Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA SALAH SASARAN - Ipar-Iparku yang Ahhh... Sudahlah (NO SARA!)

CHAPTER 31



Ku lanjutkan perjalananku menuju ke rumah Pak Rusli.

Yah! Mau gimana lagi, emang udah niatan di awal mau kesana, apalagi setelah mengetahui dari pesan yang di kirim Nira meski ia berada di sampingku - mengenai kondisi rahasia hubungannya dengan suaminya selama ini, aku malah semakin di buat blingsatan jadinya. Ingin nyerang, tapi takut dia menggampar.

Jangan tanyakan padaku, bagaimana keinginan untuk mengajaknya melipir ke sebuah tempat yang bisa ku pakai berasyik masyuk dengannya. Tapi sekali lagi, nyaliku ciut bro. Sungguh! Terlalu beresiko. Berbeda dengan saat bersama Azizah, memang kami hanya berdua saja kala itu di Semarang, tapi tidak dengan Nira. Semua keluarga masih berkumpul di satu kota. Apa jadinya kalo aku salah melangkah, dan Nira tidak menerima bahkan langsung menjadikan alasan satu-satunya ini buat menghancurkan hidupku?

Jadi, intinya, harus tarik ulur apabila ingin menaklukkan kakak iparku yang satu ini. Meski si bang kodir sialan di bawah sana sudah menggeliat minta untuk di keluarkan dan di tunjukkan pada akhwat di sampingku tadi. Tapi sekali lagi aku masih bisa menahannya, aku harus memakai rencana yang bagus buat menaklukkannya. Setidaknya sampai sejauh ini, kedekatanku dengannya sudah berjalan pada koridor yang semestinya. Masih banyak waktu kawan. Jangan tergesa-gesa.

Apalagi mengingat kejadian saat kami ingin berpisah tadi. Semakin membuatku menghadirkannya dalam pikiranku juga, selain dua saudarinya itu.

Jadi berlanjut ke urusan syahwat memang belum saatnya ku lakukan saat ini.

Hmm….

Pasti kalian ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi setelah kejadian ia menceritakan padaku rahasia rumah tangganya bukan?

Baiklah, kan ku ceritakan sedikit saja pada kalian yah. Biar plong, biar kalian tidak penasaran, seperti rasa penasaranku mengenai bagaimana bentuk tubuh kakak iparku saat ia lagi bertelanjang bulat di hadapanku. Hahahaha!







Setelah aku membaca pesan darinya, dengan cara - tentu saja bacanya perlahan-lahan karena aku tak boleh terpecah fokus dengan jalan di depan kami. Pasti yang biasa menyetir sambil baca-baca chat masuk di ponsel, paham apa yang ku maksudkan ini. Jangan ada debat mengenai, menyetir sambil pegang HP itu berbahaya. Karena gak penting juga di debatkan kawan. Intinya begitu, wong di suruh pegang tetek aja sambil nyetir ku jabanin apalagi hanya megang Hp - pada akhirnya ku letakkan kembali ponsel ke semula. Kemudian menoleh ke samping, aku melihat kakak Iparku ini masih memegang ponselnya, seperti nya ia tak berani bersitatap denganku saat ini.

Yang jelas, setelah membaca dan mengetahui apa yang ada dalam pikiran kakak iparku ini, aku lega. Amat sangat lega. Beberapa poin pun telah ku tangkap, pertama, ia memang sudah sejak lama mendambakan kenikmatan dalam sebuah persetubuhan namun hal itu tak lagi pernah ia rasakan karena suaminya sudah gagal menjadi pria sesungguhnya - baca : mandul.

Bahkan parahnya, mungkin saja penisnya tak bisa lagi berdiri seperti semula akibat kecelakaan yang menimpanya kala itu. Kemudian, kedua, mungkin saja jika aku menarik kesimpulan dalam ingatan pada informasi mengenai kakak iparku ini yang baru setahunan mengenakan cadar, mungkin saja ini adalah salah satu bagian buat bertahan dari godaan kenikmatan di luar sana karena ia sendiri - sesisa umurnya bakal merana terus menerus, hanya bisa menelan ludah di saat mendengar beberapa cerita dan informasi mengenai bagaimana nikmatnya bersetubuh. Apalagi notabenenya, dari ceritanya juga, jika suaminya sebelum terjadi kecelakaan, bisa memberinya kepuasaan lahir batin. Jadi itu artinya, ia pernah merasakan bagaimana nikmat sesungguhnya dalam bersetubuh, lalu sekarang ia sudah tak bisa lagi mendapatkannya, makanya, seperti yang ku ceritakan, menutup diri dengan bercadar adalah jalan satu-satunya buat bertahan.

Ketiga dan terakhir, jika akhwat bercadar tersebut malah mendambakan penisku yang menurut pengakuannya bentuknya jauh melebihi milik suaminya saat masih normal dulu. Dan satu lagi, kini, dengan foto penisku ia memiliki sarana baru buat mendapatkan kenikmatannya sendiri, meski dengan cara self service - Masturbasi.

Anjir! Mengingat hal itu penisku menegang lagi.

Bahkan kadar ketegangannya semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya aku langsung menghambur dan memeluk serta menyentuh tubuh kakak iparku.

“Oh gitu ya Nir” aku bergumam setelah selesai membaca pesan darinya. Serta membuyarkan lamunannya, karena sejak tadi, tatapannya kosong pada ponselnya. Pikirannya melambung jauh di luar sana.

“Eh I… iya Ar”

“Hmm, terus?” ku tanyakan kembali.

“Terus gimana?”

“Eh….” aku malah bingung mau meneruskan kalimatku barusan.

Hmm…. tapi, namanya laki-laki pastinya punya seribu cara buat mencairkan suasana.

“Hehehe kirain mau minta saya bantuin.”

“Kamu bisa aja Ar” begitu jawabnya. Percayalah kawan, apabila lawan bicaramu apalagi wanita, kalo sudah ngomong gini itu artinya ada keinginan di dalam sana buat menghentikan pembahasan yang sedang di bahas saat itu. Sama seperti yang terjadi saat ini, mendengar Nira ngomong gitu, sembari ia hanya menatapku sekilas kemudian kembali menatap ke ponselnya, itu artinya, kini ia di landa perasaan yang berkecamuk di dalam sana. Kalo sekarang aku memaksa lebih jauh masuk ke dalamnya, tentu saja ia akan semakin berkecamuk, dan aku tak ingin menyiksanya, karena ku ingin, semuanya berjalan dengan baik tanpa adanya paksaan, bahkan jujur, aku ingin justru wanita inilah yang memintaku dengan ikhlas dan sukarela buat ku senggami kedalamannya.

Masih banyak jalan menuju roma, kawan.

Dan beberapa jenak kami kembali diam dengan pikiran masing-masing.

Tapi, aku sempat nyeletuk, “Masalah ini, kamu percayalah pada saya…. tidak akan ada yang tahu selain saya, atau, jangan ragukan keahlian saya dalam menyimpan sebuah rahasia, Nir”

“I… iya Ar. Aku juga terima kasih jika kamu bisa menjaganya, bahkan pada istrimu sekalipun jangan pernah sampai mengetahui masalahku ini ya. Please”

“Ya sudah. Kita juga udah mau sampai nih, dimana alamat temenmu itu?” dengan mengatakan itu, artinya aku juga sudah memungkasi pertemuanku dengannya untuk hari ini, tapi tidak dengan nanti. Jika kami di beri kesempatan berdua lagi dan berkomunikasi seperti saat ini, maka, aku akan melanjutkan melangkah ke step lebih jauh dari yang sekarang.



Karena tak adalagi pembahasan yang berarti, maka aku pun mengarahkan mobil sesuai petunjuk alamat darinya.

Singkat cerita, akhirnya kami tiba di depan alamat yang di tuju.

Sebelum turun, aku sempat menangkap makna yang tersembunyi dari cara akhwat bercadar ini menatapku. Tapi, ini adalah strategyku. Aku harus cuek, tapi tetap tidak melupakan rencana sesungguhnya buat menaklukkannya.

“Sudah sampai Nir” aku mengingatkan.

Nira memandangku sekilas, lalu menunduk. Aku yakin, perasaannya kini sedang bergejolak. Aku sempat berfikir keras bagaimana cara menyikapnya saat ini.

Cukup lama kami diam-diaman tanpa turun dari mobil.

Aku makin penasaran dengan sikapnya yang jauh berbeda dengan sikapnya yang sebelumnya, sebelum ia menceritakan rahasia besar tersembunyinya tersebut.

Ku beranikan diri untuk bertanya padanya….

“Kenapa Nir? Ada yang sedang kamu pikirkan? Apa saya telah berbuat salah padamu, atau? Tolong jelaskan ke saya” Dengan lembut aku bertanya, mencoba mencaritahu penyebab sikapnya menjadi seperti sekarang ini.

Sedikit ia melirik kepadaku, kemudian menunduk, tanpa menjawab.

“Nir….” aku memanggilnya.

“Gak apa-apa Ar…. gak usah di bahas lagi ya”

“Tapi Nir.…”

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ia sudah menatapku.

“Aku turun dulu ya Ar” Ia meminta ijin padaku sambil tangannya telah memegang handle pintu buat membukanya. Ada apa ini? Kenapa dengan Nira batinku bertanya.

Tapi aku tentu saja tak bakal melepaskannya begitu saja sebelum mendapatkan kepastian yang ada. Biar gak menjadi duri dalam daging, bro. “Ada apa ini, Nir? Kalo kamu gak jawab, saya tidak akan mengizinkanmu pergi” langsung ku sambar tangannya dan memegangnya. Ia sedikit meronta ingin melepaskan cengkeramanku.

“Sudah Ar… ku mohon, lepasin tanganku” pintanya.

“Tidak, sebelum kamu cerita ada apa, saya gak akan ngelepasin tangan kamu!” Aku berkata tidak kalah tegasnya sambil masih memegang tangannya.

Nira menatap tajam wajahku, cukup lama, tiba-tiba ia menunduk dan mulai terisak, menangis. Modyar! Aku belum siap dengan keadaan yang seperti ini kawan.

“Hik… hiksss…”

Sungguh! Aku mengira diam dan sikapnya yang berubah tadi, ada sebuah kesalahan yang ku katakan padanya, atau mungkin terselip omongan yang membuatnya bersedih. Bahkan aku mencoba untuk memutar kembali ingatanku dari awal kami berangkat keluar rumah, tapi, tetap saja nihil. Aku tidak menemukan kesalahan yang berarti dari setiap kata yang ku keluarkan padanya. Yah! Kalo hanya singgungan mesum semata, itu ku lakukan karena adanya perlawanan obrolan darinya yang seolah-olah tak menunjukkkan keberatannya atas pembahasan kami sejak tadi. Kalian juga pasti sudah bisa menebak kalo yang mengikuti cerita ini. Bener bukan?

Lantas dimana salahku, bro?

Atau, aku malah yang salah menebak, bukan aku yang salah tapi kebetulan ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.

“Aku sudah melakukan dosa besar Ar” Ia berkata masih sambil terisak. Aku tercenung mendengar kata-katanya. Biar bagaimanapun kegundahan hatinya, disebabkan karena perilakuku. Karena omonganku yang memancing di air keruh sejak tadi.

Aku terdiam, tapi masih memegang tangannya.

“Aku wanita yang gak beradab, Ar. Dengan tega menceritakan kekurangan suami pada pria lain, padahal tak pantas ku lakukan itu. Hiks… hiks…. Aku telah tega mempermalukan suamiku. Hiks....hiks…” Air matanya berderai, membasahi niqabnya.

Aku terdiam sesaat, lalu berkata lirih, “Maafkan saya Nir, saya yang salah. Saya yang memancingmu untuk bercerita.”

Nira menggeleng perlahan, “Tidak Ar, tidak sepenuhnya ini salahmu. Aku aja yang tidak bisa menahan diri….”

“Iya Ar, memang betul kalo aku memang wanita yang sudah lama tak disentuh, sudah tak pernah mendapatkan belaian dari sosok pria, dari suami…. Sudah hampir tiga tahun ini aku tak mendapatkan nafkah batin semenjak setelah kecelakaan yang di alami suami….” Ujarnya lirih.

“Aku juga wanita normal Ar, masih ingin disentuh, masih ingin disayang, masih ingin...…” Nira tak menyelesaikan kalimatnya, tapi dari kata-katanya, aku memahami penderitaan batinnya.

“Aku gak mungkin meninggalkannya Ar, karena aku juga mencintainya….”

Karena bertujuan untuk menangkannya, aku pun meraih tubuhnya, dan dengan nekat mendekapnya ke pelukanku. Nira tak bergeming, dan tak menolak, ia membiarkanku untuk memeluknya.

“Sudah… sudah…” Aku mencoba menenangkannya. Akupun sudah kehabisan kata-kata, tak tahu harus bicara apa lagi. “Gak usah di lanjutkan Nir. Saya paham apa yang kamu rasakan, dan saya minta maaf atas kelancangan saya yang sejak tadi memancingmu. Saya berjanji kejadian ini tak akan terulang”

Kami terdiam sesaat sebelum Nira melanjutkan perkataannya, yang masih nyaman berada di dekapanku. “Hiks… Terima kasih Ar, sudah mau mendengarkanku, sudah mau menghargaiku…. dan sudah memberikanku pengalaman baru…..”

Dan dasar hati dan perasaan, malah secara spontan dan tanpa sadar, aku malah mencium kepalanya yang tertutup hijab, Nira mendongak, kukecup lagi keningnya dengan lembut. Nira diam saja.

“Maafkan saya, yang saya lakukan ini hanya sekedar untuk menenangkanmu. Saya adalah seorang adik, jadi sepantasnya tugas seorang adik menenangkan kakaknya.”

Dalam tangisnya, dan wajah yang masih di sembunyikan di balik niqabnya, itu tersenyum samar.

Lalu ia mengangguk. “Iya Ar, Nira ngerti kok. Tapi… sungguh, nyaman banget tadi berada di pelukanmu”

“Hush!” aku lantas melepaskannya. “Awas, bakal keterusan” lanjutku. Dasar munafik. Batinku menjudge diriku sendiri yang munafik sekali. Padahal jelas-jelas memeluknya memang salah satu bagian dari rencanaku, serta melihat sekali lagi kemanjaan wanita ini yang di berikan padaku, adalah dambaanku sejak tadi. Lalu, tak singkron banget dengan kata perkata yang terucap dari mulutku ini. Tepok jidat!

“Dah ah, Nira pamit ya Ar.” ujarnya sembari membalas senyumanku.

Aku mengangguk.

Sejurus kemudian ia meminta tanganku, dan anehnya, ia malah kembali menyalimku. Ini kan sudah salah, jelas-jelas dia kakak iparku, meski umurnya lebih muda dua bulan dariku. Hehehe!

“Assalamualaikum”

“Wa’alaikum salam Nir” dan yah, pada akhirnya ku pungkasi pertemuan kami ini dengan membiarkannya lepas dari penguasaanku. Tapi, untuk nanti, mungkin tak akan semudah ini ku lepaskan lagi. Hoho!

Setelah itu, setelah mendapatkan lambaian tangan darinya yang telah berdiri di luar sesaat setelah ia menutup pintu mobil, maka dengan membuka kaca samping, aku pun mengatakan padanya “Pergi dulu ya Nir, kalo emang mau di jemput kabari aja”

“Gak perlu Ar. Nanti bang Anton yang jemput kok. Ini dia udah WA.”

“Ohhh okok”

Dan yah! Begitulah kejadian terakhir bersama Nira, kakak iparku ini. Ku teruskan niatku yang memang mau bertamu di rumah mantan bosku Pak Rusli. Jadi, tak perlulah ku ceritakan detailnya yang terjadi saat aku sudah bertemu dengan beliau ya. Gak penting juga. Hahaha!


BERSAMBUNG CHAPTER 32
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd