Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Mid-Life Love Story

mantap hu ceritanya, ane bacanya sambil ketawa ketiwi.
Ane tuh baca ceritanya tuh penasaran gimana cerita/proses pdkt sampe bisa sampe making love with other woman secara ane sih sampe saat ini ga bisa pindah ke lain body, anyway lanjutin ceritanya hu..
Hahah, cocok suhu. Menurut ane emang prosesnya yang seru. Bikin deg-degan, keinget terus, susah makan dan semacamnya. Yang paling parah itu ekspektasinya suhu. Gimana kalo hasil akhir ga sesuai ekspektasi? Masih mau terus berproses ga? Worth it ga?
Si Dion juga nanya hal yang sama tuh Suhu.
Thank You udah baca. Pantengin terus deh...
 
Pagi Suhu-Suhu. tengkyu responnya. lanjutannya di bawah yaa...

cheers & enjoy sex

7 jam.

Buat kalian yang bertanya-tanya, misteri time stamp sudah terpecahkan heheh.

Tujuh jam, Cuma segitu waktu yang diperlukan untuk merubah kepala seorang laki-laki. Dari yang gak pernah kepikiran wanita lain, sampai berfantasi hot mengenai wanita lain itu saat ng*entot istrinya.

Mana wanita nya kakak iparku lagi. Hadeh…
Aku sendiri bukan orang yang suci soal perempuan. Tapi itu dulu, jaman masih muda. Mulai jaman rambut masih gondrong (ala kurt cobain, bukan Dave Grohl) bermodal gitar dan ampli di mobil bokap, sampai rapih berombak menenteng ransel isi laptop naik Ninja ku dulu aku memang nakal. Yuni udah ada tuh walaupun masih pacaran.

Tapi perasaan, itu semua udah lewat. Udah dipuas-puasin dulu. Aku udah sampai di titik yang menggeleng ga percaya kalo mengingat kelakuanku dulu.

Lah sekarang penampilan kemeja rapih rambut pendek - lantaran kalo dipanjangin udah rada model reverse mohawk (iya, botak) - yang sering harus disemir hitam disertai perut bakpao; masa harus nakal lagi.

“Woi Dion, ditanyain tuh” suara berbisik disebelah kananku samar kudengar. Kalo bukan karena sikutannya aku mungkin masih larut dalam khayalanku.

Oiya. Kantor. Meeting. Strategi opening area baru. Tadi finance lagi bicara soal ratio budget. Bahannya di laptop. Angkanya masuk.

“Dari marketing setuju Pak” jawabku mantap.
Seisi ruangan terbahak. Aku melongo lirik kiri-kanan.

“Ngelamun aja lo Dioon.”

“Siang-siang mimpii”
Dan banyak lagi komentar ga mutu lainnya harus kuterima dengan cengiran bingung sebelum kawan di sebelah akhirnya ngasih tahu, ternyata meeting udah kelar dan semuanya lagi nitip makan siang. Preet

Akhirnya aku ijin pulang cepat siang itu dengan alasan kurang sehat. Bosku yang memang baru kali ini melihatku ga fokus dengan mudah mengijinkan. Tidak lupa memberi oleh-oleh flashdisk berisi report untuk dibereskan di rumah.

Dan untuk pertama kali sejak aku nikah sama Yuni, aku bohong padanya…

“Bu, aku ke lapangan dulu ya. Mau ketemu client.”

“Sekalian makan Yah. Jangan telat. Ntar maag.”
Huft, jawaban care istriku membuatku sedikit jengah.

“Abis ini masih balik kantor lagi, Yah?”

“Udah ngga Bu, langsung pulang.” Jawabku menatap kosong ke arah parkiran motor di hadapanku.

“Ya udah, pulangnya jangan lupa ambil baju di rumah Kak Ika sekalian ngasih titipan oleh-oleh.”
Nah lo, ini dia yang bikin gundah.

“Oke komendan. Byeee” Jawabku menutup pembicaraan.

“Dah Ayaah. Makasih buat yang semalam, tar malam lagii. Hihihi. Byeee” istriku juga menutup pembicaraan.

Genitnya istriku tak urung membuat aku senyum. Lalu senyum redup, ketika kepalaku kembali mekikirkan harus ke rumah kakak ipar lagi.

Halah. Ntar ajalah. Sekarang aku fokus ke satu tempat dulu.

Tempat ini di selatan kotaku. Pantai. Aku punya kebiasaan menghubungkan problem dengan pantai sebagai remedy nya.

Dan jadilah siang itu aku kekenyanyan setelah menyantap nasi goreng di sebuah café kecil 500 meter dari pantai.

Sekarang perhatianku teralih ke peralatan musik di stage pojokan.

Mengacuhkan tulisan “Sentuh Bacok!” yang dipasang di tali yang mengelilingi peralatan musik, selesai makan dan menyalakan rokok, aku pindah duduk di meja sebelah kanan stage memangku fender paramount PM-1 yang walau sudah rada bulukan masih jernih mengantar nada.

Lick pentatonic melemaskan jari-jariku yang mulai kaku. Triad-triad milai tergambar di neck gitar. Hmm aku mulai tersenyum.

“Pak, maaf gitarnya tolong dikembalikan. Pengunjung ga boleh main.” suara lembut membuyarkan konsentrasiku membuat aku mengangkat wajah menatap si empunya suara.

Cute.

Umur sekitar 20-an mengenakan T-shirt coklat ketat dengan celana panjang kain hitam bercelemek hitam dengan logo café tercetak diatasnya. Rambut sebahunya yang dikuncir rapih di belakang menampakkan streak biru memberi kesan rebel selaras dengan 3 huah anting di telinga kanannya. Tapi kulit kekuningan dan wajah tirus yang dihiasi hidung dan bibir mungil mampu menyeimbangkan kegaharan dengan keayuan.

Anak band lagi nyambi ini mah…

Aku dan laju pikiranku menampakkan senyum yang oleh si cantik diartikan lain.

“Pak, kok malah nyengir. Saya bisa dimarahin bos.” Agak memberengut dia.

Makin semangat saja aku menggoda.
Tanganku lincah memainkan lagu pink panther (inget background songnya warkop DKI gak? Nah itu deh, versi solonya) sambil tetap nyengir memandangi si ayu dengan pandangan membangkang

Alisnya sedikit naik melihat permainanku.

“Bisa maen lagunya Nancy Sinatra ga Pak?” tanyanya dengan pandangan usil.
Aku tergelak. Lagu yang dimaksud adalah these boots are made for walkin’. Lagu emansipasi rada-rada mengancam (buat yang angkatan diatas 2000an googling gih)

“Iya iya Mbak, ini udah kok.” Kataku menyerahkan si fender padanya.

“Baru kerja disini, ya?” tanyaku.

“Dua tahun Pak. Bapak tuh yang baru pertama kali saya lihat disini.” Balasnya tersenyum sambil mengelap body gitar yang tadi emang sempat kejatuhan abu rokok.

“Iya sih.” Aku baru tersadar. Sudah 5 tahun lebih aku gak main ke sini. Café kecil dengan fasilitas live music yang gearnya oke punya.

Dan asal tahu saja, mungkin aku Cuma satu dari segelintir orang yang dibolehkan menyentuh gear yang siang-siang nganggur karena live music baru mulai diatas jam 8 malam.

“Bapak suka melamun yah.”melihatku menerawang, si waiter ayu nyeletuk lagi.

“Mikirin kamu, sayang” jawabku ngehe. Inget umuuur. Aku sedikit merutuk.
Tapi hari itu moodku memang rada pushy. Biarlah.

“Idih si Bapak. Bisa aja ngegodain cewek.” Jawabnya ringan.

“Bukan godain, kenyataannya gitu. Cakep banget si ceweknya.” Aku menjawab.
Dia sedikit tersipu.

“Wei, Badak Item.” Suara menggelegar dari belakang si waiter membuatnya sedikit bergidik.

“Weni, kan udah saya bilang pengunjung ga boleh mainin alat-alat kita.” Pemilik suara menggelegar berjalan mendekat.

“Tadi saya lagi ke belakang Pak. Si Bapaknya ngambil sendiri. Mungkin ga baca tulisan. Ini sudah saya minta dibalikin.” Jawab si ayu yang ternyata namanya Weni menjawab.

Aku cepat berdiri dan menatap makhluk di hadapanku.

Wajahnya garang dengan rambut spike dan anting di kedua telinga. Ga nyambung sama T-Shirt bertulis Cassiopeia tapi nyambung sama jins belel robek-robeknya.

“Babi ngepet” bentakku.

“Kucing Kurap” balasnya tak kalah keras

“Setan Belang” jawabku sambil berjalan ke arahnya.

Si garang juga ikut maju.

Weni kemudian kulihat meloncat ke tengah kami berdua.

“Loh, loh sabar Pak, sabar.” Katanya Ketakutan.

Aku menggeser si waiter cantik dan akhirnya berhadapan dengan si garang.

Dan kami berpelukan diiringi derai tawa.

“Wah, anak hilang udah kembali.” Si garang berkata sambil menepuk pundakku keras.

“Dari dulu lu ga berubah Batak. Suara lu bikin anak buah Lu ngompol tau.” Kataku sambil melirik ke Weni.

Yang dilirik kebingungan berdiri dalam pose orang mau lari difreeze.

“Kasihin gitarnya Wen.” Si garang berkata sambil meraih gitar dari tangan Weni.
“Loh, kan kata Pak Stef ga boleh” jawab Weni mempertahankan.

“Balik deh Gitar itu. Pernah liat ga tulisan di body belakangnya?” Si garang yang bernama asli Stefanus Sirait berkata lembut.

“Iya pernah Pak. Ada tulisan property of the Devil” jawab Weny membalik gitar memperlihatkan tulisan itu.

“Wen? Kenalin deh. Ini ‘the Devil’ nya” kata Stefan menyorong punggungku.

“Sialan.” Kataku pada Stefan sambil mengulur tangan pada Weni.
“Dion” kataku pendek tersenyum.

“Waah, yang punya gitar ini yah. Pak Stef sering cerita.” Jawabnya antusias sambil menyerahkan gitar ke Stefan.

“Nama kamu panjang ya. Panggilnya apa tuh?” tanyaku usil.

“Eh, nama saya Weni Pak.” Katanya tersipu.

Kami kembali tergelak.

“Ya sudah, lanjut gih, aku ngobrol sama si setan ini dulu.” Kata Stefan pada Weni sambil berjalan menenteng si fender menjauhi kami ke arah mejaku.
Weni mengangguk dan menatapku

“Maaf ya Pak, Weni ga tau.” Katanya tersenyum.

“Maaf juga, ngeledekin pake lagu pink panther.” Jawabku juga tersenyum

“Gapapa kok, maennya canggih. Kapan-kapan mau dong diajarin.” Jawabnya ringan. Bener kan, anak band.
Aku mengangguk.

“Ntar aku ajarin juga lagunya nancy sinatra yang these boots” jawabku tergelak mengingat pembicaraan kami tadi.

“Mau. Tapi bukan lagu yang itu kok yang Weni maksud tadi.” Jawabnya.

“Loh habis yang mana?” tanyaku bingung.
Dia diam sambil menggumamkan nada-nada yang kukenali baik sebelum tersenyum dan dengan mata mengerling berbalik berjalan ke arah counter.

Aku sedikit terperangah sebelum akhirnya menguasai diri dan berbalik juga menghampiri Stefan.

“Smooth, smooth” katanya nyengir.

“Dodol. Gue dah merried tau.” Jawabku manyun.

“Yup. Tapi buktinya sekarang lo disini kan.” Jawabnya menohok.

Mengingatkanku akan satu janjiku pada Yuni yang kulanggar bahkan dengan berada disini.

“Gue perlu teman bicara, Stef.” Jawabku sambil menghempaskan diri ke kursi.

Stefan duduk sambil mengalunkan lagu di gitar menatapku dengan mata yang menyelidik.

“Kalo lo ke sini, artinya yang mau Lo bicarain bukan yang normal Brah.” Jawabnya

“Lo ga bilang ke Yuni mau ke sini?” tanyanya sambil nyengir.

Aku hanya diam menghisap rokok sambil senyum kecut.

“Ya udah, ayo ngobrol. Setan ketemu setan nih” Katanya tertawa sambil memainkan nada-nada familiar yang juga tadi digumamkan Weni.

Pelan aku ikut bergumam memberi lirik nada yang dimainkan Stefan. Lagu Nancy Sinatra. Membuatku melirik singkat ke arah counter melihat Weni mencuri pandang pada kami.

Love eyes
Baby you sure got
Love eyes
Turn me on a lot
My world lies right there in your love eyes
Your love eyes

Hey devil, old friend. Aku jabanin mainanmu

Bersambung lagi yaa...
 
Terakhir diubah:
Gila. Asik banget bacanya suhu. Selingan selingan humor ringan. Deskripsinya kuat. Menunjukkan pengalaman menulis anda suhu. Mantap suhu. Ditunggu lanjutannya.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd