Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Nenekku, Pahlawanku [On Going]

Happy ending or sad ending?


  • Total voters
    484
***

Aku terjaga.

Entah jam berapa ini, kulihat dari jendela persegi kamarku langit sudah gelap. Hawa sejuk bercampur dingin pedesaan menusuk-nusuk pori-pori. Aku sedikit menggigil dibuatnya.

Nyaman, tentram, damai.

Bebauan rumput dan pepohonan di desa ini sungguh menghipnotisku. Apalagi penerangan di kamarku ini masih jadul, yaitu menggunakan lampu ublik.

Tak hanya kamarku saja, setiap sudut rumah juga sama. Sungguh nostalgia. Dari sudut kanan di atas dinding, kamarku sudah terpasang ublik. Mungkin saja Nenek yang sudah memasang dan menghidupkannya ketika aku tertidur.

Tunggu dulu!

Bukan itu yang ingin kubahas. Yang menjadi perhatianku adalah, sayup-sayup terdengar suara orang sedang ngobrol dan tertawa terbahak-bahak.

Salah satu suaranya adalah Nenek, namun pemilik suara lain yang seorang laki-laki terdengar masih muda.

Aku duduk di tepi ranjang. Mengumpulkan nyawa yang belum genap.

Setelah cukup sadar, aku turun dari ranjang. Mengambil sebungkus rokok di atas nakas dari kayu sengon. Lalu, melanjutkan jalan keluar.

Srek!

Kusibak tirai putih yang berfungsi sebagai pengganti pintu.

Tepat di depan mataku, kulihat Nenek sedang bercakap-cakap seru dengan seorang pemuda yang asing di mataku. Mungkin sewaktu terakhir kali aku ke mari masih SMP, jadi aku tak terlalu kenal dengan orang-orang di desa ini.

Kulanjutkan langkahku, bergabung dengan Nenek dan si pemuda berambut keriting.

Melihat kedatanganku, keduanya menatapku lekat. Ditatap demikian, sedikit banyak membuatku kesal. Bukan apa-apa, seakan kehadiranku hanya menganggu obrolan mereka.

“Sudah tidur, Le?” tanya Nenek, yang entah sengaja atau tidak, beliau selalu berkata kebalikkannya.

“Sudah bangun, Nenek.” Aku duduk di seberang kursi. Menghadap ke arah Nenek dan si pemuda asing yang duduk berdampingan. Kuambil sebatang rokok, lalu meletakkannya di atas meja. “Rokok, Mas?”

“Aku ndak ngerokok, Mas. Enak dirokok.” Pemuda asing itu menjawab ambigu.

Sialan. Orang udik juga tahu hal begituan ternyata. Niat menawari si pemuda, justru Neneklah yang menyambar rokok beserta korek dari tanganku. Diambilnya sebatang, lalu dibakarnya hingga asap mengepul memenuhi ruang tamu.

“Rokokmu mantep, Le.” Nenek berkata sambil mengeluarkan asap dari hidungnya.

“Nenek ngerokok?” tanyaku jengah.

“Yo iyo tho, Le. Howone adem ngene yo butuh seng anget-anget.” (Ya iya, lah, Nak. Hawanya dingin gini ya butuh yang hangat-hangat.) Sambil mengerling genit ke arah si pemuda, Nenek menyahut menggoda.

“Piye niku seng anget-anget, Nek?” (Gimana itu yang hangat-hangat, Nek?) tanya si pemuda, memancing.

“Yo opo ae pokok anget tho, Dam. Nek isok nganti kemringet kotos-kotos.” (Ya apa aja pokok hangat, lah, Dam. Kalau bisa sampai keringatan menetes-netes.) Nenek tersipu malu menjawabnya. Lalu sedetik, menatapku seraya memperbaiki ekspresi. “Oh iyo, Le Kobe. Kenalno, cah iki Adam. Anaknya Rini seng omahe idek kali.” (Oh iya, Nak Kobe. Kenalkan, anak ini Adam. Anaknya Rini yang rumahnya dekat sungai.)

Aku melihat sekilas sosok pemuda bernama Adam yang perawakannya ceking dengan rambut keriting. Pakaiannya seperti para pemuda desa pada umumnya. Kaos lengan pendek dan bersarung.

“Nggih, Nek.” Aku mengulurkan tangan menyalami Adam. “Aku Kobe, Mas.”

Adam menyambut uluran tanganku. “Adam.”

Setelah itu, kami bertiga larut dalam obrolan ringan.

Tak ayal, ada beberapa obrolan dewasa yang setengahnya tak kupahami. Mengingat otakku yang minim literasi bertemakan peranuan, jadi aku lebih banyak menyimak.

Hikmahnya, banyak informasi yang aku ketahui dari obrolan kami bertiga.

Pertama, perihal Adam. Pemuda yang sebaya denganku itu ternyata sudah menikah muda. Di usia yang seharusnya dimanfaatkan untuk menikmati masa muda, Adam harus banting tulang menghidupi dirinya dan istrinya yang tengah mengandung 18 minggu. Terlebih, pasangan pasutri itu tinggal bersebelahan dengan rumah orang tua Adam. Semakin mantaplah privilege yang didapat pasangan muda ini tanpa takut kesusahan dalam menjalani bahtera rumah tangga karena didampingi orang tua.

Lebih lanjut, dari penuturan Adam, di desa ini sudah biasa orang-orang menikah muda. Selain menambah populasi agar desa tidak sepi, menikah adalah cara menghindari zina, katanya.

Sampai …

“Sampun dalu, Nek. Kulo pamit rumiyen. Mbenjang bade ngewangi bapak ten sawah.” (Sudah malam, Nek. Saya pamit dulu. Besok mau bantu bapak ke sawah.) Adam berdiri. Merapikan sejenak sarungnya yang sedikit melorot.

Nenek pun sontak ikut berdiri. Tak kusangka, tangan Nenek meraba kontol Adam dari luar sarung. “Ojok lali simpen tenogomu, yo, Dam. Mene Nenek kudu metu peng telu.” (Jangan lupa simpan tenagamu, ya, Dam. Besok Nenek harus keluar tiga kali.) Balasnya, sambil mengarahkan bibir mencium pipi Adam.

Aku yang melihatnya merasa jengah.

Cemburu? Tidak juga. Aku pun tidak peduli sebenarnya. Tapi, yang menjadi masalah di sini adalah wajah Adam yang mesum itu jelalatan ke arah gundukan susu Nenek yang tertutup kain jarik.

Bajingan.

Si Adam ini yang bilang soal jangan sampai terjerumus ke dalam perzinahan sebelum menikah, ia juga yang justru zina mata karena memeloti susu Nenek.

Dari ucapan Nenek, orang tuli juga tahu kalau itu kode untuk mengajak bersetubuh. Bahkan orang bodoh paham betul jikalau Nenekku ini sepertinya sudah memiliki hubungan gelap yang sudah terjalin sebelumnya.

Aneh. Ada ya anak muda yang tertarik dengan yang tua-tua seperti Nenek?

Kalau memang suka dengan Nenek, kenapa tidak dinikahi saja Nenekku yang genit ini?

Dengan begitu, tidak perlu main kode-kodean, bukan?

“Gampang kuwi, Nek. Mene Adam bakal muasno njenengan nganti kepuyuh-puyuh, Nek. Ojok kuatir, hehehe.” (Mudah itu, Nek. Besok Adam bakal memuaskan Anda sampai terkencing-kencing, Nek. Jangan khawatir, hehehe.) Adam cengengesan. Lalu, ia menghadap ke arahku. “Pamit, yo, Be.”

Kurang ajar sekali ucapan Adam ini. Apalagi secara gamblang tanpa tedeng aling-aling dilontarkan dengan aku yang masih ada di sini.

Aku yang enggan drama, hanya mengacungkan jempol. “Yo, Dam. Ati-ati.”

Setelah mengantar Adam ke depan, Nenek menutup dan mengunci pintu depan, lantas kembali ke ruang tamu. Sewaktu Nenek berjalan itulah, aku sempat melirik-lirik ke arah buah dada yang memang ranum dan jumbo milik nenek.

Tak ayal, semua laki-laki pastilah senang dengan yang namanya susu.

Begitu pula aku. Aku tak munafik, kok. Terlepas dari usia Nenek yang hampir tiga kali lipat umurku, nenek masihlah tetap menarik dari segi seksual. Wajah cantik. Tidak ada kerutan. Badan bongsor berisi daging tanpa lemak. Susu besar yang mengundang.

Tak hanya itu, manakala Nenek membelakangiku hendak meletakkan sebuah bingkisan di atas maja, bongkahan pantat beliau yang menonggeng membuatku tak berkedip. Tidak sampai pantat itu nampak jelas tercetak garis celana dalam.

Apa Nenek tidak pakai celana dalam? Edan juga ini orang tua. Bisa-bisanya.

“Le, awakmu ora turu?” (Nak, kamu tidak tidur?) Nenek bertanya, sembari mengambil duduk di tempat semula.

“Aku kan barusan bangun tidur, Nek.”

“Oh. Yo wes. Nenek kape turu iki.” (Oh. Ya sudah. Nenek mau tidur ini.)

“Dikancani melekan ta, Nek?” (Ditemani begadang, kah, Nek?) entah darimana keberanianku mengatakan itu. Meluncur begitu saja dari congor yang tanpa rem.

Nenek terkekeh. “Yo ngono peka. Mosok kudu Nenek seng ngomong disikan.” (Yo gitu peka. Masa harus Nenek yang ngomong duluan.)

Aku geleng-geleng saja mendengarnya, sebelum bertanya, “Nenek mau tidur di mana?”

“Di kamarmu aja.”

Sambil mengacungkan rokok yang terselip di sela-sela jari, aku berkata, “Nggih. Nenek duluan aja. Rokokku masih setengah. Sayang kalau dibuang.”

Nenek geleng-geleng kepala. “Eladalah. Awakmu iki kok ngebes temen tho lek ngerokok? Ndak sayang parumu, po?” (Eladalah. Kamu ini kok terus-terusan sih kalau ngerokok? Tidak sayang paru-parumu, apa?)

“Hehehe. Adem, Nek.”

“Alasanmu kuwi. Nek njalok anget yo gek ndang melbu kamar. Engkok Nenek kasih seng anget ben gak adem.” (Alasanmu itu. Kalau minta hangat ya buruan masuk kamar. Nanti Nenek kasih yang hangat biar tidak dingin.) Ujar Nenek manja sambil berdiri, berjalan meninggalkanku seorang diri.

Aku mematung. Tak bisa kutelaah ucapan berbau undangan dari mulut Nenekku sendiri. Jujur saja, aku deg-degan bukan main sekarang.

Tanpa sadar, kutinggalkan begitu saja rokok yang masih ada, lalu menyusul Nenek yang sudah memasuki kamarku.

Di sana, Nenek sedang berdiri membuka almari. Memang ini almari juga ada pakaian-pakaian Nenek yang diletakkan di sana. Kuperhatikan tanpa berkedip Nenek yang sedang mengambil sarung dan selimut dari dalam almari.

“Jancuk! Awakmu iki nggarai Nenek kaget ae!” (Jancuk! Kamu ini bikin Nenek kaget saja!) pekik Nenek. Mengelus dada. Kaget melihatku yang tahu-tahu sudah menyusulnya.

“Nggih, Nek, nggih. Nggak usah misuh-misuh gitu, lah.” Aku membalas cuek.

Setelahnya, Nenek menyodorkan sarung hitam kepadaku. “Ganti baju dulu, Le. Terus pakai sarung.”

Tanpa menjawab, aku mengambil sarung itu dari tangan Nenek. Kemudian, Nenek bergeser untuk memberiku jalan menuju almari tempat pakaianku berada. Kuambil pula celana pendek dan kaos lengan panjang. Memang sih sedari siang saat datang aku belum sempat berganti pakaian. Tidur pun masih menggenakan pakaian yang sama.

Sedetik, aku berniat melangkah keluar kamar sambil menenteng sarung dan pakaianku.

Baru saja hendak memutar badan, Nenek yang sudah berbaring terlebih dahulu di ranjang langsung nyeletuk, “Lho? Mau ke mana? Kalau mau ganti baju ya di sini aja.”

Gusti! Cobaan apalah ini?

“Nek, Nenek nggak bercanda, kan? Aku sudah besar, lho. Nenek nggak malu apa?” semburku ketus.

“Oalah, Le, Le. Awakmu iki jan ribet tenan atek isin-isin barang. Wes ndang salin. Gak-gak lek manukmu seng ungil-ungil iku tak cokot.” (Oalah, Nak, Nak. Kamu ini memsng ribet beneran pakai malu-malu segala. Sudah buruan ganti pakaian. Tidak-tidak kalau burungmu yang unyu-unyu itu aku gigit.) Canda Nenek sembari menarik selimut sampai dada.

Benar-benar orang tua ini. Antara menyebalkan, meresahkan, dan membuat panas dingin.

Sat-set!

Aku melepaskan seluruh pakaianku, lalu kugantung di gantungan samping almari. Setelahnya, aku menggenakan celana dan kaos panjang, lengkap dengan sarung hiaam pemberian Nenek yang sudah terpasang dari perut sampai mata kaki.

"Cilikno ublik'e sek, Le. Terus rene." (Kecilkan ubliknya dulu, Nak. Terus ke sini.) Perintah Nenek.

Cittt!

Ranjang berderit kala aku menaikinya.

Nenek yang semula memejamkan mata, kini melirikku tanpa menoleh. “Piye, wes ngantuk?” (Gimana, sudah ngantuk?)

“Lah, ya nggak tho, Nek. Kan aku nemenin Nenek tidur.” Aku menjawab sekenanya.

“Duh. Pancen wong kuto ora paham bosone wong ndeso.” (Duh. Dasar orang kota tidak paham bahasanya orang desa.) Nenek terlihat gemas sekali dengan jawabanku. Tanpa kuduga, Nenek merapatkan selimut, badannya miring ke kanan menghadapku dengan tangan kiri memeluk tubuhku. "Nenek kangen sama kamu, Le."

"I-iya, Nek. Aku juga." Semakin menempellah aku dan Nenek. Apalagi dua buah payudaranya menggencet badanku sebelah kiri. Dag-dig-dig aku dibuatnya.

Tanpa sadar dan tanpa persiapan apa-apa, aku justru balas memeluk Nenek, sebagai kedok untuk mengobati rasa penasaranku dipijat secara tak langsung oleh payudara miliknya.

Jam dinding bergerak tanpa bisa dicegah. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Aku masih terjaga dengan posisi sama. Sementara Nenek sudah terlelap. Dengkuran halus serta merta mengeluarkan nafas beraroma khas wanita dari mulutnya. Yang kurisaukan sebenarnya bukan terpaan nafas Nenek yang menyapu sebelah wajahku. Melainkan paha gempalnya menindih kontolku. Bajingan.

Sejenak, aku mengatur ritme nafasku agar tak memburu. Alih-alih normal, nafasku kian cepat tak menantu. Seiring bau aneh yang menyengat santer tercium asing menginvasi hidungku. Bukan bau badan Nenek. Bukan. Bebauan ini baru pertama kali aku hirup. Sesaat, pikiranku kosong. Pandanganku bergantian menatap langit-langit plafon dan wajah Nenek yang damai dalam tidurnya.

Hingga kemudian, aku disadarkan oleh dugaan ingatanku sendiri. Ingatan tentang bau yang mirip seperti sesuatu yang dibakar, pernah tak sengaja terhirup olehku saat tempo hari ibuku sendiri tidur mengeloniku pada malam terakhirku tinggal di kota.

Jangan-jangan ...?!
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd