Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY neoKORTEKS

Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
haduh ngomongin bobot jadi gak enak hati hehe.

btw buat pembaca baru yang belum tau, saya update setiap hari minggu malam atau senin pagi. begitu.

Abis baca maraton seminggu ini 2 karya suhu sebelumnya jadi kerrasa benang merahnya dengan cerita sebelumnya dan ane sangat suka dengan cerita model ini apalagi si Nando minin pengetahuan sama hubungan intim. dan efeknya saya jadi ikutan suka MCU.

Jadi ingin tau nih perkembangan Abang Nando dengan kelompoknya Anwar serta sampe menangani Erna yang truma berat dan kelanjutannya
 
Episode 13
Lelah



Gina

Waktu aku masih SMP, pelajaran IPA dan Bimbingan Konseling pernah menjelaskan hal-hal dasar soal reproduksi mamalia. Manusia dan siamang termasuk mamalia. Maka, kegiatan reproduksi manusia dan siamang tidak berbeda.

“Manusia dan siamang sama-sama punya penis bagi pejantan. Bedanya, manusia dianjurkan untuk melaksanakan sunat demi kebaikan medis dan agama. Siamang tidak. Siamang tidak taat beragama.” Kataku.

“Manusia dan siamang sama-sama punya vagina bagi pebetina. Bedanya, manusia menutupi kejadian menstruasinya karena banyak menumpahkan darah. Siamang tidak. Siamang tidak berdarah.” Kataku.

“Manusia berkawin dan hamil supaya punya anak. Kalau ingin punya anak, ada aturan sah melalui pernikahan supaya tidak diamuk warga. Siamang tidak menikah. Siamang harusnya diamuk warga.” Kataku.

“Hahahahahahaha.”

Gina suka sekali tertawa.

“Logis, kan.” Kataku, supaya Gina berhenti tertawa.
“Sesat pikir. Mana ada siamang menikah.” Tawa Gina tertahan.

Aku berpikir sedikit untuk membalik lagi komentar punya Gina.

“Siamang berzina dong sepanjang hidupnya.”

Gina masih saja tertawa sambil berjumpalitan di atas kasur.

“Siamang gak punya agama, sialan.” Katanya.
“Kata guru ngaji gue dulu gak begitu.” Kataku.
“Begitu apa?” Katanya lagi.
“Nggak jadi deh.”

Bicara soal agama itu sensitif. Susunan pembicaraan ini bisa berantakan kalau diteruskan. Komunikasi kami sekarang harusnya berputar dalam situasi yang ringan. Apalagi Gina masih dalam kengerian kalau-kalau orang bernama Alvin mau datang ke tempat Gina malam ini.

Aku sudah buru-buru berangkat dari kost, berbalut jaket, di tengah-tengah malam hari. Untung buatku karena tidak ada yang curiga menganggap aku maling. Selain itu, butuh sepuluh menit pula hingga aku sampai di lobi apartemen Gina.

Teks lewat SMS dariku menjangkau Gina dalam waktu singkat. Sebentar, Gina dalam kegelisahannya menjemputku dari arah lift.

“Ayo, cepet.” Panggil Gina.

Bahkan dia tidak mau keluar dari batas akses masuk.

“Sebentar. Punya fotonya gak?” Aku menolak diajak masuk.
“Foto siapa?”
“Foto Alvin.” Aku jawab.

Gina bingung. Tidak mengerti. Tapi dia tetap merogoh sakunya untuk mengambil handphone.

Gina menggeser-geser layar handphone dengan jari telunjuk. Lalu dia menemukan satu foto yang cukup jelas menampangkan wajah Alvin. Memang sudah kodrat tipis matanya, batinku, begitu melihat foto laki-laki Gina itu.

Kuserahkan foto Alvin kepada satpam di depan lobi. Dengan demikian, kami punya petugas keamanan yang bisa mencegah Alvin masuk ke dalam apartemen. Selembar nominal besar untuk gaya hidup mahasiswa kupersembahkan pula bagi satpam itu supaya lebih koperatif.

Akhirnya, kami berdua naik ke kamar Gina di lantai tiga. Di situlah aku bicara banyak hal yang tidak penting karena Gina masih dalam kondisi rasional.

“Gue laper.” Kataku.
“Di lemari ada mie.” Balas Gina.

Begadang tengah malam membuat semua orang habis nerginya. Kalau tidak lapar, pasti bohong.

Akhirnya, aku menghabiskan waktu sampai lewat dari subuh di tempat Gina. Perkuliahan siangnya kulalui tidak fokus karena mengantuk. Bahkan, aku sampai tertidur dalam kelas.

Bagaimana aku tahu bisa tertidur, itu karena diberitahu Niken. Dia masuk ke kepalaku dengan sembarangan lagi. Tapi untuk kali ini tidak apa-apa, justru bagus. Materi kuliah yang satu ini harus tidak boleh terlewatkan demi UAS minggu depan.

“Nanti malam aku datang lagi. Sekarang bangun, kuliah.” Perintah Niken.

---


Niken

Entah dari siapa cerita ini kudengar minggu lalu. Aku lupa Beni atau Anwar. Orang ini berkata kalau bayi datangnya diantar oleh bangau ke depan pintu rumah masing-masing. Kemudian, jadilah sepasang laki dan wanita menjadi orang tua bayi ini.

Sebenarnya orang ini hanya bercanda. Ada tawa yang menggelegar setelah dia berkata begitu. Katanya, bayi yang diantar bangau pastilah bayi bangau, bukan bayi manusia. Tapi, aku tergetar untuk mengulang candaan itu kepada Gina.

Sebagai tambahan guyonanku yang original.

“Kenapa sih gak boleh kasih tau Yoshi sama Yuli?” Aku lalu bertanya begitu sudah puluhan kali.

Malam ini sudah malam keempat aku, dalam tanda kutip, dipaksa menginap di tempat Gina. Buatku, ini semakin menjadi dilema. Minggu depan UAS sudah dimulai, tapi aku justru semakin kurang tidur. Gina sendiri lebih merasa aman saat ditemani walau satpam sudah dimintai berkali-kali supaya tidak mengizinkan pria bernama Alvin masuk ke dalam gedung apartemen.

Tiga malam kemarin, Niken mengunjungiku seperti biasa. Kesibukannya menjelang lulus dan bayangan koas membuatnya sibuk. Hanya lewat mimpilah dia bisa mengunjungiku. Memeriksa keadaanku karena firasat, kata Niken.

Kemudian, Niken kaget mendapati bahwa aku tidak dalam kondisi fisik terbaik. Mataku punya kantung tebal dan gelap. Perutku tertangkap basah berbunyi karena lapar. Maka, ceritalah aku permasalahan yang kemarin-kemarin dia bilang supaya aku diam.

“Bicara sama Novia gak ada solusi.” Aku bercurah hati.
“Emangnya sama aku ada solusi?” Sahut Niken.

Aku menoleh kepada Niken, dari yang tadi aku menunduk akibat lelah. Terasa sekali lelahku karena kuliah, sedikit pulang malam dari kampus, dan begadang. Aku tidak pernah merasa selelah ini hingga terbawa ke dunia mimpi.

“Kamu dewasa, cerdas.” Kataku.
“Kamu cuma mau denger solusi yang sesuai sama kamu.” Niken mengelak lagi.
“Gina temenku. Masa aku gak nolong.” Aku agak meninggi.

Niken justru memberitahuku untuk berani mengatakan tidak. Tapi rasa kasihannya aku melihat Gina yang diserang gelisah membuat nasihat Niken tidak teramat berguna. Atau aku juga punya keras kepala, mungkin.

Niken ikut meninggi karena aku sedikit meninggi. Tapi kupaham dia marah bukan karena ikut-ikutan. Niken benar-benar marah karena ada yang tidak sejalan dengan harapannya. Aku yang beristirahat dan menjadi manusia cuek, harapannya.

“Nando, denger, kamu punya nilai lebih dari yang kamu tahu.” Kata Niken.
“Nilai apa?”
“Nilai ini. Pakai baik-baik.” Niken menyentuh keningku.

Maksudnya, Niken memberitahu bahwa yang dia tunjuk adalah kemampuan mimpi sadarku. Tapi dia sudah bilang begitu sejak sepuluh tahun lalu. Aku jadi bosan. Tidak ada lingkaran baru.

Aku bukan ahli nujum. Bukan lagi dukun kampung yang stagnan di rumahnya selalu. Aku, harusnya menjadi aku, manusia normal dengan kecerdasan kognitif yang berkembang sepanjang jalan. Kepergianku ke negeri orang pun harusnya menjadikan ada relasi baru di mana-mana.

Jadi, ya, aku memilih bahwa Gina juga prioritasku saat dia butuh bantuan.

“Nando!” Niken membentak.

Aku tahu Niken tahu isi kepalaku. Sadar dalam mimpi, mimpi dalam mimpi, Niken bisa macam-macam yang aku belum bisa. Tapi, memanglah aku sengaja menunjukkan isi kepalaku padanya sebagai pemberontakan.

“Terserah kamu, kalau kamu mau di sini-sini aja!” Niken pergi tanpa pamit yang benar.

Kutebak Niken sedang akan menstruasi. Biarkan dia begitu sampai beberapa hari ke depan. Nanti juga baik sendiri.

---


Novia

Gina malam ini sama saja. Masih gelisah seperti kemarin-kemarin.

Bedanya, aku sudah kelelahan. Aku ingin tidur cukup malam ini sebagai kompensasi tidur yang kemarin-kemarin.

“Gin, gue tidur duluan gak apa-apa, kan?” Aku bertanya pada dia.
“Oke.”

Kutempatkan tas di sudut dekat lemari. Lalu, aku menarik tempat tidur tambahan dari bawah spring bed utama Gina. Tidak butuh waktu lama untukku bisa terlelap ke dalam alam mimpi kembali. Malam ini aku harus nyenyak demi kesehatanku sendiri.

Ruangan yang kutempati gelap. Lampu tidak menyala, tapi bisa kukenali sebagai sebuah kamar yang bagus. Ada tempat tidur kecil untuk satu orang. Begitu mataku cukup bagus, rupanya ini kamar Gina sendiri.

“Nando..” Di belakangku seseorang memanggil.

Suara perempuan yang aku kenali.

“Novia.” Kataku.

Tanpa disuruh, tanpa diperintah, kami berdua memajukan masing-masing badan kami. Melakukan kegiatan berciuman penuh nafsu. Penuh nafsu sedikit rindu, karena aku rasa aku ingin.

Aku rasa aku juga ingin. Aku dorong Novia ke pembaringan. Kulumat lagi bibirnya yang atas dan bawah. Lidah menjulur seperti ular, mengundangku untuk menghisap menggigit kuat sampai dia mengerang kesakitan.

Aku rasa aku juga ingin. Kuputar badan Novia supaya dia ada di atas tubuhku. Kutuntun supaya aku mendapatkan dominasi dari seorang perempuan, yang kusayang. Kemudian, Novia menghisap dan menggigit bibirku sama seperti yang tadi-tadi.

Kusingkap rambutnya yang menghalangi. Kening Novia menjadi lebar dan wajahnya menjadi jelas di depan mataku. Wajah yang indah dan penuh pengharapan.

Aku rasa aku juga ingin. Lalu, kuraba seluruh tubuh Novia. Dua gundukan empuk itu baru sekali ini aku pegang. Tidak buruk ternyata di kepalan tangan. Sensasinya bahkan ikut membuat kami berdua makin bergairah.

Aku dorong Novia mundur supaya aku bisa bangkit. Kembali menjadi posisi duduk, kuselipkan kedua tanganku ke bawah kaos yang dia pakai. Kudorong ke atas sampai lepas, sampai terkuak tubuh indahnya. Sebaliknya, Novia juga begitu padaku.

Kami saling menikmati polosnya tubuh bagian atas pasangan. Tanpa ada penghalang lagi, kuremas-remas payudara itu yang baru pertama aku lihat. Putingnya gelap, oh, indah. Aku bisa bilang apa lagi. Ingin aku pelintir keduanya.

Aku rasa aku juga ingin. Maka, aku berbaring untuk meminta hal yang belum pernah. Novia pun paham itu. Dia mulai dari telingaku.

“Hm...”

Telingaku digigitnya.

Lidahnya terjulur ke dalam lubang telingaku. Ada suara mengecap yang menggelegar, mengetuk-ngetuk daun telinga dan tulang di belakangnya. Belum juga ditambah dengan rangsang dari sapuan lidahnya di sepanjang jalur itu.

Kedua telingaku silih berganti digoda perempuan satu ini. Aku balas menjambak rambut Novia sebagai komunikasi fisik akan kenikmatan yang dia berikan. Kami sudah bernafsu.

Sapuan lidah Novia menjalar ke arah bawah, ke arah leher. Satu gigitan besar dan lama yang mendadak langsung membuatku merinding. Dia tertawa kecil setelahnya, melihat ada bekas yang tertinggal di leher sebelah kiriku.

Novia bermain lebih lama di bagian leher. Dia menjelajahi bagian manapun yang dia mau. Aku juga tidak melarangnya.

Aku rasa aku juga ingin. Maka, aku minta dia untuk mulai meraba kelaminku meski masih tertutup kain celana. Sambil bermain dengan leher, dan turun ke dada, kelamin juga harus dapat sentuhan-sentuhan intim. Karena, itu organ utama seksualitas.

“Keras..” Goda Novia.

Rasanya tiada terganti saat ada perempuan yang memegang batang kelelakian milik sendiri. Untuk yang pertama, ini sungguh meninggalkan kesan luar biasa. Tubuhku bergetar sampai ke tulang-tulangnya.

Dari bagian dadaku, kecupan-kecupan Novia terus menjalar turun di pusar. Rasanya semakin geli mendekati tujuan apa yang kami berdua maui.

Tidak perlu tunggu apa-apa. Novia sudah harus menurunkan celanaku. Dia harus membebaskan yang sudah dia pegang dari tadi. Novia tahu itu.

“Ih, kok besar?” Tanya dia.

Aku tersipu nafsu.

Permukaan tangan Novia mulai meraba-raba rerambut di sekitar kemaluanku. Makin tegak, itu akibatnya. Sapuan tangannya ke mana-mana, sampai akhirnya aku tidak karuan sendiri menanti yang utama.

Aku tidak sabar, tapi aku berusaha tetap mengikuti permainan yang kesayanganku lakukan. Sampai aku menggertakkan gigiku, reaksi campuran dari terburu sambil menahan nafsu.

Aku ingin. Sampai Novia tahu itu. Dia kembali pada hal utama, pada akhirnya. Telapak tangannya menggenggam pangkal yang tegak milikku. Pelan-pelan dia mencengkram, lalu naik tangannya ke atas, lalu turun. Satu kali.

Seperti oasis di padang tandus. Itulah rasanya.

Kedua kali, ketiga kali, berkali-kali. Meski gerakannya pelan, sungguh geli dan nikmat yang sepenuhnya aku rasakan. Biarkan Novia bermain dengan mainannya sendiri sementara aku berbaring merasakan hasilnya.

“Novia...mm..” Itu yang hanya bisa kulontarkan.

Aku tetiba kaget. Ada hembusan nafas di ujung kemaluanku. Begitu aku mengangkat kepala untuk melihat yang terjadi. Mulut Novia sudah hampir melahap separuh batang tegak yang sedang dipegangnya.

Ditarik lagi mulutnya ke atas. Berhenti sebentar. Lalu turun lagi lebih rendah. Naik lagi ke atas. Turun lagi lebih rendah.

“Nov...”

Aku semakin tidak bisa berkata-kata.

“Bwah.” Suara dia menghela nafas.

Novia melepas mulutnya. Tersenyum nakal padaku sebentar. Lalu, dia melakukannya lagi. Suara orang bekumur terdengar jelas. Dia semakin menelan jauh milikku hingga ke pangkal. Batang kejantananku sekarang sepenuhnya hilang ke dalam rongga mulut seorang wanita.

Aku sudah ingin. Tiada tara. Tapi, Novia belum juga puas melepas dan menelan lagi. Lagi dan lagi. Semakin cepat sampai aku sudah tidak merasa ada di bumi.

Sesekali dia berkata, sambil melepas sebentar mulutnya.

“Give it to me.” Katanya mendesah.

Novia menggodaku dengan kalimat berbahasa inggris. Ini baru.

Ini.. Bukan Novia...

“Do.. give it to me...” Katanya lagi.

Ini bukan suara Novia. Ini suara yang lain.

Ini... suara Gina.

Aku seketika membuka mata. Benar pula, Gina sedang menikmati kelamin punyaku dengan begitu liar. Di sebelahnya, ada botol minuman alkohol berbentuk pipih yang sudah hampir habis. Ini Gina pasti mabuk.

Gina di luar kendali. Tangannya naik dan turun begitu cepat di atas kulit penisku yang sudah basah. Mulutnya sebentar menggantikan tangannya untuk memberi variasi. Dia begitu liar.

“Nghh...Gina...” Kupanggil dia, lirih.

Gina melihat padaku. Dibalik rambutnya, rupanya Gina kudapati juga sudah tidak memakai baju. Aku harus mengentikan dia...

“Just feel it, Hon.” Itu katanya, sembari tangannya bergerak semakin cepat.
“Ohh...” Aku merinding.

Aku jadi tidak berdaya dibuat Gina. Tubuhku menolak keinginanku. Sampai akhirnya aku kalah dengan badan ini sendiri yang sedang diselubungi kenikmatan.

Gerakan tangan Gina semakin menjadi. Apalagi sekarang dengan mulutnya yang menanti di ujung kelaminku. Lidahnya terjulur menggoda menjadi sebuah kegelian.

“Gin... Owh..” Aku terlampau keenakan.
“Hnnng..” Sahut dia.
“GINN...”

Nafasku tertahan, mengerang. Kepalaku naik. Mataku terpejam. Aku... sampai.

Aku benar-benar kalah.

Setelah kembali ke bumi, aku mencari kembali kepada apa yang sedang dilakukan Gina. Nyatanya tidak ada satu pun spermaku yang meleleh ke mana. Semuanya ada di mulut Gina yang masih melekat di atas batang punyaku. Sebentar kemudian, dia akhirnya melepaskan.

“Haha, Do. Lihat.” Gina memanggil.

Dia membuka mulutnya. Gina menunjukkan spermaku yang putih menjijikan ada di dalam sela-sela lidah dan giginya. Tidak pakai pikir, Gina menelan habis dan menunjukkan lagi mulutnya yang sudah kosong. Bersih.

“Nggak harus begini, Gin.” Kataku, lunglai.

Kutarik kembali celanaku ke atas. Lalu pergi ke kamar mandi. Lalu mengunci pintu dari dalam. Aku mengurung diri supaya Gina tidak ikut campur dalam urusan sendiri menyendiriku.

Aku membatin mengutuk dosa yang baru saja terjadi.

Aku sudah selingkuh dari Novia.

BERSAMBUNG
 
Semoga Niken gak lupa ngingetin Nando utk update besok pagi...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd