Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Ritual Sex di Gunung Kemukus

Chapter 1 : Sebuah Awal

Aku terbangun di sebuah ruangan yang dindimgnya semua berwarna putih. Terbayang olehku sesaat sebelum kehilangan kesadaran. Sebuah pertarungan yang sangat mengerikan dan brutal. Bertarung dengan ayahky sendiri dalam pertarungan hidup dan mati. Pertarungan yang mengerikan. Apakah sekarang aku sudah mati?

"Aa sudah bangun!" seru Ningsih langsung memelukku bahagia.

"Aa di mana, Ning?" tanyaku heran melihat Ningsih ada di sampingku duduk di kursi yang terletak di samping ranjang. Rasanya sudah lama tidak melihat wajah istriku yang cantik dengan lesung pipit yang menghiasi ke dua pipinya saat tersenyum.

"Di RS, A!" kata Ningsih sambil menciumiku. Matanya terlihat sembab seperti habis menangis namu tidak mengurangi kecantikannya yang alami tanpa pulasan make up.

"Alhamdulillah A Ujang sudah bangun?" kata Lilis yang baru selesai sholat di samping ranjang. Pantas saja aku tidak melihat kehadirannya. Lilis segera menciumiku. Matanya agak berlinang melihatku sadar.

"Siapa yang bawa Aa ke sini?" tanyaku. Walau aku menduga yang membawaku ke sini pasti anak buah Mang Karta. Lalu bagaimana kondisi, Mang Karta? Apa dia tewas?

"Mang Karta.......?" tanyaku tidak mampu meneruskan kalimat. Sangat mengerikan membayangkan Mang Karta harus tewas dengan cara seperti itu. Harusnya dia masih hidup dan menikmati masa tuanya dengan tenang. Bukan mengahiri hidup dengan cara yang tragis.

"Alhamdulillah, Mang Karta selamet A. Lukanya cuma nyerempet samping aja. Gak fatal." kata Lilis menerangkan.
Mang Karta masih hidup? Aku segera duduk, kaget dan sekaligus bahagia karena apa yang aku pikirkan tidak terjadi. Berarti ayahku tidak membunuh Mang Karta malah mungkin dia yang membawa kami ke sini. Pikiran sepihak, karena aku masih berharap ayahku bukanlah orang jahat.

Lalu bagaimana dengan ayahku? Kenapa dia tidak menghabisi Mang Karta? Kalau aku wajar tidak dibunuhnya, karena aku adalah anaknya. Tapi kenapa dia membiarkan Mang Karta tetap hidup? Ini terasa aneh. Apa lagi saat mereka bertarung, aku bisa melihat ayahku tidak bersungguh sungguh. Dia lebih banyak bertahan.
Aku ingin sejenak berhenti berpikir. Sejenak ingin merasakan kebahagiaan dengan dua wanita yang berada di hadapanku. Dua wanita yang aku yakin sangat mencintaiku.
Aku melihat Ningsih, bibirnya tersenyum bahagia, walau matanyapun terlihat sembab seperti Lilis. Aku bahagia bisa memiliki ke dua wanita ini walaupun Lilis belum sah menjadi istriku. Tapi sebentar lagi setelah melahirkan, Lilis akan sah menjadi istriku.

"Lilis hawatir dengan keadaan A Ujang, kemaren dibawa ke RS bareng dengan Mang Karta. Untung Mang Karta bisa selamat. Kalau A Ujang kata dokter cuma sedikit memar dan shock aja. Gak ada yang membahayakan jiwa. A Ujang cuma butuh istirahat." kata Lilis menceritakan panjang lebar.

"Makan dulu ya, A!" kata Ningsih sambil menyuapiku dengan masakan rumah sakit yang terasa hambar. Tapi rasa lapar membuatku dengan cepat menghabisinya.

*****

Ahirnya aku diperbolehkan pulang hari ini juga oleh dokter yang memeriksaku. Aku sempat melihat kondisi Mang Karta yang masih tertidur dan dijaga oleh Bi Narsih dan Desy. Wajah mereka terlihat hawatir dengan kondisi Mang Karta. Atau mungkin hanya Desy saja yang hawatir. Sedang Bi Narsih seperti menghindar bertatapan mata denganku. Yang penting aku sudah cukup senang melihat Mang Karta masih hidup.

Dari Mang Karta aku melihat kondisi Mang Udin. Kondisinya terlihat lebih segar. Dia sudah bisa duduk tegak. Dia tertawa melihatku yang datang diiringi dua bidadari cantik. Aku benar benar seperti Pangeran yang selalu diiringi gadis gadis cantik di manapun aku berada. Sebenarnya aku beruntung atau malah menambah masalah yang akan aku hadapi nanti.

"Aduh Si Jalu, gak percuma dikasih nama Jalu ( Jantan )." kata Mang Udin, entah pujian atau sindiran buatku yang selalu di kelilingi wanita cantik.

Aku hanya tersenyum dan mencium tangannya. Biar bagaimanapun usianya jauh lebih tua dariku dan dia adalah adik sepupu Abah mertuaku. Walau aku tidak tahu apa hubungannya dengan Ibuku akan berlanjut atau tidak.

"Bagaimana keadaan Mang Udin? Kapan Mang Udin nyukur brewok?" tanyaku. Aku nyaris tidak mengenalinya karena brewok dan kumisnya sudah dicukur. Pria yang tampan, cocok dengan ibuku yang cantik.

Mang Udin tidak menjawab, dia hanya tertawa. Matanya justru melihat ke arah Lilis yang berdiri di sampingku.

"Kapan kamu akan menikahi, Lili" tanya Mang Udin membuatku terkejut karena sudah mengetahui rencanaku menikahi Lilis. Berbeda dengan Ibuku yang tampak kaget mendengar pertanyaan Mang Udin kepadaku.

"Kamu mau menikah dengan Lilis? Itu tidak boleh. Lilis itu Kakak kandung Ningsih !" kata ibuku terkejut.

"Lilis bukan Kakak kandung Ningsih. Lilis itu keponakan Teh Imas, anak adiknya yang meninggal waktu Lilis berusia 1 tahun. Ahirnta Lilis dirawat Teh Imas yang kebetulan belum punya anak." kata Mang Udin menjelaskan. Rupanya Mang Udin sudah tau rencanaku menikahi Lilis.

"Och begitu.!" ibuku tidak melanjutkan perkataannya, mungkin kaget dengan kejadian luar biasa ini. Begitu banyak yang dia tidak tahu tentang anaknya. Masih perlu waktu bagi ibuku untuk mencerna dan memahami apa yang sebenarnya terjadi.

"Jang, Mang Udin mau bicara 4 mata dengan Ujang. " kata Mang Udin sambil melihat ke arah Ibuku.

"Bolehkan. Neng? " tanya Mang Udin meminta ijin ke ibuku. Ibuku hanya mengangguk lalu menggandeng Ningsih dan Lilis, mengajak mereka keluar kamar agar aku bisa bicara dengan Mang Udin 4 mata.

"Jang, yang nyelakain Mang Udin bukan ayahmu. Ada seseorang yang mau mengadu domba Mang Udin, Kang Karta dengan ayahmu. Untung kemarin kamu datang, sehingga orang yang mau mencelakai kami mengurungkan niatnya. Kamu harus terus hati hati. Walau orang itu sepertinya tidak mau mencelakaimu. Entah kenapa, itu masih kami seldiki." kata Mang Udin.

Aku saat ini terlalu letih untuk berpikir dan lebih memilih menjadi pendengar yang baik tanpa menyela apa yang dikatakan Mang Udin. Saat ini aku hanya ingin beristirahat dengan ditemani dua bidadari yang akan segera menjadi ibu buat anak anakku.

"Iya, Mang. Ujang akan selalu berhati hati." aku segera berpamitan pulang. Aku berjalan membuka pintu Kamar VIP., tempat Mang Udin dirawar.

"Kamu sudah mau pulang, Jang?" tanya Ibuku yang berdiri di depan kamar bertiga dengan Lilis dan Ningsih. Pasti mereka habis membicarakan hal serius, terlihat jelas dari wajah ibuku. Entah sejak kapan aku mulai bisa membaca garis wajah seseorang dan menebak apa yang mereka pikirkan. Mungkin setelah aku melakukan ritual di Gunung Kemukus dan mengalami kejadian yang luar biasa. Entahlah.

"Iya, Bu. Ujang pulang dulu, ya.!" kataku sambil mencium tangannya dan pipinya yang masih kencang dan halus. Mang Udin beruntung kalau bisa memperistri ibuku yang cantik seperti artis. Kata orang.

Sesampainya di rumah, aku langsung merbahkan tubuhku di ranjang empuk kamarku. Aku memilih memakai bantal dan guling Ningsih, sehingga aku bisa mencium aroma tubuh istriku. Tanpa dapat kutahan, aku tertidur nyenyak.

*******

Aku terbangun saat seseorang mengulum bibirku. Aku tetap memejamkan mata menikmati bibir hangat dan kenyal yang melumat bibirku. Bibir yang aku yakin adalah Ningsih. Ciumannya berhenti karena merasa aku tidak meresponnya.

"Ningsih, kok berenti nyiumnya?" tanyaku sambil membuka mata. Ternyata yang menciumku bukanlah Ningsih, melainkan Lilis yang memandangku dengan perasaan kecewa karena aku menyangka Ningsih yang menciumku.

"A Ujang masa gak bisa ngebedain bau Lilis dan Ningsih? A Ujang udah mulai gak adil." kata Lilis dengan nada suara yang terdengar sangat kecewa.

"Gak adil bagaimana? Kan Aa tadi gak liat Lilis, lagi pula ini kamar Ningsih, jadi A Ujang ngita yang nyium Aa, Ningsih." kataku bingung kenapa Lilis terlihat kecewa dengan kesalah pahaman yang sepele.

"Gak adil, sudah seminggu A Ujang gak pernah tidur di kamar Lilis. Padahal A Ujang sudah janji akan berlaku adil, semalam tidur di kamar Ningsih, semalam tidur di kamar Lilis." kata dengan mata yang berlinang.

Aneh, hqnya karena aku tidur d kamar Ningsih dan agak malas tidur di kamar Lilis, membuatnya menangis. Apakah sebesar itu kekecewaanya karena masalah sepele.

Tanpa banyak bicar, Lilis keluar meninggalkanku begitu saja. Reflek aku mengejar dan memegang pergelangan tangannya. Lilis berusaha menepiskan tanganku. Tapi aku tidak melepaskannya.

"Lepasin, Aa sudah gak sayang lagi sama Lilis." kata Lilis terisak.

Ningsih yang sedang duduk menonton TV melihat ke arahku dengan heran. Aku hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban dari tatapan mata Ningsih.

Aku menggendong Lilis dengan paksa. Lilis mengalungkan tangannya ke leherku tanpa ada penolakan saat aku gendong masuk kamarnya yang lebih luas dari pada kamar Ningsih.

Sebenarnya Lilis menyuruh Ningsih untuk pimdah ke bekas kamar Pak Budi, tapi Ningsih merasa takut, apa lagi mengingat kematian Pak Budi yang tidak wajar.

Sampai kamar aku meletakkan Lilis di atas spring bed empu. Lilis menark leherku dan mencium bibirku dengan mesra. Aku membalasnya dengan bergairah.

"Ngambeknya sudah?" tanyaku menggodanya setelah Lilis melepaskan ciumannya yang panas.

"A Ujang harus janji dulu!" kata Lilis tidak melepaskan pelukanku di lehernya.

"Janji apa?" tanyaku heran.

"Janji akan berlaku adil. Lilis rela jadi istri ke dua A Ujang, asal A Ujang adil." kata Lilis menatapku dengan sorot mata memohon.

Entah yang dimaksud adil oleh Lilis seperti apa? Kalau harus adil membagi perasaanku antara Ningsih dan Lilis, agaknya aku tidak bisa. Aku lebih mencintai Ningsih. Tapi kalau adil dalam membagi waktu, mungkin aku bisa.

"Iya, Aa janji." kataku sambil mencium bibir Lilis yang indah dan lunak. Aku menciumnya lebih lama dari yang tadi dilakukan Lilis kepadaku. Agar bisa mengalihkan pertanyaan pertanyaan yang tidak perlu dan memojokkanku.

Puas berciuman, aku membuka baju gamis Lilis hingga bugil. Indah sekali tubuhnya yang proposional. Perutnya yang tadi rata mulai terlihat membuncit karena kehamilannya. Dadanya semakin membesar. Menurutku tubuh Lilis menjadi lebih sexy. Kulitnya yang putih halus tanpa cacat.

Aku mencium leher jenjangnya dengan lembut berusaha membangkitkan birahi Lilis, setidaknya sebagai rasa terimakasih atas semua jasanya sehingga aku mendapatkan istri yang sangat kucintai sepenuh hati. Lidahku lincah menyusuri kulit lehernya yang jenjang dan halus.

"Aa, geliii.." Lilis memegang kepalaku.

Suara merdu Lilis membuatku semakin bersemangat memberinya kepuasan yang selama seminggu aku abaikan karena aku lebih memilih memanjakan Ningsih dengan perhatianku. Lidahku menyusuri dadanya yang indah. Kulitnya yang putih dan halus sehingga uratnya terlihat jelas membayang membuatnya semakin indah.

Perlahan aku menciumi setiap permukaan dadanya, lidahku menjilati kulitnya yang halus. Hingga ahirnya hinggap di putingnya yang sudah mengeras. Aku menghisapnya dengan lembut dan sepenuh hati.

"Ennak, A..." Lilis menekan kepalaku ke dadanya yang semakin membesar.

Puas bermain dengan sepasang dada indahnya, aku merayap turun ke selangkangannya yang bersih, tidak ada bulu yang menutupi keindahan memeknya. Karena Lilis tahu, aku paling suka dengan memek yang selalu bersih tanpa bulu. Sejak itu Lilis selalu rutin mencukur bulunya, sehingga lidahku bisa merasakan bekas cukuran yang agak kasar di lidahku. Berbeda dengan memek Ningsih yang benar benar tidak ditumbuhi bulu.

Lilis melebarkan pahanya, memberiku ruang agar bebas mengeksploitasi memeknya, organ terimtim yang hanya pernah dilihat oleh alm suaminya dan aku. Lidahku lincah bermain di lembah sempit yang semakin basah. Baunya yang alami sangat memabukkan, membuat birahiku membumbung semakin tinggi hingga puncaknya.

"Ampun, Aa... Lilis kelllluarrrrr..." Lilis mengangkat pinggulnya menyambut orgasme pertamanya. Tangannya menekan kepalaku semakin terbenam di selangkangannya.

Aku bangkit dan menarik nafas lega saat Lilis melepaskan kepalaku dari selangkangannya. Aku segera membuka seluruh pakaianku, melepaskan kontolku dari kurungannya. Tegak dan menjulang perkasa siap menaklukkan memek Lilis yang sudah meregang terbuka.

Lilis bangkit melihat kontolku dan melahapnya dengan rakus, tidak memberiku kesempatan melakukan penetrasi secepatnya. Lidahnya memanjakan kontolku dengan segenap perasaanya. Bukan lagi sekedar nafsu, tapi juga cinta yang diserahkannya sepenuh jiwa. Karena kontolku yang akan membuahi rahimnya yang akan menampung benihku. Hingga ahirnya aku menyerah kalah. Aku tidak rela benihku mengotori mulut Lilis.

"Sudah, sayang. Aa gak kuat...!" kataku mendorong wajahnya menjauh dari kontolku.

"Aa mau di atas apa di bawah?" tanya Lilis membuatku heran. Tidak biasanya dia bertanya begitu. Kadang dia yang mendorong tubuhku lalu menunggangiku. Kadang dia menarikku agar naik ke atas tubuh imdahnya.

"Aa penven di atas..!" kataku tersenyum sambil mengusap rambut Lilis yang panjang dan lembut.

"Iya, A..!" Lilis celentang dengan kaki mengangkang lebar sehingga belahan memeknya agak terbuka siap menerima hujaman kontolku.

Aku merangkak, kontolku perlahan menembus memeknya yang sudah sangat basah. Perlahan aku memacu tubuh calon istriku yang bahagia menerima kehadiranku dalam pelukannya. Kami berciuman mesra.

"Aa harus janji, hanya akan tetap menjadi milik kami berdua. Hanya ada Lilis dan Ningsih di hati dan hidup A Ujang. Tidak boleh ada wanita lain." kata Lilis menatapku yang sedang memacu tubuhnya.

"Iya, hanya ada Lilis dan Ningsih di hidup, Aa." kataku sambil mengulum bibirnya, menghindar dari tatapan matanya yang menatap mataku. Aku teringat dengan Anis, aku sudah menghianati istriku dan calon istriku. Harusnya pernikahanku dengan Anis tidak pernah terjadi kalau saja aku bisa menolak tawaran Anis untuk berpacu dalam birahi.

"Aa, Lilis kelllluarrrrr, lagiiii.." Lilis memeluk tubuhku dengan erat, kakinya menjepit pinggangku. Tubuhnya menggeliat diombang ambingkan badai kenikmatan yang dahsat.

"Enak sayang?" tanyaku sambil membelai pipinya yang halus dan harum.

"Ennnak banget. Aa, boleh gak Lilis di atas?" tanya Lilis memohon. Aku benar benar kaget dengan kelakuan lilis yang aku anggap aneh. Ini bukan Lilis yang biasanya. Dia selama ini cenderung mendominasi. Ada sesuatu yang sepertinya disembunyikan oleh Lilis. Tapi apa.

Aku bangkit dari atas tubuh Lilis, lalu aku rebah di samping Lilis yang segera bangkit naik ke pangkuanku. Tangannya meraih kontolku yang basah oleh cairan memeknya. Perlahan kontolku kembali amblas hingga dasar memek Lilis.

Aku menatap wajah cantik Lilis, mencari kejanggalan atau sesuatu yang disembunyikannya. Yang aku temukan hanyalah wajah cantik yang sedang merasakan kenikmtan saat kontolku mengocok memeknya. Aku tidak bisa menekan sesuatu yang mencurigakan.

"Aa ngeliatin Lilis mulu, Lilis jadi malu, A.. Lilis binal, ya?" tanya Lilis , nelihatku yang terus menatap wajah cantiknya.

"Lilis cantik, sangat cantik. Seperti mimpi bisa memiliki Lilis seutuhnya. " kataku antara berbohong dan jujur. Jujur, aku sangat beruntung memilikinya. Bohong, karena aku mulai mencurigainya.

"Lilis, A Ujang kelllluarrrrr....! " kataku, setelah tidak mampu bertahan dari ribuan kenikmatan. Kontolku menyemburkan berjuta benih yang tertumpah di mulut rahim Lilis.

"Lilis juga kelllluarrrrr lagiii, Aa...!" Lilis menjerit lirih, tangannya mencengkeram dadaku. Lumayan sakit.

"Teh, Ningsih boleh masuk, gak? ?" tanya Desi dari luar kamar. Sesaat kami terdiam merasakan sensasi detik detik berlalunya orgasme yang dahsat.

"Masukan, aja Ning...!" kata Lilis sambil menindih tubuhku. Bibirnya mencium bibirku dengan mesra.

Ningsih masuk melihat tubuh kami yang masih bersatu menikmati sisa sisa orgasme yang dahsat. Aku hanya bisa melirik ke arah Ningsih yang berdiri di pintu.

"Ada yang nelpon A Ujang, namanya Gobang...!" kata Ningsih membuatku sangat terkejut. Tanpa sadar aku mendorong tubuh Lilis yang berada dalam pelukanku.

Bersambung...,..Sudah, sayang. Aa gak kuat...!
 
Chapter 2 : Gobang si Jago Tua

Pov Gobang.

Gobang terpaku melihat anaknya tersungkur jatuh terkena pukulan di ulu hati dan pelipisnya. Terpaksa Gobang menjatuhkan anaknya dengan keras. Dia berburu dengan waktu untuk menyelamatkan sahabat sekaligus Kakak iparnya Karta, sebelum Karta mati kehabisan darah. Walau tonggak kayu runcing itu hanya menyerempet dan tidak mengenai bagian vital. Tapi tetap saja Karta akan mati kehabisan darah kalau tidak segera ditolong. Kalau hal itu terjadi, Gobang tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya.

Karta adalah sahabat terbaik yang dia punya. Kalaupun sekarang Karta memusuhinya, karena dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Gobang sengaja menutup rapat sebuah rahasia besar yang bisa membahayakan jiwanya dan juga membahayakan jiwa orang orang yang dicintainya.

Gobang bergerak cepat memberi pertolongan pertama, dia mengambil daun yang dikenal dengan nama babadotan ( sunda ), meremas sebanyak banyaknya lalu disumpalkan ke luka di perut Karta, Gobang lalu membuka bajunya disobeknya. Lalu digunakan mengikat luka Karta agar darahnya tidak terus mengalir.

Hatinya memaki panjang melihat anak buah Karta tidak ada yang berusaha menolong Karta saat dia bertarung dengan Jalu anak lelaki semata wayangnya.

"Cepat kalian bawa Karya dan si Jalu ke RS, kalau ada apa apa dengan mereka, kalian akan celaka." kata Gobang kepada anak buah Karta yang bengong melihat Gobang berusaha menyelamatkan Bosnya.

Mendengar ancaman Gobang, mereka segera mengangkat Karta dan Jalu dan membawanya ke depan. Di depan mereka bingung akan membawa Karta dan Jalu menggunakan apa. Mereka ke sini dengan memakai motor.

"Kalian naik mobil, motor kalian aku yang bawa." kata Gobang sambil memberikan kunci ke anak buah Karta yang dia tahu pasti bisa menyetir.

Gibang melepas kepergian mereka dengan perasaan was was. Bagaimana kalau Karta tidak bisa diselamatkan? Tanpa berpikir panjang Gobang mengikuti dari kejauhan. Memastikan mereka selamat sampai RS.

Gobang menarik nafas lega dokter sudah mengambil alih Karta dan Jalu anaknya. Mereka sudah dalam perawatan orang yang tepat dan tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan dia juga sempat melihat kondisi Udin yang mulai membaik.

******

Pov Narsih

Suara telpon mengagetkan Narsih dari lamunan. Narsih segera mengangkat telpon. Terdengar suara yang sangat dikenalnya, mengabarkan Karta suaminya masuk RS. Tanpa sadar gagang telpon yang sedang dipegangnya terlepas.

Kang Karta suaminya dalam kondisi kritis di RS. Tanpa berpikir panjang, Narsih segera berangkat ke RS, Narsih tidak sadar sendal yang dipakainya berlainan. Bahkan rambutnya yang yang kusut setelah berhubungan sex dengan Ujang keponakannya belum sempat dirapikan. Pikirannya hanya tertuju ke RS tempat suaminya sedang dalam masa kritis.

Narsih mengeluarkan motor yang sangat jarang dipakainya. Selama ini Narsih lebih nyaman naik Angkot. Tapi sekarang kondisinya darurat, dia harus secepatnya sampai RS atau dia akan menyesal seumur hidupnya karena tidak sempat melihat Kang Karta untuk yang terahir kalinya.

Sepanjang jalan Narsih berdoa agar Kang Karta bisa diselamatkan. Dia belum siap untuk kehilangan suami yang sangat dicintainya. Walau seumur hidupnya Narsih tidak bisa mencintai Kang Karta sebagai suami. Narsih mencintai Kang Karta sebagai seorang kakak, tidak lebih.

Sampai RS beryepatan dengan suster yang keluar dari pintu ruang operasi.

"Keluarga Bapak Sukarta?" tanya Suster.

"Saya, Sus.!" jawab Narsih dengan suara bergetar. Narsih berusaha menegarkan hatinya untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk sekalipun.

"Kondisi Pak Sukarta sudah bisa kami atasi, Bu. Pak Sukarta sudah bisa melewati masa kritisnya, Bu. Sungguh luar biasa stamina dan daya juangnya." kata Suster membuatku lega.

Setelah berusaha untuk tegar menghadapi situasi terburuk, ahirnya Narsih lega mendengar keadaan Kang Karta yang bisa melewati masa kritis.

Kang Karta dipindahkan ke ruang rawat inap. Narsih sempat protes kenapa Kang Karta langsung dipindahkan ke ruang rawat inap bukan ke IGD seperti pasien yang dalam keadaan kritis. Setelah mendapatkan keterangan dokter bahwa kondisi Kang Karta sangat stabil, Narsih menyetujuinya.

******

Aku segera mengangkat telpon dari Gobang atau ayahku. Entah dari mana dia mendapatkan nomer telpon rumah ini, sesuatu yang sangat mencurigakan. Dia tahu setiap detil kehidupanku sedangkan pengetahuan tentang lawan lawanku nol besar.

"Hallo....hallo.....hallo, siapa ini?" tanyaku, namun tidak ada jawaban walau aku sudah berlang kali bertanya. Ahirnya aku menutup telpon.

Siapa orang itu? Apa benar si Gobang. Tapi kenapa dia hanya dia tidak bicara apapun. Kembali telpn berbunyi dan aku langsung mengangkatnya. Suara berat seorang pria menyapaku.....

"Gunung Kemukus? " tanyaku heran. Belum sempat aku bertanya detil, orang itu sudah mematikan telponnya.

"A Ujang mau ke Gunung Kemukus lagi,?" tanya Ningsih dengan nada suara cemburu. Ningsih duduk di depanku, pandangan matanya penuh selidik.

"A Ujang mau ke mana?" tanya Lilis yang baru keluar dari kamar dengan hanya memakai gaun tidur warna putih yang transparan sehingga sama samar bagian dalam tubuhnya terlihat.

"A Ujang mau ke Gunung Kemukus, " Ningsih menjawab dengan suara yang meninggi. Kecumburuannya berunah menjadi kemarahan. Matanya mulai berkaca kaca.

"Bukan begitu, tadi kan Ningsih yang ngangkat telpon dan tahu yang nelpon itu lelaki. Dia cuma bilang Gunung Kemukus, lalu telponnya mati." kata berusaha menerangkan kepada dua wanita yang menatapku marah.

"Benar begitu, Sih?" tanya Lilis ke Ningsih sambil duduk di sampong Ningsih yang mulai terisak menangis. Perlahan Ningsih mengangguk sebagai jawaban.

"Siapa yang nelpon A Ujang?" Lilis memulai interogasinya.

Aku menatap dua bidadari yang duduk di hadapanku. Aku seperti seorang terdakwa yang siap menerima vonis bersalah.

"Siapa Gobang, A?" tanya Lilis, tatapannya berubah menjadi tajam.

Tentu saja mereka tidak mengenal nama Gobang, karena nama ayahku yang tertera di Kartu Keluarga adalah Ugan. Gobang adalah nama julukan yang dipilih olehnya. Gobang atau di Sunda disebut juga Kolewang adalah senjata sejenis golok yang panjangnya lebih dari 40 cm. Gobang, adalah nama yang menurutnya sangat keren dan menakutkan lawan lawan yang mendengarnya. Begitu cerita yang didengarnya dari Mang Karta kenapa ayahnya memilih nama Gobang.

"Dia teman Mang Karta?" itulah satu satunya jawaban yang paling masuk akal, menurutku. Aku tidak mungkin mengatakan hal sebenarnya atau belum waktunya Ningsih dan Lilis tahu hal sebenarnya.

"Gobang bicara apa saja?" tanya Lilis berusaha mwnguasai keadaan sambil memeluk pundak Ningsih yang mulai bisa menguasai diri.

"Kalau A Ujang mau ke Gunung Kemukus dengan Gobang. A Ujang bisa berangkat." kata Lilis membuatku terkejut, sangat di luar perkiraanku. Lilis yang aku kenal pasti akan marah kalau berkaitan dengan wanita. Gunung Kemukus sangat identik dengan sex dan zina. Lilis sudah mengultimatum bahwa terahir kali aku ke Gunung Kemukus dengan Bi Narsih dan tidak boleh kembali melakukan ritual dengan wanita lain. Tapi kenapa sekarang justru memberiku lampu hijau. Kecurigaanku kembali muncul.

"Tapi, Teh...!" Ningsih tidak meneruskan perkataanya, karena Lilis menempelkan jari telunjuknya di bibir basah Ningsih.

"Sih, kita tidak akan pernah bisa lepas dari Gunung Kemukus. Kita juga tidak mungkin melakukan ritual, karena hati dan jiwa kita sudah kita serahkan ke A Ujang. Apa Ningsih mau melakukan ritual dengan pria lain di Gunung Kemukus?" tanya Lilis menatap Ningsih. Ningsih langsung menggeleng keras.

"Satu satunya cara kita lepas dari kewajiban ritual di Gunung Kemukus adalah .membiarkan A Ujang tetap melakukan ritual di Gunung Kemukus. Itu adalah tumbal atau pengorbanan yang kita lakukan karena telah mendapatkan apa yang kita inginkan." kata Lilis menerangkan panjang lebar ke Ningsih.

Ningsih terdiam, matanya menatapku. Entah apa yang dipikirkannya, aku gagal menyelami keinginannya. Aku tidak mau melukai hatinya yang lembut. Aku terlalu mencintainya dan tidak mau kehilangan dirinya.

"Teh Lilis tahu, kamu juga pengen dicolok memeknya, kan?" kata Lilis berusaha mencairkan keadaan yang mulai tegang. Lilis memberiku insyarat yang langsung aku mengerti.

Aku bangun dan mengangkat tubuh Ningsih yang pura pura jual mahal. Badan Ningsih lebih berat dibandingkan Lilis.

"Bawa ke mana, Lis?" tanyaku.

"Ke kamar Lilis aja." kata Lilis berjalan mendahuluiku membuka pintu kamar.

Aku membawa masuk Ningsih ke kamar Lilis dengan spring bednya lebih besar cukup menampung 4 orang. Aku meletakkan tubuh Ningsih pelan pelan.

Ningsih menarikku sehingga aku menindih tubuhnya yang semok. Kami berciuman mesra dan lama.

"A, jangan pernah ninggalin, Ningsih ya !" kata Ningsih menatapku dengan segenap perasaannya. Aku hanya mengangguk. Aku tidak akan pernah meninggalkan wanita yang sangat aku cintai ini. Tapi aku tidak bisa mengucapkannya di hadapan Lilis, itu akan menyakiti Lilis kalau dia tahu aku lebih mencintai Ningsih.

Aku membuka pakaian Ningsih hingga bugil. Aku sangat menyukai bentuk tubuhnya yang semok dan agak gemuk.

Dadanya terlihat semakin besar. Aku meremasnya perlahan lalu menjilati setiap lermukaannya yang halus dan putih sehingga urat uratnya membayang jelas.

Tiba tiba suara bel terdengar keras mengagetkan kami. Lilis memberiku isyarat agar meneruskan kegiatanku yang sedang mencumbu Ningsih. Dengan tergesa gesa Lilis memakai baju gamis dan jilbab syar'i nya lalu meninggalkan kami yang sedang asik bercumbu.

Baru saja aku menjilati memek Ningsih, Lilis muncul dengan tergesa gesa.

"A, ada Desy. Aa di suruh ke RS, " kata Lilis membuatku sangat terkejut.

*******

Tubuh Gobang bergerak cepat melakukan gerakan gerakan silat Cimande yang sudah dilatihnya lebih dari 40 tahun. Tepatnya sejak dia berusia 7 tahun dan kini usianya sudah 50 tahun. Tangan dan kakinya bergerak lincah dan bertenaga.

Selesai berlatih tangan kosong, Gobang mengambil sebilah Kolewang atau di Betawi dikenal dengan nama Gobang, itulah nama yang dipakainya untuk membuat takut setiap lawan yang dihadapinya. Mereka sudah lebih dahulu takut mendengar nama Gobang sebelum berhadapan langsung.

Gobang menarik senjatanya keluar dari sarungnya. Tajam dan mengerikan apa lagi ada noda noda darah yang sudah menghitam dan tidak bisa hilang walau dia sudah berusaha membersihkannya.

Kembali Gobang bergerak menggunakan jurus Pepedangan yang legendaris dan diciptakan oleh Mbah Khair. Jurus yang menjadikannya sebagai jawara paling ditakuti. Hanya ada satu orang yang pernah mengalahkanny dan hampir membuatnya kehilangan nyawa kalau saja Karta tidak menolongnya. Ahirnya Gobang dan Karta bisa mengalahkan orang itu berdua mereka mengeroyoknya.

Gobang terus berlatih sambil membayangkan sedang bertempur dengan orang itu. Seluruh otot di Tubuhnya mengembang. Keringat sudah membasahi sekujur tubuhnya. Gerakannya terhenti saat seorang wanita cantik berusia sekitar 40 tahun muncul dan bertepuk tangan.

"Semakin tua Kang Gobang semakin gagah saja. Tua tua kelapa." kata wanita cantik itu memandang kagum.

"Kamu juga, di usia 40 tahun kamu masih tetap cantik mengalahkan wanita berusia 30 tahun. Tubuhmu juga masih tetap kencang dan menggiurkan." kata Gobang membalas pelukan wanita cantik itu tanpa merasa risih dengan tubuh Gobang yang basah oleh keringat.

Gobang melepas pelukannya, lalu memasukkan kolewang ke dalam sarungnya. Matanya menatap wajah cantik yang berada di hadapannya. Wajah yang sangat mirip dengan artis Ayu Azhari.

"Kamu membawa kabar apa, Dhea?" tanya Gobang.

Bersambung.....


Semoga cerita ini busa menghibur para pembaca sambil mengisi waktu beristirahat anda.

Mohon masukannya, menurut para pembaca, plot tunggal atau hanya dalam sudut pandang Ujang seorang atau ada tambahan karakter lain yang ikut bercerita? Makasih atas masukannya.
 
Chapter 3 : Dhea Sang Pengawas

"A ada yang nyari, katanya sangat penting!" kata Lilis kepadaku yang sedang asik menjilati memek indah istriku Ningsih.

"Bilang aja, A Ujang lagi istirahat." kataku enggan melepaskan menikmatan yang tersaji di hadapanku, siap santap.

"Lilis sudah bilang begitu. Tapi katanya penting banget." kata Lilis membuatku terpaksa bangun.

Aku bisa melihat kekecewaan di mata istriku Ningsih yang berusaha disembunyikannya.

"Maafin Aa ya, Sayang.!" kataku berusaha menghibur Ningsih yang harus melepaskan kenikmatan yang gagal diraihnya.

"A Ujang, gak salah." kata Ningsih berusaha untuk mengerti.

Aku segera keluar kamar menemui orang yang mencariku. Ternyata salah satu anak buah ayahku yang kulihat di lokasi pertarunganku dengan ayahku. Kedatangannya sangat membuatku terkejut dan juga ketakutan. Apa mungkin yelah terjadi sesuatu dengan Mang Karta dan Mang Udin? Tapi kalau terjadi sesuatu terhadap salah satu di antara mereka, pasti sudah ada telepon yang memberi tahukannya. Tidak perlu datang langsung yang akan memakan waktu lebih lama. Pasti ada masalah lain.

"Ada apa?" tanyaku langsung pada tujuan.

"Saya menemukan ini di markas, Kang !" kata pria itu memberikanku sepucuk surat di dalam amplop.

"Surat untuk siapa?" tanyaku heran memerima surat tersebut.

"Untuk Kang Jalu," kata pria itu.

Aku membuka amplop dan membaca surat yang ditujukan untukku masih tersegel, berarti belum dibuka. Ternyata isinya selembar kertas bertuliskan :

Kutunggu kamu di Gunung Kemukus. Ingat kombinasi yang sudah aku berikan kepadamu.

Tertanda : ayahmu.


Dan satunya lagi sebuah tiket Bis malam jurusan Solo. Apakah ini juga jebakan seperti yang ditujukan ke Mang Karta dan Mang Udin?

Lalu kenapa harus bertemu di Gunung Kemukus? Ada rahasia apa lagi di Gunung Kemukus? Sebuah jebakan barukah? Entahlah, hidupku semakin rumit. Aku terjebak dalam sebuah labirin dan aku belum bisa keluar dari dalamnya. Banyak pintu yang aku lewati tetapi aku selalu kembali ke tempat yang sama.

"Kalau begitu saya pulang dulu, Kang?" kata pria itu berpamitan kepadaku.

Aku melepas kepergian pria itu sampai pagar halaman depan, sampai orang itu hilang dalam pandanganku. Aku kembali masuk.

"Loh, tamunya mana A?" tanya Lilis yang membawa minuman ke ruang tamu.

"Sudah pulang." kataku sambil merangkul pundak Lilis.

"Jangan begini, A. Nanti gelasnya jatuh. Sana, Ningsih masih nungguin. Kasian memeknya sudah basah. Hihihj." Lilis tertawa geli membayangkan Ningsih yang masih telanjang menunggu kehadiranku.

Ingat akan hal itu membuatku tertawa geli. Kasian istriku yang telanjang pasti kedinginan di kamar Lilis yang ber AC. Aku seger masuk kamar Lilis, kulihat Ningsih menutup tubuhnya dengan selimut tebal.

"Kok sebentar amat, A?" Ningsih tersenyum menyambut kedatanganku, selimutnya dibuka sehingga tubu bugilnya terlihat menggiurkan.

"Iya, cuma ngasih surat." katak membuka seluruh pakaianku siap melaksanakan kewajibanku sebagai suami yang bertanggung jawab.

Ningsih langsung berjongkok di selangkanganku. Tanganya membelai kontolku yang baru stengah tegang. Lidahnya lincah menggoda kontolku yang secara perlahan menggeliat karena aliran darahku memenuhinya hingga ahirnya menegang sempurna mempertontonkan keperkasaannya.

Melihat kontolku yang sudah tegang sempurna, Ningsih mendorongku rebah di spring bed empuk yang selalu harum dan bersih. Ningsih merangkak naik ke atas tubuhku, kontolku dalam genggaman tangannya menuju lobang memeknya yang sudah sangat basah.

"A, ennnak...!" Ningsih tersenyum bahagia saat kontolku bersarang di dalam memeknya yang hangat dan sebentar lagi anakku akan keluar lewat lobang memeknya. Kadang aku membayangkan anakku akan keluar lewat lobang sempit yang selalu memberiku kenikmatan. Lobang yang sedang aku masuki akan meregang sangat besar saat anakku keluar nanti.

Ningsih memeluk tubuhku dengan manja, bibirnya menciumi leherku dengan pinggul yang tetap bergoyang memompa kontolku menimbulkan riak riak kenikmatan yang semakin memabukkan. Tanganku meremas pantanya yang besar dan padat.

"Ennnak, Ning. Kamu makin pinter bikin A Ujang keenakan." kataku berbisik.

"Ningsih bahagia bisa jadi istri, A Ujang." kata Ningsih tidak menggubris perkataan yang mengandung rayuan dariku. Mungkin Ningsih menganggapnya bukan sebagai rayuan. Karena aku sendiri tidak pernah bisa mengucapkan kata kata rayuan. Kadang aku heran, betapa mudahnya aku bisa menikmati tubuh para wanita yang aku kenal.

"A, Ningsih kelllluarrrrr...!" tanpa disadari, Ningsih menggigit dadaku saat badai orgasme melandanya. Tubuhbya menggeliat tanpa dapat dikendalikan.

Aku meringis menahan sakit, untung dadaku tidak berdarah. Setelah Ningsih mulai melemas setelah badai orgasmenya selesai, aku membalikkan tubuh istriku ke samping dan sekarang aku berada di atas mengambil alih kendali.

Perlahan aku mulai memompa tubuh istriku dengan lembut dan berirama. Gerakan yang disertai rasa cinta agar wanita yang aku cintai bisa merasakan kenikmatan yang maksimal.

Kami berciuman lama mengiringi kenikmatan yang mengalir ke stiap pembuluh darah kami yang mengalir ke sel sel saraf diotak, rasa nikmat yang dikirim kembali ke setiap sel sel yang tersebar di tubuh.

"Ampun A, enak amat kontol A Ujang..." kata Ningsih menggerakkan pinggulnya menyambut hujaman kontolku di dasar terdalam memeknya.

Lama kami saling berpacu memadu kasih dan memadu birahi. Pertemuan kontolku dan memeknya berpadu dengan dengus nafas kami yang semakin tidak beraturan. Kami berlomba menuju puncak kenikmatan yang semakin dekat.

"A, Ningsih mauuu kelllluarrrrr lagi...?" kata Ningsih mengangkat pinggulnya menyambut hujaman kontolku himgga terbenam sampai dasar memeknya.

"Aa juga kelllluarrrrr..!" kataku menekan kontolku sekuatnya diiringi semburan pejuhku ke dasar memeknya.

Kami berpelukan bersama mengarungi puncak kenikmatan yang tiada tara membawa kami ke langit ke tujuh.

Setelah badai orgasme reda, aku merebahkan tubuhku ke samping Ningsih yang langsung memelukku dengan mesra.

Nafasku mulai teratur, kulihat Ningsih memejamkan matanya. Aku mengelus pipinya yang halus. Tidak ada respon sama sekali. Nafasnya teratur, bibirnya tersenyum tipis. Ternyata Ningsih tertidur puas.

Perlahan aku mengangkat tangan Ningsih yang memelukku, lalu aku bangun pelan pelan. Aku teringat untuk memeriksa tulisan dalam sutat yang dikirim ayahku. Aku ingin menyamakan tulisannya dengan suratnya yang dulu yang tersimpan rapi di dalam kotak. Kotaknya tersimpan dengan aman di dalam brakas besi peninggalan Pak Budi.

Aku segera memakai pakaianku yang berserakan di lantai lalu aku berjalan membuka pintu kamar. Aku menutup pintu pelan pelan agar Ningsih tidak bangun.

Di kamar Pak Budi aku melihat Lilis menutup pintu brankas Pak Budi, dia tidak menyadari kehadiranku yang melihatnya dari depan pintu kamar yang tidak tertutup. Entah apa yang dicarinya dari brankas besi yang sekarang sudah menjadi milikku dan dia mendapatkan nomer kombinasi kunci brankas dari man? Setahuku dia tidak tahu nomer kombinasi brankas milikku.

******

Aku duduk di kursi bis yang.akan membawaku ke Solo. Kursi sampingku masih kosong, masih 15 menit lagi bis baru akan berangkat. Aku memilih naik lebih dulu sambil mengistirahatkan semua indraku yang sudah lelah.

"Permisi Kang, boleh saya duduk di dekat jendela? Itu kursi saya." suara merdu seorang wanita menyadarkanku. Aku seperti mengenal suaranya. Suara yang tidak asing buatku. Aku membuka mata dan benar.

"Bu Dhea?" tanyaku terkejut melihat Bu Dhea berdiri menatapku. Apakah ini sebuah kebetulan atau sesuatu yang sudah direncanakan sehingga Bu Dhea berada di bis yang sama yang akan membawaku ke Solo. Aku lebih yakin ini semua sudah direncanakan.

Aku memberi jalan Bu Dhea duduk di sampingku dekat dengan jendela. Aku mencium parfumnya yang lembut, parfum mahal tentunya. Aku buta sama sekali tentang parfum. Satu satunya parfum yang aku tahu adalah parfum yang biasa dipakai Ningsih dan Lilis, itupun hanya dipakai kalau akan berpergian.

Tapi bukan parfumnya yang menjadi pusat perhatianku. Melainkan pakaian yang dipakai Bu Dhea. Sangat jauh berbeda, Bu Dhea yang selalu memakai kemeja dipadukan dengan blazer warna hitam dan rok selutut kini memakai kaos berwarna biru ditutupi jaket berwarna hitam dan celana jeans yang juga berwarna hitam.

"Bu Dhea mau ke Solo juga?" tanyaku heran atau lebih tepatnya curiga. Semuanya pasti sudah direncanakan sehingga kami naelik bis yang sama dengan tujuan yang aku yakin juga sama.

Kalau benar Bu Dhea akan pergi ke Solo untuk suatu urusan, Bu Dhea bisa berangkat dari Pulogadung yang lebih dekat dari rumahnya.

"Iya, ke tempat yang Kang Ujang tuju." bisik Bu Dhea sehingga nafasnya yang hangat menerpa kulit yelingaku dan membuatku merinding geli.

Tidak ada jawaban yang bertele tele. Apakah Bu Dhea dikirim seseorang untuk mengawasiku? Seperti saat dia menemani Ningsih ke Gunung Kemukus. Lalu siapa orang yang menyuruh Bu Dhea? Waktu menemani Ningsih, Bu Dhea disuruh Pak Budi. Lalu sekarang siapa yang menyuruh Bu Dhea untuk mengawasiku. Apa ayahku yang menyuruhnya?.

"Bu Dhea disuruh Gobang untuk mengawasiku, bukan?" tanyaku tanpa basa basi.

"Pertanyaan yang mudah ditebak, bukan?" Bu Dhea tersenyum, tangannya mengusap pahaku.

"Untuk apa dia sampai mengirim Bu Dhea mengawasiku? Apa Bu Dhea selama ini bekerja untuknya?" tanyaku menatap tajam wanita cantik yang duduk di sampingku selama 12 jam ke depan.

"Bukan untuk mengawasimu, tapi untuk menuntunmu menemukan jawaban dari rahasia yang terpendam dan juga menuntunmu untuk meraih puncak yang tidak bisa didapatkan ayahmu." kata Bu Dhea lembut.

"Katakan rahasia itu?" kataku berbisik karena bangku di bis mulai penuh dan aku tidak mau ada yang mendengar. Bisa jadi yang mendengar adalah lawanku. Aku merasa gerak gerikku sekarang selalu diawasi seseorang yang aku tidak tahu ada di mana dan siapa. Tapi mereka ada di sekelilingku.

"Aku sendiri belum tahu rahasia besar itu, seperti kamu. Aku hanya ditugasi menuntunmu untuk mengetahui rahasia yang tersembunyi." kata Bu Dhea menghentikan ucapannya saat kondektur bis membagikan air mineral gelas dan snack ke para penumpang bis.

Perlahan bis mulai berjalan meninggalkan terminal.

*******

Pov Gobang

Gobang menatap album photo yang sudah mulai memudar warnanya. Photo Kokom satu satunya eanita yang pernah dia nikahi. Ada juga photo si Jalu dan ke dua adiknya ketika mereka masih kecil.

Belasan tahun dia bersembunyo dari kejaran orang itu agar keluarganya tidak terusik, hingga ahirnya dia mendengar kabar keluarganya mulai diawasi. Dan orang itu mulai menyadari kematiannya yang janggal dan pada ahirnya mereka tahu dirinya masih hidup.

Gobang terpaku menatap photo Kokom istrinya. Bukan, tapi mantan istri. Sudah belasan tahun semua orang menganggap dirinya sudah mati, belasan tahun dia tidak memberi nafkah lahir dan batin, artinya talak sudah jatuh dengan sendirinya.

"Aku mencintaimu dan kamu adalah satu satunya wanita yabg aku cintai. Maafkan aku yang sudah menghianatimu." Gobang mendesis lirih.

Pandangannya beralih ke photo anaknya Jalu atau lebih suka dipaggil Ujang. Sekarang dia sudah besar dan sebentar lagi akan mempunyai anak. Tidak percuma dia memberinya nama Jalu, anak itu sudah tumbuh menjadi pria jantan perkasa yang mampu menghadapinya dalam sebuah pertarungan terbuka. Satu satunya kelemahannya dia masih hijau dan bertarung dengan terburu buru ingin secepatnya menjatuhkan lawannya. Sama seperti Karta.

Karta, Gobang ragu bisa mengalahkan sahabatnya itu kalau saja Karta bsa mengendalikan emosinya. Masih seperti dulu, Karta sangat mudah terpancing emosinya, dia pasti bisa mengalahkannya. Sifat Karta menurun ke Jalu, mungkin karena kedekatan emosi mereka.

Ya, sejak Jalu masih kecil Gobang selalu menjaga jarak dengan anaknya. Dirinya menjadi sosok yang menakutkan untuk anaknya. Dia beranggapan dengan cara seperti itu Jalu akan tumbuh menjadi kuat dan tangguh.

Pada saat itulah kedekatan Jalu dengan Karta terjalin. Karta yang lembut dan merasa berhutang budi kepada mertuanya, memberikan kasuh sayangnya yang murni ke Jalu. Dia berubah menjadi sosok ayah yang sangat dihormati ole Jalu. Anak itu berusaha sekuat tenaga meniru Karta, bukan meniru dirinya sebagai ayahnya.

"Kang, aku sudah berhasil mengumpulkan orang orang kita yang terpecah. Kita sudah siap melakukan perang terbuka." kata seorang pria berwajah sangar yang baru saja datang mengusik ketenangannya.

Gobang menatap wajag pria yang seusia dengannya. Pria yang sudah teruji kesetiannya sejak dia masih merajai preman bersama dengan Karta. Pria yang ikut bersembunyi dan mengatur sandiwara kematiannya. Bahkan pria ini pula yang mempersiapkan rencana kembalinya ke Jakarta.

Bersambung......
 
Chapter 4 : Bu Dhea Pengawas atau Budak Sex?


Ahirnya sampai juga di Solo setelah 12 jam berada di bis dan hanya turun saat makan malam. Lega sekali aku bisa berjalan dan merentangkan badanku agar otot otot di tubuhku rileks.

"Kita nyari penginapan dulu, istirahat dan mandi. Malam Jum'at Pon masih dua hari lagi." kata Bu Dhea berusaha mengambil alih rencanaku untuk menemui ayahku di Gunung Kemukus.

"Aku harus menemui seseorang di Gunung Kemukus." kataku berusaha menolak ajakan Bu Dhea.

"Kalau yang kamu maksud Kang Gobang ayahmu, dia tidak akan datang ke sana. Aku diutus untuk mengantarmu menemui seseorang di Gunung Kemukus." kata Bu Dhea tersenyum. Ditariknya ke arah pengemudi becak yang seperti memaksa kami untuk naik becaknya.

"Ke penginapan xxx, Pak
" kata Bu Dhea, mendahuluiku naek becak. Rupanya Bu Dhea hapal seluk beluk kota Solo. Terbukti dia menyebutkan sebuah nama hotel.

Terpaksa aku mengalah karena mungkin benar apa yang dikatakan Bu Dhea bahwa ayahku yang mengirmnya untuk mendampingiku.

"Aku seperti gigolo yang nemenin tante check in di hotel." kataku berbisik ke dekat telinga Bu Dhea saat becak yang kami tumpangi berjalan.

"Gigolo yang beruntung karrena dapet tante secantik dan sesexy Dhea." kata Dhea tidak mau kalah. Sekilas dia mencium pipiku.

Hampir 15 menit, ahirnya becak yang kami tumpangi sampai Penginapan yang dituju. Bentuknya seperti sebuah rumah besar peninggalan belanda yang disulap menjadi sebuah penginapan. Suasana sekelilingnya masih terlihat asri.

"Bu Dhea, kenapa tidak ngasih kabar mau datang?" tanya seorang pria tua yang tergopoh gopoh menghampiri kami. Dengan sigap tangannya mengambil tas yang kami bawa.

"Maaf Pak, saya datang mendadak tanpa rencana." kata Bu Dhea tersenyum kepada pria tua itu.

Kami masuk ke dalam penginapan. Resepsionis langsung menyambut kehadiran kami dengan wajah terkejut. Seorang gadsi yang terlihat masih muda.

"Maaf Bu, saya gak tau Bu Dhea mau datang." kata gadis itu. Ternyata Bu Dhea sudah dikenal di sini. Apa dia sering ke sini? Atau jangan jangan dia juga pelaku Ritual Sex di Gunung Kemukus.

"Gak apa apa, och ya pak, tasnya bawa ke kamar saya." kata Bu Dhea

"Kalau tas mas nya taruh dimana, Bu? " tanya pria tua yang masih belum beranjak dari tempatnya.

"Bawa ke kamar saya juga." kata Bu Dhea singkat.

Pria tua itu melirikku heran. Dia pasti menuduhku sebagai Gigolo yang sengaja dibawa dari Jakarta ole Bu Dhea untuk memuaskan hasrat sexnya. Gigolo yang beruntung, kata Bu Dhea. Tanpa sadar aku tersenyum membalas tatapan pria itu yang langsung per

Tatapan curiga juga terlihat jelas dari mata resepsionis. Aku mengedipkan mataku menggoda gadis muda itu yang tersenyum membalas godaanku. Rupanya Bu Dhea melihatku mengedipkan mata ke resepsionis. Dia menarik tanganku mengikuti Pak tua yang sudah berjalan lebih dulu.

"Jangan sembarangan godain cewek. Kamu punya daya tarik yang luar biasa sehingga banyak wanita yang bertekuk lutut padamu. Daya tarikmu melebihi ayahmu" kata Bu Dhea seperti cemburu.

"Masa sich, Bu?" kataku tidak percaya.

"Buktinya aku sampai tergila gila sama kamu." kata Bu Dhea sambil mencubit tanganku gemas.

Aku tertawa menganggap perkataan Bu Dhea hanyalah sebuah candaan untuk mencairkan suasana dan sedikit banyak dapat mengurangi keteganganku selama beberapa hari ini.

"Terimakasih, Pak.!" kata Bu Dhea sambil memberi uang tip ke Pak tua yang menerimanya sambil mengucapkan terimakasih. Pak tua membungkuk pamitan meninggalkan kami berdua di kamar.

Aku langsung merebahkan tubuh ke spring bed empuk. Nikmat sekali rasanya setelah semalaman hanya bisa duduk di dalam bis dengan gerakan terbatas.

"Kang Ujang gak mandi dulu baru setelah itu tidu.?" kata Bu Dhea sambil membuka pakaiannya hingga bugil sambi menghadap ke arahku.

Aku menatap kagum keindahan tubuh Bu Dhea yang putih mulus tanpa cacat. Buah dadanya sangat besar, hampir sebesar buah dada Marni yang sedang menyusui. Walau bentuk dada Bu Dhea seperti pepaya yang menggantung, tapi tidak mengurangi keindahannya.

Ada yang aneh dengan memek Bu Dhea, terahir aku melihatnya masih berbulu, sekarang bersih dari bulu. Mungkin sudah dicukur.

"Jembutnya dikemanain, Bu?" tanyaku menggoda Bu Dhea.

"Dicukur kemaren, biar kamu bebas ngejilatin memek Dhea." kata Bu Dhea balik menggodaku sambil mengelus memeknya yang tembem menggoda birahiku yang mulai terpancing melihatnya bugil.

Aku bangkit menarik tangan Bu Dhea yang langsung menindihku. Bibirku mencium bibir sensualnya dengan rakus. Bu Dhea membalas dengan bernafsu. Kami berciuman cukup lama.

"Nanti saja ya, Dhea belum mandi." kata Dhea setelah ciuman kami berhenti.

"Gak apa apa, Bu Dhea gak mandi juga masih harum, malah bikin nafsu. Kontolku udah ngaceng banget." kataku sambil meremas pantat besar Bu Dhea yang kenyal.

"Dasar anak nakal, " kata Bu Dhea menciumi leherku. Bahkan ciumannhya meninggalkan cap merah di leher. Hal yang tidak pernah dilakukan oleh istriku maupun Lilis.

Bu Dhea beringsut turun, lidahnya menggelitik pentil dadaku dan kadang digigit pelan membuat sekujur tubuhku merinding nikmat. Rrflek tanganku membelai rambutnya yang tebal sebahu.

"Geli geli enak, Bu.." kataku sambil meremas dadanya dengan tanganku yang masih bebas.

Setelah puas memainkan pentil susuku, Bu Dhea menyodorkan dadanya yang besar ke mulutku yang menyambutnya dengan bernafsu. Aku menghisap putingnya yang berwarna pink sambil meremas dadanya yang sangat besar.

"Anak ibu udah gede masih suka nyusu...!" kata Bu Dhea menggodaku dengan menekan dadanya hingga menutupi wajahku. Aku gelagapan tidak bisa bernafas. Dadanya yang besar ternyata bisa membunuhku.

Melihatku yang berontak tidak bisa bernafas, Bu Dhea tertawa geli. Dia beringsut ke bawah, tangannya terampil membuka bajuku dan juga celanaku hingga bugil seperti dirinya. Kontolku yang sudah berdiri terbebas dari belenggunya. Berdiri dengan angkuh di hadapan Bu Dhea yang menatapnya kagum.

"Kontolmu benar benar perkasa, bikin Dhe ketagihan." kata Bu Dhea, tangannya membelai kontolku dengan lembut.

Tidak berapa lama kontolku masuk mulut Bu Dhea yang hangat dan basah. Lidahnya bergerak liar menggelitik kepala kontolku. Benar benar wanita binal. Bu Dhea terlihat begitu menikmati kontolku yang hanya masuk separuhnya di mulutnya.

"Bu Dhea pinter nyepong, ennnak banget." kataku memegang kepalanya yang bergerak mengocok kontolku dengan cepat. Hingga ahirnya Bu Dhea menghentikan sepongannya lalu berjongkok di atas kontolku yang bergerak masuk memeknya yang ternyata sudah sangat basah.

"Katanya mau dijilatin memeknya?" tanyaku menggodanya.

"Memek Dhea udah gak tahan pengen dientot kontol kamu." kata Bu Dhea yang langsung memompa kontolku dengan liar.

Sebenarnya Bu Dhea itu datang menemaniku untuk mengawasi atau sebagai budak sexku? Persetan dengan itu. Jepitan memeknya terlalu nikmat untuk aku lewatkan begitu saja. Apa lagi goyangannya yang liar mampu memacu andrenalinku hingga puncaknya.

Tanganku meremas dadanya yang bergoyang kencang. Agak keras, tapi wanita itu tidak merasa kesakitan, malah seperti menikmati remasanku di dadanya yang tidak mampu tertampung seluruhnya oleh tanganku.

"Gila kontol kamu gede banget sampe mentok memek, Dhea." kata Bu Dhea yang sangat menikmati kontolku menerobos memeknya secara cepat dan bertenaga hingga ahirnya wanita cantik itu menjerit keras saat orgasmenya sampai.

"Gila, ennnnak banget kontol kamu..!" teriak Dhea. Tubuhnya mengejang beberapa saat. Setelah kenikmatannya berlalu, Dhe bangkit lalu menunggingiku. Sehingga aku bisa melihat lobang anusnya dan memeknya yang basah.

Bagaimana ya rasanya kalau kontolku masuk lobang anusnya seperti yang sering aku lihat di video porno dan buku porno yang aku baca. Belum sempat pikiranku semakin liar Bu Dhea berkata sedikit membentakku.

"Buruan Kang, entot Dhea dari belakang." kata Bu Dhea sambil tangannya mengelus memeknya yang sangat basah.

Aku segera bangkit, kontolku dengan sukses menerobos memek Bu Dhea, tanpa pemanasan aku mengocoknya dengan keras sambil meremas pantanya dengan gemas. Aku melihat kontolku yang basah oleh cairan memek sehingga bunyi saat kontolku menerobos memeknya sangat keras.

Lobang anus Bu Dhea seperti menggodaku untuk memasukinya. Entah apa senikmat saat kontolku memasuki memeknya atau tidak. Tanpa sadar jempolku menyentuh anusnya.

"Ampun Kang, Dhea keluar lagi....!" Bu Dhea tidak berusaha menahan suaranya agar tidak terlalu nyaring.

Buyar sudah keinginanku untuk merasakan lobang anus Bu Dhea yang sangat menggoda. Kulihat Bu Dhea tersungkur saat orgasmenya reda, otomatis kontolku terlepas dari memeknya. Aku yang belum keliar segera menusuk memek Bu Dhea yang tengkurang dan pantanya masiih tetap menungging.

"Kang, kamu gak mau nyobain lobang anus Dhea?" tanya Dhea membuatku terkejut.

Tanpa menunggu jawaban dariku, Dhea menyuruhku mengambilkan tasnya yang berada di meja. Aku sempat mau menolak, tapi rasa penasaran apa yang dilakukan Bu Dhea membuatku bangun mengambilkan tasnya. Kuberikan tas ke Bu Dhea yang duduk menerima tasnya.

Bu Dhea mengeluarkan botol yang berisi cairan dan tidak kutahu fungsinya. Bu Dhea memasukkan botol berisi cairan itu ke dalam lubang anusnya. Lalu kembali menungging.

"Ayo Kang, masukin kontol kamu ke anus Dhea." kata Dhea membuka belahan pantanya dengan posisi menungging.

Dengan perasaan ragu aku memasukkan kontolku ke dalam lobang anusnya yang sangat sempit. Aku mengalami kesulitan saat kontolku berusaha masuk anus Bu Dhea. Setelah berusaha, ahirnya kontolku dapat masuk memek Bu Dhea.

"Gila, Kang. Kontol akang gede banget. Perut Dhea sampe mules. Pelan pelan Kang." kata Dhea menoleh ke arahku. Wajahnya seperti menahan sakit dan sekaligus apa? Aku tidak begitu mengerti arti espresi wajahnya yang terlihat aneh.

Perlahan aku mengocok kontolku di lobang anus Bu Dhea, rasanya aneh dan tidak seenak saat kontolku menyodok memeknya. Dinding anusnya terlalu sempit dan kasar. Jauh dari kata nikmat. Cengkeramannya cenderung menyakiti kontolku dari pada rasa nikmat, ahirnya aku mencabut kontolku dari anus Bu Dhea dan kembali memasukanya ke dalam lobang yang tepat.

Aku tidak memperdulikan tatapan heran Bu Dhea. Aku memacu memeknya dengan cepat dan ahirnya aku bisa menggapai puncak orgasmeku. Kontolku menyemburkan cairan pejuhku cukup banyak ke dasar memek Bu Dhea.

Aku merebahkan tubuhku yang kelelahan setelai mengarungi lautan birahi. Seluruh tubuhku menjadi lebih rileks. Bu Dhea pun merebahkan tubuhnya di sampingku. Dia menatapku yang masih kelelahan.

"Akang gak suka main anal, ya?" tanya Bu Dhea.

"Qneh rasanya. Gak seenak memek." kataku jujur. Aneh sekali menurutku seorang lelaki menyukai anal.

"Kenapa ayahku mengirim Bu Dhea untuk menemaniku? Mengawasi semua gerak gerikku atau untuk menjadi budak seksku?" tanyaku. Aku berharap Bu Dhea mau berkata jujur setelah nafsunya sudah tersalurkan.

"Kang Gobang menyuruhku membawamu ke suatu tempat di Gunung Kemukus. Ayahmu menyimpan sesuatu di dalam brankas." kata Bu Dhea membuatku terkejut.

Brankas, apa nomer yang tertera di kotak kayu peniggalan ayahku itu adalah nomer kombinasi untuk membuka brankasnya? Kalau itu benar, berarti aku telah bertindak ceroboh karena meninggalkannya begitu saja tanpa berusaha menghapalnya.

Tiba tiba aku teringat Lilis membuka brankas warisan Pak Budi yang sudah menjadi milikku. Dan aku melihat kotak kayu peninggalan ayahku sudah berubah posisinya. Surat di dalamnyapun urutannya berubah. Apa Lilis juga mengetahui hal ini? Lalu apa isi dalam brankas ayahku yang disembunyikan jauh di Gunung Kemukus?

Tiba tiba ada yang mengetuk pintu kamar. Kami segera berpakaian dengan tergesa gesa.

"Tunggu sebentar." kata Bu Dhea. Melihat ke arahku yang sudah berpakaian lengkap. Bu Dhea pun sudah berpakaian lengkap. Dia merapikan rambutnya dan juga memakai bedak tipis untuk menghilangkan sisa sisa keringat. Setelah selesai, Bu Dhea membuka pintu. Ternyata pak tua membawa minuman dan makanan kecil.

Pak tua masuk dan meletakkan nampan berisi air dan makanan kecil di meja. Aku melihat Pak tua juga memberikan kertas ke Bu Dhea, entah apa isinya.

Bu Dhea membaca kertas pemberian Pak tua, selesai membacanya Bu Dhea menyerahkan kertas itu kepadaku.

Hati hati, ada yang mengikuti kalian sejak kalian sampai Solo.

Bersambung.....





******
 
Chapter 5 : Mengecoh para pengintai

Siapa yang mengikuti kami dan apa tujuannya. Aku menatap Bu Dhea yang terlihat tenang dan menganggap itu sperti hal yang wajar. Mungkin baginya yang sudah belasan tahun berkecimpung di dunia hitam hal itu bukan sesuatu yang aneh dan perlu ditakuti.

Tapi bagiku yang belum mengenal dunia hitam, hal seperti ini sangat menakutkan. Hal yang hanya aku lihat di film film bioskop. Aku seorang pecandu bioskop sejak remaja, setiap ada film action pasti aku tonton. Sekarang aku mengalami diikuti oleh orang. Tapi aku ini ada di pihak protogonis atau mungkin antagonis.

"Tenang saja, Kang. Itu sebabnya kenapa Dhea mengajak Kang Ujang untuk menginap di sini, agar kita tahu apakah ada yang membuntuti kita atau tidak." kata Bu Dhea menerangkan.

Aku menatap kagum wanita cantik yang sudah mulai melepas pakaiannya lagi. Dhea mengambil handuk dari kopernya dan peralatan mandi yang dibawanya. Tanpa menoleh ke arahku, Bu Dhea masuk kamar mandi yang dibiarkannya terbuka. Bibirnya tersenyum menggodaku untuk masuk dan mandi bareng.

Tanpa pikir panjang aku melepas semua pakaianku dan mengambil handuk dari ranselku. Aku segera menyusul Bu Dhea masuk kamar mandi yang cukup besar.

Selesai mandi kami keluar nyari makanan karena perut kami sudah keroncongan minta diisi, apa lagi tadi kami cuma sarapan sex yang menguras tenaga.

Bu Dhea mengajakku ke Warung makan sederhana yang terletak tidak jauh dari penginapan tempat kami menginap kami berjalan kaki. Sepertinya dia sangat mengenal daerah sini terutama semua pegawai penginapan, sepertinya mengenal Bu Dhea.

Di warung makan sederhana, Bu Dhea memilih tempat duduk yang dekat dengan jalan, sehingga kami bisa mengawasi sekeliling kami dengan leluasa.

"Kamu liat orang yang berada di warung angkringan di sebrang jalan itau?" tanya Bu Dhea saat kami selesai makan dan menikmati secangkir kopi di warung makan sederhana. Aku melihat ke arah warung angkring de seberang jalan, ada dua orang pria yang sedang duduk ngopi.

"Jangan jangan menoleh ke arah mereka. Cukup kamu perhatikan gerak gerik mereka dengan sudut matamu." kata Bu Dhea, memperingatkan saat aku memperhatikan kedua orang itu cukup lama.

Reflek aku menatap Bu Dhea dengan wajah bengong karena kaget mendapat peringatan keras Bu Dhea. Aku terlalu lugu sehingga lupa dengan adegan film film action yang aku tonton. Saat menyadari seseorang mengintai, kita harus pura pura tidak mengetahuinya. Aku semakin kagum dengan Bu Dhea, dia begitu tenang menghadapi situasi seperti ini. Situasi yang membuatku gelisah dan ingin segera menghampiri mereka dan mengorek keterangan kenapa mereka mengintai kami. Simple dan tidak perlu berbelit belit. Toch kemampuan bertarungku sudah semakin terasah, rasanya untuk menghadapi ke dua orang itu aku mampu.

"Kita tidak bisa begitu saja menghampiri mereka dan memaksa mereka mengatakan tujuannya mengikuti kita." kata Bu Dhea terdengar tenang. Bibirnya tersenyum menatap keluguanku menghadapi situasi seperti ini.

"Lagi pula mereka bukan orang yang mengikuti kiya dari Bogor." kata Bu Dhea membuatku terkejut. Apa kami diikuti dari Bogor?

"Kita diikuti dari, Bogor? " tanyaku heran. Lalu apa tujuannya harus mengikuti kami sampai ke Solo?

"Iya, tapi bukan prang yang sama. Mereka berganti orang. Pekerjaan yang sia sia kalau sekarang kita mengorek keterangan dari ke dua orang itu. Kita tidak akan mendapatkan keterangan apa apa dari mereka" kata bu Dhea yang segera memanggil pelayan menanyakan harga makanan yang mereka makan dan membayarnya. Kami kembali ke penginapan.

Entah rencana apa lagi yang ada di pikiran Bu Dhea yang menggandeng tanganku masuk penginapan. Aku menurut saja apa rencana selanjutnya. Aku terlalu lugu untuk membuat sebuah rencana agar terhindar dari para pengintai yang tidak aku ketahui maksud dan tujuannya mengintai kami.

Sampai di kamar aku langsung tertidur. Biarlah semua rencana Bu Dhea yang mengatur. Aku ingin tidur sebentar dan bermimpi bertemu istriku di Bogor sana.

*******

Aku terbangun karena mendengar Bu Dhea sedang mengontrol dengan seseorang. Kulihat Bu Dhea duduk di kursi yang tepat menghadapku dan di kursi satunya yang terpisah oleh meja kecil duduk seorang wanita muda yang kukenal sebagai resepsionis penginapan.

"Sudah bangung, Kang? Enak amat tidurnya." kata Bu Dhea tersenyum melihatku yang langsung duduk karena melihat kehadiran wanita lain di dalam kamar.

"Kecapean Mbak, pasti habis Mbak peres abis abisan. Bu Dhea kan gak cukup sekali. Hihihi" kata wanita yang belum kukenal namanya, tertawa menggodaku.

"Hush, kamu ini ada ada saja. Tadi aku dan Kang Ujang cuma maen sekali. Oh ya, kenalin, ini namanya Lisna!" kata bu Dhea mengenalkan gadis muda berkulit sawo matang ini kepadaku.

Aku segera memperkenalkan diriku sambil menjabat tangan gadis manis itu. Entah apa maksudnya, jari telunjuk Lisna menngaruk telapak tanganku saat kami bersalaman dan mata kirinya mengedip genit.

"Lisna akan mengantar Kang Gobang ke Sragen. Nanti kita bertemu lagi. Kiya harus bergerak cepat" kata Bu Dhea menerangkan.

"Kang, berikan amplop ini ke Lisna setelah sampai." kata Bu Dhea memberikanku bungkusan yang aku tidak tahu isinya.

Aku yang sudah mulai percaya dengan Bu Dhea segera berkemas. Aku dan Lisna segera berangkat menggunakan mobil yang sudah disiapkan.

Ternyata mobil yang kami tumpangi tidak menuju ke Terminal, melainkan ke luar kota Solo. Mobil mengejar Bis jurusan Sragen. Ahirnya kami naik Bis arah Sragen. Mungkin ini cara menghindari para pengintai.

Lisna terlihat menarik nafas lega ketika sudah berada di dalam bis yang belum terlalu penuh sehingga kami bisa dapat tempat duduk walau duduk terpisah. Setidaknya kami bisa duduk tidak berdiri sepanjang perjalanan yang entah akan memakan waktu berapa jam.

Belum sampai Sragen, mungkin baru menempuh setengah perjalanan. Lisna mengajakku turun. Aku menatapnya heran, namun aku mengikutinya turun. Mau dibawa ke mana aku sekarang. Apakah ini rencana yang sudar diatur Bu Dhea. Entahlah, ini situasi yang terasa aneh. Aku belum pernah mengalaminya.

Harusnya aku tidak terjerumus ke dalam situasi seperti sekarang kalau saja aku masih menjadi penjual mi ayam, kehidupanku akan tetap lurus tanpa tipu muslihat seperti sekarang.

Entah ke mana tujuan Lisna, dia mengajakku naik ojek. Aku berusaha keras untuk tidak bertanya hingga ahirnya ojek yang kami tumpangi berhenti di sebuah rumah terbuat dari kayu has pedesaan di Jawa Tengah.

Seorang ibu setengah baya menyambut kedatangan kami. Lisna segera mencium tangannya, akupun mengikuti perbuatan Lisna. Si Ibu menatapku dengan seksama dari atas lalu ke bawah berulang kali membuatku agak risih diperhatikan begitu.

"Sopo iki, Nduk?" tanya Ibu menoleh ke Lisna.

"Ini temanku dari Jakarta, Bu. Malam ini dia mau nginap di sini." kata Lisna menerangkan. Menurut dugaanku ibu itu ibunya Lisna.

Kamipun dipersilahkan masuk ke dalam rumah yang berlantai tanah. Lisna langsung mengajakku ke kamar yang terletak di ruang tengah. Kamar Lisna, karena aku melihat banyak photo Lisna terpajang. Agak sungkan juga masuk kamar gadis yang baru aku kenal, walau sepertinya ibu tadi terlihat cuek melihat aku masuk kamar anak gadisnya. Seolah itu hal yang sudah biasa terjadi.

"Itu bukan Ibuku. Ibuku sudah meninggal dua tahun yang lalu, sedangkan ayahku sudah meninggal tiga tahun yang lalu." kata Lisna seperti mengerti arti tatapan mataku.

"Ibu itu siapa?" tanyaku heran.

"Kenalan Ibuku yang sebatang kara, makanya dulu ibu mengajaknya tinggal di sini. Aku jarang pulang, Bu Yem yang mengurus rumah ini. Aku anak tunggal, jadi Bu Yem sudah aku anggap penggabti ibuku." kata Lisna menerangkan. Dia mengambil handuk yang tergantung di dinding.

"Mandi, yuk.!" ajak Lisna menarik tanganku yang sedang duduk di ranjang.

Tadinya kupikir kami akan mandi bareng, ternyata tidak. Kamar mandi yang terletak di pekarangan belakang terpisah dari rumah. Sumur timba terletak di luar kamar mandi, di dinding kamar mandi ada lobang untuk mengisi kolam di dalam kamar mandi. Jadi tugasku sekarang adalah mengisi bak kamar mandi yang besar. Aku terlanjur membayangkan akan mandi berdua dengan Lisna.

Setelah Lisna mandi, gantian aku yang mandi. Lisna tidak perlu mengisi bak yang sudah terisi penuh. Hmm jangan jangan nanti aku tidur sendiri dan Lisna tidur dengan Bu Yem. Karena aku sempat melihat kamar yang satunya penuh dengan perabotan yang tidak terpakai. Mungkin kamar itu dijadikan gudang.

Selesai mandi kami langsung makan. Makanan sederhana tapi aku makan dengan lahap. Aku sangat menyukai suasana pedesaan yang asri, mengingatkanku dengan kehidupanku saat masih di desa.

"Kenapa kita tidak langsung ke Sragen?" tanyaku setelah kami selesai makan dan duduk di ruang tengah yang temaram sambil menikmati secangkir kopi buatan Lisna.

"Bu Dhea yang menyuruh membawa Kang Ujang ke rumahku. Besok baru kita ke Sragen." kata Lisna tersenyum manis kepadaku.

Sebenarnya apa yang berada di dalam brankas itu sampai ada yang mengikutiku. Lalu siapa yang mengikutiku dan tahu tujuanku atau lebih tepatnya tujuan ayahku. Ada orang yang tahu bahwa aku dikirim ayahku untuk membuka brankas yang mungkin isinya sangat berharga.

Apakah ada penghianat di sekeliling ayahku sampai dia tahu semua gerak gerik ayahku. Lalu kenapa aku harus ditarik ke dalam pusaran pertikaian ayahku? Tidak tahukah dia, aku hanya ingin hidup sederhana dan bisa menikmati hari hariku dengan tenang.

"Hayo, Kang Ujang lagi ngelamunin Bu Dhea ya? Emang gak minat sama aku?" kata Lisna menepuk pahaku, membuyarkan lamunanku.

"Minat sich, tapi bahaya. Kamu masih gadis." kataku seperti pria baik baik.

"Yang bahaya tuch kali gak pakai kondom." kata Lisna sambil mengelus pahaku.

Sebagai lelaki normal dan mempunyai gairah yang tinggi, elusan di pahaku sudah cukup membuat kontolku terusik dari tidurnya. Mungkin aku hyper sex.

"Aku gak punya kondom." kataku dengan perasaan jengkel. Kenapa aku tidak pernah menyiapkan kondom. Bahkan berpikir tentang kondompun, belum pernah. Selama ini aku berhubungan sex tanpa kondom. Kesempatanku untuk menikmati sex di saat aku membutuhkannya sirna.

"Aku punya banyak." kata Lisna menarikku masuk kamarnya yang sudah berbau harum. Padahal stahuku kamarnya belumlah seharum sekarang. Bahkan sepreinyapun sudah diganti dengan yang baru.

Lisna segera membuka pakaiannya dengan tergesa gesa. Terlihat dia begitu grogi saat membuka baju di hadapan pria yang baru dikenalnya. Bentuk tubuhnya proposional, dadanya berukuran sedang. Aku taksir cup bh nya berukuran B. Perutnya masih rata dan pinggulnya berisi walu tidak busa dikatakan besar. Yang membuatku takjub justru gundukan memeknya tertutup jembut yang tipis dan jarang.

"Kang, kok belom buka baju?" tanya Lisna sambil menutup dada dan selangkangannya dengan kedua tangan.

Aku menahan tawa melihat wajah manis Lisna yang menjadi merah karena malu. Aku segera membuka pakaianku hingga bugil seperti dirinya. Matanya terbelalak melihat kontolku yang sudah bangun. Walau belum sepenuhnya mengeras.

"Idis, gede amat Kang?" kata Lisna terbelalak kaget melihat ukuran kontolku. Tanpa sadar dia menutup mulutnya dengan telapak tangannya sehingga selangkangannya terlihat.

Aku mengangkat tubuh langsing Lisna ke atas ranjang besi. Kutarik tangan yang menutupi mulutnya. Aku mencium bibirnya dengan lembut. Lisna tidak meresponnya, bibirnya tetap tertutup. Aku melihat wajahnya yang terlihat tegang.

"Kenapa Lis? Kok kamu tegang?" tanyaku heran.

"Ga apa apa! Kaget aja liat kontol Akang segede gitu." kata Lisna pelan. Matanya tak berani menatap wajahku.

Aku menyingkirkan tangan Lisna yang menutupi dadanya yang indah. Perlahan aku meremasnya sambil menjilati putingnya yang kecil. Kuhisap hisap, tapi herannya Lisna tidak bereaksi. Tubuhnya terasa dingin. Sekali lagi aku menatap wajah Lisna, matanya terpejam.

"Kamu pernah ngentot belom?" tanyaku curiga. Aku jadi teringat dengan Ningsih, Wina, Rani dan Rina saat akan aku perawani. Reaksinya seperti Lisna sekarang.

"Tadi Bu Dhea nyuruh aku ngelayanin Kang Ujang. Tadinya aku nolak, aku masih perawan. Tapi Bu Dhea berani bayar 20 juta asal aku ngelayanin Kang Ujang di ranjang." kata Lisna membuatku terkejut. Nafsuku hilang seketika.

Aku turun dari ranjang dan memakai pakaiaku lagi. Aku tidak mau merenggut keperawanan Lisna hanya karena uang. Aku terbiasa mendapatkan tubuh wanita yang secara suka rela menyerahkan tubuhnya bukan karena uang.

"Kang, kok berhenti? Lisna rela kehilangan perawan, karena Lisna butuh uang itu untuk bayar hutang. Hutang waktu ibu sakit." kata Lisna terlihat kecewa yang melihatku sudah kembali berpakaian.

"Kamu bilang aja ke Bu Dhea, kita sudah berhubungan intim. Nanti aku juga akan bilang ke Bu Dhea sudah mendapatkan keperawanan kamu. Jadi kamu dapat 20 juta." kataku merasa iba. Aku tahu benar kesulitan ekonomi yang sedang dialami Lisna.

"Benarkah itu, Kang?" tanya Lisna tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Aku hanya mengangguk. Tiba tiba aku teringat dengan bungkusan yang harus aku serahkan ke Lisna. Apa mungkin isinya uang?. Aku mengambil bungkusan itu dari ranselku dan membukanya. Ternyata benar, isinya uang yang setelah kuhitung ada 20 juta. Aku menyerahkannya ke Lisna yang nenerimanya dengan mata terbelalak kaget.

Tiba tiba terdengar ketukan pintu yang cukup keras memanggil Lisna. Kami berdua saling berpandangan, kaget.

"Itu suara Pak RT, kang!" wajah Lisna terlihat pucat.

Wajahku lebih pucat lagi teringat kejadian dengan Anis. Bagaimana kalau aku digerebek dan diarak keliling kampung lalu aku dipaksa buat nikah dengan Lisna?

Bersambung......
 
Chapter 6 : Menuju Puncak Kemukus


Lisna segera memakai pakainnya lagi. Belum sempat keluar kamar, Bu Yem sudah membuka pintu. Terdengar obrolan Bu Yem dan Pak RT.

"Bu, ini ada tamu dari Solo nyari Lisna." kata Pak RT terdengar berat.

"Enggeh, saya panggilkan dulu ya, Pak. Maaf, kalau boleh tahu sampeyan siapa?" tanya Bu Yem.

"Tris, bu." terdengar seorang pria menyebutkan namanya.

Apa dia salah satu dari orang yang mengikuti dari, Solo.? Aku menjadi semakin gelisah. Lepas dari bayang bayang diarak warga, sekarang kemungkinannya salah seorang yang sedang mengikutiku ada di depan rumah.

"Kamu kenal orang yang bernama Tris?" tanyaku berbisik.

Lisna menggelengkan kepala, dia segera keluar kamar sebelum Bu Yem sampai kamar. Tidak lama aku mendengar suara Lisna bicara pada tamu yang dari Solo.

"Ada apa ya, Pak? Anda siapa?" tanya Lisna, suaranya terdengar jelas.

"Saya utusan Bu Dhea disuruh memberikan ini." kata pria itu. Entah dia memberikan apa ke Lisna.

Hening beberapa saat. Aku merasa lega karena orang itu ternyata utusan Bu Dhea, semoga saja dia tidak berbohong.

"Pak RT, terimakasih sudah nganter tamu, Lisna." kata Lisna memecahkan keheningan malam.

"Ya sudah, Lis. Bapak pulang dulu. Bu Yem, saya pulang dulu." kata pak RT berpamitan.

Kudengar Lisna mempersilahkan tamu itu masuk. Tidak lama kemudian Lisna masuk kamar sambil memberikanku amplop berisi surat, aku segera membukanya.

Kang Ujang, Pak Tris yang akan mengantarmu ke tujuan. Rencana Kang Gobang untuk membawamu ke suatu tempat sudah diketahui. Ada penghianat yang membocorkan rahasia ini.

Ttd Dhea


Aku mengikuti Lisna keluar menemui Pak Tris, dan aku benar benar terkejut, teryata Pak Tris yang dimaksud adalah Pak Tris yang rumahnya di Gunung Kemukus.

"Pak Tris !" seruku kaget dengan kehadirannya yang di luar dugaanku.

"Kang Ujang, senang bisa bertemu kembali." kata Pak Tris menyalamiku. Diai terlihat tidak terkejut melihatku. Sepertinya dia sudah tahu harus bertemu denganku di sini.

"Kita berangkat sekarang juga, Kang. Sebelum orang orang itu sadar bahwa mereka tertipu. Sekarang mereka pasti sudah menunggu Kang Ujang di Sragen." kata Pak Tris langsung pada intinya.

Akupun tidak mau banyak bertanya, segera mengambil ranselku dan malam itu juga kami meneruskan perjalanab dengan motor.

"Kita ke mana, Pak Tris?" tanyaku saat motor yang dikendalikan Pak Tris berjalan cepat melalui jalan Desa yang gelap. Rupanya Pak Tris sangat hafal daerah sini, dia menghindari jalan raya utama.

"Gunung Kemukus." jawab Pak Tris tidak mengurangi kecepatan motornya.

"Sampeyan kenal ayah saya, Pak?" tanyaku penasaran. Bagaimana caranya Bu Dhea menghubungi Pak Tris hingga bisa menjemputku di rumah Lisna.

"Tentu saja, rumah yang saya tempati adalah rumah ayah sampeyan yang diberikan kepada kami setahun yang lalu. Tadinya kerja menggarap kebun ayah sampeyan dari tahun 1981 sampai tahun kemaren Kang Gobang memutuskan untuk kembali ke Jakarta, rumah dan kebun serta ternak beliau diberikan kepada kami." kata Pak Tris membuatku terkejut.

Berarti selama belasan tahun ayahku bersembunyi di Gunung Kemukus. Pantas saja waktu aku mencari kambing untuk korban, berjalan dengan mudah. Sepertinya memang sudah dipersiapkan. Bahkan Pak Tris dan istrinya seperti membiarkanku bebas menyetubuhi Marni, mungkin sebagai balas jasa.

"Waktu saya nginap di rumah Pak Tris, apak sampeyan dan istri sampeyan tahu saya anak siapa?" tanyaku semakin penasaran dengan semuanya.

"Sudah, Mas. Tapi Bu Narsih menyuruh kami untuk tutup mulut." jawab Pak Tris lagi.

Ahirnya aku bosan bertanya. Aku sudah semakin memahami apa yang terjadi. Aku sudah tidak bisa mundur lagi dari jalan hidup yang sudah dipersiapkan secara matang oleh ayahku dan Bi Narsih.

Aku berusaha mengabaikan semuanya dengan memandangi jalan desa yang gelap, melintasi sawah dan kebun, bahkan kadang kala hutan kecil. Udara malam yang dingin sedikit banyak mampu mengusir kegelisahanku.

Entah berapa jam kami menempuh perjalanan, ahirnya sampai juga di Gunung Kemukus, Pak Tris mengetuk jendela kamarnya membangunkan Bu Tris yang mungkin sedang bermimpi. Aku menunggu di depan pintu sambil memperhatikan sekelilingku. Dengan pencahayaan lampu aku melihat jam di tanganku. 12 malam. Pantas saja Gunung Kemukus sudah sepi. Karokenya sudah pada tutup.

Pak Tris muncul dari samping rumah dan tidak lama kemudian pintu terbuka. Bukan Bu Tris yang membuka pintu melainkan Marni yang sedang menyusui anaknya. Pantas tadi kudengar tangisan bayi saat datang.

Pak Tris memasukkan motor dengan sedikit bantuanku.

"Mar, bikinin kopi buat Mas Ujang. Mas, saya langsung istirahat ya, besok masih banyak yang harus kita kerjakan." kata Pak Tris meninggalkanku dan Marni di ruang tamu.

"Tunggu dulu, ya Mas. Nunggu si dede tidur." kata Marni duduk di hadapanku. Terlihat dadanya yang super menggoda birahiku yang tertunda.

"Mas kangen gak sama ASI marni?" tanya Marni mengeluarkan dada satunya lagi sambil tersenyum menggodaku.

"Kangen banget." kataku menelan air liur melihat dada Marni yang mengeluarkan ASI saat Marni meremasnya.

"Sabar, ya. Marni tidurin Si Dede." kata Marni meninggalkanku yang sudah terangsang.

Tiba tiba Pak Tris kembali menemuiku membuyarkan harapanku berpacu birahi dengan Marni.

"Saya lupa, malam ini juga saya harus memberitahukan sesuatu ke Kang Ujang." kata Pak Tris yang mengajakku kembali keluar dan menutup pintu tanpa menguncinya.

Pak Tris mengajakku ke samping rumah, masuk ke bangunan yang berfungsi sebagai dapur umum setiap kali Gunung Kemukus mengadakan acara. Di dalamnya ada ruangan terkunci berfungsi sebagai gudang. Pak Tris membuka pintu Gudang yang terkunci.

Apa di dalam sini ayahku menyimpan brankasnya? Kami masuk dan aku tidak melihat ada brankas di dalamnya. Lalu untuk apa Pak Tris mengajakku ke sini? Kalau di dalam sini hanya berisi perabotan yang sudah tidak terpakai. Ada sebuah lemari jati yang masih bagus dan tampaknya terawat dengan baik. Mungkin fungsinya untuk menyimpan barang barang yang masih bisa digunakan dan dilerlukan suatu saat nanti.

Pak Tris membuka lemari dan mengeluarkan kotak besi kecil yang diberikannya kepadaku. Kotak besi yang seukuran dengan kotak kayu yang aku terima dari ibuku. Bedanya kotak ini tergembok, gembok yang sudah karatan. Tapi anehnya Pak Tris tidak memberikan kunci untuk membukanya. Bahkasn saat aku tanyakan di mana kuncinya. Pak Tris menjawab kuncinya ada padaku.

Ahirnya kami kembali ke dalam rumah. Marni menyambut kedatangan kami dengan segelas kopi yang sudah tersedia di meja tamu.

"Pak Tris benar benar tidak tahu kunci kotak, ini?" tanyaku sekali lagi berusaha meyakinkan pendengaranku. Mungkin saja aku salah dengar atau Pak Tris lupa menaruh kuncinya di mana. Semua hal bisa saja terjadi.

"Kang Gobang mengatakan, kuncinya ada di Mas Ujang." kata Pak Tris. Suaranya terdengar jujur.

Di mana aku menyimpan kuncinya. Seingatku satu satunya peninggalan ayah yang diberikan kepadaku hanyalah kotak kayu, di dalamnya berisi surat, tidak lebih. Ada juga ukiran angka angka yang menurut dugaanku adalah nomer kombinasi sebuah brankas dan kupikir aku akan menemukan sebuah brankas di sini menurut perkataan Bu Dhea.

Aneh, dari mana Bu Dhea beranggapan aku akan menemukan sebuah brankas di sini. Apa dari ayahku? Kalau itu berasal dari ayahku, berarti benar di sini ada sebuah brankas. Tapi kenapa Pak Tris tidak mengetahuinya. Atau dia sengaja merahasiakan tem0at berankas itu. Lalu untuk apa kalau dia sendiri tidak bisa membukanya.

Setelah pikiranku berputar dan menemukan jalan buntu, aku pamitan ke Pak Tris yang asik menikmati rokok klobotnya.

"Kang Ujang gak minta ditemenin, Marni?" tanya Pak Tris menawarkan anaknya yang sudah bersuami menemaniku.

"Besok aja, Pak. Sekarang saya mau tidur." kataku melihat ke arah Marni yang sejak tadi menemani kami ngobrol. Wajahnya terlihat kecewa.

*******

Jam 10 aku bangun. Tubuhku terasa lebih segar. Rasa lelahku perlahan mulai hilang. Aku keluar kamar dengan membawa handuk.

"Sudah bangun, Mas?" Marni tersenyum menyambutku yang keluar kamar dengan membawa handuk. Wajah Marni terlihat manis tidak membosankan untuk dipandang.

"Iya, Mbak. Bangun kesiangan." kataku malu bangun jam 10 di rumah orang. Aku segera ke kamar mandi, di dapur aku bertemu dengan istri Pak Tris yang menyambutku dengan senyum manisnya yang terlihat genit.

"Mau dimandiin, Mas?" tanya Bu Tris menggodaku membhatku tersipu malu mengingat kejadian terahir aku ke sini. Betapa gilanya aku, Marni dan Bu Tris melakukan 3some ffm. Ibu dan anak yang sama sama mempunyai dada jumbo. Mereka bekerja sama memuaskan birahiku atau mungkin mereka mencari kepuasaa dari kontol jumboku.

Setelah selesai mandi tubuhku terasa segar. Apa lagi disambut senyuman manis si dada besar ibu dan anak, segar jiwa dan ragaku.

"Sarapan dulu, Mas?" kata Marni setelah aku mengganti baju yang lebih bersih.

Marni menuntunku ke meja makan. Menu sarapan nasi goreng dan tempe goreng terasa nikmat. Dalam sekejap nasi sepiring sudah berpimdah tempat ke perutku.

Selesai sarapan aku ke ruang tamu, ternyata sudah tersedia kopi panas yang harum baunya seperti aroma terapu yang membuat saraf saraf di kepalaku menjadi rileks. Perlahan aku meminum kopi jawa yang has. Nikmat sekali rasanya apalagi sambil menghisap rokok.

"Mas, mau diyemenin ziarah, gak?" tanya Marni duduk di sampingku. Dia sudah berdandan rapi.

"Dede gimana?" tanyaku.

"Ibu yang jagain." kata Marni mengusap pahaku.

"Kamu sudah sering nganter orang ziarah?" tanyaku menggodanya.

"Belum pernah, sekarang Marni pengen banget ziarah, tapi cuma sam Mas Ujang." kata Marni memeluk tanganku.

Aku tersenyum menyanggupinya. Tadinya kupikir akan melakukan ritual dengan Bu Dhea, ternyata kejadiannya berubah dengan cepat. Tidak apalah aku ritual dengan Marni walau tidak secantik dan semenarik Bu Dhea. Tapi ada kelebihan yang tidak dimiliki Bu Dhea, ASInya yang segar.

Selesai ngopi aku dan Marni ke sendang Ontrowulan melakukan prosesi pembersihan jiwa dan raga, tidak lupa kami masuk ke bilik sebelah sendang tempat membakar menyan. Terlihat jelas, Marni belum pernah melakukan ritual ini, mungkin karena dia penduduk asli, jadi terkesan malu kalau harus ritual.

Tapi rasa malu itu berusaha disingkirkannya dengan menggandeng tanganku sepanjang perjalanan menuju makam Pangeran Samudra walau beberapa kali dia berpapasan dengan orang yang dikenalnya. Bahkan semua penghuni Gunung Kemukus pasti mengenalnya. Apa lagi dia dianggap sebagai anak salah satu tokoh masyarakat yang dihormati masyarakat sekelilingnya.

Bahkan kuncen bangsal Sonyoyuri heran melihat Marni yang menggandeng tanganku duduk di hadapannya.

"Kamu juga mau ziarah, Nduk?" tanya kuncen itu menatap Marni yang menunduk malu. Lalu beralih menatapku, tersenyum sambil mengangguk. "Sama sampeyan ziarahnya, toh. Insya Allah hasilnya akan bagus." kata kuncen menerima dua bungkus kembang dan menyan dari kami. Herannya dia tidak menanyakan namaku seperti yang biasa dilakuknnya. Kalau Marni dia pasti tahu nama dan bintinya.

Selesai ziarah kami langsung pulang. Kasian Marni yang pasti merasa sangat malu dan tertekan ziarah di tempat yang dikenal sebagai pesugihan mesum. Bahkan masyarakat asli sangat jarang yang mau ke ziarah, mendekatinya saja mereka merasa malu dan takut. Lain halnya kalau kaum pria yang memang sengaja mencari wanita untuk melepaskan hasrat seksualnya semata.

Sampai rumah kami disambut Pak Tris dan istrinya. Aku malu mendapat penyambutan yang tidak biasanya mereka lakukan.

"Kalian sudah selesai nyekar?" Pak Tris tersenyum menyambut kedatangan kami yang sperti pengantin baru. Ada kebanggan terpancar di matanya. Entah karena apa, aku sendiri bingung.

Kami hanya mengangguk. Mungkin Marni lebih merasa malu. Bu Tris menggandeng Marni dan Pak Tris. Kami dibawa masuk ke kamar yang berada dekat ruang keluarga. Sebuah kamar yang pintunya berukir. Kamar yang aku yakin bukanlah kamar Pak Tris. Kesan mewah terlihat dari ukiran kayu jatinya di daun pintu maupun kusennya.

Pak Tris membuka pintu, harum kembang langsung menerpa penciumanku. Kamar itu luas bahkan lebih luas dari kamar alm Pak Budi. Ranjangnya seperti ranjang para bangsawan yang sering aku lihat di film film kolosal, terbuat dari kayu jati dengan tiang yang berukir indah. Di kasur yang berwarna putih terlihat ditaburi bunga melati.

"Ini adalah kamar Kang Gobang, walau rumah ini sudah dihadiahkan kepada kami, kami tidak pernah berani memakai kamar ini sebagai tanda hormat kami. Kamar ini tetap kami jaga dan ranjangnya selalu kami taburi bunga melati. Di meja rias kami selalu membakar dupa untuk selalu mendoakan Kang Gobang dan keluarga selalu selama dalam lindungan Allah." kata Pak Tris dengan suara bergetar.

Begitu besarkah rasa terimakasih mereka kepada ayahku sehingga berubah menjadi pemujaan yang tidak wajar. Seperti pemujaan masyarakat jawa kuno kepada raja raja mereka sehingga ketika sang Raja wafat akan dibuatkan patung sebagai simbol titisan para dewa yang mereka agungkan.

Aku melihat Marni, wajahnya terlihat gelisah berkeringat dingin. Begitu hebatkah beban yang dirasakannya saat memasuki kamar ini dan sebentar lagi kami akan melakukan ritual penyatuan jiwa dan raga lewat hubungan intim. Lewat hubungan sex.

"Kami berharap Marni dapat mengandung anak dari Kang Ujang, cucu Kang Gobang. Walau kalian tidak akan pernah menikah. Anggaplah Marni sebagai selir Kang Ujang yang akan melahirkan anak Kang Ujang. Kami memohon ke Pangeran Samudra agar keinginan kami terkabul." kata Pak Tris dengan sepenuh jiwanya. Lalu Pak Tris dan istrinya meninggalkan kami di kamar.

Aku memperhatikan sekeliling kamar. Mataku tertarik melihat sebuah lemari kecil terbuat dari jati berada di pojok,bersebelahan dengan lemari besar yang pasti adalah lemari pakaian. Aku membuka lemari kecil dan aku terkejut melihatnya. Ternyata sebuah brankas baja.

Bersambung....
 
Chapter 7 : Jalu

Ternyata brankas yang dimaksud Bu Dhea tersimpan di sini. Lalu kenapa Pak Tris malah .emberikanku sebuah kotak besi tanpa kunci, padahal kotak itu terkunci. Apa Pak Tris tidak mengetahui keberadaan brankas ini karena kepatuhannya dalam mengagungkan ayahku sehingga dia tidak pernah membuka lemari di dalam kamar. Dia hanya membersihkan bagian yang terlihat. Kepatuhan yang luar biasa seperti yang diperlihatkan para abdi dalem keraton Jogja.

Karena alasan inikah selama belasan tahun ayahku bersembunyi di sini. Kepatuhan yang hanya ada dalam dogeng atau yang paling nyata adalah para abdi dalem di Jogja. Kepatuhan yang membuatku merinding aneh.

Tapi sekarang yang menjadi persoalanku bagaimana cara membuka brankas yang terkunci? Aku tidak tahu nomer kombinasinya. Kemungkinannya adalah nomer yang terpahat di kotak kayu pemberian ayahku. Tapi aku tidak mengingat nomernya karena saat tu aku beranggapan tidak ada gunanya dan sekarang aku memerlukannya. Sekeras apapun aku berusaha mengingatnya, hasilnya sia sia. Aku tetap tidak bisa mengingatnya. Lalu untuk apa aku menemukan brankas ini kalau aku tidak bisa membukanya.

Belum pernah aku seputus asa seperti sekarang. Perjalananku dari Bogor sia sia karena aku begitu bodoh tidak mengjafal angka yang terukir di kotak kayu. Mungkin saja itu benar benar kunci kombinasinya.

Aku menoleh ke arah Marni yang masih tetap berdiri mematung tidak berani duduk maupun menyentuh benda di ruangan ini. Seolah setiap benda yang berada di ruangan ini adalah benda sakral yang tidak boleh disentuh tanpa ijin.

Aku menghampiri Marni yang terlihat sangat berbeda. Biasanya dia selalu memancingku dengan kata kata cabul. Sekarang dia menunduk, mulutnya terkatup rapat. Tak ada lagi candaan cabulnya yang mampu memancing birahiku.

Aku mengangkat dagu Marni dan menatap wajahnya yang manis tidak membosankan untuk terus menatapnya. Matanya terpejam seperti perawan yang baru mengenal pria.

"Kamu kenapa? Kok diam saja?" tabyaku heran.

"Sejak kecil Marni dilarang masuk kamar ini. Ini pertama kali Marni masuk kamar ini, kamar yang dianggap sakral oleh ibu dan bapak." kata Marni mulai berani menatap mataku. Mata yang terlihat ketakutan. Keringat dingin tampak menempel di dahinya yang halus.

Aku menunduk mencium bibir Marni yang tebal agar ketakutannha hilang. Ternyata aku berhasil membuatnya rileks, Marni membalas ciumanku. Tangannya memeluk leherku. Kami berciuman cukup lama mencairkan ketengangan yang sama sama kami alami.

Perlahan aku membuka pakaian Marni hingga tubuhnya bugil. Payudara jumbonya terlihat sangat menggairahkan. Ada bau bedak bayi tercium dari dada jumbonya. Lembut aku mendorong Marni duduk di ranjang yang bertabur bunga melati. Aku segera membuka pakaianku. Aku meraih tangan Marni memegang kontolku yang sudah tegang berdiri dengan gagahnya.

Marni sudah tahu kewajibannya, dia langsung melumat kontolku dengan bernafsu disertai jilatan dan hisapan yang sangat ahli. Marni benar benar tahu memperlakukan kontolku. Dia melakukannya penuh dengan perasaan, seolah olah itu sebagai bentuk pengabdiannya kepadaku.

"Ennnak, Mar. Kamu pinter banget nyepongnya." kataku memejamkan mata menikmati kehangatan mulut Marni yang sedang mengulum kontolku. Dia mengeluarkan kemampuan terbaikknya membuarku meram melek keenakan.

"Udah, Mar. Nanti aku kelluar..!" kataku berusaha menyuruhnya berhenti, tapi Marni tidak memperdulikannya. Dia terus menghisap dan kepalanya bergerak mengocok kontolku. Ahirnya pertahananku jebol, pejuhku muncrat di dalam mulut Marni yang tanpa rasa jijik menelan pejuhku.

Marni tersenyum manis melihatku yang sangat menikmati orgasme di mulutnya. Dai menjulurkan lidahnya yang sudah bersih dari pejuhku yang habis ditelannya.

"Enak gak sepongan Marni, mas?" tanya Marni menggodaku. Wajahnya terlihat puas sudah berhasil menaklukkanku.

"Kamu gak jijik nelen pejuhku?" tanyaku heran melihat wajah Marni yang terlihat puas.

"Pejuh Mas Ujang enak." kata Marni, tangannya meremas dada jumbonya, memancingku untuk beraksi.

Tanpa menunggu dipinta aku mendorong Marni rebah. Aku beraksi meremas dan menghisap putingnya dan benar saja ASInya keluar deras. Dada yang subur menghasilkan ASI kualitas super. Anaknya pasti tidak akan kelaparan dengan produksi ASI yang berlimpah. Aku menghisapnya dengan lahap, merasakan ASI Marni masuk tenggorokanku.

"Hihihi, " Marni justru tertawa geli saat aku terus menghisap ASInya dengan lahap.

"Kok ketawa, Mar?" tanyaku heran menatap Marni yang berusaha menahan tawanya.

"Lucu, Marni punya anak segede Mas Ujang." katanya, bibirnya selalu tersenyum manis setiap kali bertatapan denganku.

Aku hanya tertawa kecil, entah kenapa aku sangat menyukai rasa ASI yang has dan sebentar lagi Ningsih dan Lilis payudaranya akan mengeluarkan ASI seperti Marni. Apa ASInya akan melimpah seperti ASI Marni? Karena menurut cerita ibu ibu saat aku berjualan Mie Ayam tidak semua ibu menyusui ASInya bisa lancar keluarnya. Kadang kala ada yang malah tidak keluar ASI. Semoga Ningsih dan Lilis ASInya melimpah.

"Mas Ujang kontolnya sudah ngaceng lagi..!" kata Marni takjub melihat kontolku sudah bangkit tanla kusadari karena terlalu asik dengan ASI Marni yang melimpah.

Aku membuka paha Marni agar mengangkang semakin lebar, saat aku akan menjilati belahan memeknya, Marni malah menutup memeknya dengan telapak tangannya.

"Jangan dijilat, Mas.....!" Marni menatapku dengan raut wajah memohon. Padahal saat pertama kali kami berhubungan sex dia tidak menolak saat lidahku bermain di belahan memeknya. Tapi kenapa sekarang dia melarangku.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Karena Mas Ujang anak Pak Gobang yang sangat kami hormati." kata Marni dengan wajah serius.

Ahirnya aku mengalah, kutarik pinggang Marni agar tepat berada di pinggir ranjang. Tanpa kuperintah Marni membuka pahanya selebat mungkin. Tanganya memegang kedua pahanya ke atas.

"Masukin, mas. Memek Marni sudah basah...!" kata Marni memohon.

Kontolku dengan mudah amblas ke ke bagian terdalam Marni yang mendesah lega. Perlahan dalam ritme yang kuatur sehalus mungkin kontolku bergerak leluasa. Menggapai setiap bagian terdalam yang selama ini belum tersentuh dan kontolku dapat menyentuhnya tanpa kesulitan. Jangkauannya lebih panjang dari yang dimiliki suaminya.

Apakah ini ritual atau nafsu, semuanya menjadi kabur saat tubuh terintim kami bersatu mencari kenikmatan dan saling memberi kenikmatan. Kenikmatan terlarang justru menjadi sebuah keharusan di Gunung Kemukus. Sesuatu yang tabu berubah menjadi hal yang biasa di sini.

"Mas, ennnak amat kontol kamu..!" Marni berteriak kecil saat kontolku bergesekan dengan dinding memeknya. Wajahnya sangat menikmatinya.

Hingga ahirnya Marni berteriak dan tubuhnya mengejak mendapatkan orgasme pertamanya yang dahsyat. Aku justru semakin cepat memompanya tanpa memberinya kesempatan beristirahat.

"Udah Mas, gantian Marni di atas..!" Marni berusaha memintaku berhenti namun aku tidak perduli. Aku yerus memompanya sehingga tubuhnya berguncang hebat.

"Ampun Massss, enak banget kontolnya...!" Marni berteriak histeris badai orgasme kembali melambungkan jiwanya untuk ke dua kalinya.

Ritual Sex ini semakin panas, aku berubah menjadi liar, keliaran yang tidak sewajarnya. Ada dorongan aneh dalam jiwaku untuk terus memompa memek Marni yang terasa semakin longgar. Aku merasakan pertemuan alat kelamin kami justru membangkitkan simpul simpul prana yang mendekam di 7 cakra utamaku, prana yang menyebar ke setiap sel sel di sekujur tubuhku.

"Ampun Mas, Marni gak kuat lagiii...!" rintihan Marni yang terus menerus mengalami orgasme yang berulang ulang membuatnya kelelahan. Tapi matanya terlihat berbinar bahagia.

Aku menarik tangan Marni agar duduk tanpa melepaskan kontolku dari memeknya. Aku menggendong Marni yang berpegangan pada leherku. Entah kekuatan dari mana, tubuh Marni terasa ringan sehingga aku dengan leluasa menggerakkan tubuhnya naik turun memompa kontolku.

Marni memeluk erat sehingga dada jumbonya menekan dadaku dengan keras. Kurasakan ASInya membasahi dadaku mengalir ke perutku.

Aku berjalan sambil terus menaik turunkan Marni memompa kontolku, ke arah meja rias. Ternyata ranselku sudah ada di atas meja rias, aku baru menyadarinya sekarang. Karena perhatianku tadi lebih tertuju ke brankas yang tersembunyi di dalam lemari.

Kusingkirkan randelku ke pinggir hingga jatuh, perlahan aku meletakkan Marni duduk di meja rias. Kembali aku memompanya dengan cepat dan semakin cepat saja karena aku merasa akan segera orgasme.

"Marrr, aku kelllluarrrrr..!" aku membenamkan kontolku hingga dasar terdalam memek Marni memuntahkan kandungan.pejuhku ke dalamnya.

"Marni jugaaaaa mas...!" teriak Marni, tubuhnya langsung terkulai setelah orgasmenya berlalu. Inilah pengalaman sex terhebat dan terliar dalam hidupku.

Aku menarik kontolku dari memek Marni. Lalu mengambil kursi dan duduk menghadap Marni. Kami sama sama terdiam setelah persetubuhan yang baru saja selesai.

*****

Aku bangun, ternyata Marni tidak ada di dalam kamar. Jam di dinding menunjukkan ang 7:30, berarti sekarang sudah malam. Nyenyak benar tidurku.

Aku teringat dengan brankas yang tersembunyi di balik lemari jati dan berpikir keras berusaha mengingat nomer yang terukir di kotak kayu, berusaha membayangkan setiap detil kotak kayu tersebuya Dan seperti tadi aku tidak bisa mengingatnya.

Kira kira nomer apa yang dipakai ayahku. Tanggal kelahiran salah satu anaknya, mungkin. Tidak ada salahnya aku mencoba salah satu tanggal lahir kami.

Aku mulai dari tanggal lahirku. 11 12 1973, ternyata tidak bisa. Aku coba dengan membulak balik angkanya tetap saja tidak bisa. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Lalu tanggal lahir adik pertamaku, 10 04 1977, caranya seperti tadi. Kembali aku gagal membuka brankas.

Mungkin tanggal lahir adik bungsuku, 01 12 1979, hasilnya tetap sama. Aku memutar otak, berusaha berpikir. Mungkin tanggal lahir ibuku dan tetap gagal.

"Aku beri kamu nama Jalu" itu isi surat ayahku di dalam kotak, mungkin itu kunci untuk membuka brankasnya. Tapi tidak ada abjad di putaran brankas, hanya ada angka. Tapi tidak ada salahnya aku mencoba.

J adalah abjad nomer 10, A abjad nomer 1, L abjad nomer 12 dan U nomer kalau tidak salah nomer 15. Dan aku bersorak kegirangan saat pintu brankas terbuka. Aku terbelalak kaget melihat isinya. Aku menggosok mataku berharap apa yang aku lihat hanyalah ilusi. Dan ternyata penglihatannku tidak berubah.

Aku buru buru menutup brankas dan pintu lemari ketika mendengar ketukan pintu dan suara Marni meminta ijin untuk masuk. Rasanya aneh juga dengan perubahan sikap Marni yang sangat santun dan menghormatiku.

"Iya masuk, aku sudah bangun." kataku buru buru tiduran di ranjang.

Marni masuk dengan membawa namlan berisi nasi dan lauk pauknya, menyusul Bu Tris yang juga membawa nampan berisi air dan kopi. Aku benar benar diperlakukan sebagai tuan besar di rumah ini.

Bersambung......

Apdet pendek semoga bisa menghibur.
 
Bimabet
Chapter 7 : Jalu

Ternyata brankas yang dimaksud Bu Dhea tersimpan di sini. Lalu kenapa Pak Tris malah .emberikanku sebuah kotak besi tanpa kunci, padahal kotak itu terkunci. Apa Pak Tris tidak mengetahui keberadaan brankas ini karena kepatuhannya dalam mengagungkan ayahku sehingga dia tidak pernah membuka lemari di dalam kamar. Dia hanya membersihkan bagian yang terlihat. Kepatuhan yang luar biasa seperti yang diperlihatkan para abdi dalem keraton Jogja.

Karena alasan inikah selama belasan tahun ayahku bersembunyi di sini. Kepatuhan yang hanya ada dalam dogeng atau yang paling nyata adalah para abdi dalem di Jogja. Kepatuhan yang membuatku merinding aneh.

Tapi sekarang yang menjadi persoalanku bagaimana cara membuka brankas yang terkunci? Aku tidak tahu nomer kombinasinya. Kemungkinannya adalah nomer yang terpahat di kotak kayu pemberian ayahku. Tapi aku tidak mengingat nomernya karena saat tu aku beranggapan tidak ada gunanya dan sekarang aku memerlukannya. Sekeras apapun aku berusaha mengingatnya, hasilnya sia sia. Aku tetap tidak bisa mengingatnya. Lalu untuk apa aku menemukan brankas ini kalau aku tidak bisa membukanya.

Belum pernah aku seputus asa seperti sekarang. Perjalananku dari Bogor sia sia karena aku begitu bodoh tidak mengjafal angka yang terukir di kotak kayu. Mungkin saja itu benar benar kunci kombinasinya.

Aku menoleh ke arah Marni yang masih tetap berdiri mematung tidak berani duduk maupun menyentuh benda di ruangan ini. Seolah setiap benda yang berada di ruangan ini adalah benda sakral yang tidak boleh disentuh tanpa ijin.

Aku menghampiri Marni yang terlihat sangat berbeda. Biasanya dia selalu memancingku dengan kata kata cabul. Sekarang dia menunduk, mulutnya terkatup rapat. Tak ada lagi candaan cabulnya yang mampu memancing birahiku.

Aku mengangkat dagu Marni dan menatap wajahnya yang manis tidak membosankan untuk terus menatapnya. Matanya terpejam seperti perawan yang baru mengenal pria.

"Kamu kenapa? Kok diam saja?" tabyaku heran.

"Sejak kecil Marni dilarang masuk kamar ini. Ini pertama kali Marni masuk kamar ini, kamar yang dianggap sakral oleh ibu dan bapak." kata Marni mulai berani menatap mataku. Mata yang terlihat ketakutan. Keringat dingin tampak menempel di dahinya yang halus.

Aku menunduk mencium bibir Marni yang tebal agar ketakutannha hilang. Ternyata aku berhasil membuatnya rileks, Marni membalas ciumanku. Tangannya memeluk leherku. Kami berciuman cukup lama mencairkan ketengangan yang sama sama kami alami.

Perlahan aku membuka pakaian Marni hingga tubuhnya bugil. Payudara jumbonya terlihat sangat menggairahkan. Ada bau bedak bayi tercium dari dada jumbonya. Lembut aku mendorong Marni duduk di ranjang yang bertabur bunga melati. Aku segera membuka pakaianku. Aku meraih tangan Marni memegang kontolku yang sudah tegang berdiri dengan gagahnya.

Marni sudah tahu kewajibannya, dia langsung melumat kontolku dengan bernafsu disertai jilatan dan hisapan yang sangat ahli. Marni benar benar tahu memperlakukan kontolku. Dia melakukannya penuh dengan perasaan, seolah olah itu sebagai bentuk pengabdiannya kepadaku.

"Ennnak, Mar. Kamu pinter banget nyepongnya." kataku memejamkan mata menikmati kehangatan mulut Marni yang sedang mengulum kontolku. Dia mengeluarkan kemampuan terbaikknya membuarku meram melek keenakan.

"Udah, Mar. Nanti aku kelluar..!" kataku berusaha menyuruhnya berhenti, tapi Marni tidak memperdulikannya. Dia terus menghisap dan kepalanya bergerak mengocok kontolku. Ahirnya pertahananku jebol, pejuhku muncrat di dalam mulut Marni yang tanpa rasa jijik menelan pejuhku.

Marni tersenyum manis melihatku yang sangat menikmati orgasme di mulutnya. Dai menjulurkan lidahnya yang sudah bersih dari pejuhku yang habis ditelannya.

"Enak gak sepongan Marni, mas?" tanya Marni menggodaku. Wajahnya terlihat puas sudah berhasil menaklukkanku.

"Kamu gak jijik nelen pejuhku?" tanyaku heran melihat wajah Marni yang terlihat puas.

"Pejuh Mas Ujang enak." kata Marni, tangannya meremas dada jumbonya, memancingku untuk beraksi.

Tanpa menunggu dipinta aku mendorong Marni rebah. Aku beraksi meremas dan menghisap putingnya dan benar saja ASInya keluar deras. Dada yang subur menghasilkan ASI kualitas super. Anaknya pasti tidak akan kelaparan dengan produksi ASI yang berlimpah. Aku menghisapnya dengan lahap, merasakan ASI Marni masuk tenggorokanku.

"Hihihi, " Marni justru tertawa geli saat aku terus menghisap ASInya dengan lahap.

"Kok ketawa, Mar?" tanyaku heran menatap Marni yang berusaha menahan tawanya.

"Lucu, Marni punya anak segede Mas Ujang." katanya, bibirnya selalu tersenyum manis setiap kali bertatapan denganku.

Aku hanya tertawa kecil, entah kenapa aku sangat menyukai rasa ASI yang has dan sebentar lagi Ningsih dan Lilis payudaranya akan mengeluarkan ASI seperti Marni. Apa ASInya akan melimpah seperti ASI Marni? Karena menurut cerita ibu ibu saat aku berjualan Mie Ayam tidak semua ibu menyusui ASInya bisa lancar keluarnya. Kadang kala ada yang malah tidak keluar ASI. Semoga Ningsih dan Lilis ASInya melimpah.

"Mas Ujang kontolnya sudah ngaceng lagi..!" kata Marni takjub melihat kontolku sudah bangkit tanla kusadari karena terlalu asik dengan ASI Marni yang melimpah.

Aku membuka paha Marni agar mengangkang semakin lebar, saat aku akan menjilati belahan memeknya, Marni malah menutup memeknya dengan telapak tangannya.

"Jangan dijilat, Mas.....!" Marni menatapku dengan raut wajah memohon. Padahal saat pertama kali kami berhubungan sex dia tidak menolak saat lidahku bermain di belahan memeknya. Tapi kenapa sekarang dia melarangku.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Karena Mas Ujang anak Pak Gobang yang sangat kami hormati." kata Marni dengan wajah serius.

Ahirnya aku mengalah, kutarik pinggang Marni agar tepat berada di pinggir ranjang. Tanpa kuperintah Marni membuka pahanya selebat mungkin. Tanganya memegang kedua pahanya ke atas.

"Masukin, mas. Memek Marni sudah basah...!" kata Marni memohon.

Kontolku dengan mudah amblas ke ke bagian terdalam Marni yang mendesah lega. Perlahan dalam ritme yang kuatur sehalus mungkin kontolku bergerak leluasa. Menggapai setiap bagian terdalam yang selama ini belum tersentuh dan kontolku dapat menyentuhnya tanpa kesulitan. Jangkauannya lebih panjang dari yang dimiliki suaminya.

Apakah ini ritual atau nafsu, semuanya menjadi kabur saat tubuh terintim kami bersatu mencari kenikmatan dan saling memberi kenikmatan. Kenikmatan terlarang justru menjadi sebuah keharusan di Gunung Kemukus. Sesuatu yang tabu berubah menjadi hal yang biasa di sini.

"Mas, ennnak amat kontol kamu..!" Marni berteriak kecil saat kontolku bergesekan dengan dinding memeknya. Wajahnya sangat menikmatinya.

Hingga ahirnya Marni berteriak dan tubuhnya mengejak mendapatkan orgasme pertamanya yang dahsyat. Aku justru semakin cepat memompanya tanpa memberinya kesempatan beristirahat.

"Udah Mas, gantian Marni di atas..!" Marni berusaha memintaku berhenti namun aku tidak perduli. Aku yerus memompanya sehingga tubuhnya berguncang hebat.

"Ampun Massss, enak banget kontolnya...!" Marni berteriak histeris badai orgasme kembali melambungkan jiwanya untuk ke dua kalinya.

Ritual Sex ini semakin panas, aku berubah menjadi liar, keliaran yang tidak sewajarnya. Ada dorongan aneh dalam jiwaku untuk terus memompa memek Marni yang terasa semakin longgar. Aku merasakan pertemuan alat kelamin kami justru membangkitkan simpul simpul prana yang mendekam di 7 cakra utamaku, prana yang menyebar ke setiap sel sel di sekujur tubuhku.

"Ampun Mas, Marni gak kuat lagiii...!" rintihan Marni yang terus menerus mengalami orgasme yang berulang ulang membuatnya kelelahan. Tapi matanya terlihat berbinar bahagia.

Aku menarik tangan Marni agar duduk tanpa melepaskan kontolku dari memeknya. Aku menggendong Marni yang berpegangan pada leherku. Entah kekuatan dari mana, tubuh Marni terasa ringan sehingga aku dengan leluasa menggerakkan tubuhnya naik turun memompa kontolku.

Marni memeluk erat sehingga dada jumbonya menekan dadaku dengan keras. Kurasakan ASInya membasahi dadaku mengalir ke perutku.

Aku berjalan sambil terus menaik turunkan Marni memompa kontolku, ke arah meja rias. Ternyata ranselku sudah ada di atas meja rias, aku baru menyadarinya sekarang. Karena perhatianku tadi lebih tertuju ke brankas yang tersembunyi di dalam lemari.

Kusingkirkan randelku ke pinggir hingga jatuh, perlahan aku meletakkan Marni duduk di meja rias. Kembali aku memompanya dengan cepat dan semakin cepat saja karena aku merasa akan segera orgasme.

"Marrr, aku kelllluarrrrr..!" aku membenamkan kontolku hingga dasar terdalam memek Marni memuntahkan kandungan.pejuhku ke dalamnya.

"Marni jugaaaaa mas...!" teriak Marni, tubuhnya langsung terkulai setelah orgasmenya berlalu. Inilah pengalaman sex terhebat dan terliar dalam hidupku.

Aku menarik kontolku dari memek Marni. Lalu mengambil kursi dan duduk menghadap Marni. Kami sama sama terdiam setelah persetubuhan yang baru saja selesai.

*****

Aku bangun, ternyata Marni tidak ada di dalam kamar. Jam di dinding menunjukkan ang 7:30, berarti sekarang sudah malam. Nyenyak benar tidurku.

Aku teringat dengan brankas yang tersembunyi di balik lemari jati dan berpikir keras berusaha mengingat nomer yang terukir di kotak kayu, berusaha membayangkan setiap detil kotak kayu tersebuya Dan seperti tadi aku tidak bisa mengingatnya.

Kira kira nomer apa yang dipakai ayahku. Tanggal kelahiran salah satu anaknya, mungkin. Tidak ada salahnya aku mencoba salah satu tanggal lahir kami.

Aku mulai dari tanggal lahirku. 11 12 1973, ternyata tidak bisa. Aku coba dengan membulak balik angkanya tetap saja tidak bisa. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Lalu tanggal lahir adik pertamaku, 10 04 1977, caranya seperti tadi. Kembali aku gagal membuka brankas.

Mungkin tanggal lahir adik bungsuku, 01 12 1979, hasilnya tetap sama. Aku memutar otak, berusaha berpikir. Mungkin tanggal lahir ibuku dan tetap gagal.

"Aku beri kamu nama Jalu" itu isi surat ayahku di dalam kotak, mungkin itu kunci untuk membuka brankasnya. Tapi tidak ada abjad di putaran brankas, hanya ada angka. Tapi tidak ada salahnya aku mencoba.

J adalah abjad nomer 10, A abjad nomer 1, L abjad nomer 12 dan U nomer kalau tidak salah nomer 15. Dan aku bersorak kegirangan saat pintu brankas terbuka. Aku terbelalak kaget melihat isinya. Aku menggosok mataku berharap apa yang aku lihat hanyalah ilusi. Dan ternyata penglihatannku tidak berubah.

Aku buru buru menutup brankas dan pintu lemari ketika mendengar ketukan pintu dan suara Marni meminta ijin untuk masuk. Rasanya aneh juga dengan perubahan sikap Marni yang sangat santun dan menghormatiku.

"Iya masuk, aku sudah bangun." kataku buru buru tiduran di ranjang.

Marni masuk dengan membawa namlan berisi nasi dan lauk pauknya, menyusul Bu Tris yang juga membawa nampan berisi air dan kopi. Aku benar benar diperlakukan sebagai tuan besar di rumah ini.

Bersambung......

Apdet pendek semoga bisa menghibur.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd