Catatan Kesembilan
Perdana Hermanto
H+2, Grogol, DKI Jakarta
Dalam waktu satu malam, polisi dan tentara segera membentuk sebuah pos evakuasi sekaligus pos Komando di Universitas Trisakti Grogol, Jakarta Barat.
Saya yang memang dua hari lalu baru saja menjadi pembicara utama di sebuah kuliah umum di universitas ini saat semuanya terjadi langsung memerintahkan anak buah saya untuk segera menjadikan tempat ini sebagai posko evakuasi karena letaknya yang berada di dekat jalan tol yang sangat berguna sebagai akses logistik dan pergerakan tentara.
Sementara itu Wakil Presiden, beberapa menteri dan orang orang penting pemerintahan ini langsung diungsikan ke istana negara tempat dimana keluarga saya berada bersama militer. Beberapa orang penting lainnya sedang berada di Nusa Dua, Bali, menurut laporan, mereka sudah dievakuasi ke Bandara Ngurah Rai.
Saya sendiri menolak untuk di evakuasi. Dalam keadaan genting seperti ini, sudah seharusnya saya berada disini bersama tentara. Apalagi saya dulu juga adalah bekas Panglima TNI.
Saya Perdana Hermanto, Presiden negara ini saat semuanya terjadi. Dan ini lah catatan saya.
Dua hari yang lalu pengamanan di universitas ini tadinya berjalan biasa saja, hanya beberapa polisi dan paspampres yang menemani dan menjaga saya sewaktu saya menghadiri kuliah umum. Namun saat Pratu Ratno Dariyan, Salah satu pengawal terdekat saya memberi tahu bahwa situasi Jakarta berada dalam keadaan gawat, saya segera menyudahi kuliah umum disini. Apalagi saya juga melihat banyak yang sakit saat mendengarkan kuliah saya. Saya jadi teringat laporan Kementrian Lingkungan Hidup & Kehutanan yang menyatakan ada kondisi yang aneh di Lapisan Udara Kota - Kota Besar di Indonesia sejak seminggu lalu, namun tidak ada yang terjadi selanjutnya. BIN juga melaporkan kejanggalan penyakit yang tiba tiba muncul siang ini di berbagai daerah.
Saya sudah memerintahkan instansi yang terkait untuk segera melakukan investigasi tadi pagi dan akan memberikan laporan kepada saya nanti sore. Namun sepertinya keadaan lebih gawat dari yang saya duga.
Dengan sigap waktu itu saya segera dikawal keluar, namun saat berada di luar gedung, saya mendengar suara teriakan dimana mana, kecelakaan mobil dimana mana, dan entah datang darimana, seorang mahasiswa dengan brutalnya mencoba menyerang saya tanpa menggunakan senjata. Tentu saja mahasiswa itu sudah berubah menjadi mayat, tapi saat itu saya dan pengawal saya belum mengetahui apa yang terjadi. Akibatnya, salah satu pengawal saya, Pratu Derry, digigit oleh mahasiswa itu di tangan, mahasiswa itu segera ditangani oleh pengawal saya dan situasi berhasil dikendalikan. Beberapa polisi dan pengawal saya kemudian segera mengamankan situasi dan membawa saya ke dalam mobil.
Saya tidak meminta mobil untuk berjalan karena saya segera bertanya kepada Ratno bagaimana situasinya, bertanya apakah penyebab kerusuhan tiba tiba ini, dan bertanya apakah keluarga saya tidak apa - apa. Ratno tidak bisa menjawab dua pertanyaan awal saya, namun dia bisa memastikan bahwa keluarga saya selamat.
Tak lama kemudian Ratno mendapatkan laporan bahwa situasi sudah sangat parah dan tidak aman untuk Saya pergi ke istana negara, saya segera disarankan untuk bertahan di tempat saya berada dan nantinya saya akan dijemput oleh helikopter yang akan membawa saya ke Istana Bogor. Saya tolak karena saya ingin keluarga saya yang diselamatkan terlebih dahulu. Beberapa Polisi yang berada di area kampus segera diperintahkan untuk membuat Pos Komando dengan bekerjasama dengan beberapa Paspampres yang ada. Sementara itu suasana di Kampus Trisakti sudah semakin tidak karuan. Semua orang berlarian karena kemunculan mayat yang semakin banyak. Terjadi sedikit pertempuran antara Polisi dengan puluhan orang gila yang berbondong bondong mendatangi areal parkiran tempat pos Komando berada. Situasi sempat terdesak, namun datangnya Batalyon Infantri Mekanis 201 dan Batalyon Komando Paskhas 467 membuat keadaan berbalik dan dengan cepat situasi berhasil diamankan.
Setelah situasi berhasil diamankan, saya segera turun dan masuk ke Pos komando. Sudah ada laptop, tempat duduk, dan beberapa orang yang siap melaporkan situasi yang ada kepada saya. Diluar Pos Komando, bala bantuan Polisi pun telah tiba dan membantu mengamankan area.
Saya dihubungkan dengan mereka yang berada di Istana Negara lewat Laptop, Saya segera memerintahkan untuk mengadakan pertemuan untuk berkoordinasi. Setelah saya mengadakan pertemuan sejenak bersama mereka, saya segera memutuskan bahwa tempat ini harus dijadikan pos evakuasi dan bahwa semua militer terdekat harus segera mengamankan bandara, pelabuhan laut, dan kota kecil terdekat dari semua kota besar yang nantinya akan digunakan sebagai tempat penampungan rakyat yang mengungsi.
Hari menjelang maghrib saat saya melihat militer dari berbagai batalyon berbondong bondong datang ke lokasi saya dan dengan segera mengamankan Trisakti hingga ke Jalan layang di depan kampus ini. Banyak warga yang selamat juga mulai berdatangan ke kampus ini untuk mengungsi, termasuk keluarga saya yang datang dengan helikopter dari Istana Negara. Mereka menceritakan bahwa keadaan di sekitar istana negara sangat mencekam dan semakin tidak aman, beberapa kali Tentara yang menjaga istana harus bertempur menahan mayat yang jumlahnya ratusan, Istana negara masih bertahan namun tidak lama, amunisi semakin menipis dan para tentara mulai kelelahan akibat konstan bertempur dari siang tadi..
Saat malam datang, keadaan semakin kacau, banyak sekali saya denger rentetan tembakan di kejauhan, bahkan ledakan. Namun situasi di Trisakti saat itu sudah dalam kendali militer. Warga warga yang datang masuk hingga ke dalam gedung kampus karena sudah tidak cukup lagi tempat di luar.
Para penasehat keamanan saya meminta saya untuk segera pergi ke Istana Bogor yang sudah lebih aman, Namun saya menolak untuk meninggalkan rakyat. Pemimpin yang baik bukanlah pemimpin yang memimpin rakyatnya di saat sejahtera, tetapi yang memimpin rakyatnya keluar dari kesengsaraan menuju kesejahteraan.
Malam itu malam yang sangat penting buat negara ini. Semua keputusan keputusan penting dilakukan malam itu, keputusan ekonomi, keputusan militer, keputusan politik, haha politik.. Politik sudah tidak berarti apa apa lagi di situasi seperti ini.
Saat subuh, saya dibangunkan oleh Ratno untuk segera bersiap siap meninggalkan pos evakuasi ini. Ratno melaporkan kondisi dan situasi selama saya mengambil istirahat dari tadi malam. Saya baru tidur 2 jam. Karena banyaknya warga yang datang ke lokasi ini, kemunculan mayat mayat itu semakin banyak. Saking banyaknya bahkan militer harus mundur beberapa ratus meter dari perimeter terdepan lokasi ini.
Saya segera bangun dan langsung naik helikopter untuk melihat keadaan sekitar Trisakti.
Parah. Jakarta sudah tidak dapat dikuasai lagi oleh militer. Asap hitam mengepul dimana mana. Kebakaran dimana mana, segerombolan mayat dalam jumlah besar juga tersebar di hampir semua titik di pusat kota. Daerah Matraman sudah dipenuhi mayat mayat itu, Bundaran HI terlihat sepi hanya ada barisan panjang mobil mobil yang ditinggalkan yang panjangnya sampai beberapa kilometer. Wilayah sekitar Istana Negara terlihat seperti zona perang, barikade ada dimana mana, masih ada tentara yang menjaga Istana Negara agar tidak jatuh diserbu mayat. Di daerah Semanggi, Pancoran, Tebet, hingga menuju Halim keadaan terlihat sepi. Halim sendiri sudah dikuasai oleh militer yang menampung warga warga yang mengungsi. Saya lalu kembali ke Trisakti.
Saat mendarat, saya segera meminta militer untuk segera berpindah posisi dari Kampus Trisakti ke Jalan tol di depan kampus ini. Saya meminta mereka untuk segera mengamankan Jalan tol untuk persiapan evakuasi menuju bandara. Lalu saya segera meminta progres militer di kedua bandara, bandara mana sajakah yang sudah dikuasai, Halim sudah dikuasai dari semalam, sedangkan Soekarno - Hatta belum. Militer menyarankan untuk mengevakuasi semuanya ke Halim. Akhirnya diputuskan saat itu juga untuk melakukan proses evakuasi ke Halim. Militer mulai mengamankan jalan tol dari Trisakti hingga menuju Halim dengan menggunakan Panser Panser untuk menyingkirkan kendaraan dan membuka jalan. Saya meminta Keluarga saya untuk segera pergi ke Halim dan menunggu disana.
Hari sudah lewat siang saat Ratno kembali melapor kepada saya. Saat ini kami benar benar sudah harus pergi dari tempat ini karena situasi sudah sangat genting. Lewat pemantauan Helikopter dapat diketahui bahwa mayat mayat bergerombol hingga sampai ratusan ribu mulai mendekati universitas ini dari arah pusat kota. Dan warga warga sudah diungsikan ke jalan tol dan sudah siap bergerak. puluhan Truk truk militer mulai berangkat diiringi panser panser yang menjaga di depan dan belakang truk. Saya sendiri tetap tinggal di Trisakti untuk mengawasi persiapan pertempuran melawan mayat mayat itu. Mayat mayat ini harus ditahan agar tidak menyerbu Halim nantinya.
Saya sedang berjalan ke jembatan layang di depan Trisakti saat saya melihat tiga jet tempur milik AU terbang rendah dan melepaskan roket dan menembakkan peluru dari senjata mesin mereka secara bertubi tubi. Ledakkan terdengar berkali kali saat roket itu menghantam targetnya. Tak lama kemudian dentuman artileri terdengar.
Saat saya sampai di jembatan layang, dari jauh saya melihat kepulan asap bekas hantaman roket jet tempur, dan ratusan ribu mayat berjalan ke arah kami.
Ini dia.. Pertempuran Trisakti akan segera dimulai..
Saya segera meminta Tank dan panser panser untuk membuka jalan dan diiringi dengan truk truk militer yang menampung para warga yang mengungsi. Sementara itu artilerry, helikopter, jet tempur, dan meriam kapal laut yang sudah berada di perairan lepas Tanjung Priok tak henti hentinya menembak ke arah mayat mayat itu untuk melindungi warga yang mengungsi ke arah Lapangan terbang halim yang berjarak kurang lebih 15 KM dari Trisakti.
Sementara itu kekuatan militer yang lebih besar lagi telah berkumpul di Cikampek, 90km di tenggara Jakarta. Cikampek adalah sebuah kota kecil penghubung Jakarta, Cirebon, Purwakarta, dan bahkan Bandung. Jalur Tol dan Jalur Kereta api yang melintasi kota ini menjadikan kota ini vital untuk pusat komando dan pusat distribusi logistik.
Bunyi ledakan dan letusan bercampur dengan bunyi mesin jet pesawat dan deru baling baling helikopter yang tidak henti hentinya menembaki gerombolan mayat mayat yang jumlahnya ratusan ribu itu. Bunyi ledakan yang lebih besar lagi terdengar beberapa kali hasil dari tembakan AL Koarmabar (Komando Armada Barat) yang menurunkan 5 Kapal Frigate nya di Tanjung Priok.
Sebanyak itu senjata yang mengarah ke mayat mayat, namun tetap saja tidak cukup untuk memukul mundur mayat mayat itu. Perlahan tapi pasti, Tembakan artileri mulai mereda. Jet tempur dan helikopter mulai kembali ke Halim untuk mengisi kembali peluru. Sedangkan artileri sudah tidak menembakkan lagi pelurunya karena sudah tidak ada lagi peluru.
Saya dengan sigap langsung memberi komando untuk tidak mundur dan jangan panik.
"Kita harus melindungi warga yang saat ini mengungsi ke bandara Halim! Kita tidak boleh membiarkan mereka melawan mahkluk ini! Lindungi negara ini! Jangan Menyerah!" Teriakku dengan megaphone untuk mengobarkan semangat mereka.
Saya tidak menyangka bahwa hingga peluru artileri kami habis, mayat mayat itu belum habis. Mereka terus maju, dan sesekali berlari. Tentara yang berada di perimeter terdepan pun mulai menembakkan senjata mereka. Namun setiap mereka menembak jatuh satu, muncul 10 dari belakang mayat itu yang menyerbu. Tidak butuh waktu lama bagi tentara terdepan untuk segera mundur meninggalkan barikade kantung pasir yang daritadi malam mereka buat.
Ada lima perimeter tentara yang dibuat untuk menahan mayat itu sebelum mencapai lokasi kami saat ini. Namun Saya sadar, pertempuran ini tidak mungkin kami menangkan. Dentuman ledakan dari kapal laut masih membombardir mayat mayat itu, tapi tidak cukup. Bahkan sepertinya mayat mayat itu sekarang berjumlah jutaan. Dan mereka tidak hanya muncul dari satu arah saja, mayat mayat itu juga muncul dari kiri tol dan dari kanan juga. Kami dikepung tiga arah.
Bunyi tembakan semakin nyaring terdengar, granat, pelontar granat, bahkan senjata peluncur roket sudah dipergunakan, namun tidak terlalu berarti. Mayat mayat itu tetap maju menyerang kami.
Ratno pun memaksa saya untuk segera meninggalkan Jembatan dan pergi ke Halim menggunakan helikopter. Saya belum mau pergi. Saya tau kehadiran saya disini mengobarkan semangat tentara yang pasti akan berjuang. Ratno pun menurut.
Jet tempur akhirnya kembali mengudara dan dengan segera menembaki sasaran dengan misil dan roket. Bahkan kali ini datang pesawat Hercules yang menjadi pesawat pengebom yang membombardir habis mayat mayat itu. Untuk sementara saja. Karena setelah asap asap bom menghilang, di depan kami langsung terpampang lagi jutaan mayat yang siap menerjang kami.
Tentara tentara mulai goyah, mereka mulai panik, bahkan ada beberapa yang mundur. Mayat mayat itu sudah semakin mendekat. Teriakan terdengar, mereka telah menembus pertahanan kami. Mereka telah sampai di lokasi ini. Dalam sekejap wilayah sekitar Trisakti sudah dipenuhi mayat mayat itu. Ratno segera meminta saya untuk pergi. Namun saya masih menolak, saya bilang kepada dia bahwa saya baru akan pergi bila Rakyat sudah sampai di Halim.
Sementara itu saya melihat situasi sudah semakin parah. Mayat mayat itu sudah mendekat dari tiga arah, Tentara di jembatan layang akhirnya mulai menembak ke Universitas Trisakti. Ironis, sejarah berulang kembali, Tragedi Trisakti kembali berulang. Jet tempur dan helikopter kali ini harus kembali lagi ke Halim untuk mengisi amunisi. Mayat mayat itu sudah semakin dekat.
Ratno lalu memberi kabar bahwa Progres rakyat yang sedang dalam perjalanan ke Halim berjalan lancar. Mereka sudah sampai di Halim saat ini dan Truk truk yang mengangkut mereka sudah kembali ke dekat Trisakti.
Saya segera mengangguk dan meminta tentara untuk segera mundur. Mereka telah menjalankan tugas berat mereka dengan sangat baik. Tentara tentara itu segera mundur dengan teratur dan masuk ke truk truk militer. Sementara itu Ratno dan saya segera menuju ke helikopter untuk pergi ke Halim.
Kami kalah di Pertempuran Trisakti. Namun kami berhasil menyelamatkan banyak sekali warga warga Jakarta. Menurut saya, Kami lah yang menang.