Frantines
Kakak Semprot
Cau-ji mengira kakek itu tidak senang hati, baru saja dia akan membeberkan semua kejadian yang dialaminya tadi, terdengar raja hewan menukas dengan suara lirih: "Tak usah banyak bicara lagi, yaya sudah tahu sekarang."
"Yaya, kau benar-benar sudah tahu?" Cau-ji keheranan.
Raja hewan manggut-manggut.
"Sekarang kita tak usah membicarakan persoalan ini lagi, Jin-ji bisa terluka pasti karena kena getaran pelindung badanmu, ayo kita selamatkan dulu cicimu itu."
"Yaya, Cau-ji benar-benar bisa menolong enci Jin?" sambil berjalan Cau-ji bertanya.
Raja hewan mengangguk tanpa menjawab.
Padahal dia sendiripun tidak yakin akan hal itu.
Ketika mereka berdua masuk ke dalam ruangan, terdengar Si Ciu-ing sedang berkata sambil terisak: "Maafkan aku enci Ti!"
Rupanya Ong Sam-kongcu dan Bwe Si-jin secara bergantian telah memeriksa denyut nadi anak Jin, tapi hasilnya sama saja, napasnya lemah dan peredaran darahnya tersumbat.
Sambil berusaha mengendalikan rasa sedih di hatinya, Go Hoa-ti berkata: "Enci Ing tak usah sedih, selama Jin-ji masih bernapas, berarti masih ada peluang untuk menyembuhkan."
Ketika melihat Cau-ji muncul dalam ruangan, Ong Sam-kongcu segera menghardik dengan suara berat "Cau-ji, kemari, ayo berlutut di hadapan paman Bwe."
"Saudara Ong, kau tak usah menyiksa Cau-ji lagi," cegah Bwe SHin.
Dengan serius Ong Sam-kongcu menggeleng, kepada putranya kembali ia berkata: "Cau-ji, mulai hari ini kau dan anak Jin adalah suami istri, mengerti?"
Cau-ji merasa seperti mengerti, seperti juga tidak, tapi ia tak berani membantah perintah bapaknya, maka sambil mengangguk ujarnya: "Ayah, Cau ji masih belum mengerti, tapi Cau-ji akan mentaati perintah ayah."
Maka sesuai dengan petunjuk Ong Sam-kongcu, Cau-ji pun segera menjalankan penghormatan besar di hadapan Bwe Si-jin serta Go Hoa-ti.
Mendadak terdengar Bwe Si-jin berseru sambil tertawa tergelak: "Hahaha ...saudara Ong, ada tidak mertua yang menghantar menantunya masuk kamar pengantin?"
Jangankan Ong Sam-kongcu tidak paham, orang yang hadir di situ pun tak ada yang mengerti maksud perkataan itu.
Sambil membopong Jin-ji dari atas meja, kembali Bwe Si-jin berseru: "Pengantin lelaki, ayo ikuti mertuamu masuk kamar."
Habis berkata sambil tertawa terbahak-bahak dia berjalan menuju pesanggrahan Ti-wan.
Dengan kepala tertunduk dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun Cau-ji mengintil di belakangnya.
Semua orang yang hadir dalam ruangan cuma bisa saling berpandangan, tak seorangpun yang tahu apa gerangan yang terjadi.
Sementara itu dari dalam kamar pesanggrahan Ti-wan terdengar Bwe Si-jin berseru lagi: "Pengantin pria, ayo cepatan sedikit, jangan malu-malu."
Ketika Cau-ji masuk ke dalam kamar, ia saksikan Bwe Si-jin telah melucuti pakaian yang dikenakan Jin-ji hingga tinggal kutangnya yang berwarna biru, tampak gadis itu berbaring tenang di atas ranjang.
Melihat keadaan tersebut, Cau-ji segera terbayang kembali adegan syurnya dengan Su Gi-gi tempo hari, berubah hebat paras mukanya bahkan badannya ikut gemetar keras.
Bwe Si-jin melirik pemuda itu sekejap, kemudian katanya lagi: "Cau-ji, masih ingat ilmu Kui-goan-sinkang yang pernah paman ajarkan kepadamu?"
Cau-ji mengangguk.
"Kalau begitu coba berlatihlah satu kali di hadapan paman."
Cau-ji segera duduk bersila dan mulai mengatur pernapasan, tak lama kemudian tampak sebuah lapisan cahaya kuning menyelimuti seluruh tubuhnya.
Bwe Si-jin tertegun setelah menyaksikan kejadian itu, pikirnya: "Tak aneh kalau Jin-ji terluka parah meski jalan darahnya tertotok, kelihatannya dia mengalami kemajuan yang luar biasa pesatnya dalam beberapa hari terakhir...."
Bwe Si-jin berpikir sejenak, kemudian dia keluar dari kamar dan kembali dengan membawa dua batang pohon yang panjangnya berapa depa.
Terdengar Bwe Si-jin berkata lagi: "Cau-ji, coba perhatikan dua batang ranting pohon ini, nanti gunakanlah ranting itu untuk menotok jalan darah Pek-hwehiat dan Tan-tiam di tubuh Jin-ji.
"Anak Cau, asal kau salurkan tenaga dalammu ke jalan darah Pek-hwe-hiat di tubuh Jin-ji. lalu menggunakan Kui-goan-sinkang mengalirkan kembali tenaga Jin-ji yang ada di Tan-tiam balik ke tubuhmu, maka dua belas putaran kemudian dia akan segar kembali"
Mendengar itu Cau-ji segera menghembuskan napas lega. la terima ranting pohon itu, duduk di tepi ranjang, menutul jalan darah Pekhwe-hiat dan Tan-tiam di tubuh Jin-ji, kemudian mulai menyalurkan hawa murninya.
"Cau-ji, dorong secara perlahan-lahan, yang penting harus beraturan dan tidak putus," perintah Bwe Si-jin.
Cau-ji manggut-manggut, dia mulai mengerahkan tenaga dalamnya ke dalam lengan kiri.
Dengan cepat ia temukan jalan darah Pek hwe-hiat di tubuh enci Jinnya seperti tersumbat oleh sesuatu, apa mau dikata pamannya berpesan agar dia tidak terburu napsu, maka sambil menahan sabar pelan-pelan ia dorong tenaga dalamnya ke tubuh gadis itu.
Dua jam telah berlalu tanpa terasa, di bawah pengawasan Ong Sam-kongcu sekalian akhirnya Cau ji dapat menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh gadis itu.
Ong Bu-jin yang selama ini jatuh pingsan akhirnya dapat menghembuskan napas panjang dan membuka matanya kembali.
Semua orang menyambut keberhasilan ini dengan riang gembira.
"Anak Jin, jangan bicara dulu," bisik Si Ciu-ing lembut.
"Bibi, mana adik Cau?" tanya Ong Bu-jin lirih.
"Coba lihat sendiri, siapa yang telah selamatkan jiwamu?"
Jin-ji menoleh ke samping, melihat adik Cau nya sedang mengobati lukanya, dengan lemah bisiknya lagi: "Adik Cau, cici telah bersalah kepadamu..."
Belum habis berkata, napasnya sudah tersengal-sengal.
Cau-ji jadi gugup, ia segera membuang ranting pohon itu, memeluknya dan mencium bibirnya sembari menyalurkan tenaga dalam.
Siapa sangka lantaran kelewat emosi, tenaga dalamnya sama sekali tak tersalurkan keluar, dalam gugup bercampur panik Cau-ji segera menarik lepas kutang yang dikenakan gadis itu.
Sepasang payudaranya yang putih dan montok segera muncul di hadapan orang banyak, suasana pun jadi gaduh.
"Cau-ji, kau..."hardik Ong Sam-kongcu.
Tapi sebelum ia lanjutkan bentakannya, dengan wajah serius Bwe Si-jin telah menimpali: "Jangan emosi dulu Ong-heng, tadi Jin-ji kelewat banyak bicara ditambah lagi emosinya labil, sekarang keadaannya sangat berbahaya."
"Aku rasa tindakan yang akan dilakukan Cau-ji saat ini adalah menggunakan ilmu pengobatan Im-yang-ho-hap-tok-ki-liau-hoat (perpaduan positip dan negatip), sistim pengobatan ini sangat berbahaya, salah-salah bisa mencabut nyawa Jin-ji. jadi aku harap semua orang mau bertindak sebagai pelindung"
Bicara sampai di situ ia segera maju mendekat dengan wajah serius.
Ong Sam-kongcu segera berpaling ke arah Si Ciu-ing, katanya serius: "Adik Ing, keluarga Ong mempunyai tiga belas orang putra, tapi Bwe-heng dan adik Ti cuma memiliki Jin-ji seorang, kau mesti membantunya dengan bersungguhsungguh."
Habis berkata bersama si raja hewan segera keluar dari ruangan.
Dengan air mata berlinang dan tangan gemetar Si Ciu-ing serta Go Hoa-ti segera membantu Cau-ji dan Jin-ji melucuti semua pakaian yang mereka kenakan Go Hoa-ti mengambil sebuah bantal dan diletakkan di bawah pinggul Jin-ji, lalu pelan-pelan dia pentang lebar sepasang pahanya membiarkan "lubang singa" dengan bulu hitamnya yang masih sedikit itu terbentang lebar.
"Enci Ti, kali ini Jin-ji harus menderita," bisik Si Ciu-ing lirih.
"Kita tak perlu merisaukan persoalan ini," tukas Go Hoa-ti serius, "bagaimana pun mereka sudah menjadi suami istri, siapa tahu selewatnya kejadian ini hubungan mereka malah bertambah mesra."
Dengan penuh rasa terima kasih Si Ciu-ing mengangguk, katanya kemudian: "Cau-ji, ayo naik!"
Tadi Cau-ji mengambil keputusan untuk menggunakan cara tersebut, karena secara tiba-tiba teringat olehnya kalau tenaga dalam yang dimilikinya bertambah pesat setelah Su Gi-gi "kencing" di atas barang miliknya.
Oleh sebab itu dia putuskan untuk mencoba dengan cara yang sama.
Dalam waktu singkat Cau-ji sudah menindih di atas badan Jin-ji, karena punya hasrat ke situ. otomatis si "ular berbulu"nya dengan cepat menggelembung besar dan tegak lurus, tak lama kemudian barangnya jadi tegang sekali dan mencapai kepanjangan delapan inci dan besar satu inci.
Go Hoa-ti tidak menyangka Cau-ji yang masih berusia tiga belas tahun ternyata memiliki "barang" yang besarnya sudah mencapai setengah dari milik Bwe Si jin, bila barang itu berkembang terus mengikuti perkembangan tubuhnya, entah akhirnya bisa mencapai berapa besar?
Dua belas tusuk konde emas yang menyaksikan adegan itu ikut berdebar debar hatinya, mereka pun sangat kagum dengan ukuran barang milik Cau-ji yang luar biasa itu.
"Waah, besar amat barangnya," demikian mereka berpikir, "milik bapaknya saja tidak segede itu, di kemudian hari entah berapa banyak gadis yang bakal keranjingan dengan barang miliknya"
Go Hoa-ti cukup berpengalaman dengan sosis ukuran "king size", jadi dia pun tahu bagaimana harus menghadapinya, dengan suara lirih bisiknya: "Cici sekalian, tolong dibantu melumuri barang milik Cau-ji dengan air liur, agar sewaktu masuk nanti barangnya lebih licin!"
Sembari berkata, dia pun menggunakan air liur sendiri membasahi sekitar lubang surga milik Jin-ji dengan sangat berhati-hati.
Ketika barang ukuran "king size" milik Cau-ji sudah basah dilumuri air liur, Si Ciu-ing pun memberi perintah: "Ayo dimulai Cau-ji, tapi harus perlahan"
Cau-ji menurut, pelan-pelan dia masukkan barangnya ke dalam lubang surge milik gadis itu.
Ketika dilihatnya tangan Jin-ji mulai gemetar keras seperti menahan rasa sakit, kembali Si Ciu-ing berbisik: "Perlahan ... perlahan lagi, yang halus, yang pelan ... nah, sekarang masukkan sedikit demi sedikit... yaa ... jangan dipaksakan, perlahan saja ...."
Sembari menciumi bibir Jin-ji, pelan-pelan Cau-ji masukkan barang miliknya ke dalam lubang surga milik Jin-ji, karena mesti berhati-hati maka tak lama kemudian dia sudah bermandikan keringat.
Tapi untung semuanya berjalan lancar, tak selang berapa saat kemudian seluruh barang milik Cau-ji yang berukuran besar itu sudah terbenam di dalam liang surga gadis itu.
Melihat semuanya berjalan lancar, para orang dewasa pun menghembuskan napas lega
Pendidikan yang diberikan sang ibu memang luar biasa sekali!
Cau-ji sendiripun merasa lega, dia menarik napas dan bermaksud "kencing", tapi dia pun tak tahu bagai mana caranya melakukan hal tersebut, kalau harus "kencing", apa yang mesti dilakukan?
Karena kuatir kembali dia ciumi gadis itu bertubi-tubi.
Melihat putranya panik, Si Ciu-ing segera mengerti apa yang telah terjadi, maka dia pun berbisik: "Cau ji agar berhasil kencing, kau mesti mulai menggoyangkan badanmu!"
Tiba-tiba Cau-ji terbayang kembali dengan gerakan aneh yang dilakukan Su Gi-gi sebelum akhimya bisa "kencing", dalam girangnya dia pun mulai menggoyangkan badannya....
Saking kerasnya goyangan itu, Jin-ji kontan kesakitan setengah mati, bukan saja badannya gemetar keras, peluh dingin jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
"Cau-ji, cepat berhenti!" bentak Si Ciu-ing, sambil berkata dia segera memegang pinggul bocah itu dan menahannya.
"Ibu, kenapa Cau-ji mesti berhenti?" tanya pemuda itu keheranan.
"Cau-ji, kau tak boleh ngawur, coba lihat, Jin-ji jadi sangat tersiksa, kalau mau bergoyang, kau mesti bergoyang secara lembut dan perlahan, ayo sekarang di mulai... ikuti petunjukku ...."
Melihat gadis itu pucat pias sambil melelehkan air mata, Cau-ji tahu, nona itu pasti kesakitan, bisiknya ke mudian: "Cici, aku...."
Setelah berhenti sejenak, rasa sakit yang dialami Jin-ji sudah banyak berkurang, dia segera pejamkan matanya dan menjawab malu: "Adik Cau, aku tidak apa-apa...."
Begitulah, di bawah bimbingan Si Ciu-ing yang memberi komando, Cau-ji mulai naik turunkan badannya dengan penuh kelembutan....
Percikan darah perawan mulai meleleh keluar dan membasahi seprei pembaringan.
Tak lama kemudian napas Jin-ji mulai tersengal-sengkal, badannya juga mulai ikut bergoyang mengikuti gerakan tubuh pemuda itu.
Si Ciu-ing tahu, kedua orang bocah itu sudah mendekati puncak kenikmatan, maka kembali perintahnya: "Cau-ji, percepat gerakanmu, yaa... makin cepat...makin cepat lagi
Waktu itu Cau-ji sudah merasakan barang miliknya makin geli dan gatal, semakin cepat gerakan dilakukan, ia merasa barang miliknya semakin enak dan nikmat sekali, maka dia pun percepat gerak naik turunnya.
Jin-ji jauh lebih matang dari saudara lainnya, dia tentu saja tahu apa yang sedang mereka lakukan sekarang di hadapan orang banyak, sekalipun mereka adalah orang tua sendiri, tak urung rasa malu tetap menyelimuti perasaan hatinya, maka walaupun sudah terangsang hebat ia berusaha untuk menahannya.
Go Hoa-ti cukup berpengalaman dalam masalah ini, tentu saja dia pun mengerti jalan pikiran putrinya, diam-diam ia totok jalan darah tertawa di tubuh gadis itu kemudian memberi tanda kepada rekan-rekannya.
Tak lama kemudian terdengarlah suara tertawa serta rintihan dari Jin-ji yang membuat suasana semakin terangsang....
Cau-ji mengira cicinya sangat senang dengan gerak cepatnya, maka dia pun mempercepat gerakan tubuhnya.
Setengah perminuman teh kemudian tampak bulu kuduk Jin-ji pada bangun berdiri, tubuhnya mulai gemetar keras.
Berubah hebat paras muka Go Hoa-ti, buru-buru dia tepuk bebas jalan darah tertawanya.
Cau-ji tidak tahu adanya perubahan itu, dia masih melanjutkan genjotan badannya....
"Cau-ji, sudah keluar belum?" tanya Si Ciu-ing tiba-tiba.
"Ibu, Cau Ji tak bisa kencing, bagaimana ini?"
Si Ciu-ing termenung berpikir sejenak, dia tahu bila Cau-ji dibiarkan menerjang terus lama kelamaan Jin-ji bakal mati, maka diapun berkata "Cau-ji, cepat dikencingkan, asal kau sudah kencing, Jin ji pasti akan sehat kembali."
"Ya betul, asal dia tidur sejenak maka semuanya akan beres."
"Cau-ji, jangan salahkan ibu." Tiba-tiba Si Ciu-ing berbisik dengan air mata berlinang, tiba-tiba secepat kilat dia totok jalan darah Ciok-cing hiat di tubuh Ciau Ji, jalan darah ini mengendalikan saluran cairan mani di tubuh kaum lelaki.
"Jangan!" pekik Go Hoa-ti sambil mencengkram pergelangan tangannya.
Pek Lan-hoa ikut bergerak, secepat kilat ia totok jalan darah kaku di tubuhnya.
"Enci Ing, kau tak boleh berbuat begitu," seru Goa Hoa-ti dengan air mata berlinang.
"Enci Ti, kau sudah mendengar perintah dari engkoh Huan bukan," kata Si Ciu-ing tegas, "kita masih punya dua belas orang anak lelaki."
Sambil berkata ia tepuk jalan darah Ciok-cing hiat di tubuh bocah itu.
Cau-ji segera mendengus tertahan, badannya gemetar keras, cairan mani segera menyembur keluar berulang kali, dengan lemas tubuhnya segera tergeletak di atas badan Jin-ji.
"Cau-ji!" seru Si Ciu-ing sedih, dia segera membopong tubuh putranya.
"Enci Ing, kami terlalu banyak berhutang kepada kalian," keluh Go Hoa-ti sembari memeluknya.
"Maaf cici Ti, aku harus pergi duluan," kata Si Ciu-ing, dengan langkah sempoyongan dia segera menerjang keluar dari ruangan.
"Cau-ji...." kembali pekiknya keras.
Pekikan keras yang menyayat hati itu kontan membelah keheningan fajar yang baru menyingsing.
Ong Sam-kongcu yang mendengar teriakan itu tersentak kaget, paras mukanya pucat pias bagai mayat, untuk sesaat dia tertegun dan tak mampu berbuat apa-apa.
Sebelas orang tusuk konde lainnya ikut melelehkan air mata, melihat cairan mani masih saja menyembur keluar dari barang milik Cau-ji, mereka serentak berlarian mengikuti di belakangnya.
Tak sampai setengah jam kemudian, berita duka ini sudah menyebar ke seluruh pesanggrahan, semua orang tenggelam dalam kesedihan yang luar biasa.
Benarkah Cau-ji, si pendekar muda kita tewas karena cairan maninya menyembur keluar terus menerus?
"Yaya, kau benar-benar sudah tahu?" Cau-ji keheranan.
Raja hewan manggut-manggut.
"Sekarang kita tak usah membicarakan persoalan ini lagi, Jin-ji bisa terluka pasti karena kena getaran pelindung badanmu, ayo kita selamatkan dulu cicimu itu."
"Yaya, Cau-ji benar-benar bisa menolong enci Jin?" sambil berjalan Cau-ji bertanya.
Raja hewan mengangguk tanpa menjawab.
Padahal dia sendiripun tidak yakin akan hal itu.
Ketika mereka berdua masuk ke dalam ruangan, terdengar Si Ciu-ing sedang berkata sambil terisak: "Maafkan aku enci Ti!"
Rupanya Ong Sam-kongcu dan Bwe Si-jin secara bergantian telah memeriksa denyut nadi anak Jin, tapi hasilnya sama saja, napasnya lemah dan peredaran darahnya tersumbat.
Sambil berusaha mengendalikan rasa sedih di hatinya, Go Hoa-ti berkata: "Enci Ing tak usah sedih, selama Jin-ji masih bernapas, berarti masih ada peluang untuk menyembuhkan."
Ketika melihat Cau-ji muncul dalam ruangan, Ong Sam-kongcu segera menghardik dengan suara berat "Cau-ji, kemari, ayo berlutut di hadapan paman Bwe."
"Saudara Ong, kau tak usah menyiksa Cau-ji lagi," cegah Bwe SHin.
Dengan serius Ong Sam-kongcu menggeleng, kepada putranya kembali ia berkata: "Cau-ji, mulai hari ini kau dan anak Jin adalah suami istri, mengerti?"
Cau-ji merasa seperti mengerti, seperti juga tidak, tapi ia tak berani membantah perintah bapaknya, maka sambil mengangguk ujarnya: "Ayah, Cau ji masih belum mengerti, tapi Cau-ji akan mentaati perintah ayah."
Maka sesuai dengan petunjuk Ong Sam-kongcu, Cau-ji pun segera menjalankan penghormatan besar di hadapan Bwe Si-jin serta Go Hoa-ti.
Mendadak terdengar Bwe Si-jin berseru sambil tertawa tergelak: "Hahaha ...saudara Ong, ada tidak mertua yang menghantar menantunya masuk kamar pengantin?"
Jangankan Ong Sam-kongcu tidak paham, orang yang hadir di situ pun tak ada yang mengerti maksud perkataan itu.
Sambil membopong Jin-ji dari atas meja, kembali Bwe Si-jin berseru: "Pengantin lelaki, ayo ikuti mertuamu masuk kamar."
Habis berkata sambil tertawa terbahak-bahak dia berjalan menuju pesanggrahan Ti-wan.
Dengan kepala tertunduk dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun Cau-ji mengintil di belakangnya.
Semua orang yang hadir dalam ruangan cuma bisa saling berpandangan, tak seorangpun yang tahu apa gerangan yang terjadi.
Sementara itu dari dalam kamar pesanggrahan Ti-wan terdengar Bwe Si-jin berseru lagi: "Pengantin pria, ayo cepatan sedikit, jangan malu-malu."
Ketika Cau-ji masuk ke dalam kamar, ia saksikan Bwe Si-jin telah melucuti pakaian yang dikenakan Jin-ji hingga tinggal kutangnya yang berwarna biru, tampak gadis itu berbaring tenang di atas ranjang.
Melihat keadaan tersebut, Cau-ji segera terbayang kembali adegan syurnya dengan Su Gi-gi tempo hari, berubah hebat paras mukanya bahkan badannya ikut gemetar keras.
Bwe Si-jin melirik pemuda itu sekejap, kemudian katanya lagi: "Cau-ji, masih ingat ilmu Kui-goan-sinkang yang pernah paman ajarkan kepadamu?"
Cau-ji mengangguk.
"Kalau begitu coba berlatihlah satu kali di hadapan paman."
Cau-ji segera duduk bersila dan mulai mengatur pernapasan, tak lama kemudian tampak sebuah lapisan cahaya kuning menyelimuti seluruh tubuhnya.
Bwe Si-jin tertegun setelah menyaksikan kejadian itu, pikirnya: "Tak aneh kalau Jin-ji terluka parah meski jalan darahnya tertotok, kelihatannya dia mengalami kemajuan yang luar biasa pesatnya dalam beberapa hari terakhir...."
Bwe Si-jin berpikir sejenak, kemudian dia keluar dari kamar dan kembali dengan membawa dua batang pohon yang panjangnya berapa depa.
Terdengar Bwe Si-jin berkata lagi: "Cau-ji, coba perhatikan dua batang ranting pohon ini, nanti gunakanlah ranting itu untuk menotok jalan darah Pek-hwehiat dan Tan-tiam di tubuh Jin-ji.
"Anak Cau, asal kau salurkan tenaga dalammu ke jalan darah Pek-hwe-hiat di tubuh Jin-ji. lalu menggunakan Kui-goan-sinkang mengalirkan kembali tenaga Jin-ji yang ada di Tan-tiam balik ke tubuhmu, maka dua belas putaran kemudian dia akan segar kembali"
Mendengar itu Cau-ji segera menghembuskan napas lega. la terima ranting pohon itu, duduk di tepi ranjang, menutul jalan darah Pekhwe-hiat dan Tan-tiam di tubuh Jin-ji, kemudian mulai menyalurkan hawa murninya.
"Cau-ji, dorong secara perlahan-lahan, yang penting harus beraturan dan tidak putus," perintah Bwe Si-jin.
Cau-ji manggut-manggut, dia mulai mengerahkan tenaga dalamnya ke dalam lengan kiri.
Dengan cepat ia temukan jalan darah Pek hwe-hiat di tubuh enci Jinnya seperti tersumbat oleh sesuatu, apa mau dikata pamannya berpesan agar dia tidak terburu napsu, maka sambil menahan sabar pelan-pelan ia dorong tenaga dalamnya ke tubuh gadis itu.
Dua jam telah berlalu tanpa terasa, di bawah pengawasan Ong Sam-kongcu sekalian akhirnya Cau ji dapat menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh gadis itu.
Ong Bu-jin yang selama ini jatuh pingsan akhirnya dapat menghembuskan napas panjang dan membuka matanya kembali.
Semua orang menyambut keberhasilan ini dengan riang gembira.
"Anak Jin, jangan bicara dulu," bisik Si Ciu-ing lembut.
"Bibi, mana adik Cau?" tanya Ong Bu-jin lirih.
"Coba lihat sendiri, siapa yang telah selamatkan jiwamu?"
Jin-ji menoleh ke samping, melihat adik Cau nya sedang mengobati lukanya, dengan lemah bisiknya lagi: "Adik Cau, cici telah bersalah kepadamu..."
Belum habis berkata, napasnya sudah tersengal-sengal.
Cau-ji jadi gugup, ia segera membuang ranting pohon itu, memeluknya dan mencium bibirnya sembari menyalurkan tenaga dalam.
Siapa sangka lantaran kelewat emosi, tenaga dalamnya sama sekali tak tersalurkan keluar, dalam gugup bercampur panik Cau-ji segera menarik lepas kutang yang dikenakan gadis itu.
Sepasang payudaranya yang putih dan montok segera muncul di hadapan orang banyak, suasana pun jadi gaduh.
"Cau-ji, kau..."hardik Ong Sam-kongcu.
Tapi sebelum ia lanjutkan bentakannya, dengan wajah serius Bwe Si-jin telah menimpali: "Jangan emosi dulu Ong-heng, tadi Jin-ji kelewat banyak bicara ditambah lagi emosinya labil, sekarang keadaannya sangat berbahaya."
"Aku rasa tindakan yang akan dilakukan Cau-ji saat ini adalah menggunakan ilmu pengobatan Im-yang-ho-hap-tok-ki-liau-hoat (perpaduan positip dan negatip), sistim pengobatan ini sangat berbahaya, salah-salah bisa mencabut nyawa Jin-ji. jadi aku harap semua orang mau bertindak sebagai pelindung"
Bicara sampai di situ ia segera maju mendekat dengan wajah serius.
Ong Sam-kongcu segera berpaling ke arah Si Ciu-ing, katanya serius: "Adik Ing, keluarga Ong mempunyai tiga belas orang putra, tapi Bwe-heng dan adik Ti cuma memiliki Jin-ji seorang, kau mesti membantunya dengan bersungguhsungguh."
Habis berkata bersama si raja hewan segera keluar dari ruangan.
Dengan air mata berlinang dan tangan gemetar Si Ciu-ing serta Go Hoa-ti segera membantu Cau-ji dan Jin-ji melucuti semua pakaian yang mereka kenakan Go Hoa-ti mengambil sebuah bantal dan diletakkan di bawah pinggul Jin-ji, lalu pelan-pelan dia pentang lebar sepasang pahanya membiarkan "lubang singa" dengan bulu hitamnya yang masih sedikit itu terbentang lebar.
"Enci Ti, kali ini Jin-ji harus menderita," bisik Si Ciu-ing lirih.
"Kita tak perlu merisaukan persoalan ini," tukas Go Hoa-ti serius, "bagaimana pun mereka sudah menjadi suami istri, siapa tahu selewatnya kejadian ini hubungan mereka malah bertambah mesra."
Dengan penuh rasa terima kasih Si Ciu-ing mengangguk, katanya kemudian: "Cau-ji, ayo naik!"
Tadi Cau-ji mengambil keputusan untuk menggunakan cara tersebut, karena secara tiba-tiba teringat olehnya kalau tenaga dalam yang dimilikinya bertambah pesat setelah Su Gi-gi "kencing" di atas barang miliknya.
Oleh sebab itu dia putuskan untuk mencoba dengan cara yang sama.
Dalam waktu singkat Cau-ji sudah menindih di atas badan Jin-ji, karena punya hasrat ke situ. otomatis si "ular berbulu"nya dengan cepat menggelembung besar dan tegak lurus, tak lama kemudian barangnya jadi tegang sekali dan mencapai kepanjangan delapan inci dan besar satu inci.
Go Hoa-ti tidak menyangka Cau-ji yang masih berusia tiga belas tahun ternyata memiliki "barang" yang besarnya sudah mencapai setengah dari milik Bwe Si jin, bila barang itu berkembang terus mengikuti perkembangan tubuhnya, entah akhirnya bisa mencapai berapa besar?
Dua belas tusuk konde emas yang menyaksikan adegan itu ikut berdebar debar hatinya, mereka pun sangat kagum dengan ukuran barang milik Cau-ji yang luar biasa itu.
"Waah, besar amat barangnya," demikian mereka berpikir, "milik bapaknya saja tidak segede itu, di kemudian hari entah berapa banyak gadis yang bakal keranjingan dengan barang miliknya"
Go Hoa-ti cukup berpengalaman dengan sosis ukuran "king size", jadi dia pun tahu bagaimana harus menghadapinya, dengan suara lirih bisiknya: "Cici sekalian, tolong dibantu melumuri barang milik Cau-ji dengan air liur, agar sewaktu masuk nanti barangnya lebih licin!"
Sembari berkata, dia pun menggunakan air liur sendiri membasahi sekitar lubang surga milik Jin-ji dengan sangat berhati-hati.
Ketika barang ukuran "king size" milik Cau-ji sudah basah dilumuri air liur, Si Ciu-ing pun memberi perintah: "Ayo dimulai Cau-ji, tapi harus perlahan"
Cau-ji menurut, pelan-pelan dia masukkan barangnya ke dalam lubang surge milik gadis itu.
Ketika dilihatnya tangan Jin-ji mulai gemetar keras seperti menahan rasa sakit, kembali Si Ciu-ing berbisik: "Perlahan ... perlahan lagi, yang halus, yang pelan ... nah, sekarang masukkan sedikit demi sedikit... yaa ... jangan dipaksakan, perlahan saja ...."
Sembari menciumi bibir Jin-ji, pelan-pelan Cau-ji masukkan barang miliknya ke dalam lubang surga milik Jin-ji, karena mesti berhati-hati maka tak lama kemudian dia sudah bermandikan keringat.
Tapi untung semuanya berjalan lancar, tak selang berapa saat kemudian seluruh barang milik Cau-ji yang berukuran besar itu sudah terbenam di dalam liang surga gadis itu.
Melihat semuanya berjalan lancar, para orang dewasa pun menghembuskan napas lega
Pendidikan yang diberikan sang ibu memang luar biasa sekali!
Cau-ji sendiripun merasa lega, dia menarik napas dan bermaksud "kencing", tapi dia pun tak tahu bagai mana caranya melakukan hal tersebut, kalau harus "kencing", apa yang mesti dilakukan?
Karena kuatir kembali dia ciumi gadis itu bertubi-tubi.
Melihat putranya panik, Si Ciu-ing segera mengerti apa yang telah terjadi, maka dia pun berbisik: "Cau ji agar berhasil kencing, kau mesti mulai menggoyangkan badanmu!"
Tiba-tiba Cau-ji terbayang kembali dengan gerakan aneh yang dilakukan Su Gi-gi sebelum akhimya bisa "kencing", dalam girangnya dia pun mulai menggoyangkan badannya....
Saking kerasnya goyangan itu, Jin-ji kontan kesakitan setengah mati, bukan saja badannya gemetar keras, peluh dingin jatuh bercucuran membasahi wajahnya.
"Cau-ji, cepat berhenti!" bentak Si Ciu-ing, sambil berkata dia segera memegang pinggul bocah itu dan menahannya.
"Ibu, kenapa Cau-ji mesti berhenti?" tanya pemuda itu keheranan.
"Cau-ji, kau tak boleh ngawur, coba lihat, Jin-ji jadi sangat tersiksa, kalau mau bergoyang, kau mesti bergoyang secara lembut dan perlahan, ayo sekarang di mulai... ikuti petunjukku ...."
Melihat gadis itu pucat pias sambil melelehkan air mata, Cau-ji tahu, nona itu pasti kesakitan, bisiknya ke mudian: "Cici, aku...."
Setelah berhenti sejenak, rasa sakit yang dialami Jin-ji sudah banyak berkurang, dia segera pejamkan matanya dan menjawab malu: "Adik Cau, aku tidak apa-apa...."
Begitulah, di bawah bimbingan Si Ciu-ing yang memberi komando, Cau-ji mulai naik turunkan badannya dengan penuh kelembutan....
Percikan darah perawan mulai meleleh keluar dan membasahi seprei pembaringan.
Tak lama kemudian napas Jin-ji mulai tersengal-sengkal, badannya juga mulai ikut bergoyang mengikuti gerakan tubuh pemuda itu.
Si Ciu-ing tahu, kedua orang bocah itu sudah mendekati puncak kenikmatan, maka kembali perintahnya: "Cau-ji, percepat gerakanmu, yaa... makin cepat...makin cepat lagi
Waktu itu Cau-ji sudah merasakan barang miliknya makin geli dan gatal, semakin cepat gerakan dilakukan, ia merasa barang miliknya semakin enak dan nikmat sekali, maka dia pun percepat gerak naik turunnya.
Jin-ji jauh lebih matang dari saudara lainnya, dia tentu saja tahu apa yang sedang mereka lakukan sekarang di hadapan orang banyak, sekalipun mereka adalah orang tua sendiri, tak urung rasa malu tetap menyelimuti perasaan hatinya, maka walaupun sudah terangsang hebat ia berusaha untuk menahannya.
Go Hoa-ti cukup berpengalaman dalam masalah ini, tentu saja dia pun mengerti jalan pikiran putrinya, diam-diam ia totok jalan darah tertawa di tubuh gadis itu kemudian memberi tanda kepada rekan-rekannya.
Tak lama kemudian terdengarlah suara tertawa serta rintihan dari Jin-ji yang membuat suasana semakin terangsang....
Cau-ji mengira cicinya sangat senang dengan gerak cepatnya, maka dia pun mempercepat gerakan tubuhnya.
Setengah perminuman teh kemudian tampak bulu kuduk Jin-ji pada bangun berdiri, tubuhnya mulai gemetar keras.
Berubah hebat paras muka Go Hoa-ti, buru-buru dia tepuk bebas jalan darah tertawanya.
Cau-ji tidak tahu adanya perubahan itu, dia masih melanjutkan genjotan badannya....
"Cau-ji, sudah keluar belum?" tanya Si Ciu-ing tiba-tiba.
"Ibu, Cau Ji tak bisa kencing, bagaimana ini?"
Si Ciu-ing termenung berpikir sejenak, dia tahu bila Cau-ji dibiarkan menerjang terus lama kelamaan Jin-ji bakal mati, maka diapun berkata "Cau-ji, cepat dikencingkan, asal kau sudah kencing, Jin ji pasti akan sehat kembali."
"Ya betul, asal dia tidur sejenak maka semuanya akan beres."
"Cau-ji, jangan salahkan ibu." Tiba-tiba Si Ciu-ing berbisik dengan air mata berlinang, tiba-tiba secepat kilat dia totok jalan darah Ciok-cing hiat di tubuh Ciau Ji, jalan darah ini mengendalikan saluran cairan mani di tubuh kaum lelaki.
"Jangan!" pekik Go Hoa-ti sambil mencengkram pergelangan tangannya.
Pek Lan-hoa ikut bergerak, secepat kilat ia totok jalan darah kaku di tubuhnya.
"Enci Ing, kau tak boleh berbuat begitu," seru Goa Hoa-ti dengan air mata berlinang.
"Enci Ti, kau sudah mendengar perintah dari engkoh Huan bukan," kata Si Ciu-ing tegas, "kita masih punya dua belas orang anak lelaki."
Sambil berkata ia tepuk jalan darah Ciok-cing hiat di tubuh bocah itu.
Cau-ji segera mendengus tertahan, badannya gemetar keras, cairan mani segera menyembur keluar berulang kali, dengan lemas tubuhnya segera tergeletak di atas badan Jin-ji.
"Cau-ji!" seru Si Ciu-ing sedih, dia segera membopong tubuh putranya.
"Enci Ing, kami terlalu banyak berhutang kepada kalian," keluh Go Hoa-ti sembari memeluknya.
"Maaf cici Ti, aku harus pergi duluan," kata Si Ciu-ing, dengan langkah sempoyongan dia segera menerjang keluar dari ruangan.
"Cau-ji...." kembali pekiknya keras.
Pekikan keras yang menyayat hati itu kontan membelah keheningan fajar yang baru menyingsing.
Ong Sam-kongcu yang mendengar teriakan itu tersentak kaget, paras mukanya pucat pias bagai mayat, untuk sesaat dia tertegun dan tak mampu berbuat apa-apa.
Sebelas orang tusuk konde lainnya ikut melelehkan air mata, melihat cairan mani masih saja menyembur keluar dari barang milik Cau-ji, mereka serentak berlarian mengikuti di belakangnya.
Tak sampai setengah jam kemudian, berita duka ini sudah menyebar ke seluruh pesanggrahan, semua orang tenggelam dalam kesedihan yang luar biasa.
Benarkah Cau-ji, si pendekar muda kita tewas karena cairan maninya menyembur keluar terus menerus?