Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

========
QUEST#12
========​

Keesokan harinya, benar saja bu Ajeng kembali meng-SMS-ku mengabarkan kalau aku masuk ke arisan mereka. Ia akan segera menghubungi teman-temannya untuk memberi tengat waktu penyetoran uang keikutsertaan di acara arisan yang akan dilaksanakan tanggal 19 Februari, hari ini.
Arisan brondong akan dilaksanakan sore ini pada pukul 16:00. Bertempat di salah satu apartemen milik bu Ajeng. Aku diharapkan sudah sampai di sana sebelum para peserta arisan datang. Kurang lebih setengah jam sebelumnya.
Yang kulakukan kali ini duduk saja di mobilku, di parkiran mall ini adalah memberi sedikit waktu untuk salon milik bu Desi itu selesai berbenah untuk buka. Aku harus lebih memperkenalkan diri dengannya sebelum acara arisan itu diadakan.
Apalagi, bu Ajeng merekomendasikan aku untuk melakukan perawatan diri di salon milik bu Desi agar kelihatan lebih kinclong saat acara nanti sore.
Bu Desi yang sudah tau wajahku dari twitpic bu Ajeng dan kicauan nyaring para FoxyMoms di Lini masa. Aku pikir akan lebih menaikkan nilai jualku nanti di matanya kalau ia mengenalku sebelumnya. Sejauh ini, hanya bu Ajeng yang kenal denganku.
Jam sepuluh kurang, aku baru keluar mobil dan memasuki lantai dasar mall. Pagi menjelang siang ini, lokasi konsumptif ini tidak begitu ramai. Aku berjalan perlahan saja sambil sedikit cuci mata akan berbagai dagangan yang dijajakan di etalase sepanjang jalanku. SPG Properti dan alat kesehatan menawarkan dagangan mereka padaku, kutolak tidak langsung dengan hanya mengambil brosur yang ditawarkan.
Mencapai lantai 3, aku lalu mengarah ke sayap kanan lantai ini dimana salon bu Desi berada. Salonnya bernama Desire. Hanya sebuah plat stainless steel yang tak begitu besar direkatkan di dinding rough finish berwarna jingga. Tulisan Desire tok tanpa embel-embel salon atau beauty shop atau apalah. Memberi kesan eksklusif dan sensual sekaligus. Hanya orang-orang yang direkomendasikan yang akan tau tempat ini.
Setelah mengumpulkan percaya diri secukupnya, aku memasuki pintu kayu sederhana dengan pegangan pintu klasik. Memasuki ruangan kecil hanya disambut seorang resepsionis cantik di balik meja kecil. Ia langsung berdiri menyambutku dengan kesigapan yang tidak dibuat-buat.
“Selamat pagi... Selamat datang di Desire... Ada yang bisa kami bantu?” sambutnya dengan pertanyaan standar. Kalau kujawab ‘Ini tempat apa, ya?’ tentunya jelas kalau aku sedang iseng atau sedang tersasar.
“Saya direkomendasikan oleh ibu Ajeng untuk perawatan disini...” jawabku mencoba lugas karena sudah tahu persis ini adalah salon.
“Baik... Rekomendasi ibu Ajeng... Silahkan lewat sini... mas? Mas siapa namanya?” katanya mengarahkanku ke pintu di samping ruangan ini.
“Satria...” jawabku singkat. Kuikuti ia melewati pintu yang tidak begitu besar itu.
“Baik, mas Satria... Nama saya Nia... Silahkan kemari...” katanya terus mengarahkanku ke ruangan berikutnya. Ini adalah ruang utama tempat ini. Satu sisi ruangan dipenuhi cermin di dinding untuk melakukan berbagai pekerjaan salon; potong rambut, perawatan rambut, rias wajah dan sebagainya. Hanya ada 4 buah kursi rias di tempat yang tidak begitu luas ini tetapi ditata sedemikian rupa agar tidak sumpek dan efesien saat bekerja.
“Silahkan duduk di sini... Mbak ini yang akan merawat rambut mas Satria... Namanya mbak Wulan... Saya kembali ke meja saya... Kalau ada apa-apa–sampaikan saja kepada mbak ini... OK, Lan... Sekarang giliranmu...” kata mbak Nia itu memperkenalkan seorang kapster salon yang entah dari mana munculnya dan sudah ada di dekatku. Mbak Nia kembali ke tempatnya.
Mbak Wulan tak kalah cantik dengan mbak Nia tadi. Kalau kutaksir umurnya sekitar 25-an lebih. Salon ini tidak memiliki seragam, hanya sejenis apron/celemek berwarna kuning pudar bertuliskan Desire di sudut kanan bawahnya. Mbak Wulan ini memakai kemeja lengan pendek warna biru muda dengan dua kancing atas tidak dipasang dan celana panjang bahan kain berwarna kuning gading.
“Mas Satria... perawatan apa yang mas inginkan?” tanyanya begitu aku duduk nyaman di kursi empuk ini. Sangat jarang aku masuk salon begini. Lebih sering ke barbershop yang khusus untuk pangkas pria. Mengenai jarang tadi, waktunya dulu banget waktu masih kecil karena bareng pangkas dengan dua saudaraku; Putri dan Dewi.
“Pangkas... creambath dan facial aja...” jawabku. Cuma itu jenis perawatan yang kutau.
“Kalau boleh saya sarankan termasuk body spa... lulur, body wax dan perawatan kuku... Rekomendasi bu Ajeng selalunya begitu...” terang mbak Wulan tentang kebiasaan perawatan tubuh para brondong yang akan diumpankan untuk arisan para FoxyMoms itu.
“Semua itu memakan waktu berapa lama?” tanyaku yang khawatir akan terlalu lama untuk janjianku sore ini.
"Semuanya akan hanya dilakukan selama 3 jam saja dan anda tidak akan terlambat sore ini..." jawabnya.
"Oh... OK deh..." jawabku pasrah saja. Sepertinya mereka sudah siap menyambutku dengan jawaban ini. Bahkan sudah tau jadwalku sore ini segala...
Perawatan tubuhku dimulai dengan memotong rambutku agar lebih rapi. Terutama pada bagian poni depan rambutku yang selalu acak-acakan. Di bagian samping dirapihin juga agar tidak mengenai telinga. Lalu berlanjut pada cream bath dan kulit kepalaku dipijat. Pada taraf ini aku mulai mengantuk dan mulai ceper nih mata menikmati pijatan pada kepalaku. Apalagi saat rambutku dibilas setelah dibersihkan bekas cream bath barusan.
Uap panas disemprotkan perlahan di wajahku untuk membuka pori-pori kulit agar mudah dibersihkan. Lalu rangkaian berlanjut dengan pembersihan wajah. Mukaku dibersihkan dari kulit mati dan kotoran seperti komedo dan jerawat. Pedih juga digosok-gosok berulang seperti itu. Lalu lanjut ke perawatan yang macam-macam lainnya.
Saat perpindahan antara scrubbing dan perawatan berikutnya, pintu ruangan dimana bu Desi berada terbuka dan sang baby sitter yang mengasuh bayinya keluar. Sekilas aku melihat bu Desi di dalam ruangan kantornya sedang melakukan sesuatu. Dari pantulan cermin, aku bisa melihat isi dalam kantornya sekelebatan saja. Saat ini, hanya ada dua customer yang sedang di dalam salon ini. Seorang wanita di ujung sana sedang ditata rambutnya.
Tak lama sang baby sitter itu kembali dengan membawa bungkusan plastik yang kutebak sebagai kotak susu formula. Mungkin ia baru beli dari supermarket di lantai 2 mall ini. Sekilas aku memergokinya melirik refleksiku di cermin, yang sedang dibersihkan kulit wajah dari kotoran.
Jeda antara ia masuk ke dalam ruangan bu Desi dan menutupnya, aku bisa melihat kegiatan yang sedang dilakukannya di dalam sana. Bu Desi rupanya sedang menidurkan bayinya. Dan tepat saat mata kami bertemu, pintu tertutup rapat kembali.
--------​
Setengah jam kemudian, aku sedang bersiap untuk melakukan pemijatan bagian dari perawatan body spa. Aku tidur telungkup di sebuah matras empuk dengan sebuah handuk tebal sebagai penopang kepalaku. Ruangan ini hanya punya dua ranjang kecil dengan pembatas kain yang sedang tidak dipergunakan, hanya rapat menggantung di dinding.
Sebelumnya, sang terapis aku diminta untuk membuka semua pakaianku tanpa terkecuali dan kemudian tidur tengkurap di matras itu. Dengan cukup profesional kemudian ia menutupi bokongku dengan sebuah handuk hingga aku merasa tidak terlalu terekspos lagi.
Semacam minyak beraroma harum kemudian dibalurkan ke seluruh tubuh, tangan dan kakiku. Dan dimulai pijatan untuk merelaksasikan otot dan peredaran darahku. Pijatan tangan lembut tetapi bertenaga terus meremas-remas ototku yang biasanya selalu kaku ini. Rasanya sangat nyaman.
Aku hanya bisa berbaring menelungkup dengan kepala menghadap ke kiri sembari menghirup aroma minyak yang wangi tadi, yang terus ditambahkan bila terasa mulai kesat.
Kesadaranku mulai di awang-awang saat tubuhku dibersihkan dengan kain handuk untuk proses berikutnya. Semacam krim kental berwarna hijau beraroma teh dibalurkan ke kulitku berikutnya dengan semacam kuas. Rasanya sejuk dan menyegarkan. Berikutnya aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.
Saat terbangun, aku sudah tidak tidur menelungkup lagi—melainkan terlentang. Entah bagaimana cara terapis cantik berbadan yang tidak terlalu besar itu membalik tubuhku yang cukup berat ini? (87 Kg) Ia masih mengoles krim hijau itu di bagian perutku saat aku mengerjabkan mata pada lampu bohlam di langit-langit. Sedikit silau awalnya. Entah berapa lama aku tertidur.
"Sori ya, mbak... Saya tadi ketiduran..." kataku basa-basi aja pada sang terapis.
"Gak pa-pa, mas... Saya sudah terbiasa, kok..." jawabnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Ia terus mengoleskan kuas krim teh hijau itu di kulit perutku dekat pusar.
"He... he... he... Sori lagi, mbak..." kataku baru menyadari kenapa si-mbak senyum mesem-mesem dari tadi. Rupanya ada tonjolan menjulang tinggi di handuk yang menutupi bagian bawah tubuhku.
Si mbak terapis tidak menjawab, hanya tersenyum dan meneruskan pekerjaannya. Tetapi karena ia sedang bekerja dekat dengan onderdil keramatku, arah pandangan matanya tertuju ke sana selalu. Membuatku berpikir yang aneh-aneh jadinya. Mana itu si otong gak mau kompromi, mendeteksi ada barang bagus ia langsung bangun aja gak permisi.
Disingkapnya sedikit pada bagian pahaku untuk melanjutkan mengoles krim hijau itu. Ia tidak menggunakan kuas lagi melainkan dengan tangannya sekarang. Sepanjang paha lalu mencapai betis lalu ke tulang kering dan punggung kaki. Ukuran handuk itu sedang saja hingga dalam keadaan normal bisa menutup seluruh selangkanganku dan setengah paha tetapi sekarang tidak bisa lagi.
Area tutup handuk berkurang drastis karena ketinggian coverage-nya bertambah banyak. Entah hanya perasaanku atau memang iya, konsentrasi sang mbak terapis ini sudah terganggu. Seharusnya ia sudah dari tadi menyelesaikan membalur krim hijau itu di pahaku dan kemudian berpindah di tulang keringku. Tapi ia tetap mengelus-elus pahaku dengan kedua tangannya, naik turun, naik turun begitu terus sambil matanya terpaku pada gunungan handuk penutup perutku.
Ini bisa jadi masalah sehingga aku pura-pura tidak tau saja dan memejamkan mataku. Mata yang tertutup terpaksa begini hanya bisa memandang warna jingga kelopak mata yang langsung di hadapan bohlam di langit-langit. Rasanya tidak nyaman sekali karena panas. Dan satu rasa nyaman yang kurasakan adalah... senggolan-senggolan jari sang mbak terapis pada kantong menyanku.
Gerakan tangannya kini berputar di sekitar pangkal pahaku. Terasa tangannya semakin liar menyentuh buah pelerku yang masih bersembunyi di balik handuk yang menggunung. Jarinya menelusup masuk ke lipatan pahaku agar menyentuh kulit scrotum-ku. Aku tetap merem terus pura-pura tak perduli.
Lalu gerakan tangannya mulai berputar-putar ke atas gundukan tulang pubis-ku yang saat ini gundul dengan wax beberapa hari lalu. Dielus-elusnya kulit pubis-ku untuk meratakan krim teh hijau dan melancarkan serangan barunya. Sesekali tangannya menyentuh batang penisku yang menegang mengacung.
Bergantian tangan kanan dan kiri menambahkan alasan ia bisa menyentuh penisku dengan sejumlah krim hijau tipis. Telapak tangannya mengelus-elus kasar saat ini. Ia mungkin sudah tidak sabar.
Greepp!
"Mass... Mau saya buat enak, gaak?" bisiknya tiba-tiba. Ia menggenggam penisku erat. Ia meremas-remas pangkal penisku. Nafasnya terasa berat dan hangat.
"Enak gimana, mbak? Dipijet juga enak, kan?" kataku berkedip-kedip menghadapi terangnya lampu saat kubuka mata silau.
"Pijet plus-plus..." jawabnya tetap meremas pangkal penisku penuh harapan aku terima tawarannya.
"Saya harus cepat-cepat, mbak... Jam 4 sore nanti saya ada janji..." jawabku menolak. Jual mahal dikit. Aku gak minta ini, kan?
"Ini masih jam setengah dua... Saya buat puas, deh..." rayunya terus. "Suer, deh..." katanya mendesak terus. Disibaknya kain handuk yang menutupi penisku. "Mmmhhh..." Matanya membelalak melihat ukuran jagoanku yang menegang keras. Pasti ia sudah meleleh di bawah sana.
"Mbllooffhh..." mbak terapis itu kalap dan langsung melahap penisku. Mulutnya mencaplok kepala penisku yang berwarna merah dan tangannya yang sudah dari tadi menggenggam pangkal penisku otomatis mengocok.
"Mbak... Saya gak minta ini, loh... Saya jadi bingung, nih..." kataku belagak salah tingkah. Ia tidak perduli dan mengindahkan kebingunganku. Kepalanya mengangguk-angguk cepat menggelomoh penisku di mulutnya. Ludahnya terasa banyak mengumpul di dalam mulut sehingga rasanya demikian hangat dan basah.
"Saya gak mau bayar ekstra untuk ini, loh..." kataku berusaha bangkit untuk menghindar. Aroma teh hijau yang segar dan menenangkan mulai dirusak oleh aroma ludah sang terapis yang sedang sange berat tiba-tiba ini. Padahal aku sama sekali tidak merangsang atau menggodanya. Hanya pemandangan penisku yang ngaceng penyebab ini semua.
Ditahannya dadaku agar aku tidak bangkit, tetap berbaring saja selagi ia terus mempermainkan penisku dengan mulutnya. Dilebarkannya kakiku lebih mengangkang.
"Mmm-mbaakk..." desahku merasakan sedotan kuat mbak terapis ini. Sedotan yahudnya seolah ingin menyedot semua isi penisku untuk segera keluar. Pantatku sampai melambung naik bersamaan dengan sedotan dan betotan tangannya yang gemas dengan penisku. Aku tidak bisa bangkit. Kembali berbaring pasrah saja di ranjang kecil beralas busa tebal.
Lidahnya menggelitik lubang kencingku beberapa kali lalu menyedot kepala penisku kuat kembali. Ngilu plus enak banget. Tangannya satu lagi memijat-mijat lembut pelerku dan menggelitik dengan ujung jari. Geli banget. Tapi itu semua belum bisa memecah pertahananku. Petualangan seks-ku sudah sedemikian liar dan gila hingga teknik yahud begini tidak akan sanggup membobolku. Kalau orang biasa udah ngecret kemana-mana dari tadi pastinya.
"Enaak, maaas?" tanyanya mengocok-ngocok cepat dan gemas penis tegangku yang tak kunjung ejakulasi.
"Enak sih. mbak? Udah selesai, ya?" tanyaku mengangkat leherku sedikit untuk melihat hasil kerjanya. Sebagian besar dada, tanganku masih berwarna hijau krim teh itu. Kaki juga tetapi seputaran selangkanganku bersih. Penisku masih terus dikocoknya. Warnanya sudah merah tua kebiruan.
"Belum, mas... Saya belum enak, nih..." katanya dengan satu tangannya yang bebas melepaskan kancing baju kemejanya yang dari tadi sudah tidak terpasang dua. Mukanya sange banget dengan mata sayu dan berat. Sudah pengen banget dicoblos kontol.
Dengan buru-buru ia mengeluarkan payudaranya yang tidak terlalu besar dari dalam bra kanan. Tanpa segan ia menjejali mukaku dengan payudaranya. "Sedoot, maass..."
Aku tak langsung menuruti maunya. Kubiarkan ia mengunyel-unyel mukaku dengan payudaranya yang kenyal. "Sedoot, mass... Iseeepp, maass... Maaass... Seddooot, doongg?" katanya tak malu-malu lagi. Perempuan macam apa si terapis ini. Kalau terapis merangkap PSK gak gini juga kalee...
Payudaranya yang berputing coklat tua sudah menegang karena rangsangan digesek-gesekkan perempuan yang bahkan namanya saja aku tidak ingat lagi (Wulan) ke mukaku.
Entah kapan terjadinya, ia naik ke atas ranjang kecil ini. Kedua payudaranya mengacung terbuka dan ia sudah tidak memakai celana panjang berwarna kuning gading itu lagi. Hanya celemek warna kuning pupus dengan logo Desire yang menutupi tubuh bawahnya.
"Mbaaak?" gumamku sedikit kurang siap dengan agresifitasan terapis ini. Ia berposisi seolah-olah akan segera menghimpitku dengan berada di atasku. Matanya sayu menatapku dengan menggigit bibir bawahnya.
"Hss..." desisnya mengambil nafas panjang. Kepala penisku terasa menumbuk sesuatu benda empuk sedikit berambut. "Cllk... sllek... byukk..." meluncur masuk dengan bimbingan tangan mbak terapis yang tiba-tiba kuingat kembali namanya; Wulan.
"Mbaakk... dimasukin, mbaaak?" kagetku. Padahal kalau ini beneran plus-plus belum ada perjanjian apapun. Tarif atau bilangan nominal berapa.
"Ehhmmhhh... Gede bangeeet..." desah mbak Wulan memegangi dada dan pantatnya sendiri. Lalu ia menggigit bibir bawahnya lagi kala mulai menggerakkan tubuhnya. Batang penisku terasa menelusup masuk ke liang hangat yang belum begitu basah. Seret meluncur masuk hingga gerinjal tekstur dinding vagina terasa bergesekan dengan kulit penisku. Dengan kedua lutut bertumpu di atas busa ranjang kecil ini, pantatnya bergerak naik turun.
"Aaahh... Enaaak bangeet..." desahnya lagi memegangi kedua dadanya sekaligus. Matanya terpejam erat menikmati persetubuhan yang tak kurencanakan ini. Maksud hati ingin memata-matai isi salon ini untuk lebih mengenal bu Desi, malah aku terjerat di pelayanan plus-plus karyawan salon yang tiba-tiba sange begini. Aku gak heran kalau setelah ini, aku akan dikenakan bayaran, deh.
"Plak plak plak!" suara tepukan pertemuan bokongnya dan pahaku. Mbak Wulan dengan gencar menggerakkan tubuhnya menunggangiku. "Enak bangeet... Aahh... Ahhmm... Mmhh..." erangnya terus menerus. Kadang ia hanya menggerakkan badannya maju mundur untuk mengaduk batang penisku yang menancap dalam di tubuhnya. Diuleknya penisku berputar-putar dengan gerakan yahud andalannya.
Sekarang semua gerakan semakin lancar dengan lubrikasi yang cukup di dalam liang kemaluan mbak Wulan. Suara kecipak penisku mencoblos kemaluan mbak Wulan berirama merdu di ruangan kecil ini. Kalau terdengar sampai keluar, aku gak akan kaget. Diluar sana mereka mungkin mereka bertanya-tanya atau malah maklum saja.
Atau memang salon Desire ini memang menyediakan pelayanan seperti ini bagi para pelanggannya. Terutama untuk pelanggan cowok sepertiku. Apalagi bu Ajeng terang-terangan merekomendasikan atau tepatnya mengarahkanku untuk datang ke salon ini untuk perawatan tubuh sebelum arisan nanti sore. Apa mereka sengaja mengerjaiku dulu sebelum acara dimulai. Semacam perploncoan begitu?
"AAaahhh! Ahh! Aahh!" keluh mbak Wulan mengejang seluruh tubuhnya dengan tegak. Urat lehernya timbul menahankan gelora birahinya agar tidak menjadi teriakan histeris yang berlebihan. Bagus ia masih menahan diri dilanda orgasme begitu. Lalu ia ambruk tanpa banyak pikir menghimpit tubuh pelanggannya. Kepalanya rebah di leherku dan nafasnya yang tersengal-sengal terasa hangat. Rambutnya awut-awutan. Titik keringat ada di sekujur tubuhnya di ruangan sejuk ini. Terasa penisku dilepas dari liang vagina mbak Wulan.
Byuungg... lepas dan mengacung tegang kembali menunjuk langit di antara belahan pantat mbak Wulan. Siapa yang masuk ke ruangan ini?
"Wulan..." tegur satu suara yang kini ada di samping kami berdua. Aku segera mengenalinya dan aku melihat ke arah pintu. Beberapa kepala yang tadinya ada di sana ditarik cepat seiring pintu ditutup kembali.

Desi
"Bu-bu Desi?" gelagapan mbak Wulan tertangkap basah oleh atasannya sedang bergelut dengan pelanggan. Gak boleh ya ternyata? Dipaksakannya tubuh lemasnya untuk bangkit dengan sisa tenaganya yang ternyata cukup sigap. Dilemparkannya satu kakinya ke bawah dan sekilas aku bisa melihat kemaluan berlepotan cairan cinta disebalik kelebatan kain celemek yang masih dipakainya. Begitu berdiri di kedua kaki, langsung diperbaikinya pakaiannya setelah mengembalikan kedua payudara itu kembali ke sarangnya. Dengan kaki, ditariknya celana panjang kuning gadingnya dari lantai dan memakainya dengan kecepatan kilat.
"Maaf kalau karyawan saya berbuat lancang..." kata bu Desi dengan intonasi antara tegas dan juga meminta maaf. Dengan gerakan mata saja, ia bisa menyuruh mbak Wulan untuk segera menghilang dari ruangan ini. "Anda rekomendasi bu Ajeng, benar?" katanya begitu karyawan lancangnya tadi keluar ruang.
"Benar... Tadi itu bukan kesalahan mbak Wulan... Ini kadang suka ngaceng sendiri tanpa sebab jelas..." kataku mencoba membela sedikit perempuan yang gak bisa kupungkiri sudah memberi rasa nikmat itu. "Saya yang salah, kok..." lanjutku.
"Saya paham... Kualitas anda memang lumayan... Tidak salah kalau bu Ajeng atau bahkan Wulan penasaran mau mencicipi sebentar..." katanya berubah rileks. Matanya bergerak teratur menyisiri sekujur tubuhku. Bahkan tangannya tanpa sungkan meraba lututku yang masih ada sisa krim teh hijau yang mengering. Naik terus hingga paha karena ia bergerak mendekatiku.
Tanpa perlu permisi ia lalu menggenggam penisku yang menegang keras. Digenggam tepat dipertengahan batangnya. Genggamannya erat dengan sedikit remasan.
"Hmm... Besar dan keras... Pemuda seumuranmu memang gak bandingannya..." katanya menuturkan kesukaannya pada pemuda brondong semacamku yang penuh vitalitas masa muda yang meluap-luap. Jaminan mutu kepuasan. Remasannya bergerak menjadi kocokan. Sisa cairan kemaluan mbak Wulan yang mulai mengering diratakannya. Yang sebelumnya sempat sejuk kembali menghangat.
Wah... Prospeknya menjanjikan kayaknya nih. Setelah tadi sempat kentang karena dipergoki bu Desi, ternyata ada kesempatan berlanjut oleh TO-ku nih. Aseek.
"Sebenarnya di salon saya ini dilarang melakukan transaksi seksual seperti tadi... Wulan sudah saya peringatkan untuk kedua kalinya... Sepertinya ia sudah sering melakukannya di tempat kerjanya sebelum disini... Peringatan keras untuknya waktu itu... Tapi sepertinya ia tidak tahan... melihat ini..." diremasnya penisku agak kuat untuk menunjukkan penyebab lepas kendali karyawannya. "Tidak sabar untuk transaksi selepas kerja nanti sore... Diluaran... itu sudah diluar wewenang saya, kan?" lanjutnya.
"Sedikit customer pria di Desire karena pelayanan perawatan yang kami berikan adalah perawatan kecantikan Premium... yang umumnya didapatkan wanita dari kalangan atas... Mungkin bagi Wulan... ia seperti mendapatkan Jackpot... Ia belum pernah begini pada rekomendasi bu Ajeng sebelum-sebelumnya..." jelas bu Desi sedikit tentang brondong-brondong sebelumnya yang datang kemari sebelum aku.
"Oh..." hanya itu yang bisa terucap olehku. Sepertinya dapat JONK kali ini. Tetapi kenapa ia tidak kunjung melepaskan batang jagoanku? Tetap dikocok-kocok walau tak kunjung ditindak lanjutinya. Ya... minimal disepong atau gimana...
"Permisi, bu Desi?" ujar satu suara yang masuk setelah terlebih dahulu mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk. Baby sitter berseragam pink terusan itu muncul dan berdiri di pintu. "Jojo sudah bangun, bu..."
"Oh... OK... Kemari dulu, Emi..." katanya memanggil si baby sitter bernama panggilan Emi itu. Tangannya tak berhenti terus mengocoki penisku yang kini sudah kering. Dengan patuh perempuan itu memasuki ruangan dan mendekat pada bu Desi.

Emi
"Ada apa, bu Desi?" katanya setelah melirik padaku. Sekilas aku melihatnya meneguk ludah.
"Saya minta tolong kamu urusin pelanggan saya yang satu ini... Kamu kan bukan karyawan salon ini jadi... tidak akan melanggar peraturan... Dari pada kamu ngayal yang enggak-enggak terus..." kata bu Desi mengejutkan. Sebentar kulihat mata Emi membelalak kaget. "Ini ada yang beneran... Manfaatin sebaik-baiknya, ya?"
Dari tempatku berbaring saat ini, aku tidak bisa melihat jelas ekspresi bu Desi saat berbicara dengan Emi, tapi aku melihat satu gerakan kecil mengangguk—kode penunjuk arah ke arah dinding di depanku. Aku yakin sekali kalau ada kamera tersembunyi di sana, alat yang bisa membuatnya mengetahui perbuatan mbak Wulan bersamaku tadi. Tak heran kalau ia juga menempatkan kamera pengintai ini di sudut-sudut lain tempat ini untuk mengawasi seluruh tempat ini.
Bu Desi mengumpankan baby sitter bayinya untuk mengetes aku, nih. Untung aja si baby sitter ini lumayan oke juga. Tingginya sedang sekitar 155 cm dan berat 50-an kg. Kulitnya putih bersih, rambut pendeknya diikat ekor kuda, mata sedikit belo dan hidungnya bangir dengan mulut kecil berbibir berwarna pucat.
"Jangan, bu..." tolaknya dengan wajah memelas seperti ketakutan.
"Emi... Jangan membantah saya... Lakukan apa yang saya suruh... Kalo enggak... Saya akan tunggu di kantor... Enggak akan ada yang berani masuk kemari kalau saya suruh... Cepat laksanakan..." perintahnya tegas dan menarik tangan kanan Emi. Menariknya mendekati wajahnya dan secara mengejutkan meludahinya. Telapak tangan Emi yang diludahinya digenggamkannya ke batang penisku.
Baby sitter bernama ini Emi berjengat risih menggenggam penisku yang masih menegang perkasa. Kenapa jadi begini, ya? Kenapa aku malah berduaan aja dengan perempuan ini?
"Mbak? Ada apa ini? Saya kok gak ngerti, ya?" tanyaku benar-benar bingung. Ia hanya memegangi penisku tanpa ada gerakan apa-apa. Mata perempuan itu lembab dan aku yakin sebentar lagi ia akan menangis dari ekspresi ketakutannya.
"Tangannya dilepas aja, mbak kalo memang gak mau..." usulku. Aku gak suka dengan keadaan ini. Ini kondisi yang sangat aneh menurutku. Sudah ada tiga perempuan yang keluar masuk ruangan ini dan mengacak-acak onderdil pentingku. Si otong sialan yang tega-teganya masih bisa tetap tegang di kondisi kikuk ini.
"Gak bisa, maass... Saya harus selalu nurut apapun mau, bu Desi... Kalau enggak saya bisa kena semprot... Hik... hik... hik..." jawabnya menunduk dan tetap berdiri di tempatnya memegangi jagoanku. Badannya bergetar pelan kala ia terisak menarik ingus.
"Ada CCTV-nya ya di dinding itu? Di balik foto itu?" tanyaku memastikan dugaanku tadi.
"Iya... Bu Desi mengawasi kita saat ini di kantornya... Aduh... Tuh, kan... Nelpon?" katanya agak terkesiap dan langsung merogoh kantung kanan seragam pink baby sitter-nya tanpa melepas tangan kanannya dari penisku. HP-nya bergetar dua kali sebelum dijawabnya.
"Ha-halo, Des?... bu... Iya, bu Desi... Diko-kocok ini, yak..." jawabnya terbata-bata dan mulai menggerakkan tangannya. Gerakannya kasar dan kaku. Matanya terpejam sambil menerima telepon dari bu Desi dan mengurut penisku asal-asalan.
Entah apa masalah kedua orang itu sampai Emi rela diperlakukan begini oleh majikannya. Seharusnya dalam keadaan normal, mbak Emi bisa saja langsung cabut keluar. Tetapi ini tetap bertahan dan menurut patuh. Seaneh dan seabsurd apapun perintah bu Desi ini. Termasuk melayani pelanggan yang tidak boleh dilayani oleh karyawan salon.
"... dimasukin mu-mulut?" bergetar bibir Emi mengucapkan kata-kata itu. Instruksi lebih lanjut bu Desi menyuruhnya memasukkan penisku ke mulutnya. Wah, ini mulut perawan, ya?
"Baik..." katanya lemas dan merendahkan kepalanya ke arah selangkanganku. Matanya tetap terpejam. Pelan-pelan enggan ia merunduk ragu. Entah kejadian gila apa yang membuat dua orang ini terhubung saat ini. Dan aku terperangkap di tengah-tengah kekacauan itu. Masalah Emi sungguh sangat pelik.
Kepala Emi kucegah mendarat di pangkuanku. Kuarahkan malah ke wajahku. Kedua pipinya kupegangi. Ada gerakan perlawanan darinya. Perlawanan yang segera melemah dan akhirnya manut. Pasrah kalau wajahnya yang cukup manis dengan mata terpejam kukecup keningnya. Ia terkesiap kaget dan membuka matanya sebentar lalu dipejamkan kuat-kuat. Nafasnya tersengal-sengal. Jantungnya terasa berdegub kencang sampai lamat-lamat terdengar di seluruh penjuru nadinya. Untung dia masih muda, kalau berumur mungkin sudah kena serangan jantung.
"Rileks... Jangan tegang, mbak Emi..." kataku mengecup keningnya lagi. Tubuhnya kembali menegang. Bulu kuduknya meremang terasa di tanganku yang menahan belakang kepalanya.
Kelopak mata besarnya kini kukecup bergantian. Jendela jiwa itu bergerak-gerak liar mencoba mencari jawaban raungan dirinya. Di sudut matanya yang lembab mengalir air mata yang segera kuhapus. Kesedihannya sangat pedih. Aku tau jenis kesedihan ini. Aku selalu merasakannya.
Tangannya berhenti bergerak kaku di kemaluanku yang tak tau malunya tetap ngaceng seberapa beratnya beban yang dirasakan orang ini. Aku hanya sanggup membantunya dengan cara ini sekarang. Banyak yang harus kupertimbangkan demi kemajuan perjalanan misiku.
Kurapatkan kening kami berdua dan terasa hangat nafas yang meluncur dari hidungnya yang memburu kencang.
"Huu... hu... huu... huu... hiks... hiks... huu... huu..." pecah tangisnya tiba-tiba. Dipeluknya kepalaku tanpa ragu. Penisku terlepas bebas akhirnya. Tubuhnya berguncang-guncang hingga aku ikut berguncang juga. Dadanya tanpa bisa dicegah gencet di dadaku juga. Kucoba mengabaikan rasa empuk itu. Tubuhku mendadak menjadi hangat. Ia menyalurkan perasaannya lewat pelukan erat ini. Nyaman walau terasa ganjil.
Kutepuk-tepuk punggungnya lalu mengelusnya kemudian untuk membuatnya tenang. Ia tetap menangis tersedu-sedu. Lalu elusanku berpindah ke rambutnya yang diikat ekor kuda.
"Humphh..." kagetku.
Masih dengan mata terpejam, mbak Emi ini memagut mulutku dengan ganas. Disedot-sedotnya kedua bibirku dengan cepat. Tangannya meremas-remas lenganku gemas. Rambutku yang baru dipangkas juga diremasnya. HP miliknya dibiarkannya menggeletak di tepi ranjang. Lidahnya menyeruak masuk menari liar bersama lidahku. Disedot-sedotnya lidahku.
Seperti kesetanan, ia menciumi leherku dengan gerakan cepat dan brangasan. Lidah dan ludahnya menari-nari cepat. Turun dan terus melata sampai ke dadaku setelah sebelumnya meremas-remas dadaku selayaknya payudara. Krim teh hijau yang sudah mengering sekaligus dibersihkannya.
Kenapa orang ini jadi berubah begini liar?
Disedot-sedotnya puting dadaku dengan rakus. Menimbulkan rasa geli yang luar biasa terasa. Tangannya yang bebas bergerak kemana-mana. Menggosok-gosok seluruh tubuhku sampai akhirnya berhenti di penisku kembali. Diciuminya dadaku turun menuju ke selangkanganku yang onderdil keramatku masih gagah menunjuk langit. Seakan tau jawaban ini semua akan bermuara padanya.
Lidahnya tanpa ragu menusuk masuk ke pusarku. Berputar-putar lalu melata turun kembali. Tangan kanannya sudah menggenggam penisku kembali sementara yang kiri menggosok-gosok kulit lenganku. Krim kering berwarna hijau tadi sudah mengelupas karenanya.
Matanya tetap terpejam kala ia dengan mengejutkan membuka mulut kecil dengan bibir mungil pucatnya untuk menelan penisku. Lebih tepatnya kepala penisku yang nganggur setelah sempat mampir ke liang mbak Wulan beberapa saat lalu. Disedot-sedotnya kuat sampai bibirnya kempot. Ditingkahi dengan kecupan-kecupan serupa cupang di sepanjang batang penisku yang keras. Ludah ditambahkannya agar permainan mulutnya bertambah basah dan bersuara bagus. "Cpllaakk... cpllaaakk... cppllaaakk..."
Dipaksanya menelan batang jagoanku semampunya. Alisnya sampai bertaut keriput demi menahan nafas cekikan saat kepala penisku mentok di ujung tenggorokannya dan menekan jalan nafas dari hidung. Ludah kental menetes-netes dari sudut mulutnya.
"Mmllooobbhh... Ahh!" lepasnya untuk mengambil nafas lalu dicaploknya lagi. Kali ini ia bergerak maju mundur mengocok penisku dengan mulutnya.
"Cloob! Cloob! Cllob!" begitu trus berulang-ulang. Kocokan mulutnya sangat luar biasa nikmat karena ia sekaligus menyedot begitu sebagian besar penisku memasuki mulutnya.
Anehnya ia melakukan ini semua dengan mata terpejam rapat dipaksakan. Aku baru kali menemui orang seaneh perempuan bernama panggilan Emi ini.
Masih menggerakkan kepalanya manggut-manggut, tangan kirinya turun. Meraih tepi baju terusan seragamnya, mengangkatnya sedikit dan segera menemukan tepi karet celana dalamnya. Dengan sekali betotan cepat, kain pakaian dalam itu langsung sobek dan lepas dari pinggangnya. Kuat sekali tenaganya tidak sesuai dengan perawakannya.
Berikutnya aku bisa mendengar suara decak basah lainnya dimana tangan Emi mengarah. Ia sepertinya sedang menstimulasi kemaluannya sendiri sembari terus melahap batang jagoanku. Matanya terus terpejam erat dan kepala manggut-manggut cepat.
Ranjang kecil kembali bergoyang kala mbak Emi merangkak menaiki tubuhku tanpa bisa kucegah atau antisipasi. Ia melakukannya tanpa ragu. Aku hanya bisa memandanginya yang menduduki perutku masih dengan pakaian seragam pink baby sitter-nya minus celana dalam dibalik terusan itu. Aku bisa merasakan belahan pangkal pahanya bergeser mencari pasangan. Pasangan untuk melakukan tarian liar. Diangkatnya sedikit tubuhnya untuk membantu arah masuk kejantananku dengan tangannya.
Ternyata sudah cukup basah ketika ujung penisku yang masih tegang perkasa menyapa belahan kemaluan mbak Emi yang tidak kupahami ini. Bu Desi di ruang kantornya sana pasti sedang menonton kami sambil... Sambil apapun yang sedang dilakukannya saat ini.
"Emmhh..." keluhnya saat penisku mulai amblas masuk kedalam liang hangat bergerinjalnya. Ditekannya masuk sampai mentok tidak bisa tembus lagi. Mulutnya menganga lebar seumpama mengucapkan huruf A gede banget. Kepala kejantananku berdenyut-denyut mentok di mulut rahimnya. Mungkin-mungkin sudah merangsek masuk ke pintu rahimnya sekaligus. Ngilu rasanya sekaligus enak. Ini WOT kedua beruntunku.
Kedua tangan mbak Emi bertumpu di bahuku dan ia mulai bergerak. Bergerak naik turun dengan ritmis dengan kecepatan cepat. Ia selalu melakukannya dengan cepat.
"Satria... Perempuan ini punya kepribadian ganda... Saat tertekan seperti ini... sisi kepribadian ini keluar dan menguasai tubuhnya... Emi yang asli tidak akan mampu melakukan ini semua... Tekanan yang dilakukan perempuan bernama bu Desi itu sepertinya ditujukan untuk menstabilkan kelainan ini... Liat dia masih bisa menahan matanya terpejam... Yang melakukan itu adalah Emi yang asli..." begitu penjelasan Andin lewat UNDINE DROP-nya.
"Kepribadian ganda?" heranku. "Ada beneran yang begitu, ya?" tanyaku padanya.
"Kau sedang menghadapinya saat ini... Bingung, kan? Dari nangis-nangis gak mau tiba-tiba agresif begitu... Istilah masa kininya Bipolar Disorder... Semoga saja cuma ada dua kepribadian yang dimiliki... tepatnya diidap perempuan ini..." jelas Andin lagi.
Pantat dan pinggulnya bergerak dengan sangat ahlinya. Naik turun tanpa menimbulkan banyak guncangan di tubuhnya sendiri. Hanya ada getaran-getaran gerakan seperti berjalan biasa pada dadanya yang masih berpakaian lengkap. Padahal penisku sudah sedemikian rupa diuleni dan diperas di dalam liang kemaluannya. Kadang ia memutar-mutar pantatnya ke beberapa arah. Geol sana geol sini. Gesek kedepan dan belakang. Tangannya mencengkram bahuku dan mata tetap terpejam.
Mendadak dilepasnya penisku dari liang vaginanya tetapi digesek-gesekkannya batangku di belahan kemaluannya hingga tergencet rapat di perutku. Tubuhnya tegak dan lebih tegang.
Tubuhnya bergetar sedikit kala orgasme berdecit menyemprotkan sedikit cairan squirtnya. Diangkatnya bagian depan rok seragam terusan itu hingga sekilas aku bisa melihat arah semprotan squirt itu. Mendarat tepat di leherku. Critt! Criitt!
Dengan tetap memejamkan mata, ia membalik tubuhnya sehingga memunggungiku. Dengan tangan yang masuk ke dalam roknya, ia kembali memasukkan penisku ke vaginanya. Sepertinya tokoh kedua kepribadian mbak Emi ini belum selesai. Geram keenakannya seperti seorang wanita yang tau persis apa yang dibutuhkannya.
Aku juga tau apa yang kubutuhkan...
Kudorong punggungnya saat aku bangkit dan kupegangi kuat-kuat pinggulnya agar pertemuan kelamin kami tidak terlepas. Ia menoleh masih dengan mata terpejam kaget apa yang kulakukan. Aku berlutut dengan kedua kakiku dan melakukan doggy.
"Rraahh..." erangnya saat aku yang mengambil alih sekarang. Rok yang menutupi bagian bawah tubuhnya kusingkap ke atas menunjukkan harta karun yang disembunyikannya dari tadi. Pantat berbongkah kecil putih bersihnya segera kuremas-remas gemas. Belahan pantatnya merekah saat kulebarkan. Kuludahi lubang sunhole-nya sampai menetes ke belahan vagina tipis yang sedang meregang kutusuk dengan penisku.
Aku tidak menggenjot doggy tubuhnya dengan cepat. Hanya sekedar bergerak saja untuk merasakan gesekan maksimal kelamin kami berdua. Tetapi tiap tusukan menjadi dalam maksimal. Membentur ngilu pintu rahimnya.
"Aarrhh... aarrhh... aaahh..." erang mbak Emi terus saat tusukan penisku merangsek masuk. Aku memandang ke depan. Ke arah dimana seharusnya kamera CCTV yang sedang diawasi bu Desi berada. Aku mau ia melihat semua ini. Semoga ia paham pesan yang ingin kusampaikan. Kenapa anda harus mengumpankan orang lain yang bermasalah hidupnya seperti mbak Emi ini dimana seharusnya itu dirimu yang sedang meregang kenikmatan saat ini?
Kupegang lipatan lutut kedua kakinya dan kubawa tubuhnya turun. Tubuh yang tidak terlalu berat ini kugendong di depanku tanpa melepas akrab persatuan kelamin kami. Aku berdiri tepat di depan kamera dan menggoyang tubuh Emi tanpa susah. Agar tak jatuh, mbak Emi mengalungkan tangannya ke leherku. Penisku menusuk masuk pendek-pendek ke dalam liang mbak Emi dengan keadaan kakinya mengangkang lebar ke atas.
Saat mbak Emi squirt lagi, penisku terlepas karena gerakan liarnya, decitan semburan orgasmenya menyemprot ke dinding di depan kami.
Kubopong tubuhnya kembali ke atas ranjang salon ini dan kuposisikan ke gaya paling standar bercinta. Misionaris. Roknya disibak sampai sebatas perut dan penisku meluncur masuk dengan mudah di vaginanya yang basah berkat dua kali orgasme. Ia mengerang tak biasa lagi ketika kembali penisku menjajah vaginanya dalam.
Tinggi ranjang ini tidak begitu pas dengan tinggiku sehingga aku harus berjinjit dan itu mengakibatkan penisku semakin tegang karena tekanan tubuhku juga. Itu juga artinya gesekan penis kerasku sangat terasa di liang cintanya. Aku bisa segera ejakulasi kalau begini.
Gerakan pompa-memompaku semakin cepat dan bertenaga. Nafasku juga semakin memburu seiring menegangnya seluruh ototku karena berjinjit terpaksa begini.
"Arrhhh... aarhhh... arrhh!" tubuh mbak Emi melengkung ke sana-kemari beberapa kali menerima gerakan cepatku dengan nikmatnya. Dan sudah terasa gelitik geli pertanda aku akan segera sampe juga.
"MMgghh! Guhh..." keluhku mencabut penisku dari liangnya dan menyemprotkan spermaku di atas vaginanya. Menyebar lebar sampai mencapai pusarnya. Cairan kental putih sedikit kekuningan. Fiuh...
Aku mundur dan menemukan tisu yang tersedia di ruangan ini. Kubersihkan penisku secukupnya. Lalu kubersihkan juga bekasku di tubuh mbak Emi yang terkulai lemas. Matanya masih terpejam tetapi tertutup normal seperti orang tidur biasa.
Saat aku membersihkan sisa-sisa krim kering dari sekujur tubuhku, mbak Wulan masuk bersama bu Desi ke ruangan ini lagi. Tirai yang memisahkan dua ranjang ini ditutup bu Desi karena ia mungkin mau mengurus mbak Emi di ranjang tadi.
"Mari, mas... Kita selesaikan... Sudah hampir jam 3..." kata mbak Wulan berusaha profesional walau matanya nakal melirik pada penisku yang sudah lunglai menggantung. Kututup dengan handuk sekedarnya. Ia tersenyum dikulum. Kuselipkan beberapa lembar uang kertas warna merah ke tangannya untuk servisnya tadi. Ini sudah termasuk biaya operasional, ya.
--------​
Lepas dari salon Premium itu sudah setengah 4 sore. Aku harus sampai di tempat arisan itu pukul 4 tepat. Untung tidak jauh dari mall ini.
"Nanti kau juga pasti ketemu lagi dengan perempuan Bipolar itu kalau sering-sering ketemu bu Desi, kan?" ungkap Andin.
"Ya... pastinya... Mbak Emi tadi pengasuh bayinya bu Desi dan ia selalu membawa bayinya serta... Dibawa ke salon, shopping... Entah nanti waktu arisan nanti..." kataku terus menyetir mobilku ke tempat dilaksanakannya arisan tujuanku.
 
dapetnya yang spesial mulu ahahahahaha


anak bipolar kan kalo kambuh bisa sangat sangat ganas :p
 
hede si satria bisa,an euy ngalayanan dua awewe ..
lebih dari dua pun sanggup sih dilayanin...
lanjut gan.....
klo sesuai jadwal, lanjutannya hari kamis. sudah masuk ke arisan para foxymoms kok.
tenang, ane gak kayak oom Oda yg ada libur break OPnya. :ampun: semua
 
Bimabet
Karena Nining itu beda dari yang lain suhu. Satu satunya char yang jiwanya bisa dibilang abnormal karena pernah dipaksa keluar :jimat:
Hmm.. Pernah deh suhu certain ada seseorang yang kemampuannya mirip spt Satria ini dan dari sekian banyak perempuan yang ditiduri cuma satu yang bisa menghasilkan keturunan
:hore: Nah tuh Nining udah cucok dah sama satria. Just my opinion :haha:

itu abahnya Zia yg nemu pasangannya di pengungsian korban kerusuhan sektarian timur tengah, cacat dan jelek. tp dr segitu banyak istri cm perempuan itu yg bisa memberinya keturunan. mungkin abahnya Zia mikirnya, anaknya jg bisa melakukan hal yg sama utk Satria.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd