========
QUEST#12
========
Setelah lapor pada pihak keamanan apartemen ini, aku diarahkan untuk menunggu sebentar selagi mereka mengkonfirmasi izinku. Duduk di lobby sebentar dan kemudian aku diantar salah satu petugasnya ke sebuah pintu private lift yang segera terbuka. Membawaku ke lantai 12.
Begitu pintu lift terbuka, aku langsung berada di apartemen mewah milik bu Ajeng. Di ruangan sebelah terdengar suara beberapa orang perempuan yang sedang bercengkrama. Mungkin sebagian besar peserta arisan yang sudah datang berada di sana.
Ajeng
Bu Ajeng muncul kemudian karena mendengar denting suara lift yang pintunya terbuka. Ia tersenyum lebar melihatku dan menghampiri. Aku berdiri menunggu. Ia berdandan dengan mewah sesuai status sosialnya. Gaun mahal couture butik luar negeri, perhiasan mahal selangit harganya, dan dandanan elegan.
"Tidak susah, kan kemarinya?" sapa bu Ajeng menarik tanganku.
"Tidak, bu..." jawabku. Ia mengarahkanku ke sebuah ruangan tidak searah dengan para perempuan itu berada. Sepertinya mereka berkumpul di ruangan utama apartemen ini. Dibukanya sebuah pintu dan disuruhnya aku masuk.
"Tunggu sebentar disini... Belum datang semua... Nanti kalau sudah lengkap... akan saya perkenalkan pada mereka... Biasanya begitu... Mereka gak mau beli kucing dalam karung..." imbuhnya lalu menutup pintu.
Ruangan ini kamar tidur kecil dengan single bed. Aku duduk menunggu sesabarnya. Sabar... Ini memang prosesnya. Sebagai hadiah utama aku memang harus disimpan terlebih dahulu takut dicolek duluan oleh peserta penasaran.
Siap-tidak siap aku harus mengambil resiko ini. Ini adalah misi terakhirku untuk mendapatkan ZODIAC CORE PISCES dari bu Desi. Dan ini adalah bagian prosesnya. Mendekati bu Desi lewat teman-teman arisan syahwatnya.
Kalau dibandingkan, gila mana ini dari misi sebelumnya? Gak akan ada bandingannya. Aku selalu menemukan diriku terjebak di berbagai macam situasi. Ada yang berbahaya, beresiko, penuh tantangan, menguras emosi dan memeras otak.
Mencemplungkan diri dalam industri pornografi tidak bisa dibandingkan dengan masuk dunia game digital. Jadi buruh pabrik tidak bisa dibandingkan dengan merubah diri menjadi wanita. Bertukar jiwa dan tubuh dengan kucing tidak bisa dibandingkan dengan berinteraksi dengan dua kakak beradik. Dan semua hal-hal gila yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Ini adalah salah satu kegilaan lainnya. Jadi mainan para ibu-ibu yang seumuran dengan Mamaku sendiri. Aku bahkan curiga kalau diantara mereka ada hubungang bisnis dengannya. Kebanyakan dari mereka adalah pengusaha. Apalagi sesama pengusaha wanita akan saling berhubungan karena jumlahnya yang tidak terlalu signifikan di Republik ini. Mungkin ada semacam club atau arisan yang lebih luas lagi cakupannya dari sekedar arisan brondong semcam ini.
--------
"Eh?... Bukan disini, ya? Sori-sori..." kata seorang wanita yang tanpa dinyana tiba-tiba main selonong buka pintu lalu menutupnya lagi karena sadar salah masuk saat melihatku duduk di ranjang.
Tapi tak lama dibukanya lagi pintu kamar ini, masuk dan ditutupnya. Wanita ini tak jauh beda dandanannya dengan bu Ajeng tadi. Ia pasti salah satu dari 9 peserta arisan ini. Kalau kutilik wajahnya, ia bernama bu Magda dengan akun @magda*****. Ia keturunan Chinese-Manado sehingga kulitnya putih sekali dengan tubuh montok khas ibu-ibu berumur 30-an akhir. Payudaranya gede sekali tercetak hampir tumpah dibalik gaunnya yang ketat. Rambutnya ditata tinggi gaya borjuis berwarna kemerahan. Wanginya sungguh semerbak dengan parfum mahal. Ia dan suaminya mengelola perusahaan ekspor-impor.
Wajahnya sumringah sekali bertemu denganku dan tanpa ragu duduk di sampingku. "Kamu brondong arisan kali ini ya?" ramah tanyanya langsung dan terasa sangat akrab.
"Ya... bu?" jawabku agak ragu karena tak tau ia suka dipanggil apa. Ada, kan perempuan lebih suka dipanggil dengan panggilan lebih muda dari usianya.
"Eh... Jangan panggil ibu... Mbak Magda aja... Saya masih muda, loh..." katanya bermanja-manja. Bener, kan? Walau anaknya yang paling gede udah SMP kelas 3, ia masih berusaha tampil lebih muda. Salah satunya dengan selalu mengkonsumsi daun muda sepertiku. Emang aku apaan? Lalapan?
"Ya... mbak Magda... Saya..."
"Nama kamu siapa? Umur berapa?" cecarnya dengan tubuh rapat. Susu gedenya tak ayal menclok sana-sini di lenganku tanpa diperdulikannya. Mungkin sengaja.
"Satria, mbak... Tujuh belas tahun..." jawabku pendek. Grogi juga dekat wanita berumur dan agresif penuh pergaulan begini. Aku lebih banyak bergaul dengan wanita sebaya denganku. Pun kalau lebih tua, tidak seumuran begini juga. Ini sebaya dengan Mama dan tante-ku, sih.
"Ih... Ganteng kamu..." katanya menjawil daguku.
"Da... Magda? Loh? Malah disini? Curang kamu, mah..." panggil bu Ajeng yang nyusul mencari temannya ini. Ia masuk bersama seorang wanita lain. Dari wajah manis berkulit sedikit gelap, kutahu itu adalah bu Devi dengan akun @devi*****. Wanita memakai kerudung yang hanya dilibatkan sekenanya di rambut dan sebagian leher serta bahunya. Gamis panjangnya warna maroon-nya penuh kilauan kristal Svarovsky penuh aksesoris. Jangan ditanya perhiasan emas dan permatanya. Ia janda dua anak yang mewarisi perusahaan ekspedisi, kurier serta logistik.
"He... he... he... Sori bu Ajeng... Nyasar saya-nya... Harusnya pintu satu lagi, ya?" alasan bu Magda.
"Alasan tuh, bu Ajeng..." kata bu Devi di belakang sana.
"Ya udah... Jangan ngumpul di sini... Tinggal jeng Mimo yang belum datang tuh... Ayok keluar-keluar..." kata bu Ajeng tega mengusir bu Magda keluar dari tempat karantinaku ini.
"Ganteng, loh bu Devi..." rumpinya saat ia keluar bersama temannya. Bu Ajeng tersenyum penuh arti dan menutup pintu saat memberi gesture agar aku sabar menunggu.
--------
Dengan THIRD EYE milik XOXAM, aku mengawasi apa saja yang mereka lakukan di ruangan tengah apartemen mahal ini. Masih delapan orang wanita yang sudah berkumpul di ruangan terluas di tempat ini, sesuai dengan apa yang kudengar tadi kalau tinggal bu Mimo (@mimimoy*****) yang belum tiba.
Bu Desi juga sudah ada di sini. Ia sedang berbincang duduk di salah satu sofa empuk dengan bu Feby (@feby*****). Bu Feby sangat keibuan sekali wajahnya. Entah kenapa model wanita seperti ini bisa berkubang di arisan model ini. Tipe ibu rumah tangga yang sangat mencintai keluarganya. Suaminya seorang direktur BUMD. Mereka minum beberapa jenis minuman ringan sampai berat. Dari jus kalengan sampe vodka. Cemilan juga ada berbagai macam. Yah namanya juga arisan emak-emak.
9 Milfs
FoxyMoms said:
"Akhirnya datang juga..." kata bu Tiffany yang berdiri dekat dengan pintu masuk saat seorang wanita yang belum begitu berumur keluar dari private lift dan menghampiri genk MILF-nya. Dia yang bernama bu Mimo. Umurnya masih 29 tahun. Mantan artis, janda yang kini jadi simpanan pengusaha tua kaya raya dari Malaysia. Penampilannya tidak seheboh atau seglamor rekan-rekannya. Malah cenderung kasual dan santai.
"Sori-sori ya, gaes... Mimo harus kasih makan uler peliharaan Mimo dulu tadi..." katanya sampe menunduk-nunduk menyatukan telapak tangannya.
"Hmm... Uler apa uleer?" sindir bu Ajeng ketika keduanya cipika-cipiki.
"A-aah... bu Ajeng... Uler beneran, kok... Mimo baru dibeliin uler albino gitu... Ulernya guuede banget..." jelasnya sambil mencontohkan dengan lengan kurusnya untuk ukuran ular itu.
"Siapa yang beliin, bu Mimo?" tanya bu Tiffany yang merapat dari posisi awalnya tadi.
"Ada deh..." jawabnya malu-malu kayak anak ABG gitu.
"Yee... Punya pacar baru kayaknya, nih... Gedean mana uler albinonya sama uler yang ngasih uler? Ciee-ciee!" goda bu Tiffany (@tiffany*****). Bu Tiffany ini seorang wanita Chinese lainnya di kelompok ini. Badannya yang paling berisi dibanding teman-temannya. Ia pengusaha retail makanan cepat saji yang punya banyak franchise di seluruh Indonesia. Ia memakai pin usahanya itu di dada kiri gaunnya dengan bangga selalu berpromosi.
Koor tertawa mereka membahana di ruangan yang terasa semakin sesak oleh mereka bersembilan. Mereka kembali menggoda bu Mimo.
--------
"OK... Untuk mempersingkat waktu... Karena semua peserta arisan sudah pada ngumpul... seperti biasa kita harus melihat barangnya dulu... Kita sudah pada liat fotonya di grup kemarin... Sekarang kita liat yang aslinya... Anaknya udah ada di kamar sebelah... Tunggu sebentar..." kata bu Ajeng membuka suara memulai secara resmi arisan ini.
Bu Devi dan Magda bergunjing memberi spoiler pada teman-temannya yang mendelik gak rela dan penasaran. Kalau mereka tadi sudah melihatkuhadiah utama arisan kali ini.
"Ayo... Mereka semua ingin bertemu denganmu..." bu Ajeng membuka pintu dan mengajakku keluar segera untuk menemui teman-temannya.
Kukuatkan hati, mental serta kakiku untuk memulai langkah awalku memasuki dunia MILF yang sangat asing ini. Harus kuat karena aku tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah aku akan dinikmati pemenang secara pribadi atau malah beramai-ramai.
Ikut dengan bu Ajeng memasuki ruang utama luas yang sudah kumata-matai ini, menemui sembilan wanita dewasa yang berharap memenangkanku sebagai hadiah arisan kali ini.
"Teman-teman semua... Perkenalkan... namanya Satriatujuh belas tahun..." kata bu Ajeng dan membiarkanku berdiri di depandi tengah-tengah semua mata lapar para wanita ini.
"Selamat sore semua... Para wanita cantik dan anggun yang terhormat... Nama saya Satria dan umur saya tujuh belas tahun bulan Oktober kemarin... Saya bersekolah di SMA 105 kelas 3 jurusan IPA... Senang bertemu anda-anda semua..." kataku terlatih dengan anggukan di kata terakhir.
Mata-mata lapar itu seperti menjilat-jilat tubuhku dengan lidah api panas nafsu membara. Pandangan berbinar yang membayangkan fantasi terliar mereka bila berhasil menang mendapatkanku di kesempatan kali ini.
"Bu Ajeng beneran udah dites ini?" tanya bu Bella (@belle-cherry***)
"Udah dong... Tau kan gimana saya ngetesnya... Begini..." katanya mengacungkan dua jempolnya pada bu Bella tadi. "Ciamik pokok'e..."
Bu Bella manggut-manggut paham tak melepas pandangannya padaku. Pandangannya rakus menelusuri tiap jengkal tubuhku. Ia yang paling langsing diantara teman-temannya padahal anaknya ada 4. Perutnya rata dan dadanya penuh sumpalan silikon. Penampilannya wah seperti artis papan atas dengan kulit kinclong perawatan mahal. Suaminya anggota DPR sekaligus pengusaha properti. Ia sendiri menjalankan sebuah butik batik dan kain tenunan.
"Liatin jeroannya, atuh..." sambar wanita lain bernama bu Rasya (@umi*****). Wanita berhijab itu tidak sungkan meminta ini. Ia seperti benda aneh di antara kelompok ini. Tapi teman-temannya tak mempersoalkan penampilan teman mereka yang satu ini. Tak ada lagi rahasia di antara mereka kalau wanita yang sepertinya alim menjaga aurat sepertinya ternyata bejad juga moralnya. Tak ada bedanya dengan yang lain. Jilbab lebar bertumpuk-tumpuk itu tak mampu meredam syahwatnya yang meluap-luap. Wanita ini pengusaha buku pelajaran sekolah.
"Betul-betul...." diaminkan teman-temannya semua.
"Tentu boleh... Untuk pemanasan... kita minta Satria untuk membuka bajunya saja... Bisa?" katanya lalu memintaku.
Aku cukup mengangguk dan mulai melepas kancing kemejaku satu bersatu. Saat kulakukan itu, kulirik mereka satu persatu. Mereka bergunjing dengan teman disampingnya. Bisik-bisik tanpa melepaskan pandangan ke tubuhku.
"Wah... Bodinya bagus... Ototnya kenceng, tuh... Anaknya ganteng, ya?... Perutnya six pack... Keren... Barang paling oke sejauh ini... Wow... Cakep, nih..." komentar mereka lamat-lamat terdengar.
"Bu Desi pasti udah nyobain juga, kan? Di salon tadi?" tanya bu Devi berbisik yang duduk di sampingnya. "Dari tadi diam mulu... Gak ada komen apa-apa..."
"Anak-anak tadi yang nyobain seperti biasa..." jawabnya taktis. "Tapi sepertinya sih bagus..." dan ia berbisik langsung ke telinga rekannya itu. Selagi berbisik matanya tak lepas dariku. Bu Devi terkesiap, menutup mulut lalu tertawa kecil.
"OK, Moms... Semua sudah puaskan mata... Acara pentingnya adalah penarikan nomer yang sama-sama kita tunggu... Tapi saya mau tanya dulu, nih... Bagaimana pilihan saya ini? Bagus, kan? Gak mengecewakan?" tanya bu Ajeng sebagai tuan rumah penyelenggara arisan kali ini.
"Bagus, bu Ajeng..." jawab mereka serempak.
"Gak yang kayak kemaren, bu... Ini sempurna, mah..." kata bu Rasya. "Anak mami banget... Dirubungi kita semua dianya malah semaput... Ummi sih senengnya sama yang beginian... Kasep pisan-lah..." katanya dengan logat Sunda yang mulai luntur.
"Pastinya, ummi Rasya... Pilihan saya mah gak usah diragukan..." kata bu Ajeng membanggakan diri karena pilihannya berkenan di hati teman-teman genk-nya.
"Nah... Kita mulai aja... Kita kocok namanya..." lanjutnya mengambil sebuah mug keramik besar berisi nama-nama peserta arisan untuk diundi keberuntungannya. "Sesuai kebiasaan kita... pemenang dua minggu lalu yang namanya gak dimasukin disini yang memilih namanya... Bu Tiffany... Silahkan..." katanya sambil mengguncang-guncang cangkir itu.
Bu Tiffany lalu maju dan memilih nama yang ada di dalam cangkir. Diaduknya sebentar lalu dipilihnya satu nama dalam gulungan kertas kecil. Diserahkannya gulungan itu pada bu Ajeng untuk diumumkan siapa yang beruntung kali ini.
Dibukanya lembaran kecil itu, membacanya sekilas lalu memandangi rekan-rekannya satu persatu untuk memberi rasa penasaran. "Siapa ya?" godanya.
"Cepetan, bu Ajeng... Siapa?" seru bu Mimo gak sabar.
"Jeng... Desi..."
--------
Well. Bukan sulap bukan sihir. Aku bisa mengatur nama bu Desi yang keluar di arisan brondong kali ini. Tentu saja aku memanfaatkan kemampuan yang kupunya. Dengan tak terlihat, XOXAM mengatur gulungan kertas bertuliskan nama bu Desi yang diambil oleh bu Tiffany. Gulungan nama yang lain ditepikan. Dan bagi mereka itu semua terjadi secara adil.
Mereka yang berharap lebih mengeluh kesal. Ada juga yang ikut senang dengan kemenangan bu Desi dan bertepuk tangan. Apalagi bu Desi sendiri. Ia berangkulan dengan bu Devi dan bu Magda yang memberi selamat.
"Selamat untuk bu Desi yang mendapat arisan kali ini... Hadiah utama boleh jeng bawa pulang selama dua hari... Kalau gak keberatan dibagi-bagi napa?" kata bu Ajeng yang juga dibenarkan yang lain.
"Iya... bu Desi... Seperti biasa aja... Kita bagi rame-rame sampe puas dulu..." sahut bu Bella yang mukanya memerah kebanyakan minum cocktail yang disediakan tuan rumah.
"Iya... Kayak punya wa kemaren itu loh... Dibagi rame-rame sama rata, kan?" kata bu Tiffany tentang kemenangannya yang lalu. Dua minggu lalu. Acara mereka berlangsung dua kali sebulan. Gaswaaat. Aku bakal di-gangbang para 9 MILF ini. Kan jadi enak, tuh. He... he... he...
"Boleh, deh... Satu hari ini... nih anak milik kita bersama deh..." kata bu Desi solider mengikut kebiasaan mereka tiap arisannya.
"Satria...? Jangan kaget, ya? Kamu tenang-tenang aja... Ikutin aja permainannya, ya? Enak, kok..." kata bu Ajeng menepuk-nepuk bahuku. Ini sudah termasuk resiko ikut arisan syahwat semacam ini. 9 wanita dewasa ini mulai menyerangku bersamaan.
Sebelum kupasang wajah dengan senyum terbaikku, kutarik nafas panjang sebagai persiapan mental. Bu Ajeng menyodorkan sebotol Corona sebagai pegangan. Ini bisa jadi senjata juga sewaktu-waktu.
"Diliat dari dekat... lebih kasep, nyak?" kata ummi Rasya mendekat pertama kali sampai.
"Iyaaa... Kenceng ototnya... Enak buat pelukan, nih... Hi-hi-hi..." kata bu Feby yang tertawa bersama mbak Magda. Keduanya meremas otot lenganku.
"Enak, deh... yang menaang..." kata bu Bella sedikit mendorong bu Desi hingga menabrakku. Mereka semua tertawa-tawa.
"Eh... Dia gak deg-degan gitu loh..." sahut bu Desi yang tak marah dibecandain temannya tadi. Dia malah menempelkan telinganya di dada kiriku untuk mendengar degub jantungku. "Udah profesional kayaknya nih..." sambungnya setelah melepas tempelan kepalanya.
Aku hanya tersenyum. "Ibu-ibu sekalian... mbak juga... Boleh berkenalan lebih akrab lagi gak..." kataku mengacungkan tanganku untuk berjabat tangan berkenalan lebih intim.
"Saya dulu, dong..." bu Desi bergerak cepat dan menyambar tanganku. Dijabatnya erat dan diguncangnya sekali. "Nama saya bu Desi... Saya pemenang arisan kali ini... Kita udah ketemu tadi siang tapi belum sempat kenalan... Hari ini... kamu saya bagi ke teman-teman semua... Tapi besok... kamu hanya milikku sendiri..." katanya hangat. Sangat berbeda dengan sikapnya saat di salon tadi siang.
"Salam kenal, bu Desi... Nama saya Satria... Anda cantik sekali... Selalu cantik..." pujiku semanis mungkin. Ia bergenit ria seperti ABG bersama temannya yang antri berkenalan denganku.
"Sore, ganteng... Masih ingat, kan...? Mbak Magda... Jangan panggil ibu... OK? Klik!" kata mbak Magda mengerling yang menyerobot giliran bu Bella yang sudah paling dekat.
"Iya, mbak Magda... Salam kenal lagi..." jawabku atas jabat tangan singkat itu.
"Ih, Magda... Maen serobot aja... He-he-he... Saya juga mau dipanggil mbak aja... Lebih akrab... Panggil saja mbak Bella... OK?" katanya hangat dengan mata berbinar gembira berlebihan. Diguncang-guncangnya tanganku beberapa kali. Kayaknya untuk memamerkan dadanya yang gede tidak alami agar ikut bergoyang.
"Mbak Bella... Salam kenal juga... Saya Satria..." jawabku. Tanganku langsung direbut oleh MILF berikutnya.
"Iya beneran ganteng, loh Da... Saya bu Devi..." katanya menjabat tanganku sebentar tapi langsung mengelus pipiku dengan telapak tangannya. Turun lalu sampai ke dadaku.
"Salam kenal, bu Devi..." jawabku berusaha selalu manis. Tanganku ditarik oleh seseorang dari belakang untuk dijabat lagi. Tangan lentik halus bu Devi masih menjamah dadaku.
"Kalo wa namanya Tiffany... Panggil wa cici Tiffany aja... Asli lu ganteng banget..." katanya tembak langsung. Ia memandangiku dari bawah karena tubuhnya tidak terlalu tinggi. Hanya sekitar 155 cm. Wajah orientalnya penuh make up hingga terlihat cantik. Mata sipitnya dirias sedemikian rupa sehingga terlihat lebar.
"Salam kenal, ci Tiffany... Senang berkenalan dengan cici..." jawabku. Tanganku diestafetkan pada perempuan lain disampingnya.
"Kalo saya... panggil mbak Mimo aja, yah... Saya gak setua mereka-mereka ini, ya? Hi-hi-hi..." kata mbak Mimo menutupi mulutnya. Ia yang paling trendi diantara semuanya karena masih muda dan penah ngartis. Candaannya mendapat cemooh teman-temannya.
"OK, mbak Mimo... Sip, deh..." jawabku mencoba akrab dengan jiwanya yang katanya masih muda.
"Mi... Ummi... Gantian, mi?" kata mbak Mimo memanggil temannya. Tinggal dua lagi tidak termasuk bu Ajeng. Wanita berhijab bernama ummi Rasya itu menelusupkan dirinya diantara pagar betis bu Devi dan ci Tiffany.
"Ummi Rasya aja manggilnya... Aduh... Kasep tea, nyak?" kata ummi Rasya menjawil daguku. "Tangannya mana kuat, teuing..." lalu menepuk-nepuk perjabatan tangan kami. Pandangan matanya menyapu semua kontur wajahku.
"Salam kenal juga ummi Rasya... Senang kenal dengan ummi..." kataku. Tapi tak kunjung dilepasnya tanganku.
"Gantian atuh, ummi... Saya juga mo kenalan sama yang ganteng-ganteng-mah..." giliran yang terakhir. "Perkenalkan nama saya bu Feby... Jangan panggil mbak... Saya udah tua... Ibu aja... Tau diri saya-mah..." katanya menyindir mbak Mimo tadi. Mereka tertawa-tawa ganjen.
--------
Sebuah sofa atau divan rendah lebar tanpa sandaran berwarna gading menjadi saksi bakal tempat pergumulan kami. Aku dibaringkan di atas busa tebal empuknya dan celana panjang dilucuti. Hanya celana dalam yang masih tersisa.
Empat MILF itu sudah mengerumuniku. Antara lain; mbak Magda, mbak Bella, bu Devi dan mbak Mimo. Mereka berempat jongkok mengitari diriku yang berbaring senyaman mungkin. Bersiap menerima serangan. Semua mengelus-elus kulit tubuhku yang kini tanpa penutup apapun. Pandangan mata mereka tertuju pada penisku yang menggunung tegang bak gundukan. Belum ada yang mulai menyentuh penisku.
"Satria diam-diam aja, ya..." desis mbak Bella yang berada di sisi kananku. Ia mulai bergerak mendekat. "Mbak Bella mo nyobain bibir kamu yang keliatan lezaaat banget ini..." jarinya mengelus bibirku. Mulutnya sedikit manyun terbuka saat memainkan jarinya di bibirku. Gemas ia mempermainkan jarinya di bibirku lalu mukanya maju. "Mmpphh..."
Dikecupnya bibirku berulang-ulang untuk memuaskan dahaganya akan bibir pemuda seumuranku. Dikulumnya kedua bibirku sekalian disedot ringan. Lalu lidahnya masuk ke dalam mulutku yang kubuka menyambut. "Mmh... ahh..."
Ketiga wanita lain tidak tinggal diam. Tangan-tangan mereka ramah menjamah tubuhku. Puting dada kiriku dipilin-pilin oleh mbak Magda. Kedua pahaku dielus-elus bu Devi dan mbak Mimo. Ketiganya memberi semangat pada mbak Bella yang sedang menikmati mulutku.
"Yaa... Trus... Mmhh... Yaa... Sedot trus, Bell..." gumam mereka beserta erangan juga. "Gantian, Bell..."
Mbak Bella mundur dan melepaskan penguasaannya pada mulutku. Bibirnya basah oleh ludah kami berdua. Nafasnya terengah-engah dan mundur teratur memberi jalan pada mbak Mimo yang ada di belakangnya. Wajah cantiknya kini yang mendekatiku. Sepertinya mereka akan menggilir mulutku bergantian.
Bibir mbak Mimo yang tipis dan hangat hinggap di mulutku. Permainan mulutnya terburu-buru menikmati. Seakan ingin menghisap apapun yang tersisa di mulutku. Disedot-sedotnya bibirku dan lidahku. "Mmmhh... Mmm... Mbak Magda sekarang..."
"Makasih, Mimo... Mmhh... Sllrpp..." bibir berganti lagi ke wanita berikutnya. Bibir tebal dan penuh milik mbak Magda yang kini mencaplok mulutku. Ia lebih suka memainkan lidahnya. Lidahnya menjulur masuk dan menyapu kedua bibirku. Ludahku dihisapnya tanpa sungkan. Lalu ia menarik bu Devi menggantikannya.
Masih memakai selendang yang difungsikannya sebagai kerudung seadanya, bu Devi mendekatkan wajah manisnya. Matanya terpejam saat mengecup pipi dan bibirku bergantian. Ia lebih suka mempermainkan puting dadaku. Kecupan-kecupan ringannya hanya tambahan rangsangannya pada dadaku.
Selagi bu Devi masih mengecupi bibirku, kurasakan tanganku diarahkan untuk menjamah gumpalan empuk yang langsung kukenali sebagai boobies! Dengan lirikan cepat kulihat itu adalah dada mbak Mimo di kanan dan mbak Magda di kiri. Mereka mulai merangsang diri mereka dengan memaksakan tanganku meremas payudara masing-masing walau masih dari luar bahan gaun mahal yang dikenakan..
Untuk ukuran yang mereka berempat mempunyai ukuran yang lumayan signifikan karena mereka semua para ibu yang sudah pernah melahirkan. Apalagi mbak Bella yang melakukan penambahkan silikon dengan alasan estetika.
"Ih... Udah pada maen susu aja..." kata bu Devi yang melepas mulutku dan melihat pada dua temannya. Diperbaikinya posisi selendang di kepala. Mbak Bella bahkan sedang melepas beberapa kancing atas gaunnya dan mengeluarkan gumpalan gunung kembarnya. Mbak Mimo terkikik geli saat meremas salah satu gundukan kenyal itu.
Mbak Magda tak mau kalah dan mengeluarkan payudaranya yang tak kalah gede juga; asli. Ia bahkan melepas bagian atas gaunnya hingga susunya melompat keluar dari kungkungannya. Payudaranya menggantung dan mencuat gede. Tangan kiriku diposisikannya di dada kanannya. Diremas-remaskannya tanganku ke susunya. Empuk dan kenyal abis.
Apalagi rasa kenyal payudara bersilikon milik mbak Bella. Tanganku kini sudah berpindah ke susu mbak Bella. Ia juga meremas-remaskan tanganku di susunya.
"Oouuh... Uhh... Mmhh... Kenyal, kan?" kata mbak Bella padaku tetapi menghadap pada mbak Magda yang melakukan hal sama dengannya. Kenyal banget malah. Aku takut meremasnya terlalu kuat dan malah pecah.
"Mm... Enakan punya mbak Magda, doong?" katanya menguyel-uyel tanganku ke daging empuk susu gedenya. Tidak sekenyal punya mbak Bella tapi empuk luar biasa. Yang ini gak bakal pecah. "Aahh..." jeritnya lirih kala kuremas sedikit kuat.
Dibebaskannya tanganku dari jajahan empuk susunya dan beringsut pindah. Bu Devi masih mempermainkan puting dadaku dan sesekali menjilatinya. Mbak Mimo mulai mengelus-elus pangkal pahaku. Semuanya memandangi wajahku dengan pandangan sayu.
"Satriaah... ganteng... Nyusu, yaa?" tukas mbak Magda dan mengangsurkan kedua belah susunya ke mukaku. Didusel-duselnya massa lemak yang berkumpul dalam sepasang payudara itu hidung dan mulutku. Dengan gemas ia mengerang keenakan. Aku hanya bisa membuka mulutku untuk menampung apapun yang dijejalkan padaku.
Sekali waktu salah satu putingnya gede sebesar jempol menclok ke dalam mulutku. Refleks kusedot dan kupermainkan dengan lidah. "Uaahh... Mmm... Yaaa... Begituuu, ganteng... Mmhh!" Pentilnya sudah mengeras dan sensitif. Begitu juga dengan pentil mbak Bella yang kupermainkan di tangan kananku. Tangan kiriku basah karena dijilati bu Devi. Penisku yang menggunung dibalik lindungan CD-ku digosok-gosok mbak Mimo; berharap jin kontolnya segera keluar... *halah.
Waktu mbak Magda terus memaksakan susu montoknya ke mukaku, ia bergerak efisien untuk membuka gaunnya yang masih menempel di pinggangnya. Tubuh montok penuh perawatan agar tak berperut besar khas ibu-ibu yang sudah melahirkan terlihat. Kulit putih campuran Cina-Manado-nya seperti bercahaya terang di ruangan ini. Garter belt, stocking merah dan G-String senada yang masih dipakai di bawah tubuhnya. Bra-nya tersisih untuk mengeluarkan susu jumbonya.
Penisku terasa sudah merasakan sejuknya dunia, sepertinya mbak Mimo sudah mengeluarkan jin itu dari sarangnya (*call back). Digenggamnya batang penisku dan mulai mengocoknya perlahan.
"Waahh! Gedeee banget..." seru banyak suara wanita itu di sekitarku mengomentari ukuran kejantananku. "Wow... Segede itu tititnya... Masih muda lagi..." komentar kotor dan nakal senada itu terdengar dari sekelilingku. Aku hanya bisa menebak-nebak komentar siapa itu karena mukaku masih penuh ketindihan susu mbak Magda.
"Mm..." nyaman banget rasanya. Mulut hangat menelan batang penisku lalu menyedotnya. Selagi itu ada lidah lain yang menjilat-jilat kulit penisku dari samping. Lebih dari satu wanita sedang mempermainkan penisku. Apalagi puting dadaku juga sedang dijilati satu lidah.
"Ini keren sekali... Mbak sange berat, nih..." desah mbak Magda melepas himpitan dadanya pada mukaku. Pentil susu sebesar jempolnya lepas juga dari kenyotan mulutku. Berdecap basah saat berpisah. Ia berdiri tidak jauh dan berusaha melepas CD G-String yang dipakainya. "Tunggu, ya... Uh... Mm..." gumamnya mengangkat sebelah kakinya buru-buru dan cangcut itu lepas dari tubuhnya.
Dilangkahinya kepalaku tanpa ragu dan nafas berat. Kedua lututnya bertumpu di atas busa sofa lebar ini. Sepertinya benar katanya kalau ia sudah sange berat. Lipatan bibir vaginanya terlihat memerah dan basah. Apalagi saat ia menurunkan badannya dan mbak Magda menduduki wajahku. Vagina basahnya segera mendarat di mulutku. Bibir vaginanya tidak begitu tebal dan yang pastinya gundul. Ia pasti rajin melakukan waxing juga. Kujilat-jilat isi kemaluannya yang untungnya beraroma enak. Entah perawatan mahal apa yang dilakukannya untuk mendapatkan kondisi itu. Lidahku menari-nari memperagakan semua pengalaman yang selama ini kutau.
"Aarrhh... Yeaaa... Mm... Uhh..." gerutunya sembari menggerakkan pinggulnya maju mundur menggeruskan isi kemaluannya pada mulut dan hidungku. Lidahku kucuatkan keluar menyapu apapun yang terjangkau olehnya. Klitoris ya kena, lubang senggama ya kena, anus ya kena juga. Awalnya perlahan mengatur tempo dan semakin cepat kemudiannya.
Mbak Magda sepertinya mudah sekali mendapat kenikmatan puncaknya. Karena tanda-tanda orgasme mulai terlihat. Tubuhnya menegang dan gerakan pinggul maju-mundur menggerusnya mulai sporadis dan tak teratur. Ia menjerit-jerit kecil lalu paha dan pinggulnya bergetar. Perutnya mengejang. Desiran sejumlah cairan segar menyembur dari tubuhnya serupa semprotan urin. Rasanya antara tawar dan asin sedikit.
"Oohh... Ohh... Ohh...mm..." desahnya lemas tetapi masih sanggup mengangkat sebelah kakinya dan lepas dari mukaku yang ditindihnya. Sudah dua kali ia menyiksaku dengan face-sit serupa begini. Pertama dengan susu jumbonya dan kedua dengan kemaluannya.
Dengan gontai ia berjongkok kembali ke posisinya. Ternyata di sekitarku, tiga MILF lainnya pun sudah melepas pakaian mereka. Bu Devi meletakkan tanganku meremas susunya. Mbak Bella demikian juga sedang mbak Mimo naik ke atas sofa dan memposisikan penisku memasukinya. Wah...