Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Nyi Kinarah

Nyi Kinarah... dereng rawuh... tasih ngumbah cancut ipun... aarrghh... malah ndalang gue... ayo apdet hu selak kancute ilang kabeh...:pantat::Peace:
 
Cinta

Dedi terduduk di kantin. Kepala tertunduk, lesu. Matanya membuka, tapi tidak melihat apa yang ada di depannya. Yang ia lihat adalah sosok gadis cantik yang makan di warung nasi ibunya. Harum dan lembut terasa menyenangkan ketika gadis itu duduk dibonceng menuju tempat kos, lalu bertemu pemilik tempat fotocopy sebelah kampus.

Waktu pertama bertemu Ani, gadis itu nampak angker, dingin, sedih. Tetapi setelah bergaul beberapa waktu, ternyata Ani adalah gadis yang periang, lucu, dan pintar. Mereka tertawa dan mentertawakan banyak hal, hanya Ani tidak pernah mau bicara masa lalunya, dari mana ia datang, mengapa pergi ke kota -- semuanya misteri. Tak mengapa. Dedi sangat menikmati saat-saat bersama Ani, memimpikan gadis ini. Sayang, Ani seperti tidak mengerti sinyal cinta darinya, mereka bersahabat saja. Tidak lebih.

Ridwan adalah sahabat Dedi sejak masih SMP, setiap kali menggodanya karena Dedi tidak berani menyatakan cinta terang-terangan. Apalagi Ridwan sendiri sudah mendapatkan bunga kampus, Emma, anak tingkat satu. Ridwan jadi pelatih taekwondo di unit kegiatan kampus, tubuhnya tinggi atletis, putih, siapa yang tidak mau sama dia? Emma anak rantau dari pulau seberang, benar-benar tergila-gila pada Ridwan, mereka lantas membuat tempat kos Emma jadi markas kecil, tempat menghabiskan waktu bila ada kelas yang loncat beberapa jam.

Jadi betapa bete-nya Dedi karena sahabatnya asyik memadu asmara dengan gadis cantik, sementara ia sendiri dekat dengan gadis yang super cantik tapi tidak berani mengajaknya untuk apa-apa. Berpegangan tangan pun tidak. Ia tidak berani karena jika berada di dekat Ani, ada semacam dorongan aneh. Dorongan birahi yang amat sangat, rasanya ingin memeluk, mencium, mencumbu gadis cantik ini. Dedi setengah mati harus menahan diri, makanya berpegang tangan pun ia tidak berani!

Pernah suatu kali, Dedi menemani Ani dari pagi sampai siang, kebetulan hari itu kuliah hanya di malam hari. Pemuda ini tidak tahan lagi, karena penisnya sedemikian keras sampai terasa sakit di balik celana, membuat tonjolan keras yang setengah mati berusaha ditutupinya. Salting pol! Jadi, Dedi terus pamit dan pergi ke markas, tempat kosnya Emma. Sampai di sana, semua jendela masih tertutup rapat, seperti tidak ada orang. Tapi, pintu tidak dikunci, jadi Dedi menyelinap masuk -- sudah merasa ini tempatnya sendiri.

Eh, sampai di dalam, ia melihat Ridwan dan Emma yang bertelanjang bulat sedang ngentot dengan bernafsu. Emma di bawah, ditindih tubuh kekar putih Ridwan. Wajah perempuan itu mendongak, memejamkan mata, tangannya memeluk, mencakar-cakar punggung kekasihnya. Kedua paha mulus Emma mengangkang, terentang ke atas, menjepit Ridwan yang dengan berirama menggenjot naik turun. Ridwan sibuk menciumi leher Emma yang jenjang, sementara kontolnya terus menggenjot dengan kecepatan tinggi.

Sialan, pemandangan itu membuat Dedi merah wajahnya, menahan nafsunya sendiri. Tapi ia cukup sopan untuk tidak mengganggu dua insan yang sedang berkejaran menuju puncaknya, jadi Dedi terus kembali menyelinap keluar, menuju WC umum di sebelah kamar kos Emma. Menutup pintu, ia coli di sana, membayangkan dirinya yang sedang menggenjot Ani yang telanjang bulat, mengangkang di bawahnya, dadanya putih besar empuk dan panas. Hingga maninya muncrat panjang, lama, mengejang…. Dedi sejak itu punya kebiasaan baru masturbasi sambil membayangkan Ani.

Itulah yang ada dalam bayangannya di kantin, di siang yang panas itu. Orang-orang di kiri dan kanannya membicarakan tentang kehebohan yang berlangsung tidak lebih dari lima belas menit, tapi menghilangkan gadis cantik penjaga tempat fotocopy yang menarik hati setiap laki-laki di kampus ini. Dan perkelahian hebat yang dilihat beberapa orang, siapakah itu yang berkelahi? Karena secepat dimulainya, orang-orang itupun segera menghilang tak ketahuan rimbanya. Mereka semua tidak bisa mengingat karena Danan sudah melancarkan aji sirep kabut, yang membuat pikiran berkabut. Orang melihat tapi tidak ingat apa yang dilihat.

Dedi menghela nafas, tubuhnya masih terasa sakit. Kepalanya masih diperban, terluka kena pipa besi, untung tidak ada luka serius, hanya benjol besar saja, sudah ditangani di poliklinik dalam kampus. Ridwan sudah pergi, pasti ke tempatnya Emma -- Dedi tidak ingin ke sana saat ini. Danan, anak baru itu, entah berada di mana. Sekarang mau ngapain? Sakit badan begini, malas kuliah. Mungkin lebih enak untuk dipijat, teman-temannya membicarakan tempat pijat plus-plus yang murah, baru buka di pinggir kota, tempatnya masuk dalam gang. Katanya, di sana terapisnya STW alias sudah tua, tapi cantik-cantik dan seksi.

Dedi memacu motornya melalui kemacetan di kota yang panas. Tidak banyak orang yang mengikuti peraturan lalu lintas, semua semaunya saja. Maunya Dedi apa ya? Ia asal cepat saja, berkelak kelok di jalan, lalu masuk jalan kecil, lalu masuk gang. Salah belok, harus tanya kiri kanan, lalu putar arah, sampai akhirnya menjumpai PP yang berakhiran 'sehat' itu. Ya, memang butuh dijadikan sehat lagi. Dedi memarkirkan motornya di lapangan di ujung gang, lantas berjalan kaki ke PP yang kelihatan sepi di siang hari ini.

Seorang pak tua duduk di teras, sambil mengipasi diri. Petugas jaga ya, kasihan harus merasakan udara panas ini.

"Silakan dik," kata pak tua itu ramah. Dedi tersenyum dan mengangguk lalu terus masuk ke dalam. Di belakang meja penerima tamu, seorang perempuan yang gendut montok duduk dan menunjuk kepada album foto di depannya.

"Belum pernah ke sini ya Dik?"

"Err… belum bu…"
"Di sini satu sesi sembilan puluh menit seratus ribu ya Dik untuk pijat," katanya singkat. Sialan, apa disangkanya aku gak bisa bayar? Umpat Dedi dalam hati. Tapi ia tetap sopan.

"Uh… err… ada layanan lebihnya?"

"Di sini es-o-pe nya sih hanya pijat saja. Tapi kalau terapis mau, boleh nego di dalam. Paket all-in biasanya bayar duaratus saja. Murah Dik, di tempat lain biasanya tiga ratus."

"Oh jadi bayar semua dua ratus?"

"Seratus di sini, dua ratus di dalam. Bagaimana, Dik, mau?"

Sejujurnya, mahal untuk kantong mahasiswa. Tapi, kemarin anak lesnya baru membayar uang les, jadi dikantungnya ada lima ratus ribu. Dedi memilih terapis dari foto-foto di album, mencari yang paling manis. Bagaimanapun, cewek itu nanti akan berintim dengannya, bukan?

Dedi di antar naik ke lantai dua, ke sebuah ruang bersekat yang ditutup oleh tirai gorden yang tebal. Hanya ada sebuah lampu kecil di pojok, keseluruhan ruangan itu remang-remang. Di lantai ada matras yang permukaannya terasa tebal, mungkin dilapis PVC, lalu diberi sprei kain warna gelap. Entah hijau gelap, atau biru gelap. Dedi termangu-mangu di sana, jantungnya berdebar-debar. Ini adalah pengalaman pertamanya.

"Selamat siang, Mas," suara manis terdengar dari cewek yang menyibakkan tirai. Dedi menoleh, ternyata terapis ini tidak secantik fotonya, agak montok pendek, tingginya sehidung Dedi. Tapi, ya bolehlah, tidak jelek juga. Kalau Ani itu kecantikannya 10, terapis ini mungkin 4. Ya sudahlah, lumayan juga. Perempuan ini memakai baju kaos ketat dan rok mini. Pahanya nampak putih dalam keremangan ruang.

"Dibuka saja bajunya semua, Mas," kata si terapis lagi, kalau tidak salah namanya Rini. Apakah itu nama sebenarnya? Nampak montok berisi, seperti ibu-ibu muda, jauh beda dari cewek kampus sekalipun yang gendutnya juga. Gendutnya ibu memang beda dari gendut cewek gadis. Sambil berpikir begitu, Dedi melepaskan baju dan celananya, menggantung di hanger. Dia masih memakai celana dalamnya, agak tidak tahu harus apa karena kontolnya sudah mengeras oleh bayangan yang erotis.

"Mas, buka aja celana dalamnya juga. Kasihan adiknya tuh, susah bernafas," kata Rini sambil senyum simpul. Sedikit ragu, Dedi akhirnya melepaskan celana dalamnya. Penisnya tegak mengacung panjang; ini sering membuatnya malu karena tonjolan di celananya jadi lebih besar dan mudah dilihat orang. Konon kebanyakan orang mempunyai penis sepanjang 15cm. Punya Dedi mungkin 19cm, atau 20cm kalau di puncak ereksinya. Selain panjang juga gemuk, diameternya sedikit lebih besar -- agak kontras dengan postur tubuh Dedi yang kurus.

Rini membelalak. "Aduhh, besar banget ya? Mau dilemesin dulu, Mas, atau mau pijat saja?"

"Eh… pijat dulu. Tapi nanti dilemesin ya? Ada paket all-in ya?"

"Iya Mas, nanti main sama saya cuma dua lembar merah aja kok…. Ih, nggemesin… ayo sekarang tengkurap saja dulu," kata Rini lagi. Dedi menurut, ia bersyukur bisa menyembunyikan batang kerasnya yang sudah mulai mengeluarkan lendir bening. Rini mulai memijat Dedi yang telungkup -- dan ternyata ia benar-benar pandai memijat. Rini memulai dari leher dan pundak, terus ke punggung. Tidak erotis. Enak, Dedi merasa dirinya lebih rileks, membiarkan terapis dengan terampil menangani bagian otot yang kaku dan keras.

Selesai di atas, Rini terus melanjutkan dari bawah, dari telapak kaki, terus ke betis, paha, pantat. Dedi kembali mulai terangsang. Ketika jari jemari Rini sampai di pangkal pahanya, terus ke selangkangan, terapis itu terus mengelus bola pelirnya. Sampai di sana, Rini terus memijat lagi ke punggung, tetapi sambil duduk di atas paha Dedi. Sementara tangannya -- dia memijit dengan sikutnya -- bergerak ke atas, Dedi merasakan celana dalam perempuan itu menggesek pahanya. Rupanya, Rini juga mulai terangsang, karena ia menggesek-gesekkan memeknya makin cepat.

"Balik, Mas," kata Rini dengan nada manja. Dedi berbalik terlentang. Kontolnya mengacung keras. Sambil memandang batang kemaluan yang panjang itu, Rini kembali memulai pijat kaki Dedi, tapi kali ini pijatannya tidak lebih dari elusan. Ia memijat terus ke atas, menggesekkan memeknya di sepanjang kaki, mulai kiri, lalu kanan. Ia terus memijat ke atas, ke perut, ke dada. Memek Rini yang masih pakai celana dalam digesek-gesekkan ke kontol Dedi. Nafasnya memburu.

"Sekarang BM ya, Mas?" bisik Rini.

"BM?"

"Body Massage, Mas… pakai body saya," seraya melepaskan baju kaosnya. Rini terus berdiri, melepas BH, melepas rok mini, melepas celana dalamnya. Tidak ada apa-apa lagi di sana. Terapis itu terus mengambil kondom dari kotak peralatan pijatnya, memakaikan kondom itu pada batang yang sudah licin berlendir. Jantung Dedi berdebar-debar, pusing karena terlalu terangsang.

Tapi, Rini memang terapis senior yang tahu bagaimana memainkan nafsu laki-laki. Ia memijat dengan susunya yang bulat kenyal keras itu. Rini mendesah-desah sambil menggelosor seperti ular di sekujur tubuh, waktu kontol itu berada tepat di antara belahan susunya, Rini merintih sambil meremas kedua teteknya menjepit batang lelaki yang keras. Dedi memejamkan matanya erat-erat, pertama kali merasakan sensasi seks ini.

Gerakan Rini semakin cepat seiring meningkatnya desahan dan erangan erotisnya. Memeknya sudah basah, digosok-gosokkan sepanjang kontol yang panjang dan tertutup kondom itu. Sang terapis akhirnya tidak tahan lagi, ia memasukkan batang kemaluan keras itu ke dalam liangnya. Dedi merasakan jepitan yang hangat dan kuat, ketika seluruh batangnya amblas masuk ke memek perempuan mungil ini. Rini semakin menggila, meliuk-liuk, memutarkan batang besar itu mengorek liangnya.

Dedi seperti tersengat listrik, nafasnya tersengal-sengal. Tapi ia masih bertahan, sampai akhirnya Rini orgasme duluan. Memeknya menjepit kontol besar itu kuat-kuat, sambil dibenamkan sedalam-dalamnya. Dedi juga tidak tahan lagi, terus saja ia ejakulasi kuat, memancar, matanya terpejam erat-erat. Serasa tubuhnya melayang, tinggi, cepat, kuat. Waktu terasa terhenti.

Ketika Dedi membuka matanya, ia melihat Ani -- Renggani -- baru saja mengalami orgasmenya yang hebat. Gadis cantik itu nampak begitu seksi, mulutnya terbuka, matanya terpejam. Dedi memandang tubuh cantik itu sedang menduduki dirinya, merasakan kontolnya dijepit kuat-kuat memek yang rapat. Paha Ani yang indah menjepit pahanya sendiri, sementara ia berkedut-kedut menikmati puncak seks yang panjang dan panas.

Renggani tersenyum. Ia bangkit, melepaskan kontol itu dari memeknya. Cairan mani putih kekuningan terus menetes keluar dari bibir liangnya -- Dedi tidak memakai kondom. Maninya meleleh begitu saja mengenai perutnya, pahanya. Dedi mengejapkan matanya, merasa sangat sangat bahagia. Sekaligus, sangat membingungkan. Sejak kapan Ani mengentot dengan dirinya? Di mana ini?

Ani mencium bibirnya. Terasa manis dan hangat. "Sayang, cintakah padaku?" bisiknya lirih.

"Ani… aku sangat cinta padamu…" balas Dedi dengan segenap hati.

"Kalau begitu, setialah…. Aku menantikanmu. Tetaplah setia…." balas Ani. Sejenak kemudian, tubuh gadis yang tidak perawan lagi itu menjadi ringan, seringan asap, seringan bayangan. Ani begitu saja lenyap dari atas tubuh Dedi. Kebingungan, Dedi terus turun dari ranjang, mencari. Ani tidak ada di ruangan ini, sebuah kamar dengan empat dinding dari kayu. Ada satu jendela tertutup papan, di sebelah pintu dari papan juga. Dedi membuka daun jendela, matahari bersinar terik. Di luar sana, di kejauhan, lamat-lamat terdengar deburan ombak.

Dedi berusaha mencari baju di ruangan yang hanya terisi satu ranjang, satu meja, dan satu kursi itu. Tapi, di sana tidak ada pakaian sama sekali. Tidak ada kain; kasur yang ditidurinya terbuat dari tumpukan daun yang empuk. Tidak ada spreinya. Dedi terus membuka pintu, melangkah keluar. Matahari bersinar terang, tapi udaranya sama sekali tidak panas, sebaliknya sejuk seperti udara pegunungan. Di pinggir pantai, udara sesejuk pegunungan. Di mana ini?

Bertelanjang bulat, ia melangkah keluar dari pondoknya, berjalan sampai di tepi pantai. Pasirnya putih, ombaknya tidak tinggi, busa halus bermain di kakinya. Tak tahan untuk bermain air, Dedi menceburkan diri ke air laut yang dingin. Laut? Airnya tidak terasa asin. Lebih mirip seperti kolam renang raksasa, tapi di sini tidak ada bau kaporitnya. Ia membasuh perut, paha, dan penisnya yang lengket karena percumbuan tadi sebelumnya, dengan Ani… dengan Ani? Bagaimana mungkin?

Dedi melangkah balik ke pondoknya untuk menyelidiki lebih lanjut. Tetapi baru saja ia hendak sampai di sana, Dedi tertegun melihat ada tiga wanita yang telanjang bulat, sangat seksi, sangat cantik. Mereka memanggil-manggil.

"Sini Mas…. Ayo kemari…" kata mereka bergantian. Dedi mendekat. Ketika jaraknya tinggal tiga meter, yang seorang terus mengangkat kakinya, memperlihatkan memeknya. "Mau masuk sini gak, Mas?"

Dua orang lagi terus berpelukan, kedua perempuan cantik itu berciuman dengan bernafsu. Mereka saling meremas susu pasangan mereka, merintih-rintih, lalu mengerang-erang ketika yang satu mulai memainkan kelentit pasangannya. Memek mereka sampai merah dan basah, ketika mereka merayu, "Mas, entotin dong…. Ayo sini…"

Karuan saja melihat itu, penis Dedi kembali tegak mengeras tanpa bisa ditahan. Sejenak birahinya membara, tapi kemudian ia mengingat kata-kata Ani. "Tetaplah setia…" yang dibisikkan dengan penuh harapan. Dedi menggelengkan kepalanya. Ia menunduk, tidak mau terus memandang ketiga perempuan itu, berbalik arah kembali ke pantai. Para perempuan itu tidak mengejarnya, mereka hanya melambai-lambaikan tangan dan memanggil-manggil saja.

Dedi terus ke arah pohon-pohon rimbun di sisi kanan jauh, dia mulai merasa lapar. Mungkin di sana ada makanan? Tetapi tidak ada yang bisa ditemukannya. Dedi terus berjalan melalui pohon-pohon perdu yang hijau, melewati hamparan rumput yang tebal gemuk empuk. Sampai di tengah, kembali ada seorang perempuan yang berbaring sambil mengangkang. Ia menunjukkan memeknya ke arah Dedi.

Di sana, tepat di dalam jepitan memeknya, ada sebatang benda tertancap. Kue? Lobak? Perempuan itu mengajak Dedi untuk menyantap benda yang tertancap di memeknya. "Auhh…. Mass… ini enak manis… ayo di makan, sambil digoyang… enak… ohhh….." Kelihatannya sangat erotis. Wajahnya cantik, seperti bintang film Korea, dengan rambut hitam. Kedua teteknya bulat besar, warnanya merah muda sedang putingnya merah tua, dengan dua pasang kaki yang panjang dan indah. Mengangkang, bibir memeknya nampak merah pink, sedang batang itu berwarna agak putih seperti lobak atau bangkuang, menetes-netes cairannya.

Dedi kembali memalingkan wajahnya. Matanya melihat di tengah kerimbunan pohon, ada sebuah patok batu yang permukaan atasnya rata. Di atas patok batu itu ada sebuah piring dari kayu dengan tiga potong benda seperti kue. Ia mengambil ketiga potong benda itu, mencoba memakannya. Enak, tidak terlalu manis, tidak terlalu gurih. Menyegarkan. Dedi memakan sepotong, mengambil daun lebar lalu menyimpan kedua potong lainnya. Ia berjalan terus ke tengah pohon-pohonan.

Di tengah-tengah tanah lapang yang dikelilingi pohon-pohon, berdiri sebuah pura kecil, kira-kira sebesar rumah ukuran 70meter persegi. Dindingnya terbuat dari batu berwarna hitam. Di tengah bagian dalam ada ukupan menyala, wangi dupa yang lembut terasa hangat di udara siang yang dingin. Masih bertelanjang, Dedi terus melangkah masuk. Di tengah pelataran itu ada sebuah bantal bulat yang dianyam dari benang-benang besar berwarna merah. Lelah, Dedi terus duduk di sana, bersila. Nampaknya itu adalah sikap yang paling alami di tengah dunia yang ajaib ini.

Sambil duduk bersila, Dedi mengeluarkan bekalnya. Masih ingin makan, ia menyantap kedua potong kue tadi. Segera setelah potongan ketiga ditelan, kabut menutupi seluruh tempat itu. Kabut yang aneh, karena seperti menyala, berpendar warna putih di mana-mana. Tak lama seluruh dunia nampak putih terang, Dedi bahkan tidak bisa melihat tangan dan kakinya sendiri. Waktu Dedi mencoba meniup kabut di mukanya, nafasnya berubah menjadi gelombang cahaya berwarna kuning. Tidak ada suara yang bisa terdengar, suara Dedi berubah menjadi gelombang cahaya berwarna warni yang terus pudar dalam pekatnya kabut putih.

Di tengah-tengah putihnya kabut yang membuat dunia seperti layar putih, atau hamparan kertas HVS putih, muncul dua sosok manusia yang semakin lama semakin jelas, karena Dedi seperti melayang mendekati kedua orang itu. Ia mengenali keduanya, yang satu adalah Ridwan. Yang satu lagi adalah Ani. Keduanya bertelanjang bulat, mereka saling berciuman sambil memejamkan mata. Tangan Ani mencakar-cakar punggung Ridwan, sementara Ridwan meremas-remas pantatnya.

Ani kemudian turun, merosot, mencari kontol pemuda itu. Dengan senyum manis, Ani memulai menjilat ujung penis di tangannya, kemudian memasukkan batang lelaki ini ke dalam mulutnya, menyepongnya kuat-kuat. Ridwan nampak sangat menikmati sepongan Ani terhadap kontolnya, ia memegang kepala gadis itu lalu menggerakkannya berirama, membuat kontolnya keluar masuk mulut Ani.

Beberapa saat kemudian, Ani kelihatan pegal dan terus melepaskan kontol keras itu. Ia terus berbaring di tanah yang putih, terus mengangkang. Memeknya yang merah muda nampak berkilat karena basah berlendir. Ridwan terus berjongkok, lalu mulai menciumi memek Ani. Gadis itu merintih-rintih. Dedi berseru, memanggil-manggil tapi tidak ada suara keluar. Yang ia lihat hanyalah gelombang-gelombang cahaya yang memudar keluar dari mulutnya.

Sementara itu, Ani nampak udah orgasme, terus mengangkang lebar-lebar. Ridwan terus mengambil posisi di atas tubuh Ani, kontolnya mengarah ke memek. Ia menekan, kontolnya amblas masuk dalam liang sempit. Ani mendongakkan kepalanya, sambil terpejam saking enaknya. Kakinya menjepit pinggang Ridwan, mendorong-dorong pantatnya agar turun dalam, kontolnya amblas dalam-dalam di memeknya. Kaki indah itu menendang-nendang setiap kali ada perasaan enak luar biasa dari jepitan itu.

Dedi merasa tidak karuan melihat semua itu. Ridwan ngentotin Ani? Bagaimana dengan Emma? Tapi, sekali lagi ia merasa bahwa semua ini adalah kegilaan yang aneh. Mustahil! Akhirnya Dedi memilih untuk memejamkan matanya, tidak mau memandang persetubuhan itu. Untungnya tidak ada suara yang muncul, jadi kalau Dedi memejamkan mata ia tidak lihat apa-apa. Tidak merasa apa-apa. Ia duduk bersila saja di sana, mengatur nafasnya. Birahinya berangsur-angsur hilang. Penisnya sudah melemas dan mengecil. Ia tidak merasa kesal, tidak marah atau kecewa. Bila Ani mau, biarlah ia ngentoti Ridwan. Dedi mencintai, bukan berhasrat memiliki.

Ketika membuka mata, Dedi tidak lagi melihat Ridwan dan Ani, sebagai gantinya di sana berdiri seorang perempuan yang amat sangat cantik, tubuhnya yang telanjang bulat sangat seksi. Rambutnya disanggul ke atas, dengan tusuk konde panjang berkilau keemasan. Bahkan Ani juga kalah dalam hal kecantikan dan keseksian, tubuh perempuan yang matang dan indah. Sangat luar biasa, tubuh telanjang yang halus mulus tidak ada taranya. Perempuan cantik itu berkata-kata, suaranya jelas terdengar, seperti menonton film saja, dolby-D.

"Aku adalah Dewi Kamaratih. Dewi cinta," katanya halus. "Aku pelindung cinta dan kesetiaan, seperti cinta dan kesetiaanku pada Batara Kamajaya, suamiku. Aku memujimu, Dedi, karena mencintai dengan tulus dan setia. Engkau tidak tunduk pada nafsu memandang hasrat birahi.

Perjalananmu masih panjang, Dedi, tetapi engkau tidak memiliki apa yang diperlukan. Aku akan memberimu apa yang engkau butuhkan."

Dewi Kamaratih mendekat dengan gemulai. Dedi bisa mencium bau harum dari selangkangan yang ditumbuhi rambut hitam halus mengkilap ini, tapi ia merasakan tangan Sang Dewi menyentuh kepalanya. Dedi bergidik. Ia merasakan ada aliran datang dari tangan yang halus itu, seperti air mengalir, membawa pengetahuan akan ajian yang kuno dan misterius, tapi juga sangat sakti. Aliran yang membuatnya menjadi mengerti bagaimana merapal aji, bagaimana melepaskannya.

Ajian yang membuat perisai mengelilingi tubuhnya, sebuah selubung bulat yang tidak bisa ditembus, sebagaimana cinta itu melindungi dengan sempurna. Ajian yang membuat dirinya bisa menghilang, sebagaimana cinta itu datang dan pergi. Ajian yang membuat kedua tangannya menyala dalam kobaran api, bisa melepaskan bola api yang berwarna putih kebiruan karena amat sangat panas, melelehkan segala sesuatu, sebagaimana kobaran api cinta menghanguskan jiwa. Ajian mengatur angin dan badai, yang bisa mendorong apa saja menjauh sedang pohon-pohon bertumbangan, sebagaimana amukan cinta juga bisa menghantam segala sesuatu dalam cemburu. Karena satu orang mencinta, bisa menghancurkan seisi kota!

Dedi tidak tahu berapa lama ia bersila di sana, matahari terbit dan terbenam dan terbit dan terbenam. Sepanjang waktu itu, Sang Dewi terus memegang kepalanya. Ajian cinta adalah ajian yang kuno dan dalam, yang tidak dipelajari oleh pikiran, tapi dipahami perasaan. Tidak ada mantra untuk dihafal atau dirapal, tidak ada persiapan atau kuda-kuda. Semua terlontar sebagaimana dibutuhkan, muncul karena keadaan. Perasaan Dedi seperti dikocok naik turun, dalam semangat dan dalam kesedihan, dalam kerinduan dan dalam kesebalan. Mencintai itu juga membenci, di saat yang sama juga menjagai. Tidak masuk akal. Tidak bisa dipelajari, hanya bisa diterima, dirasakan, dilatih berulang-ulang.

Berulang kali Dedi tertawa lepas terbahak-bahak, lalu menangis meraung-raung. Kegilaan cinta memenuhi dirinya, dan perjuangan batinnya yang paling berat adalah menguasai kehendak cinta yang luar biasa besar menekan itu. Sang Dewi tidak punya rasa belas kasih, cinta itu egois, cinta itu memaksa, cinta itu memberi tidak boleh ditolak, cinta itu mengambil tidak boleh dicegah. Dewi cinta juga sama dalam egois, sekaligus sangat memaksa untuk memberi. Bagaimana Dedi bisa menolak ajian dari Dewi?

Sampai akhirnya, dengan terengah-engah Dedi terguling ke samping. Sang Dewi mengangkat tangannya. Penyerahan ajian sudah selesai.

"Diujung pantai seberang, ada pintu keluar," kata Sang Dewi sebelum ia menghilang dalam bayangan, seperti juga hilangnya semua kabut putih itu. Dedi kembali melihat batu hitam di depannya. Matahari pagi baru bersinar, cahayanya kuning keemasan menerobos daun-daun pepohonan. Dedi bangkit dari tempat duduknya, pusing. Dunia berputar. Lapar. Haus.

Dengan sempoyongan, ia melangkah keluar dari pelataran pura kecil yang kini ia ketahui adalah tempat memuja Dewi Kamaratih. Ia melihat ukiran-ukiran yang menyerupai sosok cantik telanjang tadi. Di antara semak, Dedi melihat pohon kelapa yang tinggi, berbuah lebat. Seandainya saja satu buah itu bisa dimakannya! Dedi melambaikan tangannya begitu saja, tanpa disadarinya ia menimbulkan angin yang menyibak setajam pedang. Angin itu terus bertiup keras ke arah buah kelapa yang tergantung, terus memutuskan tangkainya. Buah hijau itu jatuh berdebam di tanah.

Gembira mendapat hasilnya, Dedi terus memecah kelapa itu dengan batu-batu runcing yang ada di sekitar situ, lalu meminum airnya dan memakan daging kelapa yang putih halus lembut manis. Menyegarkan. Ia mengingat perkataan terakhir sang Dewi, terus berjalan melintasi jalan setapak, melintasi hutan. Ia percaya bahwa di balik pepohonan ini, di sisi satu lagi, ada pantai lain, di mana di sana ada pintu keluar.

Di tengah-tengah hutan, segerombolan kera bergelantungan dan berayun dari satu dahan ke dahan lain. Tiba-tiba saja mereka menyadari ada manusia yang lewat tempat itu, menyambut dengan jeritan kasar dan marah. Amukan para kera karena manusia berani menginjak hutan monyet yang suci. Mereka menyerang bergerombol. Dedi terus menggerakkan kedua tangannya membentuk lingkaran, dan para kera itu tidak dapat menyentuh dirinya. Ia terus berlari sambil dikerubungi kera-kera itu, sampai akhirnya tiba di tepi hutan. Sebuah pantai yang berbatu berwarna abu-abu kehitaman terhampar hingga jauh. Banyak bagian ada batu-batu hitam sebesar rumah, saling tumpang tindih. Di sini anginnya keras, lautnya berwarna hijau kehitaman.

Di balik tumpukan batu, Dedi menemukan sebuah pondok yang dindingnya dari batu, dengan hanya satu pintu yang tidak ada penutupnya. Di dalam, hanya ada dipan batu, dialasi daun. Di bagian kepalanya ada sebongkah kayu yang berlapis daun tebal, nampaknya enak jadi bantal. Tubuh telanjang pemuda itu terasa lelah, merasa sudah lama tidak tidur, ia terus naik ke atas dipan itu. meletakkan kepala di sana. Tertidur saking lelahnya.

Dedi terbangun dengan terkejut karena kontolnya amat sangat keras, sedang menerobos masuk memek perempuan di ruangan yang gelap. Tubuh perempuan itu berkeringat, ia mendesah-desah, hingga mengejang-ngejang karena orgasme. Tak urung, Dedi juga tidak bisa menahan diri dan terus memuntahkan semua maninya keluar. Tidak berlepotan, karena kontolnya berlapis kondom.

Perempuan itu terus bangkit dari atas tubuh Dedi, terengah-engah karena kenikmatan yang hebat. Dedi masih merasa disorientasi -- setelah berhari-hari berada di pulau itu, bagaimana sekarang ia berada di sini, di tempat ini…. Di ruangan panti pijat?

"Mas, mau mandi dulu?" kata si terapis itu. Siapa namanya? Rani? Rini? Dedi mengikuti saja petunjuk yang diberikan, ini adalah pengalaman pertamanya. Mandi, berpelukan, disabuni, digosok seperti bayi. Selesai.

Dedi tidak lupa harus memberi dua ratus ribu kepada perempuan itu, lalu ia pergi keluar. Tubuhnya terasa lebih segar.

Tangannya bergerak sendiri, membentuk segitiga. Ia pun lenyap, hilang dari pandangan orang.
 
Wah epic Dari mean sama therapist Malaya dapet ajian Sakti
 
Cinta

Dedi terduduk di kantin. Kepala tertunduk, lesu. Matanya membuka, tapi tidak melihat apa yang ada di depannya. Yang ia lihat adalah sosok gadis cantik yang makan di warung nasi ibunya. Harum dan lembut terasa menyenangkan ketika gadis itu duduk dibonceng menuju tempat kos, lalu bertemu pemilik tempat fotocopy sebelah kampus.

Waktu pertama bertemu Ani, gadis itu nampak angker, dingin, sedih. Tetapi setelah bergaul beberapa waktu, ternyata Ani adalah gadis yang periang, lucu, dan pintar. Mereka tertawa dan mentertawakan banyak hal, hanya Ani tidak pernah mau bicara masa lalunya, dari mana ia datang, mengapa pergi ke kota -- semuanya misteri. Tak mengapa. Dedi sangat menikmati saat-saat bersama Ani, memimpikan gadis ini. Sayang, Ani seperti tidak mengerti sinyal cinta darinya, mereka bersahabat saja. Tidak lebih.

Ridwan adalah sahabat Dedi sejak masih SMP, setiap kali menggodanya karena Dedi tidak berani menyatakan cinta terang-terangan. Apalagi Ridwan sendiri sudah mendapatkan bunga kampus, Emma, anak tingkat satu. Ridwan jadi pelatih taekwondo di unit kegiatan kampus, tubuhnya tinggi atletis, putih, siapa yang tidak mau sama dia? Emma anak rantau dari pulau seberang, benar-benar tergila-gila pada Ridwan, mereka lantas membuat tempat kos Emma jadi markas kecil, tempat menghabiskan waktu bila ada kelas yang loncat beberapa jam.

Jadi betapa bete-nya Dedi karena sahabatnya asyik memadu asmara dengan gadis cantik, sementara ia sendiri dekat dengan gadis yang super cantik tapi tidak berani mengajaknya untuk apa-apa. Berpegangan tangan pun tidak. Ia tidak berani karena jika berada di dekat Ani, ada semacam dorongan aneh. Dorongan birahi yang amat sangat, rasanya ingin memeluk, mencium, mencumbu gadis cantik ini. Dedi setengah mati harus menahan diri, makanya berpegang tangan pun ia tidak berani!

Pernah suatu kali, Dedi menemani Ani dari pagi sampai siang, kebetulan hari itu kuliah hanya di malam hari. Pemuda ini tidak tahan lagi, karena penisnya sedemikian keras sampai terasa sakit di balik celana, membuat tonjolan keras yang setengah mati berusaha ditutupinya. Salting pol! Jadi, Dedi terus pamit dan pergi ke markas, tempat kosnya Emma. Sampai di sana, semua jendela masih tertutup rapat, seperti tidak ada orang. Tapi, pintu tidak dikunci, jadi Dedi menyelinap masuk -- sudah merasa ini tempatnya sendiri.

Eh, sampai di dalam, ia melihat Ridwan dan Emma yang bertelanjang bulat sedang ngentot dengan bernafsu. Emma di bawah, ditindih tubuh kekar putih Ridwan. Wajah perempuan itu mendongak, memejamkan mata, tangannya memeluk, mencakar-cakar punggung kekasihnya. Kedua paha mulus Emma mengangkang, terentang ke atas, menjepit Ridwan yang dengan berirama menggenjot naik turun. Ridwan sibuk menciumi leher Emma yang jenjang, sementara kontolnya terus menggenjot dengan kecepatan tinggi.

Sialan, pemandangan itu membuat Dedi merah wajahnya, menahan nafsunya sendiri. Tapi ia cukup sopan untuk tidak mengganggu dua insan yang sedang berkejaran menuju puncaknya, jadi Dedi terus kembali menyelinap keluar, menuju WC umum di sebelah kamar kos Emma. Menutup pintu, ia coli di sana, membayangkan dirinya yang sedang menggenjot Ani yang telanjang bulat, mengangkang di bawahnya, dadanya putih besar empuk dan panas. Hingga maninya muncrat panjang, lama, mengejang…. Dedi sejak itu punya kebiasaan baru masturbasi sambil membayangkan Ani.

Itulah yang ada dalam bayangannya di kantin, di siang yang panas itu. Orang-orang di kiri dan kanannya membicarakan tentang kehebohan yang berlangsung tidak lebih dari lima belas menit, tapi menghilangkan gadis cantik penjaga tempat fotocopy yang menarik hati setiap laki-laki di kampus ini. Dan perkelahian hebat yang dilihat beberapa orang, siapakah itu yang berkelahi? Karena secepat dimulainya, orang-orang itupun segera menghilang tak ketahuan rimbanya. Mereka semua tidak bisa mengingat karena Danan sudah melancarkan aji sirep kabut, yang membuat pikiran berkabut. Orang melihat tapi tidak ingat apa yang dilihat.

Dedi menghela nafas, tubuhnya masih terasa sakit. Kepalanya masih diperban, terluka kena pipa besi, untung tidak ada luka serius, hanya benjol besar saja, sudah ditangani di poliklinik dalam kampus. Ridwan sudah pergi, pasti ke tempatnya Emma -- Dedi tidak ingin ke sana saat ini. Danan, anak baru itu, entah berada di mana. Sekarang mau ngapain? Sakit badan begini, malas kuliah. Mungkin lebih enak untuk dipijat, teman-temannya membicarakan tempat pijat plus-plus yang murah, baru buka di pinggir kota, tempatnya masuk dalam gang. Katanya, di sana terapisnya STW alias sudah tua, tapi cantik-cantik dan seksi.

Dedi memacu motornya melalui kemacetan di kota yang panas. Tidak banyak orang yang mengikuti peraturan lalu lintas, semua semaunya saja. Maunya Dedi apa ya? Ia asal cepat saja, berkelak kelok di jalan, lalu masuk jalan kecil, lalu masuk gang. Salah belok, harus tanya kiri kanan, lalu putar arah, sampai akhirnya menjumpai PP yang berakhiran 'sehat' itu. Ya, memang butuh dijadikan sehat lagi. Dedi memarkirkan motornya di lapangan di ujung gang, lantas berjalan kaki ke PP yang kelihatan sepi di siang hari ini.

Seorang pak tua duduk di teras, sambil mengipasi diri. Petugas jaga ya, kasihan harus merasakan udara panas ini.

"Silakan dik," kata pak tua itu ramah. Dedi tersenyum dan mengangguk lalu terus masuk ke dalam. Di belakang meja penerima tamu, seorang perempuan yang gendut montok duduk dan menunjuk kepada album foto di depannya.

"Belum pernah ke sini ya Dik?"

"Err… belum bu…"
"Di sini satu sesi sembilan puluh menit seratus ribu ya Dik untuk pijat," katanya singkat. Sialan, apa disangkanya aku gak bisa bayar? Umpat Dedi dalam hati. Tapi ia tetap sopan.

"Uh… err… ada layanan lebihnya?"

"Di sini es-o-pe nya sih hanya pijat saja. Tapi kalau terapis mau, boleh nego di dalam. Paket all-in biasanya bayar duaratus saja. Murah Dik, di tempat lain biasanya tiga ratus."

"Oh jadi bayar semua dua ratus?"

"Seratus di sini, dua ratus di dalam. Bagaimana, Dik, mau?"

Sejujurnya, mahal untuk kantong mahasiswa. Tapi, kemarin anak lesnya baru membayar uang les, jadi dikantungnya ada lima ratus ribu. Dedi memilih terapis dari foto-foto di album, mencari yang paling manis. Bagaimanapun, cewek itu nanti akan berintim dengannya, bukan?

Dedi di antar naik ke lantai dua, ke sebuah ruang bersekat yang ditutup oleh tirai gorden yang tebal. Hanya ada sebuah lampu kecil di pojok, keseluruhan ruangan itu remang-remang. Di lantai ada matras yang permukaannya terasa tebal, mungkin dilapis PVC, lalu diberi sprei kain warna gelap. Entah hijau gelap, atau biru gelap. Dedi termangu-mangu di sana, jantungnya berdebar-debar. Ini adalah pengalaman pertamanya.

"Selamat siang, Mas," suara manis terdengar dari cewek yang menyibakkan tirai. Dedi menoleh, ternyata terapis ini tidak secantik fotonya, agak montok pendek, tingginya sehidung Dedi. Tapi, ya bolehlah, tidak jelek juga. Kalau Ani itu kecantikannya 10, terapis ini mungkin 4. Ya sudahlah, lumayan juga. Perempuan ini memakai baju kaos ketat dan rok mini. Pahanya nampak putih dalam keremangan ruang.

"Dibuka saja bajunya semua, Mas," kata si terapis lagi, kalau tidak salah namanya Rini. Apakah itu nama sebenarnya? Nampak montok berisi, seperti ibu-ibu muda, jauh beda dari cewek kampus sekalipun yang gendutnya juga. Gendutnya ibu memang beda dari gendut cewek gadis. Sambil berpikir begitu, Dedi melepaskan baju dan celananya, menggantung di hanger. Dia masih memakai celana dalamnya, agak tidak tahu harus apa karena kontolnya sudah mengeras oleh bayangan yang erotis.

"Mas, buka aja celana dalamnya juga. Kasihan adiknya tuh, susah bernafas," kata Rini sambil senyum simpul. Sedikit ragu, Dedi akhirnya melepaskan celana dalamnya. Penisnya tegak mengacung panjang; ini sering membuatnya malu karena tonjolan di celananya jadi lebih besar dan mudah dilihat orang. Konon kebanyakan orang mempunyai penis sepanjang 15cm. Punya Dedi mungkin 19cm, atau 20cm kalau di puncak ereksinya. Selain panjang juga gemuk, diameternya sedikit lebih besar -- agak kontras dengan postur tubuh Dedi yang kurus.

Rini membelalak. "Aduhh, besar banget ya? Mau dilemesin dulu, Mas, atau mau pijat saja?"

"Eh… pijat dulu. Tapi nanti dilemesin ya? Ada paket all-in ya?"

"Iya Mas, nanti main sama saya cuma dua lembar merah aja kok…. Ih, nggemesin… ayo sekarang tengkurap saja dulu," kata Rini lagi. Dedi menurut, ia bersyukur bisa menyembunyikan batang kerasnya yang sudah mulai mengeluarkan lendir bening. Rini mulai memijat Dedi yang telungkup -- dan ternyata ia benar-benar pandai memijat. Rini memulai dari leher dan pundak, terus ke punggung. Tidak erotis. Enak, Dedi merasa dirinya lebih rileks, membiarkan terapis dengan terampil menangani bagian otot yang kaku dan keras.

Selesai di atas, Rini terus melanjutkan dari bawah, dari telapak kaki, terus ke betis, paha, pantat. Dedi kembali mulai terangsang. Ketika jari jemari Rini sampai di pangkal pahanya, terus ke selangkangan, terapis itu terus mengelus bola pelirnya. Sampai di sana, Rini terus memijat lagi ke punggung, tetapi sambil duduk di atas paha Dedi. Sementara tangannya -- dia memijit dengan sikutnya -- bergerak ke atas, Dedi merasakan celana dalam perempuan itu menggesek pahanya. Rupanya, Rini juga mulai terangsang, karena ia menggesek-gesekkan memeknya makin cepat.

"Balik, Mas," kata Rini dengan nada manja. Dedi berbalik terlentang. Kontolnya mengacung keras. Sambil memandang batang kemaluan yang panjang itu, Rini kembali memulai pijat kaki Dedi, tapi kali ini pijatannya tidak lebih dari elusan. Ia memijat terus ke atas, menggesekkan memeknya di sepanjang kaki, mulai kiri, lalu kanan. Ia terus memijat ke atas, ke perut, ke dada. Memek Rini yang masih pakai celana dalam digesek-gesekkan ke kontol Dedi. Nafasnya memburu.

"Sekarang BM ya, Mas?" bisik Rini.

"BM?"

"Body Massage, Mas… pakai body saya," seraya melepaskan baju kaosnya. Rini terus berdiri, melepas BH, melepas rok mini, melepas celana dalamnya. Tidak ada apa-apa lagi di sana. Terapis itu terus mengambil kondom dari kotak peralatan pijatnya, memakaikan kondom itu pada batang yang sudah licin berlendir. Jantung Dedi berdebar-debar, pusing karena terlalu terangsang.

Tapi, Rini memang terapis senior yang tahu bagaimana memainkan nafsu laki-laki. Ia memijat dengan susunya yang bulat kenyal keras itu. Rini mendesah-desah sambil menggelosor seperti ular di sekujur tubuh, waktu kontol itu berada tepat di antara belahan susunya, Rini merintih sambil meremas kedua teteknya menjepit batang lelaki yang keras. Dedi memejamkan matanya erat-erat, pertama kali merasakan sensasi seks ini.

Gerakan Rini semakin cepat seiring meningkatnya desahan dan erangan erotisnya. Memeknya sudah basah, digosok-gosokkan sepanjang kontol yang panjang dan tertutup kondom itu. Sang terapis akhirnya tidak tahan lagi, ia memasukkan batang kemaluan keras itu ke dalam liangnya. Dedi merasakan jepitan yang hangat dan kuat, ketika seluruh batangnya amblas masuk ke memek perempuan mungil ini. Rini semakin menggila, meliuk-liuk, memutarkan batang besar itu mengorek liangnya.

Dedi seperti tersengat listrik, nafasnya tersengal-sengal. Tapi ia masih bertahan, sampai akhirnya Rini orgasme duluan. Memeknya menjepit kontol besar itu kuat-kuat, sambil dibenamkan sedalam-dalamnya. Dedi juga tidak tahan lagi, terus saja ia ejakulasi kuat, memancar, matanya terpejam erat-erat. Serasa tubuhnya melayang, tinggi, cepat, kuat. Waktu terasa terhenti.

Ketika Dedi membuka matanya, ia melihat Ani -- Renggani -- baru saja mengalami orgasmenya yang hebat. Gadis cantik itu nampak begitu seksi, mulutnya terbuka, matanya terpejam. Dedi memandang tubuh cantik itu sedang menduduki dirinya, merasakan kontolnya dijepit kuat-kuat memek yang rapat. Paha Ani yang indah menjepit pahanya sendiri, sementara ia berkedut-kedut menikmati puncak seks yang panjang dan panas.

Renggani tersenyum. Ia bangkit, melepaskan kontol itu dari memeknya. Cairan mani putih kekuningan terus menetes keluar dari bibir liangnya -- Dedi tidak memakai kondom. Maninya meleleh begitu saja mengenai perutnya, pahanya. Dedi mengejapkan matanya, merasa sangat sangat bahagia. Sekaligus, sangat membingungkan. Sejak kapan Ani mengentot dengan dirinya? Di mana ini?

Ani mencium bibirnya. Terasa manis dan hangat. "Sayang, cintakah padaku?" bisiknya lirih.

"Ani… aku sangat cinta padamu…" balas Dedi dengan segenap hati.

"Kalau begitu, setialah…. Aku menantikanmu. Tetaplah setia…." balas Ani. Sejenak kemudian, tubuh gadis yang tidak perawan lagi itu menjadi ringan, seringan asap, seringan bayangan. Ani begitu saja lenyap dari atas tubuh Dedi. Kebingungan, Dedi terus turun dari ranjang, mencari. Ani tidak ada di ruangan ini, sebuah kamar dengan empat dinding dari kayu. Ada satu jendela tertutup papan, di sebelah pintu dari papan juga. Dedi membuka daun jendela, matahari bersinar terik. Di luar sana, di kejauhan, lamat-lamat terdengar deburan ombak.

Dedi berusaha mencari baju di ruangan yang hanya terisi satu ranjang, satu meja, dan satu kursi itu. Tapi, di sana tidak ada pakaian sama sekali. Tidak ada kain; kasur yang ditidurinya terbuat dari tumpukan daun yang empuk. Tidak ada spreinya. Dedi terus membuka pintu, melangkah keluar. Matahari bersinar terang, tapi udaranya sama sekali tidak panas, sebaliknya sejuk seperti udara pegunungan. Di pinggir pantai, udara sesejuk pegunungan. Di mana ini?

Bertelanjang bulat, ia melangkah keluar dari pondoknya, berjalan sampai di tepi pantai. Pasirnya putih, ombaknya tidak tinggi, busa halus bermain di kakinya. Tak tahan untuk bermain air, Dedi menceburkan diri ke air laut yang dingin. Laut? Airnya tidak terasa asin. Lebih mirip seperti kolam renang raksasa, tapi di sini tidak ada bau kaporitnya. Ia membasuh perut, paha, dan penisnya yang lengket karena percumbuan tadi sebelumnya, dengan Ani… dengan Ani? Bagaimana mungkin?

Dedi melangkah balik ke pondoknya untuk menyelidiki lebih lanjut. Tetapi baru saja ia hendak sampai di sana, Dedi tertegun melihat ada tiga wanita yang telanjang bulat, sangat seksi, sangat cantik. Mereka memanggil-manggil.

"Sini Mas…. Ayo kemari…" kata mereka bergantian. Dedi mendekat. Ketika jaraknya tinggal tiga meter, yang seorang terus mengangkat kakinya, memperlihatkan memeknya. "Mau masuk sini gak, Mas?"

Dua orang lagi terus berpelukan, kedua perempuan cantik itu berciuman dengan bernafsu. Mereka saling meremas susu pasangan mereka, merintih-rintih, lalu mengerang-erang ketika yang satu mulai memainkan kelentit pasangannya. Memek mereka sampai merah dan basah, ketika mereka merayu, "Mas, entotin dong…. Ayo sini…"

Karuan saja melihat itu, penis Dedi kembali tegak mengeras tanpa bisa ditahan. Sejenak birahinya membara, tapi kemudian ia mengingat kata-kata Ani. "Tetaplah setia…" yang dibisikkan dengan penuh harapan. Dedi menggelengkan kepalanya. Ia menunduk, tidak mau terus memandang ketiga perempuan itu, berbalik arah kembali ke pantai. Para perempuan itu tidak mengejarnya, mereka hanya melambai-lambaikan tangan dan memanggil-manggil saja.

Dedi terus ke arah pohon-pohon rimbun di sisi kanan jauh, dia mulai merasa lapar. Mungkin di sana ada makanan? Tetapi tidak ada yang bisa ditemukannya. Dedi terus berjalan melalui pohon-pohon perdu yang hijau, melewati hamparan rumput yang tebal gemuk empuk. Sampai di tengah, kembali ada seorang perempuan yang berbaring sambil mengangkang. Ia menunjukkan memeknya ke arah Dedi.

Di sana, tepat di dalam jepitan memeknya, ada sebatang benda tertancap. Kue? Lobak? Perempuan itu mengajak Dedi untuk menyantap benda yang tertancap di memeknya. "Auhh…. Mass… ini enak manis… ayo di makan, sambil digoyang… enak… ohhh….." Kelihatannya sangat erotis. Wajahnya cantik, seperti bintang film Korea, dengan rambut hitam. Kedua teteknya bulat besar, warnanya merah muda sedang putingnya merah tua, dengan dua pasang kaki yang panjang dan indah. Mengangkang, bibir memeknya nampak merah pink, sedang batang itu berwarna agak putih seperti lobak atau bangkuang, menetes-netes cairannya.

Dedi kembali memalingkan wajahnya. Matanya melihat di tengah kerimbunan pohon, ada sebuah patok batu yang permukaan atasnya rata. Di atas patok batu itu ada sebuah piring dari kayu dengan tiga potong benda seperti kue. Ia mengambil ketiga potong benda itu, mencoba memakannya. Enak, tidak terlalu manis, tidak terlalu gurih. Menyegarkan. Dedi memakan sepotong, mengambil daun lebar lalu menyimpan kedua potong lainnya. Ia berjalan terus ke tengah pohon-pohonan.

Di tengah-tengah tanah lapang yang dikelilingi pohon-pohon, berdiri sebuah pura kecil, kira-kira sebesar rumah ukuran 70meter persegi. Dindingnya terbuat dari batu berwarna hitam. Di tengah bagian dalam ada ukupan menyala, wangi dupa yang lembut terasa hangat di udara siang yang dingin. Masih bertelanjang, Dedi terus melangkah masuk. Di tengah pelataran itu ada sebuah bantal bulat yang dianyam dari benang-benang besar berwarna merah. Lelah, Dedi terus duduk di sana, bersila. Nampaknya itu adalah sikap yang paling alami di tengah dunia yang ajaib ini.

Sambil duduk bersila, Dedi mengeluarkan bekalnya. Masih ingin makan, ia menyantap kedua potong kue tadi. Segera setelah potongan ketiga ditelan, kabut menutupi seluruh tempat itu. Kabut yang aneh, karena seperti menyala, berpendar warna putih di mana-mana. Tak lama seluruh dunia nampak putih terang, Dedi bahkan tidak bisa melihat tangan dan kakinya sendiri. Waktu Dedi mencoba meniup kabut di mukanya, nafasnya berubah menjadi gelombang cahaya berwarna kuning. Tidak ada suara yang bisa terdengar, suara Dedi berubah menjadi gelombang cahaya berwarna warni yang terus pudar dalam pekatnya kabut putih.

Di tengah-tengah putihnya kabut yang membuat dunia seperti layar putih, atau hamparan kertas HVS putih, muncul dua sosok manusia yang semakin lama semakin jelas, karena Dedi seperti melayang mendekati kedua orang itu. Ia mengenali keduanya, yang satu adalah Ridwan. Yang satu lagi adalah Ani. Keduanya bertelanjang bulat, mereka saling berciuman sambil memejamkan mata. Tangan Ani mencakar-cakar punggung Ridwan, sementara Ridwan meremas-remas pantatnya.

Ani kemudian turun, merosot, mencari kontol pemuda itu. Dengan senyum manis, Ani memulai menjilat ujung penis di tangannya, kemudian memasukkan batang lelaki ini ke dalam mulutnya, menyepongnya kuat-kuat. Ridwan nampak sangat menikmati sepongan Ani terhadap kontolnya, ia memegang kepala gadis itu lalu menggerakkannya berirama, membuat kontolnya keluar masuk mulut Ani.

Beberapa saat kemudian, Ani kelihatan pegal dan terus melepaskan kontol keras itu. Ia terus berbaring di tanah yang putih, terus mengangkang. Memeknya yang merah muda nampak berkilat karena basah berlendir. Ridwan terus berjongkok, lalu mulai menciumi memek Ani. Gadis itu merintih-rintih. Dedi berseru, memanggil-manggil tapi tidak ada suara keluar. Yang ia lihat hanyalah gelombang-gelombang cahaya yang memudar keluar dari mulutnya.

Sementara itu, Ani nampak udah orgasme, terus mengangkang lebar-lebar. Ridwan terus mengambil posisi di atas tubuh Ani, kontolnya mengarah ke memek. Ia menekan, kontolnya amblas masuk dalam liang sempit. Ani mendongakkan kepalanya, sambil terpejam saking enaknya. Kakinya menjepit pinggang Ridwan, mendorong-dorong pantatnya agar turun dalam, kontolnya amblas dalam-dalam di memeknya. Kaki indah itu menendang-nendang setiap kali ada perasaan enak luar biasa dari jepitan itu.

Dedi merasa tidak karuan melihat semua itu. Ridwan ngentotin Ani? Bagaimana dengan Emma? Tapi, sekali lagi ia merasa bahwa semua ini adalah kegilaan yang aneh. Mustahil! Akhirnya Dedi memilih untuk memejamkan matanya, tidak mau memandang persetubuhan itu. Untungnya tidak ada suara yang muncul, jadi kalau Dedi memejamkan mata ia tidak lihat apa-apa. Tidak merasa apa-apa. Ia duduk bersila saja di sana, mengatur nafasnya. Birahinya berangsur-angsur hilang. Penisnya sudah melemas dan mengecil. Ia tidak merasa kesal, tidak marah atau kecewa. Bila Ani mau, biarlah ia ngentoti Ridwan. Dedi mencintai, bukan berhasrat memiliki.

Ketika membuka mata, Dedi tidak lagi melihat Ridwan dan Ani, sebagai gantinya di sana berdiri seorang perempuan yang amat sangat cantik, tubuhnya yang telanjang bulat sangat seksi. Rambutnya disanggul ke atas, dengan tusuk konde panjang berkilau keemasan. Bahkan Ani juga kalah dalam hal kecantikan dan keseksian, tubuh perempuan yang matang dan indah. Sangat luar biasa, tubuh telanjang yang halus mulus tidak ada taranya. Perempuan cantik itu berkata-kata, suaranya jelas terdengar, seperti menonton film saja, dolby-D.

"Aku adalah Dewi Kamaratih. Dewi cinta," katanya halus. "Aku pelindung cinta dan kesetiaan, seperti cinta dan kesetiaanku pada Batara Kamajaya, suamiku. Aku memujimu, Dedi, karena mencintai dengan tulus dan setia. Engkau tidak tunduk pada nafsu memandang hasrat birahi.

Perjalananmu masih panjang, Dedi, tetapi engkau tidak memiliki apa yang diperlukan. Aku akan memberimu apa yang engkau butuhkan."

Dewi Kamaratih mendekat dengan gemulai. Dedi bisa mencium bau harum dari selangkangan yang ditumbuhi rambut hitam halus mengkilap ini, tapi ia merasakan tangan Sang Dewi menyentuh kepalanya. Dedi bergidik. Ia merasakan ada aliran datang dari tangan yang halus itu, seperti air mengalir, membawa pengetahuan akan ajian yang kuno dan misterius, tapi juga sangat sakti. Aliran yang membuatnya menjadi mengerti bagaimana merapal aji, bagaimana melepaskannya.

Ajian yang membuat perisai mengelilingi tubuhnya, sebuah selubung bulat yang tidak bisa ditembus, sebagaimana cinta itu melindungi dengan sempurna. Ajian yang membuat dirinya bisa menghilang, sebagaimana cinta itu datang dan pergi. Ajian yang membuat kedua tangannya menyala dalam kobaran api, bisa melepaskan bola api yang berwarna putih kebiruan karena amat sangat panas, melelehkan segala sesuatu, sebagaimana kobaran api cinta menghanguskan jiwa. Ajian mengatur angin dan badai, yang bisa mendorong apa saja menjauh sedang pohon-pohon bertumbangan, sebagaimana amukan cinta juga bisa menghantam segala sesuatu dalam cemburu. Karena satu orang mencinta, bisa menghancurkan seisi kota!

Dedi tidak tahu berapa lama ia bersila di sana, matahari terbit dan terbenam dan terbit dan terbenam. Sepanjang waktu itu, Sang Dewi terus memegang kepalanya. Ajian cinta adalah ajian yang kuno dan dalam, yang tidak dipelajari oleh pikiran, tapi dipahami perasaan. Tidak ada mantra untuk dihafal atau dirapal, tidak ada persiapan atau kuda-kuda. Semua terlontar sebagaimana dibutuhkan, muncul karena keadaan. Perasaan Dedi seperti dikocok naik turun, dalam semangat dan dalam kesedihan, dalam kerinduan dan dalam kesebalan. Mencintai itu juga membenci, di saat yang sama juga menjagai. Tidak masuk akal. Tidak bisa dipelajari, hanya bisa diterima, dirasakan, dilatih berulang-ulang.

Berulang kali Dedi tertawa lepas terbahak-bahak, lalu menangis meraung-raung. Kegilaan cinta memenuhi dirinya, dan perjuangan batinnya yang paling berat adalah menguasai kehendak cinta yang luar biasa besar menekan itu. Sang Dewi tidak punya rasa belas kasih, cinta itu egois, cinta itu memaksa, cinta itu memberi tidak boleh ditolak, cinta itu mengambil tidak boleh dicegah. Dewi cinta juga sama dalam egois, sekaligus sangat memaksa untuk memberi. Bagaimana Dedi bisa menolak ajian dari Dewi?

Sampai akhirnya, dengan terengah-engah Dedi terguling ke samping. Sang Dewi mengangkat tangannya. Penyerahan ajian sudah selesai.

"Diujung pantai seberang, ada pintu keluar," kata Sang Dewi sebelum ia menghilang dalam bayangan, seperti juga hilangnya semua kabut putih itu. Dedi kembali melihat batu hitam di depannya. Matahari pagi baru bersinar, cahayanya kuning keemasan menerobos daun-daun pepohonan. Dedi bangkit dari tempat duduknya, pusing. Dunia berputar. Lapar. Haus.

Dengan sempoyongan, ia melangkah keluar dari pelataran pura kecil yang kini ia ketahui adalah tempat memuja Dewi Kamaratih. Ia melihat ukiran-ukiran yang menyerupai sosok cantik telanjang tadi. Di antara semak, Dedi melihat pohon kelapa yang tinggi, berbuah lebat. Seandainya saja satu buah itu bisa dimakannya! Dedi melambaikan tangannya begitu saja, tanpa disadarinya ia menimbulkan angin yang menyibak setajam pedang. Angin itu terus bertiup keras ke arah buah kelapa yang tergantung, terus memutuskan tangkainya. Buah hijau itu jatuh berdebam di tanah.

Gembira mendapat hasilnya, Dedi terus memecah kelapa itu dengan batu-batu runcing yang ada di sekitar situ, lalu meminum airnya dan memakan daging kelapa yang putih halus lembut manis. Menyegarkan. Ia mengingat perkataan terakhir sang Dewi, terus berjalan melintasi jalan setapak, melintasi hutan. Ia percaya bahwa di balik pepohonan ini, di sisi satu lagi, ada pantai lain, di mana di sana ada pintu keluar.

Di tengah-tengah hutan, segerombolan kera bergelantungan dan berayun dari satu dahan ke dahan lain. Tiba-tiba saja mereka menyadari ada manusia yang lewat tempat itu, menyambut dengan jeritan kasar dan marah. Amukan para kera karena manusia berani menginjak hutan monyet yang suci. Mereka menyerang bergerombol. Dedi terus menggerakkan kedua tangannya membentuk lingkaran, dan para kera itu tidak dapat menyentuh dirinya. Ia terus berlari sambil dikerubungi kera-kera itu, sampai akhirnya tiba di tepi hutan. Sebuah pantai yang berbatu berwarna abu-abu kehitaman terhampar hingga jauh. Banyak bagian ada batu-batu hitam sebesar rumah, saling tumpang tindih. Di sini anginnya keras, lautnya berwarna hijau kehitaman.

Di balik tumpukan batu, Dedi menemukan sebuah pondok yang dindingnya dari batu, dengan hanya satu pintu yang tidak ada penutupnya. Di dalam, hanya ada dipan batu, dialasi daun. Di bagian kepalanya ada sebongkah kayu yang berlapis daun tebal, nampaknya enak jadi bantal. Tubuh telanjang pemuda itu terasa lelah, merasa sudah lama tidak tidur, ia terus naik ke atas dipan itu. meletakkan kepala di sana. Tertidur saking lelahnya.

Dedi terbangun dengan terkejut karena kontolnya amat sangat keras, sedang menerobos masuk memek perempuan di ruangan yang gelap. Tubuh perempuan itu berkeringat, ia mendesah-desah, hingga mengejang-ngejang karena orgasme. Tak urung, Dedi juga tidak bisa menahan diri dan terus memuntahkan semua maninya keluar. Tidak berlepotan, karena kontolnya berlapis kondom.

Perempuan itu terus bangkit dari atas tubuh Dedi, terengah-engah karena kenikmatan yang hebat. Dedi masih merasa disorientasi -- setelah berhari-hari berada di pulau itu, bagaimana sekarang ia berada di sini, di tempat ini…. Di ruangan panti pijat?

"Mas, mau mandi dulu?" kata si terapis itu. Siapa namanya? Rani? Rini? Dedi mengikuti saja petunjuk yang diberikan, ini adalah pengalaman pertamanya. Mandi, berpelukan, disabuni, digosok seperti bayi. Selesai.

Dedi tidak lupa harus memberi dua ratus ribu kepada perempuan itu, lalu ia pergi keluar. Tubuhnya terasa lebih segar.

Tangannya bergerak sendiri, membentuk segitiga. Ia pun lenyap, hilang dari pandangan orang.

Mantappp updatenya Suhu
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
alurnya,,plotnya,,pembawaan ceritanya sedap sekali suhu,,seperti terbawa ke masa itu,,detailing banget,,,semoga sampai tamat suhu...
ber jempol jempol buat karyanya
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd