Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Pendekar Naga Mas

Ong Bu-jin pun menyambutnya dengan mata berbinar, coba kalau di situ tak banyak orang, dia pasti sudah menubruk ke muka, memeluk pemuda itu dan menciumnya dengan hangat.

Setelah semua orang mengambil tempat duduk, Bwe Si-jin baru berkata sambil tersenyum, "Perlu kalian ketahui, kedua orang gembong iblis yang barusan datang menyatroni itu adalah dua orang Tongcu perkumpulan Jit-sengkau, yang satu adalah Tongcu dari ruang naga hijau, sedang yang lain adalah Tongcu dari ruang harimau putih."

"Kalau dianalisa dari perkataan mereka berdua tadi, kelihatannya Su Kiau-kiau sudah memutuskan untuk muncul secara terbuka dalam dunia persilatan, itulah sebabnya mereka mengutus kedua orang itu untuk datang membujuk Ong-heng agar bersedia bergabung dengan perkumpulan mereka."

Semua orang hanya manggut-manggut tanpa berkata.

Setelah memandang Cau-ji sekejap, kembali Bwe Si-jin berkata, "Cau-ji, ditinjau dari teriakan lawan yang bisa menyebut ilmu pukulan penghancur mayatmu, apakah sebelum kejadian hari ini, kau pernah menggunakan cara yang sama untuk menghabisi nyawa para pengejar itu?"

"Betul! Hanya saja waktu itu aku hanya ingin kabur secepatnya sehingga sama sekali tidak sengaja."

"Hahaha, aku bukan bermaksud menyalahkan dirimu, kenyataan memang cara inilah yang paling jitu untuk menakut-nakuti mereka, cuma sekarang urusannya jadi sedikit repot, dengan kematian kedua orang ini maka setiap saat pasti ada anggota Jit-seng-kau yang bakal mencari jejak mereka hingga ke sini."

Mendengar perkataan ini, semua orang menjadi tertegun.

Tiba-tiba Cauii berkata, "Paman, bukankah kau pandai menyaru muka, selain itu juga banyak tahu tentang rahasia mereka, bagaimana jika kita berdua menyamar menjadi kedua orang kakek itu?"

Sekali lagi semua orang tertegun.

"Jangan!" cegah Si Ciu-ing kuatir, "terlalu berbahaya!"

Sebaliknya Ong Sam-kongcu malah tertawa terbahak-bahak, serunya, "Hahaha, aku setuju sekali!"

"Tapi Jit-seng-kau bukan perkumpulan kecil, jangan dianggap mainan."

"Hahaha, sekarang kungfu yang dimiliki Cau-ji sangat tangguh, tidak setiap orang dapat mengganggunya, apalagi ada saudara Bwe yang melindungi, aku sama sekali tak kuatir. Dulu, Yaya pernah memimpin para jago untuk membasmi Jit-seng-kau, bila hari ini Cau-ji pun dapat membasmi Jit-seng-kau sekali lagi, jelas prestasi ini merupakan prestasi yang luar biasa."

"Enso, kau tak perlu kuatir," janji Bwe Si-jin pula dengan suara nyaring, "setelah berhasil menyusup ke dalam markas besar Jit-seng-kau, aku dan Cau-ji hanya akan membasmi Su Kiau-kiau beserta ketiga orang Sumoaynya, aku rasa tak ada yang perlu dikuatirkan."

Mendengar perkataan ini, meski dalam hati menyadari persoalan tak bakal begitu sederhana, namun Si Ciu-ing merasa rikuh untuk membantah, akhirnya dia hanya berpesan, "Cau-ji, kau harus menuruti perkataan paman Bwe, jangan sembrono!"

"Aku tahu, ibu!"

Melihat semua orang sudah tak ada usul lain, Bwe Si-jin segera berkata sambil tertawa tergelak, "Hahaha, silakan kalian lanjutkan mengobrol, aku harus mengambil kembali tongkat kepala ular itu, karena alat itu sangat penting bagi penyaruanku nanti."

Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak dan beranjak pergi.

Raja hewan pun berpesan kepada Cau-ji, "Cau-ji, mulai besok akan kuajarkan ilmu pukulan Tui-hong-ciang-hoat dari Ho Ho-wan kepadamu, dengan menguasai ilmu pukulan andalannya, penyamaranmu akan semakin sempurna."

"Yaya, siapa sih Ho-ho-wan (gemar bermain) itu?" Ong Sam-kongcu tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, Cau-ji, dialah gembong iblis yang baru saja kau hajar hingga hancur lebur badannya, orang she Ho itu punya tangan kiri merah dan tangan kanan berwarna hitam, karenanya disebut Ho Ho-wan."

"Ooh, rupanya dia, heran, kenapa mencari nama pun yang aneh-aneh, wah, sekarang dia benar-benar bisa bermain terus di neraka."

"Saudara tua Ho Ho-wan mempunyai nama yang lebih menarik lagi," lanjut si Raja hewan, "dia bernama Ho Ho-cia (gemar makan)."

"Ho Ho-cia, Ho Ho-wan! Aaah, tahu aku sekarang, waktu masih kecil dulu mereka berdua pasti kurang makan kurang permainan hingga diberi nama Ho Ho-cia dan Ho Ho-wan, bukan begitu?"

Semua orang tertawa terbahak-bahak. Waktu itu kebetulan Bwe Si-jin muncul kembali sambil membawa tongkat berkepala ular, menyaksikan semua orang tertawa geli, ia menjadi heran, tegurnya, "He, apa yang sedang kalian tertawakan?"

"Engkoh Jin," ujar Go Hoa-ti, "selanjutnya kau adalah Ho Ho-cia sedang Cau-ji menjadi Ho Ho-wan, jangan lupa untuk makan enak dan bermain terus sampai puas."

Mendengar itu Bwe Si-jin pun tertawa terbahak-bahak.

Tujuh hari kemudian, di saat senja menjelang tiba, di sebuah jalan raya yang terletak sepuluh li di luar kota kuno Tiang-sah, muncul dua orang kakek tua, mereka tak lain adalah Cau-ji serta Bwe si-jin yang menyamar menjadi sepasang malaikat bengis dari In-lam.

Selama dua hari berdiam di perkampungan Hay-thian-it-si, bukan saja Cau-ji telah mempelajari ilmu menyaru muka serta ilmu pukulan Tui-hong-ciang-hoat, bahkan dia pun menguasai semua seluk-beluk organisasi Jit-seng-kau selama belasan tahun terakhir termasuk semua peraturannya.

Khususnya tentang ilmu silat yang dimiliki Su Kiau-kiau beserta ketiga orang Sumoaynya, ciri khas mereka serta tabiatnya, boleh dibilang ia sudah hapal di luar kepala.

Tiba-tiba terdengar Cau-ji berbisik dengan ilmu menyampaikan suaranya, "Paman, di dalam hutan di depan sana kelihatannya ada lima orang sedang menyembunyikan diri, benar tidak?"

Bwe si-jin segera pasang telinga, namun kecuali terdengar suara burung yang berkicau serta hembusan angin malam yang menggoyang ranting pohon, dia sama sekali tak mendengar suara apapun. Kontan saja pertanyaan itu membuatnya tertegun.

Benar saja, baru mereka berdua melanjutkan kembali perjalanannya sejauh beberapa li, tiba-tiba dari balik hutan melompat keluar lima sosok bayangan manusia.

Begitu muncul, serentak kelima orang itu membentak nyaring, "Setan tua, berhenti!"

Sekarang Bwe si-jin baru benar-benar merasa kagum dengan kehebatan ilmu silat yang dimiliki Cau-ji.

Dengan santai mereka berdua segera menghentikan langkahnya, kemudian ditatapnya kelima orang lelaki bertubuh kekar dan beralis tebal itu sekejap.

Terdengar lelaki yang berdiri paling tengah menghardik, "Jalan ini aku yang menggali, pepohonan di sini aku pula yang menanam, bila kalian dua orang setan tua ingin hidup selamat, cepat serahkan uang!"

"Ooh, para pendekar, aku si tua ini tidak membawa uang banyak, kalian ...." Bwe si-jin segera berlagak gugup dan ketakutan.

"Tutup mulut, tampaknya kau si setan tua sudah bosan hidup, kalau tahu diri, cepat serahkan semua perbekalan kalian, hmm! Jangan paksa Toaya turun tangan, jangan salahkan jika kucabut nyawa anjingmu."

Cau-ji pun berlagak terkejut bercampur gugup, teriaknya pula, "Ohh, jangan, jangan dirampas uang kami. Kalian bertubuh kekar dan punya ilmu tinggi, kenapa tidak bekerja secara baik-baik saja mencari uang halal, buat apa kalian melakukan usaha dagang tanpa modal semacam ini."

"Sialan, tutup bacotmu setan tua," lelaki yang lain segera membentak nyaring, "kau tahu, bukan pekerjaan gampang untuk mendapatkan Ciaji (ramalan) 'semua senang' (semacam permainan lotre), sekarang baru saja kami berlima mendapatnya, maka untuk menutup ongkos yang tinggi ketika membeli ciaji itu, kami ingin minta sokongan dari kalian."

Selesai berkata, dengan langkah lebar ia segera berjalan mendekat.

Tiba-tiba Bwe si-jin berteriak keras, "Benarkah begitu? Nomor berapa?

Dapatkah aku si orang tua ikut 'menanam bunga'?"

Lelaki itu kelihatan agak tertegun, kemudian tertawa tergelak.

"Hahaha, maknya! Ternyata kau si setan tua pun ikutan main 'semua senang', maknya! Mana ada makan gratis di siang hari bolong, ingin tidak membayar uang lewat? Jangan mimpi."

Habis berkata dia langsung menubruk ke depan.

Kembali Bwe si-jin memutar tongkat kepala ularnya seakan tak bertenaga, dengan napas ngos-ngosan serunya, "Ingin uang gratis? Huuh, serahkan nyawamu."

Dengan gampang lelaki itu mengegos ke samping menghindarkan diri dari pukulan itu, kemudian sambil menghajar dada Bwe si-jin serunya dingin, "Setan tua, jangan salahkan kalau aku bertindak keji!"

"Blaaaam!", pukulan tangan kanannya segera bersarang telak di dada lawan.

Baru saja lelaki itu siap tertawa tergelak, mendadak ia saksikan sesuatu yang aneh, ternyata telapak tangannya yang menempel di dada lawan sama sekali tak sanggup ditarik balik, tangan itu seolah menempel jadi satu dengan tubuh lawan.

Dalam terkejutnya segera dia kerahkan segenap tenaganya untuk meronta.

Siapa tahu, bagaimanapun dia meronta, usahanya selalu gagal, akhirnya dia pun berteriak keras, "He, setan tua, ilmu hitam apa yang kau gunakan?"

"Hahaha, dasar homo! Masakah dengan dada kerempeng pun langsung bernapsu, benar-benar lelaki kepala babi."

Ketika keempat orang lelaki itu menyaksikan rekannya dikendalikan orang, serentak mereka membentak gusar dan menerjang maju.

Bwe si-jin segera menggetarkan tenaga dalamnya keluar, lelaki yang berada paling depan seketika menjerit kesakitan, tubuhnya mundur sempoyongan dan langsung menerjang keempat orang rekannya hingga jatuh bergelimpangan di tanah.

Dengan sekali sodokan, Bwe si-jin segera menotok roboh kelima orang itu, kemudian katanya sambil tertawa, "Bukankah kalian senang bermain 'semua senang'? Baiklah, biar Lohu ajarkan kepada kalian bagaimana caranya menjadi kura-kura."

Sambil berkata tongkatnya disentakkan berulang kali, "Plak, plaak", segera muncullah belasan kerat tulang punggung di tubuh orang-orang itu.

Tongkat Bwe si-jin sama sekali tak berhenti bergerak, diiringi jeritan ngeri kelima orang itu, belasan kerat tulang iga yang menonjol keluar itu segera mengucurkan darah segar, keadaannya sangat mengerikan.

Setelah membersihkan ujung tongkatnya di punggung seorang lelaki, kembali Bwe Si-jin berkata, "Kali ini aku ampuni kalian, tapi kalau sampai ketemu lagi di kemudian hari, akan kusuruh kalian rasakan keadaan yang lebih mengerikan."

Selesai berkata ia langsung berlalu sambil tertawa terbahak-bahak.

Cau-ji pun sangat puas dengan kejadian itu, sambil tertawa gembira dia ikut berlalu.

Kelima orang itu tertotok jalan darahnya hingga tak mampu bergerak, biarpun punggungnya penuh dengan cucuran darah, namun mereka hanya bisa berbaring di tanah sambil merintih.

Melihat kelima orang begundal itu diberi pelajaran yang setimpal, kebanyakan penduduk yang lewat di situ merasa ikut gembira.

Tak lama kemudian sampailah Cau-ji berdua di kota Tiang-sah. Kota besar yang seharusnya ramai orang berlalu-lalang ternyata kini nampak amat sepi, sekalipun semua toko dibuka lebar-lebar, namun hanya satu dua orang yang kelihatan di jalanan.

Menyaksikan hal ini Cau-ji pun berseru keheranan.
Kelihatannya Bwe Si-jin sudah pernah menyaksikan keadaan seperti ini, ia segera menjelaskan, "Lote, dalam satu dua hari mendatang kelihatannya 'semua senang' akan segera dibuka, kini semua orang sedang sibuk membahas nomor yang bakal keluar, bahkan banyak yang pergi ke orang pintar untuk mencari Ciaji, mana mungkin mereka berminat makan minum?"

"Sebetulnya 'semua senang' itu permainan macam apa? Apa pula yang dimaksud mencari Ciaji?"

"Hahaha, ayo kita cari rumah makan dulu untuk mengisi perut, selesai bersantap akan kujelaskan kepadamu."

Mereka pun masuk ke dalam rumah makan dengan merek Ka-siang-lau. Naik ke atas loteng, tanpa menunggu pelayanan dari sang pelayan mereka langsung mencari meja dekat jendela.

Seorang pelayan segera muncul dengan kemalas-malasan, membersihkan meja lalu bertanya mau pesan apa.

Dengan hati mendongkol Cau-ji segera menegur, "He, pelayan, kau sedang sakit?"

Pelayan itu melotot sekejap, tapi kuatir menyalahi tamunya, maka dia hanya mendengus.

"Lote, tak usah gubris orang itu," kata Bwe Si-jin cepat, "kelihatannya dia sudah kelewat banyak membahas ramalan nomor hingga kena penyakit napas."

"Kau ...."teriak pelayan itu jengkel.

Bwe Si-jin tertawa ewa, tiba-tiba sambil menuding kepala ular di ujung tongkatnya dia berkata, "He, pelayan, tahukah kau, dia berada di urutan ke berapa dari capji shio?"

"Huuuh, tentu saja ular menempati urutan keenam, anak kecil pun tahu!"

"Hahaha, ternyata kau memang pintar, nah, bahas saja nomornya dari situ."

Pelayan itu berpikir sebentar, mendadak teriaknya, "Ya ampun, Losianseng, ternyata kau memang baik hati, kalau aku benar-benar menang pasangan, pasti akan kutraktir dirimu."

Selesai bicara dia membungkukkan badan memberi hormat.

"Hahaha, pelayan," kata Bwe Si-jin lagi sambil tertawa, "semoga kau menang banyak, nah, sekarang aku mau pesan masakan."
 
Cau-ji memasuki Jit-seng-kau.

Pelayan yang sudah lama bekerja di rumah makan pasti tahu kalau tamu yang berkunjung ke rumah makan biasanya terbagi menjadi beberapa jenis, di antaranya ada dua jenis tamu yang paling susah dihadapi.

Jenis pertama adalah tamu yang kelewat memilih.
Biasanya tamu semacam ini mempunyai satu ciri khas yang sama, mereka selalu mengeluh terhadap setiap jenis hidangan yang disajikan, kalau bukan kelewat asin tentu mengeluh kelewat tawar rasanya. Pokoknya bagi mereka tak ada hidangan yang mencocoki selera.

Jenis kedua adalah jenis manusia yang gemar makan besar, biasanya mereka akan melahap setiap jenis makanan hingga ludes. Tamu jenis ini rata-rata suka menggunakan lagu lama, yaitu memanggil sang Ciangkwe dan memakinya di hadapan orang banyak, mereka selalu mengkritik hidangan ini kurang anu, hidangan itu kelebihan anu, tujuannya hanya ingin memamerkan kehebatan pengetahuan mereka tentang masakan.
Biasanya Ciangkwe yang pintar hanya akan membungkukkan badan, berlagak tertawa dan mengakui kesalahan, asal kau bersikap begitu tanggung tak bakal ada urusan lagi.

Ada jenis tamu lain yang lebih memusingkan kepala, yaitu tamu yang suka memilih jenis hidangan secara berlebihan, tamu semacam ini biasanya bukan untuk mengkritik masakannya tapi ingin mencari sedikit keuntungan dari keributan yang terjadi.
Tamu semacam ini biasanya gampang diketahui.
Biasanya jurus pembukaan yang mereka gunakan adalah perkataan, "Kalau kelewat banyak nanti tak habis dimakan, siapkan saja porsi yang paling kecil untuk setiap jenis hidangan".
Tapi begitu hidangan sudah tersaji, mereka akan berteriak kalau porsi hidangannya kelewat sedikit. Ujung-ujungnya mereka pun minta korting sebesar-besarnya

Ada pula jenis tamu lain yang meski tidak berkunjung setiap hari namun mendatangkan kesan sangat baik bagi para pelayan.
Kedatangan tamu semacam ini tujuannya bukan minum arak, juga bukan untuk menikmati hidangan.
Mereka hanya ingin ngobrol dengan teman sambil membuang waktu.
Tamu jenis ini biasanya akan memberikan dua keuntungan besar, pertama, persen mereka pasti besar dan kedua, kalau pesan hidangan pasti satu meja penuh, terlepas hidangan itu habis dimakan atau tidak.
Bwe Si-jin adalah jenis tamu semacam ini.

Pelayan itu bukan saja sudah mendapat nomor Ciaji untuk 'semua senang' yang bakal dibuka dua hari lagi, bahkan tamunya sangat ramah, tentu saja dia amat kegirangan.

"Lote, kau senang minum arak jenis apa?" tanya Bwe Si-jin kemudian.

Cau-ji tersenyum sambil menyahut, "Baru pertama kali ini aku berkunjung kemari, terserah Loko saja, asal bukan arak beras, apapun pasti aku suka."

"Ooh, kalau soal ini tak perlu Loya kuatirkan," segera pelayan itu menimpali.

"Baiklah, pelayan, arak apa yang dijagokan rumah makan ini?"

"Tan-nian Pak-kan!"

"Baik, siapkan enam kati arak Tan-nian Pak-kan."

Begitu mendengar tamunya pesan enam kati arak, pelayan itu segera sadar gelagat tidak beres, meski dia menyahut namun wajahnya mulai nampak tidak leluasa.

Arak Tan-nian Pak-kan adalah jenis arak sangat keras, belum pernah ada orang bisa menghabiskan satu kati arak, tapi kedua orang itu langsung memesan enam kati arak, memangnya mereka siap minum sampai mabuk berat?

Kalau tamunya sampai mabuk berat, siapa yang akan membayar rekeningnya?
Kalau rekening pun tidak terbayar, jangan harap ia bisa mendapat tip dari tamunya.
Dari perubahan mimik muka pelayan itu, Bwe Si-jin segera mengerti apa yang sedang dipikirkan, dia sengaja tertawa terbahak-bahak sambil berseru, "Hahaha, pelayan, enam kati arak, angka enam ini rasanya bagus sekali."

Tergerak hati pelayan itu, sambil menyahut segera dia berlalu.
Hidangan dengan cepat tersaji.
Pelayan yang cerdik pasti akan berusaha memberi servis yang bagus untuk tamunya, dia anggap kalau hidangan tersaji dalam waktu singkat maka tamunya akan sibuk makan dan lupa minum arak.

Sayang dugaannya keliru, biarpun hidangan tersaji dalam waktu singkat namun kedua orang itu bersantap sangat lambat.

Malah ada beberapa macam hidangan yang sama sekali belum tersentuh.
Waktu yang tersisa nyaris digunakan untuk menenggak arak sebanyak enam kati itu, akhirnya belum lagi kedua belas macam hidangan termakan setengahnya, arak yang enam kati beratnya itu sudah ludes tak berbekas.

Di luar dugaan, biarpun enam kati arak sudah habis ditenggak, bukan saja kedua orang tamunya tidak mabuk, malah wajahnya nampak masih tenang sekali.

Melihat kehebatan takaran minum tamu-tamunya, beberapa orang pelayan itu diam-diam menjulurkan lidahnya, baru pertama kati ini mereka saksikan ada orang sanggup minum arak sebanyak itu tanpa mabuk.

Cara minum tamunya juga sangat istimewa, bukan saja mereka menenggak arak itu seperti minum air putih, bahkan biarpun sudah meneguk lima enam cawan pun mereka sama sekali tak menyentuh hidangan yang tersaji.

Kata Cau-ji, "Hidangan angsio ikan ini enak sekali."

Bwe Si-jin segera mengangkat cawannya sambil menukas, "Jangan, jangan makan dulu, kita habiskan arak ini lebih dulu."

Akhirnya dalam waktu singkat mereka sudah memesan enam kati arak lagi.
Tapi dengan cara yang sama kembali arak itu habis ditenggak.
Jangan kan mabuk, paras muka Cau-ji sama sekali tak nampak seperti orang minum, merah pun tidak.

Pada saat itulah sambil tertawa Bwe Si-jin baru berkata, "Pelayan, kemari, mari kita bicarakan soal lotere 'semua senang' yang akan dibuka di kota Tiangsah."

Mendengar itu semangat si pelayan segera berkobar kembali, sahutnya, "Loya, mungkin baru pertama kali ini kau berkunjung kemari? Tahukah anda, sekarang sudah enam puluh persen penduduk kota yang kecanduan lotere 'semua senang*!"

"Waah, begitu banyak?" seru Cau-ji sambil meleletkan lidahnya.

"Benar, baik laki maupun perempuan, dari pedagang sampai kaum begundal, asal orang punya uang, mereka semua kecanduan pasang nomor."

Kemudian sambil merendahkan suaranya ia menambahkan, "Konon ada juga Hwesio dan Nikoh yang ikut pasang nomor... hihihihi!"

"Benarkah begitu? Lantas siapa saja yang tidak bermain 'semua senang'?"

"Orang pemerintahan setiap hari kerjanya hanya menangkap orang yang berjudi, tentu saja mereka tidak pasang, tapi ada juga di antara mereka yang memberi uang kepada sanak keluarganya dan minta mereka yang memasangkan nomor."

"Selain itu orang persilatan dari aliran lurus serta orang sekolahan ada juga yang tidak ikut main, bukan saja mereka pantang berjudi, bahkan selalu membujuk orang lain agar jangan berjudi, benar-benar pekerjaan orang pengangguran!"

"Tadi kau bilang ada bocah yang ikut pasang nomor?"

"Benar, kalian tahu, seorang bocah berusia delapan tahun, putra Ciangkwe kita dari gundiknya yang ketiga, dua minggu berselang dengan pasangan satu tahil perak berhasil meraih keuntungan sebesar seratus tahil perak, betul-betul bocah itu seorang bocah ajaib, seorang sin-tong!"

"Ohh, benarkah begitu? Bagaimana sih cara mainnya?"
"Loya, permainan 'semua senang' di kota Tiang-sah ini dipusatkan di rumah makan Jit-seng-lau, semua orang yang ingin pasang nomor bisa berkunjung ke situ, kau boleh memilih angka satu sampai angka sembilan, mau dipilih semua pun boleh."

"Setiap tanggal lima, lima belas dan dua puluh lima, lotere 'semua senang' akan dibuka, siang itu akan ada sembilan orang penunggang kuda dengan sembilan ekor kuda melakukan pertandingan lomba kuda di luar kota sana.

"Setiap kuda diberi nomor berbeda, kuda mana yang mencapai finis duluan, dialah yang menjadi pemenangnya dan nomor di punggung kuda itulah yang dianggap sebagai nomor lotere yang keluar.

"Minggu kemarin kuda nomor tujuh yang menang, konon total ada sepuluh ribu orang lebih yang memasang nomor tujuh, sehingga mereka pun mendapat keuntungan yang banyak. Cuma rumah makan Jit-seng-lau akan memotong uang kemenangan mereka sebesar sepuluh persen."

"Kenapa harus dipotong sepuluh persen?"

"Loya, kau masakah tak tahu, kan banyak orang yang harus bekerja mengurusi uang pasangan, mengumumkan pemenang dan membayar uang kemenangan, katanya setiap kali bukaan, mereka butuh beberapa puluh laksa tahil perak sebagai ongkos."

"Haah, potongan sepuluh persen? Berapa sih perputaran uang pasangan setiap kali bukaan?"

"Setiap kali mengumumkan hasil undian, mereka pun melaporkan jumlah perputaran uang dari pasangan nomor waktu itu, konon mencapai dua juta tahil lebih, malah minggu lalu sempat mencapai tiga juta tahil, berarti bila nomor enam yang kupasang benar-benar keluar angkanya, aku bisa meraih keuntungan tiga juta tahil perak, wouw...."

"Tiga juta tahil, berarti sepuluh persennya tiga ratus ribu tahil," gumam Cauji, "taruh kata dipotong ongkos seratus ribu tahil, berarti mereka masih mengantongi keuntungan dua ratus tahil, jika sebulan ada tiga kali penarikan berarti mereka mengantungi laba enam ratus ribu tahil perak."

Bwe Si-jin yang selama ini hanya tersenyum segera berkata, "Bayangkan sendiri, mana ada pekerjaan di dunia ini yang bisa meraih laba sebesar itu? Ayo, kita bersulang demi kesuksesan mereka!"

Cau-ji meneguk habis secawan arak, lalu kepada si pelayan tanyanya, "He, pelayan, kalau memang usaha ini mendatangkan laba besar, kenapa tak ada orang menyaingi pekerjaan rumah makan Jit-seng-lau?"

Mendengar pertanyaan itu segera si pelayan merendahkan suaranya dengan setengah berbisik katanya : " Sttt Loya, perkecil suaramu, kalau sampai kedengar orang-orang Jit-seng-lau kalian bakal mendapat kesulitan".

"Memangnya mereka bisa memukuli orang ?"

"Soal ini.... aku aku sendiri kurang jelas, tapi pernah ada mengkritik pekerjaan mereka, akibatnya nyaris orang itu kehilangan nyawa, dia mesti beristirahat setengah tahun lebih sebelum dapat berjalan kembali".

Berkilat sepasang mata Cau-ji mendengar perkataan itu.

Segera Bwe Si-jin berdehem, selanya "Pelayan, bukankah di kota ini terdapat beberapa bandar besar ?"

"Soal ini... coba aku hitung dulu, ahhh benar, sebenarnya terdapat tiga puluh dua orang bandar besar, tapi dalam setengah tahun mereka telah menutup usahanya secara sukarela, tapi beginipun jauh lebih baik, daripada Ciaji nya kelewat banyak, yang pasang jadi bingung ".

"Apa sih Ciaji itu ?" tanya Cau-Ji keheranan.

"Yang dimaksud dengan Ciaji adalah ramalan nomor pasangan yang bakal keluar "

"Coba jelaskan."

"Pada mulanya semua pemasang lomba kuda hanya menganalisa kuda mana yang lebih kuat dan joki mana yang bisa diandalkan, tapi kemudian orang merasa dengan cara begitu saja kurang bisa dipercaya.

"Maka orang pun secara diam-diam pergi ke kuil mengambil Ciamsi, angka Ciamsi itu dipakai sebagai Ciaji, adapula yang pergi ke kuburan mencari ilham supaya dapat Ciaji, ada yang bertanya pada pohon besar, batu keramat dan lain sebagainya.

"Malahan ada orang yang pasang nomor berdasarkan mimpi, pokoknya semua orang berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan Ciaji itu!"

"Benar-benar aneh, benar-benar aneh ...." gumam Cau-ji sambil menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Lote, ayo minum arak dulu," seru Bwe Si-jin kemudian.

Pada saat itulah mendadak terdengar sang Ciangkwe bangkit berdiri dari tempat duduknya sembari menyapa dengan nada hormat, "Jit-koh, angin apa yang membawamu datang kemari? Tak disangka orang terhormat pun mau berkunjung ke kedai kami."

Mendengar itu Cau-ji berdua segera berpaling dan menengok ke bawah loteng, tampak seorang perempuan cantik berbaju merah, berusia tiga puluh tahunan, bermuka bulat telur, bermata indah dengan pinggang ramping berjalan masuk ke dalam rumah makan.

Terdengar perempuan itu menegur dengan suara genit, "Yu-ciangkwe, aku dengar tempat ini kedatangan dua orang tamu agung?"

Sambil berkata matanya melirik ke atas loteng.

"Jit-koh, ada dua orang Loya sedang bersantap di atas, silakan ikut aku ke atas."

Dengan ilmu coan-im-jit-bit Bwe Si-jin segera berbisik, "Cau-ji, yang mencari dagangan sudah datang, perempuan itu adalah seorang Hiocu perkumpulan Jitseng-kau, kau diam saja, biar aku yang menghadapi perempuan ini!"

Sambil berkata dia mengambil sebatang sumpit dan diletakkan di atas sendok.
Terendus bau harum semerbak berhembus, Jit-koh dengan langkah lemah gemulai sudah berjalan mendekat.

Dengan sorot matanya yang genit dia melirik Cau-ji berdua, wajahnya kelihatan agak tertegun, kemudian katanya cepat, "Loya berdua, apakah kalian datang ke kota Tiang-sah untuk mencari orang?"

Sambil berkata dia melirik sekejap ke arah sumpit di atas sendok itu.
Bwe Si-jin tertawa terbahak-bahak.

"Hahaha, Lohu berdua hanya ingin mencicipi arak di tempat ini yang konon sangat istimewa, padahal sebentar lagi akan berkunjung ke tempatmu, hahaha!"

"Aku tak percaya," seru Jit-koh, "kalau bukan orang lagi birahi, mana mungkin aku datang kemari, mestinya kalian langsung datang mencari aku."

Sembari berkata dia langsung duduk dalam pangkuan Bwe Si-jin.

"Hahaha, jangan menuduh yang bukan-bukan," seru Bwe Si-jin sambil mencium pipi perempuan itu, "hehehe, siapa bilang aku lagi mencari pondokan di rumah orang?"

Kemudian kepada Ciangkwe itu serunya, "Hahaha, baiklah, Lohu akan pergi dulu."

Selesai berkata dia peluk tubuh Jit-koh dan bangkit berdiri.

Ciangkwe itu segera mengembalikan uang yang dibayar sembari berkata dengan hormat, "Loya, kami sudah merasa terhormat karena Loya berdua sudi singgah di sini, soal uang ini, silakan disimpan kembali."

"Hahaha, Jit-koh, pernahkah kau melihat Lohu menyesal keluar duit?"

Segera Jit-koh berseru kepada Ciangkwe itu, "Kalau memang Loya berniat tulus, simpan saja uang itu."

Segera Ciangkwe itu mengucapkan terima kasih. Dia membungkukkan badannya terus hingga ketiga orang tamunya pergi jauh.

Tentu saja ia harus berbuat begitu, sebab ia sadar kalau kedua orang kakek itu bukan orang yang luar biasa, tak mungkin Jit-koh sebagai pemilik rumah makan Jit-seng-lau sudi membiarkan dirinya berada dalam pelukan kakek itu.
 
aseekk lanjutkan suhu.. saya gelar tiker untuk menunggu kelanjutannya.. :banzai:
 
bagus bgt gan .. , cerita kyk gini yg ane suka , di tunggu ap det nya gan ..
 
Di bawah perhatian banyak orang, Cau-ji berdua dibimbing Jit-koh langsung menuju ke rumah makan Jit-seng-lau.

Begitu memasuki ruangan rumah makan itu, mereka berdua langsung terperangah dibuatnya.

Perkampungan Hay-thian-it-si sudah terhitung sebuah perkampungan mewah, tapi dibandingkan dengan Jit-seng-lau, ternyata segala sesuatunya masih kalah jauh.

Bwe Si-jin memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian ujarnya sambil tertawa, "Sayangku, ternyata kau pandai menikmati hidup, markas besar pun tidak semewah dan semegah ini, hehehe..."

"Tongcu ..." dengan ketakutan Jit-koh berbisik.
"Sayangku, hati-hati di balik dinding ada telinga!"

Mendengar bisikan itu, segera Jit-koh melirik sekejap ke arah belasan orang pecandu 'semua senang' yang sedang membahas nomor serta beberapa orang pegawainya, diam-diam ia terkesiap.

Kembali Bwe Si-jin berbisik dengan ilmu menyampaikan suaranya, "Coba kau perhatikan dua orang yang berada di sudut kanan!"

Jit-koh berpaling dan keningnya bekernyit
la lihat ada dua orang lelaki bermata tajam berhidung bengkok dan mengenakan baju hijau sedang celingukan kian kemari, ternyata kedua orang ini tak lain adalah Ho-ha-siang-tau, sepasang pencoleng kenamaan dalam tiga puluh tahun terakhir.

Jelas kehadiran mereka mempunyai maksud dan tujuan tertentu.
Sebenarnya sepasang pencoleng itupun terkesiap ketika melihat sepasang malaikat bengis dari In-lam masuk ke dalam rumah makan, mereka semakin terkesiap lagi setelah mendengar Jit-koh menyebut Ho Ho-wan sebagai Tongcu.

Menyaksikan keadaan ini, Jit-koh segera mengambil keputusan untuk menghabisi nyawa mereka.

Tapi Bwe Si-jin segera berbisik lagi, "Sementara waktu jangan ganggu mereka dulu, bagaimanapun mereka pasti akan datang mengantar diri!"

Jit-koh manggut-manggut, maka dia pun mengajak kedua orang tamunya masuk ke ruang belakang.

Baru saja Cau-ji berdua mengambil tempat duduk di bangku berlapis kulit yang ada di ruang tengah, mendadak bangku itu secara otomatis bergerak sendiri ke kiri kanan, atas dan bawah.

Kontan Bwe Si-jin tertawa tergelak, serunya, "He, sayang, darimana kau dapatkan kursi istimewa macam ini?"

Sambil menempelkan sepasang payudaranya di lengan kanan Bwe Si-jin yang sedang memegang sandaran bangku, sahut Im Jit-koh manja, "Tongcu, bangku ini dibuat secara khusus oleh seorang ahli tukang kayu, memang khusus disediakan untuk para Toaya."

"Hahaha, dapat dipastikan bangku ini sudah terlalu sering dikotori oleh cairan busuk mereka, lebih baik Lohu cepat berdiri saja."

Sambil berkata dia pun bergaya akan bangkit berdiri.

"Aaah, Tongcu jahat, lagi-lagi kau sedang menggoda aku," seru Jit-koh manja.
Selesai berkata dia segera mementang kakinya lebar-lebar dan duduk di atas pangkuan Bwe Si-jin, sementara tangannya memukuli dadanya dengan perlahan, tubuh bagian bawahnya mulai bergoyang ke sana kemari menggosok-gosokkan bagian rahasianya di atas 'barang' milik lelaki itu.

Tanpa sungkan Bwe Si-jin mulai meremas-remas sepasang payudaranya yang masih tersembunyi di balik pakaian, katanya lagi sambil tertawa terkekeh, "Sayangku, kenapa sih makin hari kau nampak semakin menggemaskan? Coba lihat sepasang tetekmu, woouw, makin lama makin montok dan besar."

"Hihihi, kau memang tega sekali, sejak memerawani aku tempo hari, sampai sekarang belum pernah menjamah diriku lagi!"

"Kau jangan salahkan Lohu, belakangan aku memang kelewat sibuk."

"Hmm, aku tidak percaya, masa urusan partai mesti merepotkan kau seorang?

Kau sedang repot dengan urusan dinas atau sedang sibuk memerawani gadis-gadis berbau kencur?"

"Hahaha, tampaknya kau memang sangat memahami seleraku."

Seraya berkata dia mulai menelanjangi pakaian Im Jit-koh, kemudian mulai menghisap puting susunya yang kanan dan menggigitnya perlahan.

"Aaaaah... aaaah ... Tongcu, kenapa mesti terburu napsu ... aduh ... geli...jangan begitu dong ...."

Cau-ji yang menonton dari samping, pada mulanya menonton saja dengan perasaan tertarik, tapi kemudian setelah melihat kedua orang itu mulai berbugil ria kemudian langsung bertarung sengit di atas bangku, tak tahan jantungnya ikut berdebar keras.

Tampak Im Jit-koh memeluk punggung Bwe Si-jin dengan kuat, tubuh bagian bawahnya menggenjot terus ke atas dan ke bawah.

"Plookk, ploook ... ngiik ... nggiik" suara beradunya daging berkumandang tiada hentinya.

Bangku itu memang dirancang secara khusus dan istimewa, sekalipun Im Jitkoh bergoyang dan menggenjotkan badannya kuat-kuat, namun bangku itu hanya bergoyang kian kemari, bukan saja sama sekali tak roboh, malah menambah kenikmatan.

Bwe Si-jin tertawa terkekeh-kekeh berulang kali, sambil tangannya meremas sepasang payudara perempuan itu, serunya, "Sayangku, kau jangan biarkan Hotongcu menonton sambil gigit jari, coba carikan beberapa gadis perawan untuk suguhannya!"

"Hahaha, Ho-tongcu, maafkan kelancangan hamba, sebab kau selalu tampil serius, aku sangka kau orang tua tak suka main cewek, harap tunggu sebentar."

Sambil berkata dia segera menarik seutas tali yang ada di depan kursi beberapa kali.

"Sayangku," kembali Bwe Si-jin berkata, "dulu lantaran harus melatih sejenis ilmu sakti, maka Ho-tongcu tak suka main perempuan, tapi sekarang ilmunya telah selesai dilatih, dia justru suka sekali perempuan muda."

Berkilat sepasang mata Im Jit-koh, serunya kegirangan, "Benarkah itu? Waah, kelihatannya harus kupanggil Siau-si untuk melayaninya!"

Pada saat itulah pintu kamar diketuk orang, lalu terdengar seseorang berseru dengan suara merdu, "Jit-koh, Siau-si datang menunggu perintah."
"Masuklah!"

Ketika pintu dibuka, muncullah seorang gadis berbaju putih bergaun hijau yang memiliki wajah cantik, dia berusia sekitar delapan belas tahun, matanya bening, hidungnya mancung, bibirnya tipis dan badannya sangat ramping.

"Siau-si menjumpai Loya berdua," kata gadis itu kemudian.

Bwe Si-jin melirik gadis itu sekejap, kemudian serunya sambil tertawa, "Sayangku, tak kusangka kau masih mempunyai kartu as, aku lihat Siau-si masih perawan ting-ting?"

"Hahaha, Loya, matamu memang luar biasa tajamnya, sekarang Siau-si sudah menempati ranking paling top di kota ini, selaput perawannya berharga lima ribu tahil emas murni, tapi aku memang enggan melepas dengan harga segitu, karenanya lebih baik kusuguhkan untuk Toaya berdua."

"Hmmmm, sayang, pandai amat kau merayu."

"Loya, kau jangan menuduh aku, sejak kalian meninggalkan bukit Wu-san, semua orang percaya kalau suatu saat nanti kalian pasti akan melakukan pengawasan di wilayah ini, maka kami tolak semua tawaran orang untuk membuka perawannya, karena aku memang sudah menyiapkan suguhan kepada Loya."

"Baik, baiklah, akan kucatat dalam hati kebaikanmu ini."
"Terima kasih Tongcu!"

Kemudian dengan suara setengah berbisik tambahnya, "Tongcu, bagaimana kalau kau membeli sebuah villa di kota Tiang-sah? Dengan memiliki tempat sendiri, setiap saat kau bisa bersantai di sini."

Bwe Si-jin segera berlagak termenung, seakan-akan dia sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Tongcu tak usah kuatir," kembali Im Jit-koh membujuk, "tak bakal ada yang membocorkan rahasia ini, bukan hanya itu, selama aku masih buka usaha di kota ini, kau orang tua pun akan mendapat uang saku sebesar lima puluh laksa tahil perak setiap bulannya, bagaimana? Setuju?"

Tergerak pikiran Bwe Si-jin setelah mendengar ucapan itu, katanya kemudian dengan suara dalam, "Sayangku, kau harus tahu, ada banyak orang dari markas besar yang ingin mencicipi juga ladang gemuk di tempat ini!"

Lekas Im Jit-koh merayu, "Loya, asal kau buka harga, aku tak akan membantah sepatah kata pun."

"Hmmm, jadi kebaikan itu berlaku untuk Lohu berdua?"

"Hahaha, tentu saja, tentu saja, kalian adalah idolaku, tentu saja Ho-tongcu pun akan memperoleh pelayanan yang sama."

Ketika Siau-si yang berdiri di samping mendengar sebutan 'Tongcu', tubuhnya nampak gemetar keras, sepasang matanya berkilat tajam, tapi hanya sekejap kemudian ia sudah pulih kembali dengan mimik wajah semula.

Dari gerak-geriknya, besar kemungkinan gadis ini memiliki ilmu silat.

Waktu itu sebenarnya Cau-ji sedang memperhatikan gadis itu, bahkan sedang membuat perbandingan antara gadis itu dengan Jin-ji, oleh sebab itu perubahan wajah nona itu segera terlihat pula olehnya, hanya saja tidak sampai diungkap.

Dalam pada itu Bwe Si-jin telah berseru lagi dengan lagaknya yang dibuat-buat, "Sayangku, aku lihat 'semua senang' sedang menggila di kota ini."

"Bagaimana kalau sepuluh laksa tahil setiap bulannya?" teriak Im Jit-koh sambil mengertak gigi.
Mendengar jumlah angka yang begitu fantastis, hampir saja Cau-ji berteriak keras.

Setiap bulan sepuluh laksa tahil perak, sebuah jumlah pemasukan yang luar biasa.

Tiba-tiba tubuh Siau-si gemetar lagi, bahkan kali ini gemetar sangat keras.
Bwe Si-jin sendiri meski terkejut bercampur girang, namun lebih jauh dia segera menghardik dengan nada berat, "Cepat laporkan situasi yang sebenarnya di tempat ini!"

Im Jit-koh sangat ketakutan, dia sadar kedua orang Tongcu ini selain berhati buas dan telengas, sama sekali tak kenal arti rikuh.

Cepat dia melompat turun dari tubuh Bwe Si-jin dan berlutut di tanah sambil berseru dengan gemetar, "Tongcu, ampuni jiwaku!"

Siau-si pun ikut-ikutan berlutut ke tanah.

Melihat perempuan itu ketakutan setengah mati, kembali Bwe Si-jin tertawa tergelak, "Hahaha, jangan takut, aku hanya ingin tahu apakah kau sanggup membayar uang sogokan itu atau tidak, ayo, cepat berdiri."

Lekas Im Jit-koh menyahut dan bangkit berdiri, kemudian ia melapor, "Tongcu berdua, dewasa ini setiap tiga periode pembukaan dalam sebulannya, pendapatan kami mencapai tujuh juta tahil perak.

"Kecuali untuk membayar pengeluaran rutin kantor cabang sebesar dua juta tahil, kemudian dipotong ongkos untuk penyelenggaraan lomba kuda dan uang sogok bagi kalangan pemerintah, sisanya lebih kurang empat juta tahil perak.

"Oleh sebab itu hamba berniat menyerahkan dua juta tahil perak untuk Tongcu berdua, tapi bila Tongcu anggap jumlah itu masih kurang, aku bersedia menambah lagi!"

Bwe Si-jin tidak menyangka kalau perkumpulan Jit-seng-kau mempunyai tambang emas sehebat itu, segera ujarnya sambil tertawa, "Cukup, cukup! Kau hanya mendapat dua juta tahil perak, rasanya Lohu berdua tak boleh kelewat tamak."

Dengan penuh kegirangan Im Jit-koh segera menjura berulang kali, gara-gara gerakannya itu, sepasang payudaranya yang menongol keluar pun ikut bergoncang keras.

Cau-ji yang menyaksikan itu menjadi deg-degan, tangannya terasa gatal sekali, ingin segera maju menubruk dan meremas payudara itu.

Bukan cuma payudaranya, yang lebih merangsang lagi adalah gua kecil berwarna merah yang tersembunyi di balik hutan belukar nan hitam, bagian itu benar-benar membuat Cau-ji merasa jantungnya berdebar keras, bahkan tombaknya langsung berdiri tegak.

Melihat itu Bwe Si-jin segera berseru, "Sayangku, cepat suruh Siau-si mengajak Ho-tongcu beristirahat di kamarnya."

Sambil tertawa cekikikan Im Jit-koh menghampiri Siau-si dan membisikkan sesuatu di telinganya, kemudian kepada Cau-ji katanya, "Tongcu, Siau-si masih muda dan tidak berpengalaman, harap kau banyak memberi petunjuk kepadanya."

"Tak usah kuatir," jawab Cau-ji hambar, "besok kau pasti akan menjumpai Siau-si yang tersenyum terus."

Sambil berkata ia segera merangkul Siau-si dan melangkah keluar dari situ.
Sebenarnya Bwe Si-jin kuatir kalau Cau-ji 'demam panggung', tapi melihat sikapnya yang cukup dewasa, ia pun lega.

Kepada Im Jit-koh serunya kemudian, "Sayangku, ayo, kita lanjutkan pertarungan."
 
akhirnya..update juga nih bro.. Kemaren kemana aja? Pengemar ni cerbung pada nanyain..
 
Bimabet
ckckck.. udah dpt 2 perawan, ehh... malam nambah 1 lagi. Hoki bener si CaoJi :konak:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd