BAB XII: PATH TO THE PIT
#PoV Ryu#
Intinya adalah Hana-chan juga menerima cintaku. Kami berciuman erat di bawah tempat berteduh. Nuansa romantisme yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya. Hana-chan memelukku dengan erat. Ternyata Hana-chan tidak suka dengan orang yang terlalu agresif, dia lebih suka dengan kelembutan. Aku akui aku terlalu kasar, terlalu agresif. Ternyata belaianku, elusanku, membuat Hana-chan nyaman. Aku benar-benar menahan diri untuk tidak menyakitinya. Ataupun membuat gerakan-gerakan agresif yang membuatnya tidak nyaman. Toh dengan kelembutanku dia mau aku cium.
"Ryu-kun,...," panggilnya.
"Ya?"
"Jangan tinggalin aku ya?"
"Aku tidak akan meninggalkanmu."
"Janji?"
"Iya, aku janji. Aku akan terus melindungimu."
"Kalau kamu ingkar janji, aku akan cabut pedangmu dan aku potong punyamu," ancamnya.
"Whoaaaa...! Nggak nggak nggak bakal deh," kataku.
"Hihihihi, peluk aku!" kata Hana-chan.
Begitulah Hana-chan suka dimanja. Souka, paling nggak perjalanan kami masih jauh. Hujan masih belum reda. Kami mulai lelah berdiri dan duduk di sebuah tempat duduk yang terbuat dari bambu. Malam kian larut. Hana-chan sudah mulai menguap. Rasanya langit hari ini benar-benar menurunkan seluruh airnya.
"Kita mau di sini terus?" tanyaku.
"Nggak dong, cari hotel yuk!" ajak Hana-chan.
"Ho..ho..hotel?"
PLETAK! Hana-chan memukul kepalaku.
"Jangan mikir jorok! Dasar cowok hentai!" katanya.
"Maaf," kataku.
Hana-chan tersenyum. Aduuhhh...manis kalau dia tersenyum. Rasanya ingin sekali aku melumat bibirnya lagi. Aku pun memeluknya dan langsung mencium bibirnya. Kali ini Hana-chan nggak ada penolakan. Bahkan ia membiarkan bibirnya dilumat, dikecup. Lidahku pun mulai menyapu bibirnya dan masuk ke mulutnya. Tangan Hana-chan mulai memegangi wajahku.
Hujan masih mengguyur walaupun sekarang sudah mulai rintik-rintik. Kami tentunya tak mau diguyur hujan sampai ke tempat tujuan. Hasilnya, kami menginap di sebuah hotel yang tak jauh dari tempat itu.
"Kamarnya pisah, aku nggak mau tidur sama kamu!" kata Hana-chan.
"Yah, siapa juga yang mau sekamar?" kataku.
"Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanya sang resepsionis.
"Ada kamar kosong dua pak?" tanya Hana-chan.
"Maaf, sayang sekali hanya satu kamar," jawab sang resepsionis.
"Single bed?" tanya Hana-chan.
"Sayangnya double bed," jawab resepsionis.
"Syukurlah, ya udah itu saja pak," kata Hana-chan.
Setelah mengurus segala urusan tetek bengek administrasi dari KTP dan pembayaran kami pun masuk ke kamar. Kamarnya luas, ada dua tempat tidur yang dipisahkan oleh sebuah meja kecil dengan lampu meja di atasnya. Sebuah lukisan ikan tampak ada di tembok dan di sebelah pojok ruangan ada kamar mandi yang cukup luas. Ada sebuah lemari baju yang ada di dekat pintu kamar mandi.
Kuletakkan dua katanaku di sebuah kursi sofa. Kemudian aku duduk di ranjang yang berdekatan dengan pintu. Sedangkan Hana-chan langsung merebahkan diri di ranjang yang satunya. Aku lalu ikut merebahkan diriku. Hana-chan menoleh ke arahku.
"Kamu jangan macam-macam yah!" ancamnya.
"Macam-macam bagaimana?"
Dia menjulurkan lidahnya. Hana-chan bangun kemudian melepas kacamatanya, "Aku mau mandi, jangan ngintip!"
Aku tak menjawab. Kulepaskan jaketku dan kulemparkan ke sebuah kursi yang ada di pinggir ranjang. Pikiranku menerawang jauh, menerawang saat-saat aku pertama kali bertemu dengan Hana-chan. Kuanggap dia seperti Sakura. Ternyata sangat berbeda. Ia bukan Sakura. Dan aku tak mungkin menganggap dia Sakura. Hana-chan berbeda, dia lebih lembut, lebih polos dan lebih menyenangkan berada di dekatnya. Aku bersumpah ingin bersamanya terus. Aku akan melindungi dia terus. Selamanya.
Aku pun tertidur, mungkin karena kelelahan hingga tak terasa Hana-chan menggoyang-goyang tubuhku.
"Ryu-kun, lapar? Aku pesan nasi goreng nih," katanya.
Aku melihat dua piring nasi goreng dan dua gelas teh dingin ada di meja. Aku ketiduran cukup lama, kurang lebih satu jam. Nasi goreng ya? Aku belum pernah merasakan masakan Indonesia ini, nggak apa-apalah aku ingin sesekali mencobanya.
"Aku ketiduran yah?" tanyaku.
"Iya, sampai mendengkur," jawabnya.
"Oh ya?"
Hana-chan tersenyum. "Makan yuk!"
Akhirnya kami pun makan malam. Cukup enak juga nasi gorengnya. Selama makan, aku melihat Hana-chan terus. Aneh saja rasanya, serasa dejavu. Sakura makan bersamaku.
"Hei, koq melamun?" katanya.
"Ah nggak, gomen ne," kataku. Kulanjutkan makanku hingga kenyang. Setelah itu aku pun mandi membersihkan diriku. Begitu selesai mandi kulihat Hana-chan sudah tertidur di ranjang. Dia tidur dengan wajah polosnya, wajahnya terlihat sangat cantik ketika tidur. Wajah kejujurannya.
Aku pun berbaring di ranjangku. Habis mandi kemudian tidur. Rasanya rileks sekali. Besok pagi pasti kami akan lebih fresh ketika bangun.
BLAARRRR! Terdengar suara petir di malam hari. Ternyata sedang ada hujan deras disertai angin kencang dan petir. Aku terbangun.
"Ryu-kuun," panggil Hana-chan.
"Ya?" tanyaku. "Ada apa Hana-chan?"
"Kamu tidur di ranjangku dong, aku takut!" kata Hana-chan.
"Nggak ah, nanti kamu kira aku cowok hentai, nggak mau," kataku.
"Ayolah Ryu-kun, aku takut petir!" kata Hana-chan. Kulihat tangannya menggigil. Dia tidak bohong. Aku pun beranjak dan duduk di sampingnya. "Tapi jangan macam-macam yah!?"
"Kamu bisa percaya kepadaku," kataku.
Hana-chan pun kemudian berbaring menarik selimutnya, kemudian aku memeluknya. Hana-chan meringkuk di dadaku. Tak berapa lama kemudian dia tertidur. Aku mencium ubun-ubunnya, Hana-chan aku menyukaimu. Aku mencintaimu. Dan aku pun tertidur sambil memeluknya.
***********~o~************
Aku terbangun, hari sudah hampir pagi. Kulihat langit mulai terang, walaupun masih semu gelap. Hana-chan telah terbangun juga. Dia menggeliat dalam pelukanku. Dia kini menghadap ke arahku. Hari masih dingin, aku bisa merasakan tangan Hana-chan yang dingin walaupun kamar ini tidak ber-AC.
"Ryu-kun," bisiknya.
"Ya?"
"Arigatou ne."
"Untuk apa?"
"Telah menjagaku malam ini. Kamu benar-benar nggak ngapa-ngapain aku."
Aku hanya diam saja. Kata-kata Hana-chan ini tak perlu jawaban. Sudah kewajibanku sebagai seorang samurai, seorang ksatria yang melindungi orang yang aku cintai, menghormati mereka. Aku melihat jam di dinding menunjuk ke angka 5.30. Pipinya Hana-chan bersemu merah. Aku bisa mendengar detak jantungnya. Detak jantung yang makin cepat padahal kami tak lari marathon. Hana-chan juga pasti mendengar suara detak jantungku, telinganya saja dekat dengan jantungku. Aku tak bergerak, diam. Walaupun di dalam diri ada hasrat ingin menciumnya pagi itu. Hingga Hana-chan beringsut ke atas, hingga kepalanya sejajar dengan wajahku. Wajah yang sangat cantik, wajah inilah yang akan aku ingat selamanya, yang akan mengisi kehidupanku selama-lamanya.
Hana-chan dan aku pun berciuman untuk kesekian kalinya. Kami saling memagut, Hana-chan....Inilah untuk pertama kalinya Hana-chan membiarkan dirinya untuk dicium, membiarkan tanganku erat memeluknya. Dan untuk pertama kalinya lidah kami bergerak, saling menghisap, benar-benar frenchkiss terdahsyat yang pernah kami lakukan.
Satu menit, dua menit kami berciuman membuat birahi kami naik. Aku agak ragu awalnya--dan aku memang pasif--untuk melanjutkan ini ke arah yang lebih jauh. Mengingat Hana-chan masih sangat polos. Aku tak mau merusaknya. Aku tak mau merusak dirinya, ia terlalu indah, terlalu lembut. Tapi ciuman demi ciuman yang kami lakukan pun lambat laun membuat Hana-chan makin sadar, aku benar-benar mencintainya. Aku sendiri tak kuasa menahan gejolak jiwa. Tanganku memegang bahunya, kemudian perlahan-lahan aku menyentuh dan mengusap dadanya.
Seketika itu ia melepaskan ciumannya. Matanya menatap sayu ke arahku.
"Ryu-kun...," desahnya.
"Maaf...aku...," aku tak melanjutkan kata-kataku. Segera aku singkirkan tanganku.
Hana-chan menggeleng. "Kamu ingin?"
Aku menggeleng, "Tidak Hana-chan, aku mencintaimu bukan untuk hal seperti ini."
"Aku belum pernah melakukannya."
"Aku juga."
Lama kami terdiam. Hanya debar-debar jantung yang terdengar. Perlahan-lahan tangan Hana-chan memegang tanganku dan diarahkan ke dadanya. Hana-chan memejamkan matanya.
"Tak apa-apa, pegang saja," katanya.
"Nanti Rina-chan akan menghajarku lagi."
"Kamu mencintaiku?"
Aku mengangguk.
"Ryu-kun, aku tak pernah jatuh cinta sebelumnya. Berciuman seperti tadi pun adalah hal pertama yang aku lakukan. Aku tak tahu apakah ini cinta, apakah ini rasa yang sesungguhnya. Melihat kesungguhanmu, aku jadi tersentuh Ryu-kun. Aku melihat bagaimana dirimu benar-benar menjagaku. Jangan salahkan aku ya, aku tak pernah jatuh cinta sebelumnya, baru kali ini aku menerima cowok dalam kehidupanku. Aku takut kalau Ryu-kun nanti berubah. Apalagi Rina-chan sangat mencintai Ryu-kun. Tubuhku tak seindah Rina-chan. Apa kamu yakin? Tertarik dengan cewek nerd, manja, polos dan lugu seperti aku?"
"Aku yakin, Hana-chan."
"Ryu-kun...sungguh?"
"Apapun yang Hana-chan inginkan aku akan melakukannya."
"Ryu-kun....cium aku lagi!"
Bibirku pun kembali menciumnya. Kali ini Hana-chan menuntun tanganku untuk meremas buah dadanya. Aku makin berdebar-debar saja. Aku meremasnya dari balik bajunya. Rasanya lembut, kenyal, dan aku yakin bentuknya sangat indah. Aku hanya berbuat sebatas yang Hana-chan inginkan saja. Aku tak mau berbuat lebih lagi. Cukup lama kami berciuman sambil tanganku meremas-remas boobsnya. Akhirnya kami pun berhenti.
"Sakit Ryu-kun," bisiknya.
"Hah? Yang mana?" tanyaku.
"Dadaku," jawabnya. Aku pun melepaskan remasanku. Ia menggeleng-geleng. "Lepasin kancing bajuku dong."
Saa itu Hana-chan memakai kemeja. Agak gemetar aku melakukannya, tapi akhirnya aku lakukan juga. Satu kancing, dua, tiga, empat, lima, Hana-chan sendiri yang membuka kemejanya. Terpampanglah di hadapanku sebuah bra berwarna krem yang membalut dua bukit yang tak terlalu besar. Hana-chan memejamkan matanya.
"Kecil kan punyaku?" tanyanya. "Aku nggak percaya diri."
"Aku suka Hana-chan."
"Bahkan tubuhmu sangat indah buatku."
"Sungguh?"
Aku mengangguk. "Tutup saja ya Hana-chan, aku tak tega menyentuhnya."
"Tidak Ryu-kun, sentuhlah!" Hana-chan lalu membuka sendiri kaitan branya, ia lalu menaikkan branya, sehingga aku bisa melihat sebuah merah puting kecoklatan, kecil mengacung dan keras.
"Hana-chan, aku...."
"Aku hanya bisa memberikanmu sebatas ini Ryu-kun. Tak bisa lebih. Untukmu. Aku juga tak tahu bagaimana orang berpacaran, tapi...kuharap caranya tidak salah."
Aku menutupkan kemejanya. Sehingga kedua payudaranya tertutup lagi.
"Tidak seperti ini Hana-chan," aku lalu memeluknya. "Aku tak akan melakukannya sampai aku menikah denganmu."
"Tapi Ryu-kun...."
"Tidak Hana-chan. Jangan paksa aku. Keindahan dirimu harus aku jaga. Aku tak ingin merusak dirimu. Aku tahu kebanyakan laki-laki akan melakukannya dalam posisiku sekarang, tapi aku terlalu mencintaimu Hana-chan. Aku sangat mencintaimu. Dan karena itu aku tak ingin melakukannya sekarang."
Mataku terpejam. Entah Hana-chan memikirkan apa. Aku memeluknya lagi. Hana-chan kembali meringkuk di dadaku. Hening. Itulah yang terjadi selanjutnya.
"Ryu-kun, kamu keras," katanya.
Oh tidak, punyaku sudah mengeras saja di bawah sana dan bersinggungan dengan perut Hana-chan. Aku malu, "Maaf, aku tak sengaja."
"Tak apa-apa Ryu-kun, setidaknya aku tahu menolak melakukan ini bukan karena gay."
Aku tertawa kecil. Hana-chan juga.
"Kamu memang samurai sejati Ryu-kun. Jangan pernah mengecewakan aku ya."
"Tak akan Hana-chan, tak akan."
Kami terdiam lagi. Kini aku sambil membelai rambut Hana-chan yang panjang. Kuusap-usap.
"Ryu-kun...," bisiknya.
"Apa?"
"Punyaku basah sekali."
"Maksudnya?"
"Aku sepertinya horni, aku malu..."
"Sama kan?"
Tangan Hana-chan menuntun tanganku untuk menyentuh kemaluannya dari luar celana. Tanganku gemetar.
"Hana-chan..."
"Tak apa-apa Ryu-kun, Ohh...Ryu-kun kenapa ketika kamu sentuh rasanya nikmat ya?"
"Hana-chan, rasanya lembab, basah."
Tanganku terus dituntun hingga benar-benar aku bisa merasakan kemaluannya yang lembab. Hana-chan kemudian membuka kancing celananya dan menurunkan celananya. Aku berdebar-debar melihatnya. Kini aku bisa melihat celana dalam warna putih, dan tanganku ditarik lagi hingga menyentuh permukaan kemaluannya. Tidaaakk....penisku makin mengeras. Ini terlalu jauh. Aku ingin menariknya tapi tangan Hana-chan begitu kuat dan memaksaku untuk menggesek-gesek belahan vaginanya. Wajah Hana-chan bersemu merah dan ia mendesah.
"Enak Ryu-kun," kata Hana-chan.
Tanganku pun digunakan Hana-chan untuk menggesek-gesek kemaluannya. Aku bisa merasakan basah sekali celana dalamnya itu, makin lama gesekannya makin dipercepat, hingga kemudian tanganku dijepit dengan kedua paha Hana-chan yang sangat mulus dan hangat itu.
"Ryu-kuuuunn...aahhhhhkkkkk!" pekiknya. Dia orgasmekah?
"Hana-chan, kamu tak apa-apa?"
Dia menggeleng. Nafasnya memburu. Dia menatapku sayu. Dan kami berciuman lagi.
"Ryu-kun....enak banget..."
"Kimochi deshou?" tanyaku.
Hana-chan mengangguk. "Ini orgasme pertamaku seumur hidup."
Aku bisa merasakannya, celana dalam Hana-chan basah sekali. Dia melihat ke bawah, kakinya di renggangkan lagi, tanganku pun terlepas dan aku tarik. Tampak jariku basah oleh lendir yang merembes dari celana dalamnya.
"Ryu-kun, boleh aku sentuh?" tanya Hana-chan.
"Sentuh apa?"
"Ryu-kun belum orgasme kan? Aku bantu?" tanyanya.
"Jangan Hana-chan! Aku...juga malu."
"Hihihihi," dia tertawa geli. "Ayolah, curang masa' cuma aku yang kamu sentuh?"
Akhirnya aku mengangguk. Hana-chan lalu membuka resleting celanaku dan aku melepaskan gesper tangannya pun mengusap-usap batang yang mengeras dari balik celana dalamku.
"Ryu-kun besar ya, aku heran. Bagaimana benda seperti ini bisa masuk ke milik cewek ya?"
Aku tak menjawab. Aku malah berfikir aneh-aneh sekarang. Tapi aku sudah berjanji aku tak mau merusak Hana-chan.
"Ryu-kun, makin keras," katanya. Dia mengusap-usap batang itu. Lebih tepatnya mengocok dari luar celana dalam. Dia memekik ketika melihat ke bawah, "Ryu-kun, ada yang nongol!"
Aku melihat ke bawah, kepala penisku yang keras sudah muncul ke permukaan celana dalam. Hana-chan lalu menurunkan celana dalamku. Dan terpampanglah kemaluanku, tegang sempurna mengacung keras.
"Aahh...seperti itu ya bentuk lelaki," perlahan-lahan Hana-chan menyentuhnya. Aaahhhh....rasanya ada listrik ribuan watt menyetrum diriku. Kemaluanku pun berkedut-kedut. Nikmat sekali, lembut sekali tangan Hana-chan.
"Hana-chan, jangan...ahhhhhkkk!" keluhku.
"Enakkah Ryu-kun?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Aku kocok ya?" tanyanya.
"Kamu tahu caranya?"
"Tahulah, sejak SD aku sudah berhasil menjebol situs-situs porno koq untuk dapetin video-video mereka. Yah, ini semua gara-gara temen-temenku yang nantangin sih. Jadi aku penasaran saja bagaimana mereka melakukannya."
Aku diam. Hana-chan ternyata sedikit banyak tahu tentang ini. Jadi aku tak perlu mengajarinya. Ia memang cukup pintar. Kepala penisku digesek-gesek dan diremas-remas. Mengakibatkan aku makin melayang. Tangannya hangat, membuat penisku nyaman di dalam genggamannya. Makin lama, kocokannya makin cepat, elusan-elusannya pun makin intens. Kini Hana-chan memakai dua tangan. Tangan kirinya diarahkan ke bola-bolanya. Aaaahhhkkk....tidak aku melayang.
"Hana-chan, jangaannnnnn!" pekikku.
Kocokannya makin cepat dan rasanya aku hampir klimaks. Pantatku naik turun, menggeliat. Hana-chan tega sekali ia mengocokku makin cepat sambil meremas-remas telurku. Dan, akhirnya keluarlah sperma perjakaku untuk pertama kali.
CROOOOOTTT! CROOOOOTTT! CROOOOOTTT! CROOOOOTTT! CROOOOOTTT! CROOOOOTTT!
Entah dari mana, tapi Hana-chan sudah menyiapkan tissue. Dia langsung menahan lubang penisku dengan tissuenya. Cairannya banyak sekali, aku bahkan tak mengira bisa sebanyak itu. Dengan telaten Hana-chan membersihkannya. Kemudian ia lempar ke tempat sampah yang ada di sudut ruangan. Ia beringsut kembali ke atas. Kami berpandangan. Kening kami bersentuhan.
"Ryu-kun, kalau kamu berbuat curang. Aku akan potong kepunyaanmu!" ancamnya.
"Iya iya, nggak. Nggak bakal," kataku.
Kami berciuman lagi. Aku sudah komitmen kepada Hana-chan tak ingin berbuat yang lebih jauh lagi hingga kami menikah nanti. Yang penting, Hana-chan mencintaiku sekarang. Setelah mandi, sarapan, kami pun melanjutkan perjalanan.
************~o~************
Kami sudah sampai di sebuah tempat di kaki Gunung. Hana-chan kemudian turun dan menghampiri sebuah rumah yang terlihat paling besar daripada yang lain. Aku tak tahu tempat ini, tapi Hana-chan sepertinya kenal. Seorang wanita keluar dari dalam rumah itu. Ah, itukan...ibunya Yuda.
"Eh, Hana. Sama siapa?" sapanya.
"Sama Ryu," jawabnya. "Han Jeong mana ya tante?"
"Di sana," tunjuk ibunya Yuda ke atas gunung. Wah? Ke atas?
"Kapan mereka turun? Ada yang penting nih, tante. Kita sudah menemukan Yuda."
"Oh ya? Bagaimana dia? Sekarang di mana?" sang ibu senang, tentu saja. "Ibu khawatir dia kenapa-napa. Anak itu memang bandel sekali, selalu bikin khawatir orang tuanya."
"Ibu tak usah khawatir. Dia baik-baik saja koq. Aku justru ingin dia bisa bertemu dengan Han Jeong secepatnya."
"Han Jeong masih lama turunnya, latihan mereka tak bisa diganggu."
"Apa aku bisa naik saja ke sana ya, tan?"
"Jangan, nanti malah bapak marah."
"Ohh...berapa lama lagi?"
"Semua tergantung Han Jeong."
(bersambung......)
Mumpung ada koneksi, nyicil posting.