Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA OBSESI BASI

Bimabet
Cerita yg menarik, sayang cepat tamat, bisa di kembangkan lagi, tapi its oke lah, selamat atas tamat ceritanya gan..
 
Ditunggu cerbung berikutnya huuu
Siap, Komandan...
Terima kasih banyak untuk apresiasinya
:beer:
Ditunggu karya yg lainya
Oke, Huuu...
:semangat:
Mantap suhu
Hatur nuhun untuk apresiasinya, Agan...
:ampun:
Riwayat sesat ada sedarah kah...
Ditunggu release nya ...
Gado-gado, Agan...
He he
Baru selesai ada cerita baru nich .... Lancrot keun Bos
Tunggu tanggal tayangna wae, Agan...
:beer:
akibat sembarang crot, btw tks udah sampe tamat, di tunggu cerita selanjutnya hu @Jaka_Balung
:mantap: :baris: :baris::ampun:
tks hu
Sama-sama, Agan...
Banyak terima kasih juga untuk apresiasinya... salam semprot
:beer:
Bisa kok hu mnta buka lg sama admin BADAI NAFSU nya, bnyak cerita yg di closed tp kebuka lg, sayang cerita BADIA NAFSU bagus tp terbengkalai gk di lanjut
Yang bikin mager itu ngulang fantasinya, Agan....
Lemesss...
Lebih mudah bikin cerita baru daripada ngelanjutin naskah yang lenyap... hikz
Btw, terima kasih banyak atas supportnya..
:beer:
Ijin baca dlu ya hu
Terima kasih banyak udah mampir, Agan...
:semangat:
Makasih update finalnya @Jaka_Balung ... :beer:
Sami-sami, Agan...
Hatur nuhuuun pisan atas segala support dan apresiasinya...
:ampun::beer:
 
Mantaappp Alur Ceritanya....
Ending nya Sesuai Perkiraan....
Makasih, Hu....Tuk Ceritanya
 
Endingnya menarik, hanya penceritaannya terlalu singkat di ending itu. Dibuat epilog mungkin bisa lebih menjelaskan hehehe...
 
Endingnya menarik, hanya penceritaannya terlalu singkat di ending itu. Dibuat epilog mungkin bisa lebih menjelaskan hehehe...
 
Waduh udah Final rupanya. Makasih Om

Ketinggalan nih...langsung kebut.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Sumpah, beneran og. Baca cerita kang @Jaka_Balung bikin hidung kembang kempis, hehe.

Jangan lupa diganti previk tamat yg ini. Yang belum tamat hayuk atuh dilanjutin, ditunggu pokoke!!!
 
Ma
BAGIAN KE DUA

~ Mertua Laki-laki dan Menantu Perempuan ~



Oo0oo

Bagaimana mungkin dia tidak semaput.

Di ruang tengah sana, sangat jelas terlihat olehnya, Ratih, istrinya, sedang mengusap-usap rambut Pak Danur, ayahnya, alias mertua Ratih! Ayahnya saat itu sedang duduk bersimpuh di bawah sementara ratih di atas kursi santai. Kepalanya bersandar di atas paha menantunya itu. Sungguh pemandangan aneh dan luar biasa.

Hanya sayang sekali, selain isak tangis Ratih, dia sama sekali tidak bisa menguping pembicaraan mertua dan menantu itu yang dilakukan hampir seperti bisikan. Beberapa saat kemudian ayahnya bangkit berdiri, menarik tubuh Ratih dan memeluknya. Lalu dia duduk di samping Ratih, menarik tubuh rampingnya dan mengangkat ke pangkuannya. Tak ada perlawanan samasekali, lalu kenapa Ratih menangis? Tanya Izal dalam hatinya. Dia belum bisa memutuskan, apakah harus menerjang masuk atau menunggu sesuatu.

Di ruangan itu, Ratih mengalungkan ke dua tangannya ke leher Pak Danur, mengusap-usap pipinya, hingga pria setengah baya itu menunduk lalu ..., mereka pun berpagutan dengan lembut namun panas. Tangan Pak Danur menyingkapkan gaun tidur menantunya itu, satu buah gundukan yang padat dan ranum menyembul menantang. Emang tidak sebesar buah dada besar Bu Ratna, ibunya. Namun buah dada itu terlihat bulat mengkal sempurna karena belum pernah dipakai menyusui anak.

Telapak tangan lebar Pak Danur terlihat jelas mengelus dan meremas buah dada ranum tersebut. Sementara tangannya yang lain sudah menarik kemudian menyelinap ke balik gaun bawahan Ratih. Dalam keadaan tersebut, ke duanya terus berpagutan dengan panas. Kedua tangan Ratih meremas-remas rambut mertuanya itu dengan sesekali tubuhnya sedikit tersentak-sentak oleh permainan jari Pak Danur di selangkangannya.

Izal mengintip dengan hati bingung, sebagai seorang suami yang menyaksikan langsung penghianatan istrinya tersebut, sudah sewajarnya bila dia menghambur lalu menerjang untuk mengungkapkan rasa sakit hatinya. Tapi sekarang yang dirasakannya bukanlah sakit hati, melainkan barang di balik celananya malah menegang keras.

Apakah perasaan tanpa rasa sakit hati itu karena dia samasekali tidak mencintai Ratih? Entahlah, dia sendiri tidak mengerti. Yang jelas dia malah mengambil hapenya, mengambil beberapa foto mengabadikan kegiatan Pak Danur dan Ratih.

Baguslah, tidak apa-apa, hibur hatinya. Kini dia bisa menunjukkan bukti kepada Bu Ratna bahwa perempuan itu tidak perlu ketakutan atau khawatir lagi akan menyakiti Ratih. Terutama untuk ayahnya, semenjak ibunya terkena stroke 10 tahun yang lalu, sangat bisa dipastikan kebutuhan biologis ayahnya praktis tidak terpenuhi. Kini Ratih telah menjadi pelampiasan dari hasrat biologisnya, itu lebih baik daripada ayahnya menyalurkan kebutuhan seksnya ke pelacur atau perempuan lain yang mungkin bisa saja hanya berminat dan mengincar hartanya. Dia harus ikhlas, dia harus mengerti juga memahaminya tanpa harus emosi. Toh, dia sudah mempunyai Bu Ratna yang dia yakin pasti mau menerima cintanya. Dia jangan egois. Biarlah kebahagian itu milik mereka bersama.

Akhirnya, dia mengundurkan diri dengan diam-diam. Mendorong motornya menjauh lalu mmengendarainya menuju rumah mertuanya. Tidak memperdulikan hujan deras yang kembali turun.

Pintu rumah mertuanya itu sudah terkunci ketika dia mencoba menggerakan gagang pintu. Sambil menggigil kedinginan, Izal mengetuk pintu.

Betapa terkejutnya Bu Ratna ketika mengintip dari balik kaca samping, melihat menantunya itu basah kuyup menggigil kedinginan. Dengan cepat ia membuka pintu, “Lho, kok balik lagi? Dan kenapa kamu hujan-huj ...!” kata-katanya tidak pernah selesai ketika Izal menerjangnya, merangkul dan menutup mulutnya dengan pagutan bertubi-tubi.

“Iz-al! A-apa-apaan kk-mu hmmmfh, lepaskaaan! Ja-ngaaan!” Bu Ratna kewalahan sambil mencoba memberontak.

Izal kini seperti binatang buas yang tengah menerkam mangsanya. Dengan tanpa belas kasihan, dia memangku setengah menyeret tubuh mertuanya itu ke dalam kamar. Dengan cepat dia membelejeti pakaian tidurnya dan melemparkan tubuh montok itu ke atas pembaringan, lalu dia sendiri dengan kecepatan mengagumkan telah membuka seluruh baju basahnya. Ketika Bu Ratna bangun dengan ketakutan, pemuda itu segera menerkam kembali.

“Izaaal, eliiing, Naaak! Eunghhh!” Bu Ratna berseru sambil terus mencoba memberontak. Namun apa dayanya, Izal seperti mendadak kerasukan binatang buas, tubuhnya yang tinggi besar mana bisa disingkirkan semudah menendang kucing liar.

“Zaaal, shakiiithhh. Kamu menyakitiku, Naaak!” Bu Ratna menangis sedih. Tapi Izal sudah tidak perduli apa-apa, yang diinginkannya adalah melampiaskan birahi setuntas-tuntasnya.

Tubuh montok Bu Ratna habis digasak hingga luluh lantak.

Izal benar-benar memperlakukan tubuh mertuanya itu seperti mangsa dari santapan binatang buas yang liar. Begitu liarnya, sampai bekas gigitan dan baret menghiasi sekujur tubuh montok itu.

Keliaran perlakuan menantunya itu entah bagaimana malah membuat Bu Ratna jadi terangsang hebat. Walau pun rasa takut dan sakit terasa sampai ia mencucurkan air mata saking merasa terhinanya. Bahkan tanpa penetrasi sedikit pun, Izal memaksa memasukkan penisnya ke dalam vagina gemuk yang masih kering tersebut.

“Shakiittthhh!” Bu Ratna mengerang sambil meringis. Tubuhnya terguncang-guncang hebat, ketika Izal menggenjot dengan kecepatan penuh. Dinding-dinding vagina itu tergesek tanpa bersiap terlebih dahulu. Terasa perih dan ngilu. Namun, karena ia pun secara aneh terangsang. Dengan cepat, cairan kewanitaannya merembes memberi pelumas ke piston kekar berotot itu untuk melicinkan jalur genjotannya.

Bu Ratna merasa sia-sia kalau hanya terus memohon-mohon sampai suaranya habis juga tentu tetap akan percuma. Ditambah lagi dari hatinya yang terdalam muncul sensasi luar biasa atas perkosaannya tersebut. Ia ingin ikut menikmatinya, jangan kenikmatan itu hanya dapat diraih oleh menantunya. Oleh karenanya, ia mulai mengimbangi genjotan demi genjotan pemuda itu dengan kematangan yang dimilikinya. Napasnya mulai memburu, birahinya terus meninggi. Geraman dan dengusan dari Izal disertai erangan dan rintihannya belum termasuk suara ‘plak-plok’ dari suara beradunya selangkangan keduanya. Lelehan cairan kewanitaannya telah merembes dan membasahi paha dan menetes ke seprai ranjang yang sudah acak-acakan.

“Zalll! Akhhh!” Bu Ratna kebobolan lebih dahulu. Tubuhnya mengejang, otot perutnya mengeras menahan kontraksi vaginanya. Kedua kakinya menyilang menjepit pantat Izal, menahannya agar menantunya itu menahan sejenak genjotannya.

Izal menyeringai nikmat ketika merasakan jepitan keras otot-otot dinding vagina Bu Ratna, menghisap kencang penisnya sampai terasa dipelintir.

Namun keperkasaan prima Izal memang sangat mengagumkan. Dia belumlah menggapai puncak kenikmatan, di saat ibu mertuanya tengah terbujur lemas oleh orgasme dahsyatnya. Dengan dipaksa, tubuh perempuan itu ditariknya bangun. Dengan posisi setengah dipangku, tanpa memberi kesempatan untuk bernapas, Izal kembali menerjang dengan tusukan-tusukan kencangnya. Dari bawah ke atas.

“Enghhh, Zalll. Ibu masih cha-peeek. Pelan-pelan, Naaakh!” erang Bu Ratna kewalahan. Ia terpaksa harus mengangkang lebar. Pantat bebeknya menjengking menggairahkan. Kedua tangannya mencengkram bahu pemuda itu sebagai penyeimbang berat tubuhnya.

Izal terus menyerang ganas. Batang penisnya telah berkilat dan dilumuri cairan putih orgasme mertuanya. Sungguh dahsyat keliaran pemuda itu. Sementara Bu Ratna tubuhnya melambung berkali-kali mengikuti gerak tusukan vertikal penis Izal. Desisan dan erangan perempuan setengah baya itu makin kencang terdengar. Birahinya begitu mudah bangkit, padahal ia belum tuntas menikmati orgasmenya yang pertama.

Belasan menit kemudian, pemuda itu merasa pinggangnya pegal. Saat dia hendak merubah posisinya, Bu Ratna mengerang panjang, menjatuhkan pantat besarnya ke bawah, menekannya sekencang mungkin. Kedua tangannya memeluk dan mencengkram dan menghunjamkan kuku-kukunya ke punggung Izal yang sudah sangat bassah oleh keringat. Wajah Izal tenggelam di belahan montok buah dada Bu Ratna.

“Ughhh, hahhhssshhh!” mata perempuan itu terpejam rapat, kemudian menjatuhkan wajahnya ke bahu pemuda itu dan menggigitnya keras-keras.

Orgasme kedua telah diraihnya. Dan gilanya, Izal masih juga belum menyemburkan mani kenikmatannya!

“Hrrrh!” dengan geraman pendek, dia memeluk pinggang Bu Ratna yang kedua kakinya tengah mengunci kencang pantatnya. Izal segera bangkit berdiri di atas ranjang.

“Mm-mau apalagi?” Bu Ratna bertanya khawatir. Terpaksa ia memeluk tubuh berkeringat menantunya itu, takut jatuh.

Dengan kekuatan tenaga yang sepertinya tidak terkuras. Dengan penis masih tenggelam di dalam vagina tersebut, Izal membawa tubuh montok itu ke arah dinding kamar. Menekan rapat ke dinding tembok, lalu mulai menggoyang pantatnya dengan menggenjot sedikit-sedikit.

Dengan posisi seperti itu. Jelas Bu Ratna mau tidak mau dalam mode pasif. Lubang vaginanya sudah melonggar setelah digenjot bertubi-tubi. Ia hanya bisa merintih-rintih pasrah, menyandarkan kepalanya ke bahu menantunya itu. Posisi yang aneh. Jangankan mencobanya, mendengarnya pun dirinya tidak pernah. Tapi posisi terjepit seperti itu, dengan gaya genjotan yang aneh, karena Izal hanya menekan dan memutar-mutar pantatnya, namun Bu Ratna merasa vaginanya seperti dibor oleh batang bor yang bergerigi. Geli, gatal dan sangat ngilu. Sebetulnya, mengalami dua kali orgasme saja, perempuan itu sudah merasa kelelahan dan lemas badannya. Mengalami puncak birahi yang ketiga, bisa mati lemas aku! Kata Bu Ratna dalam hatinya. Namun ia tidak berdaya menghentikannya. Posisi aneh itu sungguh bisa juga membuatnya kembali birahi. Cairan kewanitaanya seperti tak pernah kering, kini meleleh ke paha Izal.

“Amphunnn, Naaak!” suara Bu Ratna terdengar mulai serak, kerongkongannya terasa sangat kering. Namun rasa nikmat dari birahinya terus memuncak, sampai pada saatnya,

“Ooowhhh!” Bu Ratna melolong panjang sebelum kembali menghunjamkan giginya ke bahu pemuda itu. Tangannya sekencang kakinya mengunci leher dan pinggul pemuda itu.

Dan edannya, terdengar kertakan gigi dan rahang Izal yang mengeras. Tanpa belas kasihan dia mengangkat tubuh yang sudah lemas tak berdaya itu ke atas ranjang, membalikannya dalam posisi menungging. Paha gempal dan padat itu dirapatkan, menjepit vagina yang menyembul sangat basah dan becek. Cairan lengket berwarna putih merembes dan meleleh. Gaya menungging, gaya paforit para pecinta seks. Dengan posisi seperti itu, lutut Bu Ratna gemetaran menahan bobot tubuhnya yang terasa bertambah beratnya berkali-kali lipat. Sungguh, ia sebenarnya ingin istirahat sejenak. Namun pemuda perkasa itu tentu tidak akan mengijinkannya. Orgasme ke empat? Ia sampai bergidik membayangkannya. Empat kali orgasme dalam satu pertempuran, dalam mimpi paling liar pun ia tidak pernah membayangkannya.

Posisi menungging seperti itu, adalah posisi paling langka yang pernah dicobanya. Maklum, dengan pantat besar seperti itu, penis suaminya hanya mampu masuk kepalanya saja, itu pun dibantu dengan pantat yang harus menjengking maksimal. Tapi dengan penis besar sepanjang milik menantunya itu, jelas ia akan merasakan pengalaman yang lain.

Dengan hati berdebar-debar, perempuan itu menunggu tusukan lewat belakang. Wajahnya menekan ke atas bantal dengan tangan mencengkram kencang kasur ranjangnya.

“Hempphhh!” suara rintihan Bu Ratna teredam bantal ketika merasakan sebatang benda tumpul menusuk kewanitaannya. Hampir saja ia merenggangkan pahanya agar penis menantunya itu bisa lancar memasukinya. Namun jepitan paha Izal menahannya.

“Engggrrrhhh!” Izal menggeram panjang. Wajahnya yang berkilat oleh keringat itu mendongak dengan mulut terbuka. Jepitan vagina yang rapat karena tertekan paha gempal itu terasa seperti gigitan lunak yang membuat ngilu batang penisnya. Dengan tenaga yang tersisa, dia kembali menggenjot dengan penuh semangat. Merasakan ujung penisnya bergetar dan berdenyut. Tentulah sebentar lagi dia akan sampai di puncak surga birahinya.

“Ugh! Ugh! Ugh!” Bu Ratna yang sudah habis suaranya hanya terdengar lenguhan pendeknya saja. Menerima pasrah hunjaman demi hunjaman penis menantunya itu. Yang ia pertahankan adalah agar tubuhnya tidak ambruk walau sampai harus dibantu dengan menahan napas panjang demi agar lututnya masih mampu menahan berat tubuhnya dan berat tubuh Izal yang sedikit menindihnya.

Bu Ratna merasakan dinding-dinding vaginanya kembali berdenyut-denyut kencang, tanda bahwa ia akan mengalami kembali orgasmenya yang ke empat. Rasa geli dan ngilu makin merasuk sampai ke ulu hatinya. Dan ia mendengar dengusan dan geraman Izal makin kencang. Mungkin pemuda itu akan segera menyemburkan mani ke dalam rahimnya. Ingin ia melarangnya, khawatir terjadi sesuatu akibat yang tidak diinginkan. Namun saat itu suaranya sudah benar-benar habis.

Kedutan dinding-dinding vaginanya makin kencang.

“Enghhhrrrhhh!” Izal meraung keras, sambil menekan habis penisnya.

“Ughssshhh!” Bu Ratna mendesis keras.

Dua semburan lava panas menerjang di dalam vagina yang sudah menggembung kepenuhan itu. Hingga kemudian dua tubuh itu ambruk kehabisan napas dan tenaga.

Sungguh pertempuran birahi yang dahsyat dan luar biasa!

Izal terguling banjir keringat dengan posisi dipunggungi Bu Ratna yang meringkuk sambil menarik selimut membungkus tubuhnya.

“Maafkan saya, Bu. Saya tidak bisa menahan birahi saya,” bisiknya sambil memeluk tubuh montok yang masih bernapas memburu itu.

“Kamu menyakitiku!” keluh Bu Ratna beberapa saat kemudian, “Kamu seharusnya di rumah bersama Ratih. Kenapa kamu tidak bisa menahan diri malah kembali kemari?”

“Saya malah bisa jadi akan tinggal di rumah ini selamanya,” bisik Izal kembali sambil mempererat pelukannya.

“A-apa maksudmu?” Bu Ratna membalikkan tubuhnya dengan suara kaget, menatap wajah menantunya.

Izal menghela napas, kemudian bangkit, turun daru ranjang. Mengambil hape dari saku celananya yang basah. Setelah mengecek hapenya apakah mati karena basah, ternyata hapenya masih bisa menyala. Dia kemudian menyentuh galeri, menampilkan salah satu foto ke layar. Sambil membaringkan tubuhnya kembali di sisi ibu mertuanya itu, dia memberikan hape ke Bu Ratna.

“Ah!” terdengar jeritan pendek dari perempuan setengah baya itu ketika melihat foto di layar hape tersebut, “I-ini ....” dia melihat ke Izal menegaskan.

“Ratih!” Izal mengangguk-angguk. Mata Bu Ratna membelalakan mata, men-zoom seseorang yang lain yang tengah memangku anaknya itu.

“I-ini juga?” Bu Ratna kembali menengok memastikan.

“Ayahku!” Izal kembali mengangguk.

“Duh, Gustiii!” perempuan itu memejamkan matanya dengan hati sedih, tiba-tiba ia membuka matanya menatap tajam pemuda itu, “I-ini, ini bukan permainan kamu kan? Mem-memaksa Ratih melayani ayahmu agar kamu bisa mendekati ibu tanpa ganggguan?” tudingnya.

“Memaksa bagaimana caranya? Dua hari ini saya tidak pulang ke rumah! Foto ini saya ambil tadi waktu pulang, entah sudah berapa lama hubungan mereka. Saya sendiri tidak mengerti!”

“Tapi ..., tapi itu tidak boleh. I-itu berdosa!”

“Kenapa tidak? Kita juga bukankah seperti itu!” kata Izal sambil membelai pipi Bu Ratna yang segera menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras.

“Tidak boleh, Nak. Ini tidak boleh dilanjutkan. Mereka juga tidak boleh seperti itu!”

“Tidak ada yang menghalangi sebuah hubungan yang didasari suka sama suka. Bisa jadi Ratih juga seperti saya, mempunyai rasa cinta kepada ayah ....!”

“Itu gila, Nak! Hal yang terlarang!” bantah Bu Ratna.

“Karena cinta itu memang gila, Bu. Hal-hal yang di luar kewarasan pun bisa terjadi karena cinta. Banyak contoh, banyak kenyataan, seperti kita contohnya, seperti Ratih dan ayahku kenyataannya!”

“La-lalu bagaimana ini selanjutnya?” tanya Bu Ratna, termakan kata-kata Izal yang lihai.

“Saya sudah jelas mencintai, Ibu. Cuma saya belum mengetahui apa ibu juga mencinta saya. Ratih sudah tentu mempunyai perasaan cinta juga kepada ayah saya. Yakinkan dulu bahwa ibu juga mencinta saya, maka saya akan mencari jalan terbaik agar kita semua bahagia pada akhirnya!”

“Ibu tidak mengerti yang seperti itu, Zal. Ibu sudah tua, tidak pantas cinta-cintaan ah!” kata Bu Ratna lirih, pipi bulatnya bersemu merah.

Izal menarik dagu ibu mertuanya itu, menatap tajam sepasang matanya, “Katakan ibu cinta Izal,” bisiknya dengan penuh harap.

“Kamu ini ya, ibu tidak ngerti ah,” Bu Ratna mencubit gemas pipi menantunya itu.

“Katakan cinta, Bu!” Izal terus mendesak. Wajahnya hampir bersentuhan dengan wajah mertuanya. Hembusan-hembusan napas dari keduanya terasa hangat saling berhembus.

“Ibu sunggguh tidak paham, Nak. Jangan mendesak ibu, ibu tidak mengerti hal yang begitu. Sedekat kamu seperti ini, ibu merasa nyaman dan aman. Itu sudah cukup buat ibu. Cukup buat kamu mengerti perasaan ibu. Bukankah itu lebih baik daripada hanya mengucapkan cinta?” kata Bu Ratna sambil menghela napas panjang, seperti telah melepaskan beban berat.

“Tapi saya akan merasa lebih bahagia kalau mendengar kata cinta langsung, supaya saya tidak merasa sia-sia atas segala hal yang saya lakukan untuk ibu,” Izal masih saja belum puas hatinya.

“Ibu masih terikat pernikahan dengan Kang Mardi, Zal. Mana bisa semudah itu.”

“Dengan terjadinya transaksi kemarin itu, dengan ketiadaan hak bapak atas ibu di saat itu, maka talaq sudah jatuh atas ibu. Lalu apa pula yang harus dikhawatirkan?”

Bu Ratna menghela napas berat ketika teringat kejadian kemarin dulu itu. Ahhh, kalau tidak ada Izal datang pada saat yang tepat, mungkin saat ini ia sudah mati bunuh diri daripada rela disentuh tua bangka seperti Pak Haji Darmin. Betapa besar rasa terima kasihnya, rasa terima kasih yang tidak mungkin bisa dibalas dengan hal lain, kecuali satu hal yang diminta anak itu. Cinta? Apakah ia mencinta menantunya itu? Mungkin saja, kini ia merasakan kebahagiaan dan rasa nyaman dalam pelukan pemuda ini.

“bagaimana, Bu?” kata Izal kembali.

“He-emh!” sahut Bu Ratna dengan mata mengerjap.

“He-emh apanya?” Izal menunduk menatap bibir basah ibu mertuanya.

“I-ibu ..., c-cinta k-kamu!” kata Bu Ratna pelan sekali, lalu sambil tersipu malu menyusupkan wajahnya ke dada Izal.

“Terima kasih, Sayang. Untuk kamu, Izal akan memberikan segalanya yang bisa membuatmu selalu bahagia bersamaku!” bisik Izal dengan suara riang. Bisikan hebat yang mampu membuat hati Bu Ratna terbang ke awang-ngawang. Iseng ia menggigit leher menantunya itu saking gemas dan bahagianya.

“Awww!” Bu Ratna menggeliat geli, ketika merasakan jari-jari nakal menantunya merayap dan menyelip di belahan pantatnya. Mengorek dan menggaruk. “Owhhh! Jangan dulu, Nak. Ibu masih sangat capek, lelah banget. Kalau tiap main seperti ini, ibu bisa keteteran nih!” kata Bu Ratna sambil mencubit dan mengecup lembut puting dada bidang menantunya tersebut.

Izal segera membalasnya dengan menggigit leher ibu mertuanya itu dilanjutkan dengan menjilat kupingnya. Bu Ratna terkikik geli, kemudian membalas dengan menggigit bahunya. Balas membalas terus berlanjut, keduanya bergulat di atas ranjang yang berderit-derit protes. Hingga akhirnya, kedua pasangan terlarang itu saling pagut dengan lembut, rasa sayang dan cinta terpancar jelas di wajah dan binar mata mereka. Suhu dingin mencucuk kulit merayap pasti di kampung itu, masuk ke dalam kamar itu. Dua tubuh yang habis bergelut meringkuk berselimut tebal, berpelukan saling menghangatkan hingga keduanya kemudian terlelap dalam badai asmara murka.

oo0oo​

sebelumnya, mari kita menelusuri jejak awal mula hubungan terlarang lainnya. Antara Ratih dan Ayah mertuanya.

Di rumah Izal, di garasi, Pak Danur baru saja memanaskan mobil Pajero Sportnya. Tubuhnya yang tinggi besar menurun persis ke Izal, putranya. Pancaran kewibawaan dan kematangan seorang pria yang sudah mencapai puncak kedewasaan di usianya yang ke 50 tahun terlihat mempesona. Rambut yang memutih di kedua sisi kepalanya, tidak menghalangi pesonanya. Badannya masih terlihat tegap dan gagah.

“Kamu beneran mau ikut, Neng?” kata Pak Danur dengan suara beratnya yang khas.

“A Izal kan sudah mengijinkan Ratih, Yah. Lagipula ayah kalau sudah jalan suka lupa makan lupa juga lambungnya. Maka Ratih harus ikut mendampingi, daripada kenapa-napa nanti, Ratih bisa dimarahin A Izal,” jawab Ratih sambil tersenyum manis, dekik kecil warisan ibunya muncul menambah kecantikannya. Rambutnya yang panjang hamppir sepinggang diikat sederhana model buntut kuda. Ia mengenakkan baju santai longgar dengan celana berbahan kain berwana abu-abu. Dengan badan ideal seperti Ratih, mengenakkan apa pun tentu terlihat bagus dan serasi.

Dalam perjalanan, mereka banyak diam. Lagu jadul dari Chicago – You Come to my Sense mengalun syahdu dari perangkat audio mobil;

----

You come to my senses
Every time I close my eyes
I have no defenses
You come to my senses
I can't stop this ache inside
I have no defenses
You come to my senses


----

“Ini lagu kesukaan mama, ayah sering menyetel di dekatnya. Kadang-kadang ayah melihat kelopak matanya bergerak-gerak,” kata Pak Danur dengan suara parau. Bu Rizka, istrinya, mengalami koma setelah kecelakaan hebat 10 tahun yang lalu. Dengan dibantu peralatan kedokteran yang disewa dari rumah sakit, Bu Rizka dirawat di rumahnya. Ratih menangkap tebalnya kesedihan dari mertuanya itu, ia ingin menghiburnya, namun tidak tahu caranya. Dirinya hanya mengenal akrab ayah mertuanya, sementara dari mulai berpacaran dengan Izal sampai menikah, Bu Rizka hanya dketahuinya berbaring dengan tenang di tempat tidur, dengan berbagai peralatan kedokteran di sekelilingnya. Untuk menjaga dan merawat orang yang sedang koma tentu harus orang yang ahli. Maka, Pak Danur menggaji dua orang perawat yang bergantian untuk menjaga istrinya tersebut.

Ratih mengagumi ketegaran dari ayah mertuanya itu, suara beratnya yang berwibawa, ketenangannya dalam menghadapi situasi apa pun. Sungguh berbeda dengan bapaknya yang temperamen dan sembrono. Mereka sesunggguhnya beruntung berbesanan dengan Pak Danur yang orang kaya namun rendah hati itu. Bagaimana pun cantiknya, apabila berbeda kasta tentu akan mendapat perlakuan yang lain dari sewajarnya. Namun itu tidak berlaku bagi Pak Danur, dia tetap menghormati keluarga besannya yang notabene statusnya jauh di bawahnya. Pernah bapaknya ditawarkan mempunyai mobil angkutan sendiri untuk menaikkan kesejahteraan pendapatannya, bahkan ditawari juga untuk bekerja di perusahaan milik keluarga Pak Danur, namun entah gengsi atau bagaimana, semua tawaran tanpa maksud apa-apa itu ditolak bapaknya mentah-mentah. Rasa kagum dan hormat Ratih kepada ayah mertuanya itu ditambah oleh rasa kasihan membayangkan orang tua itu hidup sendiri karena anak satu-satunya telah menikah dan hidup dengan rumah tangganya sendiri. Secara fisik Izal mewarisi persis fisik Pak Danur, tinggi besar dan tegap juga gagah, namun gaya bicara Izal jauh berbeda dengan ayahnya, Izal lebih cair dalam berkomunikasi serta lebih lincah, mungkin bawaan dari ibunya, berbeda dengan Pak danur yang kalem dan tenang.

Mobil mulai memasuki jalan yang tidak rata, bergoyang-goyang dan terayun-ayun. Pohon-pohon besar juga cemara di sisi kiri menjulang menyejukkan mata, sementara di sisi kanan, jurang terjal menganga dan nun jauh di sana, sedikit terhalang kabut, kota Bandung menghampar sejauh mata memandang. Jalanan selain tidak rata mulai menanjak terjal, mesin mobil Pajero meraung-raung menerjang medan jalan. Ratih berpegangan ke handle pintu dengan wajah cemas.

“Tenaaang, ayah kan mantan pembalap rally. Jalan begini mah enteeeng,” kata Pak Danur tersenyum ketika menangkap kekhawatiran menantunya itu.

Ratih hanya balas tersenyum, karena hatinya masih dag-dig-dug. Jalanan tak beraspal hanya terdiri dari batu-batu yang tidak rata, dengan sisi kanan jurang menganga, siapa yang tidak olahraga jantung menghadapi situasi seperti itu. Belum lagi jalanan terlihat lembab dan licin karena sedang musim hujan, sungguh jalan yang sempurna bagi yang mau cari mati.

Setelah mengarungi jalan yang sangat terjal yang bahkan Ratih pun sampai memejamkan mata, mobil berbelok ke arah kiri, tampak sebuah gerbang dengan tembok yang berlumut menyambut mereka. Gerbang yang sudah terbuka lebar, jalan masuknya dari cor-coran yang sudah berlubang di sana-sini. Sekitar 100 meter menyusuri jalan tersebut, tibalah mereka di depan sebuah bangunan mewah namun sudah kusam tak terawat. Semak belukar dan ruput ilalang liar, tampak tumbuh tinggi dengan bebas. Villa mewah tak terawat seperti itu berada di dalam hutan, sungguh seperti rumah hantu di film-film horror, suasananya mencekam dan menakutkan.

Di teras rumah telah berdiri seorang pria tua dengan mengenakkan topi koboy, kumplit dengan sepatu bot dan jaket jeans dekil. Dia duduk santai uncang-ucang kaki di atas jok sebuah motor trail tua, menghisap rokoknya dengan nikmat. Dan pria itu segera meloncat berdiri menyambut kedatangan mereka.

Mata pria tua itu sedikit menyipit ketika melihat Ratih turun dari mobil, entah anaknya atau istri mudanya, atau mungkin selingkuhannya si Bos, katanya dalam hati. Karena dia tahu perbedaan usia mencolok dari keduanya.

“Kohar, Pak!” kata Pria Tua itu memperkenalkan diri sambil membungkuk penuh hormat. Dia adalah perantara dari pemilik villa yang ditawarkan.

Di saat ayah mertuanya bercakap-cakap dengan Pak Kohar, Ratih mengedarkan pandangannya dengan hati bergidik. Villa itu benar-benar mewah, villa dua lantai berwarna krem yang sudah kusam dengan luas bangunan kurang lebih 400 meter, begitu besar dan mentereng, tidak kalah dengan rumah-rumah mahal yang berada di jalan Setiabudi. Namun letaknya yang terpencil dengan dikelilingi belantara yang rapat seperti ini, sungguh layak untuk dijadikan wahana uji nyali. Hawa terasa dingin sekali, ia menyesal tidak membawa sweaternya. Baju kaos longgarnya samasekali tidak membantunya melawan rasa dingin itu.

Angin lembab berhembus tajam, Ratih mendongak ke atas, melihat awan gelap begitu tebal dan dekat.

Ratih tidak menyimak percakapan Pak Danur dan Pak Kohar, yang jelas ia segera menengok ketika Pak Danur memanggilnya, “Neng, kata Mang Kohar di atas sana ada tanah yang belum dibangun, pemandangannya lebih bagus dari tempat ini, sangat cocok untuk dibangun villa, hanya tinggal membuat akses jalannya saja. ayah mau lihat-lihat sebentar ke sana, sendirian. Pak Kohar sudah menunjukkan arahnya, kamu di sini saja dulu ya, soalnya jalan ke sana masih rapat oleh semak belukar!”

“Mau hujan lho, Yah.” Kata Ratih sambil menunjuk ke atas.

“Hanya sebentar, jaraknya juga tidak terlalu jauh, hanya sekitar 400 meter, ya kan, Mang?” Pak Danur menoleh ke pria tua itu yang mengangguk sambil sibuk menyalakan rokoknya yang baru.

“Iya, Juragan. Saya tidak bisa menemani, saya disuruh mengecek dan sedikit bersih-bersih di villa oleh Pak Bos, bagusnya Eneng di sini saja, jalan ke atas sukar ditembus buat yang tidak terbiasa,” sahut Mang Kohar sambil tersenyum, gusi hitam bekas teraasapi tembakau terlihat.

“Ratih ikut ayah saja deh, Ratih dulu juga pernah kemping, jadi ayah tidak usah khawatir,” kata Ratih cepat-cepat. Mana mau ia ditinggalkan di rumah menyeramkan seperti itu bersama pria tua yang mempunyai tatapan mesum itu.

“Ya sudah, mari kita berangkat. Semoga kita bisa sampai kembali kemari sebelum hujan turun!” kata pak Danur sambil melangkah cepat ke samping villa, dari situ terlihat sebuah jalan setapak dari tanah menanjak menembus hutan lebat yang terlihat gelap dan berkabut. Padahal waktu itu baru saja selepas lohor, tapi keadaan di tempat itu seperti hampir menjelang maghrib.

Dengan langkah tegap dan pasti, Pak Danur menerobos rapatnya semak belukar yang menghalangi jalan setapak itu, diikuti Ratih yang kepayahan dengan jalan yang menanjak dan berkelok-kelok tersebut. Tanah jalan setapak tersebut begitu licin, berkali-kali perempuan muda itu terpeleset hampir jatuh, untuk ia memakai selop dengan hak agak tajam, jadi mampu menancap ke tanah menahan bobot tubuhnya apabila meluncur karena terpeleset. Hawa makin dingin, namun Ratih mulai berkeringat, dan napasnya mulai memburu, ia berjalan secepat yang ia bisa mengikuti langkah lebar ayah mertuanya. Dalam suatu ketika, jalan setapak itu menanjak sangat terjal, saking terjalnya undakan yang hendak dipijaknya berada di depan hidungnya persis. Hidung mancung itu mulai kembang-kempis kepayahan, tangannya kadang menekan lututnya untuk mengurangi beban tubuhnya saat merayap menaiki jalan. Mendadak, ada petir menyambar begitu menyilaukan mata. Disusul dengan suara gemuruh guntur memekakan kuping,

“Jleggerrr!”

Ratih berteriak kaget. Tubuhnya hilang keseimbangan. Pak Danur yang diam-diam mengawasi dengan reflek dan kecepatan yang mengagumkan, tangannya meraih pangkal tangan menantunya itu menahannya dengan kekuatan tenaganya, setelah terangkat sedikit tangan yang satu lagi membantu meraih pangkal tangan Ratih yang terayun, dengan satu sentakan bertenaga, Ratih melayang dan menubruk tubuh Sang Mertua sehingga badan mereka bertindihan.

“Bluk!” badan Pak Danur terjengkang dan meluncur turun dengan tubuh Ratih di atasnya. Ratih berseru ketakutan dengan tubuh mengkerut, tangan tegap pak Danur sigap memeluk tubuh menantunya itu agar tidak terguling dan tetap berada di atas tubuhnya. Membiarkan tubuhnya meluncur turun lalu berhenti tertahan semak belukar.

Tubuh Pak Danur tergeletak di atas rumput liar dengan helaan napas berat. Menatap Ratih yang menindihnya dengan wajah hampir saling bersentuhan. Pelukan tangan tegap itu terasa sangat melindungi dan membuatnya nyaman. Kilat petir kembali menyambar dengan bunyi guntur yang terus bersahutan. Dan hujan deras turun dengan cepat sekali.

“A-ayah!” kata Ratih tersipu-sipu malu sambil menyingkirkan tubuhnya dari atas ayah mertuanya itu. Pak Danur bangkit terduduk dengan wajah sedikit mengerenyit, untung dia memakai jaket kulit, kalau tidak, saat meluncur barusan punggungnya bisa habis terkelupas kulitnya.

“Aduh!” Ratih yang mencoba berdiri kembali terjatuh, ternyata salah satu hak selopnya telah patah menyebabkan pergelangan kakinya keseleo. Perempuan muda itu jatuh terduduk sambil menyeringai kesakitan mengurut-urut pergelangan kakinya yang menghijau. Tetes-tetes besar dari hujan deras jatuh membuat dua orang itu cepat menjadi kuyup.

“Coba ayah lihat,” kata pak Danur sambil melihat pergelangan kaki menantunya itu dengan teliti, “engkelnya kena, Neng! Kamu tidak akan bisa jalan,” lanjutnya, pria setengah baya itu berdiri mengedarkan pandangan, menatap ke jalan setapak arah kembali.

Ratih ikut melihat jalan tersebut, lalu tersenyum sedih. Jalan itu terlihat sangat terjal. Sulit dipercaya ia bisa menempuhnya barusan. Lalu sekarang dengan kaki sakit seperti itu ia kembali harus menyusuri jalan tersebut? Ia lebih memilih membiarkan tubuhnya meluncur turun sampai ke bawah daripada harus merayap-rayap dan terpeleset-terpeleset lagi.

“Sepertinya mau tidak mau, kamu harus ayah gendong, Neng,” kata Pak Danur setelah menghela napas panjang.

“Dipapah saja ayah, masih kuat berjalan kok. Ratih tidak ingin merepotkan ayah, jangan sampai ayah cedera juga, bisa-bisa kita tidak akan pernah sampai ke mobil!” sahut Ratih menguatkan hati mencoba berdiri. Tapi ringisan kesakitannya tertera jelas di wajahnya.

“Kalau dipapah malah jelas kita tidak akan sampai, lihat kabut sudah tebal sekali, sebentar lagi akan turun. kalau kita terlambat, kita akan kehilangan jejak jalan setapak itu yang tentu tertutup kabut. Sudahlah jangan sungkan-sungkan, naik ke punggung ayah. Jangan khawatir, ayah masih kuat menggendong kamu naik turun tujuh kali!” sahut Pak Danur tertawa pendek. Dia tidak ingin melihat lagi menantunya itu, kaos tipis yang asalnya longgar yangg dikenakan sang menantu kini dalam keadaan basah kuyup seperti itu, telah mencetak jelas setiap lekuk tubuhnya. Sesuatu hal yang tidak ingin dilihatnya, karena sekilas pun barusan, hatinya berdebar keras. Sesuatu yang dia pendam selama 10 tahun lamanya kini berontak meraung-raung meminta pelampiasan.

Dengan ragu-ragu Ratih beringsut mendekati ayah mertuanya itu yang tengah berjongkok menunggu. Tapi sebelum ia memanjat punggung kokoh itu, Pak Danur tiba-tiba membuka jaket kulitnya, mengangsurkan ke Ratih tanpa berani menatapnya, “Pakailah, supaya kamu tidak terlalu kedinginan!”

Dengan rasa terharu, tanpa berkata-kata, perempuan muda itu memakai jaket kulit tersebut, lalu dengan kaku dan ragu, kedua tangannya meraih bahu mertuanya, lalu memanjat naik, memeluk lehernya dengan erat ketika Pak Danur perlahan berdiri. Mau tidak mau, kakinya harus menjeplak pinggul mertuanya itu daripada ia nanti merosot turun. karena kedua tangan Pak Danur samasekali tidak bisa membantu memegang kaki menantunya itu seperti lajimnya orang yang menggendong. Kedua tangan pria setengah baya itu harus digunakan untuk meraih belukar di sisi jalan setapak sebagai pegangan untuk membantu ketahanan kuda-kuda kakinya saat menuruni jalan setapak dari tanah yang kini sudah basah dan sangat licin. Jalan itu menurun tajam, belukar yang dipegang hampir tidak kuat menahan bobot dua tubuh tersebut. Untunglah, sendal kulit yang dipakai Pak Danur mempunyai daya cengkram yang kuat, sehingga mampu membagi beban. Pak Danur napasnya mulai memburu, konsentrasinya untuk menuruni jalan licin itu kadang pecah dan buyar oleh dua gundukan hangat dan kenyal yang menekan punggungnya dengan ketat. Jaket kulit itu entah sengaja atau tidak, ternyata tidak diresletingkan oleh ratih, terbuka begitu saja. Alhasil, kaos dan bra tipis yang dikenakannya dengan posisi digendong menuruni jalan seperti itu, ditahan seperti apa pun juga tetap saja membuat tubuhnya harus condong merapat ke punggung sang mertua. Dan sang ayah mertua pun tentulah buka patung batu. Konsentrasinya mulai goyah, maklum, 10 tahun bukan waktu yang sebentar menahan hasrat biologis yang tidak tersalurkan. Sungguh suatu hal yang manusiawi, apabila kemudian monster yang terlelap bertahun-tahun lamanya kemudian bangun dan meraung-raung.

Konsentrasinya benar-benar ambyar, ketika di kelopak matanya bermain sebuah bayangan tubuh sintal dengan baju basah melekat erat mencetak setiap lekuk tubuhnya, kedua buah dada ranum yang terbungkus bra tipis begitu bulat dan mengkal.

Dan itu harus dibayar mahal.

Bret!

“Akhhh!” Pak Danur berteriak kaget. Belukar yang digenggamnya tak kuat menahan bobot tubuh dua manusia tersebut. Ditambah tanah tempat cengkraman akarnya menjadi gembur oleh air hujan. Dua tubuh melayang ke bawah! Dengan usianya yang setengah baya, Pak Danur jelas mempunyai ketenangan yang mengagumkan. Di saat tubuhnya melayang jatuh, kedua tangannya menarik tubuh Ratih yang tengah memejamkan matanya dengan ketakutan. Ditarik ke depan, ke pelukannya. Membiarkan tubuhnya sendiri menjadi martir, terbanting-banting di atas tanah berlumpur.

Tubuh Pak Danur meluncur dengan Ratih di pelukannya, lalu berhenti di atas tanah berumput yang landai.

“A-ayah!” Ratih berseru lirih, mendongak menatap wajah mertuanya yang tersenyum menatapnya. Tatapan yang aneh! Begitu tajam dan menggetarkan. Bahkan hujan deras yang mendera wajahnya samasekali tak membuat kelopak mata itu mengerjap.

Ratih mengenal benar tatapan mata seperti itu. Persis tatapan Izal ketika tengah dilanda birahi! Namun saat itu ia samasekali tidak mempunyai perasaan takut. Betapa nyamannya ia meringkuk dipelukan ke dua lengan kokoh itu.

“A-ayah!” Ratih kembali berseru kikuk, sedikit menggeliat, mencoba melepaskan tubuhnya dari menindih tubuh ayah mertuanya itu.

Hanya sayang, kedua lengan kokoh itu begitu ketat menguncinya. Tubuh Ratih mulai mengigil, bukan karena kedinginan, tapi oleh suatu perasaan asing yang aneh, perasaan yang membuat tubuhnya menggeletar.

Tiba-tiba Pak Danur membalikkan tubuh menantunya itu, balik menindih. Dengus napasnya terasa panas memburu di leher menantunya itu yang terbelalak kaget sampai lupa berteriak.

Bret! Bret! Bret!

Si Monster yang tertidur bertahun-tahun itu memulai pestanya. Pesta pora yang gurih dan lezat. Pesta yang menantang.

Ratih memcoba untuk memberontak. Pemberontakan yang lemah dan sia-sia.

Dengan rakus, Si Monster mengunyah dua bongkah daging mengkal yang ranum setelah bra tipis dengan kait lemah itu dibetotnya dengan mudah. Payudara bulat sempurna berkulit putih molek, dengan lingkaran kecil kemerahan di sekitar puting kecil yang mulai mengeras. Ditelan, disedot, dijilat dengan keliaran macam singa tua kelaparan.

Pak Danur begitu beringas. Melupakan semuanya demi Si Monster yang kelaparan.

Hujan makin deras, di atas tanah berumput yang landai itu, tubuh molek dan sintal Ratih menggelepar-gelepar digulung singa tua yang perkasa. Celana kainnya telah terlepas sebelah, sementara celana dalam tipis berwarna pink miliknya telah dirobek dan dilempar ke atas semak belukar. Vagina yang berwarna merah muda dengan sedikit bulu-bulu halus yang menghias diatasnya begitu indah bagai lukisan sempurna dari seorang maestro seni lukis.

Monster itu meraung dengan penuh kemenangan, air liurnya menetes tak terkendali menatap sebuah ciptaan sempurna dari seorang wanita. Buah dada yang berkulit putih mulus itu kini telah dinodai oleh guratan-guratan merah yang tercetak jelas. Putingnya yang kecil kini mengacung tegak bekas ditarik dan disedot. Perut rata dengan pusar kecil ditunjang oleh pinggul besar membulat, hingga ke pusat kewanitaannya yang membusung dengan segaris tipis belahan bibir vagina rapat penghiasnya.

Ratih merintih. Tergolek pasrah tak berdaya. Mengerti benar berteriak-teriak agar ayah mertuanya itu sadar sama sekali sebuah kesia-siaan. Ia hanya sanggup memejamkan matanya, menunggu dan menunggu apa yang selanjutnya sudah ia fahami akan terjadi kepada dirinya. Menyesal pun sudah tidak ada gunanya, lagipula apa yang mau disesalinya?

Perempuan muda itu menggigit bibir bawahnya sambil merintih halus saat merasakan jari-jari yang melipat lutut dan merenggangkannya. Napasnya menjadi pendek-pendek dengan hati berdebar tidak karuan ketika merasakan sebuah benda tumpul menekan kewanitaannya. Benda tumpul yang tak ingin dibayangkannya. Menekan dan menusuk tanpa ampun. Ia terus berusaha untuk memejamkan mata sekuat-kuatnya, menggigit bibir sekeras-kerasnya. Rasa perih dan sakit disertai ngilu sedikit geli mulai merasuk ke semua pembuluh darahnya. Tubuhnya bergetar ketika dinding-dinding dalam vaginanya dipaksa harus menerima batang besar tanpa persiapan. Yang jelas ia tidak ingin rasa sakit itu menyiksanya, memaksakan otot-ototnya serilek mungkin. Batang itu tentu sama besar atau sedikit lebih besar dari penis Izal, suaminya. Ratih terus meyakinkan dirinya, memompa semangatnya agar otot-otot vaginanya tidak tegang, melemaskan semua sendi tubuhnya agar tidak memberontak melawan.

Kemampuan Ratih sebagai korban perkosaan masih mampu berpikir tenang seperti saat itu sungguh suatu hal yang luar biasa. Entah apa yang menjadi dasar dari keyakinannya saat itu. Apa mungkin karena ia merasa bahwa ayah mertuanya yang sudah dikenal baik sebagai pribadi yang menarik menjadi seperti itu dikarenakan hasratnya yang lama terpendam. Begitu melihat kesempatan, hasrat itu mampu mengambil alih kesadaran dan mengendalikan semuanya tanpa dapat ditahan.

Ratih terus mencoba dalam keadaan tenang serileks mungkin. Otot-otot vaginanya kini mulai bisa menerima gesekan-gesekan dari batang penis Pak Danur yang menggenjot dengan cepat dan bertenaga. Dibantu dengan cairan pelumas yang merembes, rasa sakit itu perlahan-lahan menghilang, diganti dengan rasa geli dan gatal seperti biasanya saat ia dan suaminya bercinta. Namun ternyata ada yang lebih dari biasanya. Batang penis itu seperti mempunyai pengait. Mengaduk-aduk vaginanya dengan cara tidak seperti biasanya. Saat penis itu menarik keluar, dinding vaginanya ikut tertarik dan tergaruk. Sensasinya jelas terasa beda. Membuat ketenangannya mulai goyah. Napas perempuan muda itu mulai memburu. Dan sialnya, tetes-tetes hujan deras yang dingin itu malah membuat sensasi itu semakin nyata. Apalagi saat ia merasakan hembusan napas panas, menyentuh puting-putingnya. Panas dan dingin terasa di saat yang bersamaan. Ratih merasakan seluruh bulu-bulunya meremang yang tanpa sadar membuat badannya menggeletar.

“Enghhh!” Ratih mengerang melalui hidungnya. Ia tak mampu menahan badannya yang mulai mengejang. Kedua kakinya mulai bergerak-gerak gelisah. Ulu hatinya terasa mulai sesak. Dan yang lebih gilanya lagi, ujung-ujung rumput basah menggelitik lubang pantatnya yang bergerak mengikuti tusukan-tusukan liar penis Pak Danur. Membuat otot-otot dinding vagina Ratih bereaksi. Reaksi yang hanya bisa dirasakan oleh Pak Danur. Batang penisnya seperti mendadak seret untuk ditarik keluar masuk.

“Hrrrhhhsssh!” terdengar geraman berat Pak Danur. Genjotannya makin cepat dan liar. Dua payudara putih ranum itu dicengkramnya keras-keras.

“A-yahhhhsh!” badan semampai itu melambung. Matanya membeliak sampai hanya terlihat putihnya saja. Otot-otot perutnya mengejang membantu kontraksi otot vaginanya yang menjepit, mengunci penis Pak Danur, yang membuat pria setengah baya itu meraung dengan punggung melengkung. Menekan lebih dalam, menghamburkan cairan yang mungkin sudah 10 tahun terbendung.

Badan tinggi besar dan kokoh itu akhirnya ambruk dengan wajah tenggelam di atas rumput basah di sisi wajah menantunya.

Sesaat yang terdengar hanya derai air hujan dan gelegar guntur.

Isak tangis perlahan terdengar di telinga pria setengah baya itu yang mendadak tersadar dan pikirannya kembali jernih.

Pak Danur meraung kembali. Raungan yang berbeda dengan yang tadi. Ini adalah raungan marah. Seperti mendadak kerasukan, dia bangun, lalu terjatuh kembali tersangkut celananya yang masih di bawah. Pria setengah baya itu seperti kerbau gila yang tengah mengamuk. Tinjunya menghantam tanah basah berulang-ulang. Lumpur dan genangan air muncrat ke mana-mana. Rasa sesal, marah dan sejuta perasaannya yangg lain hampir membuat dadanya meledak.

“A-ayah,” Ratih merayap bangun. Dengan tangan gemetar, ia menarik turun kaosnya juga celananya yang lepas sebelah. Tubuhnya yang basah kuyup sebagian berlumur lumpur. Perempuan muda itu mulai menangis. Tangisan yang membuat Pak Danur yang sedang mengamuk mendadak menggelosoh lemas. Sepasang matanya menyorot buram, terlihat sangat berduka sekali dengan wajah sangat pucat membiru.

“Ma-afkan ayah, Nak,” gumam dengan wajah menunduk, telapak tangannya beberapa kali memukul kepalanya dengan rasa penyesalan yang luar biasa.

“Ki-kita pulang ayah,” kata Ratih di sela isaknya. Menarik resleting jaket kulitnya. Kemudian merayap perlahan-lahan menuju jalan kembali ke villa.

Dengan tanpa berkata-kata, pak Danur bangkit berdiri, membetulkan celananya. Kemudian dengan terhuyung-huyung dia menghampiri menantunya itu yang tengah merangkak-rangkak. Tanpa berkata-kata, tubuh semampai itu dipondongnya. Tanpa perlawanan, Ratih pasrah memejamkan mata meringkuk kedinginan dalam pelukan sang mertua.

Sepanjang perjalanan pulang, Pak Danur beberapa kali menghantam setir mobil dengan tinjunya. Geraman-geraman pendek tidak jelas terdengar dari mulutnya. Dan dia samasekali tidak berani menatap sosok yang sedikit meringkuk terbungkus handuknya, handuk yang memang ada di dalam mobil, dan sosok itu pun tidak bereaksi apa-apa. Diam tenang. Bahkan isak tangis yang tadi terdengar pun sudah lenyap.

Sesampainya di rumah, masih dalam diam, Pak Danur kembali memondong menantunya itu masuk ke dalam rumah, dan di dalam rumah baru dia kebingungan. Dia tak berani bertanya, bahkan melihat wajah yang dipondongnya pun dia tidak berani.

“Ke dalam kamar, Ayah. Ke kamar mandi,” Ratih mau tidak mau mengarahkan.

Seperti robot, Pak Danur patuh tanpa kata-kata.

Di dalam kamar mandi, ratih diturunkan perlahan-lahan, dengan berpegangan ke wastafel ia menuju bak mandi. Tanpa sedikit pun melirik ke sang mertua yang segera berbalik pergi keluar kamar.

Sesungguhnya, kalau menuruti kata hatinya, ingin dia segera kabur dari rumah itu. Namun hati kecilnya segera berteriak menahan. Sebelum pergi, setidaknya dia harus mengucapkan sesuatu, tidak perduli menantunya itu akan meludahinya atau mengusirnya. Sepatah kata itu mungkin tidak berarti apa-apa, namun setidaknya dia ingin menunjukkan bahwa ada penyesalan dari nafsu gila yang mengendalikannya tadi.

Dia merasakan badannya sangat lelah, ingin rasanya berbaring di mana saja untuk sekedar meluruskan punggungnya. Seluruh baju dan badannya masih basah kuyup dan berlumpur. Bahkan terlihat bekas-bekas berlupur di lantai rumah itu.

Walau pun rasanya sangat letih, dia ingin melakukan sesuatu, sesuatu yangg seumur-umur belum pernah dilakukannya. Dia pergi ke dapur, mengambil kain pel, mengepel dengan kaku lumpur dan air yang menetes dari badannya. Tanpa menyadari sepasang mata bening mengintip dari dalam kamar memperhatikan kegiatannya. Setelah selesai, mengganti pakaiannya yang tersedia di dalam mobil tanpa punya keinginan untuk membersihkan badan terlebih dahulu dan baju-celana kotor itu dibuang ke selokan di depan rumah. Seusainya, dia kembali ke dalam rumah, berjongkok di ruang tengah menghadap ke kamar anaknya. Pria tua itu terlihat muram, lusuh.

Sepasang mata bening yang tadi mengintip menarik dirinya cepat-cepat, menjatuhkan dirinya ke tepi ranjang dengan hati bingung. Ia pikir ayah mertuanya itu akan pergi di saat ia sedang membersihkan diri di kamar mandi. Namun di luar bayangannya, mertuanya itu malah masih di situ. Apalagi yang ditunggunya? Bisik hati Ratih tidak mengerti. Dengan peristiwa tadi, seharusnya ia membenci setengah mati mertuanya itu, namun ternyata malah kebalikannya. Melihat betapa muram dan menderitanya pria tua itu, di hatinya timbul sekelumit rasa kasihan. Rasa kasihan yang entah timbul dari mana. Dan kenapa dia tidak pergi juga? Malah seperti menunggu sesuatu, apakah dia menunggu Izal? Lalu mau apa? Bilang istrinya telah menggoda ayahnya hingga dia khilaf hingga ia yang nanti menjadi pusat kesalahan?

Tidak! Ayah tidak mungkin sekeji itu. Ratih terus berkata-kata di dalam hatinya. Kakinya masih terasa sakit, terbayang juga ketika ia terpeleset hingga mereka berdua meluncur, ayah mertuanya itu yang dengan rela menjadi pelindungnya agar ia tidak terbanting-banting di atas tanah berlumpur. Rasa hangat menjalar di hatinya. Tanpa sadar, Ratih dengan pergelangan kaki masih terasa sakit, beranjak menuju pintu kamar, bermaksud untuk mengintip. Begitu pintu terbuka sedikit, matanya yang mengintip beradu tatapan dengan tatapan muram penuh rasa bersalah. Tubuh kokoh berusia setengah baya itu kini bersimpuh tanpa daya. Rambutnya yang masih tebal tampak kusut dengan wajah yang layu. Ratih memang tidak mempunyai rasa marah, amarahnya menguap begitu saja. rasa bersalah yang begitu tebal di wajah tua itu telah membuat hatinya luluh.

Ratih berdiri kebingungan, dan tatapan muram itu menundukkan wajahnya dengan letih.

“A-yah belum pulang?” hanya itu yang sanggup dikatakannya.

Wajah letih itu mengangkat wajahnya, senyum yang tidak terlihat senyum tersungging.

“Ayah hanya ingin memohon maaf, permohonan maaf yang sebetulnya tidak akan mampu mengembalikan semuanya,” begitu berat suara itu. “Ayah tidak ingin berlindung atas dasar khilaf atau apa pun itu namanya. Kamu boleh meludahi ayah, mencaci, dan segala hal yang ingin kamu lakukan ke ayah sekarang. Mungkin itu bisa membuat ayah sedikit bisa bernapas. Ayah telah merusak kehormatan rumah tangga putera satu-satunya. Mati seribu kali pun rasanya tidak akan bisa membersihkan kesalahan ayah. Untuk itu, ayah akan menanggung semua resikonya. Dan kamu, Nak. Ayah tidak akan membiarkan apa pun juga yang akan membuatmu hancur.” Dan wajah itu pun kembali terjatuh menunduk.

Pedih hati Ratih mendengar kata-kata tersebut. Air mata merebak di sepasang mata bening itu.

“Sudahlah ayah, kumohon lupakanlah kejadian itu. Kita lupakan! Kita anggap mimpi buruk yang tidak pernah kita alami,” isaknya tertahan.

“Ayah ingin bersujud memohon pengampunanmu, Nak,” suara berat itu terdengar serak.

“Ja-jangan, Ayah! Tidak boleh!” Ratih berseru kaget. Menubruk maju melupakan rasa sakit kakinya, ketika dahi ayah mertuanya itu hendak melakukan apa yang dikatakannya barusan. Menahan dahi itu, mengangkatnya dengan susah payah ke pangkuannya dengan penuh kasih sayang. Ia terduduk di atas sofa dengan kepala sang ayah mertua bersandar di pangkuannya.

Dan itulah hal pertama yang disaksikan Izal dari dapur!

“Tolong jangan seperti ini, Ayah,” isak Ratih sambil mengelus pipi Pak Danur. “Ratih tidak apa-apa, sudahlah. Kita lupakan saja.”

Pak Danur menghela napas berat sekali, “Entahlah, ayah tidak akan sanggup dan berani lagi bersua dengan Izal! Walau pun kita menyembunyikan dan dia tidak tahu ....!”

“Mungkin A Izal akan segera tahu, Ayah,” bisik Ratih lirih.

“Kamu akan melaporkan ayah? Tidak apa-apa, ayah menerima apa yang akan terjadi sebagai resiko ayah. Asalkan kamu tidak kenapa-kenapa, sudah cukup buat ayah!”

Terasa hangat dada Ratih mendengar kata-kata itu. Ia segera menggeleng sambil tersenyum sedih, “Mana mungkin Ratih mengadu. Inilah yang akan A Izal lihat!” Ratih membuka dua buah kancing dasternya. Sebuah gundukan putih menyembul, di gundukan ranum itu terlihat banyak guratan bekas gigitan!

“Yaaa, Tuhaaan!” Pak Danur menggaplok mulutnya. Namun Ratih cepat menahannya.

“Ratih dapat membayangkan apa yang nanti terjadi. Betapa nanti Ratih akan berada di posisi paling bersalah. Ratih ..., se-sekarang Ratih ..., Ratih hanya punya ayah. Ayah yang hati Ratih yakinkan bisa menjadi tempat berlindung Ratih sekarang!”

Dua pasang mata saling bertatapan. Saling menyelami. Hingga akhirnya Pak Danur merengkuh bahu menantunya itu ke pelukannya.

“Ayah akan melindungimu, ayah yang akan selalu berada di depan kamu, Nak,” bisiknya serak. Mencium wangi harum rambutnya. Ratih mengangkat wajahnya, dan bibir mereka bersentuhan tanpa sengaja.

Begitulah, semua terjadi seperti sewajarnya. Satu sentuhan yang mengungkapkan segalanya. Sebetulnya Pak Danur masih bisa menahan diri, namun begitu menatap sepasang mata bening yang terlihat begitu penuh harapan atas perlindungannya. Pertahanannya ambrol. Ambyar seperti dinding dari debu.

“Naaak ...,” bisik Pak Danur dengan napas berat.

“A-yah ....,” Ratih balas berbisik, matanya terpejam ketika sentuhan kedua membuat badannya gemetar. Kemudian yang ke tiga, disusul yang keempat, selanjutnya susul-menyusul, bertubi-tubi.

Tiba-tiba Pak Danur merasakan tangannya telah menggenggam segumpal daging empuk yang kenyal. Yang membuat kelaki-lakiannya bergetar. Dia sudah tidak memerlukan lagi si monster, dia lah yang sekarang mengendalikan sang monster itu.

Segalanya terjadi begitu cepat. Daster, bra dan celana dalam seperti terlempar dengan sendirinya.

Suasana muram penuh kesedihan mendadak berubah menjadi panas membara. Panas yang dapat membakar semua kesedihan mereka. Panas yang membuat mereka lupa, tanpa ingat bahwa siapa tahu Izal datang secara tiba-tiba. Yang mereka inginkan sekarang hanyalah membakar segalanya.

Ratih yang merasa bahwa mertuanya itulah satu-satunya harapan tempat ia berlindung atas semua kemungkinan terburuk yang akan menimpanya, memutuskan untuk mencurahkan seluruh rasa hatinya ke pria setengah baya yang kini dalam posisi duduk di atas sofa. Bau badan dan bekas lumpur yang tak benar-benar dibersihkan, malah membuat rangsangan aneh ke perempuan muda. Bau badan alami khas dari seorang laki-laki yang matang.

Penis Pak Danur mengacung tegak sedikit agak melengkung. Berdebar hati Ratih meliriknya tanpa berani menatapnya langsung. Pantas ia merasakan sensasi agak beda dari penis Izal yang biasa memasukinya. Penis melengkung itulah yang membuat vaginanya terasa dibedol dedel dowel.

“Ini memang harus?” tanya Pak Danur dengan perasaan masih bersalah.

“Dengan sukarela, Ayah,” jawab Ratih sambil berpindah ke pangkuan ayah mertuanya itu. Sungguh suatu langkah berani, ia memang harus melakukannya. Melingkarkan tangannya ke leher pria itu. Mereka saling bertatapan sejenak, bibir mungil itu tersipu malu memperlihatkan dekik tipis. Mata yang masih terdapat sisa-sisa air mata memancarkan kehangatan. Pinggul padat nan bulat itu perlahan-lahan turun sampai selangkangannya menyentuh batang penis tersebut. Dan terus turun sampai tertahan pangkal paha ayah mertuanya itu. Dengan gerakan lembut, pantatnya menggeser maju, menekan batang penis hingga terdorong melipat ke atas perut sang mertua.

Batang penis berulir itu telah tepat di belahan vaginanya yang mulai basah. Namun itu baru awal, ia tidak ingin mengalami rasa sakit yang tadi di hutan sana. Perlahan tapi pasti, dua bongkah pantat padat itu menekan dan menggesek batang penis tersebut. Lubang di helmnya mulai terbuka dan tertutup, persis lubang hidung yang kembang-kempis. Sedikit cairan bening lengket mulai merembes. Pak Danur mengertakkan rahangnya merasakan ngilu dan geli di batang penisnya itu. Urat-urat yang melingkar di batang penis tersebut seperti cacing hidup, berkedut-kedut. Kedua tangan kokoh itu memegang pinggang ramping sang menantu, mengelus dan membelai punggungnya.

Dua gumpal daging padat yang ranum tergantung menantang tepat di wajahnya. Puting kecilnya tampak sudah mengacung keras. Kepalanya maju sedikit, mulutnya meraih salah satu puting tersebut, giginya menggigit lembut menggeser-gesernya sambil sedikit menghisap.

Owhhh!” Ratih merintih halus. Punggungnya melengkung, seakan menginginkan buah dadanya itu tereksplor lebih dalam. Dua sensasi rasa nikmat dari putingnya yang dikulum dan dipermainkan gigi-gigi Pak Danur dan pusat nikmatnya yang tergesek-gesek batang penis tersebut, membuatnya seperti mendaki puncak terjal dengan berlari.

Deru napas perempuan muda itu mulai tak teratur, bibir bawahnya digigit dengan mata terpejam dan wajah mendongak ke atas. Kedua tangannya yang tadi melingkar, kini mencengkram bahu sang mertua. Leher jenjang berkulit putih mulus itu urat besarnya mulai menonjol dan menegang.

Pak Danur mulai rakus, dua bongkah daging ranum mengkal itu bukan lagi djilat dan dihisap, melainkan juga digigit, gigitan gemas. Kedua tangannya sudah mencengkram dua bongkap pantat bulat menantunya. Dari vagina yang bibir-bibir mulai merekah merah itu merembes cairan birahi, memperdengarkan suara gesekan pelan.

“A-ayah!” lenguh Ratih menunduk, rambut panjangnya yang tak terikat jatuh terurai di wajah Pak Danur. Wajahnya terlihat memerah dengan mata sangat sayu.

Pantatnya bukan lagi menggesek, namun mulai menekan, terayun dan menyentak.

Pak Danur tersenyum rileks, walau pun 10 tahun tak pernah lagi bercinta, namun dia masih sangat mengerti apa yang terjadi saat itu. Menantu tercintanya itu akan meraih orgasmenya yang pertama.

Tangannya meraih belakang kepala Ratih, menyibakkan rambutnya hingga hanya terurai ke satu sisi, menariknya ke wajahnya, dan bibir mungil itu dikulumnya. Dikunyahnya. Gigi-gigi mereka beradu gemeretak. Lidah-lidah lunak dan basah itu saling bertaut dan membelit.

Tangan yang lain dengan jari tengahnya menelusuri belahan pantat sang menantu, menggaruk dan menusuk lubang pantatnya. Setiap tusukan, pantat itu menyentak dan mengedut.

Tubuh ramping semampai itu mulai gemetar,

“Hhhh ..., hhh,” Ratih mengeluarkan suara seperti orang yang tengah sakit gigi. Giginya gemeletuk.

Dan, dengan satu sentakan kencang dan dalam. Pantat bulat itu menekan maksimal, punggung yang telah berkeringat itu melengkung. Ratih menarik wajahnya dengan sentakan mendadak, mendongak sambil mengerang panjang. Setelahnya, wajah cantik yang sudah memerah itu terjatuh kembali ke salah satu bahu Pak Danur, menancapkan giginya dengan kencang. Ketika satu semburan dahsyat menyembur dari vaginanya. Cairan kental berwarna putih melumuri batang penis Pak Danur.

Dengan penuh kasih sayang, Pak Danur membelai rambut menantunya itu, membiarkannya menikmati orgasmenya. Satu tangan yangg lain memeluk erat pinggang rampingnya.

Beberapa saat lamanya, di ruang tengah itu tak terdengar suara sedikit pun selain deru napas yang perlahan-lahan kemudian mereda.

Birahi Ratih yang telah mereda membuat pikirannya mulai tenang, hatinya mulai sedikit merasakan malu, rasa malu yang membuat wajahnya tersembunyi di bahu kokoh ayah mertuanya. Bekas gigitan kerasnya tercetak di bahu itu.

“Mau di sini atau pindah?” bisik Pak Danur lembut.

“Pindah,” sahut Ratih sangat pelan.

Pak Danur perlahan-lahan bangkit. Dengan tubuh telanjang Ratih dalam pelukannya. Persis seorang ayah yang membopong anak perempuannya yang tertidur di pangkuannya. Tanpa merasa berat, dia berdiri dan melangkah tegap menuju kamar.

Dengan perlakuan sangat lembut, tubuh telanjang Ratih dibaringkan di atas ranjang. Diambilnya selimut, dilapnya cairan putih yang melumuri perut dan penisnya, kemudian dia menatap wajah menantunya itu dengan tatapan memohon ijin, Ratih mengerti dan mengangguk. Direnggangkannya ke dua paha jenjang tersebut, tetap dengan perlakuan penuh kelembutan, dia melap cairan lengket di vagina yang ke dua bibirnya sudah merekah itu. Pinggul Ratih sedikit bergerak kegelian ketika bulu-bulu serabut selimut tersebut menyentuh dan menggesek klitorisnya.

“Sungguh vagina yang sempurna,” bisik hati Pak Danur dengan kagum. Hatinya mulia tidak tahan, diangkatnya satu kaki hingga tertekuk, telapak tangannya mengelus dan menggaruk paha putih mulus tersebut, merasakan kehalusannya, wajahnya turun menunduk, mengecup paha berkulit halus itu, kemudian menjilatnya dan gigi-giginya mulai beraksi. Sementara tangannya yang lain menelusuri nakal bibir-bibir merah merekah sang menantu yang mulai bergerak-gerak gelisah dan mendesah, tanda birahinya kembali bangkit.

Satu jari tengah menusuk sedikit ke lubang vagina, sementara dua jari telunjuk dan jari manis menjepit daging merah kecil yang menonjol dan berdenyut tepat di sudut atas lubang vaginanya. Perlakuan yang sungguh membuat ngilu sampai ke ulu hati perempuan muda itu.

Bibir dan lidah Pak Danur akhirnya sampai juga ke lembah yang telah kembali basah itu. Menggantikan tugas jari-jarinya yang kini melebarkan bibir-bibir vagina itu memberi ruang lidah pria tua itu dapat mengeskplor seluruhnya dengan leluasa. Terlihat lubang sempit basah berwarna merah, ujung lidahnya menjilat dan menusuk lembut.

“Auhhh,” tubuh Ratih mengejang-ngejang. “A-yahhh, amfhuuunnnsh,” rengek Ratih manja. Merasakan sensasi ketika pusat birahinya dipermainkan lidah yang lihai itu.

Pak Danur merasakan penisnya berdenyut protes meminta jatah. Dia memang sudah mulai tidak tahan, tubuhnya mulai merayap naik menindih tubuh sintal menantunya. Ratih segera merenggangkan kakinya selebar-lebarnya. Kedua tubuh itu kini sudah sejajar, buah dada padat Ratih tergencet dada bidang sang mertua, merasakan sodokan kecil di vaginanya. Ratih sudah tidak sabar, tangannya mencari-cari ke bawah, pantat Pak Danur terangkat sedikit sampai merasakan jari-jari lentik itu menggenggam penisnya. Dengan menggunakan jempolnya, Ratih menuntunnya ke sasaran tembak, pantat Pak Danur mulai turun perlahan dan menekan.

“Auwhhh,” Ratih melenguh pendek. Merasakan ujung tumpul penis itu menerobos vaginanya. Tidak terlalu sulit, karena vagina itu sudah terbiasa dibobol penis yang sama ukurannya. Namun batang penis melengkung Pak Danur membawa sensasi lain, sensasi yang hanya Ratih yang dapat merasakan dan menikmatinya.

“Hrrrshhh!” Pak Danur menggeram, merasakan pijatan dari dinding-dinding lunak vagina Ratih. Kedua tangannya menyelinap di ketiak menantunya itu, mengangkat bahunya sedikit, lalu memberikan ciuman bertubi-tubi ke bibirnya, lehernya bahkan kedua buah dada ranum membusung itu. Pantatnya menggenjot naik turun dengan kecepatan stabil.

Ckck, plok! Ckck, plok! Ckck, plok!

Tubuh keduanya sudah basah oleh keringat.

Dua puluh menit berlalu tanpa terasa dalam posisi masih konvensional.

Pak Danur merasakan lubang vagina itu mulai melonggar, dan dia masih menahan diri untuk tidak cepat menyemprot. Dia ingin menunjukkan bahwa usia tidak mengubah stamina dan daya tahannya. Pak Danur tanpa aba-aba mencabut penisnya, “Plop!” terdengar suara cukup keras dari penis yang tercabut tersebut.

“Ahhh,” rengek Ratih dengan hati kecewa. Matanya yang terpejam terbuka memprotes, karena buaian kenikmatan yang tengah dirasakannya tiba-tiba terputus.

Pak Danur tersenyum sambil mengecup bibir mungilnya. Dia bangun, mendorong tubuh sintal menantunya itu agar berbaring miring. Ratih menurut pasrah. Dengan posisi menyamping itu, Pak Danur berdecak kagum melihat pemandangan indah dihadapannya. Vagina tebal itu menyembul terjepit oleh paha jenjang, persis seperti mulut yang sedang cemberut, pantat bulatnya tampak basah oleh keringat. Dengan napas memburu, Pak Danur tanpa menunggu lebih lama segera mengarahkan penisnya ke vagina Ratih. Agak sulit karena memang terjepit. Dengan sukarela, Ratih mengangkat salah satu kakinya. Dan,

“Blesh!” penis itu masuk tanpa kesulitan. Pak Danur segera menurunkan kembali kaki yang teracung itu. Menggeram-geram nikmat ketika jepitan vagina itu mencengkram erat penisnya. Dengan posisi menyamping seperti itu, Pak Danur kembali menggenjot. Ratih kembali merintih-rintih dibuai kenikmatan birahi kembali.

Sepuluh menit kembali berlalu, kaki Pak Danur sedikit bergeser terselip di antara dua kaki Ratih. Terganjal kaki mertuanya, kedua pahanya sedikit merenggang, namun tidak mengurangi rasa nikmat dari jepitan vaginanya. Karena vagina itu mulai terasa rapat dan seret walau pun cairan berwarna putih kental telah melumuri batang penis Pak Danur. Tubuh Ratih mulai gelisah dan gemetaran, begitu juga dengan tubuh Pak Danur.

Jelas keduanya sudah hampir sampai di puncak.

Tubuh Pak Danur mulai condong, satu tangannya mencengkram kencang salah satu buah dada Ratih.

“A-yaaah!” Ratih mengerang panjang. Otot-otot vaginanya berkedut dan mengejang. Pak Danur mengeraskan rahangnya, ketika kepala penisnya berdenyut-denyut ngilu tercengkram dinding-dinding liat vagina menantunya.

Satu sentakan terakhir yang cepat dan dalam, membuat tubuh Ratih mengejang, perut rampingnya berkontraksi menekan.

Hhhh-rrrhhh!” Pak Danur menggeram dahsyat. Menyemburkan mani yang banyak sekali. Dan tubuh tinggi besar itu pun tumbang oleh putaran badai dahsyat puncak birahinya.

Lengan kokoh itu memeluk tubuh semampai Ratih dari arah belakang yang meringkuk merapatkan tubuhnya. Penis Pak Danur masih tertancap, terjepit vagina Ratih yang dari bibir-bibir vagina merah itu merembes cairan kental yang banyak sekali sampai meleleh berleleran ke seprai.

“Teri-ma kasih, Naaak,” deru Pak Danur sambil membelai lembut rambut menantunya itu.

Mereka tidak perlu mengucapkan banyak kata-kata. Biar hati mereka yang merasakan dan mengungkapkan segalanya. Hingga kemudian keduanya terlelap dalam kenikmatan yang melelahkan.

Menjelang subuh, suhu udara sedang dingin-dinginnya. Pak Danur yang terbangun terlebih dahulu. Entahlah, kebiasaan semasa masih muda kemudian menikah lalu berpuasa selama 10 tahun, penisnya terbiasa bangun, tegak. Kemarin-kemarin dia cukup dengan mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Namun kini, dalam pelukannya ada sesosok tubuh sintal tengah terlelap. Sosok sintal yang sesungguhnya secara sah milik Izal, anaknya. Kejadian hari kemarin sungguh begitu cepat di luar bayangannya yang paling liar sekali pun. Sosok telanjang dengan keindahan yang sempurna ini kini berada dalam tanggung jawabnya. Menyerahkan segalanya kepada dia. Dulu-dulu, dia memang sudah menyayangi perempuan yang menjadi menantunya ini, rasa sayang atas perhatiannya dan rasa hormatnya. Tanpa sadar Pak Danur membelai rambut halus itu, selimut tertarik sedikit. Menyingkapkan bahu dan tengkuk putih mulus.

“Emh,” Ratih bergerak sedikit. Tubuhnya makin merapat, meringkuk mencari kehangatan. Gerakan yang cukup untuk pantat bulat miliknya menekan penis mertuanya yang tengah ereksi ke belahan pantatnya. Tubuh Pak Danur sedikit bergetar, tangannya telah bergerak menyentuh buah dada mengkal. Hanya satu sentuhan, lalu berhenti. Namun entah Ratih sudah bangun dan pura-pura meram, namun tangannya malah menarik tangan yang berhenti itu untuk menyentuh kembali. Bukan menyentuh, bahkan mungkin menginginkan lebih.

Pak Danur menggigit bibirnya kebingungan, namun setelah menetapkan hati. Dia harus sanggup menahannya, dia khawatir Izal sudah berada di rumah tanpa sepengetahuan mereka. Walau pun kamar sudah dikunci, namun bukan hal yang tidak mungkin sebagai yang punya rumah, Izal memiliki kunci cadangan sendiri.

Dengan menguatkan hati, Pak Danur bergerak perlahan, melepaskan tangannya dari sebuah gumpalan daging mengkal tersebut.

“enghhh!” suara rengekan manja terdengar. Menahan tangan itu, dengan mata masih terlihat mengantuk, wajah jelita itu menoleh. Agak tertegun. Mengingat-ingat.

Ratih seperti tengah mengalami mimpi panjang yang aneh. Dan mimpi itu masih juga belum menguap ketika melihat wajah yang bukan Izal, suaminya, ketika ia membuka mata seperti yang lalu-lalu. Namun sebuah wajah gagah dengan sedikit kerutan-kerutan di sudut matanya.

“A-ayah?” Ratih tersipu malu. Kemudian melemparkan senyum manis sedikit malu-malu.

“Sudah hampir pagi, Nak. Ba-badan a-ayah terasa lengket sekali. Khawatir Izal datang, walau pun ayah sudah berjanji untuk menghadapnya meminta pengampunannya, namun kita tetap harus menjaga perasaannya,” bisik Pak Danur sambil mencium lembut pipi mulus itu.

Teringat Izal, raut wajah Ratih berubah sedih. Ia memang harus minta ampun ke suaminya itu, bahkan bersujud memohon pengampunan pun ia rela. Walau pun ia sudah membayangkan kemungkinan besar tak mungkin menyelamatkan pernikahan mereka, ia tetaplah wanita baik-baik. Wanita baik-baik? Wanita baik-baik tidak akan menghianati sumpah setia pernikahannya. Tidak semudah itu menyerahkan tubuhnya ke pria lain selain suaminya. namun ia? Hati Ratih menangis pedih. Sementara Pak Danur sudah masuk ke dalam kamar mandi yang memang berada di kamar mereka. Terdengar suara debur air.

Ratih bergerak sedikit. Lalu ia merasa selangkangannya terasa pegal dan lengket oleh cairan senggama yang sudah kering.

Sensasi subuh memang selalu lain. Rasa dingin mencucuk kulit malah membuat gairah perempuan muda itu selalu naik dengan cepat.

Di dalam kamar mandi Pak Danur sedikit kesal. Tidak seperti biasanya penisnya masih juga ereksi walau sudah diguyur air dingin berkali-kali. Sungguh menjengkelkan. Mungkin diakibatkan pertempuran semalam terus terbayang-bayang di pelupuk matanya. Guyuran shower yang menyemburkan air luar biasa dinginnya tak mampu mendinginkan hatinya yang terus terbakar birahi.

“Ayah ...,” terdengar seruan lembut dari sesosok tubuh tinggi semampai yang tana diketahuinya telah masuk juga ke dalam kamar mandi.

Pak Danur tanpa sadar meneguk ludahnya yang mendadak seret. Lupa dengan senjatanya yang mengacung gagah perkasa.

Ratih melangkah perlahan dengan wajah tersipu-sipu malu. Tubuh sintalnya terbungkus handuk sebatas dada, sebagian dari sepasang buah ranum itu menyembul dalam ikatan handuk yang bagian bawahnya hanya sebatas pertengahan paha, paha jenjang dan putih mulus.

“Ka-kamu ...,” kata Pak Danur dengan suara tercekat dan napas tersendat.

Ratih menundukkan wajahnya sambil tetap melangkah mendekati.

“I-Izal ...,” Pak Danur mencoba kembli berkata-kata.

Ratih menggeleng, kemudian katanya, “A Izal sepertinya tidak pulang. Ratih sudah melihat ke kamar lain masih kosong, dan ..., auwh!” ia menjerit kecil, ketika sepasang tangan yang masih basah dan licin oleh sabun itu meraih pinggangnya dan menarik lepas handuk yang melilit tubuhnya.

Dengan napas yang mulai memburu ke duanya berpagutan begitu cepat dan erat. Begitu rapat dan hangat. Ratih merintih-rintih halus, menikmanti setiap cumbuan dari mertuanya itu. Tubuhnya mulai licin oleh air sabun yang mengalir dari tubuh Pak Danur.

Pak Danur kembali kehilangan akal sehatnya. Yang dia inginkan sekarang adalah kembali meraih kepuasan yang diberikan tubuh padat yang pasrah itu. Tangan Ratih pun mulai nakal, menggenggam dan mengelus batang besar yang bahkan tak bisa digenggamnya penuh. Ia sudah memahami keinginan setiap pria, ketika Pak Danur menarik mulutnya untuk mengambil napas, tubuh sintal itu meluncur turun, berjongkok dengan wajah tepat menghadap batang penis yang menegang angkuh itu. Batang penis yang kemudian dalam kucuran air dingin dibersihkannya dengan penuh kasih sayang dari busa sabun. Helm besarnya seperti kembang kempis persis ular sendok. Perlahan dikecupnya ujung kepala helm itu. Dengan satu jilatan panas, ujung lidahnya menggelitik lingkaran bawah sampai ke lubang penis. Pak Danur memejamkan matanya. Menyandarkan tubuhnya serileks mungkin. Dalam hatinya sedikit heran sekaliggus kagum. Dalam tiga tahun usia pernikahannya, ternyata lidah menantunya sudah selihai ini. Mengingat dulu istrinya, pada tahun-tahun pertama pernikahan, boro-boro seperti ini, biasanya hanya menggenggam dan mengocok-ngocok seperlunya.

Mulut mungil Ratih seperti tidak menampung besarnya batang penis itu, ke dua pipinya menggembung lucu. Namun hisapan serta permainan lidah dan garukan gigi pada batang penisnya, membuat angan-angan Pak Danur melambung tinggi.

“Hhhhsh,” Pak Danur mendengus pendek, tubuhnya membungkuk. Kedua tangannya meluncur ke bawah, menyelinap ke dua buah dada montok yang menggantung membusung. Meremasnya kuat-kuat. Ratih meringis keenakan.

“Hrrrh!” dengan geraman Pendek, Pak Danur yang sudah tidak sabar mengangkat pinggang ramping menantunya, membaliknya menghadap dinding. Pantat bulat basah oleh air yang masih mengucur itu sedikit menungging. Dada Pak Danur seakan mau meledak oleh nafsu berahi tak tertahankan melihat pemandangan indah itu. Kini gantian dia yang berjongkok, mengecup bongkahan bulat padat itu, mengjilatnya dan menggigitnya. Sambil menunggu, Ratih memutar keran air panas, guyuran air shower mulai menghangat.

“Auwh!” pantat montok itu sedikit mengedut ketika lidah Pak Danur dengan nakal menjilat lubang pantatnya, dan lidah itu dengan ganas membelah, menjilat belahan vagina yang menyembul gemuk. Sensasi gatal dan geli terasa meresap ke seluruh tubuhnya.

Sang mertua yang sudah sangat bernafsu itu segera berdiri, punggungnya melengkung sejajar dengan lengkungan tubuh menantunya, kedua tangannya memeluk pinggang ramping tersebut, jari-jarinya sedikit menggaruk pusar kemudian menelusur naik hingga menggenggam buah dada yang menggantung menggoda. Meremasnya kuat-kuat. Ketika kepala penisnya didorong perlahan hingga akhirnya lenyap ditelan bibir-bibir vagina tebal menantunya.

Dua napas menderu-deru ketika genjotan demi genjotan Pak Danur terus memompa habis-habisan. Sebelah pipi Ratih menempel di dinding kamar mandi, sementara kedua telapak tangannya menempel menahan gempuran hebat sang mertua. Dalam guyuruan air hangat shower, keduanya memacu berahi setinggi-tingginya. Perlahan-lahan, tubuh Ratih terdorong ke arah dinding kamar mandi, lututnya mulai gemetaran dan terasa lemas. Dengan posisi tubuh Ratih yang mulai merapat ke dinding, genjotan Pak Danur mulai berubah vertikal. Pantat bulat itu melambung-lambung seirama hentakan demi hentakan.

“Owhhh,” tubuh Ratih mulai menggigil hebat. Pak Danur pun merasakan desakan kencang di kepala penisnya. Namun dia masih ingin mempertahankan kenikmatannya, satu kaki Ratih diangkatnya, ditahan dengan tangan lain di punggung menantunya itu, tubuh Ratih berputar dengan penis Pak Danur masih tenggelam di dalam vaginanya. Putaran itu membuat sensasi yang luar biasa untuk keduanya. Batang berulir itu seperti batang bor, menggelitik dinding-dinding vagina Ratih.

“owh! Owh! Owh!” keduanya mengerang berbarengan menikmati sensasi tersebut. Dengan posisi saling berhadapan, kedua paha Ratih diangkat ke pinggangnya, mengunci di sana. Dalam posisi itu, memungkinkan dirinya lebih leluasa membor vagina menggemaskan itu. Dengan dirangkul dan rapat ke dinding, Pak Danur kembali menggenjot kencang dan keras. Sangat keras dan dalam. Yang membuat wajah Ratih menggeleng-geleng dengan gelisah.

Pak Danur merasakan jepitan vagina itu makin rapat, tentu menantunya itu hampir mencapai puncaknya. Dia menggeram, dia ingin mencapainya bersama-sama. Sentakan-sentakan pantatnya makin liar tak terkendali.

“a-ayah, akh!” Ratih mengejang dengan mata membeliak. Pak Danur mengencang rahangnya ketika kepala penisnya bedenyut kemudian memuntahkan lahar panas.

Kedua tubuh yang diguyur air shower itu meluncur turun saling berpelukan erat.

“Kamu benar-benar nekat!” bisik Pak Danur sambil mencium bibir mungil itu dengan gemas. Ratih balas memagut, mereka berdua terus berpagutan menikmati sisa-sisa birahinya.

Beberapa saat kemudian, keduanya mandi besar bersama. Saling memandikan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang yang dalam. Kadang mereka bercanda saling menggoda, persis pengantin baru yang sedang dimabuk asmara.

Selesai mandi dan mengeringkan tubuh dengan handuk, dengan bertelanjang, keduanya berjalan bergandengan keluar kamar. Dan kegilaan mereka belum juga berakhir. Padahal mereka baru saja selesai membersihkan diri, namun demi melihat pemandangan indah yang melenggang kangkung menuju ke lemari pakaian. Penis Pak Danur kembali ereksi. Sungguh hebat dan sukar dipercaya mengingat usianya yang sudah setengah abad itu masih memiliki stamina alami sedahsyat itu.

Dan mereka pun kembali bertempur di atas ranjang di kamar itu. Pertempuran yang memang tidak sedahsyat tadi. mereka menuntaskan hasrat yang tersisa hingga mereka terbadai lemas dengan tenaga yang terkuras habis. Dua tubuh itu berpelukan erat berselimut tebal dan kembali terlelap!



Mereka terbangun hampir jam 11 siang. Setelah membersihkan diri dan makan yang dipersiapkan Ratih, mereka bercakap-cakap di ruang tengah sambil menonton televisi. Mereka duduk rapat dengan salah satu tangan Pak Danur memeluk bahu menantunya itu, yang menyandarkan kepalanya di bahu sang mertua. Mereka membahas Izal yang sudah hari ke tiga belum juga pulang ke rumah.

“Apa mungkin A Izal sudah tahu, Yah?” tanya Ratih sambil empermainkan kancing baju Pak Danur yang membelai-belai rambutnya.

“Mungkin saja!” jawab Pak Danur dengan kening berkerut, “Izal tidak ada meneleponmu?” dia balik bertanya.

Ratih menggeleng.

“Bisa jadi! Izal mungkin pernah masuk dan memergoki kita, lalu dia pergi lagi!” kata Pak Danur dengan mata menerawang. “Tapi kenapa dia malah pergi? Harusnya, sedikitnya dia melabrak ayah yang telah merusak rumah tangganya! Biar ayah mendapat pembalasan yang setimpal atas dosa-dosa ini!” Pak Danur terdengar serak suaranya.

“Ratih akan selalu bersama ayah. Ratih sudah tidak punya siapa-siapa lagi yang akan melindungi Ratih selain ayah, apa yang akan terjadi nanti, Ratih ikut menanggungnya,” kata Ratih lirih, memeluk ayah mertuanya mencari kenyamanan.

Setelah berpikir sejenak, Pak Danur mengambil handphonenya, “Memang ayah yang harus menghubunginya. Memastikan dia tidak kenapa-napa, sekalian hendak membuat pengakuan kepadanya. Ini seharusnya ayah lakukan dari kemarin malam!”

Pak Danur kemudian melakukan panggilan ke nomor Izal, terdengar nada sambung, dia pun menyentuh tombol loud speaker agar percakapan mereka, Ratih pun bisa mendengarnya.

“Hallo, assalamu’alaikum, Yah?” Izal terdengar di seberang sana, nada suaranya terdengar riang seperti tidak ada sesuatu yang aneh. Terdengar pula suara keriuhan melatari, jelas dia sedang berada di tokonya.

“Kamu kenapa belum pulang-pulang ke rumah juga, Zal? Ayah ada yang mau dibbicarakan dengan kamu!” tanya Pak Danur dengan suara berat yang aneh. Jelas dia berbicara dengan napas agak tertahan.

“Izal belum sempat pulang, Yah. Barang-barang di gudang masih belum rapih, perlu pengawasan penuh. Hey .., Jon. Jangan di situ, ngalangin orang lewat..., hadeuhhh, maneh mah! Maaf, yah. Ayah mau membicarakan apa? Villa? Gimana villanya, jadi dibeli?” cerocos Izal di sana, sambil sesekali dia memberi perintah kepada anak buahnya.

“Bukan! Bukan itu! Ada hal penting yang tidak pantas ayah bicarakan di telepon!” Pak Danur dan Ratih saling pandang dengan hati berdebar-debar.

“Sebentar, Yah. Izal masuk ke toko dulu, biar ga berisik!” suara kesibukan mulai agak tak terdengar riuh. Lalu terdengar suara pintu ditutup. Suara latar yang riuh pun menjadi senyap.

“Izal sudah tahu apa yang mau ayah bicarakan!” kata Izal dengan suara serius.

Ke dua orang itu menahan napas.

“A-apa yang kamu ..., kamu tahu?” tergagap Pak Danur dengan dahi mulai berkeringat.

“Hubungan ayah dengan Ratih!” jawab Izal dengan suara kalem.

Keduanya hampir melonjak kaget, bahkan Ratih sampai duduk tegak dengan wajah pucat pasi.

“A ..., a-ayah ..., ayah ...,” Pak Danur kerongkongannya terasa tercekat. Tangan yang memegang handphone gemetar keras.

“Tenang, Yah. Tenang ..., Ratih ada di situ juga kan? Tolong di loudspeaker biar Ratih juga ikut mendengarnya!” kata Izal masih dengan suara tenang.

“I ..., i-iya, ss-ssudah!” sahut Pak Danur dengan gugup. Ketenangannya menguap entah kemana.

“Jadi begini, Izal tidak akan panjang-panjang bicara. Intinya, Izal sudah tahu hubungan kalian, yang perlu ayah dan Ratih ketahui, Izal rela Ratih untuk menjadi pasangan ayah ...!”

“Zal ...!” potong Pak Danur dengan suara kering.

“Dengarkan dulu Izal, Yah! Izal sangat memahami kesepian ayah bertahun-tahun dengan keadaan mama yang sedang koma. Mencari pasangan lain dalam keadaan begitu sangat sulit. Kalau ternyata Ratih cocok untuk ayah, kenapa tidak? Izal rela. Ikhlas. Jadi kalian berdua tidak perlu lagi merasa bersalah. Karena ..., karena ...,” Izal berhenti sejenak seolah ragu-ragu, namun kemudian lanjutnya, “Karena Izal juga sejujurnya telah menghianati Ratih. Lebih dulu malah mungkin!” terdengar suara helaan napas di sebrang sana.

“A ..., Aa ...,” terdengar suara Ratih dengan mata berkaca-kaca. Hatinya sungguh kaget mendengar pengakuan suaminya itu di telepon.

“Ratih ...!” panggil Izal dengan suara agak perlahan, “Aa ..., Aa mohon maaf. Aa ternyata sudah menemukan cinta sejati Aa yang sesungguhnya. Tapi bukan artinya Aa tidak menyayangi kamu, Aa tetap sayang kamu, tapi Aa tidak bisa terus membohongi hati Aa. Aa kini telah menemukannya. Sesungguhnya Aa yang harus mohon maaf kepadamu ...!”

“A ..., apa artinya ini?” jerit Ratih dengan suara tidak terima, kemudian ia menghambur dari ruangan tengah menuju ke kamar. Membanting tubuhnya ke atas ranjang. Menangis tersedu-sedu dengan hati sakit!

“Ra-ratih ...?” terdengar suara Izal dengan terbata-bata.

“Ratih lari ke kamar!” sahut Pak Danur menghela napas dengan hati bingung.

“Zal ...,” katanya kemudian setelah menenangkan hati.

“Ya, Ayah!”

“Entah kegilaan apa yang tengah kita lakukan ini. Namun kita perlu bertemu, kita harus bicara sebagai dua orang dewasa!” tegas Pak Danur tajam.

“Baik, Ayah. Memang Izal sudah memikirkan itu, namun untuk saat ini, Izal belum bisa. Izal mohon waktu beberapa hari ke depan. Izal titip Ratih. Ada pelanggan datang, Izal tinggal dulu. Yang jelas nanti ada saatnya kita bertemu dan membicarakan semuanya. Assalamu’alaikum!” kata Izal tanpa memberi kesempatan bapaknya bicara lagi, dia langsung menutup telepon.

Pak Danur termenung menatap layar handphonenya yang berkedip-kedip. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, dia kembali melakukan panggilan ke nomor lain. Ternyata dia menelepon perawat yang disewanya untuk merawat istrinya, menanyakan keadaan istrinya, dan mengatakan bahwa dia tidak pulang beberapa hari ke depan. Meminta perawat tersebut untuk memberikan laporan perkembangan istrinya tersebut. Sambil menjanjikan akan memberikan uang bonus tambahan selain uang sewa seperti biasanya.

Setelah beberapa waktu termenung, pak Danur berdiri dan melangkahkan kakinya menuju ke kamar, menghampiri Ratih yang masih tersedu-sedu dengan wajah tenggelam di atas bantal.

“Sudahlah, Nak,” katanya sambil membelai rambut Ratih yang terurai.

“Ayah!” Ratih membalikkan badannya, menatap Pak Danur dengan air mata bercucuran, “Kenapa ..., kenapa A Izal setega itu?” katanya sesenggukan.

Pak Danur menggelengkan kepalanya, “Entahlah, ayah belum memahaminya. Kalau pun dia tidak melakukan itu, maka kita yang akan paling merasa bersalah. Setidaknya kita bisa menenangkan hati dari perasaan bersalah dan kekhawatiran kita sebelumnya. Sudahlah, Nak. Ini sudah terlanjur terjadi, tidak ada jalan untuk melangkah mundur. Kita akan menghadapinya bersama-sama. Percayalah, ayah akan menyayangimu seperti Izal menyayangimu!” kata Pak Danur sambil meraih pinggang ramping Ratih, menariknya ke pelukannya. Di pelukan mertuanya itu, tangisan Ratih kembali tumpah. Dan Pak Danur hanya bisa membisikkan kata-kata menghibur dengan lembut dan rasa sayang.

Hari itu mereka lalui dengan banyak diam. Keduanya lebih banyak termenung dan menghela napas berat. Malam harinya saat mereka berangkat tidur. Ketika Pak Danur mulai membelai dan mengelus, Ratih menolak halus sambil mengatakan bahwa ia ingin mengistiratkan hatinya sejenak, yang dibalas anggukan dan kecupan hangat di dahi perempuan muda itu. Namun ia membiarkan saja ketika mertuanya itu memeluknya ketika mereka meringkuk di dlama selimut tebal hingga keduanya terlelap dalam mimpi masing-masing.

Sungguh berbeda dengan kamar lain di rumah Bu Ratna. Seperti malam-malam sebelumnya. Kedua orang yang sedang dimabuk asmara itu sudah bermandi peluh, tenggelam dalam samudera birahi yang luas tak bertepi. Mengarungi panjangnya malam dengan semburan-semburan lava panas dari gairah yang tak kunjung reda.

Dan di sebuah subuh di hari selanjutnya, Pak Danur terbangun dari tidurnya. Merasakan sebuah belaian hangat di pipinya serta kocokan halus di penisnya. Ketika dia membuka matanya, tepat di depan wajahnya, seraut wajah cantik tersenyum malu-malu. Pak Danur menatap terpesona.

Kalau kamu ingin melihat kecantikan asli dari seorang wanita, lihatlah saat ia bangun tidur.

Kecantikan alami dari menantunya itu sungguh menakjubkan.

“Kenapa ayah melongo seperti itu?” tanya Ratih tersipu-sipu.

“Kamu cantik sekali, Nak ...,” sahut Pak Danur jujur.

Subuh-subuh sudah ngegombal,” Ratih menarik tangan dari balik celana tidur Pak Danur, mencubit lembut tangan mertuanya yang mulai nakal merayap menyibakkan belahan dasternya.

“Boleh?” Pak Danur menatap sepasang mata bening itu yang bukannya menjawab malah memejamkan mata sambil tersenyum simpul.

Pria tua itu mengecup dahi yang sedikit tertutupi anak-anak rambut halus, kemudian mengecup pipinya dan terakhir mengecup bibir mungil yang sedikit terbuka itu. Bibir yang hangat, basah dan empuk. Lidahnya menelusuri tiap lekuk bibir itu, menghisap bibir bawahnya, menelusuri barisan giginya, mencari-cari lidahnya. Sementara tangan yang tadi menyibakkan daster, menyelinap ke punggung, mengelus dan menggaruk hingga daster tersibak sepenuhnya. Ratih pun tak menganggur, jemari lentiknya membuka kancing baju tidur mertuanya, lalu mengelus-elus dada yang masih kokoh itu, dengan jempolnya ia mengelus-elus putingnya.

Tangan Pak Danur sudah sampai di bawah, meremas-remas pantat padat menantunya yang masih terbungkus celana dalam. Ketika jari tengahnya hendak menelusuri belahan pantat itu, mendadak Ratih bangkit sambil mendorong dada sang mertua yang segera terguling menelentang. Menunggu.

Ratih tersenyum lembut, ia segera menaiki tubuh mertuanya itu, duduk di atas perutnya, ia memang sudah terbiasa tidur tak pernah mengenakan bra, jadi ketika ia dalam posisi itu, dasternya sudah tersingkap, memperlihatkan dua gupal daging montok yang menggantung dengan puting mengacung. Kedua tangan Pak Danur bergerak hendak meraih dan meremas. Namun Ratih segera menepisnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil menghela napas, Pak Danur menjatuhkan kembali kedua tangannya ke sisi tubuhnya, pasrah.

Ratih melengkungkan punggungnya, bibirnya seperti hendak mencium mulut Pak Danur yang membuka mulutnya hendak menyambut. Namun ternyata hanya sentuhan godaan.

“Nakal!” kata Pak Danur hendak mencubit.

“Sssh!” Ratih mengacungkan telunjuk di bibirnya, sambil tersenyum kembali.

Jari-jemari lentik itu mengelus pipi Pak Danur, turun ke leher, kedua telapak halus itu mengusap sedikit meremas dadanya, jari-jarinya bermain menggelitik sekitar putingnya. Pantat bulat menantu Pak Danur itu merosot turun ketika bibir mungil itu turun ke dada mertuanya, mencium dan menjilat di sana. Badan Pak Danur sedikit bergerak-gerak gelisah, jelas dia sedang menahan diri agar tidak membanting tubuh ramping itu dan segera menyetubuhinya. Dari isyarat menantunya itu, jelas ia ingin menjadi yang mengendalikan, dan dia harus patuh. Menahan gairah dengan segala hal yang indah berada di depan mata itu sungguh sangat tersiksa luar biasa. Tak terasa Pak Danur sampai berkeringat demi agar menantunya itu tidak kecewa.

Tubuh Ratih terus meluncur turun, tangannya menarik celana tidur sekaligus celana dalam mertuanya. Dan penis gagah itu segera mengacung perkasa seakan baru terbebas dari penjara. Celana itu segera lepas. Tangan Ratih menelusuri kaki berbulu itu terus naik sampai kedua tangannya bertemu di bawah tonggak tegak itu. Kedua jempolnya mengurut perlahan kantung penis yang mengerut dan mengembang itu. Hingga wajahnya sampai di sana. Tanpa rasa jijik, Ratih menjulurkan lidahnya menjilat di kantung kulit berbiji itu. Kadang menghisapnya sambil tangan yang menggenggam itu mengocok secara perlahan, dengan menggunakan ujung jarinya, kadang ia menelusur berkeliling cincin kepal penis tersebut. Kadang mulutnya mengecup ujung kepalanya, dan menjilatnya sedikit. Sungguh permainan yang lihai.

Dan itu memang dikuasainya bukan dalam sekejap. Saat ia sedang memuaskan Izal. Suaminya itu sampai mengerang-ngerang keenakan. Namun beda dengan mertuanya kini, sang mertua hanya mendengus-dengus dengan batang penis yang kembang kempis. Berbeda, tapi intinya sama. Mereka sama-sama dikuasai kenikmatan luar biasa dengan servisnya. Hingga kepala penis itu ditelan ke dalam mulut mungilnya, baru terdengar Pak Danur menggeram-geram sambil kedua tangannya tanpa dapat dicegah memegang kepala menantunya itu, sedikit meremas rambutnya. Pantatnya bergerak-gerak membuat sesak napas Ratih. Ujung penis itu bahkan sampai menyodok tenggorokannya. Namun kendali masih di tangannya. Ia segera melepaskan penis itu dari mulutnya. Terdengar erangan kecewa dari pak Danur. Ratih bangkit, melepaskan dengan cepat celana dalamnya. Lalu bergerak mengangkang di atas penis.

Mata Pak Danur berbinar-binar, menyangka akan seggera menikmati goyangan menantunya. Namun apa mau dikata, Sang menantu kembali menggodanya, vaginanya hanya sekedar digesek-gesekkan ke batang penisnya, lalu naik ke atas. Ke perut dan ke dada. Bulu-bulu halus vagina itu menggelitik setiap kulit yang dilewatinya. Hingga sampai di tepat di atas wajah Pak Danur. Bau tajam dari vagina menerpa penciumannya. Dia tahu apa yang dimau sang menantu. Dia segera mencengkram dua bongkah pantat padat itu, menariknya ke bawah. Vagina membusung yang sudah basah lengket itu habis-habisan dikunyahnya. Ratih melentingkan pinggangnya, pantatnya menggoyang erotis, kedua tangannya mencengkram erat tiang ranjang.

“Owh, Ayaaah!” erang Ratih keenakan, ketika lidah panjang Pak Danur mengorek-ngorek lubang vaginanya.

Dengan napas memburu, Ratih meluncur turun kembali, memposisikan lubang vaginanya ke atas kepala penis Pak Danur yang tegak. Dibantu dengan kedua jarinya merenggangkan bibir-bibir vaginanya, satu tangan yang lain menggenggam batang penis besar itu.

“Rrrrt! Slerp! Blesh!”

“Akhhh!” Ratih mengerang dengan pinggang mengejang. Matanya terpejam menikmati batang penis yang tenggelam sampai habis ditelan vaginanya. Mereka terdiam sejenak saling menikmati denyutan dan kedutan masing-masing kepunyaanya. Hingga kemudian Ratih sedikit merebah, wajahnya memerah diamuk birahi yang menggelegak di ubun-ubunnya. Tanpa memperdulikan mulut mertuanya yang masih lengket oleh cairan kewanitaanya. Dengan buas, perempuan muda itu memagut. Kedua tangan pasangan itu saling-bertukar pegangan, di dada masing-masing, saling-remas dan saling-pilin.

Goyangan pantat tenggeng yang khas, bergoyang memutar dan naik-turun. membuat batang penis melengkung Pak Danur seakan-akan hendak patah.

Erangan, rintihan, dengusan serta geraman. Sahut-menyahut di subuh itu. Ranjang turut berderak-derak protes.

Mereka berdua saling hantam menuntaskan hasrat birahi mereka. Entah berapa kali semburan yang terjadi. Hingga mereka berdua tidak memperdulikan lagi waktu.

Hasrat yang menggebu-gebu, birahi yang menderu-deru. Seakan tak akan pernah akan habisnya.

Sebulan berlalu tanpa terasa.

Izal sama sekali tidak pernah menampakkan diri pulang ke rumah. Sementara Pak Danur sesekali pulang ke kota hanya untuk memastikan keadaan istrinya yang sedang koma tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Tidak sampai sejam, karena kemudian dia kembali meluncur ke rumah anaknya, di mana di sana ada kekasih yang menunggunya.

Begitulah, seakan tiada malam yang terlewati tanpa letupan birahi. Tiada pagi yang lolos dari desahan dan erangan, bahkan siang hari pun kadang-kadang mereka nikmati untuk mengarungi birahi surgawi. Stamina pria setengah baya itu sungguh menakjubkan. Bahkan Ratih yang notabene lebih muda, kadangkala merasa keteteran melayani hasrat sang mertua yang seakan-akan tidak ada keringnya.

Hingga pada suatu saat:

Waktu menunjukkan jam sembilan pagi. Ratih dan Pak Danur masih nyenyak berpelukan, tanpa menyadari ada sesosok tubuh masuk. Menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum misterius. Dengan langkah santai dan ringan, sosok tubuh itu menuju ke lemari pakaian. Pak Danur yang pertama kali membuka matanya ketika instingnya menyadarkannya akan kehadiran sosok lain di kamar tersebut.

“I-Izal?” teriaknya tanpa sadar. Ratih ikut terbangun dan ia ikut menjerit kaget!

oo0oo


Kirain kelar. Namun revisi ternyata membuat cerita pendek ini sedikit memanjang. Semoga bisa kelar di bagian ke 3, dengan sub judul : Finnaly.
ntul suhu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd