CHAPTER XXXI : LONG DISTANCE RELATIONSHIP
Mau tak mau long distance relationship atau yang sering disingkat LDR harus kujalani. Pacaran jarak jauh aku mulai aku tapaki. Dengan telah diterimanya aku sebagai calon pegawai negeri, aku harus berangkat ke Jakarta untuk waktu yang lama. Entah sampai kapan LDR ini aku pun tak tahu.
LDR dengan Dita akan berakhir apabila kita menikah nanti pastinya. Namun itu ku rasa masih jauh.
Yang utama sekarang buatku membalas budi orang tua terlebih dahulu. Hubungan jarak jauh dengan orang tua pastinya akan berlangsung lebih lama. Karena mau tak mau nantinya kalau pun aku menikah, aku tak akan tinggal bersama orang tua lagi.
Keberangkatanku kali ini tidak ditemani siapapun, hanya doa orang tua dan orang-orang terdekat yang menemani. Selama perjalanan aku selalu berkabar dengan orang-orang tersayang. Rasa bahadia, haru, sedih bercampur aduk menjadi satu. Mau tak mau harus aku jalani demi masa depan yang lebih baik.
Mengangkat drajat orang tua serta menjadi calon suami idaman bagi pacarku, Dita yang mengantarkanku sampai gerbang peron stasiun Lempuyangan. Stasiun yang sering menjadi saksi pertemuan dan perpisahan dua insan.
Di Jakarta aku akan singgah sementara di kosan teman yang sekaligus tetanggaku, Satriyo. Dia kebetulan juga keterima CPNS di lembaga yang berbeda. Jadwal masuk kerja nya lebih dulu dari tempatku.
Sesampainya di Stasiun Senen, benar-benar aku merasakan sebgai seorang perantau yang akan mencari penghidupan di Jakarta, mencari rezeki di kota yang sering aku lihat di TV.
“Oohh jadi begini rasanya pertama kali merantau,” kataku dalam hati.
Berbekal peta Busway dan peta jakarta yang aku beli di kereta, aku mulai melakukan perjalanan menuju daerah pramuka, disanalah temanku tinggal.
“alhamdulillah akhirnya sampai juga,” Sambut Satriyo menyapaku saat aku turun dari tangga halte.
Rupanya dia telah menantiku disana, sambil mencari sarapan pagi.
“Alhamdulillah yok, sampai juga di sini.” Jawabku singkat.
Kami pun berdua langsung mencari sarapan pagi.
Setelahnya, kami menuju kosan Satriyo yang tak jauh dari halte tadi, masuk di gang-gang sempit khas ibukota yang semakin padat.
Dengan datangnya kami ke ibukota, penduduk Jakarta semakin bertambah. Entah mau jadi apa kota ini, tanyaku dalam hati.
-----------------------------------------------------------------------
Malam hari pun tiba, di kosan dengan ukuran 4x3 kita tidur. Tak ada TV, tak ada radio. Hanya ada gitar menjadi teman menghabiskan waktu menunggu rasa kantuk datang.
Malam yang sendu bagiku. Tiba-tiba aku memikirkan hal-hal jauh kebelakang, flash back kebelakang. Aku ga menyangka akan sejauh ini. Aku bahkan masih tidak percaya bahwa aku akhirnya menginjakkan kaki dan akan tinggal di Jakarta untuk waktu yang pastinya akan lama.
Baru semalam, sudah kangen, ingin pulang, ingin tidur di rumah, ingin ngobrol sama Bapak Ibu.
Malam ini aku menjadi anak manja, mewek, mata pun berkaca-kaca.
“udah udah,, dilakoni aja. Ntar juga terbiasa” Ucap Satriyo menenangkanku. Dia rupanya tahu bahwa aku lagi memikirkan rumah.
Rumah dengan seisi kehangatannya, yang membuatku ingin selalu pulang.
Kemudian aku lantunkan lagu Sheilla on 7 yang bikin nambah aku ingin kembali ke Jogja.
Aku keluar kamar, menuju balkon kosan, duduk disana sambil memetik gitar, bernyanyi pelan-pelan. Sesekali mengusap mata yang sedikit berkaca-kaca.
Waktu menunjukkan jam 9 malam, aku tak henti-henti berkabar dengan Dita yang selalu menguatkanku sementara diluar ternata masih ramai orang lalu-lalang.
Berbeda sekali suasana Jakarta dengan kampung halamanku dimana jam 9 malam semua rumah sudah mulai dikunci.
-------------------------------
Pagi tiba, aku harus segera bergegas menuju Kantor Kementerian yang harus ditempuh dengan busway. Sengaja aku berangkat pagi sekali sekitar jam 5. Menghindari adanya kemacetan yang dapat bikin aku terlambat masuk.
Dengan baju putih polos lengan panjang, celana hitam, sepatu pantofel, dan menggendong tas ransel berisi berkas-berkas lengkap.
Di dalam bus, belum banyak orang yang naik, namun nampak sedikit ramai setelahnya. Aku mengamati beberapa orang lari-larian di tangga halte mengejar bus yang akan tiba. Suasana ramai seperti ini sangatlah asing bagiku tentunya.
Jam 6 aku sudah sampai gerbang kantor, yang dijaga satpam. Belum ada satu orang pun yang datang. Aku pun bertanya kepada satpam yang menunggu di pintu gerbang untuk memastikan bahwa alamat dan tempat yang aku tuju itu benar.
Syukurlah aku datang di lokasi yang tepat. Acara orientasi akan digelar di Aula gedung utama mulai jam 8 pagi.
Waktu mulai berjalan dan beberapa orang mulai berdatangan dengan memakai pakain sama persis denganku. Mereka mulai berkumpul di depan pintu aula, begitu juga aku.
Aku pandangai satu-satu orang yang mulai datang ini, rupanya memang sebagian besar berasal dari Jakarta, hanya sedikit yang berasal dari kampung sepertiku. Dapat dilihat dari cara berpakaian atau berdandan mereka.
Tampak mencolok sekali perbedaannya.
Aku pun mulai berkenalan dengan beberapa orang, yang tentunya berasal dari daerah luar Jakarta seperti pekalongan, jember, semarang, surabaya, kudus, demak, dan lain-lain.
Seolah merasa senasib, kita semua pun berkumpul di satu tempat. Berbeda dengan yang dari Jakarta, berperawakan necis dan rapih. Dan tentu saja terlihat bahwa ada sebagian dari mereka adalah ‘titipan’ pejabat kantor ini karena aku lihat beberapa orang nampak akrab dengan pegawai setempat.
------------
Selama tiga hari aku menjalani masa orientasi, sudah seperti mahasiswa baru yang diplonco sama kakak tingkat. Berbagai macam informasi kami terima. Aku yang baru pertama kali menginjak dunia kerja bahkan langsung ke dunia birokrasi seperti ini pastilah bingung.
Penyesuaian sangat perlu dilakukan, apalagi berurusan dengan yang namanya birokrasi.
Rasa minder pun menghampiri dimana sangat mencolok perbedaan antara orang desa dan orang kota. Aku merasa tidak ada apa-apanya dengan mereka yang berpakaian necis dan rapi itu. Seolah ada gap yang lebar antara kita.
Selama tiga hari ini aku jalani udah kaya setahun. Walaupun sudah ada kenalan beberapa teman, tapi tetap saja masih merasa kesepian. Walaupun tetap komunikasi aku jalin sama orang-orang terkasih, terutama keluarga di rumah dan tentu saja Dita, aku tetap merasa kurang.
Namanya jarak jauh kaya ada yang kurang sreg aja. Ini soal “rasa” yang kurang.
Setiap malam aku selalu komunikasi dengan keluarga, dan juga telepon Dita setelahnya. Setiap malam menjelang tidur. Mengucapkan “selamat tidur, nice sleep” melalui sambungan seluler.
Ah ini toh rasanya LDR, begitu menyiksa bagiku.
------
Hari terakhir orientasi pun usai, besoknya aku harus mulai masuk ke Unit kerja yang telah dibagi. Disitulah aku akan bekerja, mengembangkan karir dan mencari rezeki.
Dari ratusan CPNS yang hadir, yang menjadi teman satu unit ada 30 orang. Inilah yang akan menjadi teman satu angkatanku.
Mudah-mudahan semua lancar.
Bersambung....