mbak..!" jawabku menelan air liur untuk membasahi tenggorokanku yang tiba tiba menjadi kering.

"Kamu sudah pernah nyusu, belum?" tanya Mbak Wati mengeluarkan payudaranya dari sela sela BH, sehingga kembali aku melihat putingnya yang berwarna kehitaman terlihat mengundang seleraku.

"Dulu sering, Mbak..!" jawabku, tidak mau dianggap culun, tentu saja aku pernah mencicipi susu ibuku sampai umur dua tahun, hingga akhirnya Ibuku berhenti memberikan aku susu karena putingnya tergigit olehku saat sedang menyusui, begitu cerita yang aku dengar dari ibuku.

"Katanya kamu nggak pernah deket sama cewek? Jangan jangan kamu suka main sama PSK yang biasa mangkal di stasiun, ya?" tanya Mbak Wati terdengar kecewa, bisa saja dia terkena penyakit menular kalau aku sering main dengan PSK.

"Kata Ibuku, waktu bayi aku paling kuat nyusunya." jawabku jujur. Aku agak kecewa saat Mbak Wati memasukkan payudaranya ke dalam BH.

"Ujang jahatttt...!" kata Mbak Wati dengan suara meninggi. Mbak Wati melempar bajunya ke wajahku membuatku tertawa geli karena berhasil membalas perbuatannya. Aku menciumi baju Mbak Wati, menghisap bau keringat Mbak Wati yang menempel di bajunya. Bau keringat yang semakin merangsangku.

"Jang, kok malah nyiumin baju sich, kan enakan nyiumin orangnya." kata Mbak Wati yang terlihat cemburu pada bajunya yang sedang aku ciumi.

"Abisnya dari tadi Mbak belum bugil juga, katanya mau meditasi bugil..!" kataku mengeluarkan unek unek, tidak tahukah dia aku sudah sangat tidak sabar untuk memulai ritual yang sesungguhnya. Ritual yang akan membuatku menjadi pria dewasa.

"Kamu juga belum buka baju, masa sudah nyuruh Mbak bugil..!" kata Mbak Wati mulai menurunkan roknya perlahan lahan sehingga aku melihat celana dalamnya yang berwarna putih.

"Mbak, lama amat." kataku mulai tidak sabar. Aku segera membuka seluruh pakaianku secepat yang aku bisa, seharusnya Mbak Wati mengikuti caraku, bukan malah menggodaku.

"Hihihihi, kamu sudah tidak tahan ya?" tanya Mbak Wati kembali melemparkan roknya menutupi wajahku.

"Bau keringat, Mbak..!" kataku kembali menciumi rok Mbak Wati berusaha mencari bau memek yang menempel, tapi aku gagal menemukannya.

"Kamu gak mau nyiumin CD, Mbak!" kata Mbak Wati menyodorkan CDnya me wajahku, entah sejak kapan dia melepaskannya. Aku mengambil CD dari tangan Mbak Wati dan menciumnya dengan bernafsu. Beginikah bau memek? Aku semakin bernafsu menciumi celana dalam Mbak Wati, ada bercak basah yang menempel di bagian yang menutupi memeknya.

"Ujang, jorok CD Mbak diciumin begitu, kalau mau nyiumin memeknya bukan celananya." kata Mbak Wati merampas celana dalamnya yang sedang kuciumi membuatku tertawa geli melihat wajah Mbak Wati yang terlihat jengkel melihatku mengabaikan tubuhnya. Godaanku berhasil, Mbak berhasil aku taklukkan, dia tentu tidak mau dikalahkan oleh pakaiannya sendiri, benda mati yang bisa dibuang kapan saja.

"Kita mulai meditasinya, Jang..!" kata Mbak Wati menarik tanganku agar duduk bersila berhadapan dengannya dengan dengkul yang saling bersentuhan. Mataku tidak mampu beranjak dari payudaranya yang menggantung seperti buah pepaya yang kutanam di desa.

"Kita bersila berhadapan, Jang. Kita baca mantra dulu sebelum kita ngentot, kamu ikuti bacaan Mbak, ya !" Kata Mbak Wati menerangkan apa yang harus kulakukan. Aku hanya menganggukan kepala tanda mengerti apa yang dikatakannya, walau aku sedikit kecewa karena harus melewati proses yang sepertinya tidak berakhir. Tidak masalah buatku yang sudah terbiasa membaca berbagai macam mantra yang sudah sering diajarkan oleh Abah dan Mang Karta, yang jadi masalah aku sudah sangat menginginkan kontolku terjepit memek Mbak Wati.

Kami duduk bersila berhadapan dengan tubuh bugil, dengkul kami saling bersentuhan. Setelah menganggap posisi kami sudah benar, Mbak Wati mulai membaca mantra dalam bahasa jawa, aku mengikuti bacaan Mbak Wati walau konsentrasiku terpecah antara mantra dan tubuh bugil Mbak Wati yang terlihat di depan mataku.. Beberapa kali mataku terbuka menatap tubuh polos Mbak Wati, tidak ada yang terlewat olehku. Sementara bibirku mengikuti apa yang dibaca oleh Mbak Wati, mengikutinya tanpa mengerti maksudnya. Aku lebih fokus dengan pikiranku untuk segera meraba setiap bagian tubuh Mbak Wati, menikmati jepitan memeknya yang konon di situlah surga dunia berada.

"Jang, kamu sudah gak sabar ya?." tanya Mbak Wati setelah mantra selesai kami ucapkan dan melihat mataku yang tidak berkedip. Mbak Wati tiba tiba mendorongku jatuh terlentang. Jantungku berdegup sangat kencang, inilah saat yang aku tunggu, detik detik keperjakaanku menjadi tumbal Ritual di Gunung Kemukus.
Tumbal yang tidak akan pernah kusesali. Tumbal kenikmatan yang akan membuka pintu surga dunia.

Mbak Wati tersenyum menggodaku yang sangat tegang menanti apa yang akan dilakukannya. Seperti seorang wanita nakal, Mbak Wati merangkak di atas tubuhku yang menjadi kaku. Payudaranya yang besar menyentuh kulitku merambat naik hingga dada saat wajah kami berhadapan, lunak dan hangat, kulitnya terasa sangat halus. Mbak Wati kembali tersenyum sebelum mulai mencium bibirku dengan bernafsu, lidahnya masuk ke dalam mulutku sehingga air liurnya masuk tertelan olehku. Inilah ciuman pertamaku, Mbak Wati tidak hanya mengulum bibirku dengan bernafsu, tangannya pun aktif memelintir pentil dadaku dengan lembut membuat tubuhku merinding geli dan nikmat yang menjadi satu. Pengalaman pertama yang fantastis, pengalaman mesum dan mistis, entah mana yang paling dominan saat ini, semuanya menjadi kabur dan aku tidak mau berpikir. Mataku terpejam menikmati perlakuan Mbak Wati.

"Kamu benar benar belum pernah bermesraan dengan cewek, y?" bisik Mbak Wati, lidahnya menjilati belakang telinga membuatku menggelinjang geli.

"Iya, Mbak..!" jawabku pelan. Aku memberanikan diri meraba payudaranya yang menempel di dadaku, tanganku gemetar saat bersentuhan dengan kulitnya yang halus.

"Diremes Jang, jangan cuma dielus..!" bisik Mbak Wati diakhiri dengan gigitan kecil pada telinga membuatku semakin blingsatan oleh rangsangan, tidak bisakah Mbak Wati memulai ritual yang sesungguhnya, bukan hanya mengulur waktu yang sangat berharga.

"Mbak, kapan mau ngentotnya?" tanyaku tidak bisa menahan diri untuk bertanya padanya. Aku sudah menanti momen ngentot sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, kesabaranku hampir habis, aku bisa memperkosanya kalau terus dipermainkan seperti ini.

"Hihihi, kamu nggak sabar. Kalau mau ngentot harus pemanasan dulu biar sama sama puas." jawab Mbak Wati membuatku terdiam, Mbak Wati tentu lebih tahu apa yang harus dilakukannya. Aku harus belajar banyak darinya agar bisa memuaskan istriku setelah menikah.

"Och..!" jawabku dengan perasaan tidak menentu saat Mbak Wati menjilati puting dadaku, sensasi yang membuatku merinding geli.

"Kamu benar benar perjaka ting ting, ya Jang ?" tanya Mbak Wati menatapku sambil tersenyum. Tangannya terus membelai kontolku yang sudah sangat tegang. Seperti penasaran dengan panjang kontolku, Mbak Wati mengukurnya dengan merentangkan jari jempol dan keliling nya, satu jengkal lebih.

"Panjang amat, Jang. Pasti enak memek Mbak dientot kontol kamu, ich memek Mbak udah basah." kata Mbak Wati menuntun tanganku agar menyentuh memeknya yang terasa basah. Akhirnya aku bisa memegang memek Mbak Wati, jariku menyusup masuk berusaha merasakan tekstur memeknya yang bergelambir. Seperti inikah rasanya memegang memek.

Perlahan Mbak Wati mendekatkan wajahnya ke kontolku, aku heran apa yang akan dilakukannya? Apa dia tidak merasa jijik saat lidahnya menjilat kepala kontolku, tanpa sadar tubuhku mengejang. Mbak Wati benar benar menjilati kepala kontolku, bahkan dia mengulum kontolku dengan bernafsu.

"Mbak, jijik..!" rintihku menikmati kulumannya pada kontolku. Seperti inikah rasanya disepong? Sensasinya ternyata seenak ini, jauh lebih nikmat dibandingkan saat aku beronani, jariku semakin masuk ke dalam memeknya yang basah.. Mbak Wati sama sekali tidak menghiraukanku, dia begitu rakus menghisap dan mengocok kontolku dengan mulutnya yang mungil.

Aku tidak mampu menahan gelombang kenikmatan yang terus menerus datang. Magma yang terpendam sudah sampai puncaknya Ini pengalaman pertamaku, wajar kalau aku tidak bisa tahan lama.

"Mbak, aku mau keluar.....!!!" aku berteriak, tubuhku mengejang menyambut orgasme pertamaku, tanpa sadar aku menjambak rambut Mbak Wati, kepalanya aku tekan ke bawah sehingga kontolku mentok ke kerongkongannya sehingga membuatnya berusaha melepaskan diri karena sulit bernafas.

"Ma maaf...!" kataku melepaskan jambakanku. Namun Mbak Wati tetap menghisap kontolku sehingga semua pejuh yang tertumpah dari kontolku habis ditelannya tanpa rasa jijik sedikitpun, seolah pejuhku makanan berprotein yang nikmat. Aku terhempas lemas setelah semua pejuku ditelan habis oleh Mbak Wati, mataku menatap sayu melihat mbak Wati yang terus menyedot kontolku, berusaha mencari sisa sisa pejuh hingga dia benar benar yakin tidak ada lagi yang tersisa. Perlahan rasa nikmat berganti ngilu.

"Mbak, sudah. Kontolku ngilu." Mbak Wati menatapku tersenyum menggoda, lidahnya menjulur memperlihatkan pejuh yang tersisa di mulutnya lalu menelannya, pemandangan yang membuat wajah chubby nya semakin manis.

"Mbak, gak jijik nelen pejuhku?" tanyaku takjub. Tidak kusangka, ternyata Mbak Wati sangat binal melebihi perkiraanku. Pengalaman pertama yang rasanya akan sangat sulit aku lupakan.

"Inikan syarat ritual." ujar Mbak Wati menggodaku, wajahnya semakin mendekati wajahku dan aku bisa mencium bau pejuh yang membaur dengan air liur Mbak Wati, saat dia akan mencium bibirku, reflek aku berpaling menghindarinya. Aku merasa jijik karena sisa sisa pejuhku pasti masih menempel di bibirnya.

"Sebentar lagi kamu akan merasakan yang lebih enak, memek Mbak akan menjepit kontol kamu..!" bisik Mbak Wati. Suaranya terdengar samar, tubuhku sudah terlalu lelah, hanya tidur 1 jam, ditambah orgasme yang aku alami membuatku lemas seperti tidak bertenaga. Akupun tertidur.

**********

Aku terbangun oleh gerakkan liar di atas tubuhku, kontolku seperti keluar masuk di lobang licin dan basah yang terasa hangat. Nikmat sekali melebihi saat Mbak Wati mengulum kontolku, perlahan aku membuka mata dan melihat Mbak Wati berjongkok di atas tubuhku dengan kedua tangannya memegang dadaku yang bidang, pinggulnya naik turun dengan cepat. Aku terpaku melihat kontolku keluar masuk memek Mbak Wati, ternyata aku sudah kehilangan perjakaku saat tidur.

"Och, nikmat Jang, kontol kamu gede, panjang dan keras banget. Memek Mbak, enak !" Rintihan Mbak Wati disertai teriakan kecil membuatku langsung sadar sepenuhnya, ternyata yang kurasakan nyata. Mbak Wati sedang mengentotku. Aku bukan lagi seorang perjaka ting ting, aku perjaka yang ternoda. Ternoda oleh rasa nikmat yang sulit terlukiskan oleh kata kata. Noda yang membuatku menjadi pria sejati.

"Mbak, kontol Ujang ennnak banget...!" kataku setengah linglung, terpesona oleh Mbak Wati yang sedang memacu kontolku, payudaranya berguncang menjadi pemandangan terindah yang pernah aku lihat. Perjakaku hilang tanpa aku rasakan, momen yang seharusnya menjadi kenangan terindah, berlalu begitu saja tapi aku sama sekali tidak menyesalinya, momen terbangun dan melihat kontolku terbenam di memeknya juga momen terindah yang tidak akan pernah dialami oleh pria lain, hanya aku dari segelintir orang yang mengalaminya..

"Akhirnya kamu bangun juga, Jang. Dari tadi Mbak ngentotin kamu, tidurmu sangat nyenyak sampai nggak terasa Mbak entot. " Mbak Wati tersenyum, bergerak liar terus memacu kontolku. Terlihat dia sangat menikmati memperkosaku yang sedang tidur. Perkosaan yang sangat nikmat dan aku tidak mau semuanya cepat berlalu. Aku ingin menikmatinya lebih lama selama yang aku mampu

"Mbak, memek ennnnak banget..!" kataku dengan mata terpejam menikmati sensasi pertamaku. Sensasi ritual mesum.

"Iya, memekku juga ennnak, ini namanya ngentot Jang...!" kata Mbak wati terus memacu kontolku dengan liar. Dengan posisi WOT, membuatnya begitu leluasa memacu kontolku. Rambutnya yang panjang menjadi kusut, tubuhnya basah oleh keringat, membuatnya terlihat semakin cantik dengan dengan penerangan lampu yang temaram. Toketnya yang besar ikut bergoyang, dengan gemas aku meremasnya, menjaga agar tidak terjatuh dari tempatnya. Begitu kenyal dan hangat.

"Mbak Wati !!!" Jeritku menikmati gesekan demi gesekan kontolku dengan dinding memek Mbak Wati yang lembut dan lunak. Gesekan yang membuatku menggelinjang dan berteriak kecil.

"Jang, Mbak keluar lagi" teriak Mbak Wati. Memek Mbak Wati berkedut kedut meremas kontolku. Kedutannya sangat terasa menimbulkan rasa nikmat yang dahsyat.

"Mbak, cape jang. "Kata Mbak Wati setelah orgasmenya selesai, wajahnya terlihat puas, bibirnya tersenyum menatapku sayu, kontolku masih tertanam di dalam memeknya. Mbak Wati mencium bibirku dengan lembut, lalu merebahkan tubuhnya di sampingku, terkapar kehabisan tenaga.

"Mbak, aku belum keluar !" protesku. Aku masih ingin merasakan kehangatan dan kenikmatan memeknya, aku baru memulainya. Aku ingin menumpahkan pejuhku di dalam memeknya seperti aku menumpahkannya di mulutnya.

"Ya udah, masukin lagi kontol kamu ke memek Mbak, gitu saja kok repot. Gantian kamu yang diatas." kata mbak Wati meniru ucapan Gus Dur yang sangat terkenal. Pahanya mengangkang lebar menyuruhku segera naik ke atas tubuhnya yang montok. Tidak perlu mengulang perintah, Aku segera menindih tubuh Mbak Wati yang refleks meraih kontolku, agar posisinya pas dilubang memek. Secara naluri, aku menekan kontolku masuk memek Mbak Wati yang sangat licin dan basah oleh lendir birahinya.

"Mbak, memeknya enak." ujarku saat kontolku terbenam dalam jepitan memeknya, benar benar nikmat, pantas saja orang sangat menyukainya bahkan ngentot menjadi candu.

"Kontol kamu juga enak banget, Mbak udah keluar 3x, ayo Jang, entot lagi memek Mbak, keluarin pejuh kamu di memek, Mbak. Hamili Mbak, Jang.!" Kata Mbak Wati menyambut hujaman kontolku dengan mengangkat pinggulnya, untung saja kasur tempat kami ngentot terletak di lantai sehingga tidak takut ranjang rubuh menahan beban tubuh kami. Bibirku menciumi lehernya yang basah oleh keringat, terasa asin di lidahku.

"Mbak jahat, aku lagi tidur diperkosa." kataku sambil menghujamkan kontolku dengan bertenaga, berusaha membalas perbuatannya yang sudah memperkosaku. Perbuatan yang seharusnya dilakukan saat aku sadar, Mbak Wati harus menerima perbuatannya yang merenggut perjakaku tanpa aku sadari.

"Mbak, akkkku gak tahannnn...?" jeritku tidak mampu lagi menahan pejuku yang memancar deras membasahi memek Mbak Wati, bercampur dengan lendir memeknya.

"Iya Jang, mbak juga mau keluar. Terus kocok yang kenceng, Jang....." jerit Mbak Wati semakin mempercepat gerakkan pinggulnya, berusaha mendapatkan orgaamenya lagi.
Aku berusaha mengimbanginya, tidak akan kubiarkan dia mengocok kontolku tanpa perlawanan dariku, dia harus merasakan kontolku yang perkasa, entah benar entah tidak karena ini adalah pengalaman pertamaku.

"Mbak kelllluar....." jerit Mbak Wati memeluk tubuhku dengan erat, tanpa sadar dia menggigit leherku meninggalkan bekas Yang dangkal.

"Mbak, sakit....!"kataku jengkel, sehebat itukah rasa nikmat yang diperoleh Mbak Wati sehingga tega menggigit leherku seperti drakula.

"Kamu hebat banget, kontol kamu benar benar perkasa bikin Mbak kelojotan. Jangan dicabut dulu, Mbak masih pengen kontol kamu di memek." bisik Mbak Wati di telingaku tanpa merasa bersalah sudah menggigit leherku, tangannya menahan pinggangku saat aku mau beranjak dari atas tubuhnya.

"Leherku sakit, Mbak seperti drakula." kataku teringat dengan film drakula yang menggigit mangsanya setelah berhubungan sex seperti yang aku alami sekarang.

"Maaf, ennnak banget Jang, rasanya belum pernah aku merasakan ngentot sedahsyat ini." kata Mbak Wati memelukku. Kami berpelukan setelah selesai mengayuh birahi yang melelahkan dan penuh kenikmatan. Aku dapat mencium aroma rambut Mbak Wati yang lembut dan wangi sampo yang dipakainya.

"Mbak, Mas Gatot kok bisa ngijinin Mbak melakukan ritual pesugihan ?" tanyaku penasaran, kenapa Mas Gatot mengizinkan istrinya dientot olehku.

"Karena ingin cepat, kaya. Lagi pula Mas Gatot punya kelainan." jawab Mbak Wati membuatku heran, kelainan apa yang dimaksud oleh Mbak Wati.

"Maksud Mbak, kelainan apa?" tanyaku tidak bisa menahan rasa ingin tahuku.

"Mas Gatot tidak pernah marah setiap kali ada orang yang terang terangan memperhatikan bentuk tubuhku, tadinya aku menganggap itu sebagai hal yang biasa, Mas Gatot tentu merasa bangga mempunyai istri secantik aku hingga suatu hari aku tahu ternyata hal yang kuanggap biasa itu adalah kelainan.

Hingga suatu hari Mas Gatot pulang jualan bersama seseorang yang membuatku sangat terkejut, Paijo mantan pacar yang menghamiliku dan lenyap seperti ditelan setelah mengetahui aku hamil.

"Paijo!" kataku tidak percaya melihat sosok yang berdiri di samping suamiku. Pria yang sudah menghancurkan masa depanku sehingga harus menikah dengan Mas Gatot.

"Wati..!"Paijo tersenyum mengajakku bersalaman setelah hampir 18 tahun dia menghilang. Menghilang dari tanggung jawab, untung saja Mas Gatot yang diam diam mencintaiku bersedia menikahiku dan menutup aib keluargaku.

"Duduk, Jo. Dek kamu bukannya bikin kopi buat tamu!" kata Mas Gatot tersenyum menyadarkanku dari pesona masa lalu yang telah menguras air mata hingga tidak tersisa sedikitpun.

Tanpa bicara aku menyalakan kompor yang berada tepat di samping Paijo yang menggeser duduknya menjauhi kompor. Ini Dek airnya..!" kata Mas Gatot memberikanku panci kecil yang sudah terisi air mentah.

"Ke mana saja, kamu? Kupikir kamu sudah mati, tinggal tulang belulang yang dimakan cacing." tanyaku tanpa menoleh ke arah Paijo, aku tidak mampu menahan rasa ingin tahuku kenapa dia meninggalkanku bersama anak dalam kandunganku.

"Kamu ini dek, tamu jauh malah dibilang sudah mati." Mas Gatot tertawa untuk mencairkan suasana yang berubah menjadi tegang.

"Gak apa apa, Tot. Kalian sudah lama tinggal di sini?" tanya Paijo tidak menggubris pertanyaanku yang mungkin menyinggung perasaannya tapi itu semua tidak sebanding dengan penderitaanku selama belasan tahun.

"Sudah hampir 10 tahun Tot, kami merasa nyaman di sini." jawab Mas Gatot membuatku tersenyum sinis dengan kebohongan besar yang diucapkan Mas Gatot. Mungkin buat Mas Gatot dia merasa nyaman bisa memamerkan istrinya yang cantik kepada temannya yang sering kali menatapku dengan bernafsu seakan akan mereka ingin menelanjangi tubuh indahku.

Tapi bagiku, belasan tahun menjadi istri Mas Gatot adalah penderitaan yang berkepanjangan, sekuat apapun aku untuk bisa menerima dan mencintainya, ternyata aku gagal. Kalaupun aku bisa bertahan hingga kini, karena aku sudah berhutang budi padanya, terutama keluargaku. Ayahku adalah seorang Ustad yang cukup terpandang, apa kata masyarakat kalau tahu anak seorang Ustad hamil di luar nikah, sungguh aib yang sangat besar.

"Jo, aku ke rumah Bos dulu mau setor." kata Mas Gatot berpamitan meninggalkan kami berdua di ruangan sempit yang tidak layak menjadi rumah tinggal, tapi aku terpaksa tinggal di sini jauh dari orang tuaku, jauh dari anak anakku yang tidak boleh kami bawa dengan alasan mereka perlu didikan agama agar tidak mengikuti jejakku

"Kamu kenapa tinggal di sini? Orang tuamu kaya." Paijo menatapku heran, aku adalah anak tunggal seorang Ustad yang bisa dikatakan kaya untuk ukuran desa.

"Karena tidak mungkin aku tinggal bersama mereka setelah memberikan aib yang mencoreng wajah terhormat mereka." jawabku sinis. Aku menyuguhkan kopi yang sengaja aku beri gula. Dia tahu betapa pahit hidupku atas perbuatannya.

"Aku tidak tahu kalau kamu hamil, aku baru tahu tadi setelah Gatot menceritakan sepanjang perjalanan ke sini." kata Paijo berusaha menutupi kesalahannya atau dia pura pura pilon. Sungguh bodoh aku terbuai oleh rayuan gombalnya sehingga mahkota kesucianku hilang.

"Och ya!" jawabku sinis." mustahil dia tidak mengetahui kehamilanku, setelah aku menitipkan surat ke Mas Gatot untuk diberikan kepadanya.

"Aku bersumpah, aku tidak tahu. Kamu tidak pernah memberitahukannya kepadaku." jawab Paijo menggoyahkan hatiku.

"Aku sudah menitipkan surat ke Mas Gatot untukmu." kataku memandangnya tajam berusaha mencari kejujuran dari matanya.

"Aku tidak pernah menerimanya, Gatot tidak pernah menyinggung masalah suratmu. Dia datang mengabarkan ada pekerjaan di Jakarta, makanya waktu itu aku langsung ke Jakarta. Saat aku pulang setelah uang yang kumiliki cukup, aku pulang berniat melamarmu tapi ternyata kamu sudah menikah dengan Gatot." kata Paijo dan aku tidak melihat dusta di matanya.

"Kamu bohong..!" kataku lirih.

"Aku mencintaimu, sampai sekarang aku belum menikah karena cintaku hanya untukmu. Aku bersumpah tidak akan menikah kalau bukan denganmu." kata Paijo menggeser duduknya ke sampingku. Aku diam tidak berusaha menjauh darinya. Apakah benar apa yang dikatakannya.

"Lihat KTP ku, masih lajang." kata Paijo memperlihatkan KTP yang dikeluarkannya dari dompet. Ragu ragu aku mengambilnya dan apa yang dikatakannya benar.

"Kenapa Mas Gatot tidak memberikan suratku padamu..?" tanyaku heran.

"Karena dia mencintaimu seperti halnya diriku." jawab Paijo tangannya merangkul pundakku, aku ingin menepiskan tangannya tapi aku tidak mempunyai tenaga untuk melakukannya. Aku tahu Mas Gatot dan Paijo adalah dua sahabat yang sama sama mencintaiku tapi aku lebih memilih Paijo yang gagah dan atletis dibandingkan Mas Gatot.

"Aku mencintaimu..!" bisik Paijo, tangannya meraih daguku. Kutatap matanya mencari kejujuran yang jelas jelas terlihat dari matanya, aku percaya mata tidak pernah berdusta. Entah siapa yang memulai, bibir kami bertautan saling mengulum. Bibir yang dulu sering menciumku, bibir pertama yang merasakan kehangatan bibirku kembali memberiku kehangatan yang sudah sangat lama aku rindukan.

Aku benar benar terbuai oleh kenangan masa laluku bahkan saat Paijo meremas payudara yang pernah menyusui anaknya, aku tidak berusaha menolaknya. Aku menikmatinya seperti dulu dia meremas payudaraku untuk pertama kalinya.

"Jangan, Jo. Nanti Mas Gatot datang..!" kataku lirih membiarkan tangan Paijo menyusup masuk lewat belahan atas bajuku dan menyentuh payudara dan mempermainkan puting nya, aku tak kuasa menolaknya.

"Gatot nggak akan marah..!" bisik Paijo tangannya semakin gencar memelintir puting payudaraku, tangan pertama yang bebas menjamah tubuhku di rumahnya yang sedang sepi.

"Jangan macam macam kamu, aku sudah bersuami..!" kataku berusaha menyadarkan Paijo yang semakin di luar kendali. Bukan hanya tangan kirinya saja yang aktif mempermainkan payudaraku, bahkan tangan kanannya menyusup masuk ke selangkanganku, menjamah memek yang pernah direnggut keperawanannya.

"Ssstttt..!" Paijo kembali melumat bibirku dengan bernafsu, tangannya semakin kurang ajar mengorek ngorek itilku.

"Joooo...!" aku mengerang nikmat, tidak bisa memungkiri rasa nikmat yang sangat jarang aku rasakan. Mas Gatot sangat jarang menyentuhku.

"Jo, jangannn,!" kataku berusaha menahan tangan Paijo yang bergerak masuk memekku. Rasa nikmat membuat tenagaku melemah, jari Paijo semakin dalam menusuk memekku, Paijo semakin melampaui batas, dia mendorongku roboh ke kasur, tak peduli dengan penolakanku dia menarik celana dalamku lepas dari tempatnya.

"Jangannnnn!" aku berusaha meronta melepaskan diri dari Paijo yang semakin kesetanan. Tapi bayang bayang kenikmatan yang akan kurasakan membuat tenagaku menjadi lemah. Paijo berhasil membenamkan wajahnya di selangkanganku, menjilati memekku yang semakin basah tidak bisa berdusta.

"Kalian...!" suara Mas Gatot menghentikan aksi Paijo yang bernafsu menjilati memekku. Paijo memandang wajah Mas Gatot dengan wajah pucat, perbuatan yang akan membuat kalap setiap suami melihat istrinya dilecehkan pria lain.

Mas Gatot menutup pintu perlahan lahan setelah melihat keadaan di luar yang masih sepi karena tetangga kontrakan kami masih belum pulang berjualan. Pantas saja keributan yang terjadi antara aku dan Paijo tidak mengundang perhatian orang, baru aku sadar jam di dinding masih menunjukkan angka 2 : 30.

"Kalian ini kalau mau mesum jangan berisik, untung yang lain belum pada pulang." kata Mas Gatot membuatku shock, aku tidak melihat kemarahan yang seharusnya terjadi, aku malah melihat gairah dalam nada suara Mas Gatot, gila."

Mas Gatot sama sekali tidak marah melihat Mbak diperlakukan seperti itu?" tanyaku heran, nyaris tidak percaya dengan cerita Mbak Wati, mana mungkin ada suami seperti itu. Sepertinya Mbak Wati sengaja berbohong untuk membuatku lebih tenang dalam melakukan ritual.

"Memang selama ini Mas Gatot sering bertanya pengalamanku saat aku kehilangan perawan oleh Paijo, petualangan sex kami hingga akhirnya aku hamil. Mas Gatot selalu mendesakku menceritakan semuanya sedetail detailnya, setelah aku bercerita biasanya Mas Gatot mengajakku berhubungan sex, gairahnya akan semakin meninggi bahkan dia bisa bertahan lebih lama dari biasanya. Setelah kejadian itu aku baru tahu Mas Gatot mempunyai kelainan jiwa, dia akan terangsang saat membayangkan aku ngentot dengan pria lain, bahkan dia pernah terang terangan menyuruhku memilih salah satu di antara kalian untuk ngentot denganku, tentu saja aku sangat marah mendengarnya." kata Mbak Wati semakin mempererat pelukannya. Kepalanya bersandar di dadaku yang kurus, nyaris tanpa otot.

"Mas Gatot pernah nanya begitu, Mbak?" tanyaku kaget. Tidak mungkin, Mbak Wati pasti sedang berbohong padaku.

"Ya, pernah." jawab Mbak Wati, tangannya menggelitik puting dadaku, membuatku menggelinjang geli.

"Mbak jawab apa?" tanyaku penasaran, jawaban Mbak Wati saat ditanya begitu.

"Aku cuma mau ngentot sama kamu, kamu yang paling ganteng di antara mereka, kamu juga yang paling kurus dan paling tinggi. Badan seperti kamu biasanya punya kontol gede." kata Mbak Wati membuatku tersanjung.

"Sok tahu Mbak Wati kan waktu itu Mbak belum pernah melihat kontolku." jawabku tertawa geli dengan argumen Mbak Wati yang kuanggap ngawur dan asal asalan.

"Ibu ibu langganan mie ayam kamu sering ngegosip begitu, katanya tukang mie ayam ganteng kontolnya gede. Hihihihi." kata Mbak Wati tertawa terbahak bahak, ternyata bukan cuma cowok yang piktor, kaum ibu pun begitu.

"Bohong..!" jawabku ikut tertawa geli membayangkan para ibu ibu ngegosipin kontolku, Mbak Wati ternyata bisa juga bercanda.

"Aku nggak bohong, langganan mie ayam kamu bilang begitu soalnya pernah ada yang lihat kamu kencing di kebun, kamu gak sadar ibu itu lagi memetik daun katuk, dia yang nyebarin gosip." kata Mbak Wati dengan mimik wajah serius.

"Siapa, Mbak?" tanyaku penasaran siapa yang sudah melihat kontolku.

"Bu Dedeh..!" jawab Mbak Wati membuat wajahku memerah, pantas saja dia sering menggodaku, ternyata itu sebabnya.

"Mbak, masih sering berhubungan dengan Paijo?" tanyaku teringat dengan cerita Mbak Wati yang masih menggantung. Aku semakin penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Cerita yang sangat menarik, sayang kalau tidak sampai tamat.

"Senang amat kamu dengar cerita mesum, jangan jangan kamu punya kelainan jiwa seperti Mas Gatot?" tanya Mbak Wati menggodaku.

"Enggaklah, Mbak...!"

"Wat, kenapa kamu tidak meminta cerai biar kita bisa menikah?" tanya Paijo saat Mas Gatot belum pulang berjualan, dia semakin sering mengunjungiku bahkan kami sering bermalam di penginapan bertiga dengan Mas Gatot untuk memuaskan nafsu birahi kami yang seperti tidak pernah terpuaskan.

"Kamu gila, aku tidak mungkin bercerai dengan Mas Gatot. Dia yang sudah menutup aib keluargaku, dia juga memperlakukan anakmu seperti anaknya sendiri." kataku ketus, aku tidak bisa menghianati Mas Gatot.

"Tapi dia yang merebutmu dengan akal liciknya sehingga kita tidak bisa menikah, dia sengaja tidak memberikan suratmu malah menyuruhku ke Jakarta untuk bekerja. Ini semua adalah tipu dayanya, seharusnya kamu menjadi istriku, kita hidup tenang di Desa." kata Paijo menatapku tajam.

"Aku tidak tahu, Jo..!" jawabku lemah, kenyataan yang aku hadapi membuatku tidak mampu berpikir lagi.

"Apa yang kamu katakan, Jo? Setelah aku dengan besar hati memberikanmu kesempatan menikmati memek istriku, sekarang kamu mau merebut istriku? Pergi, Jo dan jangan pernah muncul di hadapan kami." kata Mas Gatot yang sudah berdiri di ambang pintu membuat kami menoleh kaget. Kami tidak menyadari kehadiran Mas Gatot yang ikut mendengar percakapan kami.

"Wati harus tahu kejadian yang sebenarnya, Tot. Kamu sudah merebut Wati dari tanganku dan aku mengalah menikmati memeknya di hadapanmu untuk memuaskan hasrat abnormal mu." kata Paijo dengan suara dingin, keadaan menjadi sangat panas, aku takut akan terjadi pertengkaran di antara mereka sehingga orang tahu masa lalu kami.

"Jo, pergilah..!" kataku dengan suara memelas sebelum orang mendengar keributan yang terjadi.

"Aku pergi karena permintaan Wati, bukan karena aku takut padamu, Rot..!" kata Paijo berjalan melebarkan Mas Gatot yang menyisi memberinya jalan.

Mas Gatot tidak bicara sedikitpun malam itu, keesokan harinya dia tidak berjualan dan pergi tanpa berpamitan membuatku merasa was was.

"Mau ke mana, Mas?" tanyaku sepulangnya berjualan jamu, mas Gatot sama sekali tidak menoleh.

"Bukan urusanmu." jawab Mas Gatot dingin, dia pergi meninggalkanku yang menatapnya heran. Selama 18 tahun menikah, belum pernah dia berlaku seaneh itu."

"Terus Mbak?" tanyaky semakin penasaran melihat Mbak Wati terdiam tidak meneruskan ceritanya.

"Ya sudah begitu saja, sejak kejadian itu aku tidak pernah lagi bertemu dengan Paijo, sudah hampir dua tahun, terakhir aku mendengar kabar dia mati dalam sebuah kecelakaan. Aku lelah, Jang. Mau tidur." kata Mbak Wati membelakangiku, perlahan pundaknya bergerak disertai isak tangis yang sekuat tenaga ditahannya.

"Mbak, kenapa?" tanyaku kaget melihat Mbak Wati yang tiba tiba menangis.

"Mas Paijo di bunuh Mas.... Seharusnya kami tidak perlu bertemu lagi.....!" Mbak kembali terisak, suaranya semakin lemah hingga akhirnya menghilang. Perlahan lahan suara nafasnya semakin teratur. Aku melihat ke arah wajahnya untuk memastikan Mbak Wati sudah tidur. Setelah yakin Mbak Wati tidur, aku menyelimutinya.

Perutku terasa lapar, perlahan lahan aku memakai pakaianku dan meninggalkan Mbak Wati yang tidur. Di depan aku melihat ibu pemilik warung sedang mengobrol dengan seorang gadis cantik yang masih sangat muda.

"Kok keluar sendiri, Mas?" tanya Ibu warung menyambutku dengan senyum yang dibuat semanis mungkin karena aku dan Mbak Wati adalah tamu satu satunya di tempat ini, gadis yang sedang mengobrol dengan Ibu warung, pasti bukan tamu di sini.


“Sudah tidur, Bu. Bu, tolong bikinin kopi dan makannya." kataku sambil tersenyum ke arah gadis cantik yang duduk berhadapan denganku.

4vjuyv.jpg

Lastri

"Wajah kamu sangat mirip dengan Pakde Karwo, mungkin kamu Pakde Karwo muda." kata gadis itu tanpa berkedip menatapku.

"Iya Las, sangat mirip. Tadunya juga Bu Yem kaget waktu melihat Masnya datang, benar benar mirip dengan Pakde Karwo, cuma bedanya Pakde Karwo sudah tua dan berkumis dan tubuh Pakde Karwo lebih berotot dibandingkan Masnya yang kurus." kata ibu warung meneruskan perkataan gadis remaja yang duduk di hadapanku.

"Wajahku memang pasaran, makanya banyak yang mirip." jawabku. Perkataan mereka mengingatkanku perkataan orang orang di desaku, bahwa aku sangat mirip dengan almarhum ayahku, kami seperti pinang dibelah dua dan sekarang ternyata ada lagi yang wajahnya sangat mirip denganku, Pakde Karwo. Aku jadi penasaran ingin melihat orang yang bernama Pakde Karwo.

"Nama kamu siapa?" tanya gadis cantik itu sambil tersenyum geli mendengar pengakuanku, padahal aku tidak melihat ada yang lucu dengan perkataanku tadi.

"Ujang, kalau kamu siapa?" tanyaku balik bertanya. Rasanya aneh, gadis secantik dia berada di tempat ini.

"Lastri, kamu sudah berapa kali ke sini?" tanya gadis itu kembali bertanya.

"Baru sekali, Las. Kalau kamu di sini mau ritual?" tanyaku lagi seperti sebuah sesi tanya jawab. Kaku dan berkesan formal.

"Aku tinggal di sini, sayang kamu sudah punya pasangan. Kalau kamu datang sendiri, aku bisa jadi pasangan ritual mu, tapi nggak gratis.

"Tolong...tolong.. Jangan Mas...!" suara teriakan Mbak Wati membuat kami semua terkejut.

Bersambung
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd