Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Quest

Bimabet
Masuk ke dalam otak seorang yang mempunyai masalah kejiwaan.....kayak pernah liat di film apa yah
 
Wah ceritax smakin mnarik..

Maaf suhu, quest 12 iini apa terinspirasi dari film korea yg lagi muter di RTV jam 19.30 KILL ME HEAL ME.. Dimana tokohx punya DID 7 kepribadian berbeda dlam satu tubuh... ?
 
akhhhh suhuuuu...mangstap sekali...ane spechless deh...superb sekali...
 
Masuk ke dalam otak seorang yang mempunyai masalah kejiwaan.....kayak pernah liat di film apa yah

di buku juga ada, baca dech buku 24 wajah billy, atau film dr jackal and miss hide, itu kalau mau lihat tipikal kepribadian eno sama emi, pembedanya hanya pada jumlah kepribadian dan kategorinya, kalau dalam kasus 24 wajah billy, itu masuknya kedalam multiple personality disorder, kalau dalam emi dan eno, itu bipolar disorder
 
Wah ceritax smakin mnarik..

Maaf suhu, quest 12 iini apa terinspirasi dari film korea yg lagi muter di RTV jam 19.30 KILL ME HEAL ME.. Dimana tokohx punya DID 7 kepribadian berbeda dlam satu tubuh... ?

udah baca buku yang judulnya 24 wajah billy, silahkan baca dan masuk dalam petualangan 24 kepribadian berbeda dalam satu tubuh
 
cuma ada 2 saja kepribadian di diri Emi ini makanya nama bi=dual polar (bener ya?). pernah sempat jg kepikir buat banyak personality spt di k-drama itu (wife suka drama n pernah donlot episod lengkap kill me heal me itu tp cm tau ringkasan dr cerita wife doang) tp gak relevan jg dgn cerita krn pengidapnya bukan tokoh target utama.
 
Pusing2 dah baca nya...
Tapi ini semakin seru sik asik..
Kalo gw ada core yg bisa majuin waktu atau bisa pindah dimensi waktu..pasti gw udah petualang ke masa depan biar bisa baca fersi yg udah tamat.. Penasaran sama kisah selanjut nya..
Ibarat film ini baru alur tengah nya belum nyampe ke konflik sebenar nya... Kalo menurut newbi sih.. Ga tau kalau yg di pikirin suhu TS.. Hehehe
 
cuma ada 2 saja kepribadian di diri Emi ini makanya nama bi=dual polar (bener ya?). pernah sempat jg kepikir buat banyak personality spt di k-drama itu (wife suka drama n pernah donlot episod lengkap kill me heal me itu tp cm tau ringkasan dr cerita wife doang) tp gak relevan jg dgn cerita krn pengidapnya bukan tokoh target utama.

kalau mau yg real berdasarkan true story, suhu bisa baca buku yang judulnya 24 wajah billy yang ditulis daniel keyes, itu jauh lebih kompleks daripada serial kill me heal me atau kalau memang ingin tahu mengenai bipolar disorder ada film lawas semisal dr jackal and miss hide
 
Pusing2 dah baca nya...
Tapi ini semakin seru sik asik..
Kalo gw ada core yg bisa majuin waktu atau bisa pindah dimensi waktu..pasti gw udah petualang ke masa depan biar bisa baca fersi yg udah tamat.. Penasaran sama kisah selanjut nya..
Ibarat film ini baru alur tengah nya belum nyampe ke konflik sebenar nya... Kalo menurut newbi sih.. Ga tau kalau yg di pikirin suhu TS.. Hehehe

curang ah. ane aja belum selesai nulisnya. cuma ada kerangka dasar ide aja...
yg sabar ya...
 
dah hari kamiss suhu ryuzakiken...
dmnakah ibu desi...
aku kangen tante ama dirimu...

itu si eno keluar dari jiwa lain emi gara2 kebanyakan menderita ya suhu...?

seperti para psikopat bukan?
 
Bimabet
--------​
Saat aku bisa tersadar lagi, kedua tanganku terikat kuat diatas oleh gulungan isolasi plastik bening pada sebuah tiang ayunan besi yang cat putihnya sudah mulai terkelupas. Ayunannya terbuat dari rantai besi dan tempat duduknya dari papan kayu.
Kenapa aku tidak bisa melepas tanganku? Seharusnya ini tidak akan bisa menghalangiku. Semua kekuatanku seperti hilang dan tak berarti. Kucoba terus menggunakan SHADOW GEIST untuk melepas tanganku.
"Kau sudah di dalam pengaruhku... Kau tidak bisa lagi menggunakan kemampuan aneh-anehmu itu..." kata satu saja sosok Eno yang mendekatiku. Ia muncul dari belakangku dan sedang memakan jeruk. "Aku bahkan sudah mengusir perempuan bernama Andin itu..." lanjutnya. Aroma jeruk yang penuh vitamin C segera tercium hidungku. Dengan pandangan matanya ia bisa menetralisir semua kekuatanku. Kemampuan pengendaliannya sangat luar biasa. Tapi karena ini bukan dunia nyata, aku tidak bisa apa-apa. Aku sendiri bahkan terancam.
"Aku sudah melihat semua masa lalu mbak Emi... Masa lalunya yang menyedihkan... Kau muncul mulai kapan?" tanyaku mencoba menyatukan semua teka-teki ini.
"Sebaiknya kita tidak membahas itu... Aku sangat tidak suka dikasihani seperti itu... Lebih baik kita membahas... apa yang sebaiknya kulakukan padamu dan Desi?" katanya sambil mengunyah jeruk.
"Jangan apa-apakan mbak Desi... Dia tidak tau apa-apa... Jangan ikutkan dia dalam ini semua..." sergahku.
"Itu bukan keputusanmu... Kita hanya membahasnya... dan aku yang memutuskan nasib kalian berdua..." jawab tenang Eno memegang satu buah jeruk baru. Ia akan mengupasnya.
"Aku baru mengenal Desi selepas tamat sekolah jauh di negeri orang... Dia tidak lebih baik dariku... Sebelum kenal denganku ia selalu bermasalah dengan teman-temannya... Berkumpul dengan orang yang salah... seperti aku juga... Tidak benar... Itu yang selalu terjadi padanya... Dijerumuskan di prostitusi... dicekoki heroin... Jadi bandar judi... Penadah barang curian... Hidupnya pokoknya hancur banget... Bertemu aku... Aku hanya lebih mengorganisir keuangannya... Bisnisnya selama ini kuarahkan pada jalur yang lebih legal... meninggalkan bisnis kotor..." cerita Eno sambil berjalan ke sana-kemari, mengunyah jeruk.
"Keuntungan kami meningkat tajam dari berbagai sektor bisnis... Dari forex... valas... bahkan kami punya MLM sendiri... Semua dana dari berbagai macam sektor itu kemudian kami alokasikan untuk membeli saham mayoritas perusahaan makanan ringan... Sebagai komisaris definitif... aku dan Desi bisa hidup tenang dengan deviden keuntungan perusahaan itu... " lalu ia berhenti di depanku. Dengan matanya yang kini terbuka. Sulit membedakannya dengan mbak Emi sekarang. Kecuali senyum licik yang selalu ada di sudut kiri bibirnya.
"Dan katanya ia rela kehilanganku demi Emi?... Teman bodohnya yang bahkan mengganti tisu gulung di toilet harus minta bantuan... Apa dia mau jatuh miskin lagi dan meninggalkan semua status sosialita yang sangat dinikmatinya ini? Teman-teman jetsetnya?... Berlian-berliannya?... Perawatan kecantikan rutinnya?... Mobil-mobil mewahnya?" gerutu Eno lebih mirip curhat. Hello? Aku gak butuh curhatmu.
"Apa lagi ini?" desisnya dengan gigi rapat. Didekatinya aku dengan langkah cepat. "Hmm..." tangannya meremas penisku di dalam celanaku tiba-tiba. Wajah dan tubuhnya rapat padaku. "Apa ia yakin bisa melupakan semua kesenangan ini? Menikmati daun-daun muda yang membuatmu terbang ke awang-awang..." remasan tangan Eno menstimulasi kemaluanku.
"Terutama lagi... yang teristimewa... ini..." tangannya merogoh kedalam celanaku. Ia langsung menggenggam batang penisku yang menggeliat bangun mendapat sentuhan telapak tangan hangat nan halus. Aku memang sudah lama curiga kalau 'dia' punya pikiran sendiri. Di saat yang tepat ia sering tidak sejalan denganku.
Mulutnya menggapai bibirku dengan lidah menjulur nakal. Sapuan lidahnya menggelinjang menggoda mulutku agar terbuka. Tangannya yang lain berusaha melepas kancing dan restleting celanaku. Terlepas, ia melorot ke bawah dengan cepat dan menurunkan celana panjang berikut celana dalam.
Melompat keluar penisku yang semakin tegang mendapat kocokan lembut tangan Eno. Mengangguk-angguk di pipi Eno saat ia menciumi aroma penisku yang sudah tersimpan beberapa lama di dalam pakaian dalam. Lidahnya menjulur mencicipi rasa kulit penisku yang licin.
"Tekstur ini licin dan ketat... Kau sudah sangat sering menggunakannya pada perempuan... Pastinya kau selalu memuaskan mereka seperti kau memuaskanku tadi siang... Sayang sekali tubuh ini terlalu lemah untuk menikmati itu semua... Tetapi di dalam sini—di dalam duniaku... aku akan bisa menikmatinya sepuas-puasnya. Ha... ha... ha..." tawanya senang sambil terus mengocok pelan penisku sampai tegang maksimal.
Ditelannya penisku dengan mudah. Sedotannya terasa sangat nikmat sampai ngilu seluruh tubuhku. Jilatan ujung lidahnya bermain-main di lubang kencingku lalu disedot kuat kembali. Saat ia mengocok cepat batangku, lidahnya bermain-main dengan kantong pelerku. Dikulumnya juga buah zakarku bergantian.
Pakaian seragam baby sitter pink ia lepaskan dua kancing depannya. Dikeluarkannya payudaranya yang tak begitu besar dari bra dan diarahkannya ke penisku. Kepala penisku diputar-putarkannya menyentuh puting susunya yang mengeras.
Mulut Eno megap-megap mendesis menikmati rangsangan yang disebabkannya pada payudaranya menggunakan ujung penisku. Diludahinya penisku agar memberi kelembaban pada gesekan ke susunya. Bergantian itu dilakukannya pada dada kanan dan kirinya. Dicobanya untuk menjepit penisku dengan sepasang dadanya yang disatukan. Itu bukan hal yang mudah dilakukan dengan payudara seukuran itu. Yang terjadi adalah gesekan-gesekan minimal saja.
Ditelannya kembali penisku. Kepalanya bergerak ritmis mengocok penisku dengan mulutnya. Mengangguk-angguk cepat seperti burung pelatuk melubangi batang pohon. Tangannya turun ke bawah merangsang kemaluannya sendiri. Mempermainkan kacang kecil yang menegang keras diantara belahan vaginanya.
"Mmmbbhh... Mmphh... Mmllbb..." desahnya saat bernafas kepayahan. Bokongnya naik tanpa melepas penisku sedetikpun dari mulutnya. Ternyata ia melepaskan celana dalamnya dan membiarkannya melorot sampai mata kaki, menendang lepas dan tersangkut di tempat duduk ayunan. Eno membalik tubuhnya.
"Yaahh... Mm..." desahnya kembali kala ia menggesek-gesekkan penisku ke belahan bokongnya. Pantatnya rapat ke pahaku seolah doggy. Penisku meluncur di antara pangkal pahanya. Dipeganginya kepala penisku agar tetap tegak dan mulai ia bergerak maju mundur. Menggesekkan batang penisku di belahan vaginanya yang hangat.
"Aahhh.... ahhh.... mmm..." desisnya keenakan. Gerinjal permukaan vaginanya bersama labia minora dan klitorisnya bergesekan dengan penisku yang mulai basah oleh cairan cinta Eno. Ia bergerak pelan menikmati sepuasnya gesekan yang terjadi. Pasti rasanya sangat gatal dan menggoda sekali.
"Gimanaaa? Mau segera masuuuk?" tanya Eno berusaha menggodaku dengan mempermainkan libidoku.
Aku hanya mengangkat bahu tanganku yang masih terikat. "Aku tidak apa-apa... Mbak sendiri yang tersiksa..." jawabku jual mahal.
"Oohh... Anak baiiik... Jangan siksa tante-tante ini terlalu lamaaa... Gak ku-ku..." katanya gaya oldskool. Ia terus menggesek-gesekkan batang penisku di belahan becek kemaluannya. Bokong lembut mungilnya terus membentur perut dan pahaku. Sesekali lubang anusnya mencuat merekah karena gerakannya. Tapi aku diam saja berdiri bersandar di tiang besi ayunan ini seperti tidak terjadi apa-apa.
Tempat ini ukurannya luas dengan penataan seperti taman karena aku melihat banyak tanaman hias tumbuh di sekitarku. Hanya saja tanamannya tumbuh tak terurus bersama rumput-rumput tinggi, tanaman gulma pengganggu tumbuh liar membuatnya terlihat suram dan liar.
Ia terus menggerakkan pantatnya maju mundur menggesek penisku ke belahan vagina juga mempermainkan payudaranya. Kedua tangannya meremas dada dan jari memilin puting. Ia semakin hot dengan rok terusan baby sitter pink dinaikkan ke pinggang. Goyangannya pendek-pendek tetapi kuat hingga benturannya bersuara bertepuk.
Apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa mengakses satupun kekuatanku. Di dalam dunianya ini, ia menguasai semuanya... Dia tau aku punya banyak kemampuan ajaib dan semuanya dinon-aktifkannya. Ini seperti di dalam DARK VOID Güthberg dulu. Ia satu-satunya penguasa di dalam Mansion ini.
"Aahh! Aaahhh!... Ahhh..." berkelojotan tubuh Eno mendapatkan kenikmatan puncaknya hanya dengan menggesekkan kemaluannya pada batang penisku. Ia maju beberapa langkah dengan kaki bergetar. Ia mengelus-elus leher dan vaginanya sendiri merasakan sisa orgasmenya barusan.
"Loh? Lepas?" kagetku. Yang lepas adalah tanganku. Lepas dari ikatan isolasi plastik bening yang digunakan Eno untuk membelengu tanganku. Aku terus mencoba menggunakan SHADOW GEIST dan ada beberapa detik waktu kekuatan LEO yang bisa menembus benda padat itu aktif tiba-tiba. Dan itu adalah saat Eno mengalami orgasmenya. Pada waktu itu ia tidak bisa mengawal dirinya sendiri dan lepas kontrol atas dunia ini. Aku harus benar-benar memanfaatkan situasi itu.
"He... he... he... Enak banget-banget... Kau gak mau merasakan hangatnya diriku?" goda Eno melelet-leletkan lidahnya. Kedua tangannya bermain di organ seksual utamanya; dada dan vaginanya. Jarinya menelusup masuk ke dalam liang kemaluannya.
"Masukin, dong, mbaak? Enaaak banget kayaknyaa... Mbaak Enooo..." pintaku bermain sesuai kemauannya. Pinggulku kugerak-gerakkan ke depan seolah sedang menyetubuhi dirinya. Tanganku tetap kuangkat ke atas seolah masih tetap terbelenggu.
"Jadi...? Itu maumu? Apemku enak, ya?" ia semakin genit saja. Jari yang tadi masuk ke sela selangkangannya dimasukkan mulut. Menyicipi aroma dirinya sendiri. Penisku dicengkramnya erat seperti mencekik dan ditarik-tariknya kasar.
"Yahh, mbaakk... Masukin, mbaak..." rengekku agar ia berbaik hati membiarkanku memasuki dirinya.
Masih merenggut penisku, ia berjinjit dan membungkam mulutku dengan ciumannya. Lidahnya menjulur-julur masuk saling bertukar ludah. Saling mengulum bibir dengan liar. Kepala penisku digesek-gesekkannya kembali ke belahan vaginanya. Kebanyakan menyenggol klitoris tegangnya.
Ciumannya turun ke leher dan dicupanginya kulit leherku sampai meninggalkan bekas merah. Mendarat di dada dan disedotinya puting dadaku ditingkahi remasan juga. Kaki kirinya diangkat dan mengait ke pinggangku hingga tubuhnya miring ke kanan.
"Dorong!" perintahnya tegas sambil kami berdua melihat jelas pertemuan kedua kelamin yang hanya perlu sedikit dorongan. Kepala penisku sudah tepat di depan lubang senggamanya. Kudorong cepat dan melesak masuk dengan mudah karena sudah sangat basah akibat orgasme sebelumnya dan rangsangan sendiri.
"Uuuoohhh!" jeritnya keras sekali tak perduli apapun. Penisku melesak masuk dan mentok seketika. Aku tidak bisa menghabiskan semua batang penisku di liang kemaluannya karena aku sudah merangsek pintu rahimnya. Dengan kaki yang tertekuk, kutarik pantatku ke belakang dan terasa gesekan licin penuh lendir dan kudorong cepat kedepan lagi seketika.
"Uuuooohh!" jeritnya lagi sekuat yang pertama. Jadilah Eno menjerit-jerit keenakan mendapat gempuran penis brondong yang ternyata sangat ia sukai. Tangannya bertumpu di kedua bahuku saat aku terus merojokkan batang penisku memompa vaginanya. Gerakan cepatku hanya meninggalkan erangan. "Ahh! Ahh! Ahh!" berulang tiap kali ujung kepala jamur penisku menekan pintu rahimnya.
"Mbaak Enooo... Akuu mau keluarrhhh..." desahku semakin bergerak tak dapat terkontrol lagi.
"Samaaa... Barengan, yookk!" kata Eno juga menyambut tiap hentakanku dengan gerakan maju mundur juga. "Aahhkk!" jerit Eno saat pinggangnya bergetar dan kakinya bertumpu di lantai menjadi lemas. Tangannya mengalungi leherku dan memeluk erat.
Kusemprotkan spermaku bersama cairan plus-plus itu ke dalam tubuhnya. Bersamaan kami merasakan nikmat itu. Kupeluk juga tubuhnya dan kubaringkan di atas rerumputan halus yang tumbuh subur ini.
Tempat ini menjadi berubah suasananya. Seluruh lantai ditumbuhi rumput halus selembut permadani Persia. Dindingnya dipenuhi dengan rak buku sepanjang mata memandang. Gang-gang yang dipenuhi rak buku ditumbuhi tanaman merambat berbuah kapur barus warna-warni dan silica gel untuk menjaga pustakanya tetap dalam keadaan baik dan jauh dari kelembaban musuh tiap kertas.
"Disini tempatmu bersemayam... Dalam sisi otak kiri mbak Emi yang menyimpan semua informasi yang pernah dibacanya... Aku paham..." kataku melihat-lihat rak terdekat. Taman palsu tadi sudah hilang beserta ayunan besi tempatku terbelenggu.
"Apa-apa yang kau lakukan padaku? Kenapa aku tidak bisa bergerak di duniaku sendiri?... Diantara buku-buku kesayanganku? Bagaimana kau bisa bebas?" tanya Eno dengan muka panik.
"Semua kekuatanku sudah pulih... Mbak sudah kulumpuhkan dengan THIRD STING SCORPIO-ku... Apa mbak Eno mau berbaik hati memberi tau dimana mbak Emi disekap?" kataku telah memakai kembali celanaku dan berjongkok di depan tubuhnya. Dadanya masih mencuat membusung dari balik bajunya.
"Aku tidak akan memberimu informasi itu! Kau boleh mencarinya selamanya di dunia ini dan tak akan ketemuuu..." racaunya lalu menunjuk ke sebuah pintu yang ada di Timur ruangan ini. Ia sesumbar tetapi tak sanggup melawan TOXICATE dari sengat tangan kananku. Kembali kugunakan kekuatan SCORPIO yang menusuk lehernya untuk mengorek keterangan dari Eno walau di dalam dunianya sekalipun.
"... turun tangga 12 lantai... Kumpulkan semua kunci emosinya... lalu buka gerbang dengan kombinasi kunci 26889... Dia ada di sana... Sebentar lagi ia akan lebur dalam sel protein otak lama yang terlarut..." lanjutnya memberitau dimana sosok pribadi mbak Emi ditahannya.
"Makasih, mbak Eno... Baik-baik disini, ya... Istirahatlah dulu..." kataku menepuk lembut pipinya, menutup payudaranya yang tersembul keluar dari seragam pink, dan merapikan rok terusannya.
--------​
Kuturuni tangga curam yang terbuat dari batu berwarna cerah. Aslinya pasti kusam dan gelap tetapi karena semprotan THIRD STING-ku sedikit merubah suasana hati Eno hingga membaik dan sedikit cerah. Cerah juga dunia yang dikuasainya ini hingga navigasiku di labirin pikiran ini jauh lebih mudah.
Sampai di lantai pertama dari menuruni tangga, ada sebuah pintu sel terbuat dari baja kokoh dengan jendela berteralis tebal. Sepertinya ia mengurung sesuatu di dalam sana. Dindingnya terasa panas ketika kusentuh. Panas yang kurasakan serupa dengan panasnya hati bila sedang kesal atau amarah.
Pintu ini tidak dikunci ketika kudorong. Hanya saja harus didorong kuat karena engselnya sudah berkarat. Kubuka secukupnya sampai tubuhku bisa masuk saja. Di dalamnya hanya ada sebuah obor menyala seperti yang kuintip dari jendela berteralis di pintu. Obor ini terbuat dari besi dengan empat buah rantai mengikat batang untuk memegangnya. Dengan kekuatan TAURUS kuputus semua rantai pengekangnya untuk memeriksa obor itu.
"Woow?" kagetku tiba-tiba obor itu merasuk ke dalam tubuhku. Rasa panas emosi terasa di dalam dadaku. Membuatku tiba-tiba marah pada sesuatu yang tak jelas.
"Itu semua emosi Emi yang sudah dilucuti Eno untuk membuatnya tak berarti lagi... Jangan terlalu kau paksa untuk merasakannya... Jangan sampai emosi milikmu berbenturan dengannya... Kau sendiri yang akan rusak, Satria..." kata Andin memperingatkanku.
"Emosi milik mbak Emi? Ada 12 lantai... Berarti ada 12 sel seperti ini dimana semua kunci emosi itu ditempatkan... Sampai segitunya Eno memperlakukan Emi..." kataku paham. Aku lalu keluar dari ruang sel ini dan segera menuju lantai berikutnya di bawah sana.
Sel kedua ini bersinar terang dan ketika kuintip dari jendela teralisnya, sebuah kristal putih ditutupi penutup kaca oval untuk meredam kilaunya. "Ini adalah emosi penasaran dimana semua keinginan belajar berasal... Benderang seperti matahari pagi..." kata Andin saat kuangkat penutup kaca itu. Kristal itu kembali terserap merasuk padaku saat kusentuh. Tiba-tiba rasa penasaranku bertambah berlipat ganda. Kucoba untuk mengabaikannya.
Berikutnya lantai ke-3, 4 dan 5 kuselesaikan. Sel ketiga berisi emosi malu berbentuk gumpalan bulu lembut, sel keempat berisi emosi bahagia berbentuk segelas madu, sel kelima berisi emosi takut berbentuk selembar kain hitam.
"Apa kau merasakan tubuhmu menjadi berat?" tanya Andin.
"Ya... Agak terasa berat... Mungkin karena lonjakan emosi yang sekarang ada di dalam tubuhku... Aku akan bertahan sampai akhir..." kataku saat membuka pintu sel ke-6. Bentuk seikat arang hitam terendam air adalah manifestasi emosi kecewa. Ada kecenderunganku untuk tiba-tiba menangis saat ini. Kutahan semua.
Tak bisa lagi berlari-lari kecil saat menuruni tangga ke lantai 7, 8, 9 untuk mendapatkan emosi tamak, cemburu dan rindu. Nafasku sesak saat menuruni tangga untuk menuju lantai 10. Buku kulit tebal, topeng opera dan bulu ekor merak jantan lagi-lagi berada di dalam tubuhku.
Susah payah aku mendorong pintu sel ke-10 yang berisi wadah air emosi rasa malas. Semakin berat langkahku karenanya. Andin-lah yang terus menerus mengingatkanku. Maunya tiduran aja di ruang sel sejuk ini dan istirahat sejenak.
Memasuki sel ke-11, aku mendorong pintunya dengan bahu dan melangkah lunglai ke sebuah pisau yang mengapung. Representasi emosi bersemangat milik mbak Emi yang direnggut. Tapi itu tak cukup membantuku bersemangat. Bangke banget tuh si Eno! Harus ya melucuti emosi milik orang lain sampe begininya?
Masih dengan bahu kudorong pintu sel terakhir. Bendanya berupa cahaya seperti matahari kecil yang merupakan emosi harapan. Rasanya hangat dan menyenangkan. Begitu benda itu merasuk ke tubuhku, muncul sebuah pintu baru di depanku. Ada sebuah gembok model lama yang mempunyai angka-angka seperti brankas baja yang menahan pintu itu dari dibuka siapapun yang tak mengetahui kombinasinya. Untungnya aku sudah mendapat bocoran dari Eno, sang pemilik dunia dan gembok ini.
Kuputar setiap angka ke kombinasinya; 26889. Gembok terbuka dengan suara khasnya. Rantai penghubung gembok itu ke pengekang itu kulepas dan kudorong semampuku pintu berat itu. Untung bisa bergeser.
Terhuyung-huyung tubuhku masuk ke ruangan itu. Tapi aku tak menemukan mbak Emi dimanapun. Batu-batu tersusun tinggi dengan sebuah bunga kecil di dalam pot mungil saja yang kutemui. Kukenali itu sebagai tanaman urang-aring dengan satu kuntum bunganya yang mekar berwarna senada dengan daun hijau tuanya.
"Eno menipu kita... Mbak Emi gak ada disini, Andin!" aku kecewa sekali. Ombak berbagai emosi menyerangku bersamaan. Bukan hanya emosiku sendiri, emosi milik mbak Emi juga ikut menerjang.

"Urang-aring itu dia, Satria... Kembalikan semua emosinya agar ia menjadi utuh sebagai sosok lengkap..." kata Andin.
"Bunga kecil ini... Benaran?" kataku ragu. Hanya tinggal segini saja eksistensi mbak Emi. Sebuah mahluk vegetatif yang lemah dan rapuh. Benar... Tanpa semua emosi manusiawi itu, ia sama saja dengan tumbuhan...
Segera saja kusalurkan kembali ke-12 emosi miliknya itu padanya. Semua emosi itu, baik positif maupun negatif memasuki batang, daun dan bunga urang-aring kecil itu. Berpendar perlahan, semakin terang dan terang hingga menyilaukan. Aku harus berpaling karenanya.
"Bagaimana dengan Eno?... Haruskah aku melenyapkannya?" tanyaku pada Andin.
"Kupikir itu tidak perlu... Liat itu..." katanya mengarahkanku melihat ke arah pintu. Ada sosok terang lainnya sedang mengambang, bergerak pasti ke arah kilauan cahaya dari tumbuhan urang-aring itu. Itu tubuh Eno. Ia masih memakai seragam baby sitter pink seperti terakhir kali kutinggalkan ia di ruangan penuh buku. Cahaya tubuhnya luber merasuk bersatu dengan tanaman urang aring dan menembakkan cahaya mengejutkan ke semua arah. Aku berpaling lagi.
"Lihat..." bisik Andin.
Masih ada sinar menyilaukan dari arah yang ditunjuk Andin tapi aku bisa melihatnya. Sosok perempuan telanjang itu berjongkok memeluk lututnya. Mulai menggerakkan kepala dan kelopak matanya. Dia mbak Emi. Ia sudah kembali!
"Kau harus segera pergi dari sini sebelum ia melihatmu..." kata Andin mengingatkanku. "Ia sudah sembuh!"
--------​
Seperti ada seekor kalajengking menyengat kakiku saat aku kembali duduk di meja breakfast ini bersama mbak Emi dan mbak Desi. Aku jadi senang melihat mbak Desi kembali setelah kejadian tadi karena dari tadi yang kuliat mbak Eno mulu. Melupakan rasa sakit kalajengking itu yang segera hilang berganti rasa hangat. Aku baru saja melepaskan tempelan keningku dengan mbak Emi.
"Emi?... Apa itu, elu?" tanya mbak Desi masih menunggu kemunculan mbak Emi, temannya yang masih dimintai pendapatnya.
Benar kata Andin kalau kecepatan di dalam frekwensi otak sangat cepat. Nyaris hanya hitungan detik saja semua yang semua terjadi tadi. Seharusnya itu tadi berlangsung seharian kurang lebihnya.
"Ya... Ini gua, Des..." jawabnya mengerjab-ngerjabkan matanya dengan takjub. Ia memandang sekeliling. Lalu pandangannya jatuh padaku. "Terakhir gua ingat gue di dalam ruangan aneh... Gak pake baju... sekelebatan gua melihat dia di dalam sono..." tunjuknya padaku. Ia seperti tidak percaya dengan ingatannya sendiri.
"Apaan? Elu aja dari tadi di sini, kok?" bantah mbak Desi geli. "Fantasi lu mulai aneh kayak Eno, deh..." lanjutnya.
"Eno? Siapa tuh Eno?" tanya mbak Emi heran. Kulit keningnya sampai berkerut-kerut. Ingatannya tentang Eno sudah hilang sama sekali. Lebur sama sekali di dalam dirinya tanpa bekas.
Kudekati mbak Desi dan kubisikkan padanya, "Mbak Emi sudah sembuh... Eno sudah tidak ada lagi..." bisikku sesingkat mungkin. Kutunjukkan bacaan Coremeter pada core miliknya; 1620 Hz. Hanya satu yang terdeteksi. Kini kedua panjang gelombang core itu bergabung menjadi satu saja. Dan cukup tinggi: 1620 Hz. Keduanya kini pemilik core istimewa.
"Beneran?" kaget mbak Desi.
"Kalian orang pada bisik-bisik apaan? Mesum, ya?" kepo mbak Emi pengen tau. "Des... Jangan lupa rapat bulanan Komisaris akhir bulan ini... Agendanya adalah ekspansi untuk trimester kedua tahun ini... Ups?" kaget mbak Emi menutup mulutnya. Matanya mlarak-mlirik keliling bingung dari mana ia bisa mengucapkan kata-kata itu. "Dari mana gua tau itu? Itu jadwal-lu, kan, Des?"
"Bener... Sembuh!" kata mbak Desi rapat padaku dan menutupi mulutnya dengan tangan agar tak terlihat mbak Emi.
"Pinternya Eno juga sudah bergabung dengannya... Lebur menjadi satu..." sahutku juga berbisik.
"Ngomongin gua, yak?" kesal mbak Emi dikacangi.
Mbak Desi malah turun dari stool tingginya dan memeluk erat tubuh teman akrabnya itu. Diciuminya pipi perempuan yang kebingungan ampun-ampunan.
"Buset, Des! Ya... Ya... Abis dah pipi gua lo ciumin... Emangnya gue cempedak apa? Heeghh... Apaan lagi dibetot kuat begene... Remek, dah-ah! Awas toket gue pecah, tuh!" tengsinnya dipeluk begitu. Mbak Desi meluapkan rasa senangnya mendapatkan sahabat yang disayanginya seutuhnya. Tanpa ada pribadi aneh bernama Eno.

========
QUEST#12
========​

Karena sudah jam 2 pagi, aku kembali disuruh masuk kamar tamu untuk istirahat. Apalagi kami ada rencana untuk ke Singapur penerbangan jam 9 pagi nanti.
Lelah karena bertualang di dalam pikiran mbak Emi dan Eno, aku cepat terlelap. Dan tak kuingat mimpi apa.
Bangun-bangun sudah jam 6 pagi karena mendengar jeritan alarm HP-ku yang kusetel tepat waktu. Aku tidak khawatir dengan masalah bolos sekolah karena sosok penggandaanku akan selalu bisa menghadiri kelas walau dimanapun aku bertualang.
Mandi di kamar mandi kamar ini, gosok gigi dan memakai pakaian bersih, aku segera menuju dapur. Di jalan aku ketemu mbak Tantri lagi yang juga akan ke dapur. Ia membawa bungkusan plastik kresek berisi sarapan berupa gorengan.
Di dapur sudah ada mbak Desi, mbak Emi yang sedang menyuapi Jojo bubur di breakfast table tadi malam.
"Ya elah... Udah ganteng aja, tuh bocah..." kata mbak Emi yang melihatku pertama kali. Mbak Desi duduk membelakangiku sedang menikmati sarapan es krimnya lagi. Udah kebal kali ya perut perempuan ini. Makannya cuma es krim mulu.
"Mau sarapan dulu, Satria?" tawar mbak Desi mengacungkan sendok es krimnya.
"Lu kira semua orang bisa maem es krim pagi-pagi kayak lu orang?" kata mbak Emi meledek majikannya. Disuapinya terus Jojo yang duduk di kursi bayinya.
"Tadi malam dia mau, kok?" kata mbak Desi membela diri.
"Lah tuh bocah laper gila tadi malem... Apa aja diembat... Sarapan yaa... bala-bala, dong..." kata mbak Emi menyambut bungkusan pemberian mbak Tantri.
"Kamu udah sarapan, Tan?" tawar mbak Desi pada mbak Tantri yang bersiap pergi dari dapur. Ia telah menuangkan segelas teh manis untukku.
"Udah tadi, bu... Sekalian sama bang Edi (satpam) di depan..." jawabnya. "Permisi, bu... Mau nyapu depan dulu..."
"Jadi ke Singapur-nya, mbak?" tanyaku sembari nyomot satu goreng pisang.
"Jam sembilan berangkatnya... Paspormu gimana?" tanya mbak Desi balik.
"Nanti dianter temanku di bandara aja..." jawabku memperhatikan Jojo yang sedang makan pagi berupa bubur bayi yang diencerkan dengan susu.
"Oh... OK, deh... Kamu belum kenalan sama Jojo, ya?" kata mbak Desi saat menyadari apa yang kuperhatikan dari tadi.
"Iya, mbak... Anak mbak ganteng banget... Nurun dari mamanya, ya?" pujiku standar. Lah aku gak tau bapaknya siapa.
"Cantik, ya, mbak? Makasih deh..." katanya ganjen dibuat-buat. Padahal mulutnya masih penuh es krim sampai belepotan di bibirnya.
"Jojo hampir setahun umurnye... Bulan depan-tuh ulang tahun pertamanye..." kata mbak Emi mengaduk-aduk sendokan terakhir bubur bayi untuk Jojo. Rupanya ia memberi makan Jojo sambil membaca sebuah folder yang diletakkan di atas pangkuannya. Baby sitter ini melakukan tugas Multi Tasking sekarang.
"Baca apa, mbak?" tanyaku melongok pengen tau.
"Laporan keuangan bulan Januari kemaren... Trus ada prospek bisnis yang ditawarin sama makelarnya... Berlebihan bo'ong, deh kayaknya nih prospek..." jawab mbak Emi. Eno benar-benar sudah lebur di dalam kepribadian perempuan ini hingga hal yang mustahil dilakukan mbak Emi kemarin, sekarang bukan masalah lagi.
"Naga-naganya gue harus nyari pengganti elu nih, Mi?" kata mbak Desi setelah melirikku.
"Gantiin gua jadi baby sitter? Apa demen Jojo ama yang lain? Kasian anaknya, Des... Gua aja yang urus..." kata mbak Emi gak mau diganti dari pekerjaan aslinya. Liat aja pilihan katanya. Bukan lagi bebi sister seperti tadi malam.
"Tapi entar lu bakal capek banget ngurusin bisnis kita... Mana harus ngurus Jojo juga... Ngadepin broker-broker itu... Ketemu dokter... Entar malah elu sakit..." kata mbak Desi mengkhawatirkan kesehatan temannya yang terlihat ringkih ini.
"Ya, elah, Des... Segala ngurusin orok lu khawatirin... Gua kan yang ngurus Jojo dari merah... Ngasih susu... Nyebokin... Gantiin popoknya... Ngebawa jalan-jalan... Imunisasi... Udah kayak anak gua aja, nih Jojo..." kata mbak Desi tetap bersikeras dengan tugasnya. Mereka tetap meributkan itu sementara Jojo malah mencari kesibukan dengan mengunyah celemeknya yang belepotan sisa bubur.
"Apa yang mereka bicarakan, Satria? Dari semua kalimat yang mereka gunakan... tersirat suatu rahasia lain... Kau tidak menyadarinya?" tanya Andin kembali dengan analisanya yang akurat.
"Kalau yang kutangkap... mbak Desi ini gak cakap mengurus anak hingga mbak Emi yang turun tangan membesarkan Jojo sampai detik ini... Insting keibuan mbak Emi lebih besar dari pada ibu kandungnya sendiri..." coba kusimpulkan apa yang bisa kuamati dari semua percakapan mereka. Apalagi dengan pengalamanku di dalam kepalanya kemarin malam. Ia sempat hamil di waktu SMA-nya di memori itu. Tidak tau apa sempat melahirkan atau tidak?
"Apa benar... Jojo anak Desi?" kata Andin mengejutkan. Merinding rambut di lengan, tangan dan pipiku mendengar kalimat tadi. Kenapa bisa sampai pada kesimpulan itu?
"Memang itu bukan urusanmu... Tapi apa kau tidak penasaran?" kata Andin malah memanas-manasi aku.
"Lebih baik kita urus itu nanti saja... Aku sudah terlalu jauh mencampuri urusan mereka... Kalau itu memang benar... tidak ada yang salah kalau mereka membesarkan bayi orang lain misalnya... Itu hal yang mulia bahkan, kan?" kataku memutuskan. Andin diam kemudian tidak berniat melanjutkannya lebih jauh.
--------​
Di bandara, pasporku sudah di tangan. Sosok DOUBLE-ku menyerahkannya tak terlihat mbak Desi dan mbak Emi. Lanjut-lanjut dan lanjut kami sudah melewati proses pemeriksaan tiket dan paspor. Sekarang menunggu panggilan menaiki pesawat.
Jojo tidur dengan nyenyak dipelukan mbak Emi sementara mbak Desi sibuk bertelepon ria dengan temannya. Mbak Emi menggendong Jojo sambil terus berkutat dengan bacaannya. Selalu ada saja yang dibacanya, simultan dengan ia mengurus Jojo. Hanya sesekali mbak Desi menggendong Jojo kalau mbak Emi harus ke toilet dan semacamnya.
"Ummi Rasya mau ngomong sama kamu sebentar..." kata mbak Desi mengulurkan HP-nya padaku.
"Ummi Rasya?" heranku. Ada apa? Apa dia masih penasaran denganku dan meminta session tersendiri. Aku bukan pria panggilan... "Halo, ummi Rasya? Ada apa, ya?"
"Halo, kasep... Kumaha? Damang?" sahutnya disana.
"Damang, ummi... Sehat, ummi?" jawabku berbasa-basi dengan yang lebih tua yang selalu diajarkan orang tua dan guruku. Walaupun aku sudah tau jeroannya luar dalam.
"Damang, kasep... Hatur nyuhun, nyak... Ummi mau nanya-nanya ka kasep. Boleh atuh, nyak?" permisinya dulu.
"Boleh, mi..." jawabku. Kalau ditanya harga, sebaiknya kutolak dengan baik.
"Kasep, kan sekolah di SMA 105, nyak? Kenal atuh sama Yudha? Yudha Sastrawiharja?" ujarnya mengejutkanku. Berdesir darah di sekitar jantungku. Mendadak aku demam yang tak mengenakkan.
"Kenal, ummi... Pernah satu meja bahkan dengan Yudha waktu kelas dua dulu..." jawabku jujur. Tetapi ada yang harus kusembunyikan dengan terpaksa.
"Gini, kasep... Yudha itu ponakannya ummi... Anak ceceu-nya ummi satu-satunya... Mereka itu udah cere lima taun lalu, nyak... Yudha ikut papihnya... Beberapa bulan ini... hampir setahun malah, mah... Yudha gak bisa dihubungi lagi... Ditanya ke papihnya juga gak tau kemana tuh anak... Papihnya bilang dikirain Yudha ke mamahnya... Mana atuh yang bener? Kita sakeluarga jadi bingung, euy... kalo begini ceritanya... Apa Yudha teh tidak sekolah di situ lagi?" tanya ummi Rasya panjang lebar.
"Enggak, ummi..." jawabku. "Yudha tiba-tiba menghilang bulan Februari tahun lalu..." Genap setahun lebih sudah kejadian kelam hari itu. "Dia gak masuk-masuk sekolah lagi sejak itu... Sekolah juga bingung..." jawabku standar. Ini adalah jawaban versi resmi pihak sekolah setelah mendapat konfirmasi dari wali siswa yang bersangkutan. Wali siswa atau ayah Yudha juga mengira Yudha pergi ke rumah ibunya. Komunikasi yang buruk setelah perceraian menyebabkan pertanyaan penting seperti itu menggantung sebulan lebih lamanya. Masa anak hilang sebulan lebih baru sadar?
"Ohh... Begitu, yak? Hatur nyuhun, nyak, kasep? Mau ke Singapur bareng jeung Desi, nyak?" kata ummi Rasya lagi.
"Iya, ummi... Lagi di lounge, nih... Nunggu naik pesawat..." jawabku melirik ke display gede di dinding ruang tunggu ini. Masih tulisan WAITING.
"Ummi ama ceceu nyusul ka sana, nyak? Ceceu ummi terus nyariin Yudha, nih... Ngedenger ada kasep... dia pengen denger sendiri tentang anaknya... Boleh, nyak?" katanya. Jgeerr!
Kukembalikan HP mbak Desi pada pemiliknya. Ia bertanya-tanya apa yang kami bicarakan.
"Ada apa?" tanya mbak Desi sedikit khawatir melihat ekspresiku. "Gak enak badan?"
Aku menggeleng. Sebuah tangan mendarat di keningku.
"Sedikit anget... Demam, Satria?" rupanya mbak Emi yang menggendong Jojo dengan kain jarik gaya tradisional ibu-ibu jaman dulu.
Kupandangi Jojo yang tidur melungker di gendongan kain panjang mbak Emi. Mbak Emi yang bukan ibu kandung Jojo aja menyayangi dan mengurus anak ini dengan penuh kasih sayang. Apalagi ibu kandung Yudha yang merasa kehilangan. Tidak tau kabar anak semata wayangnya.
Aku tiba-tiba teringat mamaku. Apa yang akan terjadi padanya kalau ada hal buruk menimpaku. Amit-amit seperti Yudha juga. Tubuhnya terkoyak-koyak hancur saat Lucifer jahanam itu keluar dari dalam tubuhnya. Aku menyaksikan itu semua langsung. Di depan kedua mataku sendiri.
Mama seperti gila dan tak ada gairah hidup saat aku menghilang lima hari disekap di dalam DARK VOID Güthberg saat misi pencarian SAGITTARIUS milik Ana. Papaku dan semua saudara mengacak-acak semua fasilitas OSSR untuk menemukanku. Entah berapa banyak kerusakan dan korban yang jatuh untuk menemukanku seorang. Itu demi seorang anak. Anak yang hanya membuat susah keluarganya; aku.
Mama memohonku pulang segera, papa memerintahkanku melupakan pencarian GOD MAESTER CORE saat itu juga. Rayuanku berhasil meluluhkan hati mama dan aku kembali mendapat izinnya untuk terus. Meneruskan ini sampai akhirnya menemukan PISCES kata mbak Emi menyambut bungkusan pemberian mbak Tantri.
di mbak Desi sekarang.
Setidaknya ibu Yudha harus tau apa yang telah terjadi pada anaknya. Seberapa pahit dan tragisnya itu. Berduka atau apapun yang akan dilakukannya. Setidaknya ia harus tau.
"Ceceu ummi Rasya mencari anaknya yang menghilang setahun lalu... Namanya Yudha... Dia teman sekelasku waktu itu... Dia menjadi korban kebangkitan iblis bernama Lucifer itu... Dia sudah tewas..." jelasku lirih.
"Astaga! Cece ummi Rasya? Ponakan ummi Rasya kalau begitu?" kaget mbak Desi. Mbak Emi menganga.
"Jadi sudah elu jelasin?" sergah mbak Emi. Jojo digendongannya menggeliat karena meningginya intonasi suara perempuan itu.
"Belum... Sebaiknya kujelaskan nanti saat mereka menyusul kita ke Singapur... Sebaiknya kujelaskan langsung padanya... Sebaiknya mamanya Yudha mendengarnya sendiri..." jawabku.
Keduanya menghela nafas berat.
--------​
Sampai di bandar udara Internasional Changi, kami naik taksi menuju daerah Sunway. Mbak Desi punya apartemen di kawasan itu. Beristirahat sebentar mbak Desi dan mbak Emi bertanya padaku apakah mau ikut mereka ke dokter.
Pemeriksaan dokter ini maksudnya adalah terapi Bipolar Disorder mbak Emi yang terjadwal hari ini. Lalu mereka akan berbelanja macam-macam barang termasuk stok es krim rasa kacang merah mbak Desi yang menipis. Ummi Rasya dan kakaknya akan tiba nanti siang ke negeri Singa ini. Pertemuannya akan dilakukan di apartemen ini.
"Aku di apartemen aja, mbak... Males keluar di tempat rame begini..." pilihku.
"Oh... Di kulkas situ ada es krim juga... Kalo lapar... embat aja... Nanti siang kami baru balik bawa makanan..." kata mbak Desi.
"Jagain Jojo bisa?" kata mbak Emi tiba-tiba. Keduanya berpandangan dengan kode-kode mata yang gak jelas.
"Aku belum pernah ngerawat bayi... Gimana kalau dia nangis?" tolakku. Seenaknya sendiri aja nih dua emak-emak. Mau enak-enakan shopping di Orchard Road tanpa bayi, ya?
"Jojo gak suka nangis... Die anak yang manis... Nih mainannya, botol susu... biskuitnya... Die bisa merangkak jadi awasin aja kalo die ke tempat yang berbahaya... Mudah, kok... Cobak gendong dulu, nih..." kata mbak Emi memindahkan Jojo darinya ke aku. Bayi ganteng itu melongo melihat mukaku tanpa berkedip. Dengan kikuk kugendong bayi yang ternyata lumayan berat juga. 8 kiloan kali ada?
Mbak Emi dan mbak Desi memandangiku yang sedang menggendong Jojo dengan tatapan puas. Entah puas ngerjain aku ato apa.
"Nah bisa, kan? Kami pegi, ya? Kalo ada apa-apa telepon aja... Dag, Satria... Da-dah, Jojooo..." kata mbak Emi bener-bener tega meninggalkanku berdua saja dengan Jojo.
"Da-dah..." kata mbak Desi juga melambaikan tangannya lucu pada bayinya yang tak berekspresi apa-apa kecuali bengong. Kedua perempuan dengan figur ibu bagi Jojo sudah menghilang di balik pintu.
"Ihik... ihik... Hwaa..." mulai menangis bayi ini dan mulai panik juga aku.
"Cup-cup-cup... Jojo... Jangan nangis, ya... Oom gak jahat, kan?" kataku berusaha menggoyang-goyangkan tubuh Jojo bersama gerakanku. "Andin? Andiiinnn? Butuh bantuan, nih...?" panggilku pada ARC FORM UNDINE DROP yang selalu membantuku lewat analisanya.
"Kayaknya Jojo butuh susunya..." usul Andin. Segera kucoba menawarkan botol susu miliknya tapi ditolak dan tetap menangis.
"Mainannya?" usul Andin lagi. Kuberikan mobil-mobilannya. Kembali ditolaknya dan tetap menangis. Kucoba memberi biskuit bayi beraroma susu tetap tidak berhasil menenangkannya.
Panik dan yang pertama kali kutemukan adalah remot TV. Kunyalakan TV dan mencari chanel anak-anak. Terdengar lagu dengan vokal remaja penutup film kartun itu:
Adventure Time said:
Come along with me
To a town beside the sea
We can wander through the forest
And do so as we please
Come along with me
To a cliff under a tree
Where we’ll gaze upon the water
As an everlasting dream
All of my affections
I give them all to you
Maybe by next summer
We won't have changed our tune
Still I want to be in this town beside the sea
Making up new numbers
And living so merrily
All of my affections
I give them all to you
I’ll be here for you always
And always be for you
Come along with me
To a town beside the sea
We can wander through the forest
And do so as we please
Living so merrily

Island Song-Adventure Time
Secara ajaib Jojo diam klekep tak menangis lagi. Ia asik menonton lagu itu dengan tenang. Duduk anteng dan menikmati lagu dengan irama ceria dan sederhana minim instrumen. Animasinya seekor lebah kuning gendut dan kumbang kepik terbang, beserta ulat bulu melata dengan santai.
Untung aja film kartun Adventure Time itu diputar secara maraton dan di jadwal tayangnya ada 3 episode lagi untuk satu setengah jam kemudian. Jadilah aku dan Jojo terpaku di depan TV selama itu. Kusodori botol susu, dikenyotnya dalam damai dan berbaring di pangkuanku. Hampir habis kusodori sekeping biskuit, digerogotinya makanan ringan itu dengan dua gigi depannya yang mulai tumbuh.
Tiba-tiba kami jatuh cinta pada cara film kartun ini bercerita walau grafiknya yang dominan cyan, magenta, kuning dan hitam gak sebagus anime Jepang. Menikmati film itu berdua saja, kami tak bergerak untuk beberapa lama dan akhirnya All the good show must end.
Jojo menanti film Adventure berlanjut ke episod berikutnya. Ia tidak paham arti dari episod maratonnya sudah selesai dan berlanjut ke maraton serial lainnya yang berjudul Powerpuff Girls.
Mungkin karena sesama cowok kami paham kalau serial animasi yang ini untuk cewek, Jojo berpaling dari TV dan merangkak menjauh menuju mainannya berada.
"Jojo... mau mimik cucu?" tawarku menggerak-gerakkan botol susunya yang masih ada sisa. Ia berpaling melihat sebentar lalu membanting-banting mobil plastiknya lagi.
"Satu setengah jam udah selamat... Kau cukup berhasil..." kata Andin.
"Untung ada serial kartun tadi..." jawabku mengeluarkan HP dan mengecek Coremeter kembali. "2500 Hz?" gumamku. Angkanya persis sama dengan panjang gelombang core milikku. Satu XOXAM atau VOXA panjang gelombangnya 2500 Hz juga. Dan Jojo masihlah bayi kecil yang sangat lemah. Tetapi corenya sekuat itu?
"Halo, Len? Masih di sekolah?" teleponku pada Hellen yang banyak membantuku di segi teknologi.
"Lagi istirahat, nih mas... Lagi dimana? Di Singapur, nih ceritanya?" kata Hellen yang langsung tau aku ada dimana.
"Ya, Len... Singapur... Bareng TO kemarinya..." jawabku.
"TO gak ada di sekitar mas Satria tapinya... Ada di seputaran Orchard Road, tuh... Siapa tuh yang 2500 Hz? TO baru?" tanya Hellen membaca semua situasi dengan Versemeter-nya.
"Ini anak bayinya mbak Desi, Len... Namanya Jojo... Mas disuruh jagain bayinya selama mereka shopping... Tapi ada yang curiga (Andin) kalau Jojo ini bukan anak kandung mbak Desi itu... Bisa kau selidiki?" pintaku.
"Bukan bayinya? Bukannya dia kemarin dulu menghilang dari kota dan melahirkan di Singapur sampe mas gak ketemu PISCES waktu itu?" kros-cek Hellen antusias. Jiwa detektifnya bergolak.
Terdengar ketak-ketik disana suara tuts keyboard ditekan cepat dan jeda per berapa saat. "Golongan darah mbak Desi AB dan Jojo O... Bayi selalunya mengikut golongan darah ibu dan kita tidak tau siapa ayahnya..." suara Hellen terdengar semakin serius. "Ini jadi menarik... sebentar..." terdengar ketukan keyboard lagi.
"Dari foto yang diambil dari bulan Juli sampai Maret tahun depannya... di akun Instagram-nya... Tak ada satupun yang menunjukkan tanda-tanda ia sedang hamil... Memang dari Desember sampai Maret ia menghilang dari peredaran lingkungan sosialnya... Kalau ia memang hamil... dari empat bulan itu mungkin ia bersembunyi karena kehamilan yang tak diinginkan ini... Tapi foto ini—yang di-post empat bulan terakhir dalam keadaan tidak hamil... mempunyai metadata yang tidak bisa dipungkiri kalau waktunya diambilnya sesuai dengan waktu uploadnya... Aku berani tarohan kalau dia benar tidak hamil dan Jojo bukan anaknya... Siapa sumber, mas itu? Keren perkiraannya..." kata Hellen panjang lebar memberikan bukti yang sangat jelas.
Aku bisa membayangkan Andin tersenyum lebar di Mexico sana mendengar pembicaraan kami berdua yang mendukung perkiraan tepatnya. Didukung oleh bukti-bukti konkrit.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd