Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Pendekar Naga Mas

Bimabet
Cau-ji mengira kakek itu tidak senang hati, baru saja dia akan membeberkan semua kejadian yang dialaminya tadi, terdengar raja hewan menukas dengan suara lirih: "Tak usah banyak bicara lagi, yaya sudah tahu sekarang."

"Yaya, kau benar-benar sudah tahu?" Cau-ji keheranan.
Raja hewan manggut-manggut.
"Sekarang kita tak usah membicarakan persoalan ini lagi, Jin-ji bisa terluka pasti karena kena getaran pelindung badanmu, ayo kita selamatkan dulu cicimu itu."

"Yaya, Cau-ji benar-benar bisa menolong enci Jin?" sambil berjalan Cau-ji bertanya.

Raja hewan mengangguk tanpa menjawab.
Padahal dia sendiripun tidak yakin akan hal itu.
Ketika mereka berdua masuk ke dalam ruangan, terdengar Si Ciu-ing sedang berkata sambil terisak: "Maafkan aku enci Ti!"
Rupanya Ong Sam-kongcu dan Bwe Si-jin secara bergantian telah memeriksa denyut nadi anak Jin, tapi hasilnya sama saja, napasnya lemah dan peredaran darahnya tersumbat.

Sambil berusaha mengendalikan rasa sedih di hatinya, Go Hoa-ti berkata: "Enci Ing tak usah sedih, selama Jin-ji masih bernapas, berarti masih ada peluang untuk menyembuhkan."

Ketika melihat Cau-ji muncul dalam ruangan, Ong Sam-kongcu segera menghardik dengan suara berat "Cau-ji, kemari, ayo berlutut di hadapan paman Bwe."

"Saudara Ong, kau tak usah menyiksa Cau-ji lagi," cegah Bwe SHin.

Dengan serius Ong Sam-kongcu menggeleng, kepada putranya kembali ia berkata: "Cau-ji, mulai hari ini kau dan anak Jin adalah suami istri, mengerti?"

Cau-ji merasa seperti mengerti, seperti juga tidak, tapi ia tak berani membantah perintah bapaknya, maka sambil mengangguk ujarnya: "Ayah, Cau ji masih belum mengerti, tapi Cau-ji akan mentaati perintah ayah."

Maka sesuai dengan petunjuk Ong Sam-kongcu, Cau-ji pun segera menjalankan penghormatan besar di hadapan Bwe Si-jin serta Go Hoa-ti.

Mendadak terdengar Bwe Si-jin berseru sambil tertawa tergelak: "Hahaha ...saudara Ong, ada tidak mertua yang menghantar menantunya masuk kamar pengantin?"

Jangankan Ong Sam-kongcu tidak paham, orang yang hadir di situ pun tak ada yang mengerti maksud perkataan itu.

Sambil membopong Jin-ji dari atas meja, kembali Bwe Si-jin berseru: "Pengantin lelaki, ayo ikuti mertuamu masuk kamar."
Habis berkata sambil tertawa terbahak-bahak dia berjalan menuju pesanggrahan Ti-wan.

Dengan kepala tertunduk dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun Cau-ji mengintil di belakangnya.

Semua orang yang hadir dalam ruangan cuma bisa saling berpandangan, tak seorangpun yang tahu apa gerangan yang terjadi.

Sementara itu dari dalam kamar pesanggrahan Ti-wan terdengar Bwe Si-jin berseru lagi: "Pengantin pria, ayo cepatan sedikit, jangan malu-malu."

Ketika Cau-ji masuk ke dalam kamar, ia saksikan Bwe Si-jin telah melucuti pakaian yang dikenakan Jin-ji hingga tinggal kutangnya yang berwarna biru, tampak gadis itu berbaring tenang di atas ranjang.

Melihat keadaan tersebut, Cau-ji segera terbayang kembali adegan syurnya dengan Su Gi-gi tempo hari, berubah hebat paras mukanya bahkan badannya ikut gemetar keras.

Bwe Si-jin melirik pemuda itu sekejap, kemudian katanya lagi: "Cau-ji, masih ingat ilmu Kui-goan-sinkang yang pernah paman ajarkan kepadamu?"

Cau-ji mengangguk.

"Kalau begitu coba berlatihlah satu kali di hadapan paman."

Cau-ji segera duduk bersila dan mulai mengatur pernapasan, tak lama kemudian tampak sebuah lapisan cahaya kuning menyelimuti seluruh tubuhnya.

Bwe Si-jin tertegun setelah menyaksikan kejadian itu, pikirnya: "Tak aneh kalau Jin-ji terluka parah meski jalan darahnya tertotok, kelihatannya dia mengalami kemajuan yang luar biasa pesatnya dalam beberapa hari terakhir...."

Bwe Si-jin berpikir sejenak, kemudian dia keluar dari kamar dan kembali dengan membawa dua batang pohon yang panjangnya berapa depa.

Terdengar Bwe Si-jin berkata lagi: "Cau-ji, coba perhatikan dua batang ranting pohon ini, nanti gunakanlah ranting itu untuk menotok jalan darah Pek-hwehiat dan Tan-tiam di tubuh Jin-ji.

"Anak Cau, asal kau salurkan tenaga dalammu ke jalan darah Pek-hwe-hiat di tubuh Jin-ji. lalu menggunakan Kui-goan-sinkang mengalirkan kembali tenaga Jin-ji yang ada di Tan-tiam balik ke tubuhmu, maka dua belas putaran kemudian dia akan segar kembali"

Mendengar itu Cau-ji segera menghembuskan napas lega. la terima ranting pohon itu, duduk di tepi ranjang, menutul jalan darah Pekhwe-hiat dan Tan-tiam di tubuh Jin-ji, kemudian mulai menyalurkan hawa murninya.

"Cau-ji, dorong secara perlahan-lahan, yang penting harus beraturan dan tidak putus," perintah Bwe Si-jin.

Cau-ji manggut-manggut, dia mulai mengerahkan tenaga dalamnya ke dalam lengan kiri.

Dengan cepat ia temukan jalan darah Pek hwe-hiat di tubuh enci Jinnya seperti tersumbat oleh sesuatu, apa mau dikata pamannya berpesan agar dia tidak terburu napsu, maka sambil menahan sabar pelan-pelan ia dorong tenaga dalamnya ke tubuh gadis itu.

Dua jam telah berlalu tanpa terasa, di bawah pengawasan Ong Sam-kongcu sekalian akhirnya Cau ji dapat menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh gadis itu.

Ong Bu-jin yang selama ini jatuh pingsan akhirnya dapat menghembuskan napas panjang dan membuka matanya kembali.

Semua orang menyambut keberhasilan ini dengan riang gembira.

"Anak Jin, jangan bicara dulu," bisik Si Ciu-ing lembut.

"Bibi, mana adik Cau?" tanya Ong Bu-jin lirih.

"Coba lihat sendiri, siapa yang telah selamatkan jiwamu?"

Jin-ji menoleh ke samping, melihat adik Cau nya sedang mengobati lukanya, dengan lemah bisiknya lagi: "Adik Cau, cici telah bersalah kepadamu..."

Belum habis berkata, napasnya sudah tersengal-sengal.

Cau-ji jadi gugup, ia segera membuang ranting pohon itu, memeluknya dan mencium bibirnya sembari menyalurkan tenaga dalam.

Siapa sangka lantaran kelewat emosi, tenaga dalamnya sama sekali tak tersalurkan keluar, dalam gugup bercampur panik Cau-ji segera menarik lepas kutang yang dikenakan gadis itu.

Sepasang payudaranya yang putih dan montok segera muncul di hadapan orang banyak, suasana pun jadi gaduh.

"Cau-ji, kau..."hardik Ong Sam-kongcu.

Tapi sebelum ia lanjutkan bentakannya, dengan wajah serius Bwe Si-jin telah menimpali: "Jangan emosi dulu Ong-heng, tadi Jin-ji kelewat banyak bicara ditambah lagi emosinya labil, sekarang keadaannya sangat berbahaya."

"Aku rasa tindakan yang akan dilakukan Cau-ji saat ini adalah menggunakan ilmu pengobatan Im-yang-ho-hap-tok-ki-liau-hoat (perpaduan positip dan negatip), sistim pengobatan ini sangat berbahaya, salah-salah bisa mencabut nyawa Jin-ji. jadi aku harap semua orang mau bertindak sebagai pelindung"

Bicara sampai di situ ia segera maju mendekat dengan wajah serius.
Ong Sam-kongcu segera berpaling ke arah Si Ciu-ing, katanya serius: "Adik Ing, keluarga Ong mempunyai tiga belas orang putra, tapi Bwe-heng dan adik Ti cuma memiliki Jin-ji seorang, kau mesti membantunya dengan bersungguhsungguh."

Habis berkata bersama si raja hewan segera keluar dari ruangan.

Dengan air mata berlinang dan tangan gemetar Si Ciu-ing serta Go Hoa-ti segera membantu Cau-ji dan Jin-ji melucuti semua pakaian yang mereka kenakan Go Hoa-ti mengambil sebuah bantal dan diletakkan di bawah pinggul Jin-ji, lalu pelan-pelan dia pentang lebar sepasang pahanya membiarkan "lubang singa" dengan bulu hitamnya yang masih sedikit itu terbentang lebar.

"Enci Ti, kali ini Jin-ji harus menderita," bisik Si Ciu-ing lirih.

"Kita tak perlu merisaukan persoalan ini," tukas Go Hoa-ti serius, "bagaimana pun mereka sudah menjadi suami istri, siapa tahu selewatnya kejadian ini hubungan mereka malah bertambah mesra."

Dengan penuh rasa terima kasih Si Ciu-ing mengangguk, katanya kemudian: "Cau-ji, ayo naik!"

Tadi Cau-ji mengambil keputusan untuk menggunakan cara tersebut, karena secara tiba-tiba teringat olehnya kalau tenaga dalam yang dimilikinya bertambah pesat setelah Su Gi-gi "kencing" di atas barang miliknya.

Oleh sebab itu dia putuskan untuk mencoba dengan cara yang sama.
Dalam waktu singkat Cau-ji sudah menindih di atas badan Jin-ji, karena punya hasrat ke situ. otomatis si "ular berbulu"nya dengan cepat menggelembung besar dan tegak lurus, tak lama kemudian barangnya jadi tegang sekali dan mencapai kepanjangan delapan inci dan besar satu inci.

Go Hoa-ti tidak menyangka Cau-ji yang masih berusia tiga belas tahun ternyata memiliki "barang" yang besarnya sudah mencapai setengah dari milik Bwe Si jin, bila barang itu berkembang terus mengikuti perkembangan tubuhnya, entah akhirnya bisa mencapai berapa besar?

Dua belas tusuk konde emas yang menyaksikan adegan itu ikut berdebar debar hatinya, mereka pun sangat kagum dengan ukuran barang milik Cau-ji yang luar biasa itu.

"Waah, besar amat barangnya," demikian mereka berpikir, "milik bapaknya saja tidak segede itu, di kemudian hari entah berapa banyak gadis yang bakal keranjingan dengan barang miliknya"

Go Hoa-ti cukup berpengalaman dengan sosis ukuran "king size", jadi dia pun tahu bagaimana harus menghadapinya, dengan suara lirih bisiknya: "Cici sekalian, tolong dibantu melumuri barang milik Cau-ji dengan air liur, agar sewaktu masuk nanti barangnya lebih licin!"

Sembari berkata, dia pun menggunakan air liur sendiri membasahi sekitar lubang surga milik Jin-ji dengan sangat berhati-hati.

Ketika barang ukuran "king size" milik Cau-ji sudah basah dilumuri air liur, Si Ciu-ing pun memberi perintah: "Ayo dimulai Cau-ji, tapi harus perlahan"

Cau-ji menurut, pelan-pelan dia masukkan barangnya ke dalam lubang surge milik gadis itu.

Ketika dilihatnya tangan Jin-ji mulai gemetar keras seperti menahan rasa sakit, kembali Si Ciu-ing berbisik: "Perlahan ... perlahan lagi, yang halus, yang pelan ... nah, sekarang masukkan sedikit demi sedikit... yaa ... jangan dipaksakan, perlahan saja ...."

Sembari menciumi bibir Jin-ji, pelan-pelan Cau-ji masukkan barang miliknya ke dalam lubang surga milik Jin-ji, karena mesti berhati-hati maka tak lama kemudian dia sudah bermandikan keringat.

Tapi untung semuanya berjalan lancar, tak selang berapa saat kemudian seluruh barang milik Cau-ji yang berukuran besar itu sudah terbenam di dalam liang surga gadis itu.

Melihat semuanya berjalan lancar, para orang dewasa pun menghembuskan napas lega

Pendidikan yang diberikan sang ibu memang luar biasa sekali!

Cau-ji sendiripun merasa lega, dia menarik napas dan bermaksud "kencing", tapi dia pun tak tahu bagai mana caranya melakukan hal tersebut, kalau harus "kencing", apa yang mesti dilakukan?

Karena kuatir kembali dia ciumi gadis itu bertubi-tubi.

Melihat putranya panik, Si Ciu-ing segera mengerti apa yang telah terjadi, maka dia pun berbisik: "Cau ji agar berhasil kencing, kau mesti mulai menggoyangkan badanmu!"
Tiba-tiba Cau-ji terbayang kembali dengan gerakan aneh yang dilakukan Su Gi-gi sebelum akhimya bisa "kencing", dalam girangnya dia pun mulai menggoyangkan badannya....

Saking kerasnya goyangan itu, Jin-ji kontan kesakitan setengah mati, bukan saja badannya gemetar keras, peluh dingin jatuh bercucuran membasahi wajahnya.

"Cau-ji, cepat berhenti!" bentak Si Ciu-ing, sambil berkata dia segera memegang pinggul bocah itu dan menahannya.

"Ibu, kenapa Cau-ji mesti berhenti?" tanya pemuda itu keheranan.

"Cau-ji, kau tak boleh ngawur, coba lihat, Jin-ji jadi sangat tersiksa, kalau mau bergoyang, kau mesti bergoyang secara lembut dan perlahan, ayo sekarang di mulai... ikuti petunjukku ...."

Melihat gadis itu pucat pias sambil melelehkan air mata, Cau-ji tahu, nona itu pasti kesakitan, bisiknya ke mudian: "Cici, aku...."

Setelah berhenti sejenak, rasa sakit yang dialami Jin-ji sudah banyak berkurang, dia segera pejamkan matanya dan menjawab malu: "Adik Cau, aku tidak apa-apa...."

Begitulah, di bawah bimbingan Si Ciu-ing yang memberi komando, Cau-ji mulai naik turunkan badannya dengan penuh kelembutan....

Percikan darah perawan mulai meleleh keluar dan membasahi seprei pembaringan.

Tak lama kemudian napas Jin-ji mulai tersengal-sengkal, badannya juga mulai ikut bergoyang mengikuti gerakan tubuh pemuda itu.

Si Ciu-ing tahu, kedua orang bocah itu sudah mendekati puncak kenikmatan, maka kembali perintahnya: "Cau-ji, percepat gerakanmu, yaa... makin cepat...makin cepat lagi

Waktu itu Cau-ji sudah merasakan barang miliknya makin geli dan gatal, semakin cepat gerakan dilakukan, ia merasa barang miliknya semakin enak dan nikmat sekali, maka dia pun percepat gerak naik turunnya.

Jin-ji jauh lebih matang dari saudara lainnya, dia tentu saja tahu apa yang sedang mereka lakukan sekarang di hadapan orang banyak, sekalipun mereka adalah orang tua sendiri, tak urung rasa malu tetap menyelimuti perasaan hatinya, maka walaupun sudah terangsang hebat ia berusaha untuk menahannya.

Go Hoa-ti cukup berpengalaman dalam masalah ini, tentu saja dia pun mengerti jalan pikiran putrinya, diam-diam ia totok jalan darah tertawa di tubuh gadis itu kemudian memberi tanda kepada rekan-rekannya.

Tak lama kemudian terdengarlah suara tertawa serta rintihan dari Jin-ji yang membuat suasana semakin terangsang....

Cau-ji mengira cicinya sangat senang dengan gerak cepatnya, maka dia pun mempercepat gerakan tubuhnya.

Setengah perminuman teh kemudian tampak bulu kuduk Jin-ji pada bangun berdiri, tubuhnya mulai gemetar keras.

Berubah hebat paras muka Go Hoa-ti, buru-buru dia tepuk bebas jalan darah tertawanya.

Cau-ji tidak tahu adanya perubahan itu, dia masih melanjutkan genjotan badannya....

"Cau-ji, sudah keluar belum?" tanya Si Ciu-ing tiba-tiba.

"Ibu, Cau Ji tak bisa kencing, bagaimana ini?"

Si Ciu-ing termenung berpikir sejenak, dia tahu bila Cau-ji dibiarkan menerjang terus lama kelamaan Jin-ji bakal mati, maka diapun berkata "Cau-ji, cepat dikencingkan, asal kau sudah kencing, Jin ji pasti akan sehat kembali."

"Ya betul, asal dia tidur sejenak maka semuanya akan beres."

"Cau-ji, jangan salahkan ibu." Tiba-tiba Si Ciu-ing berbisik dengan air mata berlinang, tiba-tiba secepat kilat dia totok jalan darah Ciok-cing hiat di tubuh Ciau Ji, jalan darah ini mengendalikan saluran cairan mani di tubuh kaum lelaki.

"Jangan!" pekik Go Hoa-ti sambil mencengkram pergelangan tangannya.

Pek Lan-hoa ikut bergerak, secepat kilat ia totok jalan darah kaku di tubuhnya.

"Enci Ing, kau tak boleh berbuat begitu," seru Goa Hoa-ti dengan air mata berlinang.

"Enci Ti, kau sudah mendengar perintah dari engkoh Huan bukan," kata Si Ciu-ing tegas, "kita masih punya dua belas orang anak lelaki."

Sambil berkata ia tepuk jalan darah Ciok-cing hiat di tubuh bocah itu.

Cau-ji segera mendengus tertahan, badannya gemetar keras, cairan mani segera menyembur keluar berulang kali, dengan lemas tubuhnya segera tergeletak di atas badan Jin-ji.

"Cau-ji!" seru Si Ciu-ing sedih, dia segera membopong tubuh putranya.

"Enci Ing, kami terlalu banyak berhutang kepada kalian," keluh Go Hoa-ti sembari memeluknya.

"Maaf cici Ti, aku harus pergi duluan," kata Si Ciu-ing, dengan langkah sempoyongan dia segera menerjang keluar dari ruangan.

"Cau-ji...." kembali pekiknya keras.

Pekikan keras yang menyayat hati itu kontan membelah keheningan fajar yang baru menyingsing.

Ong Sam-kongcu yang mendengar teriakan itu tersentak kaget, paras mukanya pucat pias bagai mayat, untuk sesaat dia tertegun dan tak mampu berbuat apa-apa.

Sebelas orang tusuk konde lainnya ikut melelehkan air mata, melihat cairan mani masih saja menyembur keluar dari barang milik Cau-ji, mereka serentak berlarian mengikuti di belakangnya.

Tak sampai setengah jam kemudian, berita duka ini sudah menyebar ke seluruh pesanggrahan, semua orang tenggelam dalam kesedihan yang luar biasa.

Benarkah Cau-ji, si pendekar muda kita tewas karena cairan maninya menyembur keluar terus menerus?
 
Tenaga sakti menggetarkan jagad.

Pesanggrahan Hay-thian-it-si (samudra dan langit satu pandangan) adalah tempat tinggal Ong Sam-kongcu, Lelaki paling ganteng di jagad saat itu.

Suasana pesanggrahan yang selalu diliputi kegembiraan, suasana yang biasanya dipenuhi bocah yang bercanda sambil bermain kejar-kejaran, hari ini justru diliputi awan mendung yang gelap.

Semua orang merasa sedih, semua orang merasa berduka.
Bahkan si Raja hewan Oh It-siau yang sudah terhitung kelas 'kakek' pun tak dapat menahan rasa pedihnya, ia berdiri di depan pintu dengan air mata bercucuran.

Semua orang merasa sedih karena seorang bocah yang baru berusia tiga belas tahun, Ong Bu-cau tak mampu mengendalikan semburan air maninya setelah melakukan hubungan badan untuk pertama kalinya.

Sebagaimana diketahui, setelah jalan darah kaku di tubuh Cau-ji ditotok oleh ibunya, semburan air mani pun segera menyembur keluar dengan derasnya membasahi seluruh liang senggama Jin-ji.

Semenjak diurut oleh Cau-ji, sebetulnya Jin-ji sudah merasakan badannya sangat enteng bagaikan melayang di udara.

Maka begitu liang senggamanya disembur berulang kali oleh cairan mani yang panas, gadis itu segera menggigil keras dan diiringi jeritan nikmat dia pun mencapai orgasme.

Waktu itu kebetulan Cau-ji sedang berbaring di samping tubuhnya, dalam keadaan masih bernapsu, gadis itupun segera mencium bibir Cau-ji dengan bernapsu kuat.

Ciuman itu akhirnya berhasil menarik nyawa Cau-ji keluar dari pintu neraka.

Sebetulnya kesadaran Cau-ji waktu itu sudah mulai menghilang, semburan mani yang bertubi-tubi membuat badannya mengejang keras, lambat-laun dia menjadi lemas dan nyaris tak bertenaga.

Maka ketika bibir Jin-ji yang panas mencium bibirnya, bocah itu tersentak kaget.

Dia segera merasakan lidah mungil gadis itu seolah-oleh sebiji buah yang berlapis madu, selain manis juga amat segar, tak tahan lagi dia pun menghisap ujung lidah itu dengan kuat.

Perlu diketahui, air mani Cau-ji yang menyembur keluar berulang kali itu sebenarnya mengandung inti kekuatan pil naga sakti yang pernah ditelannya, oleh sebab itu hawa murni yang kuat itu langsung menerjang ke dalam Tan-tian Jin-ji.

Begitu Cau-ji mulai menghisap ujung lidahnya, maka hawa murni yang semula mengalir keluar dengan derasnya ke dalam tubuh Jin-ji, seketika terhisap kembali ke atas, menembus semua hambatan di tubuh si nona dan balik kembali ke tubuh Cau-ji.

Begitu hawa Im bertemu dengan hawa Yang, kehidupan pun berjalan kembali dengan normal.

Dua orang itu saling berpelukan kencang, tubuh mereka tak bergerak lagi.
Ketika Go Hoa-ti melihat tubuh Cau-ji sudah tidak bergetar lagi, dia tahu semburan mani bocah itu sudah berhenti, maka setelah menutup tubuh mereka berdua dengan selimut, dia pun berjalan keluar meninggalkan ruangan.

Dalam waktu singkat Cau-ji dan Jin-ji sudah tertidur dengan nyenyaknya.

Mendekati tengah hari, mendadak dari dalam ruangan berkumandang suara letupan yang sangat aneh.

Cau-ji segera terbangun dari tidurnya, baru saja dia ingin memeriksa suara aneh apa yang berbunyi dari bagian bawah tubuh enci Jin, tiba-tiba berkumandang lagi suara letupan yang keras.

Menyusul suara letupan itu, dia lihat tubuh enci Jin gemetar sangat keras.

Segera dia melompat bangun dan berguling ke bawah ranjang.

Tampak tubuh Ong Bu-jin gemetar sangat keras, suara aneh itu ternyata berasal dari bagian dalam nona itu, satu kejadian yang membuatnya tertegun.

Kenapa bisa muncul kejadian seperti ini?

Ong Bu-jin sendiri pun ketakutan setengah mati, semula dia menyangka suara itu berasal dari kentutnya, tapi setelah diamati lagi, ternyata dugaannya keliru, suara itu bukan suara kentut, malahan badannya seperti kemasukan udara yang besar, bagai balon yang dipompa, badannya membengkak makin besar.

Beberapa saat kemudian suara aneh itu baru berhenti.
Tiba-tiba Cau-ji merasa enci Jin seperti tumbuh lebih tinggi, yang lebih aneh lagi adalah bagian dadanya, mendadak dia merasa sepasang payudara gadis itu seolah tumbuh makin besar dan montok, ia lihat ada dua gumpalan daging besar dengan puting susu berwarna merah terbentang di hadapannya.

Terdorong rasa ingin tahu yang luar biasa, bocah itu segera meraba dan meremasnya .... Haah, ternyata empuk, halus dan enak sekali untuk dipegang dan diraba.

Makin diraba Cau-ji merasa makin nikmat, maka dengan kedua belah tangannya ia mulai meremas payudara nona itu.

Lama kelamaan Ong Bu-jin merasa kegelian, makin diremas ia merasa semakin geli, akhirnya dengan wajah bersemu merah bisiknya, "Adik Cau, jangan begitu!"

"Enci Jin, kenapa kau punya dua gumpal daging besar?"

Tentu saja Ong Bu-jin kebingungan untuk menjawab, serunya kemudian,
"Aku sendiri juga tidak tahu!"
"Enci Jin, jangan-jangan karena pergumulan kita semalam, kau kena kuhantam hingga terluka dan membengkak besar, biar aku tanyakan kepada ibu!"

Ong Bu-jin menjadi malu bercampur terkejut, Segera dia bangkit untuk menarik tangannya.

"Aduh!" tiba-tiba gadis itu menjerit keras, ia merasa tubuh bagian bawahnya selain sakit juga amat pedih.

Cepat Cau-ji menyingkap selimutnya dan memeriksa bagian bawah gadis itu, ia lihat ceceran darah membasahi seprei.

Dalam terkejut bercampur paniknya ia segera menjerit keras, "Ayah! Ibu!

Kalian cepat kemari! Enci Jin dia...."
Tapi dia tak bisa melanjutkan perkataannya lagi karena mulutnya keburu dibungkam oleh tangan Ong Bu-jin.

"Adik Cau," bisiknya lirih, "kau jangan sok panik begitu, ayo cepat bersembunyi di sini, masa kau ingin bertemu orang dalam keadaan bugil?"

Baru saja Cau-ji akan bersembunyi di balik selimut, tiba-tiba terdengar Si Ciu Ing berseru kaget, "Ooh Thian! Cau-ji, ternyata kau belum mati! Aku ... uuh ... uhhh ... uuuh...."

Saking kaget bercampur girangnya ia segera menangis tersedu-sedu.

Semua orang dewasa yang berdatangan pun serentak menjerit kaget setelah menyaksikan Cau-ji duduk di ranjang dalam keadaan segar bugar.

"Ooh, Thian!"

Dua puluh empat orang pasukan bocah yang mendadak melihat engkoh Cau tumbuh menjadi dewasa pun ikut menjerit kaget.

Dengan penuh rasa gembira si Raja hewan menyeka air matanya, melihat Jinji masih bersembunyi di balik selimut, ia segera mengerti apa yang terjadi, segera teriaknya,
"Sobat-sobat kecil, mari kita pergi bersantap!"

"Aaah, nanti saja! Kami masih ingin bercakap-cakap dengan engkoh Cau!" tampik mereka.

"Siau-jiang, ayo makan dulu," seru Pek Lan-hoa cepat, "selesai berpakaian engkoh Cau pasti akan menyusul kalian untuk makan bersama, setuju?"

"Setuju!"

Raja hewan yang ditarik dan didorong kawanan pasukan bocah itu menjadi kegirangan setengah mati, kini ia bisa tertawa terbahak-bahak.

Pek Lan-hoa balik ke kamarnya dan mengambil satu stel pakaian putih milik Ong Sam-kongcu.

"Aaah, benar!" tiba-tiba Cau-ji berteriak keras, "tadi telah terjadi satu peristiwa yang sangat aneh, enci Jin, dia...."
"Jangan cerewet!" teriak Ong Bu-jin tersipu-sipu.

Seakan mendapat perintah kaisar, Cau-ji segera tutup mulutnya rapat-rapat.
Meski begitu tangannya tetap membuat gerakan melengkung di depan dada sendiri sembari menjulurkan lidahnya.

"Adik Cau, apa yang kau lakukan?" jerit Ong Bu-jin.

Kembali Cau-ji menjulurkan lidahnya, ia melompat turun dari ranjang dan segera mengenakan baju berwarna putih itu.

Ketika semua orang melihat ketajaman pendengaran Ong Bu-jin yang sangat hebat, diam-diam semua tertegun dibuatnya.

Sementara itu Cau-ji sudah berseru dengan gembira, "Ooh, sangat menarik, enci Jin, cepat berpakaian!"

"Cau-ji, mari kita pergi makan dulu!" ajak Ong Sam-kongcu, sambil berkata dia menjura kepada Bwe Si-jin dan mempersilakan tamunya berjalan lebih dulu.

Menanti ketiga orang itu keluar dari kamar, Go Hoa-ti baru mengambilkan pakaian untuk Jin-ji, ujarnya sambil tertawa, "Jin-ji, semua orang sudah pergi, cepat bangun dan berpakaian!"

Terbayang kembali sepasang payudaranya yang berubah menjadi bulat besar, Ong Bu-jin merasa malu sekali, bisiknya lirih, "Ibu, tolong ambilkan pakaian, akan kukenakan di dalam selimut!"

"Aaai, apa sih yang kau jadikan malu?"

Siapa tahu baru saja pakaian itu dikenakan setengah jalan, Ong Bu-jin kembali berseru cemas, "Ibu, tolong pinjam pakaian milikmu!"

Sambil berkata ia lepaskan kembali pakaiannya yang kelewat sempit.

Semua orang yang berada di situ menjadi tertegun dan saling berpandangan dengan keheranan, hanya Go Hoa-ti seorang yang segera mengerti apa yang terjadi, sambil tersenyum ia mengambil satu stel pakaian miliknya dan diantar ke balik selimut.

Tak selang berapa saat kemudian selimut sudah disingkap, Ong Bu-jin dengan wajah tersipu-sipu turun dari pembaringan.

"Woouw, cantiknya!" para bocah perempuan itu menjerit tertahan.

Go Hoa-ti pun sangat gembira, sambil menyisir rambutnya yang kusut ia bertanya, "Jin-ji, kenapa secara tiba-tiba kau bisa tumbuh tinggi, malah jauh lebih tinggi dari ibu!"

Ong Bu-jin merasa girang bercampur malu, dengan suara lirih bagai suara nyamuk bisiknya, "Ibu, aku sendiri pun tidak tahu, aku hanya tahu selesai 'begituan' dengan adik Cau, mendadak tubuhku tumbuh jadi besar dan dewasa."

Waktu itu Si Ciu-ing boleh dibilang 'mertua memandang menantu, makin dipandang semakin jitu', sambil membantu membetulkan letak pakaian gadis itu, tanyanya pula, "Jin-ji, anak Cau tidak nakal padamu bukan?"

"Tidak," sahut Ong Bu-jin malu, "cuma badanku sekarang terasa canggung, kurang nyaman!"

"Kalau bagian 'itu' yang sakit sih kau tak perlu kuatir, sebentar juga bakal sembuh," bisik Si Ciu-ing sambil menarik tangannya, "ayo, kita makan bersama."

"Enci Ing, kelihatannya kau akan semakin menyayangi anak Jin," seru Go Hoa-ti menggoda, "waah, kelihatannya aku mesti gigit jari."

Gelak tertawa pun bergema memenuhi ruangan.

"Kalau tidak sayang menantu sendiri, lantas harus sayang siapa?" sahut Si Ciu-ing sambil tertawa pula.

Ong Bu-jin sama sekali tidak tahu kalau dia mempunyai ayah lain, perkiraannya semula, adik Cau berbuat 'begituan' bersamanya tak lain karena hendak menyembuhkan luka yang sedang diderita, tak heran kalau dia menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu.

Memangnya satu ayah lain ibu boleh menikah?

Go Hoa-ti bukan orang bodoh, ia segera dapat menangkap jalan pikiran putrinya, sambil tersenyum ujarnya, "Jin-ji, mari kita bersantap dulu, selesai bersantap tentu ada banyak cerita menarik yang akan kau dengar!"

Ketika seorang gadis berbaju putih bak bidadari yang turun dari kahyangan berjalan masuk ke ruang utama, beberapa orang lelaki dewasa yang ada di situ pun serentak memuji, "Ooh, cantiknya!"

Oleh karena itu secara diam-diam Cau-ji telah mengabarkan bahwa Ong Bu-jin telah tumbuh setinggi dirinya kepada para bocah lelaki, tak heran begitu melihat gadis itu melangkah masuk ke dalam ruangan, tempik-sorak segera bergema gegap gempita.

Bwe Si-jin yang melihat putri kesayangannya tumbuh begitu cantik dan anggun pun ikut merasa gembira, ia tertawa tiada hentinya.

Ong Bu-jin duduk satu meja dengan kawanan gadis lainnya, dia menjadi malu sampai tak bisa bicara ketika rekan-rekannya sembari meraba dadanya yang menonjol besar, bertanya ini itu tiada habisnya.

Melihat itu, sambil menarik wajah Cau-ji segera menegur, "Eei, jangan berisik, biar enci Jin bersantap dulu!"

Kawanan gadis itu tak berani ribut lagi, serentak mereka pun mulai bersantap.
 
Sejak melakukan perjalanan jauh selama beberapa hari, Cau-ji belum pernah makan enak, sekarang setelah berhadapan dengan aneka hidangan lezat, ditambah lagi ia sangat riang, tak heran semua makanan yang tersedia disikatnya hingga ludes.

Ketika Cau-ji melihat di hadapan seorang adiknya masih tertinggal sepotong paha ayam, dia segera menggapai tangan kanannya dan ... "Weess!", tahu-tahu paha ayam itu sudah terhisap dan terbang kedalam genggamannya.

Tentu saja kawanan bocah itu belum pernah menyaksikan kehebatan ilmu Likhong-sip-oh (menghisap benda dari udara), kontan semua orang terperana dibuatnya.

Melihat Cau-ji sengaja memamerkan ilmunya, Bwe Si-jin segera menggerakkan telapak tangan kanannya ke atas, separoh ayam panggang yang berada di hadapannya dicomotnya, kemudian hardiknya, "Terima potongan ayam ini!"

Ketika pergelangan tangan kanannya diputar sambil berayun, piring berisi ayam itu kontan berputar di angkasa lalu terbang melayang ke arah Cau-ji.

Separoh potong ayam panggang itu seakan tumbuh sayap, dengan satu gerakan cepat langsung meluncur ke tangan bocah itu.

Sementara piring tadi dengan membawa desingan angin tajam langsung meluncur keluar ruangan.

Melihat itu para bocah segera menjerit kaget, "Aduuuh, piring itu bisa pecah!"
Cau-ji sama sekali tidak menggubris, dia masih asyik menggigit ayam panggang itu.
Mendadak terdengar bocah-bocah itu berteriak lagi, "Haah, piring itu terbang kembali!"

Benar saja, setelah berputar satu lingkaran kecil di luar ruangan, bukan saja piring itu terbang kembali ke dalam ruangan bahkan dengan kecepatan yang lebih tinggi meluncur ke arah Bwe Si-jin.

Dengan wajah serius Bwe Si-jin menghimpun tenaga dalamnya ke tangan kanan, secepat kilat ia mencengkeram ke muka dan menerima piring itu.

Tempik-sorak disertai tepuk tangan meriah kembali bergema gegap gempita.

Lamat-lamat Bwe Si-jin merasa ujung jarinya kesemutan dan sakit, tak tahan ia menghela napas panjang.

Sementara itu si Raja hewan telah mengambil sebuah guci arak seberat lima kati, bentaknya, "Cau-ji, biar Yaya mentraktirmu minum arak!"

Selesai berkata telapak tangan kanannya menahan dasar gunci, lalu didorongnya ke depan.

Selapis panah arak segera menyembur ke udara dan menerjang ke hadapan Cau-ji.
Dengan tenang Cau-ji menolak telapak tangan kanannya ke arah panah arak itu, tampiknya, "Yaya, maaf, ayah melarang Cau-ji minum arak!"

Sambil bicara sekali lagi telapak tangan kanannya menekan, semburan arak itupun meluncur balik ke dalam guci.

Selagi mengerahkan tenaga ternyata masih mampu bicara, melihat kemampuan tenaga dalam yang begitu hebat, sampai Ong Sam-kongcu sendiri pun terkagum-kagum dibuatnya.

"Cau-ji," serunya kemudian, "hari ini merupakan hari bersejarah bagimu, minumlah!"

Sekali lagi panah arak menyembur ke depan.
Kali ini Cau-ji menarik napas sambil menghisap, panah arak pun bagaikan ikan paus yang menelan air samudra langsung meluncur masuk ke dalam mulutnya.

Waktu itu Raja Hewan masih menekan dasar guci dengan telapak tangannya, tiba-tiba panah arak lebih melebar satu kali lipat dan menyembur ke arah Cau-ji semakin kencang.

Melihat datangnya semburan ini, Cau-ji segera teringat tindakan pamannya dulu, dimana dengan menyemburkan darah dari kelelawar menyerang dua bagian tubuhnya sekaligus.

Maka dengan gerakan cepat telapak tangan kirinya mengambil sebuah mangkuk kosong, lalu dengan teknik menghisap dia hirup separoh bagian semburan arak itu, sementara jari tangan kanannya ditusukkan ke tengah mangkuk dan menghisapnya ke dalam mulut.

Menyaksikan demonstrasi ilmu silat tingkat tinggi semacam ini, tak kuasa lagi Ong Sam-kongcu beserta para wanita lainnya bangkit berdiri untuk menyaksikan dengan lebih teliti.

Selang beberapa saat kemudian tiba-tiba panah arak itu terputus di tengah jalan.

Rupanya seluruh isi guci arak itu telah terhisap habis.

Tak kuasa lagi semua orang menghela napas panjang, tempik-sorak dan tepuk tangan pun kembali berkumandang gegap gempita.

Dengan keheranan Ong Bu-jiang segera bertanya, "Engkoh Cau, kemana larinya semua arak itu?"

"Tentu saja masuk kemari!" sahut Cau-ji sambil menepuk perut sendiri.

"Tidak mungkin, kenapa perutmu tidak membesar seperti guci arak itu?"
Cau-ji tertawa tergelak.

"Hahaha, adik Jiang, kau paling suka minum kuah, kenapa perutmu pun tidak membuncit seperti kuali?"

Habis berkata kembali ia tertawa tergelak.

"Engkoh Cau, kau bicara ngawur!" merah jengah wajah Jiang-ji.

"Ooh, sejak kapan kau belajar mengucapkan 'bicara ngawur"? Engkoh Cau tak pernah membohongi kalian, bagaimana kalau kutumpahkan keluar semua isi perutku?"

"Tidak usah, tidak usah, bau!" seru para bocah sambil menutup hidung sendiri.

Rupanya suatu hari Lo-ong tumpah-tumpah setelah mabuk berat, bau muntahan yang menyengat sempat membuat para bocah itu pusing tujuh keliling.

"Baik, baiklah," kata Cau-ji kemudian, "kalau memang kalian takut bau, biar kuteteskan keluar saja, adik Jiang, cepat ambil guci arak tadi."

Baru saja A-jiang mengambil guci arak itu, segulung semburan arak telah meluncur keluar dari ujung jari tangan kiri Cau-ji.

Bau harum semerbak pun memancar ke seluruh ruangan, kembali teriakan memuji bergema di angkasa.

Cau-ji tersenyum, ketika lima jari tangannya dipentangkan, kembali terlihat ada lima semburan arak memancar masuk ke dalam guci itu.

Bwe Si-jin tidak menyangka kalau ilmu sakti Kui-goan-sin-kang milik Cau-ji sudah terlatih hingga mencapai tingkatan Thian-jin-hap-it (langit manusia bersatu padu), dalam suasana penuh kekaguman, mereka pun mulai membicarakan rencana bagaimana harus menghadapi perkumpulan Jit-sengkau.

Sesaat kemudian Cau-ji telah menjilati kelima ujung jarinya sambil berseru,
"Ehmmm, harumnya!"

Raja hewan mengambil guci arak itu dan menimang-nimang sebentar, tiba tiba serunya sambil tertawa, "He, Cau-ji, kau sudah korupsi satu kati arak!"

Merah padam wajah Cau-ji, untuk sesaat dia tak mampu berkata-kata.

Bwe Si-jin kontan tertawa terbahak-bahak, katanya, "Hahaha, Cau-ji, coba kau ceritakan pengalamanmu sejak perpisahan kita di dekat air terjun tempo hari!"

Mendengar itu Cau-ji segera teringat kembali akan sumpah dirinya pada Su Gi-gi. Mendadak paras mukanya berubah hebat.
Dengan wajah serius Bwe Si-jin segera berkata, "Cau-ji, kami tahu kau pasti telah bertemu dengan suatu peristiwa yang menyulitkan, itulah sebabnya kami ingin sekali membantumu menyelesaikan kesulitan itu, coba ceritakan pengalamanmu!"

Setelah termenung dan berpikir sejenak akhirnya Cau-ji pun menceritakan kisahnya bagaimana ia bertarung melawan naga sakti, bagaimana ia berhasil mendapatkan bola merah, kabur ke dalam gua, memukul hancur beberapa orang musuh dan melarikan diri dari tempat itu.

Ketika selesai mendengar penuturan itu, si Raja hewan yang pertama-tama bersorak gembira, serunya, "Terima kasih langit, terima kasih bumi, akhirnya naga sakti berusia seribu tahun itu mati juga, tampaknya danau itu sekarang telah berubah menjadi bukit karang!"

Sebaliknya Bwe Si-jin berkata dengan suara dalam setelah termenung sesaat, "Cau-ji, gadis yang mayatnya kau hancurkan itu bisa jadi adalah putri kesayangan Su Kiau-kiau, Kaucu perkumpulan Jit-seng-kau, itulah sebabnya semua orang memanggilnya sebagai tuan putri!"

"Cau-ji, tampaknya gadis itu tahu kalau bola merah itu merupakan mestika yang sangat langka, Lwe-wan dari naga sakti berusia seribu tahun, dia berusaha untuk menghabiskan sendiri benda itu, jelas tujuannya ingin menjadi jago nomor wahid di kolong langit, siapa tahu dia pun berencana hendak membunuhmu!"

"Mana mungkin? Aku toh pernah menyelamatkan jiwanya!"

"Cau-ji, pikiranmu kelewat sederhana, hati manusia siapa tahu, kelicikan dan kebusukan hati dimiliki setiap orang, apalagi Su Kiau-kiau sudah lama berencana melestarikan kembali perkumpulan Jit-seng-kau, putrinya pasti berusaha mendukung rencana ibunya bukan?"

Dengan mulut membungkam Cau-ji manggut-manggut.

"Aaaai, benda mestika hanya diperoleh mereka yang berjodoh, siapa suruh budak itu kelewat tamak, coba kalau dia hanya makan sedikit saja, belum tentu nasibnya akan berakhir secara tragis."

"Cau-ji, untung kau telah berhasil melatih ilmu Kui-goan-sin-kang, kalau tidak, mungkin waktu itupun kau bakal tewas secara mengenaskan, malah menurut analisa, bisa jadi kau akan mati bersama gadis itu."

Ketika membayangkan kembali kegilaan serta kekalapan yang telah dilakukan gadis itu, Cau-ji segera berseru, "Paman, ada benarnya juga perkataanmu itu, kau tahu, dia selalu bertindak gila terhadapku, bahkan tingkah lakunya sangat aneh, dia paksa aku mengencingi badannya berulang kali, hampir saja aku mati lantaran kecapaian."

Mendengar perkataan itu, para orang dewasa tahu pikiran Cau-ji sudah terbuka, mereka pun menghembuskan napas lega, sementara dalam hati kecilnya merasa kagum bercampur terima kasih pada Bwe Si-jin.

Raja hewan segera maju ke depan menggenggam sepasang tangan Bwe Si-jin, ujarnya terharu, "Lote, tak nyana kau berjiwa besar dan bersedia mewariskan ilmu Kui-goan-sin-kang, kepandaian paling hebat perkumpulan Jit-seng-kau kepada Cau-ji, kalau dulu Loko salah menilaimu, harap sudi dimaafkan!"

Bwe Si-jin tidak menyangka kalau kesalah pahaman ini dapat diselesaikan sedemikian mudahnya, dengan girang ia balas menggenggam tangan Raja hewan.

"Engkoh tua, terima kasih atas pemahamanmu! Terima kasih banyak!" serunya terharu.

Ong Sam-kongcu yang selama ini hanya membungkam segera menimpali, "Sebenarnya perkumpulan Jit-seng-kau termasuk sebuah perkumpulan kaum lurus, sayangnya Kaucu yang menduduki jabatannya sekarang sudah mengambil jalan sesat, akibatnya perkumpulan ini dianggap orang sebagai perkumpulan sesat."

"Saudara Bwe, asal kau bersedia membawa perkumpulan Jit-seng-kau kembali ke jalan yang benar, Siaute bersedia mendukungmu!"

"Betul, Lote," kata si Raja hewan pula, "tulangku belum terlampau tua untuk digerakkan, ayo, berjuanglah, kami semua akan mendukungmu!"

Tak terkira rasa girang Bwe Si-jin setelah mendengar dukungan itu, katanya, "Terus terang, sebenarnya saat ini aku sudah mengantongi jawabannya, di kolong langit saat ini mungkin hanya Cau-ji seorang yang sanggup mengendalikan keempat iblis wanita itu, aku ingin mendukung Cau-ji menjadi ketua Jit-seng-kau!"

Jeritan kaget seruan tertahan segera bergema di seluruh ruangan.

"Saudara Bwe," Segera Ong Sam-kongcu menyela, "Cau-ji masih kecil dan tak tahu urusan."

"Ong-heng," tukas Bwe Si-jin, "Cau-ji toh bakal tumbuh dewasa, biar mereka kaum muda saja yang berjuang memberantas kejahatan, sementara kita yang tua sudah waktunya pensiun dan menikmati sisa hidup dengan tenang."

Bicara sampai di situ, ia melirik sekejap ke arah Go Hoa-ti.

Dengan penuh kegembiraan Go Hoa-ti balas melirik ke arah suaminya.

Raja hewan ikut berteriak pula, "Lote, kebesaran jiwamu sungguh membuat hatiku kagum."

"Hahaha, engkoh tua, bagaimanapun sawah yang subur harus diwariskan kepada orang sendiri, bukan begitu?"

Dengan penuh pengertian Raja hewan balas tertawa.

Cau-ji sama sekali tak menyangka kalau dirinya bakal mendapat kesempatan untuk menjadi ketua perkumpulan Jit-seng-kau, tak tahan lagi dengan semangat yang berkobar serunya, "Ayah, apakah Cau-ji boleh menjadi Kaucu perkumpulan Jit-seng-kau?"

Ong Sam-kongcu tidak menyangka kalau dirinya yang mempunyai watak lemah tak bersemangat ternyata memiliki keturunan yang berhati keras seperti baja dan berilmu silat tangguh, kontan dia menyahut, "Tentu saja boleh!"

Ucapan selamat pun segera mengalir datang dari semua orang yang hadir.
Terlebih dua belas tusuk konde emas, mereka amat kegirangan sampai tak mampu berkata-kata.

Mereka sebenarnya termasuk macan betina yang suka melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, sekalipun sekarang sudah terbiasa hidup tenang, namun begitu muncul kesempatan, sifat aslinya langsung saja muncul.

Ong Sam-kongcu memperhatikan para bini dan anak-anaknya sekejap, lalu serunya kepada kawanan bocah itu, "Kalian dengarkan baik-baik, bila Cau-ji benar-benar menjadi seorang Kaucu. paling tidak kalian harus bisa menjadi seorang Tongcu atau Huhoat, jangan tak punya semangat begitu!"

"Kami pasti akan berusaha!" serentak para bocah berteriak.

"Hahaha, bagus, bagus sekali, sekarang kalian boleh pergi beristirahat, bila ada waktu senggang pasti akan kuajarkan ilmu silat yang lebih tangguh."

"Baik!"

Baru saja Cau-ji akan ikut meninggalkan ruangan, Si Ciu-ing sudah menariknya ke dalam kamar dan memberi pelajaran 'ilmu ranjang' yang jauh lebih halus dan lembut, dia berulang kali berpesan agar bocah itu jangan kasar bila ingin menyetubuhi Jin-ji, selain itu diajarkan pula teknik pemanasan yang hebat.

Di pihak lain Pek Lan-hoa sekalian juga mengajak Ong Bu-jin kembali ke kamarnya untuk berbincang-bincang, selain menurunkan teknik melayani sang suami di atas ranjang, mereka pun sekaligus memberitahu asal-usulnya.

Sedang Ong Sam-kongcu menarik tangan Raja hewan dan diajaknya minum arak.

"Engkoh Jin," bisik Go Hoa-ti kemudian, "kita sudah terlalu banyak berhutang budi pada mereka!"

"Adik Ti," sahut Bwe Si-jin setengah berbisik, "kalau begitu mari kita bikin beberapa orang anak lagi, asal bisa dikawinkan dengan mereka, bukankah hutang budi kita bisa terbayarkan?"

Go Hoa-ti merasa hatinya berdebar, serunya cepat, "Aku sudah berusia setengah abad, masa subur untuk melahirkan sudah lewat, mana mungkin bisa melahirkan lagi?"

"Sstt, omong kosong, tahun ini usiamu baru enam belas tahu, siapa bilang sudah lewat masa melahirkan? Untuk perkataan ngawurmu itu kau mesti didenda!" Sambil berkata ia meraba pipi kanan bininya.

Go Hoa-ti segera mengegos ke samping dan cepat berlari menuju ke gedung Ti-wan.
Baru saja perempuan itu masuk ke dalam kamar, Bwe Si-jin telah memeluk tubuhnya erat-erat.
 
Kontan saja Go Hoa-ti merasa jantungnya berdebar keras, tubuhnya yang lemas segera bersandar dalam pelukan lelaki itu, bisiknya lirih, "Engkoh Jin, masakah di siang hari bolong ...."

Sambil menciumi bibir, pipi dan leher perempuan itu, sahut Bwe Si-jin, "Aaah, peduli amat mau di siang hari bolong atau di tengah malam buta, semalam permainan kita sudah terganggu di tengah jalan, kali ini aku mesti menusuk liangmu lebih keras lagi!"

Sambil berkata ia mulai melepas pakaian yang dikenakan perempuan itu satu per satu.

Go Hoa-ti membalik tubuhnya dan membantu Bwe Si-jin melepas celananya, katanya lagi, "Semalam kita memang terlalu gegabah, sama sekali tak kusangka Jin-ji dan Cau-ji bisa masuk ke dalam kamar di saat kita masih berasyikmasyuk."

Bwe Si-jin tertawa lirih, sambil membelai tubuh perempuan itu, meremas sepasang payudaranya dan meraba bulu-bulu hutan bakau di bagian antara paha, ia berbisik lagi, "Adik Ti, semalam apakah Jin-ji sangat menderita?"

"Ehmm, jangan dilihat Cau-ji masih kecil, dia memiliki 'barang' yang luar biasa besarnya, apakah tidak kau perhatikan cara jalan Jin-ji hari ini?

Kelihatannya dia menderita luka yang cukup parah ...."

"Hahaha, sejak awal aku sudah tahu kalau 'barang' Cau-ji memang luar biasa besarnya, keadaan Jin-ji saat ini persis seperti keadaanmu sewaktu pertama kali aku tiduri...."

"Aaah, kau.... kau memang jahat!"

Sambil berkata ia segera melepaskan diri dari pelukan lelaki itu dan menyelinap masuk ke dalam kamar.

Dalam waktu singkat dua buah tubuh yang sama sekali bugil berlarian dalam ruang kamar, bermain petak umpet.

Mendadak Go Hoa-ti menjerit kaget, "Aduuuh!"

Rupanya 'tombak panjang' milik Bwe Si-jin telah menusuk masuk melalui belakang pantatnya, dengan jurus Han-cing-gan-ciong (melihat tombak dengan pandangan mesra).

"Creeet!", ujung tombak langsung menghujam masuk ke dalam liang surga milik Go Hoa-ti.

Sudah jelas jeritan sakit itu bukan kesakitan sungguhan, tapi jeritan merangsang yang sangat menggoda. Sebab bila dia tidak sengaja menunggingkan pantatnya ke belakang sambil mementang sepasang kakinya, bagaimana mungkin tombak panjang itu bisa menusuk masuk ke dalam liangnya?

Sepasang tangan Bwe Si-jin segera memeluk pinggang perempuan itu dengan kencang, kemudian dia mulai melancarkan serangkaian tusukan dengan gencar.

"Plook Ploook!", serangkai bunyi aneh bergema tiada hentinya.

Perlahan-lahan Go Hoa-ti menggerakkan tubuhnya ke depan, dengan sepasang tangan berpegangan di pinggir ranjang, pinggulnya dipentang semakin lebar mengambil gaya kaki dipentangkan dan pantat ditonjolkan ke belakang, ia mulai menggoyang pinggulnya sebentar ke kiri dan kanan, sebentar lagi ke atas dan ke bawah, mengimbangi gerakan tusukan lawan yang semakin gencar.

"Plook, ploook", suara cairan yang saling menggencet bergema makin nyaring.
Go Hoa-ti dapat merasakan ujung 'tombak panjang' milik engkoh Jin sudah menancap hingga mencapai ke dasar liangnya, tak tahan lagi dia mulai merintih,

"Aduuuh ... ooooh ... adduuuh ... aaaah ... tusuk yang dalam ... aduh ... engkoh Jin ... aduh sayang ... terus... masukkan terus...."

Bwe Si-jin menggenjot badannya makin cepat, sepasang tangannya sangat repot, sebentar meremas puting susu, sebentar meremas payudara, terkadang tangannya merantau hingga ke bawah, menekan 'biji kacang ijo" di bagian bawah.

Go Hoa-ti yang dilindungi hutan bakau lebat, tak terkirakan kenikmatan yang dirasakannya.

Lama kelamaan napsu birahinya makin berkobar, dia pun menggenjot badannya makin kuat dan cepat. "Oooh ... oooh ... aduuuh ... aduh nikmatnya ...lebih keras lagi ... ya ... lebih keras lagi ... aduuh ... aduh ... terasa hingga ke dasarku... mati aku...."

"Hahaha, adik Ti, jangan mati dulu ... ayo goyang lebih keras lagi, mari kita bertarung lebih hebat... ya ... lebih kencang ... aduuuh ... aduuh ... aku.... aku tak tahan"

Bagaikan air panas yang menyembur keluar dari lubang termos, "Crocoot!", tembakan pun dilepaskan dari ujung tombak Bwe Si-jin.

Lama kemudian baru ia mencabut keluar tombaknya dari dalam liang gua.

Waktu itu dari bagian bawah Go Hoa-ti pun sudah meleleh keluar cairan kental yang mengalir melalui kakinya dan membasahi permukaan lantai.

"Ooh, adik Ti, kau sungguh hebat!" puji Bwe si-jin sambil tertawa.

Go Hoa-ti mengambil selembar handuk dan membantunya membersihkan ujung tombak dari cairan kental, lalu membersihkan pula tubuh bagian bawahnya, kemudian setelah mengerling sekejap, katanya, "Engkoh Jin, kelihatannya kebiasaanmu mencicipi tahu milik orang lain masih belum bisa hilang."

Bwe Si-jin tertawa lebar, ia bimbing perempuan itu naik ke atas pembaringan, kemudian menaikkan sepasang kakinya di atas bahu sendiri, kemudian ujarnya sambil tertawa, "Adik Ti, tahukah kau, aku sudah belasan tahun tak pernah mencicipi tahu!"

Sambil berkata tombak panjangnya kembali digenjotkan ke muka.

"Creeeep!", ujung tombak kembali menghujam masuk ke dalam liang surga.
"Aduuh mak ...." sekali lagi tubuh Go Hoa-ti gemetar keras.
Tadi dia bisa menggunakan pinggulnya sebagai pelindung badan hingga mengurangi daya tusukan yang dihasilkan oleh 'tombak panjang' itu, tapi sekarang boleh dibilang ia berada dalam keadaan terbuka lebar, sepasang kakinya terpentang lebar membuat liang surganya sama sekali tak ada perlindungan.

Kini seluruh tubuh bagian bawahnya berada dalam keadaan terbuka, dia hanya bisa pasrah dengan membiarkan Bwe Si-jin melakukan 'pembantaian' secara besar-besaran.

Dalam keadaan begini dia hanya bisa berpegangan di sisi pembaringan sambil 'mengertak gigi' menahan datangnya 'gempuran dahsyat' yang bertubi-tubi.

Dalam waktu singkat Bwe Si-jin sudah melancarkan beratus kali gempuran berantai, gempuran yang satu lebih hebat dari gempuran sebelumnya, perempuan itupun mulai merintih, mulai mengaduh, merintih kenikmatan....

Kali ini serangan yang dilancarkan Bwe Si-jin tidak tanggung-tanggung lagi, dia langsung mengeluarkan jurus Hwe-sian-ciong-hoat (ilmu tombak berputar), setiap kali ujung tombaknya menusuk ke dalam liang sorga, ujung tombaknya selalu menempel di dasar liang sambil menggesek dan berputar.

Go Hoa-ti tak kuasa menahan diri lagi, rintihannya makin keras, jeritannya makin membangkitkan napsu, akhirnya dia pun mulai merinding.

Bwe Si-jin si panglima perang yang sangat berpengalaman dalam medan laga, si jago tangguh dalam memetik bunga segera mengerti kalau jurus serangan yang digunakan sudah mendatangkan hasil, maka dia pun mempergencar serangannya lagi.

"Plook, plok", suara gesekan cairan bergema makin keras, begitu kerasnya hingga menggantikan suara rintihan dan jeritan Go Hoa-ti yang membetot sukma.

"Engkoh Jin ... aku ... aduh ... aduh ... aduh enaknya ... oohh ... ooh ... lebih keras lagi... aduh enaknya ... oaaah ... aaaah ... aku hampir... aku hampir mati"

"Hahaha, adik Ti, bukankah kau ingin mati? Hahaha.."

Jangan dilihat Bwe Si-jin hanya tertawa tergelak, padahal dia pun merasakan kenikmatan yang luar biasa.

Bagaimanapun pertarungan jarak dekat semacam ini merupakan pertarungan badan yang sangat melelahkan.

Empat lima puluh tusukan kemudian akhirnya Go Hoa-ti mengibarkan bendera putih tanda menyerah, tampak tubuhnya gemetar keras, mulutnya merintih sambil ternganga lebar.

Bwe Si-jin masih melanjutkan genjotannya sebanyak puluhan kali lagi.

Go Hoa-ti mulai gelisah, jeritnya, "Engkoh Jin ... berhenti ... aku ... aku sudah tak tahan ... aduh ... aku tak tahan... mati aku...."

Kelihatannya ia mulai sesak napas, udara yang masuk lebih sedikit dari udara keluar, malah sepasang matanya sudah mulai membalik.

Bwe Si-jin menghembuskan napas panjang, dia mengambil selembar handuk dan dijejalkan ke bagian bawah tubuhnya, lalu sambil membaringkan perempuan itu di atas ranjang, ujarnya sambil tertawa, "Adik Ti, beristirahatlah dulu!"

Go Hoa-ti membuka matanya dan menghela napas.

"Benar-benar sangat nikmat, engkoh Jin, bagaimana ... bagaimana kalau kuhisapkan milikmu!"

Tak terkirakan rasa girang Bwe Si-jin mendengar tawaran itu, segera dia melompat naik ke atas pembaringan dan berbaring dengan kepala menghadap ke kaki dan membiarkan tombaknya persis tergantung di atas mulut perempuan itu.

Benar saja, Go Hoa-ti segera membuka mulutnya dan mulai menghisap 'tombak panjang' itu dengan nikmat.

Bwe Si-jin merasakan benda miliknya kaku dan kesemutan, makin dihisap ia merasa makin nikmat hingga tak terasa dia ikut menggenjotkan badannya naik turun.

Saking besar dan panjangnya tombak itu, hampir saja ujung tombak menembus tenggorokan Go Hoa-ti, cepat perempuan itu memegang kedua butir 'telur burung puyuh' yang bergelantungan di hadapannya dan mulai meremasnya.

Begitu telurnya mulai diremas, Bwe Si-jin tidak banyak tingkah lagi.
Kembali dia mengambil handuk dan dengan halus mulai menyeka liang surge milik perempuan itu.
Begitu menggosok beberapa kali, tak lama kemudian handuk itu sudah basah kuyup.

Pada saat itulah tiba-tiba ia merasa pinggangnya linu, Bwe si-jin tahu dia segera akan mencapai puncaknya, segera dia mencabut keluar tombaknya dari mulut perempuan itu.

Tapi Go Hoa-ti segera menggelengkan kepalanya, bahkan dia menghisap ujung tombak itu makin kencang dan cepat.

"Adik Ti, jangan, entar mengotori mulutmu," segera dia berteriak.

Go Hoa-ti tak sanggup menjawab, dia hanya menggelengkan kepalanya berulang kali.

Dalam keadaan begini Bwe Si-jin hanya bisa tertawa getir, setelah menggenjot badannya makin kencang, akhirnya dia pun mulai memuntahkan pelurunya.

"Gluguk", semburan itu langsung ditelan Go Hoa-ti.

Dia menghisap terus tombak yang mulai melemas itu hingga Bwe Si-jin benar benar terbaring lemas, kemudian baru melepaskan genggamannya.

"Oooh ... aku benar-benar kenikmatan!" keluh Bwe Si-jin lemas, sambil berkata ia mulai membalikkan badannya.

Go Hoa-ti masih menempel ketat tubuhnya, ia berbisik, "Engkoh Jin, aku hampir saja putus napas, lain kali jangan kau gunakan jurus itu."

"Hahaha, bukankah kau ingin mati?"

"Kau ... kau sudah merasakan kenikmatan, sekarang masih jahat padaku!"

Sambil berkata ia memukul dadanya dengan mesra.
 
Suhu boleh usul gak???
Gmn klo setiap adegan SS nya mengunakan nama2 jurus biar lebih terasa aroma silatnya n lebih seru...hehe :D
 
Suhu boleh usul gak???
Gmn klo setiap adegan SS nya mengunakan nama2 jurus biar lebih terasa aroma silatnya n lebih seru...hehe :D

Thanks 13h0d0nk, namun ini bukan karangan saya pribadi sehingga baiknya tetap sesuai dengan penulis aslinya aza yach...hehehhehe
 
Bulan purnama bersinar terang di angkasa.

Di kolam Ti-sim dalam perkampungan Hay-thian-it-si terlihat Cau-ji dengan bertelanjang dada sedang bermain kejar-kejaran dengan Ong Bu-jin yang hanya mengenakan pakaian dalam.

Dalam setengah bulan terakhir, kedua orang ini tak pernah berpisah barang sebentar pun, hubungan cinta mereka pun kian hari kian berkembang mesra.

Malam itu, menggunakan kesempatan di saat kebanyakan orang sedang berbincang-bincang di ruang utama, mereka berdua menyelinap ke kolam untuk bermain air.

Kepandaian berenang yang dimiliki kedua orang ini tidak selisih jauh, tapi tenaga dalam yang dimiliki Cau-ji jauh melebihinya.

Waktu itu, ketika melihat potongan tubuh enci Jin bertambah montok dan indah, Cau-ji merasa tak tahan lagi, dia bayangkan betapa nikmatnya jika dapat memeluk tubuh yang bahenol itu.

Berpikir begitu, sepasang kakinya segera menjejak ke tanah dan tubuhnya langsung menubruk ke depan.

Ong Bu-jin tidak menyangka bakal dipeluk pinggangnya, baru ia akan meronta, keadaan sudah terlambat.

Hari ini dia memang mengenakan pakaian dalam berwarna putih, bahan kain yang tipis membuat sepasang payudara si nona kelihatan sangat mencolok, apalagi setelah basah oleh air.

Khususnya sepasang putingnya yang sebesar kacang goreng, merah di antara warna hitam membuat benda itu kelihatan sangat mencolok.

Sepasang tangan Cau-ji merangkulnya dari belakang punggung, lalu setelah meraba sepasang payudaranya yang montok, dengan penuh rasa ingin tahu dia mulai meraba puting susu yang merah mengeras itu dan memilirnya berulang kali.

Ong Bu-jin merinding, rabaan itu nyaris membuatnya sesak napas, segera dia meluncur keluar ke permukaan air.

Begitu muncul dan menghembuskan napas panjang, segera tegurnya kepada Cau-ji yang masih meremas payudaranya, "Adik Cau, lagi apa kau ini?"

"Hahaha, enci Jin, kedua butir kacang ini enak benar kalau dibuat mainan!"

Seraya berkata kembali dia memuntir sepasang puting susu itu berulang kali.
Kontan saja Ong Bu-jin merasa sakit bercampur geli, segera teriaknya, "Aduuh ... apanya yang enak dibuat mainan, kau sendiri toh punya, kenapa tidak kau mainkan milikmu sendiri?"

"Aaah, ogah aah, punyaku kecil, punyamu jauh lebih besar, dan lagi lebih enakan memegang milikmu."

"Kau ... kau memang jahat, baik ... sekarang berbaliklah, aku juga mau memegang milikmu."
"Baik."
Cau-ji segera membalikkan badannya sambil memeluk Ong Bu-ji dengan erat, bahkan dia mulai mencium bibirnya yang menantang dan melumatnya.

Ong Bu-jin tidak menyangka kalau Cau-ji begitu nakal, tak mampu mengendalikan rasa kejut bercampur girangnya, ia segera menjejakkan kaki di dalam air dan balas mencium pemuda itu dengan penuh napsu.

Di bawah cahaya rembulan, di antara riak air kolam yang bening, kedua orang itu tenggelam dalam ciuman yang paling hangat.

Tanpa terasa, entah sedari kapan, tahu-tahu pakaian dalam yang dikenakan Ong Bu-jin telah terlepas dari tubuhnya dan mengapung menjauh dari situ.

Dengan tangan kirinya mendayung di air, perlahan-lahan kedua orang itu berenang menuju ke tepi kolam, lalu sekali menekan permukaan tanah, Cau-ji berdua yang telanjang telah melompat naik ke atas daratan.

"Adik Cau, mau apa kau?" bisik Ong Bu-jin.

"Enci Jin, aku... aku ingin...."

Dia tidak tahu bagaimana harus mengemukakan hasratnya, maka dengan tergagap ia tak sanggup meneruskan kata-katanya, tidak begitu dengan tangannya, dengan sigap dia mulai melepas celana daiam yang dikenakan gadis itu.

"Jangan di sini!" segera Ong Bu-jin menekan tangannya, "malu dong kalau ketahuan orang!"

"Ba... bagaimana kalau di bawah pohon saja?"

"Di situ? Baiklah."

Mereka berdua celingukan sekejap mengawasi sekeliling tempat itu, setelah yakin tak ada orang, dengan cepat mereka berlari menuju ke bawah pohon.

Dengan satu gerakan cepat Cau-ji melepas celana dalam yang dikenakan Ong Bu-jin, lalu ketika siap melepaskan juga celana dalam miliknya, mendadak tampak Siau-jiang muncul dari ruang utama sambil berteriak, "Engkoh Cau! Enci Jin!"

Pendengaran Cau-ji saat ini amat sensitip, meski rada tak senang karena pertarungannya bakal dibatalkan, namun melihat wajah Siau-jiang yang begitu tegang, segera dia menegur dengan ilmu Coan-im-ji-bit (menyampaikan suara secara rahasia), "Siau-jiang, apa yang terjadi?"

Tak terlukiskan rasa kaget Siau-jiang ketika mendengar suara namun tak nampak manusianya, dengan kebingungan dia celingukan ke sana kemari.

"Adik Cau," Ong Bu-jin segera berbisik, "keluarlah dulu, coba lihat apa yang terjadi, jangan kau buat Siau-jiang ketakutan!"

"Sialan, dia memang mengacau suasana saja!" gerutu Cau-ji tak senang.

Tapi ia bangkit juga sambil melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Begitu bertemu Cau-ji, Siau-jiang segera berseru, "Engkoh Cau, di luar sana datang dua orang, mereka sedang bertarung melawan Oh-yaya dan paman Bwe!"

"Sungguh? Kenapa kau tidak ikut menonton?" tanya Cau-ji cemas.

"Ibu bilang kedua orang itu galak sekali, mereka melarang kita keluar!"

"Baik, sekarang pulanglah dulu, sebentar biar kuhajar kedua orang itu!"

Selesai berkata dia melayang balik ke tempat persembunyiannya.

Siau-jiang masih berdiri celingukan di situ, dia tahu engkoh Cau dan enci Jin berada di situ, tapi kenapa hanya engkoh Cau seorang yang muncul? Kemana perginya enci Jin? Sedang apa dia di situ?

Ong Bu-jin tahu, adik Jiang memang seorang setan cilik yang besar rasa ingin tahunya, sejak awal dia sudah menyembunyikan diri di belakang pohon.

Begitu melihat Cau-ji muncul kembali, segera bisiknya, "Adik Cau, adik Jiang belum pergi!"

Cau-ji berpaling, melihat Siau-jiang masih celingukan macam maling siap mencuri ayam, ia menjadi jengkel bercampur geli, segera serunya lagi dengan ilmu menyampaikan suara, "Adik Jiang, kenapa kau belum pergi dari situ?"

Siau-jiang menjulurkan lidahnya berulang kali, segera dia balik kembali ke ruang utama.

Cau-ji tahu, sekembalinya ke ruang utama, Siau-jiang pasti akan menceritakan keadaan mereka di situ, maka katanya sambil tertawa, "Enci Jin, tunggulah sebentar, biar kuambilkan pakaianmu."

"Tidak apa-apa, barusan apa yang dikatakan adik Jiang?"

"Dia bilang, di luar sana kedatangan dua orang yang sangat galak, mereka sedang berkelahi melawan Oh-yaya dan ayahmu."

"Sungguh? Kalau begitu cepatlah kau menyusul ke situ, aku segera akan menyusul."

Segera Cau-ji balik ke tepi kolam, setelah mengambil pakaian dalam milik Ong Bu-jin, segera dia mengenakan kembali pakaiannya dan berlari menuju ke pintu gerbang.

Belum tiba di depan pintu, ia sudah mendengar suara bentakan nyaring serta deru angin pukulan bergema dari luar pintu, perasaannya kontan bergolak keras, ia mempercepat larinya menuju keluar.

Terdengar Si Ciu-ing berbisik sambil menggapai ke arahnya, "Cau-ji, ilmu silat yang dimiliki kedua orang itu sangat lihai, cepat bantu Oh-yaya!"

Cau-ji manggut-manggut, ia saksikan seorang kakek kurus kering bak kulit pembungkus tulang dengan jenggot berwarna putih, jubah warna hitam dan bersenjatakan sebuah toya berkepala ular sedang bertarung sengit melawan Raja hewan.

Waktu itu Raja hewan dengan mengandalkan tongkat bambunya sedang melepaskan serangkaian serangan gencar, segulung bayangan hijau disertai deru angin kencang dan gemuruhnya guntur menekan kakek itu habis-habisan.

Jurus serangan yang digunakan kakek kurus itu sangat aneh, setiap gerak serangannya selalu ganas dan telengas, jangan dilihat senjata andalannya Cuma sebuah tongkat berkepala ular, tapi begitu berada di tangannya ternyata memiliki daya penghancur yang mengerikan.

Angin serangan yang begitu kencang dan kuat menyelimuti daerah seputar satu meter lebih, di balik angin yang menderu disertai pula kilatan halilintar dan gemuruhnya suara guntur.

Pertarungan berlangsung semakin sengit, jurus serangan yang digunakan kedua orang itu semakin aneh, angin toya pun makin lama makin bertambah kuat, jelas mereka berdua telah saling bertarung dengan mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi.

Cau-ji mencoba berpaling ke arah lain, lebih kurang dua belas meter dari arena pertarungan pertama, Bwe Si-jin sedang bertarung melawan seorang kakek berambut putih bagai tembaga, bersanggul tinggi dan mengenakan jubah panjang yang sederhana.

Mereka berdua pun sedang terlibat pertarungan yang amat sengit, bukan saja pasir beterbangan di udara, bahkan batu kerikil pun ikut mencelat ke empat penjuru.

"Roboh kau!" mendadak terdengar bentakan nyaring bergema memecah keheningan.

Tiba-tiba dari ujung toya berkepala ular milik kakek kurus kering itu menyembur keluar segumpal asap merah, asap itu langsung meluncur ke wajah Raja hewan.

Di luar dugaan Raja hewan sama sekali tidak roboh, tapi tubuhnya mundur sejauh tiga meter lebih dari posisi semula.

Kakek ceking itu tertawa seram, sambil mengobat-abitkan toyanya dia menyusul ke muka.

Semburan asap merah itu seketika menyelimuti seluruh tubuh Raja hewan dan memaksanya harus berkelit ke sana kemari.

Menyaksikan kejadian itu Ong Sam-kongcu segera memberi tanda, serentak semua orang mengundurkan diri ke dalam halaman.

"Ayah, apakah asap merah itu beracun?" bisik Cau-ji kemudian.

"Cau-ji," ujar Ong Sam-kongcu dengan serius, "kedua orang ini tak lain adalah Tian-tiong-siang-sat (sepasang malaikat bengis dari In-lam), asap merah itu mengandung racun yang sangat jahat, bila menempel di kulit maka kulit kita akan segera membusuk hingga menyebabkan kematian!"

"Hmmm! Masa menggunakan benda beracun macam begitu untuk bertarung melawan orang, betul-betul tidak adil, ayah, tampaknya Oh-yaya mulai tak sanggup menahan diri, bagaimana kalau Cau-ji menggantikan posisinya?"

"Baiklah, gunakan saja ilmu pukulan Pun-lui-ciang-hoat (ilmu pukulan Guntur menggelegar) untuk menghadapinya, ayah ingin lihat, kau butuh berapa jurus untuk merobohkan dirinya?"

Sementara itu Si Ciu-ing telah berpesan dengan rasa kuatir, "Cau-ji, kau harus berhati-hati!"

Melihat kekuatiran istrinya, sambil tertawa Ong Sam-kongcu berkata, "Kau tak perlu kuatir, anak Cau pernah menelan pil mestika Tay-huan-wan, selain itu pernah pula makan empedu naga sakti, boleh dibilang dia tidak mempan menghadapi serangan racun macam apapun, dia tak perlu kuatir menghadapi asap merah itu."

"Baiklah kalau begitu."

Dalam pada itu Raja hewan sudah tercecar sangat hebat, napasnya sudah tersengal-sengal macam napas kerbau, dalam keadaan seperti ini dia hanya bisa memutar toyanya untuk melindungi badan.

Melihat serangannya berhasil mencecar lawan, kakek ceking itu melancarkan serangannya makin gencar, toya di tangan kanan, serangan tangan kosong di tangan kiri, dia mencecar lawannya semakin dahsyat.

"Setan tua, jangan sombong kau!" bentak Cau-ji gusar.

Tubuhnya secepat kilat meluncur masuk ke dalam arena, telapak tangan kanannya diayunkan ke muka dan sebuah serangan telah dilontarkan tanpa menimbulkan suara.

"Cau-ji kelewat kolot," kata Ong Sam-kongcu sambil menggeleng kepalanya berulang kali, "menghadapi manusia macam beginipun dia masih menggunakan sopan santun, memberi peringatan lebih dulu sebelum melancarkan serangan."

"Itulah tingkah laku seorang lelaki sejati!" sambung Si Ciu-ing kegirangan.

Dalam pada itu si kakek ceking itu tergetar hatinya setelah mendengar bentakan itu, gerak serangannya agak terhenti sejenak, tapi begitu tahu penyerangnya hanya seorang bocah kemarin sore, tak tahan ia pun mendengus menghina.

Walaupun dia melihat Cau-ji mengayunkan tangannya, tapi karena tidak melihat datangnya angin serangan, dia sangka bocah itu hanya berlagak menyerang untuk membohonginya, maka bukan saja dia tidak peduli atas datangnya ancaman, malahan dengan toyanya dia mencecar Raja hewan makin hebat.

Siapa tahu pada saat itulah ia merasa seluruh tubuhnya terbungkus oleh satu kekuatan yang maha dahsyat, diikuti sebuah tenaga yang sangat kuat menghimpit tubuhnya.

Padahal waktu itu tubuhnya sudah telanjur menubruk ke depan, ingin menghindar tak sempat lagi, dalam gugupnya sambil mengertak gigi ia melancarkan sebuah bacokan maut dengan toyanya.

Pertarungan antara dua jago tangguh, lengah sedikit bisa mendatangkan bencana.

Tahu-tahu terdengar kakek ceking itu menjerit kesakitan, tubuh berikut toyanya sudah terhajar oleh angin pukulan yang dilancarkan Cau-ji.

Baru saja lengannya terpapas kutung hingga mencelat ke angkasa, tahu-tahu "Blaaaam!", tubuhnya sudah terhajar oleh serangan kedua Cau-ji hingga hancur berkeping-keping.

Tenaga pukulannya bukan saja dahsyat bagai tindihan bukit, bahkan cepat bagaikan sambaran kilat, Ong Sam-kongcu sekalian benar-benar terbelalak matanya setelah menyaksikan kehebatan itu.

Kakek yang sedang bertarung melawan Bwe Si-jin pun sempat menyaksikan kematian si kakek ceking yang mengenaskan, tak tahan ia berseru tertahan, "Aaah! Ilmu pukulan penghancur mayat!"

Begitu ia tertegun, seketika itu juga posisinya tercecar hebat dan dipaksa Bwe Si-jin berada di bawah angin.

Berhasil membunuh kakek berbaju hitam, kembali Cau-ji membentak, "Kau rasakan juga kehebatanku!"

Tubuh berikut pukulannya langsung menubruk ke depan menghantam pinggang kiri lawan.

Setelah melihat nasib tragis yang dialami rekannya, kakek itu tak berani bertindak gegabah, begitu mendengar teriakan Cau-ji, tergopoh-gopoh dia menghindarkan diri ke samping.

Begitu kakinya mencapai tanah, dengan jurus Thay-san-ciang-bong (gunung Thay-san ambruk), tanpa menimbulkan suara melepaskan sebuah gempuran dahsyat ke muka.

Belum lagi berdiri tegak, serangan yang dilancarkan Cau-ji sudah membacok tiba, terpaksa sekali lagi kakek itu berkelit dengan gugup.

"Hati-hati!" bentak Cau-ji.

Sepasang tangannya diayunkan bersama, dengan jurus It-goan-hu-si (tenaga murni pulih kembali), Siang-liong-si-cu (sepasang naga mempermainkan mutiara), Sam-kang-su-hay (tiga sungai empat samudra), Ngo-gak-ki-bong (lima bukit ambruk bersama) secara beruntun dia lancarkan serangkaian serangan secara bertubi-tubi.

Kakek itu segera merasakan datangnya deru angin puyuh yang menyapu tiba, sekalipun tidak disertai suara yang menakutkan, namun hawa murni yang mengalir membawa kekuatan menghimpit yang sangat menggidikkan hati.

Sadarlah kakek itu, bila dia menghadapi kurang hati-hati sedikit saja, bisa jadi nyawanya akan melayang.

Oleh sebab itu setiap kali tangan Cau-ji yang diayunkan ke muka menghembuskan tenaga ancaman, segera dia kerahkan segenap kekuatannya untuk mengegos ke samping.

Keadaannya saat ini mirip dengan seekor kucing yang sedang mempermainkan seekor tikus, mirip juga dengan seekor monyet yang sedang mempertunjukkan tarian topeng monyet.

Bwe Si-jin yang sudah mundur ke sisi arena tak mampu mengendalikan rasa gelinya, ia segera tertawa terbahak-bahak, ejeknya, *Ho tua, kemana kaburnya kegagahanmu?"

Sementara itu Cau-ji yang melancarkan serangan hebat pun menyempatkan diri bertanya sambil tertawa, "Paman, dia termasuk orang baik atau orang jahat?"

"Hahaha, sekalipun dia dari marga Ho, sayangnya bukan saja tidak termasuk orang baik, bahkan boleh dibilang dia adalah seorang manusia busuk yang 'tumbuh onak di kepalanya dan melelehkan nanah di dasar kakinya', menghadapi manusia seperti ini kau tak usah sungkan lagi."

"Baiklah, he, orang she Ho, bersiaplah untuk mampus!"

Bicara sampai di situ dia segera menghimpun tenaga dalamnya dan langsung dibacokkan ke tubuh kakek itu.

Setelah bertarung sekian lama, kakek itu sudah mulai kehabisan tenaga, tak sempat lagi menghindar dari ancaman yang tiba, segera dia menghimpun tenaga dalamnya untuk menyongsong datangnya ancaman itu dengan keras melawan keras.

"Aduuuh.....!"

Jeritan ngeri bergema memecah keheningan, segumpal hancuran daging dan darah segera berhamburan di angkasa.

Tampak seluruh tubuh kakek itu, dari kepala hingga kakinya sudah terbacok hancur oleh serangan Cau-ji, di bawah cahaya rembulan tampak suatu pemandangan yang sangat menggidikkan hati.

Tiga orang wanita yang ikut menyaksikan kejadian itu menjadi mual, hamper saja mereka muntah-muntah.

Bukan hanya ketiga orang wanita itu, Ong Sam-kongcu, Bwe Si-jin serta Raja Hewan yang menyaksikan pun ikut bergidik.

Sembari bertepuk tangan ujar Cau-ji kemudian, "Segalanya sudah beres, Loong terpaksa harus bekerja keras membersihkan lantai."

Setelah masuk kembali ke ruang utama, ia disambut sorak-sorai oleh segenap bocah.
 
Ini cerita masih sangat panjang bro...
Ada 3 jilid dengan masing2 jilid 6 episode yg panjangggggg....
Lanjut brader....
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd