Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA OBSESI BASI

BAGIAN PERTAMA
~ Mertua Perempuan dan Menantu Laki-Laki ~



Izal sudah lama terobsesi pada Bu Ratna, mertuanya. Dari semenjak berpacaran dengan Ratih sampai menjadi istrinya. Obsesinya itu tak juga surut. Padahal istrinya itu juga cantik menarik dan yang pasti lebih muda dari ibu mertuanya tersebut. Memang, pria mana pun akan meluangkan sejenak untuk menatap Bu Ratna, tubuh montok dengan pinggul lebar dan pantat model bebek yang kalau berjalan bergoyang dan bergetar. Pria normal tentu akan langsung berfantasi liar. Belum lagi dekik di pipinya yang tembem kalau ia tersenyum. Sungguh bayangan sempurna dari harapan setiap pria. Dalam usianya yang menjelang 42 tahun, aura kematangan dari seorang perempuan begitu sempurna menebar pesonanya ke setiap mata. Betapa beruntungnya pria yang menjadi suaminya, begitulah setiap hati berbisik penuh kekaguman.

โ€œYa, tapi lelaki itu bukan aku!โ€ keluh Izal dalam hatinya.

Rumput tetangga lebih hijau, istilah yang lebih tepat untuk keadaan Izal saat itu.

Makin lama, Izal merasa yakin bahwa dia telah jatuh hati pada mertuanya itu. Dia menikmati momen saat-saat mereka berdekatan. Karena memang dia dan Ratih, istrinya telah berpisah rumah dengan mertuanya itu. Rumah yang terpisah beda kampung. Sebelum menikah Izal telah memiliki rumah dengan usaha perdagangannya yang beromzet lumayan di kota. Rasa kangen terhadap Bu Ratna, diuntungkan oleh kemanjaan Ratih yang sering datang ke rumah orang tuanya, yang tentu dengan senang hati diluluskan dan selalu didampinginya. Praktis, dia sering bersua dengan perempuan pujaan hatinya tersebut.

Waktu-waktu itu, dia hanya sekedar mampu mengagumi diam-diam tanpa berharap lebih.

Hingga pada suatu ketika.

Kesempatan itu pun datang.

Seperti biasa, selepas isya sepulangnya dari toko, Izal selalu menyempatkan diri mampir ke rumah mertuanya. Dan dia tidak pernah mampir dengan tangan kosong, ada saja yang dibawanya, seperti martabak keju kesukaan Bu Ratna.Pak Mardi mertuanya yang laki-laki, kadang sering bertemu, kadang juga tidak bertemu. Maklum, Pak Mardi adalah supir tembak angkutan kota , yang kadang mendapat tarikan angkot untuk ngalong, istilah angkot yang mencari penumpang semalaman. Kadang juga menganggur di rumah. Pekerjaan serabutan seperti itu lah, yang tentu berpengaruh terhadap penghasilan Pak Mardi selaku kepala rumah tangga tidak pernah bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Beruntunglah, mereka mempunyai menantu sebaik Izal, maklum akan keadaan ekonomi orang tua istrinya, maka dia menyisihkan uangnya untuk membantu kebutuhan sehari-hari mertuanya tersebut.

Malam itu gerimis turun lumayan banyak, rumah sang mertua kebetulan agak ke dalam, hingga mobil yang dikendarai Izal sama sekali tidak bisa sampai ke halaman rumah tersebut. Dengan berlari agar tidak terlalu basah, dia hampir sampai ketika kakinya terpeleset genangan air.

Gedebuk!

Izal meringis, โ€œSialan!โ€ umpatnya kesal. Untung saja martabak yang dibawanya tidak sampai terlempar.

Dengan sedikit terpincang-pincang, dia menuju ke samping rumah di mana ada keran air bermaksud mencuci kakinya yang sedikit berlumpur.

Rumah mertuanya itu terlihat sepi, sepertinya sang penghuni rumah sudah masuk kamar. Ah, mungkin bapak sedang menarik angkot, bisik hati Izal senang. Jelas, tanpa ada mertua laki-laki di rumah, dia lebih leluasa memandang Bu Ratna lebih puas, sekedar melepas rasa kangennya.

Saat dia hendak membuka keran, mendadak dia mendengar isak dan rintihan perlahan dari kamar samping, kamar mertuanya!

Berdebar hatinya. Membayangkan sesuatu yang tengah terjadi di kamar tersebut. Walau pun hatinya kecewa dan rasa cemburu merebak di dadanya.

Luar biasa Bapak, malam belum begitu larut sudah bertempur saja. Dia pun kalau mempunyai pasangan hidup seperti Bu Ratna, jangankan malam, siang hari pun akan kuhajar. Begitu hati Izal berkata-kata.

Sebagai pengagum gelap, tentu dia mempunyai rahasia untuk melampiaskan keinginan hatinya. Yaitu dia mempunyai lubang untuk mengintip ke dalam kamar mertuanya tersebut. Yang dia manfaatkan ketika dia dan istrinya menginap di rumah itu. Hanya sekedar mengintip kegiatan Bu Ratna di dalam kamar, apakah itu sedang tidur, berganti pakaian bahkan sampai kegiatan birahi mertuanya itu.

Izal kembali mendengar isakan itu. Sesuatu hal baru, apakah Pak Mardi sedang KDRT atau apa? Dengan tidak sabar, dia melepas tutup lubang rahasinya, mengintip ke dalam dengan hati berdebar-debar. Sangat jarang dia mengintip di saat kebetulan pasangan mertuanya itu sedang bersenggama.

Dan begitu dia melihat kejadian di dalam kamar, hampir saja jantungnya copot!

Lubang intipan yang dibuat sangat strategis itu menampakkan hampir separuh kamar, dan dalam penerangan lampu, Izal melihat Bu Ratna tengah meringkuk ketakutan di sudut ranjang!

Dan Pak Mardi, sang mertua yang laki-laki tengah bertolak pinggang membelakangi sudut pandangnya. Jelas tengah terjadi sesuatu di dalam kamar tersebut.

Tenggelam hati Izal ketika melihat telapak tangan Pak Mardi melayang kemudian menggaplok wanita pujaannya tersebut. Terdengar jeritan kecil dari Bu Ratna.

Amarah Izal segera bangkit. Itu memang urusan rumah tangga mertuanya, tapi dia pun bukan orang lain. Dengan langkah cepat, dia menuju pintu depan yang ternyata tidak terkunci, begitu sampai ke depan kamar, pintu kamar setengah terbuka. Terdengar teriakan marah dari Bu Ratna bercampur tangisannya.

โ€œMendingan kau bunuh saja aku, Akang! Daripada aku kau jual ke bangkotan mesum itu! Eling, Akang. Akang yang berhutang dan juga uangnya tidak pernah aku lihat, kenapa pula aku yang harus menanggungya? Eliiing, Akang!โ€

Izal yang hampir menerjang masuk, menahan napas, mendengar ucapan tersebut. Dia menahan langkahnya menggeser tubuhnya agar dia bisa mendengar jelas percakapan mereka.

โ€œAkang terpojok, Rat. Pak Haji Darmin mengancam akan melaporkan akang ke aparat kalau tidak membayar utang sesuai waktunya. Dia menginginkan kamu, Rat. Tolonglah, Akang.โ€ terdengar suara Pak Mardi.

โ€œItu salahmu. Kenapa tidak bilang dari awal terkena musibah, menabrakan angkot dan menabrak pula pedagang sayur. Kalau kau bilang, tentu kita bisa meminjam kepada Izal, tentu dia mau membantu kita!โ€ sahut Bu Ratna di sela tangisannya.

โ€œAkang malu, Rat. Bingung, uang 50 juta itu tidak kecil. Izal mungkin mau membantu, tapi kemana muka akang? apa saja selalu dibantu menantu. Akang kira akang bisa mencicilnya, tapi Pak Haji Darmin minta kas, kalau pun akang tidak bisa, dia minta dirimu menemani dia beberapa malam di puncak. Kamu jangan punya pikiran macam-macam dulu, mungkin dia perlu orang perempuan untuk sekedar memasak di villanya.โ€

โ€œEliiing, Akang. Mana mungkin uang 50 juta bisa lunas begitu saja, hanya dengan menjadi pembantu beberapa hari. Pak Haji itu istrinya sudah tiga, kan aku juga pernah cerita kalau dia bertemu aku selalu menggodaku.โ€

โ€œSudahlah, Ratna. Sudah tidak ada jalan lain. Mau tidak mau, kau harus menemani Pak haji besok!โ€ kata Pak Mardi dengan suara meninggi.

โ€œAku tidak mau! Lebih baik mati daripada aku kau jual untuk bayar utang. Biar besok aku yang bicara sama Izal, tentu dia mau mengerti!โ€

โ€œTidak! Tiap dia membantu kita, harga diriku jatuh.โ€

โ€œLalu demi harga diri kau lebih rela menjual aku? Suami macam apa kau ini, Akaaang?โ€ lalu terdengar jeritan kesakitan.

โ€œAwww! Ampuuun, Akang! bunuh saja aku, bunuuuh!โ€

โ€œHentikan, Pak!โ€ Izal menerobos masuk, menarik tubuh Pak Mardi yang sepertinya hendak menginjak-injak tubuh istrinya itu.

โ€œIzal?โ€ Pak Mardi dan Bu Ratna berteriak hampir bersamaan.

Izal mendorong tubuh mertuanya itu dengan geram.

โ€œKamu jangan ikut campur, Zal!โ€ Pak Mardi berteriak dengan rasa tidak suka.

โ€œBapak itu suami macam apa, hah? Masa istri sendiri dipakai buat bayar utang?โ€ bentak Izal dengan wajah merah padam.

โ€œSudah kubilang janga ikut campur!โ€ Pak Mardi balas membentak.

โ€œBaiklah! Baiklah! Begini saja, daripada ibu untuk bayar utang ke Pak Darmin. Ibu, saya yang tebus, besok saya akan kasih bapak uang 50 juta untuk bayar utang. Dan mulai saat itu, bapak sudah tidak punya hak atas ibu, paham?โ€

โ€œA-apa?โ€ Pak Mardi ternganga, โ€œA-apa maksudmu?โ€ katanya kebingungan.

โ€œBapak bermaksud menjual ibu untuk bayar utang kan? Ya sudah, ibu saya beli!โ€ kata Izal makin berani. Ucapannya tadi sebenarnya hanyalah ucapan spontan, namun karena sudah terlanjur, maka dia pun menjadi nekat.

โ€œBapak masih belum mengerti,โ€ kata Pak Mardi dengan wajah bingung.

โ€œSaya beri bapak 50 juta, terserah bapak apa buat bayar utang atau mau foya-foya, yang jelas itu adalah uang pembayaran untuk ibu. Karenanya ibu sudah menjadi milik saya, bapak sama sekali tidak mempunyai hak lagi atas ibu!โ€ kata Izal menjelaskan.

Pak Mardi termenung sesaat, namun karena pikirannya sudah gelap, katanya kemudian, โ€œPak Haji Darmin hanya beberapa malam, tapi utang lunas, dan bapak kembali punya hak atas istri bapak. Jadi bapak lebih baik ke Pak haji darmin saja dari pada ke kamu!โ€

โ€œBapak benar-benar sudah kerasukan setan!โ€ Izal menghela napas. Kemudian lanjutnya, โ€œBegini saja, di mobil ada uang modal saya 50 juta, selain uang saya berikan mobilnya sekalian, harga pasaran mobil seratus juta. Malam ini juga akan saya serahkan ke bapak. Jadi selamanya, ibu sudah bukan hak bapak lagi, mengerti?โ€

Dasar memang sudah gelap mata, Pak Mardi segera mengangguk setuju!

โ€œBaiklah! Karena ini menyangkut sejumlah uang dalam jumlah besar, maka saya akan membuat pernyataan di atas materai!โ€ kata Izal kemudian.

Sementara itu Bu Ratna yang menjadi barang jual beli, hanya terbengong-bengong kebingungan, sampai ia lupa akan tangisan dan rasa sakit akibat ditampar beberapa kali oleh Pak Mardi.

Izal segera kembali ke mobilnya, mengambil bungkusan uang juga kertas dan materai.

Beberapa saat, pernyataan kedua belah pihak pun berlangsung singkat. Sungguh kejadian yang ajaib dan tidak masuk akal, namun itulah yang terjadi saat itu.

Dengan Bu Ratna yang menjadi saksi sekaligus menjadi barang jual beli. Kesepakatan edan itu pun terjadi. Izal menyerahkan uang dan kunci mobil beserta surat-suratnya ke mertua gila itu yang segera angkat kaki sambil tertawa senang.

Sepeninggalnya, Pak Mardi. Suasana kamar hening sejenak. Tapi kemudian tangisan Bu Ratna pun pecah. Dengan ragu-ragu Izal melangkah menghampiri, duduk di tepi pembaringan hingga Bu Ratna menubruknya, dan menumpahkan segala kesedihannya di dada menantunya itu.

Dengan hati berdebar tak karuan, Izal balas memeluk, mengelus-elus rambut dan punggung perempuan pujaannya itu. Sungguh, dia seperti bermimpi indah, dia sangat rela kehilangan mobil dan uang modal dagangnya dengan balasan bahwa kini perempuan itu menjadi miliknya.

Bukan main besarnya rasa terima kasih Bu Ratna kepada menantunya itu, yang rela kehilangan mobil serta uang untuk menyelamatkan kehormatan dirinya dari suami busuk macam Pak Mardi.

โ€œSudahlah, Bu. Ibu sudah aman sekarang!โ€ bisik Izal di telinga perempuan setengah baya itu.

โ€œTapi, tapi apa kata Ratih, kamu kehilangan mobil dan uang. Bagaimana mengatakannya kepadanya? Duhhh, Gustiiii!โ€ ratap Bu Ratih dengan penuh kesedihan.

Izal merasakan dua gundukan empuk menekan dadanya. Hampir saja dadanya meledak oleh birahinya yang mendadak bergelora.

Dia menarik tubuh montok yang terbungkus daster itu agar sedikit merenggang, tangannya menarik dagu Bu Ratna hingga wajahnya tengadah. Dengan penuh kasih sayang, dihapusnya air mata yang membanjir membasahi pipi montok tersebut, wajah mereka begitu dekat, hembusan napas panas terasa di wajah masing-masing. Melihat sepasang bibir kemerahan itu, hampir saja Izal tak kuasa menahan diri untuk mengecupnya.

โ€œJangankan uang dan mobil, kehilangan apa pun juga, saya rela untuk ibu. Bahkan nyawa sekali pun saya rela untuk ibu!โ€ bisik Izal dengan napas agak terengah, menahan hasratnya yang menggebu-gebu,

โ€œHush! Kamu kalau ngomong jangan sembarangan. Ibu bahagia, Ratih memiliki suami dengan tanggung jawab seperti kamu!โ€ jawab Bu Ratna tersenyum, dekik di pipi montoknya timbul.

โ€œBukan untuk Ratih, tapi untuk ibu. Tahukah ibu? Bertahun-tahun lamanya saya jatuh cinta kepada ibu? Bahkan sebelum kenal dengan Ratih!โ€ kata Izal menumpahkan perasaannya.

Senyum Bu Ratna mendadak hilang, matanya yang masih sembab terbelalak.

โ€œKamu kalau bercanda tidak boleh seperti ini!โ€

โ€œIni ungkapan perasaan saya yang sebenar-benar, Bu. Sungguh, saya sangat mencintai ibu!โ€ kata Izal tanpa tedeng aling-aling.

โ€œKamu kesurupan setannya yang merasuki Kang Mardi, Zal!โ€ kata Bu Ratna dengan nada tidak suka.

โ€œIngat, Bu. Saya kehilangan 150 juta untuk menebus ibu. Lebih besar dari itu pun saya akan cari. Masa ibu tidak mengerti artinya?โ€ ujar Izal sambil memegang telapak tangan mertuanya itu dan meremasnya penuh kehangatan. Bu Ratna yang terlihat menampakkan wajar keheranan dan ketidak percayaan atas apa yang didengarnya barusan.

โ€œBa-bagaimana ..., bagaimana bisa kamu seperti itu? Sama perempuan tua seperti ibu? Kamu kalau bercanda jangan kelewatan, Nak.โ€ Bu Ratna sedikit tergagap.

โ€œSaya juga tidak mengerti, Bu. Tapi yang jelas saya selalu ingin dekat ibu, walau pun tidak bisa memeluk ibu. Hanya dekat dengan ibu pun saya sudah sangat bahagia. Entahlah, mungkin benar bahwa cinta itu buta!โ€ kata Izal sambil menarik bahu mertuanya itu, mencoba memeluknya kembali.

โ€œJa-jangan, Nak. Jangan berlebihan. Ini dosa. Kamu menantuku, istri dari Ratih anak ibu satu-satunya. Jangan menyakiti Ratih!โ€ kata Bu Ratna sedikit memberontak. Namun rangkulan Izal terasa kencang.

โ€œSaya juga tahu, Bu. Saya tidak ingin menyakiti Ratih. Namun saya juga tidak bisa membohongi diri sendiri, saya benar-benar sangat mencintai ibu! Dan ingat, ibu sudah milik saya kan,โ€ bisik Izal sambil mengecup kening Bu Ratna yang kembali terisak meneteskan air mata. Entah sedih entah bingung.

โ€œI-bu bingung, semoga ini mimpi buruk!โ€ kata Bu Ratna mencoba menghindar ketika menantunya itu hendak mengecup pipinya.

โ€œBuat saya ini mimpi paling indah. Kalau pun ini mimpi, saya tidak ingin bangun lagi!โ€ kata Izal dengan kata-kata merayu mengangkat dagu mertuanya itu lalu mengecup penuh kelembutan bibir basah yang gemetaran itu.

โ€œJa-jangaaan, Nak!โ€ isak Bu Ratna ketika merasakan jari-jari menantu kurang ajar itu mulai merayap ke pinggulnya. Ia menggelinjang geli merasakan sentuhan-sentuhan tersebut membuat bulu-bulunya meremang tanpa sadar.

โ€œZaal ..., engh. Ibu mohon, ja-jangaaan. I-ibu masih sedih dan sakit hati sama Kang Mardi. Ibu mohon, kalau Izal benar-benar sayang ibu, beri ibu waktu. Ibu masih sangat sedih!โ€ rintih Bu Ratna, tangan Izal yang sudah menyelinap ke balik daster meremas buah dada sekal mertuanya itu terhenti. Kemudian menariknya kembali, kemudian mengusap-usap rambut.

โ€œBaiklah, Bu. Agar ibu benar-benar tahu bahwa saya sangat cinta ibu, tapi saya hanya punya satu permohonan, ijinkan saya dapat memeluk ibu selama mungkin saat ini.โ€

โ€œI-iya, tapi apa kamu tidak pulang? Ratih mungkin sedang gelisah menunggumu!โ€ tanya Bu Ratna.

โ€œNanti saya WA, bilang mobil mogok dan saya menginap di rumah ibu!โ€

โ€œKamu ini ...!โ€ Bu Ratna kehabisan kata-kata. Kebetulan di saat itu juga ada telepon WA masuk ke HP Izal, dari Ratih.

โ€œAa masih di mana?โ€ tanya Ratih di seberang sana.

โ€œAa masih di rumah ibu, Neng. Mobil Aa mogok. Mungkin nginep di sini, hujan pula. Tidak apa-apa kan?โ€

โ€œLah, ini ada bapak di rumah, A ....โ€

โ€œMasa? Kapan datangnya? Sama siapa?โ€

โ€œBaru saja. Sendirian, katanya habis dari atas, melihat-lihat ada orang yang jual villa sama tanahnya. Bapak berminat beli, malah besok balik lagi ke sana minta ditemenin Aa ke sana.โ€

โ€œWhalah, Aa mah besok tidak bisa atuh, Neng. Kan ada kiriman barang toko ke gudang. Coba mana ayahnya, Aa ngomong deh!โ€

โ€œHallo, Zal!โ€ terdengar suara berat, suaranya Pak Danur.

โ€œHallo juga, Yah. Ayah mau beli villa? Tapi Izal tidak bisa menemani bapak besok, ditunda saja dulu. Lusa deh Izal temenin!โ€

โ€œIya, rencananya begitu, kalau harganya terjangkau, ayah mau bayar. Lumayan buat bawa mamahmu istirahat, kasihan di rumah terus, siapa tahu ada perkembangan dalam kesehatannya. Kalau ditunda lusa, katanya ada orang lain yang mau beli datang juga. Makanya diduluin besok.โ€

โ€œHadeuh. Besok ada barang toko datang, kalau Izal tidak awasin, bisa berantakan. Lagi pula uang pembayarannya cash masih di tangan Izal.โ€

โ€œYa sudah, tidak apa-apa. Ayah bisa sendiri besok. Ayah nginep di rumah kamu ini ya. Biar jaraknya lebih dekat.โ€

โ€œIya, tidak apa-apa, Pak. Begini saja, besok biar Ratih temenin bapak deh, dia hapal daerah atas. Gimana?โ€

โ€œTidak usah. Tidak apa-apa. Ayah lihat tadi lokasinya lumayan masih banyak semak belukar!โ€

โ€œMakanya biar ditemenin Ratih, biar dia juga bisa jalan-jalan, sudah agak lama Ratih tidak saya ajak jalan-jalan, kasihan. Mana Ratihnya, Pak?โ€

โ€œYa, A?โ€ terdengar suara Ratih.

โ€œBesok kamu saja yang temenin ayah ke atas ya? Jangan lupa bawa bekal juga, ayah kan lambungnya sudah kena, jangan sampai telat makan.โ€

โ€œHe-emh deh. Ema mana, A?โ€

โ€œAda, sebentar!โ€

Bu Ratna sebenarnya masih bersandar dipelukan Izal, ia dari tadi hanya mendengarkan saja percakapan di telepon tersebut. Izal memberikan isarat sambil memberikan hape kepada mertuanya tersebut.

โ€œIya, Neng?โ€ kata Bu Ratna dengan suara sedikit serak dan hampir berbisik. Ia menggeliat dari pelukan menantunya dan menggeser tubuhnya sedikit menjauh. Rasa sangat bersalah menyelinap di hatinya.

โ€œBesok Ratih ga sempet ke rumah kayanya, disuruh A Izal nemenin bapak yang mau beli villa. Atau Ema juga ikut deh, biar jalan-jalan juga ya,โ€ ajak Ratih.

โ€œA-ah, ga bisa atuh, Neng. Ga enak, bapa juga belum tentu ngasih ijin, lagi pula, ema besok jadwal kader posyandu di balai desa. Masa ditinggal begitu saja.โ€

โ€œOoo, ya sudah. Iya deh, Ma. Assalamuโ€™alaikum!โ€

โ€œWaโ€™alaikum salam!โ€

Bu Ratna memberikan hape ke Izal tanpa berani menatap wajah menantunya itu. Ia menunduk, tapi sempat melihat celana jeans Izal yang basah.

โ€œCe-celanamu basah?โ€

โ€œIya, Bu. Tadi waktu berlari kemari, saya terpeleset jatuh. Makanya saat mau mencuci kaki di keran di luar sana, saya mendengar pertengkaran di dalam sini!โ€

โ€œOohhh!โ€ teringat kembali kejadian tadi, Bu Ratna kembali terisak. Hatinya sangat sakit atas perlakuan suaminya yang ternyata tidak punya perasaan itu.

โ€œSudahlah, Bu. Tidak usah diingat-ingat lagi. Yang penting sekarang ibu sudah aman, saya tidak mungkin membiarkan ibu diberikan begitu saja ke aki-aki seperti Pak Haji Darmin. Saya akan lakukan apa saja demi ibu,โ€ hibur Izal sambil meraih tubuh montok itu ke pelukannya.

โ€œTa-tapi uang buat tokomu besok?โ€ kata Bu Ratna dengan air mata masih merebak.

โ€œJangankan uang, kehilangan toko pun saya rela buat ibu!โ€ bisik Izal sambil mengecup kening mertuanya itu.

Perempuan sekeras apa pun, bila ada seorang pria yang berani berkorban sebesar itu untuknya, tentu ia akan luluh. Maka Bu Ratna hanya pasrah saja ketika Izal mencium lembut pipinya. Rasa hangat dan kasih sayang menantunya itu terasa menyentuh sanubarinya.

โ€œOhhh, i-ini salah, Nak, do-dosa,โ€ keluh Bu Ratna sambil memejamkan mata, ketika kecupan Izal menyentuh bibirnya. Dengan menguatkan hati, perempuan setengah baya itu menarik tubuhnya, kemudian katanya, โ€œI-ibu belum bisa, Nak. Ibu mohon!โ€ sepasang mata penuh air mata itu menatap penuh permohonan.

Izal mengangguk sambil tersenyum, โ€œIbu tenang saja, sudah bisa memeluk wanita yang saya cintai sepenuh jiwa raga saja, saya sudah sangat bahagia. Saya Cuma mohon ijin agar tetap bisa memeluk ibu!โ€

โ€œTa-tapi kamu tidur dimana?โ€ tanya Bu Ratna dengan hati berdebar-debar.

โ€œIbu mah lucu, bagaimana saya tidur di kamar lain sementara ibu di sini, masa saya memeluk bayangan seperti yang lalu-lalu!โ€ sahut Izal sambil nyengir.

โ€œKalau kamu tidur di sini, ba-bagaimana kalau ..., kalau bapak datang kemari? Dan menemukan kita ..., kita tidur ber-bersama?โ€ kata Bu Ratna terbata-bata dengan wajah memerah.

โ€œBapak tidak mungkin balik kembali kemari, Bu. Kecuali rasa malunya sudah sekeras batu. Dan sekeras-kerasnya manusia, tetap saja mempunyai sifat malu. Kalau masih nekat, dia akan berhadapan dengan saya tentunya!โ€

โ€œTapi masa kamu tidur dengan celana basah?โ€ BU Ratna melihat ke celana jeans Izal.

โ€œSaya pakai kolor daleman, Bu!โ€ sahut Izal sambil membuka celana jeansnya. Benar saja, di balik celana jeans basah itu tampak celana pendek berwarna putih.

โ€œKa-kamu bisa memakai celana bapak,โ€ kata Bu Ratna memalingkan wajah yang bersemu merah.

โ€œSaya lebih nyaman tidur pakai kolor, Bu,โ€ Izal kembali nyengir.

โ€œTa-tapi, i-ibu belum bisa, Nak!โ€ lirih suara perempuan setengah baya itu.

โ€œIbu tidak usah takut, saya bukan sejenis bajingan yang suka mengambil kesempatan. Saya hanya ingin memeluk ibu tanpa keinginan lebih, saya ingin mencurahkan rasa cinta dan sayang saya yang dari dulu terpendam saat ini. Ibu tidak pernah tahu, betapa saat ini saya sangat bahagia!โ€ sahut Izal sambil membungkuk, menyibakkan anak-anak rambut Bu Ratna, mengusapnya dengan penuh rasa kasih sayang. Kemudian kembali mengecup kening perempuan itu yang hanya bisa memejamkan mata.

Di luar sana, hujan makin deras disertai suara angin kencang. Membuat suhu udara kampung di utara Bandung itu makin dingin mencucuk kulit. Sesekali terdengar gelegar geluduk menggetarkan langit.

Saat itu, dua sosok tubuh berselimut tebal sudah berbaring di atas ranjang di kamar tersebut.

โ€œTidurlah, Bu. Ibu tidak usah takut. Percayalah akan rasa cinta saya, tentu tidak akan memaksakan kehendak sepihak. Karena rasa cinta itu tidak untuk menyakiti, Bu,โ€ bisik Izal sambil membelai-belai rambut mertuanya itu dengan kepalanya berbantalkan pangkal lengannya.

Saat itu, tubuh montok yang terbungkus daster itu tengah gemetaran hebat, antara takut, bingung dan rasa bersalah. Tapi ada rasa lain yang ikut terasa, rasa asing dan aneh yang bergelora mendebarkan hatinya. Seumur-umur, tidak pernah ia merasakan belaian semesra itu dari Pak Mardi, suaminya. Belaian serta bisikan-bisikan penuh cinta dari pemuda itu.

Mati-matian Bu Ratna melawan hasratnya, sampai napasnya terdengar sedikit terengah-engah. Tiba-tiba terdengar suara geluduk menggelegar seperti persis di atas rumah yang terasa tergetar.

Tubuh Bu Ratna tersentak kaget mendengar gelegar tersebut, secara tak sadar, tubuhnya reflek mengerut lebih rapat ke tubuh Izal, persis seperti seorang anak ketakutan minta perlindungan dari ayahnya. Dan, uh ...!

Ia merasakan ganjalan besar di pantatnya, yang membuat hatinya berdebar sangat keras.

Belaian dan usapan mesra Izal, membuat hatinya terasa nyaman, hingga kemudian tanpa disadarinya, oleh rasa lelah oleh guncangan peristiwa tadi, perempuan itu pun terlelap dalam pelukan menantunya.

Bu Ratna terbangun menjelang shubuh, terbangun dengan posisi tubuh memeluk tubuh tegap lain, bukan, bukan tubuh Pak Mardi, suaminya, tubuh Pak Mardi tidak setegap itu, tubuh Pak Mardi kerempeng karena sering begadang ngalong narik angkot.

Bu Ratna membuka matanya dan menatap seraut wajah gagah yang menatapnya dengan penuh rasa cinta.

โ€œKa-kamu tidak tidur?โ€ katanya dengan hati kaget, menarik tangannya yang memeluk tubuh tegap itu.

Izal yang kepalanya tertahan telapak tangannya dengan bertelekan sikunya ke atas bantal, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

โ€œSaya ingin selama mungkin membuka mata, menikmati kesempatan sedekat ini dengan wanita yang saya sangat cintai,โ€ katanya setengah berbisik.

Sebelumnya, Bu Ratna diam-diam telah memeriksa tubuhnya. Lega hatinya ketika ia merasakan tidak ada gejala apa-apa. Sempat tersembul kekhawatiran di hatinya bahwa pemuda itu nekat mengambil kesempatan di saat ia sedang tertidur. Rasa terima kasih dan kekaguman segera muncul. Apalagi kata-kata merayu dari pemuda itu makin membuainya ke dalam angan-angan aneh yang timbul di waktu shubuh itu. Waktu dimana suhu sedang dingin-dinginnya, waktu dimana hasrat dan birahi sedang tinggi-tingginya.

Kata rayuan, pengorbanan dan belaian mesra penuh cinta itu pun akhirnya membuat hati Bu Ratna luluh dan jatuh.

โ€œKe-na-pa tidak tidur?โ€ tanya Bu Ratna dengan mata mulai sayu, napasnya mulai pendek-pendek dan memburu.

Izal kembali tersenyum dan menunduk, mengecup lembut kening mertuanya itu.

โ€œSaya ingin terus terjaga buat, Ibu.โ€

Hembusan panas dari napas pemuda itu terasa di lehernya, Bu Ratna merasakan getaran hebat di buah dadanya, merasa kedua putingnya mengeras dan berdenyut-denyut.

โ€œAhhh, kamu ini!โ€ wajahnya menyusup ke dada pemuda itu.

โ€œBuuu, boleeeh?โ€ Izal berbisik sambil mengecup leher samping mertuanya itu. Satu kakinya naik mencemplak pinggul montok itu.

Menggeletar tubuh Bu Ratna, meremang seluruh bulunya, merasakan ganjalan besar dan keras menekan pangkal pahanya. Birahinya mulai menggelegak menghapus keragu-raguan dan rasa bersalahnya tadi.

โ€œBuuu ...,โ€ Izal menarik dagu itu, menatap wajah yang memerah karena hasrat, ingin memastikan bahwa sang mertua menerimanya curahan perasaannya.

Sepasang mata itu terlihat menatap Izal dengan sangat sayu, bibirnya tampak setengah terbuka dengan engahan halus. Dan mata sayu itu pun terpejam ketika Izal mengecup kemudian memagut lembut bibirnya. Terasa begitu basah, hangat dan empuk.

Izal sudah yakin seyakin-yakinnya bahwa mertuanya itu sudah pasrah dan jatuh ke pelukannya. Jari-jarinya merayap, menyibakkan daster dan membuka kancingnya satu per satu.

Sesak napasnya ketika menatap dua daging montok dan kenyal menyembul menantang dengan separuhnya masih terbungkus bra. Tubuh montok yang sudah pasrah itu direbahkannya, dia kembali memagut bibir yang tengah terengah-engah didera birahi yang terus merayap memuncak. Menghisap bibir bawahnya, menggigitnya, kemudian lidahnya menelusuri giginya dan rongga atas, lalu mencari-cari lidahnya hingga saling bertaut dan saling belit. Bu Ratna yang asalnya pasif, mulai balas menghisap. Terdengar suara decap-decap ramai ketika mereka mulai saling menghisap.

Tubuh Izal kini setengah menindih tubuh montok mertuanya, jari-jari salah satu tangannya tengah bergerilya, membelai dan menggaruk belahan dada yang montok luar biasa itu. Bra yang asalnya membungkus separuh dari sepasang buah dada tersebut sudah turun, menyangga isinya. Buah dada yang besar, dengan puting yang sudah mencuat keras. Dengan ujung jari telunjuknya, dia memutari area bulatan hitam di sekitar puting tersebut. Sesekali dengan dibantu jempolnya, memilin dan memelintir putingnya. Perlakuan tersebut membuat bahu Bu Ratna naik membuat buah dadanya makin membusung. Salah satu kaki Izal yang tadi mencemplak pinggul besar dan padat itu kini mengunci pahanya. Menggesek perlahan naik turun.

Membuat Bu Ratna menggelepar-gelepar persis ikan terdampar di daratan.

Matanya yang terpejam itu sesekali terbuka sambil menggigit bibir bawahnya ketika mulut dan lidah Izal kini menelusuri dagunya, turun ke leher, menghisap dan menjilatnya, bahkan kadang gigi atasnya dipakai untuk menggaruk. Meninggalkan bekas guratan merah.

Izal tidak ingin terburu-buru, dia ingin menikmati setiap momen yang diraihnya. Menikmati setiap jengkal dan setiap senti dari tubuh wanita pujaannya itu dengan seluruh hasratnya. Dalam saat seperti itu, sempat-sempatnya terpikir mempunyai penyesalan bahwa dia merasa kekurangan mulut dan tangan, sehingga tidak bisa menjelajahi seluruh tubuh montok itu dalam saat bersamaan.

Di saat dia sedang sibuk menikmati gumpalan mengkal buah dada montok mertuanya, jari-jarinya yang lain menuntaskan membuka kancing-kancing yang tersisa dan menyibakkan lebar-lebar daster tersebut.

Kedua lutut Bu Ratna sedikit tertekuk, dengan kedua paha gemuknya merapat, dari celana dalam yang tipis dan ketat itu, terbayang samar sebuah vaginanya tebal menggunuk dihiasi rambut-rambut halus dan tipis disekitarnya.

Jari-jari tadi menekuk buku-bukunya, dengan ujung-ujungnya menggaruk panjang dari perut sampai pusar, menggelitik sejenak di sana, cukup untuk membuat pinggang Bu Ratna melambung dan mendesah pendek.

Kedua telapak tangan perempuan yang tengah menggelepar-gelepar itu, meremas-remas seprai menahan kenikmatan dari setiap sentuhan dari menantunya itu.

Sesunggguhnya, ingin rasanya ia meremas rambut dari Izal, namun masih ada rasa malu-malu dihatinya yang membuatnya sedikit tersiksa.

Wajah Izal telah tenggelam dalam belahan daging kenyal dan empuk itu. Dibantu tangannya yang lain meremas-remas lembut, kadang meremasnya hingga putingnya mencuat. Saat mencuat itulah, mulutnya menyergap, menghisapnya keras-keras dan menggigit-gigit gemas. Sampai-sampai Bu Ratna tak tahan untuk melenguh tanpa disadarinya. Dan akhirnya, kedua tangannya tak tahan, pindah ke punggung pemuda itu, mencengkramnya dengan erat.

Jari-jari Izal yang menggaruk-garuk tadi kini sudah menyelinap ke balik celana dalam, bergerak ke samping, dan menarik turun, agak sulit karena sisi yang satunya lagi tertahan oleh pinggul bawah yang segera terangkat sedikit memberi kelonggaran. Sesaat kemudian, celana dalam itu sudah berada di lutut. Jari-jari itu terus bergerilya, namun tidak langsung menyerang tujuan utama, malah bergerak terus ke arah pantat besar, meremas dan terus menggaruk.

โ€œEnghhh ..., enghhh!โ€ Bu Ratna tak kuasa menahan erangannya.

Seumur-umur, ia tidak pernah merasakan gejolak berahi seperti sekarang ini. Karena perlakuan yang seperti Izal lakukan saat ini pun tidak pernah didapatnya dari Pak Mardi, suaminya.

โ€œAkh!โ€ Bu Ratna menjerit pendek, ketika terasa jari-jari itu menyelinap ke belahan pantatnya, menggaruk dan sedikit menusuk lubang anusnya. Otot-otot perutnya mengencang bereaksi. Cairan pelumas berahi mulai merembes dari kedua bibir tebal vaginanya. Kedua kakinya terasa terikat oleh celana dalamnya, dengan beberapa gerakan, akhirnya celana dalam itu itu pun terlempar ke bawah ranjang.

โ€œZaaalll,โ€ Bu Ratna yang sudah diamuk badai birahinya merengek pelan. Ia berharap Izal cepat menuntaskannya. Namun ketika ia melirik, ternyata pemuda itu masih mengenakan celana pendeknya. Gelegak birahi sudah mencapai ubun-ubunnya, membuatnya gelap mata, tangannya bergerak ke arah celana tersebut, menariknya sekaligus dengan celana dalamnya.

Bu Ratna menahan napasnya sedikit terbelalak, menatap sebuah tongkat besar, menggantung, mengacung, besar, kekar, panjang dan berotot dengan urat-uratnya menonjol saling melingkari batang perkasa tersebut. Ingin ia menyentuhnya, menggenggamnya dan meremasnya dengan gemas. Namun walau sedang di guncang badai berahi, ia tetap saja masih malu. Lagi pula ia tidak pernah menyentuh kelamin dari suaminya. setiap bersetubuh ia hanya berbaring, merenggangkan pahanya, dan membiarkan suaminya menggenjot sepuasnya sampai tuntas.

Namun tonggak besar itu sangat menggodanya, membuat dadanya naik turun dengan cepat demi menahan hasratnya itu.

Telapan tangan Bu Ratna hanya mencengkram pantat pemuda itu, yang satu tangannya segera menarik pergelangan tangan Bu Ratna, menuntunnya ke penisnya. Bu Ratna sedikit menahan, oleh rasa malu. Menahan tanpa tenaga, hingga tetap saja telapak tangannya sampai menyentuh penis berwarna coklat tersebut.

Berdebur hati perempuan itu ketika dengan hati-hati telapak tangannya menggenggam batang penis tersebut, terasa keras, panas dan berdenyut-denyut. Ia hanya menggenggam dengan hati bingung dan malu, sementara bibir-bibir vaginanya terasa makin gatal dan geli. Namun karena sudah merasa kepalang tanggung, jempolnya bergerak mengelus-elus kepala penis dengan helm besar itu. Ia merasakan cairan lengket merembes dari lubang penis itu.

โ€œUgh, enak, Bu!โ€ bisik Izal menghentikan sejenak kesibukannya. Menatap wajah mertuanya itu yang segera memejamkan mata dengan wajah makin merah, entah malu entah karena nafsu birahi.

Izal segera merubah posisi badannya, dia tidak ingin kehilangan rasa nikmat oleh elusan mertuanya itu kepada penisnya, maka dia memutar tubuhnya, dengan posisi mengangkangi wajah perempuan itu, sementara wajahnya sendiri menghadap ke sebuah gundukan besar yang membusung dengan dua bibir tebal yang sudah merembes cairan lengket berbau tajam. Bau khas dari perempuan yang sedang dilanda birahi.

Bu Ratna yang kembali membuka matanya, sangat terkejut hatinya ketika melihat penis besar itu menggantung tepat di depan wajahnya. Kadang kepalanya terantuk dahinya, menyentuh hidungnya, bahkan menekan bibirnya.

โ€œDasar pemuda nakal dan kurang ajar!โ€ hatinya berbisik malu. Tapi ia kini seperti mempunyai mainan baru demi menahan guncangan hasratnya agar segera disetubuhi. Batang yang hampir tidak bisa digenggamnya itu, kini ia mengelus atau mengocoknya perlahan-lahan, merasakan panas dan denyutan tanpa henti dari urat-urat yang melingkar di batang tersebut.

Sementara Izal, dengan ke dua tangannya, merenggangkan ke dua paha gemuk itu selebar-lebarnya. Sehingga dua bibir belahan vagina ibu mertuanya itu sedikit terkuak, membentuk sebuah celah sempit yang sudah sangat basah oleh lendir kewanitaannya. Pemuda itu dengan santai mengecup pangkal paha mertuanya, dan menggaruknya dengan menggunakan giginya.

โ€œEnghhh!โ€ Bu Ratna mengerang pendek dengan pinggul menegang ke atas, ketika merasakan ada elusan lembut dari jari-jari nakal menantunya itu.

Ke dua jari-jari Izal menguakkan lebih lebar vagina mertuanya, menelusurinya hingga sampai ke daging kecil yang basah sedang berdenyut-denyut. Dengan ujung jarinya dia menyentuh ujung tonjolan daging tersebut, memutarnya dan menggaruknya.

โ€œZaaalll,โ€ Bu Ratna merintih keras. Hampir saja ia menggigit kepala penis menantunya itu, demi menahan gelegak birahi panas di ubun-ubunnya. Kepalanya mulai terasa pusing menahan hasrat.

Dengan menggunakan lidahnya, Izal menjilat dan mengulum daging kecil itu, kegiatan sederhana, tapi bisa membuat pinggul Bu Ratna melonjak-lonjak liar tak terkendali. Dari lubang sempit kemerahan dan berbau tajam itu, merembes cairan kental yang segera dijilatnya dan direguknya. Terasa sedikit asin dan getir. Salah satu jarinya membantu di lubang lain, lubang anus. Menggaruk lubangnya dan menusuk-nusuknya.

โ€œIzaaal, amphuuun. Enghhsssh!โ€ erang Bu Ratna sambil menjengking, menggenggam keras-keras penis pemuda itu.

Dalam satu sentakan tiba-tiba, pinggul perempuan itu melambung. Menyemburkan cairan lengket dari dalam lubang vaginanya. Cairan lengket itu hampir memenuhi wajah Izal. Bau birahi menguar semakin tajam. Jelas bahwa Bu Ratna telah mencapai orgasme pertamanya.

Bu Ratna terkapar lunglai, napasnya memburu dengan cepat. Matanya terpejam dengan mulut tertutup rapat. Betapa nikmatnya menggapai puncak birahi itu, padahal pemuda itu belum sampai menyetubuhinya. Sungguh kenikmatan luar biasa, bukan kenikmatan semu seperti yang selama ini digapainya saat bersetubuh dengan suaminya.

Izal segera memutar posisi tubuhnya, tersenyum menatap wajah ibu mertuanya itu dengan penuh rasa cinta.

โ€œWajahmu!โ€ kata Bu Ratna ketika melihat wajah menantunya itu belepotan cairan vaginanya, malu hatinya.

Izal segera membuka kaosnya, ketika hendak melap mukanya, Bu Ratna segera menahannya, dengan dasternya ia yang melap wajah menantunya itu dengan sayang.

โ€œTerima kasih, Sayang,โ€ bisik Izal mengecup kening ibu mertuanya itu yang masih basah oleh keringat.

โ€œPelan-pelan ya, Nak,โ€ kata Bu Ratna lirih dengan kepasrahan sepenuhnya, ketika melihat menantunya itu menarik ke dua paha sehingga tertekuk lututnya. Kemudian direnggangkan dengan maksud badannya bisa masuk diantaranya.

Izal dengan pelan menjatuhkan tubuhnya dalam posisi menindih tubuh montok itu, ke dua jari-jarinya membelai lembut rambut mertuanya, mengecup kening kemudian pipi dan terakhir memagut bibir merah dan empuknya.

Mereka berpagutan dengan cepat, tangan Bu Ratna mengelus-elus punggung basah oleh keringat menantunya tersebut.

Pinggulnya bergerak-gerak seirama gesekan-gesekan batang penis Izal yang membelah bibir-bibir vagina gemuknya. Terdengar suara kecipak pelan dari gesekan dua kelamin berbeda jenis tersebut.

โ€œenghhh,โ€ desah Bu Ratna ketika birahinya kembali menggelora setelah sebelumnya sempat surut. Suara decap dari pagutan keduanya terdengar keras. Setelah puas berciuman, Izal segera bangun memposisikan dirinya dalam posisi bersimpuh.

Dua bibir tebal vagina mertuanya dikuak lebar oleh jari-jarinya, kemudian dia memposisikan helm besar penisnya di lubang vagina yang terlihat seperti mulut yang tengah mengap-mengap tersebut.

โ€œPelan-pelan, Nak,โ€ kata Bu Ratna sedikit cemas, jelas penis sebesar itu belum pernah memasuki lubang kewanitaannya. Penis suaminya sendiri jauh lebih kecil dibandingkan dengan penis itu.

โ€œTahan, Sayang!โ€ kata Izal sambil menekan perlahan.

โ€œOuwww!โ€ Bu Ratna menjerit kecil sambil menjengking. Matanya membeliak sambil menggigit bibir bawahnya kencang-kencang. Kedua tangannya mencengkram tangan Izal yang juga mencengkram ketat kedua payudaranya, entah diremas atau diperas. Yang jelas telah membuat ibu mertuanya itu menggeletar dan menggelepar.

Izal terus menekan, tidak memperdulikan jeritan-jeritan kecil ibu mertuanya itu. Dan,

โ€œPrrrt! Bleshhh!โ€

Akhirnya kepala penis itu berhasil menembus lubang vagina tersebut.

โ€œAkh!โ€ Bu Ratna hampir pingsan merasakan rasa sakit pada lubang vagina yang perlahan dimasuki batang besar berotot milik Izal. Terasa sesak sekali. Tekanannya sampai ke ulu hatinya ketika kepala dari penis tersebut terus membor sampai ke dasar rahimnya. Antara nikmat dan sakit bercampur. Mulut perempuan setengah baya itu meringis, ada air mata menetes dari sepasang matanya.

Izal menghela napas panjang, membiarkan penisnya tenggelam sepenuhnya ke dalam vagina gemuk tersebut. Dia merasakan denyutan keras dari dinding-dinding lunaknya. Denyutan yang nikmat dan lezat. Dan beberapa saat kemudian, dia menarik perlahan penisnya yang terasa dihisap kuat, sampai bibir vagina gemuk itu terlihat seperti memonyong, tidak merelakan batang perkasa itu keluar dari dalamnya.

Perlahan tapi pasti, Izal mulai menggenjot naik-turun, kadang sesekali memutar pinggulnya model membor.

Ubun-ubun Bu Ratna seperti berisi lava gunung berapi, menggelegak oleh birahi panas dari lezatnya batang penis menantunya itu yang mengaduk-ngaduk isi rahimnya. Sisi kepala penis itu menggaruk-garuk dinding-dindingnya, menimbulkan sensasi luar biasa yang belum pernah dirasakannya. Sensasi nikmat yang membuatnya seperti orang mabuk. Sepasang matanya kadang terbeliak hingga hanya terlihat putihnya saja saat Izal di sela genjotan konstannya sesekali menghentak dalam-dalam, membuat punggungnya melambung dan buah dada montok itu makin membusung besar. Kedua tangan perempuan itu singgah di dada bidang menantunya, meremas bahkan mencubit-cubit putingnya, membuat Izal meram-melek oleh dua kenikmatan. Pinggul besar Bu Ratna juga tidak pasif, mengimbangi irama genjotan menantunya itu dengan pengalaman yang sudah matang.

Di subuh yang dingin dan sedikit berkabut itu, keduanya sudah banjir keringat.

โ€œEnghsss, ughhh!โ€ Bu Ratna terus mengerang dan merintih. Lima belas menit berlalu dengan cepat. Izal menggenjot makin cepat dan makin dalam masih dalam posisi konvensional. Ke dua buah payudara ibu mertuanya sudah habis dicabik-cabik, digigit dan dikunyahnya. Bekas-bekasnya tampak seperti bekas kerokan, merah menyala. Basah mengkilat oleh air liur bercampur keringat.

โ€œZaaalll!โ€ mata Bu Ratna makin sayu, kedua pahanya menjepit pinggul menantunya itu. Tentulah ia akan mencapai puncak orgasmenya yang kedua. Sementara itu, genjotan Izal makin liar tak terkendali. Dengusan keras dan geraman demi geraman keluar dari mulutnya.

โ€œZaaalll, amphuuun!โ€ pinggul Bu Ratna menyentak ke atas, menyambut sentakan pantat Izal yang menekan kencang ke bawah. Menekan sedalam-dalamnya.

โ€œHrrrhhhshhh!โ€ Izal menggeram panjang. Batang penisnya serasa diremas dan dipilin.

Dua semburan lava panas menyembur tak tertampung oleh vagina gemuk tersebut. Dua cairan puncak birahi meleleh keluar dari sela-sela bibir tebal vagina.

โ€œHhhhsh!โ€ dengus Izal ambruk di atas tubuh montok mertuanya yang balas mendekapnya.

Keduanya terdiam sambil memejamkan mata, menikmati puncak kelezatan dari persetubuhan terlarang itu.

Penis Izal merasakan dinding-dinding vagina yang mencengkramnya itu terus berkedut-kedut seperti menghisap-hisap, ngilu benar rasanya, sementara Bu Ratna merasakan batang penis itu berdenyut-denyut tanpa berkeputusan. Keduanya mengalami sensasi yang tak pernah dialaminya. Bahkan Ratih, istrinya, tak pernah bisa berkedut seperti itu. Sungguh luar biasa perempuan ini, kata Izal merasa beruntung sekali.

Adzan shubuh terdengar dari langgar.

Izal menggulingkan tubuhnya dari atas mertuanya itu, lalu terdengar suara โ€˜plopโ€™ kecil ketika penisnya terlepas dari vagina yang segera melelehkan cairan kental yang luar biasa banyaknya.

Dalam deru napas yang masih memburu, terdengar isak tertahan dari Bu Ratna yang memalingkan wajahnya dari menantunya itu dan menarik selimut menutupi tubuhnya yang basah oleh keringat yang membanjir dari seluruh pori-pori kulitnya.

Pemuda itu segera menarik pipi mertuanya, menghadap ke dirinya, bulir-bulir air mata menetes.

โ€œKenapa menangis, Bu?โ€ tanyanya dengan lembut.

โ€œIbu menyesal. Ahhh, kenapa harus begini? Ibu merasa sangat bersalah sama Ratih, bagaimana ibu bisa bertemu muka dengan anak itu!โ€ isak Bu Ratna tersedu-sedu.

Izal menghela napas, menarik kepala mertuanya itu dan menyandarkan ke bahunya. Sementara dia memeluk erat tubuh montok itu.

โ€œTidak usah khawatir, Bu. Saya tidak akan pernah bosan untuk menyatakan bahwa saya mencintai ibu sepenuh hati!โ€ hiburnya.

โ€œCinta? Ibu tidak mengerti cinta, Zal. Ibu sudah terlalu tua untuk hal begituan. Lagipula, mana ibu bisa percaya, perempuan tua seperti ibu bisa kamu cinta. Bukankah Ratih lebih muda dan sangat cocok untuk kamu cintai? Atau kamu tidak mencintai Ratih?โ€ Bu Ratna menatap tajam.

โ€œSaya juga tidak mengerti kenapa saya bisa begitu dalam mencintai ibu, mungkin itu yang dikatakan orang, cinta itu buta dan tidak mengenal usia. Saya juga mencintai Ratih! Tapi itu cinta yang berbeda!โ€

โ€œCinta yang berbeda bagaimana maksudmu?โ€

โ€œEntahlah! Yang jelas cinta saya ke ibu lebih dalam, sehari tak bertemu rindunya luar biasa. Ibu sekarang mungkin lebih mengerti kenapa tiap hari saya sering ke rumah ibu, baik dengan Ratih atau sendiri dengan berbagai alasan!โ€ sahut Izal sedikit menyengir.

Bu Ratna terdiam. Itu benar. Baru ingat, menantunya itu tidak pernah absen bertandang ke rumahnya. Ia sering beradu tatapan dengan pemuda itu. Namun saat itu ia tidak pernah berpikiran macam-macam. Baru kali ini, saat ia mengingatnya, tatapan Izal sedikit berbeda dari tatapan biasa. Kilat matanya seperti mengandung sesuatu. Cinta!

โ€œOuhhh,โ€ tanpa sadar Bu Ratna mengeluh panjang sambil memejamkan mata.

โ€œSekarang bapak sudah tidak punya hak atas ibu. Jadi, maukah ibu menerima cinta saya?โ€ bisik Izal dengan tatapan penuh harap.

โ€œIbu, a-aku ...,โ€ Bu Ratna terlihat kebingungan, โ€œIni akan menyakiti Ratih, Zal. Ibu tidak bisa, bagaimana ibu bisa menggorbankan Ratih anak satu-satunya?โ€

โ€œTidak apa-apa, Bu! Ratih tetap akan saya sayangi, saya tidak akan merusak kebahagiaannya. Tapi saya juga berhak memiliki kebahagiaan dengan yang saya cintai, walau pun tidak terikat dalam pernikahan, tapi setidaknya saya bahagia bahwa yang saya cinta juga mencintai saya!โ€

โ€œAduhhh, ibu bingung. Tidak mengerti sama sekali!โ€ keluh Bu Ratna sambil menyembunyikan wajahnya ke dada menantunya itu.

โ€œTidak apa-apa, Bu. Pelan-pelan saja. Saya akan setia menunggu. Berada seperti ini sungguh saya merasa sangat bahagia sekali. Saya hanya ingin ibu merasa aman dan nyaman!โ€ bisik Izal sambil membelai rambut ibu mertuanya itu.

Mendapat perlakuan lembut dan pernyataan cinta dari pemuda segagah Izal, siapa perempuannya yang tidak akan luluh. Begitu juga dengan Bu Ratna, dalam pelukan pemuda itu, ia merasa kenyamanan dan rasa aman yang luar biasa, belum lagi sensasi membayangkan hubungan terlarang tersebut, sungguh membuat dirinya meremang seluruh tubuhnya. Ia makin merapatkan tubuhnya ke tubuh Izal. Hingga beberapa saat kemudian terdengar dengkuran halus dari pemuda itu. Jelas dia sudah tertidur lelap dengan senyum bahagia tersembul di mulutnya.

Melihat senyum tersebut, Bu Ratna tanpa sadar ikut tersenyum. Bahagia benar perempuan yang mendapat cinta pemuda itu, dari tanggung jawab serta besarnya cinta dan pengorbanannya. Hanya perempuan buta dan bodoh yang tidak bisa melihat itu semua. Tapi Ratih?

โ€œDuh Gustiii!โ€ Bu Ratna mengeluh dalam hatinya. Pemuda yang memeluknya ini adalah suami dari putri satu-satunya. Mana bisa ia merebutnya? Ia menyayangi putrinya itu sepenuh hati. Mana bisa membuatnya sedih bahkan mungkin langsung membencinya kalau tahu kejadian ini.

Sesungguhnya, dalam hati yang paling dalam. Diam-diam sudah tersemai benih-benih cinta kepada menantunya itu, benih yang dimulai dari rasa terima kasih karena telah menebusnya dari kehinaan yang akan lebih besar apabila ia jadi dipakai untuk membayar hutang suaminya. kemudian kata-kata lembut penuh cintanya, dan yang terakhir adalah kenikmatan luar biasa dari kehebatannya di atas ranjang.

Saking bingungnya, ingin sekali rasanya ia menjerit-jerit untuk menyatakan kebingungannya. Ia baru saja merasakan apa itu cinta, namun cinta yang tentu akan menyiksanya bahkan menyakiti anaknya. Untung Ratna seperti yangg dibilangnya di telepon semalam, hari ini tidak akan datang karena harus menemani ayahnya Izal melihat-lihat villa yang diminatinya. Kalau Ratih datang, mana sanggup ia bertemu muka dengannya, bahkan kemungkinan besar dia akan sembunyi!

โ€œAmpuuun, Gustiii!โ€ hanya itu teriakan yang sanggup ia nyatakan di dalam hatinya.

Ingin rasanya ia menjauhkan badannya dari Izal, namun rasa nyaman dan aman merasa terlindungi dalam pelukannya sama sekali tidak ingin dilepasnya. Dan saat itu badannya terasa luluh lantak, lemas dan capek sekali. Hingga akhirnya perempuan yang tengah dilanda asmara murka itu ikut terlelap dalam dekapan menantunya yang perkasa.

Izal terbangun pukul 10 siang, itu pun dibangunkan oleh dering telepon dari pejaga tokonya yang mengabarkan bahwa mobil barang sudah tiba di gudang. Dia segera menginstruksikan bahwa barang segera dibongkar saja di gudang, dan mengatakan bahwa dia akan datang membawa serta uang pembayaran barang tersebut.

Sambil tersenyum-senyum bahagia, pemuda itu keluar kamar dengan hanya mengenakan celana pendek, dilihatnya ibu mertuanya sedang di dapur memasak sesuatu.

Dengan mengendap-endap, dia memeluk tiba-tiba tubuh montok itu yang segera menjerit kaget, hampir saja batang alat menggoreng melayang menggetok kepalanya.

โ€œIzal! Gila kamu, jangaaan!โ€ Bu Ratna dengan seruan tertahan memcoba memberontak dari dekapan menantunya itu.

โ€œDuh, hampir saja saya jadi Sangkuriang, digetok serok!โ€ bisik Izal sambil mencium tengkuk gemuk itu.

โ€œJangan, Zal. Lepaskan! Bagaimana kalau ada tetangga?โ€ Bu Ratna menggelinjang ketika tangan Izal mengelus dan meremas buah dadanya.

โ€œMaaf, Ibu. Saya tidak tahan. Soalnya hanya ingin meyakinkan diri bahwa yang shubuh luar biasa itu bukan hanya sekedar mimpi basah!โ€

โ€œHush! Kamu itu ah ...,โ€ Bu Ratna tersipu malu, matanya mengerjap dengan pipi merona, dekiknya yang manis terlihat. Yang dengan gemas segera dicium.

โ€œBau ih! Mandi dulu sana, bukannya ada barang yang mau dibongkar?โ€

โ€œBongkar barang ini saja deh!โ€ sahut Izal sambil meremas pantat besar nan padat sang mertua yang segera mengacung-acungkan kembali gagang pengggorengan.

โ€œPergi mandi ga?โ€ ancamnya tapi tetap sambil tersenyum geli. Entah kenapa hatinya senang dengan main-mainnya Izal barusan.

โ€œIya dehhh, iyaaa. Tapi katakan dulu ibu cinta pada saya,โ€ kata Izal sambil mengedipkan mata.

โ€œTidak! Tidak! Sana pergi mandi! Dasar kurang ajar!โ€ Bu Ratna memalingkan wajahnya yang memerah sambil menyembunyikan senyumnya.

โ€œDuhhh, teganya!โ€ Izal memasang muka sedih dan merana. Namun jadi terlihat sangat lucu. Bu Ratna sampai terkikik geli. Tidak bisa menahan tawanya.

โ€œKamu itu ya ..., hmffhhh!โ€ tiba-tiba Izal merangkulnya lalu memagutnya.

โ€œSs-sudah, Zal. Jangannn! Jangan mengambil resiko!โ€ kata Bu Ratna dengan suara sedih.

โ€œBaiklah, Kekasihku sayang!โ€ kata Izal kemudian sambil menggigit cuping telinga mertuanya itu.



Sebelum berangkat kembali ke kota, Izal dilayani makan entah termasuk sarapan atau makan siang, yang jelas, masakan mertuanya saat itu terasa sangat lezat dan enak.

Sesungguhnya, dia sangat segan kembali ke kota. Kalau mengikuti keinginan hatinya, inginnya dia seharian ini berduaan dan bermesraan terus dengan pujaannya itu. Tapi Bu Ratna jelas menolak mentah-mentah. Ia tidak ingin menanggung resiko. Bisa jadi tetangga atau bahkan Ratih bisa saja datang ke rumahnya.



Sehabis dzuhur, Bu Ratna tiduran dengan santai di ruang tengah rumahnya. Selangkangannya masih terasa seperti terganjal sesuatu. Mengingat peristiwa serangan fajar dari menantunya itu, diam-diam hatinya berdebar-debar, pipinya kembali memerah. Ia kemudian memejamkan mata berusaha tidak mengingatnya, namun batang penis perkasa itu terus menganggunya disertai ingatan akan nikmatnya meraih orgasme yang sangat jarang digapainya. Tiba-tiba hapenya berdering. Dengan heran Bu Ratna mengambil hape tersebut, melihat nama yang memanggil.

โ€œIzal?โ€ desisnya heran. Ternyata panggilan video call.

Dengan ragu-ragu, ia membuka panggilan video call itu setelah sebelumnya tanpa sadar ia merapihkan penampilannya.

โ€œHallo, kekasihku tercinta!โ€ tampak Izal dalam tampilan layar hapenya tersenyum sambil elambaikan tangan.

โ€œHaduhhh, kamu ini ya!โ€ balas Bu Ratna tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

โ€œSaya kangen. Rinduuu!โ€ terdengar Izal seperti berteriak di sebrang sana.

โ€œHush! Jangan teriak-teriak begitu ah, malu!โ€ sahut Bu Ratna dengan wajah agak pucat.

โ€œHa ha ha, iya, iya. Lagi apa kesayangan saya sekarang?โ€

โ€œLagi tiduran, capek!โ€ jawab Bu Ratna yang kembali rebahan.

โ€œDuhhh, gedenya!โ€ mata di layar hape itu mendadak membesar terbelalak.

โ€œApaan sih?โ€ Bu Ratna tertawa geli.

โ€œItu!โ€ Izal menunjuk ke kedua dadanya.

โ€œDasar kurang ajar!โ€ Bu Ratna meleletkan lidahnya.

โ€œMau lihat dooong, sedikiiit aja, obat rindu!โ€ Izal mengedip-ngedipkan mata.

Bu Ratna segera menggeleng-gelengkan kepalanya, โ€œTidak! Tidak mau! Dasarrr!โ€ geramnya dengan gemas.

โ€œSedikiiit aja.โ€

โ€œTidak mauuu!โ€ Bu Ratna balas memonyongkan bibirnya. Lalu kembali tertawa geli.

โ€œKalau tidak, sekarang juga saya ke situ nih, biar saya buka sendiri!โ€

โ€œJangaaan! Haduhhh, kamu ini nih!โ€ gemas benar rupanya ia. Segera bangkit, celingak-celinguk mengawasi ke depan dengan khawatir.

โ€œAyooo dooong!โ€ terdengar seruan dari hape.

Dengan hati berdebar-debar keras, Bu Ratna menarik kaos yang dipakainya, memperlihatkan sepasang payudaranya yang menyembul dari branya yang berwarna hitam. Dengan cepat kaus itu kembali diturunkan.

โ€œBuka atuh behanya, sayaaang!โ€ kata Izal kurang puas.

โ€œTidak mau! Tidak! Sudah yaaa!โ€

โ€œYa sudah, saya menyusul ke sana deh!โ€ ancam Izal sambil nyengir.

โ€œHaduuuh, awas kamu ya!โ€ Bu Ratna melotot kesal.

โ€œDuhhh, cantiknya kesayanganku!โ€ Izal malah makin mengggoda. Godaan yang berhasil. Disebut cinta dan kesayangan terus apalagi disebut cantik, mau tidak mau hatinya merebak berbunga-bunga.

Tanpa berkata-kata, dengan wajah merah menahan malu, Bu Ratna menarik ke atas kaus beserta behanya sekaligus. Dua buah daging kenyal besar dan montok terayun menantang, namun hanya sekejap, ia segera menurunkannya kembali sambil menutup telepon.

Napasnya terengah-engah. Menantunya itu benar-benar nakal, nakal dan membuatnya tiba-tiba terasa kangen akan pelukan serta kata-kata manisnya.

Bu Ratna tergeletak sambil meredakan napasnya yang memburu.

Gila! Gilaaa! Mana bisa aku jatuh cinta kepada menantuku sendiri? Duh, ampuni hamba, Gustiii.



Menjelang isya, terdengar derum motor masuk ke halaman rumahnya. Bu Ratna segera menuju ke ruang depan menengok. Ternyata Izal yang datang sambil menenteng bungkusan martabak.

โ€œAssalamuโ€™alaikum,โ€ katanya begitu masuk ke dalam rumah.

โ€œWaโ€™alaikum salam, kenapa kamu tidak pulang ke rumah dulu, Zal? Kasihan Ratih tentu menunggu, sudah hampir dua hari kamu belum pulang.โ€ Sambut Bu Ratna dengan pandangan tajam.

โ€œIya, Bu. Ini juga kan mau pulang, karena kelewatan sekalian saja mampir dulu!โ€ ujar Izal mendekat hendak memeluk.

โ€œJangan, Zal. Ibu mohon, pulanglah dulu. Kapan-kapan kan bisa. Jangan membuat ibu makin merasa bersalah. Pulanglah dulu, Nak!โ€ kata Bu Ratna bersurut mundur.

โ€œBaiklah, Bu. Saya tidak tahan, selalu kangen dan rindu!โ€

โ€œSudah ah, jangan gombal terus. Pulang dulu ya, Zal! Kasihan Ratih!โ€™

โ€œIya, Bu. Baiklah, baiklah. Tapi sebelum saya pulang, katakan dulu ibu menerima cinta saya. Dan katakan juga ibu cinta saya, bagaimana?โ€ desak Izal.

โ€œCinta mana bisa dipaksakan, Zal. Tolong beri waktu ibu. Ibu mohon!โ€

Izal menghela napas menatap Bu Ratna dengan wajah sedih.

โ€œBeri waktu ibu, Zal. Sekarang pulanglah dulu ya!โ€ kata Bu Ratna memalingkan wajahnya. Mana ia tega melihat kesedihan dari pemuda yang kini mampu menyemai benih-benih asmara di hatinya. Tapi dengan kematangannya sebagai perempuan yang sudah dewasa, ia tentu bisa menyembunyikan semua itu.

โ€œPulanglah dulu, Zal. Kapan-kapan kan kita pasti bisa bertemu!โ€ katanya dengan menetapkan hati.

โ€œBaiklah, Bu! Saya pamit! Assalamuโ€™alaikum!โ€ kata Izal tanpa semangat. Dengan tubuh lunglai, dia keluar rumah.

Bu Ratna mengantar dengan tatapan yang mengandung sejuta perasaan. Kalau menuruti kemauannya, ingin ia berlari, menarik kembali pemuda itu ke dalam rumahnya, lalu tenggelam dalam pelukan hangatnya yang selalu membuatnya nyaman dan merasa aman. Tapi ia tidak boleh egois, Izal milik Ratih, anaknya! Kata hati Bu Ratna mengeraskan hati.

Oo0oo

Sesampainya di rumah, di garasi terlihat mobil Pajero Sport milik ayahnya. Dengan langkah lunglai Izal memarkir motor pinjamannya di samping mobil tersebut. Lalu dia menuju pintu garasi bukan pintu depan, pintu yang menuju ke dapur, karena keinginan pertamanya adalah minum air dingin dari kulkas.

Begitu masuk, dia mendengar isak tertahan dari ruang depan. Dengan kening berkerut, dia membatalkan keinginan minumnya, melangkah perlahan menuju ruang tengah, di mana suara isak tangis itu berasal. Sambil mengendap-endap menyusuri dinding, agar bayangan tubuhnya dari lampu dapur tidak terlihat dari ruangaan tengah. Dia mengintip.

Napasnya terhenti seketika.



Bersambung ke BAGIAN II

Note :
Walau pun niatnya cerita pendek. Ternyata panjang juga... haduhhh.
Salam semprot, selamat bermalam minggu
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd