CHAPTER II: MALAM BERKESAN
Langit mulai mendung pertanda akan hujan. Sebagai mahasiswa semester akhir, kami pasti selalu menyambangi kampus, walau tidak ada jam kuliah. Hal ini demi tekad kami untuk selalu bertatap muka dengan dosen pembimbing yang pada ujungnya berkata “sudah kamu habis ini langsung ujian saja.”
Hal itu pula yang aku dan Dita lakukan untuk bertekad lepas dari kutukan bahwa mahasiswa Sastra pasti lulusnya lama. Aku dan Dita sama-sama memilih jurusan Sastra, namun perbedaan kami hanya pilihan konsentrasi. Dita memilih literature, dan aku memilih linguistics. Dari segi kemampuan, Dita lebih dari segalanya, dia adalah salah satu mahasiswi yang pintar, IP mendekati 4, bahkan salah satu calon Mapres (mahasiswa berprestasi) di kampus, walau akhirnya dikalahkan oleh kedekatan calon lainnya dengan lingkungan rektorat.
Aku selalu minder dengan statusku seorang yang biasa saja, tubuh tinggu kurus, rambut berantakan, dan otak juga pas-pasan. Teman-teman suka mengejekku dengan muka morfinis. Dan aku sadar betul bahwa untuk melanjutkan ke jenjang pernihakan, jalanku sangat terjal. Terlebih lagi orang tua Dita yang menuntut kesempurnaan untuk anaknya. Perbedaan strata ekonomi kami menjadi salah satunya, dia yang berkecukupan berpacaran dengan aku yang ke warteg aja sering ngutang kadang membuat otakku buntu.
Tapi ya sudahlah, aku gak tau gimana akhirnya, yang penting aku berusaha menjalani semua apa yang ada aja. Prinsip hidup yang tanpa semangat, namun bagiku ini lah yang cocok. Tak usah terlalu besar harapan, takutnya nanti tak tercapai, bisa gila.
Aku dan Dita menyantap soto lamongan di dekat taman saat pertama kami berjumpa. Aku mulai membuka percakapan seperti biasanya,
“habis ini mau kemana?” tanyaku singkat padanya. Aku tahu ini pertanyaan standar.
“ke kosan saja ya, aku pengen lagi sayang” Dita menjawab lirih sambil berbisik di telinga takut pengunjung lain mendengar.
Hari-hari kami lalui dengan bahagia, kami sering melakukan kesenangan duniawi di kosan itu. Walau tetap saja aku masih tidak berani untuk penetrasi. Salah satunya karena aku takut merusak keperawanannya. Ya aku berpikir Dita adalah gadis yang masih perawan, karena dari penampilannya, dia adalah gadis baik-baik yang menjaga keperawanan. Sampai pada suatu ketia saat kami berada di kosan itu. Dia mulai terbuka dengan masa lalunya.
“Sayang, aku mau ngomong jujur sama kamu, untuk kebaikan hubungan kita berdua. Aku harap kamu dapat menerima kenyataanya, dan tak berubah sedikitpun rasa sayangmu padaku” Dita mengawali sebuah percakapan serius di kamar itu.
“iya, kamu mau ngomong apa, aku akan siap mendengarkan. Aku akan tetap mencintamimu. “ timpaku kepadanya.
“Sebenarnya, sebelum melakukan hal ini sama kamu, aku pernah melakukannya sama orang lain.” Dita mulai berbicara dengan mata berkaca-kaca.
“Siapa orangnya? Siapa yang berani merobek keperawananmu?“ tanyaku lirih
“Orang itu adalah mantanku, namanya Gilang, anak seni musik kampus kita. Namun itu masa lalu sayang, aku sudah melupakannya dan takkan mengingatnya lagi. Aku saat ini hanya sayang sama kamu. Aku mau nanti kita berdua menjalin hubungan ke jenjang yang lebih dari ini, ke jenjang pernikahan” Ucap Dita smbil mengusap air matanya, juga air mataku yang mulai menetes.
“Iya sayangku, apapun yang telah terjadi denganmu, itu adalah masa lalumu. Yang terpenting saat ini adalah hubungan kita berdua. Aku akan berusaha menjadi lebih baik lagi hingga nanti orang tuamu merestui hubungan kita.” Aku mulai menangkan suasana. Namun dalam hatiku sebenarnya berkecamuk perasaan yang campur aduk, antara sedih, kecewa, dan sedikit lega karena ini pertanda aku tak perlu takut untuk melakukan hubungan intim dengan Dita. Toh dia juga sudah tidak perawan lagi.
Waktu mulai sore, dan ternyata teman kos ku sedang kembali ke kampung halamannya. Jadi saat itu aku memutuskan untuk menginap saja. Aku minta Dita untuk menemaniku malam itu.
Kami mulai keluar untuk makan malam dan kembali ke kosan pukul 9 malam. Aku mulai berbaring memikirkan semua hal mulai dari skripsi yang sedang ngadat, sampai pada masalah ekonomi orang tua yang sedang terlilit hutang.
Aku sudah ketinggalan lagi masalah skripsi, sudah 3 minggu revisi yang kuajukan ke dosen belum ada tanggapan. Sedangkan Dita minggu depan sudah akan wisuda. Itu artinya, semakin berat bebanku untuk mendapatkan restu orang tua Dita.
Yang aku dengar dari teman, Ayah Dita mengidap penyakit serius, dan dia ingin sekali menjadi wali nikah anak gadisnya. Dan sebenarnya orang tua Dita juga sudah punya pandangan untuk menjodohkan anaknya dengan Yosa, teman SMA Dita yang sekarang sudah bekerja manjadi pegawai negeri, karena dia dulunya masuk sekolah kedinasan. Soal ini tentu saja aku kalah telak kalau dibandingkan dengan Yosa.
Dita mendegarkan dengan seksama, dia menenangkanku dengan pelukannya seraya berkata “Tenang sayang, semua akan kita lewati dan akan baik-baik saja. Terus semangat ya sayang” Ucapannya yang menyejukkan membuatku sedikit tenang.
Dita mulai memelukku, pelukan erat seperti orang yang tak rela untuk ditinggalkan.
Aku pun mulai menciumi telinga Dita, aku bisikan dengan suara sedikit lirih,
“I love you so much honey,”
Badan Dita mulai bergerak, aku tahu ini seperti biasanya. Aku pun mulai cium keningnya, kemudian kulumat bibirnya, lidahku dan lidahnya saling beradu di malam dining itu. Hujan deras pun turun. Kami berdua berpacu dalam hawa nafsu yang semakin liat.
Aku terus melumat bibirnya, payudaranya ku remas kencang, dan Dita pun juga semakin bernafsu dengan cengkeramannya ke rambutku, tak ingin melepaskan lumatan bibirku.
Aku mulai lepaskan baju kuningnya yang tipis, kemudian BH nya yang kekecilan juga ku lepas. Payudaranya yang inah membuat tanganku tak ingin lepas untukmemutar-mutar putingnya.
Payudara indah yang menyembul itu aku jilatin, tepat di areolanya, kemudian kugigit tipis tepat di putingnya. Dita menjerit penuh nafsu “aaaaawwwhhhh sayang...”
Aku semakin beringas, ku mulai lepaskan semua yang ada di tubuh Dita, aku mulai untuk menjilati seluruh tubuhnya. Mulai dari telinga, bahu, pauydara, perut, dan ke vagina dia.
Klitorisnya yang agak besar membuatku leluasa untuk membuat Dita semakin mendesah,
“Stop sayang, basah banget sayang vagina aku.” Dita gak kuat untuk menjerit.
Aku mulai perlahan menggesekkan jariku kevaginanya, dan memang benar vaginanya sudah sangat becek.
Tak terasa ternyata semua bajuku juga sudah dilucuti oleh Dita, kami berdua kemudian berposisi 69, dia mengulum penisku yang tegang, sementara aku memainkan lidaku diklitorisnya.
Malam itu sangat lah indah, peluh kami pun saling menghangatkan. Aku bertekad juga untuk pertama kalinya melakukan penetrasi ke vagina Dita.
Aku balik badannya, berposisi MOT, aku mulai melakukan penetrasi. Semua prinsipku untuk menjaaga keperjakaan pun hilang saat itu. Yang ada hanyalah nafsuku untuk segera menuntaskan rasa penasaranku menikmati beceknya vagina Dita.
Aku perlahan memasukan penis, dan untuk pertama kalinya aku merasakan hangatnya cairan vagina.
“uuuhhh becek banget sayang, enak banget” aku sampaikan ke Dita tentang enaknya penetrasi.
Aku mulai melakukan goyangan untuk membuat vagina Dita lebih becek lagi.
“aaacchhh sayang,... mmmpphhh... terus sayang yang kenceng” pimta Dita kepadaku.
Aku mulai menaikkan tempo goyangnku, wajah sayu dita yang keenakan membuatku semakin bernafsu untuk membuatnya orgasme. Bibirnya pun aku kulum lagi sambil tetap menaikkan tempo goyanganku.
Tak lama kemudian dia memelukku kencang, menjambak rambutku.. dan mengunci bibirku di bibirnya.
Badannya gemetar, kakinya mencengkeram erat pingganggu, dan bagian vaginanya mengeluarkan cairan hangat, dan ada denyut seperti denyut nadi mencengkeram penisku.
“Aku sudah keluar sayang, enak banget. Sudah lama sekali aku ga merasakan penis masuk ke vaginaku. Terima kasih ya sayang” ucapnya kepadaku.
Aku pun tersenyum, penisku yang masih masuk ke vaginanya kucoba untuk gerakkan lagi. Aku mulai menggoyangnya lagi. Tak akan kusia-siakan kesempatan ini.
“mmpphh... aaacchhhh sayaaangg...” teriak dita kaget dengan goyanganku.
Teriakannya membuatku semangat untuk menaikkan tempo, aku pun beranikan diri untuk menghunjam vagina dita yang sudah sangat basah dengan penisku yang sudah lama ingin mengeluarkan sperma kental.
Kaki dita merangkul pinggangku, aku terus melakukan goyangan, desahannya semakin menjadi-jadi saat aku naikkan tempo. Tangannya memegang ujung bantal dikepalanya. Matanya terpejam, menahaan keenakan. Keringat yang menetes membuatku makin liar untuk menggoyang.
“aaahh aacchh enak banget sayang, kontol mu besar” ucap dita kepadaku.
“iya sayang, vagina kamu juga enak, sempit becek.. mmmpphh..” aku tak kuasa untuk segera menuntaksan rasa penasaran.
Aku naikkan tempo lebih cepat lagii.... kencangnya goyanganku memunulkan suara “plok plook ploook”. Kami sangat menikmatinya, saat sperma mau keluar, aku bilang ke Dita dan langsung aku cabut.... spermaku mengucur deras di perutnya... Tangan dita kemudian sigap untuk megusap vaginanya yang tak lama kemudian mengeluarkan cairan yang kedua kalinya.
Kami berdua pun berpelukan, aku cium kening Dita dengan penuh kasih sayang.
“I love you sayang, terima kasih untuk malam ini” Ucapku padanya.
Kamipun membereskan kasur yang berantakan, mencuci semua perabotan pertempuran dan kemudian tidur berdua dengan tubuh tetap telanjang.
Dalam hangatnya pelukan aku berulang kali menciumnya, aku sangat takut untuk kehilangan Dita, satu-satunya wanita yang saat ini aku cintai.
Wanita yang pertama kalinya merasakan keperjakaanku. Walau dalam hati juga sedikit sesak mengetahui keperawanannya bukan pertama kalinya untukku.
Semua ketakutan akan hal buruk yaitu kami dipisahkan selalu menghantui pikiranku. Tapi aku yakin semua akan berjalan dengan semestinya. Tak perlu dirisaukan. Di malam itu, aku terjaga, sambil memeluk Dita yang terpejam manja.
Bersambung...