Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Nenekku, Pahlawanku [On Going]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    437

barageni

Semprot Holic
Daftar
8 Aug 2023
Post
312
Like diterima
4.777
Lokasi
Suroboyo bagian Meksiko
Bimabet
***
DISCLAIMER

Cerita ini murni karya penulis.

Segala bentuk isi di dalamnya hanyalah fantasi (90%), dan sedikit bumbu kehidupan sehari-hari (10%) penulis.

Setting tokoh, alur, latar, dan diksi-diksi khas Jawa disajikan dengan campuran bahasa Indonesia baku.

Terakhir, penulis berharap cerita ini mendapat respon positif, masukan, serta kritikan yang membangun.

Terima kasih.

***
SINOPSIS

Karena sebuah alasan, Kobe terpaksa tinggal di desa bersama kakek dan neneknya. Di mana, kakeknya mengalami stroke akut, yang kemudian memaksa Kobe harus memendam jauh-jauh cita-citanya untuk kuliah bersama sang kekasih.

Namun, takdir berkata lain.

Tak pernah terpikir dalam hidup Kobe jika dirinya harus melepaskan status perjaka bersama Fauziah, yang tak lain adalah neneknya sendiri.

Apa Kobe menyesal? Tentu saja tidak. Karena Fauziah sendiri bukanlah nenek-nenek biasa. Kendati usianya sudah setengah abad lebih, wanita tua itu masihlah sanggup membuat Kobe merasakan sensasi luar biasa nikmatnya bersenggama.

Akan tetapi, tetap saja kehidupan tak semulus paha sang nenek. Lika-liku perjalanan lendir Kobe di sebuah desa terpencil bernama Desa Gentengan membuatnya sadar akan satu hal: kesabaran.

Dan di sana, cerita Kobe bersama sang nenek dimulai.

***
PROLOG

“Umi! Ini ditaruh mana?” setengah teriak, Kobe Bangun Kusumo bertanya sambil menenteng dua sak karung berisikan masing-masing jagung dan kelapa berukuran besar.

“Taruh ndek teras ngarep ae, Be. Mengko aku seng ngurus.” (Letakkan di teras depan saja, Be. Nanti aku yang ngurus.) Nurul Fauziah menyahut dari arah ruang tamu sambil menghembuskan asap rokok kretek.

“Habis gini aku disuruh apalagi, Umi?” Kobe bertanya sembari berjalan masuk ke dalam rumah.

Pemuda rupawan yang kulitnya gosong terpapar sinar ultraviolet itu terperanjat saat mendapati Neneknya yang hanya menggenakan kutang putih khas orang desa. Sedang bawahan sang Nenek hanya menggenakan kain jarik sebatas pusar.

Kobe heran. Bagaimana bisa orang-orang di desa ini, terutama para lelaki, menahan godaan terindah yang tak pernah ditemui di sudut kota mana pun?

Apa orang-orang di desa ini tidak memiliki nafsu kepada lawan jenis?

Apa wanita di desa ini saking bebasnya berpakaian, sampai menghiraukan ada Kobe yang mengalami fase keingintahuan lebih akan seluk beluk tubuh wanita?

Semakin heran, tatkala Kobe duduk berseberangan dengan Neneknya, di mana tanpa sungkan sang Nenek meloloskan kutang hingga menyembulkan dua payudara yang sebesar gaban.

Walau dua bulatan itu mengendur, tak menyurutkan mata dan nafsu Kobe. Dipandanginya terus menerus, hingga tanpa sadar batang kemaluan Kobe mengeras tanpa bisa ditahan.

“Rene, Be. Mentil disek. Awakmu pasti ngelak.” (Sini, Be. Netek dulu. Kamu pasti haus.) Fauziah menepuk-nepuk kursi panjang di sebelah kiri, mengkode sang cucu agar mendekat.

Kobe berdiri. Berjalan menyamping memutari meja kayu untuk mengambil tempat duduk yang ditunjuk oleh Neneknya.

Dengan langkah kaku, berikut badan menggigil panas dingin, Kobe manatap lekar wajah sang Nenek. Ditatapnya tepat pada kedua mata yang mulai layu. Begitu mempesona. Terlebih wajahnya yang manis campur genit-genit manja suka membuat cenat-cenut.

Andai Kobe orang lain, ia takkan menyangka jika wanita tua di sebelahnya ini umurnya tiga kali lebih tua dari Kobe. Itu tebukti pada wajah Neneknya yang jauh dari keriput. Mulus halus seperti jalan aspal. Begitu pula rambut hitam sang Nenek yang sama sekali tak memutih, masih tetap hitam, panjang, lurus, dan berbau khas wanita desa. Sungguh menggugah gairah. Kobe sampai meneguk ludah menghadapi pesona Neneknya yang memiliki aura luar biasa menggetarkan iman.

Nakal, genit, cuek, dan sompral.

Gambaran Fauziah yang sudah memiliki empat orang anak dan sembilan cucu. Dan di ruang tamu ini, cucu tertua yang tak lain adalah Kobe sendiri, dimanjakan dengan segenap jiwa dan raga.

“Nanti lek capeknya sudah hilang, langsung ae lebokno manukmu nang njero apemku, yo?” (Nanti kalau capeknya sudah hilang, langsung aja masukkan burungmu ke kemaluanku, ya?) ujar Fauziah lembut, penuh kasih sayang, dan gila.

“Kalau Kakek lihat gimana, Umi?” Kobe bertanya takut-takut, mengingat sang Kakek yang tengah stroke duduk di atas ranjang menghadap tepat ke arah ruang tamu.

“Orang itu?” Fauziah menoleh kepada suaminya, mengulas senyum manis terkesan menggoda. “Emang orang stroke bisa apa?”

“Lah? Umi mau kita main di sini? Di depan Kakek?!”

“Main opo? Aku ero'e kenthu. Wes gek ndang, sat-set. Ojok kakean omong. Tempekku wes cenat-cenut kepingin diobok-obok pentunganmu seng gede ndelondeng iku, lho, Be.” (Main apa? Aku tahunya ngentot. Sudah buruan, sat-set. Jangan banyak bicara. Memekmu sudah cenut-cenut kepingin diaduk-aduk Kontolmu yang besar luar biasa itu, lho, Be.) Ucapan yang terlontar dari bibir tebal Fauziah ini, menjadi titik balik peningkatan drastis pada karakternya yang penuh kejutan.















NENEK GILA!
 
Terakhir diubah:
***
Pagi ini adalah pagi yang tak ingin aku menyambutnya.

Memang benar jikalau pagi ini aku sedang menikmati masa liburan pasca wisuda di SMA-ku. Tapi, bukan berarti pagiku harus dirusak dengan permintaan tidak masuk akal oleh ayah dan ibuku.

“Gimana, Nak? Kamu mau, ya? Kasihan lho nenekmu nggak ada yang bantu ngurus kakek di sana. Bulik-bulikmu juga nggak ada yang mau. Cuman kamu yang bisa Ibu andalkan.” Cerca Ibu sambil menatapku penuh harap.

Aku pegang batang hidungku sembari memejamkan mata. Sejenak, kusandarkan punggungku di sofa. Sofa empuk yang sebentar lagi tidak akan menjadi tempatku melepas stress.

“Nak, Ayah sebenarnya juga nggak mau nyuruh kamu. Lagian Ayah juga pengen kamu nerusin S1. Tapi yang harus kamu tahu di sini adalah, kakekmu sayang banget lho sama kamu.” Ayah ikut menambahkan, sambil mengulas senyum mengancam.

Bajingan.

Kalau sudah Ayahku yang bersabda, sudah pasti aku tidak bisa membantah. Sekali melawan, sudah biru-biru ini pipi. Belum lagi perutku bisa kram seminggu.

Sialan.

Aku tidak ada pilihan. Masa depan yang tak pasti di desa terpencil. Pun tak bisa meneruskan pendidikan ke bangku perkuliahan yang kuidam-idamkan sedari lama. Apalagi, tak ada keluarga lain yang menemani untuk mengurus dua orang paling merepotkan: kakek dan nenek. Dua orang yang disegani, sekaligus pelawak ulung yang sanggup membuat pemuda 18 tahun sepertiku menangis darah.

Bukan tak mungkin sifat keduanya masih sama seperti 3 tahun lalu ketika aku sekeluarga sedang liburan hari raya ke sana.

Liburan terakhirku, yang sejak saat itu aku berjanji tidak akan menjejakkan kakiku ke sana lagi.

Tapi sekarang … mimpi buruk yang selama ini coba kuhindari, justru datang menghampiri.

Itu karena ulah dua eksistensi yang meresahkan liburanku waktu itu. Aku sampai tidak diberi jeda untuk istirahat.

Semasa kakek masih sehat, beliau pernah menyuruhku pagi-pagi buta untuk mengembalakan 100 ekor kambingnya. Dengan catatan tidak boleh ada yang hilang satu ekor pun.

Tak berbeda jauh dengan nenek yang menyuruhku untuk menemaninya ke rumah-rumah warga. Tentu saja aku mengira nenek yang notabene dukun bayi merangkap dukun anak-anak hendak mengobati mereka, tapi realitanya adalah aku disuguhi pemandangan paling edan! Bagaimana bisa seorang nenek-nenek membantu bocah-bocah polos untuk onani?!

Hei! Yang seperti itu hanya ada di dunia lain yang jauh dari Galaksi Bima Sakti.

“Oke.” Aku berkata, setelah sekian lama diam. “Tapi ada syaratnya," imbuhku cepat, sebelum disela.

Ayah dan ibu nampak sumringah, lalu keduanya mendekat tepat di depan wajahku.

“Apa, Nak? Bilang sama kami. Kalau kami mampu, kami turuti kemauan kamu.” Ayah berujar heboh.

“Kamu mau apa, Sayang? Motor, mobil, ponsel, helikopter? Bilang, Sayang. Ibu belikan sekarang, ya?” Ibu menimpali, tak kalah lembutnya.

Bajingan. Kalau sudah begini baru disayang. Kemarin-kemarin aku minta motor baru, malah dibelikan yang bekas. Dasar orang tua.

Aku menggeleng kecil. “Nggak, Yah, Bu. Aku nggak minta itu. Aku cuman minta buatkan kuburanku satu minggu lagi.”

“Nak!” Ibu menangis, drama.

Ayah pun memasang wajah prihatin, tapi sudut bibirnya hampir terangkat ingin tertawa.

“Ayah sama Ibu tahu kan segila apa nenek? Tahu, kan?” aku mengulang, menekankan setiap kata dengan intonasi pasrah.

“Nak, percaya sama Ibu. Nenek kamu … sudah berubah.”

“Berubah tambah gila?”

“Kambing kakekmu sudah ada yang ngurus, Nak. Kamu jangan khawatir.”

“Iya. Tapi aku juga pasti ikut membantu, kan?”

“Betul, ehem, nggak juga.” Ibu merevisi, berdehem sambil memasang wajah sok serius. “Soal hobi nenekmu, jangan dibuat pusing, Sayang. Lah wong kamu yo wes besar, pasti wes paham hal begituan.”

Aku menunduk. Memegangi pelipisku yang berdenyut.

Paham katanya? Apanya yang bisa dipahami? Dipahami kegilaannya, iya.

“Kobe, kamu itu putra kebanggaan Ayah satu-satunya. Kamu harus bisa menyenangkan hati kakek dan nenekmu di masa senjanya ini.” Ayah menasihati, ketegasan terpancar di wajahnya yang menua.

“Aku juga harus membahagiakan diriku sendiri, Yah.”

“Dirimu sendiri apa pacarmu?”

Aku tersedak. “Ya. I-itu termasuk.”

“Nak, penting mana kakek sama pacarmu?”

“PACAR!”

Ayah menghela nafas panjang. Ibu menghela nafas kecil. Keduanya kompak memasang wajah masam.

Tapi tak lama, Ayah kembali berkata, “Umur kakekmu nggak lama lagi, Nak. Kamu pasti bisa. Ayah tahu kamu mampu.”

“Kenapa Ayah seolah-olah mendoakan kakek biar cepat mati?” todongku, heran.

“Kamu nggak senang?”

“Ya senang!” seruku, cepat.

“Hush! Lambene wong lanang-lanang iki njalok tak tapok susu po piye?” (Hush! Mulutnya para lelaki ini minta aku tampil susu apa gimana?) Ibu mendelik ke arahku dan ayah bergantian.

“Mau, Bun, hehehe.” Ayah menjawab genit.

Ibu mendaratkan cubitan di pinggang Ayah. “Ish! Ayah ini. Ada Kobe lho di sini.”

“Aduh-duh-duh! Sakit, Bun." Ayah meringis. "Hm. Terus kenapa, Bun? Sekalian diajak juga nggak pa-pa. Kan Kobe sudah besar. Ya nggak, Be?” Ayah menaik-turunkan kedua alisnya kepadaku.

Aku cengo. Menatap ayah tidak paham. Gini nih kalau sudah ketularan gilanya. Satu keluarga pada sinting semua.

“DASAR SUAMI GENDENG!" teriak murka Ibu, sebelum vas bunga mendarat tepat di kepala Ayah.
 
Terakhir diubah:
***

Begitulah awal mula obrolan keluarga kecil yang sampai sekarang membuatku ingin menangis di dalam bus ini. Bus yang mengantarkanku jauh ke ujung timur pulau Jawa.

Sampai di terminal, aku oper dengan angkot sebanyak dua kali. Lalu, masuk ke desa diantar ojek.

Sambutan pertama untukku setelah menjejakkan kaki di Desa Gentengan, tepatnya di pelataran luas rumah kakekku adalah: ratusan jagung yang terbentang rapi di atas terpal sedang dijemur.

Ya, aku telah tiba siang menjelang sore hari.

Nenek yang kebetulan sedang menjempur pakaian di samping rumah, melihat kedatanganku bak seorang pangeran dari isekai, mengulus senyum simpul, lalu melanjutkan aktifitasnya.

Setelah membayar ojek, aku meletakkan barang bawaanku berupa satu koper dan satu tas ransel di dekat salah satu dari dua tiang di rumah khas Jawa ini.

Sambil menunggu Nenek menyelesaikan jemur menjemur, aku duduk di undak-undakan rumah. Kukeluarkan sebungkus rokok beserta koreknya.

Sambil merokok, aku menikmati pemandangan indah pedesaan yang mempertontonkan hampsran sawah yang menghijau di seberang jalan. Sawah milik kakek, tentu saja.

Tak hanya itu, walau terkesan orang desa, kakek dan nenekku ini orang berada. Sawahnya hampir puluhan hektar. Kebun jagung, tebu, teh, kopi, sampai palawija, ada semua.

“Kapan pulangnya, Le?” sapa Nenek, yang tahu-tahu sudah berada di depanku.

Oke. Satu masalah timbul. Sabar, Kobe, sabar. Nenekmu ini memang menyebalkan. Ingat pesan Yang Mulia, kamu tidak boleh emosi dengan Nenekmu, apapun yang terjadi.

Ya, wanita yang sudah setengah abad umurnya ini adalah nenekku, Nurul Fauziah, dukun bayi sekaligus penyuka anak-anak.

“Aku baru datang, Nek. Masa langsung disuruh pulang.” Aku menjawab sedikit kesal.

Sambil menyibak rambut hitam yang tergerai, Nenek mengikat rambutnya ke belakang. Tepat ketika Nenek mengangkat kedua tangannya ke atas, membuat kedua susunya yang besar dan hanya berkutang putih pudar seperti ikut terangkat, membusung ke depan.

Alamak!

Mungkin dulu aku masih kecil. Tapi, sekarang aku sudah dewasa. Aku tahu yang seperti ini tidak baik untuk kesehatan jantung dan kontolku. Apalagi melihat puting payudara Nenek yang samar-samar nyeplak terkena rembesan air. Entah air apa itu. Air comberan kali.

“Yo wes, ayo melbu. Ojok lali wijik sek yo, terus sapa kakekmu seng ganteng dewe nang kamar.” (Ya sudah. Ayo masuk. Jangan lupa bersih-bersih dulu ya, terus sapa kakekmu yang ganteng sendiri di kamar.) Nenek berujar santai, kemudian melangkah masuk terlebih dahulu.

Buru-buru aku berdiri, membuang rokokku yang masih setengah ke jalan, kemudian mengulurkan tangan untuk salim.

Nenek seketika berhenti, menatapku aneh. “Lapo, Le?” (Kenapa, Nak?)

“Salim, Nek, salim. Astajim!”

“Oh, salim tho? Tak kiro awakmu kape ndemok susuku.” (Oh, salim tho? Aku kira kamu mau megang susuku.) Nenek mengulurkan tangan, dan langsung kusambut dengan perasaan semakin kesal. “Lah kok dicucup ngunu tho tangan Nenek, Le? Aduh, tangan Nenek sek rusuh iki.” (Lah kok disedot gitu tho tangan Nenek, Le, aduh, tangan Nenek masih kotor ini.)

Aku melepaskan ciuman tangan, lalu menegakkan badan sambil menentang barang bawaan. “Nggak pa-pa, Nek.”

“Heleh. Daripada kamu nyucup tangan Nenek, mending cucupen iki lho susuku,” beo Nenek tanpa dosa.

Oke. Masalah kedua. Seperti yang kubilang, wanita berbadan bongsor dan berwajah ayu ini memang sudah gila sejak dalam kandungan. Ucapan dan tingkah lakunya seperti gadis muda. Ganjen, genit, dan nakal.

Sungguh, andai ada pesawat Sukhoi mendarat di halaman rumah, aku ingin ikut dan pergi dari sini. Walaupun tujuan pesawat itu ke Alaska sekali pun, aku tak akan mengurungkan niatku. Sumpah.

Ya, betul! Mending ke Alaska. Mencari kepiting raksasa, dapat duit, buka bisnis, nikah sama si dia.

Aroma wangi bunga kasturi semerbak tercium kala aku memasuki bagian dalam rumah.

Kondisi rumah orang tua dari Ibuku ini sederhana, tapi cukup mewah untuk ukuran orang desa.

Dimulai dari ruang tamu dengan kursi-kursi dan meja kayu jati di sebelah kiri. Hiasan dua lukisan terpampang besar sejauh mata memandang. Pun dua kamar yang saling berdampingan di sebelah kanan dengan salah satu penutup kamar berupa kain putih yang terbuka. Kamar depan. Kamar di mana Kakek berada.

Setelah aku meletakkan barang bawaanku di kamar belakang, Nenek mengajakku untuk melihat Kakek.

Di dalam kamar depan dengan pencahayaan minim, telrihat Kakek sedang rebahan, namun dalam kondisi terjaga. Sebab, radio tua di sebelah nakas memutar alunan kidung Jawa yang mendayu-dayu.

Sosok Kakek yang kekar, enerjik, ceria, dan menyebalkan, kini berubah menjadi sosok yang hampir tak bisa kukenali. Tubuhnya menyusut. Rambutnya rontok. Wajahnya sendu dengan bibir serong ke kiri. Miris sekali. Tak sanggup aku melihat beliau lama-lama.

“Pak, iki lho putumu seng bagus dewe teko.” (Pak, ini lho cucumu yang tampan sendiri datang.) Sapa Nenek, sambil memasang senyum khasnya.

Melihat kedatanganku, wajah Kakek yang semula datar, kini nampak sedikit berseri. Suaranya parau tidak jelas memanggil-manggil namaku.

“Kakek.” Aku maju, mendekati Kakek. Kucium tangan dan kedua pipi tirusnya. “Kapan mati, Kek?”

Sedari dulu aku memang suka bercanda dengan beliau. Tak ayal, pertanyaanku berkedok doa ini disambut tawa kecil Kakek.

Susah payah aku menerjemahkan apa yang dikatakan beliau. Tapi, bukan Kobe namanya kalau tidak cerdas.

“Kalau Kakek mati, siapa yang bisa membuatmu menangis selain Kakek?”

Begitulah kira-kira balasan Kakek yang memiliki nama lengkap Dewo Noto Prakoso.

Duduk di pinggir ranjang yang luas menghadap Kakek, aku banyak bercerita kepadanya tentang kehidupanku dan kedua orang tuaku di kota 3 tahun ini.

Kakek pun menyadari keterbatasannya. Ia hanya mampu menjawab anggukan dan gelengan.

Saking serunya aku bercerita, tak sadar jika Nenek sudah naik ke atas ranjang. Rebahan miring menghadap Kakek.

Belum sempat diriku bereaksi, Nenek tanpa aba-aba sudah mengeluarkan sebelah payudaranya dari balik kutang, lalu menuntun tangan kanan Kakek untuk meremasinya.

Mak!

Apalagi kali ini, woi?!

Menyadari aku berhenti berbicara dan memandang aktifitas tak wajar yang terjadi, Nenek berkata jika ini permintaan Kakek kala masih sehat dulu andai di masa depan nanti Kakek mengalami stroke yang menjadi penyakit khas orang tua renta.

Sambil sebelah tangan Nenek mengelusi pipi Kakek, Nenek tak henti-hentinya menatapku.

Aku meneguk ludah. Sepertinya aku berada pada situasi yang tidak tepat.

“Eh, kalau gitu aku pamit ke kamar, ya, Kek, Nek.” Aku berucap gugup.

Tanpa menunggu balasan dari keduanya, aku buru-buru berdiri dan melangkah menuju kamar yang kini menjadi tempatku beristirahat di rumah ini.

Kutenangkan jiwaku yang bergejolak. Kuatur nafasku yang tak beraturan. Perasaanku tiba-tiba aneh.

Jujur saja, ini kali pertama diriku melihat payudara wanita secara nyata. Kalau tak nyata sudah sering melihat di video atau gambar porno.

Tapi ini … what the fuck!

Untuk menghilangkan otakku yang menjurus ke arah jorok ini, aku sibukkan diri untuk menata barang-barangku.

Persedian rokok tiga slop aku letakkan di dalam laci nakas. Pakaianku yang selusin kutata rapi di dalam almari besar yang terbuat dari kayu jati.

Aman.

Namun, ada yang kurang. Tak ada cermin di sini. Terpaksa jika nantinya harus berpakaian dan membetulkan rambut memakai kamera ponsel.

Barang terakhir yang kubawa berupa alat elektronik kuletakkan di atas meja kecil di samping nakas.

Setelah beres, aku rebahkan tubuhku di atas ranjang dengan kasur kapuk beralaskan sprei biru tua polos.

Mengingat perjalanan jauh sepuluh jam lamanya, kuputuskan untuk memejamkan mata terlebih dahulu sebelum nantinya membantu pekerjaan sehari-hari di rumah ini.

Rasa lelah bercampur ngantuk mulai menyergap.

Tapi, ketika mata ini terpejam, bayang pemandangan indah yang terekam jelas di otak akan payudara besar bak pepaya milik Nenek dengan puting seukuran dot bayi membuatku gusar. Jantungku tiba-tiba berdebar-debar. Ah, andai saja aku diizinkan Nenek untuk memegangnya.

Cuk! Mikir apa aku ini, anjing! Dahlah.

Walaupun pikiran tak karuan kotornya, kupaksa diriku untuk terpejam dan tidur. Menjemput mimpi yang sebentar lagi datang.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd