Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA OBSESI BASI

BAGIAN KE TIGA

~ FINAL ~



Oo0oo

Kedua sosok bugil itu kalang kabut dari dalam selimut. Pucat pasi dan gemetar.

Sementara Izal dengan langkah santai seperti tidak melihat apa-apa, membuka lemari dan mengambil beberapa pakaian. Lalu dengan sikap yang masih tenang, dia kembali keluar kamar.

Ratih hampir semaput dengan kedatangan Izal yang di luar bayangannya.

Suaminya memergoki dirinya tidur sekasur dengan mertua laki-lakinya sambil dalam keadaan bugil? Kalau saja ia bisa, mungkin Ratih sudah menenggelamkan dirinya menghilang ke dalam kasur. Wajah cantik itu sangat pucat sekali, “A-ayah, ba-bbagaimana ini?” katanya dengan bibir gemetar ketakutan. Matanya memerah menahan tangis.

Pak Danur untung masih memiliki jantung yang kuat dan sehat. Kalau tidak, tentu sudah dari tadi-tadi dirinya terkena serangan jantung level maksimal. Dia sama ketakutannya dengan Ratih. Setelah beberapa kali menghela napas demi menenangkan hatinya yang berdebar-debar. Lelaki tua itu mengusap keningnya yang medadak negucurkan keringat dingin, kemudian dia merengkuh bahu menantunya itu, membisikkan kata-kata menghibur, “Kita hadapi bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, ayah yang akan menanggungnya. Ayah yang akan memohon pengampunan Izal untuk kita, terutama untuk kamu. Dan untuk sedikit menenangkan hatimu, bukankah di telepon kemarin dulu, dia juga mengakui telah melakukan hal yang sama dengan kita? Jadi, tenangkan hatimu, Nak!” bisiknya menenangkan, sambil mencium dahi Ratih.

Betapa pun bagaimana Pak Danur meyakinkan hatinya, tetap saja hati perempuan muda itu sangat ketakutan. Tak berani ia memikirkan kelanjutan dari perbuatannya. Orang tuanya, saudara-saudaranya, tetangga-tetangganya. Seperti terasa riak ludah dan kata-kata mereka. Ratih terisak dalam diam ketika mengenakan kembali pakaiannya, begitu juga dengan Pak Danur. Tanpa memperdulikan bagian bawah tubuh mereka yang masih terasa lengket dari cairan yang telah mengering sisa persetubuhan mereka semalam.

Mereka melangkah keluar kamar, Pak Danur memapah tubuh Ratih yang melangkah dengan sedikit sempoyongan, akibat perasaannya yang campur aduk, antara perasaan sangat berdosa, cemas dan takut.

Saat mereka keluar kamar, ternyata ada sosok lain yang tengah duduk dengan wajah tertunduk selain Izal. Sosok lain yang sangat dikenal Ratih:

“Emaaa!”

Bluk!

Dan tubuh semampai itu ambruk semaput. Tak mampu menahan goncangan hatinya.

Sosok itu memang Bu Ratna! Mengenakan kerudung berwarna merah muda, sewarna dengan gamis yang dipakainya. Terus menundukan wajahnya dengan gelisah.

Izal terpaksa membawa Bu Ratna ke rumahnya karena ada kejadian yang di luar dugaannya terjadi pagi-pagi tadi.

Di pagi itu, setelah genap sebulan Izal dan Bu Ratna menjalani kehidupan mereka layaknya suami istri yang saling mencinta. Hubungan terlarang mereka tanpa ada seorang pun tetangga mereka yang tahu. yang mungkin menjadi kasak-kusuk adalah bahwa mereka tak bertemu dengan Pak Mardi berhari-hari. Izal dan Bu Ratna begitu pandai menyembunyikan hubungan mereka berdua. Menjalani hidup baru dengan pasangan baru memang selalu menumbuhkan perasaan asing yang menggairahkan. Begitu pula dengan Bu Ratna, perlahan-lahan, hatinya yang menjalani hari-hari sebelumnya dengan perasaan bersalah dan berdosa yang mengganjal kini mulai menemukan kembali kebahagiaannya. Izal begitu menyayanginya, memanjanya dengan sepenuh hati. Tubuhnya yang memang sebelumnya montok aduhai, makin berisi dan segar juga wajah yang berseri-seri. Selain semua itu, tentulah keperkasaan Izal di ranjang yang membuat Bu Ratna benar-benar takluk. Izal memperkenalkan gaya-gaya baru yang aneh dan asing yang tak pernah melintas di pikiran sebelumnya. Dulu, ia hanya tahu terima beres, telentang dan membiarkan suaminya menuntaskan hasratnya, puas tidak puas. Namun bersama Izal, ia mulai mengenal dirinya sendiri, mengenal potensinya sendiri, menjelajahi hasratnya sendiri. Demi saling memuaskan birahi bersama Izal yang begitu memahaminya. Sepanjang malam dalam sebulan itu, ranjang mereka selalu tak pernah sepi dari derit dan letupan birahi yang meledak-ledak. Bahkan, sesekali entah siang atau Izal datang tiba-tiba. Menyerangnya mendadak. Aneh, namun mengasyikkan.

Dan pagi itu, di saat Izal hendak bersiap-siap untuk berangkat ke tokonya, di depan rumah telah berdiri dua orang yang salah satunya dikenal mereka dengan baik.

Pak Mardi!

Di belakang suami Bu Ratna itu berdiri sosok lain, seorang perempuan muda berumur sekitar 30 tahun, wajahnya sebenarnya cantik, namun bedaknya yang tebal dan lipstick yang merah menyala membuat wajahnya terlihat sangat berlebihan. Tubuhnya yang montok, terbungkus kaos ketat menonjolkan dada membusung dan lekuk pinggang sedikit berlemak.

Seorang wanita yang tidak mereka kenal sama-sekali.

Dengan wajah dingin, Pak Mardi melangkah masuk ke dalam rumah tanpa ragu-ragu, diikuti perempuan yang di belakangnya.

Bu Ratna wajahnya sedikit pucat, keculai Izal yang terlihat berusaha tenang.

Dengan santai Pak Mardi duduk di sofa ruang tamu, “Duduk di sini, Sri!” katanya menepuk sofa di sampingnya.

“Akang …,” kata Bu Ratna yang masih berdiri di pintu antara ruang tamu dan ruang tengah. Dengan tatapan tajam menyelidik, bergantian menatap wajah ke dua orang itu.

Pak Mardi balas menatap tajam, “Akang mau tinggal di rumah ini dan akang sudah menikah lagi dengan dia,” katanya sambil merengkuh bahu wanita menor yang di sampingnya.

“Apa-apaan ini?” desis Bu Ratna dengan wajah mulai memerah.

“Kamu harus tahu, ini rumah akang, warisan dari orang tua akang. Jelas akang punya hak sepenuhnya atas rumah ini. Jadi, kalau kamu mau tinggal di sini, silahkan. Cuma tentu harus bayar sewa karena kamu bukan siapa-siapa lagi!” sahut Pak Mardi sambil menyeringai.

“Akang benar-benar laki-laki bajingan!” Bu Ratna berseru, melangkah maju dengan marah. Izal segera bergerak menahan.

“Sudahlah, Bu. Percuma. Bapak sepertinya sudah sangat tebal mukanya!” sindir Izal tajam.

“Huh!” Pak Mardi balas mendengus, “Kau pikir aku tidak tahu semuanya, hah? Sudahlah, Si Ratna sudah milikmu dan aku juga sudah punya perempuan lain. Aku tidak akan mempermasalahkannya karena kau menantu kurang ajar ini telah membantuku melunasi utang sekaligus aku kini mempunyai angkot sendiri. Jadi, karena rumah ini punyaku, kau dan Si Ratna pergilah. Jangan pernah kembali lagi kemari!” ujar Pak Mardi dengan suara sinis.

“Suami anjing! Babi!” teriak Bu Ratna tak kuasa menahan amarahnya. Matanya sudah memerah dan mulai meneteskan air mata. Meronta-ronta dari dekapan Izal. Tapi tetap kalah tenaga, dengan cepat dan suara membujuk, Izal membawa mertuanya itu ke dalam kamar.

Pak Mardi memang pernah mengintip persetubuhan antara istrinya dengan Izal pada suatu malam. Persetubuhan yang membuat badannya panas-dingin. Karena itulah kini dia mempunyai pandangan yang lain ke dua orang itu. Pandangan sinis dan menghina. Hanya karena dia telah mendapat keuntungan besar dari Izal lah yang membuatnya tak ingin memperpanjangnya.

Beberapa saat kemudian, Izal dan Bu Ratna sudah kembali keluar kamar, Izal menyeret koper yang lumayan besar, “selamat bersenang-senang, Pak. Kami pamit, dan Mbak,” kata Izal ketika di depan pintu, menatap perempuan yang diakui istri oleh Pak Mardi itu, “Semoga ketika bapak sudah bosan, Mbak tidak dijual oleh bapak!”

“Pergi kalian!” geram Pak Mardi melotot.

Dengan masih sesenggukan, digandeng Izal, Bu Ratna melangkah keluar rumah yang telah ditinggalinya lebih dari dua puluh tahun. Tak disangka ia keluar rumah itu dengan keadaan terusir dan terhina. Koper besar itu ditaruh di depan motor metik yang dibelinya sebagai pengganti mobilnya yang diberikan ke Pak Mardi.

“Mas …,” perempuan yang bernama Sri itu menggeliat manja ketika tangan Pak Mardi iseng mengelus dan meremas dadanya.

“Jangan dulu, Mas ah,” gelinjangnya ketika Pak Mardi makin nakal, “Aku merasa bersalah lho, Mas!” bisiknya sambil sedikit menghindar ketika Pak Mardi hendak mencium lehernya.

“Sudahlah, jangan bahas dua orang gila itu. Kamu kan sudah milik mas, ayolah. Sudah tidak kuat ini!” Pak Mardi terus menyosor.

“Ihhh, pintunya itu lho!” kata Sri dengan logat jawa yang medok. Berdiri menuju pintu yang setengah terbuka.

“Tutup terus kunci!” kata Pak Mardi sambil menabok pantat Sri yang terlihat kemudian bergetar seperti balon berisi air, tertawa terkekeh-kekeh.

“Masih pagi lho, Mas,” bibir merah menyala itu tersenyum genit ketika melihat Pak Mardi sudah membuka resleting celananya. Penisnya yang ukuran standar sudah mengacung.

“Enakan pagi-pagi,” kata Pak Mardi dengan suara parau, meraih pinggang Sri dan menarik baju ketatnya ke atas. Dengan rakus, Pria tua itu menciumi perut yang sedikit berlipat oleh lemak itu.

“Nanti kita jemput anak-anak biar bisa tinggal di sini ya, Masshhh,” desah Sri menggelinjang dalam rangkulan kasar Pak Mardi.

“Iya, boleh. Tapi suamimu yang cacat itu tinggalin saja,” sahut Pak Mardi yang dengan tidak sabar membetot kutang Sri. Dua buah dada dengan lingkaran hitam besar di sekitar putingnya yang mengacung memberojol keluar. Ternyata Pak Mardi juga mendapatkan Sri bukan dengan cara yang sah, melainkan merebut istri orang lain.

“Auwhhh! Jangan keras-keras, Mas. Shakiiittt!” jerit Sri merasakan remasan tangan kasar Pak Mardi yang kencang. Menggigit bibirnya ketika sedotan keras mulut Pak Mardi menghisap-hisap putingnya. Kedua tangannya sudah menarik turun celana legging Sri yang berwarna hitam ketat itu. Sekaligus dengan celana dalam berendanya. Di sela-sela kegiatannya, masih sempat-sempatnya terlintas di benak Pak Mardi. Sejujurnya, dibandingkan dengan Bu Ratna istrinya, Sri yang masih muda ini tidak bisa menandingin legitnya Bu Ratna, empot dan goyangan gemulainya tiada tandingannya, namun sayang …

“Hhhh!” Pak Mardi mendengus marah. Semua kemarahannya ditumpahkan di tubuh montok Sri. Sri memang tidak mempunyai keunggulan di bandingkan istrinya, tapi Sri juga mempunyai keunggulan lain. Pak Mardi menjambak rambut Sri, menekannya ke bawah. Sri tahu apa yang dinginkan pria itu. Bibir tebal merah menyala mencium ujung penis yang mengeluarkan cairan bening, mengeluarkan lidah basahnya yang ternyata panjang. Lidah itu membelit batang penis Pak Mardi, memelintir dan memijatnya. Luar biasa.

Pak Mardi mengerang panjang, tubuhnya disandarkan serilek mungkin di sofa. Belitan dan pijatan lidah lunak basah yang panjang itu mampu meremas dan memijit, entah bagaimana bisa. Namun seperti itulah yang dirasakan Pak Mardi sekarang.

Suara kecipakan mulut dan lidah Sri di penis Pak Mardi begitu keras terdengar disertai dengusan pria itu. Batang penisnya belepotan warna merah terpoles lipstick Sri. Bahkan ujung lidah Sri bisa mengeras, menusuk pangkal penis persis di atas kantung bijinya yang kembang kempis berkedut-kedut. Tusukan lunak di tempat itu justru titik sensitifnya. Otot-otot lutut Pak Mardi menegang menahan kenikmatan. Buku-buku jari kakinya terasa kebas dan kaku, ketika mulut Sri menyedot dan menghisap-hisap kantung berbiji dua yang sudah agak kisut itu.

“Hhhh, Sriii hshh!” Pak Mardi mendesis keras, menjambak rambut Sri yang ikal bergelombang. Menekannya keras.

Belum sepuluh menit, pria itu sudah kejang-kejang. Menyemprot mulut Sri dengan air maninya yang encer.

Lipstick merah menyala yang sudah kemana-mana itu belepotan air mani Pak Mardi.

“Heuhhh!” Pak Mardi menghembuskan napas, dadanya naik turun. Tubuhnya terkulai lunglai di atas sofa.

Sri bangkit, melepaskan kaus ketatnya. Wajahnya sedikit memperlihatkan mimik kecewa dan tidak suka.

“Aku belum lho, Mas!” katanya sambil membuka seluruh kain di tubuhnya, dengan jalan berlenggak-lenggok ia mendahului masuk ke dalam kamar.

Pak Mardi meredakan napasnya yang memburu, satu tangannya masuk ke dalam saku celananya, mengambil satu bungkus kecil yang berisi beberapa butir pil berwarna putih kebiruan. Kemudian dengan langkah masih lunglai, pria itu menuju ke dapur, mengambil segelas air. Dua butir pil ditelannya sementara satu butir dihancurkan di atas sendok dengan ditetesi air. Pil yang sudah mencair itu kemudian dioleskan merata ke batang penisnya yang masih terkulai lemah. Khasiatnya langsung terlihat. Pil yang diminumnya terasa menghangatkan perutnya, menyebar ke bawah ke selangkangannya. Mendorong ke kantung bijinya dan bertemu dengan reaksi pil cair yang dioleskan ke batang penis. Penisnya menghangat, perlahan menegang kaku. Dibantu dengan urutan dari jari-jarinya, penis itu telah bangun lagi dengan ajaib.

Ya, pil yang dibeli mahal dari toko jamu cina di kota telah mampu membantunya dari rasa malu akibat lemahnya kemampuan di ranjang. Dia kini mempunyai rasa percaya diri ketika hendak bercinta.

Kini, dengan langkah gagah. Pak Mardi mendatangi kamar, di mana Sri tengah tergeletak mengangkang di atas ranjang, satu tangannya aktif dengan jarinya menggosok-gosok satu titik di vaginanya yang lebar. Sementara tangan yang lain sibuk meremas-remas buah dadanya sendiri.

Melihat Pak Mardi masuk dengan batang penis siap tempur, Sri tersenyum genit, ia segera membalik menungging, kemudian merangkak mundur sampai di tepi ranjang. Ia menengok dengan mata sayu, “Langsung saja, Mas. Sri sudah tidak tahan,” rengeknya manja sambil menggigit bibir.

Pantat besar yang sedang menungging mengangkang dengan vagina berambut lebatnya menggantung dan merekah basah. Pak Mardi melangkah mendekat sambil terkekeh-kekeh penuh birahi, satu tangannya mengocok-ngocok batang penisnya yang, mungkin karena efek dari pil ajaib, terlihat lebih panjang dari biasanya. Dia segera mencengkram dua bongkah pantat bulat empuk itu, memposisikan batang penisnya ke belahan vagina Sri, menggesek-geseknya dengan perlahan.

“Ahhh, ayooo, Mhasss…,” Sri kembali merengek. Tangannya meraih batang penis Pak Mardi, menuntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah dan lengket. Pantatnya turun sedikit, dibantu Pak Mardi yang mendorong.

Clep!

Kepala penis itu pun ditelan lubang vagina Sri.

“Owhhh. Enaaakhhh, Masssh!” lenguh Sri memejamkan mata. Mungkin karena khasiat cairan pil itu yang membuat batang penis Pak Mardi terasa seret menggesek dinding-dinding vaginanya. Membuat Sri menggeletar dan terengah-engah oleh kenikmatan birahi yang menderanya.

Sesungguhnya, dalam posisi seperti itu dengan pantat besar dari pasangannya, dulu-dulu Pak Mardi sedikit kesulitan. Tapi dengan penis yang ternyata lebih panjang dari biasanya, kini dia tak perlu merasa sakit pinggang lagi karena berusaha menekan maksimal melebihi beban yang seharusnya. Walau pun dia merasa sedikit kebas pada penisnya, namun dia masih bisa ikut menikmati rasa nikmat gesekan-gesekan panas dinding-dinding vagina Sri di kepala penisnya yang sengaja memang tidak ikut di olesi cairan pil pria perkasanya.

“Owhhh …, ughhhh …, akhhh. Terussshhh, Massshhh. Lebih dalaaammm …, nikhmathhh shhh!” mulut Sri meracau keras. Pantatnya melambung dan bergetar. Tubuh bagian atas telah jatuh ke atas bantal, kepalanya bergerak-gerak gelisah. Pak Mardi mulai melengkungkan punggungnya, kedua tangannya meraih sepasang buah dada Sri yang terjepit bantal. Sodokannya makin cepat dan kencang.

Plok! Plok! Plok!

Terdengar bunyi dari beradunya dua kelamin yang sudah basah dan lengket itu.

Pak Mardi mengertakkan rahangnya, ketika merasakan ujung penisnya berdenyut keras. Lubang vagina Sri terasa melonggar, ke dua lututnya segera menekan paha gemuk Sri untuk merapat. Akhirnya, dia bisa merasakan jepitan seret dari vagina gemuk yang terjepit paha gemuk perempuan itu.

“Masssh!” Sri melenguh, pantatnya bergerak-gerak liar.

“Hssshhh!” Pak Mardi mendesis keras. Kedua tangannya meremas kencang buah dada Sri sambil menyentak mendadak dengan keras.

“Aughhh!” Sri melenguh panjang, pantatnya mengedut.

Dua erangan terdengar, bersamaan ambruknya dua tubuh berkeringat saling bertumpang-tindih.

Persetubuhan pagi sensasinya memang lain dari yang lain.

oo0oo


Di rumah Izal.

Dua pasangan itu duduk berhadapan. Bu Ratna menundukkan wajahnya dalam-dalam, sementara Ratih terisak menyembunyikan wajahnya di punggung Pak Danur, mertuanya. Mereka sedang menyimak penuturan Izal yang berbicara dengan tenang. Semuanya dijelaskan secara gamblang, dari mulai Pak Mardi yang menjual Bu Ratna hingga dia terpaksa memberikan modal usaha beserta mobilnya, hingga perasaan cintanya yang terpendam lama ke ibu mertuanya tersebut. Semua dijelaskan Izal dengan tenang.

“Setega itukah bapak, Ma?” Tanya Ratih di sela isaknya. Menatap wajah ibunya yang masih tertunduk. Bu Ratna mengangguk sedih.

“Kalau tidak ada I-Izal …, mungkin, mungkin Ema sudah dijual ke Pak Haji Darmin!” terdengar lirih suara Bu Ratna.

Ratih menutup wajahnya dengan ke dua telapak tangannya. Sedih sekali hatinya. Dan tambah sakit ketika mengingat ternyata Izal mencinta ibunya. Ibu mertuanya. Lalu kini ia sendiri? Ratih makin tersedu.

Pak Danur menghela napas panjang, “Entahlah, mungkin memang harus seperti ini jalannya, Zal. Jalan yang aneh dan rumit. Ayah sungguh tidak tahu harus seperti apa. Hanya …,” dia berhenti sejenak, menoleh menatap wajah Ratih yang masih bersimbah air mata. Pria setengah baya itu tersenyum, membelai rambut menantunya dengan penuh kasih sayang, “Karena jalan yang kita lalui ini, ayah menemukan kembali hidup ayah, dengan …, Ratih! Ayah hanya bisa memohon pengampunanmu untuk kita berdua, terutama Ratih.” Katanya kemudian.

Izal menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu memohon maaf, Ayah. Bahkan kalau diurut, justru Izal pangkal dari semua kesalahan ini. Asal ayah benar-benar menyayangi Ratih, itu sudah cukup. Sedikitnya bisa mengurangi beban dosa Izal terhadap Ratih. Aa yang harus mohon maaf padamu, Neng,” kata Izal dengan suara serak.

“E …, Ema juga, Neng,” terdengar suara Bu Ratna dengan wajah makin tertunduk.

Ratih menghela napas, wajahnya terlihat lesu, namun belaian dari Pak Danur kembali membangkitkan semangatnya. “Sudahlah, kalau memang seperti ini jalannya. Ratih akan menjalaninya dengan ikhlas,” ujarnya pasrah.

“Satu hal lagi, Zal!” kata Pak Danur menatap wajah anaknya, “Kita tidak bisa terus tenggelam dalam perasaan terlarang ini. Ayah dan juga kamu harus merasa nyaman dengan hubungan ini. Ayah ingin tenang, meng-menghalalkan Ratih, jadi ….”

“Izal akan mentalaq Ratih secara resmi! Tapi rasanya tidak mungkin ayah membawa Ratih ke rumah.” Kata Izal mengerutkan keningnya.

“Ayah mungkin akan mencari rumah buat kami,” sahut Pak Danur tersenyum.

“Baiklah. Kalau begitu, untuk sementara, sampai semua urusan beres, Ratih di sini saja dulu,” putus Izal kemudian.

Pada akhirnya semua sepakat. Bu Ratna asalnya agak keberatan, mengingat hatinya masih sangat malu harus serumah dengan anak dan besannya sementara ia mau tidak mau seranjang dengan menantunya. Namun dengan dibujuk oleh Izal dibantu Ratih yang sudah menerima semuanya dengan lapang dada, akhirnya Bu Ratna mengangguk setuju.

Begitulah akhirnya. Pasangan aneh itu serumah. Izal dengan rela hati menempati kamar belakang sementara kamar utama tetap digunakan oleh ayahnya dan Ratih. Awal-awalnya, mereka terlihat kaku dan malu-malu memperlihatkan kemesraan kepada pasangan masing-masing. Izal-lah yang mengawali suasana menjadi lebih cair dengan tidak malu-malu, memeluk atau mencium Bu Ratna dengan penuh kasih sayang. Ratih tentu menjadi panas hatinya, bagaimana pun, bertahun-tahun dirinya adalah pendamping Izal.

Hari-hari selanjutnya, adalah pertunjukan dari perlombaan Ratih dan Izal mempertontonkan kemesraan mereka ke pasangan masing-masing. Sungguh lucu dan aneh.

Ketika di ruang keluarga Izal mencumbu Bu Ratna, Ratih tak mau kalah, Pak Danur yang sedang berada di dalam kamar mandi disusulnya. Atau ketika mereka sedang sarapan pagi, dengan tidak malu-malu Ratih menyuapi Pak Danur sambil duduk di pangkuannya. Dan Tentu saja Izal tak mau kalah. Bu Ratna yang sedang membersihkan bekas makan minum mereka, disusulnya. Mereka bercinta di dapur.

Sebulan kembali berlalu. Surat cerai Izal dan Ratih sudah jadi. Begitu juga dengan Bu Ratna yang menaqsi Pak Mardi. Segala urusan lancer dan mudah, tentu kekuatan uang berbicara di belakangnya.

Di hari minggu pagi yang cerah.

Pak Danur terguling di samping tubuh ramping Ratih. Mereka sama-sama berkeringat. Deru napas mereka memburu. Ratih menyandarkan kepalanya di dada Pak Danur yang segera membelai rambutnya dengan pemuh kasih sayang.

“Ayah …,” bisik Ratih manja. Ia memang tidak merubah panggilannya ke bekas mertua yang sudah menjadi kekasihnya itu.

“Iya, Sayang,” sahut Pak Danur mencium rambut Ratih.

“Ratih …, hamil!”

Pak Danur sedikit bergerak, antara kaget dan senang, “Be-benarkah?”

Terasa kepala Ratih itu bergerak mengangguk, “Ayah tidak senang?” wajah cantik itu mendongak, mata beningnya menatap wajah berwibawa itu.

“Mana mungkin!” Pak Danur tergelak. “Ayah sangat senang malahan, Sayangku!” Pak Danur menunduk, menciumi wajah cantik itu bertubi-tubi.

“Tapi …,” Ratih terlihat ragu-ragu.

“Izal?” Pak Danur bertanya, namun katanya kemudian, “Tidak usah khawatir, Sayang. Ayah yang akan menjelaskan kepadanya. Izal tentu mengerti. Dan lagi pula kalian sudah tidak terikat hubungan apa-apa. Setelah masa ‘idah, ayah akan menikahimu. Memang bukan pernikahan yang meriah, hanya pernikahan sederhana. Setelah kita resmi, ayah akan membawa kamu ke rumah yang sudah ayah persiapkan!” bisik Pak Danur.

Ratih hanya sanggup mengangguk dengan perasaan sangat berbahagia. Mendekap erat tubuh Pak Danur dengan segenap cintanya.

Ia sedikit menggelinjang ketika merasakan jari-jari nakal kekasihnya itu merayap ke vaginanya yang masih basah dan lengket.

“Lagi?” Tanya Ratih dengan mata mengerjap nakal.

“He-emh!” Pak Danur menganggup, mengecup bibir basah setengah terbuka itu, “Tiba-tiba bangun lagi, mungkin senang mau lihat benih yang ditanamnya!”

“Idih!” Ratih tertawa. Tangannya mengelus penis Pak Danur yang memang sudah tegang lagi.

Begitulah. Keduanya kembali memadu kasih, menumpahkan gelombang birahi yang tak pernah surut.

Di kamar yang lain, di rumah itu.

Izal memeluk tubuh montok Bu Ratna dengan erat, ketika Bu Ratna membisikkan dua patah kata yang membuat hatinya gembira bukan main.

Bu Ratna, kekasihnya hamil!

Hampir saja dia berteriak-teriak kesenangan dan belari keluar. Kalau saja tidak dicegah Bu Ratna yang terkikik geli melihat kebahagiaan bekas menantunya itu.

Izal menarik tubuh montok yang masih berkeringat itu ke atas tubuhnya. Dua daging montok dan kenyal menekan dadanya. Wajah mereka berdekatan, terasa hangat hembusan napas masing-masing.

Di tariknya wajah Bu Ratna dan diciuminya. Mereka tidak perlu banyak berkata-kata. Segalanya telah menunjukkan betapa besarnya kebahagiaan mereka berdua.

Bu Ratna yang menindih tubuh Izal merasakan ada yang bergerak-gerak di bawah perutnya.

“Bangun lagi?” katanya dengan takjub.

“Ssst! Dia bilang mau nengok anaknya!” sahut Izal sambil memagut bibir lunak Bu Ratna. Mereka berpagutan dengan lembut. Tangan Izal merayap kemana-mana, Bu Ratna menggelinjang kegelian.

“Aku masih capek, tahu!” Bu Ratna mendelik manja.

“Ya sudah tidak usah bergerak, biar Izal yang bekerja!” sahut Izal sambil menggulingkan tubuh kekasihnya itu, berbalik menindihnya. Di saat seperti itu, dia selalu menyesal tidak memiliki empat mulut dan empat tangan. Tubuh indah milik kekasih tercintanya itu sungguh ingin dilahapnya habis-habisan.

Seperti yang terjadi di kamar yang satunya lagi. Pasangan yang dimabuk asmara birahi itu kembali bertempur.

----

Hari beranjak siang. Di ruang keluarga, Bu Ratna dan Ratih bersandar di pelukan pasangannya masing-masing, tersenyum geli ketika menyimak Pak Danur dan Izal berebut saling-mengabarkan kabar bahagia masing-masing. Setelah jelas, keduanya terbahak-bahak bersamaan. Saling berjabat tangan dan saling mengucapkan selamat.

“Entah bagaimana kita memanggil anak-anak kita kemudian,” kata Pak Danur setelah reda dari tertawanya.

“Adik dan cucu, cucu dan adik ipar! Membingungkan. Biarlah, itu urusan kita nanti!” sahut Izal kembali tergelak.

Di saat mereka sedang tertawa-tawa, mendadak handphone Pak Danur berdering. Dilihatnya nomor panggilan dari suster yang merawat BU Rizka, istrinya.

“Hallo, Mbak. Kenapa?”

“A-apa?” Pak Danur melonjak kaget. Matanya terbelalak menatap Izal.

“Mama? Kenapa mama, Yah?” seru Izal dengan wajah khawatir.

“Mamamu …, mamamu …, si-ssiuman!” sahut Pak Danur terbata-bata. Menatap bergantian ke wajah Izal dan Ratih yang wajahnya berubah pucat.

Izal melompat berdiri dengan mulut ternganga.

Sesaat suasana terasa sangat hening, ke empat orang itu termangu-mangu kebingungan.

Beberapa saat kemudian, “Kita berempat sekarang juga berangkat ke rumah!” kata Pak Danur memutuskan.

“tt-tapi …, tapi, Ayah!” Ratih terlihat bingung.

“Tidak apa-apa, Sayang! Ayah akan mencari cara. Kamu tidak usah khawatir. Ayah sudah terlanjur mencintaimu!” bisik Pak Danur memeluk tubuh Ratih yang bergetar menahan perasaan cemasnya.

Seperti yang telah diputuskan. Mereka berempat berangkat ke kota ke arah rumah pak Danur.



Wajah Bu Rizka terlihat putih pucat dan kurus. Selang-selang saling bersilangan selama bertahun-tahun menemaninya. Dengan mesin dan layar control memenuhi ruangan kamarnya. Mata yang terpejam selama 10 tahun itu telah terbuka, begitu sayu. Namun ada sorot kehidupan di mata itu.

Seorang dokter telah berada di ruangan kamar itu. Dokter pribadi keluarga Pak Danur. Sementara Pak Danur sendiri berlutut di sisi ranjang sambil menggenggam telapak tangan yang masih lemas itu. Namun terasa jari-jari Bu Rizka membalas menggenggamnya.

“Ini keajaiban, Pak,” kata Dokter sambil tersenyum. “Cuma ibu masih sangat lemah kondisinya, saya sarankan ibu dibawa ke rumah sakit untuk pemulihan kondisinya. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Ibu harus dibantu segalanya oleh keluarganya. Memulihkan ingatannya yang sempat tertidur. Bahkan mungkin saat ini, beliau tidak ingat siapa dirinya dan siapa bapak!”

Izal yang berdiri di belakang bapaknya menatap wajah ibunya yang sudah siuman dari koma selama sepuluh tahun itu. Sepuluh tahun yang lalu, dia masih berusia empat belas tahun ketika terjadi peristiwa itu. Wajah kurus putih pucat itu sangat berbeda dengan saat sebelum ibunya mengalami koma. Berbagai perasaan berkecamuk di hati Izal dan pak Danur. Tanpa menyadari dua sosok lain, Bu Ratna dan Ratih yang berdiri agak jauh di dekat pintu kamar, keduanya perlahan-lahan mengundurkan diri. Melangkah lesu keluar kamar. Keduanya terus berjalan hingga keluar rumah dan berdiri di pinggir jalan, berdua. Tanpa berkata-kata.

Sebuah angkutan umum berhenti di depan mereka, masih tanpa berkata-kata, keduanya naik angkutan umum tersebut.

“Tumben orang kaya mau naik angkot. Bosan naik mobil bagus?” terdengar supir angkot tersebut berkata sinis.

Bu Ratna segera tersadar. “Akang?” serunya kaget.

Betul. Supir angkot itu bukan lain adalah pak Mardi. Mantan suaminya.

“Hendak kemana , Nyonya besar?” Tanya Pak Mardi masih dengan nada sinis.

Bu Ratna dan Ratih saling-pandang. Mereka tersadar tak membawa uang sepeser pun.

Bu Ratih menunduk, melihat jari manisnya. Cincin emas hadiah dari Izal melingkar di situ. Segera dilepasnya dan diberikan ke Pak Mardi,

“Antarkan kami ke terminal!” katanya pendek.

“Siap, Gan!” seru Pak Mardi dengan semangat.

Sesampainya di terminal, mereka mendapatkan uang setelah menjual masing-masing handphonenya setelah sebelumnya mematahkan sim cardnya. Lalu berdua dengan ibunya, ia naik bis dengan tujuan Garut. Tempat Bu Ratna dilahirkan dan dibesarkan.

Di jok bis, kedua ibu dan anak itu berpelukan. Menahan isak menangisi nasib mereka berdua.



Pak Danur dan Izal terlambat menyadari, kekasih-kekasih mereka telah menghilang dari rumah itu. Lupa akan kebahagiaan telah siumannya Bu Rizka. Keduanya kalang-kabut mencari-cari Bu Ratna dan Ratih. Pencarian yang sia-sia. Mereka telah kehilangan jejak. Keduanya terduduk di pinggir jalan dengan kebingungan.



T-A-M-A-T


Promo CERBUNG :

~ RIWAYAT SESAT ~

----

Ustadz Jamal melotot dengan napas memburu. Kalau saja mulutnya tidak dilakban, tentu dia sudah berteriak-teriak mencaci-maki apa yang tengah berlangsung di hadapannya. Bahkan kalau saja kaki dan tangannya tidak terikat, tentu dia juga sudah menghambur menyerang Tua Bangka yang tengah menyetubuhi Zahra, istrinya.

Di sana, di atas ranjang. Rambut panjang bergelombang Zahra, istri dari Ustad Jamal, dijambak dengan kedua tangannya tertelikung oleh tangan kekar Bawuk. Sementara penis besar dan kekarnya menyodok vagina Zahra dengan keras tanpa belas kasihan.

Sementara Juned, duduk santai di atas meja rias, asik merekam kegiatan bapaknya yang tengah memperkosa istri Ustadz menggunakan handycam curiannya.
"Amphuuuunnnn, sha-shakiiit, Paaak!" Jerit Zahra berurai air mata. Tubuhnya tersentak berkali-kali seirama hentakan demi hentakan pantat Bawuk.
Rintihan Zahra diperkosa pria tua itu entah kenapa membuat Ustadz Jamal merinding. Sungguh, dia sebenarnya tidak ingin melihat kebiadaban yang berlangsung di depan matanya itu. Namun dia dalam keadaan tak berdaya, terikat tanpa bisa bergerak. Memejamkan mata pun percuma. Tubuhnya yang bugil, penisnya perlahan tanpa dapat ditahan mulai ereksi. Hatinya menyumpah habis-habisan.
Juned tertawa mengejek ketika melihat penis Ustadz Jamal mulai bangun, handycamnya sengaja diarahkan ke tubuh sang ustadz yang wajahnya mendadak pucat pasi. Kepalanya menggeleng-geleng dengan mata menyorot penuh permohonan. Namun percuma saja.
"Penis kecil begitu mana bisa bikin puas bini, Tadz!" Kata Juned nyengir.
Dari balik lakban, Ustadz Jamal menggeram-geram.
"Aaakkkhhh!" Terdengar lenguhan panjang dari Zahra. Tubuhnya menegang. Lalu ambruk ke atas kasur dengan lemas.
----
:semangat: :beer:
 
Terakhir diubah:
BAGIAN KE TIGA

~ FINAL ~



Oo0oo

Kedua sosok bugil itu kalang kabut dari dalam selimut. Pucat pasi dan gemetar.

Sementara Izal dengan langkah santai seperti tidak melihat apa-apa, membuka lemari dan mengambil beberapa pakaian. Lalu dengan sikap yang masih tenang, dia kembali keluar kamar.

Ratih hampir semaput dengan kedatangan Izal yang di luar bayangannya.

Suaminya memergoki dirinya tidur sekasur dengan mertua laki-lakinya sambil dalam keadaan bugil? Kalau saja ia bisa, mungkin Ratih sudah menenggelamkan dirinya menghilang ke dalam kasur. Wajah cantik itu sangat pucat sekali, “A-ayah, ba-bbagaimana ini?” katanya dengan bibir gemetar ketakutan. Matanya memerah menahan tangis.

Pak Danur untung masih memiliki jantung yang kuat dan sehat. Kalau tidak, tentu sudah dari tadi-tadi dirinya terkena serangan jantung level maksimal. Dia sama ketakutannya dengan Ratih. Setelah beberapa kali menghela napas demi menenangkan hatinya yang berdebar-debar. Lelaki tua itu mengusap keningnya yang medadak negucurkan keringat dingin, kemudian dia merengkuh bahu menantunya itu, membisikkan kata-kata menghibur, “Kita hadapi bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, ayah yang akan menanggungnya. Ayah yang akan memohon pengampunan Izal untuk kita, terutama untuk kamu. Dan untuk sedikit menenangkan hatimu, bukankah di telepon kemarin dulu, dia juga mengakui telah melakukan hal yang sama dengan kita? Jadi, tenangkan hatimu, Nak!” bisiknya menenangkan, sambil mencium dahi Ratih.

Betapa pun bagaimana Pak Danur meyakinkan hatinya, tetap saja hati perempuan muda itu sangat ketakutan. Tak berani ia memikirkan kelanjutan dari perbuatannya. Orang tuanya, saudara-saudaranya, tetangga-tetangganya. Seperti terasa riak ludah dan kata-kata mereka. Ratih terisak dalam diam ketika mengenakan kembali pakaiannya, begitu juga dengan Pak Danur. Tanpa memperdulikan bagian bawah tubuh mereka yang masih terasa lengket dari cairan yang telah mengering sisa persetubuhan mereka semalam.

Mereka melangkah keluar kamar, Pak Danur memapah tubuh Ratih yang melangkah dengan sedikit sempoyongan, akibat perasaannya yang campur aduk, antara perasaan sangat berdosa, cemas dan takut.

Saat mereka keluar kamar, ternyata ada sosok lain yang tengah duduk dengan wajah tertunduk selain Izal. Sosok lain yang sangat dikenal Ratih:

“Emaaa!”

Bluk!

Dan tubuh semampai itu ambruk semaput. Tak mampu menahan goncangan hatinya.

Sosok itu memang Bu Ratna! Mengenakan kerudung berwarna merah muda, sewarna dengan gamis yang dipakainya. Terus menundukan wajahnya dengan gelisah.

Izal terpaksa membawa Bu Ratna ke rumahnya karena ada kejadian yang di luar dugaannya terjadi pagi-pagi tadi.

Di pagi itu, setelah genap sebulan Izal dan Bu Ratna menjalani kehidupan mereka layaknya suami istri yang saling mencinta. Hubungan terlarang mereka tanpa ada seorang pun tetangga mereka yang tahu. yang mungkin menjadi kasak-kusuk adalah bahwa mereka tak bertemu dengan Pak Mardi berhari-hari. Izal dan Bu Ratna begitu pandai menyembunyikan hubungan mereka berdua. Menjalani hidup baru dengan pasangan baru memang selalu menumbuhkan perasaan asing yang menggairahkan. Begitu pula dengan Bu Ratna, perlahan-lahan, hatinya yang menjalani hari-hari sebelumnya dengan perasaan bersalah dan berdosa yang mengganjal kini mulai menemukan kembali kebahagiaannya. Izal begitu menyayanginya, memanjanya dengan sepenuh hati. Tubuhnya yang memang sebelumnya montok aduhai, makin berisi dan segar juga wajah yang berseri-seri. Selain semua itu, tentulah keperkasaan Izal di ranjang yang membuat Bu Ratna benar-benar takluk. Izal memperkenalkan gaya-gaya baru yang aneh dan asing yang tak pernah melintas di pikiran sebelumnya. Dulu, ia hanya tahu terima beres, telentang dan membiarkan suaminya menuntaskan hasratnya, puas tidak puas. Namun bersama Izal, ia mulai mengenal dirinya sendiri, mengenal potensinya sendiri, menjelajahi hasratnya sendiri. Demi saling memuaskan birahi bersama Izal yang begitu memahaminya. Sepanjang malam dalam sebulan itu, ranjang mereka selalu tak pernah sepi dari derit dan letupan birahi yang meledak-ledak. Bahkan, sesekali entah siang atau Izal datang tiba-tiba. Menyerangnya mendadak. Aneh, namun mengasyikkan.

Dan pagi itu, di saat Izal hendak bersiap-siap untuk berangkat ke tokonya, di depan rumah telah berdiri dua orang yang salah satunya dikenal mereka dengan baik.

Pak Mardi!

Di belakang suami Bu Ratna itu berdiri sosok lain, seorang perempuan muda berumur sekitar 30 tahun, wajahnya sebenarnya cantik, namun bedaknya yang tebal dan lipstick yang merah menyala membuat wajahnya terlihat sangat berlebihan. Tubuhnya yang montok, terbungkus kaos ketat menonjolkan dada membusung dan lekuk pinggang sedikit berlemak.

Seorang wanita yang tidak mereka kenal sama-sekali.

Dengan wajah dingin, Pak Mardi melangkah masuk ke dalam rumah tanpa ragu-ragu, diikuti perempuan yang di belakangnya.

Bu Ratna wajahnya sedikit pucat, keculai Izal yang terlihat berusaha tenang.

Dengan santai Pak Mardi duduk di sofa ruang tamu, “Duduk di sini, Sri!” katanya menepuk sofa di sampingnya.

“Akang …,” kata Bu Ratna yang masih berdiri di pintu antara ruang tamu dan ruang tengah. Dengan tatapan tajam menyelidik, bergantian menatap wajah ke dua orang itu.

Pak Mardi balas menatap tajam, “Akang mau tinggal di rumah ini dan akang sudah menikah lagi dengan dia,” katanya sambil merengkuh bahu wanita menor yang di sampingnya.

“Apa-apaan ini?” desis Bu Ratna dengan wajah mulai memerah.

“Kamu harus tahu, ini rumah akang, warisan dari orang tua akang. Jelas akang punya hak sepenuhnya atas rumah ini. Jadi, kalau kamu mau tinggal di sini, silahkan. Cuma tentu harus bayar sewa karena kamu bukan siapa-siapa lagi!” sahut Pak Mardi sambil menyeringai.

“Akang benar-benar laki-laki bajingan!” Bu Ratna berseru, melangkah maju dengan marah. Izal segera bergerak menahan.

“Sudahlah, Bu. Percuma. Bapak sepertinya sudah sangat tebal mukanya!” sindir Izal tajam.

“Huh!” Pak Mardi balas mendengus, “Kau pikir aku tidak tahu semuanya, hah? Sudahlah, Si Ratna sudah milikmu dan aku juga sudah punya perempuan lain. Aku tidak akan mempermasalahkannya karena kau menantu kurang ajar ini telah membantuku melunasi utang sekaligus aku kini mempunyai angkot sendiri. Jadi, karena rumah ini punyaku, kau dan Si Ratna pergilah. Jangan pernah kembali lagi kemari!” ujar Pak Mardi dengan suara sinis.

“Suami anjing! Babi!” teriak Bu Ratna tak kuasa menahan amarahnya. Matanya sudah memerah dan mulai meneteskan air mata. Meronta-ronta dari dekapan Izal. Tapi tetap kalah tenaga, dengan cepat dan suara membujuk, Izal membawa mertuanya itu ke dalam kamar.

Pak Mardi memang pernah mengintip persetubuhan antara istrinya dengan Izal pada suatu malam. Persetubuhan yang membuat badannya panas-dingin. Karena itulah kini dia mempunyai pandangan yang lain ke dua orang itu. Pandangan sinis dan menghina. Hanya karena dia telah mendapat keuntungan besar dari Izal lah yang membuatnya tak ingin memperpanjangnya.

Beberapa saat kemudian, Izal dan Bu Ratna sudah kembali keluar kamar, Izal menyeret koper yang lumayan besar, “selamat bersenang-senang, Pak. Kami pamit, dan Mbak,” kata Izal ketika di depan pintu, menatap perempuan yang diakui istri oleh Pak Mardi itu, “Semoga ketika bapak sudah bosan, Mbak tidak dijual oleh bapak!”

“Pergi kalian!” geram Pak Mardi melotot.

Dengan masih sesenggukan, digandeng Izal, Bu Ratna melangkah keluar rumah yang telah ditinggalinya lebih dari dua puluh tahun. Tak disangka ia keluar rumah itu dengan keadaan terusir dan terhina. Koper besar itu ditaruh di depan motor metik yang dibelinya sebagai pengganti mobilnya yang diberikan ke Pak Mardi.

“Mas …,” perempuan yang bernama Sri itu menggeliat manja ketika tangan Pak Mardi iseng mengelus dan meremas dadanya.

“Jangan dulu, Mas ah,” gelinjangnya ketika Pak Mardi makin nakal, “Aku merasa bersalah lho, Mas!” bisiknya sambil sedikit menghindar ketika Pak Mardi hendak mencium lehernya.

“Sudahlah, jangan bahas dua orang gila itu. Kamu kan sudah milik mas, ayolah. Sudah tidak kuat ini!” Pak Mardi terus menyosor.

“Ihhh, pintunya itu lho!” kata Sri dengan logat jawa yang medok. Berdiri menuju pintu yang setengah terbuka.

“Tutup terus kunci!” kata Pak Mardi sambil menabok pantat Sri yang terlihat kemudian bergetar seperti balon berisi air, tertawa terkekeh-kekeh.

“Masih pagi lho, Mas,” bibir merah menyala itu tersenyum genit ketika melihat Pak Mardi sudah membuka resleting celananya. Penisnya yang ukuran standar sudah mengacung.

“Enakan pagi-pagi,” kata Pak Mardi dengan suara parau, meraih pinggang Sri dan menarik baju ketatnya ke atas. Dengan rakus, Pria tua itu menciumi perut yang sedikit berlipat oleh lemak itu.

“Nanti kita jemput anak-anak biar bisa tinggal di sini ya, Masshhh,” desah Sri menggelinjang dalam rangkulan kasar Pak Mardi.

“Iya, boleh. Tapi suamimu yang cacat itu tinggalin saja,” sahut Pak Mardi yang dengan tidak sabar membetot kutang Sri. Dua buah dada dengan lingkaran hitam besar di sekitar putingnya yang mengacung memberojol keluar. Ternyata Pak Mardi juga mendapatkan Sri bukan dengan cara yang sah, melainkan merebut istri orang lain.

“Auwhhh! Jangan keras-keras, Mas. Shakiiittt!” jerit Sri merasakan remasan tangan kasar Pak Mardi yang kencang. Menggigit bibirnya ketika sedotan keras mulut Pak Mardi menghisap-hisap putingnya. Kedua tangannya sudah menarik turun celana legging Sri yang berwarna hitam ketat itu. Sekaligus dengan celana dalam berendanya. Di sela-sela kegiatannya, masih sempat-sempatnya terlintas di benak Pak Mardi. Sejujurnya, dibandingkan dengan Bu Ratna istrinya, Sri yang masih muda ini tidak bisa menandingin legitnya Bu Ratna, empot dan goyangan gemulainya tiada tandingannya, namun sayang …

“Hhhh!” Pak Mardi mendengus marah. Semua kemarahannya ditumpahkan di tubuh montok Sri. Sri memang tidak mempunyai keunggulan di bandingkan istrinya, tapi Sri juga mempunyai keunggulan lain. Pak Mardi menjambak rambut Sri, menekannya ke bawah. Sri tahu apa yang dinginkan pria itu. Bibir tebal merah menyala mencium ujung penis yang mengeluarkan cairan bening, mengeluarkan lidah basahnya yang ternyata panjang. Lidah itu membelit batang penis Pak Mardi, memelintir dan memijatnya. Luar biasa.

Pak Mardi mengerang panjang, tubuhnya disandarkan serilek mungkin di sofa. Belitan dan pijatan lidah lunak basah yang panjang itu mampu meremas dan memijit, entah bagaimana bisa. Namun seperti itulah yang dirasakan Pak Mardi sekarang.

Suara kecipakan mulut dan lidah Sri di penis Pak Mardi begitu keras terdengar disertai dengusan pria itu. Batang penisnya belepotan warna merah terpoles lipstick Sri. Bahkan ujung lidah Sri bisa mengeras, menusuk pangkal penis persis di atas kantung bijinya yang kembang kempis berkedut-kedut. Tusukan lunak di tempat itu justru titik sensitifnya. Otot-otot lutut Pak Mardi menegang menahan kenikmatan. Buku-buku jari kakinya terasa kebas dan kaku, ketika mulut Sri menyedot dan menghisap-hisap kantung berbiji dua yang sudah agak kisut itu.

“Hhhh, Sriii hshh!” Pak Mardi mendesis keras, menjambak rambut Sri yang ikal bergelombang. Menekannya keras.

Belum sepuluh menit, pria itu sudah kejang-kejang. Menyemprot mulut Sri dengan air maninya yang encer.

Lipstick merah menyala yang sudah kemana-mana itu belepotan air mani Pak Mardi.

“Heuhhh!” Pak Mardi menghembuskan napas, dadanya naik turun. Tubuhnya terkulai lunglai di atas sofa.

Sri bangkit, melepaskan kaus ketatnya. Wajahnya sedikit memperlihatkan mimik kecewa dan tidak suka.

“Aku belum lho, Mas!” katanya sambil membuka seluruh kain di tubuhnya, dengan jalan berlenggak-lenggok ia mendahului masuk ke dalam kamar.

Pak Mardi meredakan napasnya yang memburu, satu tangannya masuk ke dalam saku celananya, mengambil satu bungkus kecil yang berisi beberapa butir pil berwarna putih kebiruan. Kemudian dengan langkah masih lunglai, pria itu menuju ke dapur, mengambil segelas air. Dua butir pil ditelannya sementara satu butir dihancurkan di atas sendok dengan ditetesi air. Pil yang sudah mencair itu kemudian dioleskan merata ke batang penisnya yang masih terkulai lemah. Khasiatnya langsung terlihat. Pil yang diminumnya terasa menghangatkan perutnya, menyebar ke bawah ke selangkangannya. Mendorong ke kantung bijinya dan bertemu dengan reaksi pil cair yang dioleskan ke batang penis. Penisnya menghangat, perlahan menegang kaku. Dibantu dengan urutan dari jari-jarinya, penis itu telah bangun lagi dengan ajaib.

Ya, pil yang dibeli mahal dari toko jamu cina di kota telah mampu membantunya dari rasa malu akibat lemahnya kemampuan di ranjang. Dia kini mempunyai rasa percaya diri ketika hendak bercinta.

Kini, dengan langkah gagah. Pak Mardi mendatangi kamar, di mana Sri tengah tergeletak mengangkang di atas ranjang, satu tangannya aktif dengan jarinya menggosok-gosok satu titik di vaginanya yang lebar. Sementara tangan yang lain sibuk meremas-remas buah dadanya sendiri.

Melihat Pak Mardi masuk dengan batang penis siap tempur, Sri tersenyum genit, ia segera membalik menungging, kemudian merangkak mundur sampai di tepi ranjang. Ia menengok dengan mata sayu, “Langsung saja, Mas. Sri sudah tidak tahan,” rengeknya manja sambil menggigit bibir.

Pantat besar yang sedang menungging mengangkang dengan vagina berambut lebatnya menggantung dan merekah basah. Pak Mardi melangkah mendekat sambil terkekeh-kekeh penuh birahi, satu tangannya mengocok-ngocok batang penisnya yang, mungkin karena efek dari pil ajaib, terlihat lebih panjang dari biasanya. Dia segera mencengkram dua bongkah pantat bulat empuk itu, memposisikan batang penisnya ke belahan vagina Sri, menggesek-geseknya dengan perlahan.

“Ahhh, ayooo, Mhasss…,” Sri kembali merengek. Tangannya meraih batang penis Pak Mardi, menuntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah dan lengket. Pantatnya turun sedikit, dibantu Pak Mardi yang mendorong.

Clep!

Kepala penis itu pun ditelan lubang vagina Sri.

“Owhhh. Enaaakhhh, Masssh!” lenguh Sri memejamkan mata. Mungkin karena khasiat cairan pil itu yang membuat batang penis Pak Mardi terasa seret menggesek dinding-dinding vaginanya. Membuat Sri menggeletar dan terengah-engah oleh kenikmatan birahi yang menderanya.

Sesungguhnya, dalam posisi seperti itu dengan pantat besar dari pasangannya, dulu-dulu Pak Mardi sedikit kesulitan. Tapi dengan penis yang ternyata lebih panjang dari biasanya, kini dia tak perlu merasa sakit pinggang lagi karena berusaha menekan maksimal melebihi beban yang seharusnya. Walau pun dia merasa sedikit kebas pada penisnya, namun dia masih bisa ikut menikmati rasa nikmat gesekan-gesekan panas dinding-dinding vagina Sri di kepala penisnya yang sengaja memang tidak ikut di olesi cairan pil pria perkasanya.

“Owhhh …, ughhhh …, akhhh. Terussshhh, Massshhh. Lebih dalaaammm …, nikhmathhh shhh!” mulut Sri meracau keras. Pantatnya melambung dan bergetar. Tubuh bagian atas telah jatuh ke atas bantal, kepalanya bergerak-gerak gelisah. Pak Mardi mulai melengkungkan punggungnya, kedua tangannya meraih sepasang buah dada Sri yang terjepit bantal. Sodokannya makin cepat dan kencang.

Plok! Plok! Plok!

Terdengar bunyi dari beradunya dua kelamin yang sudah basah dan lengket itu.

Pak Mardi mengertakkan rahangnya, ketika merasakan ujung penisnya berdenyut keras. Lubang vagina Sri terasa melonggar, ke dua lututnya segera menekan paha gemuk Sri untuk merapat. Akhirnya, dia bisa merasakan jepitan seret dari vagina gemuk yang terjepit paha gemuk perempuan itu.

“Masssh!” Sri melenguh, pantatnya bergerak-gerak liar.

“Hssshhh!” Pak Mardi mendesis keras. Kedua tangannya meremas kencang buah dada Sri sambil menyentak mendadak dengan keras.

“Aughhh!” Sri melenguh panjang, pantatnya mengedut.

Dua erangan terdengar, bersamaan ambruknya dua tubuh berkeringat saling bertumpang-tindih.

Persetubuhan pagi sensasinya memang lain dari yang lain.

oo0oo


Di rumah Izal.

Dua pasangan itu duduk berhadapan. Bu Ratna menundukkan wajahnya dalam-dalam, sementara Ratih terisak menyembunyikan wajahnya di punggung Pak Danur, mertuanya. Mereka sedang menyimak penuturan Izal yang berbicara dengan tenang. Semuanya dijelaskan secara gamblang, dari mulai Pak Mardi yang menjual Bu Ratna hingga dia terpaksa memberikan modal usaha beserta mobilnya, hingga perasaan cintanya yang terpendam lama ke ibu mertuanya tersebut. Semua dijelaskan Izal dengan tenang.

“Setega itukah bapak, Ma?” Tanya Ratih di sela isaknya. Menatap wajah ibunya yang masih tertunduk. Bu Ratna mengangguk sedih.

“Kalau tidak ada I-Izal …, mungkin, mungkin Ema sudah dijual ke Pak Haji Darmin!” terdengar lirih suara Bu Ratna.

Ratih menutup wajahnya dengan ke dua telapak tangannya. Sedih sekali hatinya. Dan tambah sakit ketika mengingat ternyata Izal mencinta ibunya. Ibu mertuanya. Lalu kini ia sendiri? Ratih makin tersedu.

Pak Danur menghela napas panjang, “Entahlah, mungkin memang harus seperti ini jalannya, Zal. Jalan yang aneh dan rumit. Ayah sungguh tidak tahu harus seperti apa. Hanya …,” dia berhenti sejenak, menoleh menatap wajah Ratih yang masih bersimbah air mata. Pria setengah baya itu tersenyum, membelai rambut menantunya dengan penuh kasih sayang, “Karena jalan yang kita lalui ini, ayah menemukan kembali hidup ayah, dengan …, Ratih! Ayah hanya bisa memohon pengampunanmu untuk kita berdua, terutama Ratih.” Katanya kemudian.

Izal menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu memohon maaf, Ayah. Bahkan kalau diurut, justru Izal pangkal dari semua kesalahan ini. Asal ayah benar-benar menyayangi Ratih, itu sudah cukup. Sedikitnya bisa mengurangi beban dosa Izal terhadap Ratih. Aa yang harus mohon maaf padamu, Neng,” kata Izal dengan suara serak.

“E …, Ema juga, Neng,” terdengar suara Bu Ratna dengan wajah makin tertunduk.

Ratih menghela napas, wajahnya terlihat lesu, namun belaian dari Pak Danur kembali membangkitkan semangatnya. “Sudahlah, kalau memang seperti ini jalannya. Ratih akan menjalaninya dengan ikhlas,” ujarnya pasrah.

“Satu hal lagi, Zal!” kata Pak Danur menatap wajah anaknya, “Kita tidak bisa terus tenggelam dalam perasaan terlarang ini. Ayah dan juga kamu harus merasa nyaman dengan hubungan ini. Ayah ingin tenang, meng-menghalalkan Ratih, jadi ….”

“Izal akan mentalaq Ratih secara resmi! Tapi rasanya tidak mungkin ayah membawa Ratih ke rumah.” Kata Izal mengerutkan keningnya.

“Ayah mungkin akan mencari rumah buat kami,” sahut Pak Danur tersenyum.

“Baiklah. Kalau begitu, untuk sementara, sampai semua urusan beres, Ratih di sini saja dulu,” putus Izal kemudian.

Pada akhirnya semua sepakat. Bu Ratna asalnya agak keberatan, mengingat hatinya masih sangat malu harus serumah dengan anak dan besannya sementara ia mau tidak mau seranjang dengan menantunya. Namun dengan dibujuk oleh Izal dibantu Ratih yang sudah menerima semuanya dengan lapang dada, akhirnya Bu Ratna mengangguk setuju.

Begitulah akhirnya. Pasangan aneh itu serumah. Izal dengan rela hati menempati kamar belakang sementara kamar utama tetap digunakan oleh ayahnya dan Ratih. Awal-awalnya, mereka terlihat kaku dan malu-malu memperlihatkan kemesraan kepada pasangan masing-masing. Izal-lah yang mengawali suasana menjadi lebih cair dengan tidak malu-malu, memeluk atau mencium Bu Ratna dengan penuh kasih sayang. Ratih tentu menjadi panas hatinya, bagaimana pun, bertahun-tahun dirinya adalah pendamping Izal.

Hari-hari selanjutnya, adalah pertunjukan dari perlombaan Ratih dan Izal mempertontonkan kemesraan mereka ke pasangan masing-masing. Sungguh lucu dan aneh.

Ketika di ruang keluarga Izal mencumbu Bu Ratna, Ratih tak mau kalah, Pak Danur yang sedang berada di dalam kamar mandi disusulnya. Atau ketika mereka sedang sarapan pagi, dengan tidak malu-malu Ratih menyuapi Pak Danur sambil duduk di pangkuannya. Dan Tentu saja Izal tak mau kalah. Bu Ratna yang sedang membersihkan bekas makan minum mereka, disusulnya. Mereka bercinta di dapur.

Sebulan kembali berlalu. Surat cerai Izal dan Ratih sudah jadi. Begitu juga dengan Bu Ratna yang menaqsi Pak Mardi. Segala urusan lancer dan mudah, tentu kekuatan uang berbicara di belakangnya.

Di hari minggu pagi yang cerah.

Pak Danur terguling di samping tubuh ramping Ratih. Mereka sama-sama berkeringat. Deru napas mereka memburu. Ratih menyandarkan kepalanya di dada Pak Danur yang segera membelai rambutnya dengan pemuh kasih sayang.

“Ayah …,” bisik Ratih manja. Ia memang tidak merubah panggilannya ke bekas mertua yang sudah menjadi kekasihnya itu.

“Iya, Sayang,” sahut Pak Danur mencium rambut Ratih.

“Ratih …, hamil!”

Pak Danur sedikit bergerak, antara kaget dan senang, “Be-benarkah?”

Terasa kepala Ratih itu bergerak mengangguk, “Ayah tidak senang?” wajah cantik itu mendongak, mata beningnya menatap wajah berwibawa itu.

“Mana mungkin!” Pak Danur tergelak. “Ayah sangat senang malahan, Sayangku!” Pak Danur menunduk, menciumi wajah cantik itu bertubi-tubi.

“Tapi …,” Ratih terlihat ragu-ragu.

“Izal?” Pak Danur bertanya, namun katanya kemudian, “Tidak usah khawatir, Sayang. Ayah yang akan menjelaskan kepadanya. Izal tentu mengerti. Dan lagi pula kalian sudah tidak terikat hubungan apa-apa. Setelah masa ‘idah, ayah akan menikahimu. Memang bukan pernikahan yang meriah, hanya pernikahan sederhana. Setelah kita resmi, ayah akan membawa kamu ke rumah yang sudah ayah persiapkan!” bisik Pak Danur.

Ratih hanya sanggup mengangguk dengan perasaan sangat berbahagia. Mendekap erat tubuh Pak Danur dengan segenap cintanya.

Ia sedikit menggelinjang ketika merasakan jari-jari nakal kekasihnya itu merayap ke vaginanya yang masih basah dan lengket.

“Lagi?” Tanya Ratih dengan mata mengerjap nakal.

“He-emh!” Pak Danur menganggup, mengecup bibir basah setengah terbuka itu, “Tiba-tiba bangun lagi, mungkin senang mau lihat benih yang ditanamnya!”

“Idih!” Ratih tertawa. Tangannya mengelus penis Pak Danur yang memang sudah tegang lagi.

Begitulah. Keduanya kembali memadu kasih, menumpahkan gelombang birahi yang tak pernah surut.

Di kamar yang lain, di rumah itu.

Izal memeluk tubuh montok Bu Ratna dengan erat, ketika Bu Ratna membisikkan dua patah kata yang membuat hatinya gembira bukan main.

Bu Ratna, kekasihnya hamil!

Hampir saja dia berteriak-teriak kesenangan dan belari keluar. Kalau saja tidak dicegah Bu Ratna yang terkikik geli melihat kebahagiaan bekas menantunya itu.

Izal menarik tubuh montok yang masih berkeringat itu ke atas tubuhnya. Dua daging montok dan kenyal menekan dadanya. Wajah mereka berdekatan, terasa hangat hembusan napas masing-masing.

Di tariknya wajah Bu Ratna dan diciuminya. Mereka tidak perlu banyak berkata-kata. Segalanya telah menunjukkan betapa besarnya kebahagiaan mereka berdua.

Bu Ratna yang menindih tubuh Izal merasakan ada yang bergerak-gerak di bawah perutnya.

“Bangun lagi?” katanya dengan takjub.

“Ssst! Dia bilang mau nengok anaknya!” sahut Izal sambil memagut bibir lunak Bu Ratna. Mereka berpagutan dengan lembut. Tangan Izal merayap kemana-mana, Bu Ratna menggelinjang kegelian.

“Aku masih capek, tahu!” Bu Ratna mendelik manja.

“Ya sudah tidak usah bergerak, biar Izal yang bekerja!” sahut Izal sambil menggulingkan tubuh kekasihnya itu, berbalik menindihnya. Di saat seperti itu, dia selalu menyesal tidak memiliki empat mulut dan empat tangan. Tubuh indah milik kekasih tercintanya itu sungguh ingin dilahapnya habis-habisan.

Seperti yang terjadi di kamar yang satunya lagi. Pasangan yang dimabuk asmara birahi itu kembali bertempur.

----

Hari beranjak siang. Di ruang keluarga, Bu Ratna dan Ratih bersandar di pelukan pasangannya masing-masing, tersenyum geli ketika menyimak Pak Danur dan Izal berebut saling-mengabarkan kabar bahagia masing-masing. Setelah jelas, keduanya terbahak-bahak bersamaan. Saling berjabat tangan dan saling mengucapkan selamat.

“Entah bagaimana kita memanggil anak-anak kita kemudian,” kata Pak Danur setelah reda dari tertawanya.

“Adik dan cucu, cucu dan adik ipar! Membingungkan. Biarlah, itu urusan kita nanti!” sahut Izal kembali tergelak.

Di saat mereka sedang tertawa-tawa, mendadak handphone Pak Danur berdering. Dilihatnya nomor panggilan dari suster yang merawat BU Rizka, istrinya.

“Hallo, Mbak. Kenapa?”

“A-apa?” Pak Danur melonjak kaget. Matanya terbelalak menatap Izal.

“Mama? Kenapa mama, Yah?” seru Izal dengan wajah khawatir.

“Mamamu …, mamamu …, si-ssiuman!” sahut Pak Danur terbata-bata. Menatap bergantian ke wajah Izal dan Ratih yang wajahnya berubah pucat.

Izal melompat berdiri dengan mulut ternganga.

Sesaat suasana terasa sangat hening, ke empat orang itu termangu-mangu kebingungan.

Beberapa saat kemudian, “Kita berempat sekarang juga berangkat ke rumah!” kata Pak Danur memutuskan.

“tt-tapi …, tapi, Ayah!” Ratih terlihat bingung.

“Tidak apa-apa, Sayang! Ayah akan mencari cara. Kamu tidak usah khawatir. Ayah sudah terlanjur mencintaimu!” bisik Pak Danur memeluk tubuh Ratih yang bergetar menahan perasaan cemasnya.

Seperti yang telah diputuskan. Mereka berempat berangkat ke kota ke arah rumah pak Danur.



Wajah Bu Rizka terlihat putih pucat dan kurus. Selang-selang saling bersilangan selama bertahun-tahun menemaninya. Dengan mesin dan layar control memenuhi ruangan kamarnya. Mata yang terpejam selama 10 tahun itu telah terbuka, begitu sayu. Namun ada sorot kehidupan di mata itu.

Seorang dokter telah berada di ruangan kamar itu. Dokter pribadi keluarga Pak Danur. Sementara Pak Danur sendiri berlutut di sisi ranjang sambil menggenggam telapak tangan yang masih lemas itu. Namun terasa jari-jari Bu Rizka membalas menggenggamnya.

“Ini keajaiban, Pak,” kata Dokter sambil tersenyum. “Cuma ibu masih sangat lemah kondisinya, saya sarankan ibu dibawa ke rumah sakit untuk pemulihan kondisinya. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Ibu harus dibantu segalanya oleh keluarganya. Memulihkan ingatannya yang sempat tertidur. Bahkan mungkin saat ini, beliau tidak ingat siapa dirinya dan siapa bapak!”

Izal yang berdiri di belakang bapaknya menatap wajah ibunya yang sudah siuman dari koma selama sepuluh tahun itu. Sepuluh tahun yang lalu, dia masih berusia empat belas tahun ketika terjadi peristiwa itu. Wajah kurus putih pucat itu sangat berbeda dengan saat sebelum ibunya mengalami koma. Berbagai perasaan berkecamuk di hati Izal dan pak Danur. Tanpa menyadari dua sosok lain, Bu Ratna dan Ratih yang berdiri agak jauh di dekat pintu kamar, keduanya perlahan-lahan mengundurkan diri. Melangkah lesu keluar kamar. Keduanya terus berjalan hingga keluar rumah dan berdiri di pinggir jalan, berdua. Tanpa berkata-kata.

Sebuah angkutan umum berhenti di depan mereka, masih tanpa berkata-kata, keduanya naik angkutan umum tersebut.

“Tumben orang kaya mau naik angkot. Bosan naik mobil bagus?” terdengar supir angkot tersebut berkata sinis.

Bu Ratna segera tersadar. “Akang?” serunya kaget.

Betul. Supir angkot itu bukan lain adalah pak Mardi. Mantan suaminya.

“Hendak kemana , Nyonya besar?” Tanya Pak Mardi masih dengan nada sinis.

Bu Ratna dan Ratih saling-pandang. Mereka tersadar tak membawa uang sepeser pun.

Bu Ratih menunduk, melihat jari manisnya. Cincin emas hadiah dari Izal melingkar di situ. Segera dilepasnya dan diberikan ke Pak Mardi,

“Antarkan kami ke terminal!” katanya pendek.

“Siap, Gan!” seru Pak Mardi dengan semangat.

Sesampainya di terminal, mereka mendapatkan uang setelah menjual masing-masing handphonenya setelah sebelumnya mematahkan sim cardnya. Lalu berdua dengan ibunya, ia naik bis dengan tujuan Garut. Tempat Bu Ratna dilahirkan dan dibesarkan.

Di jok bis, kedua ibu dan anak itu berpelukan. Menahan isak menangisi nasib mereka berdua.



Pak Danur dan Izal terlambat menyadari, kekasih-kekasih mereka telah menghilang dari rumah itu. Lupa akan kebahagiaan telah siumannya Bu Rizka. Keduanya kalang-kabut mencari-cari Bu Ratna dan Ratih. Pencarian yang sia-sia. Mereka telah kehilangan jejak. Keduanya terduduk di pinggir jalan dengan kebingungan.



T-A-M-A-T


Promo CERBUNG :

~ RIWAYAT SESAT ~

----

Ustadz Jamal melotot dengan napas memburu. Kalau saja mulutnya tidak dilakban, tentu dia sudah berteriak-teriak mencaci-maki apa yang tengah berlangsung di hadapannya. Bahkan kalau saja kaki dan tangannya tidak terikat, tentu dia juga sudah menghambur menyerang Tua Bangka yang tengah menyetubuhi Zahra, istrinya.

Di sana, di atas ranjang. Rambut panjang bergelombang Zahra, istri dari Ustad Jamal, dijambak dengan kedua tangannya tertelikung oleh tangan kekar Bawuk. Sementara penis besar dan kekarnya menyodok vagina Zahra dengan keras tanpa belas kasihan.

Sementara Juned, duduk santai di atas meja rias, asik merekam kegiatan bapaknya yang tengah memperkosa istri Ustadz menggunakan handycam curiannya.
"Amphuuuunnnn, sha-shakiiit, Paaak!" Jerit Zahra berurai air mata. Tubuhnya tersentak berkali-kali seirama hentakan demi hentakan pantat Bawuk.
Rintihan Zahra diperkosa pria tua itu entah kenapa membuat Ustadz Jamal merinding. Sungguh, dia sebenarnya tidak ingin melihat kebiadaban yang berlangsung di depan matanya itu. Namun dia dalam keadaan tak berdaya, terikat tanpa bisa bergerak. Memejamkan mata pun percuma. Tubuhnya yang bugil, penisnya perlahan tanpa dapat ditahan mulai ereksi. Hatinya menyumpah habis-habisan.
Juned tertawa mengejek ketika melihat penis Ustadz Jamal mulai bangun, handycamnya sengaja diarahkan ke tubuh sang ustadz yang wajahnya mendadak pucat pasi. Kepalanya menggeleng-geleng dengan mata menyorot penuh permohonan. Namun percuma saja.
"Penis kecil begitu mana bisa bikin puas bini, Tadz!" Kata Juned nyengir.
Dari balik lakban, Ustadz Jamal menggeram-geram.
"Aaakkkhhh!" Terdengar lenguhan panjang dari Zahra. Tubuhnya menegang. Lalu ambruk ke atas kasur dengan lemas.
----
:semangat: :beer:
akibat sembarang crot, btw tks udah sampe tamat, di tunggu cerita selanjutnya hu @Jaka_Balung
:mantap: :baris: :baris::ampun:
tks hu
 
Bisa kok hu mnta buka lg sama admin BADAI NAFSU nya, bnyak cerita yg di closed tp kebuka lg, sayang cerita BADIA NAFSU bagus tp terbengkalai gk di lanjut
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd