Part 13: Rasa Sayang Yang Dulu Aku Remehkan.
Suara tubuh yg beradu bercampur dengan desahan menggema di ruang tamu yg panas ini. Decitan suara sofa dan kecipak lidah tak mau kalah mengisi ruangan ini. Tiga orang remaja sedang saling memuaskan diri. Aku menghujamkan penisku dengan tempo cepat kedalam vagina Julie, gadis manado tetanggaku yg merupakan anggota idol group kenamaan ibu kota. Sudah sekian kali tubuhnya yg sexy dan membuat para fans bernafsu ini ku nikmati. Dialah partner sex utamaku, seorang gadis yg memiliki nafsu tinggi. Namun hanya aku saja yg bisa membuatnya puas. Sedangkan saat ini lidahku sedang menjilati vagina merah merekah dengan daging vagina yg berlipat keluar, aku yakin ini karena dia sudah sering melakukan persetubuhan sebelumnya. Namun lendirnya yg gurih ini mudah sekali untuk keluar, bagaikan di refill terus menerus untuk ku sesap.
“nggghhh ooohhhh…. Aku beceeeeekkk, lidah kamu teh mantap” Frieska meracau ketika lidahku menggelitiki klitorisnya, sedangkan jariku menyibak dan mengorek vaginanya.
Julie mendorong tubuhku dan melepaskan dirinya. Ia merapikan pakaiannya.
“kak, aku gak mau ada cewek lain…” Julie cemberut padaku.
“Jul tunggu dulu, belom selesai!” balasku berusaha menahan Julie yg pergi meninggalkan kamarku.
Frieska yg sepertinya sudah diselimuti nafsu menarik tubuhku dan membenamkan wajahku di payudaranya yg besar. Payudaranya yg besar, lebar dan kenyal ini benar benar memberikan sensasi baru. Putingnya yg juga besar mencuat membuat siapa saja yg melihat pasti ingin menghisapnya. Frieska bagaikan seorang ibu yg sedang menyusui anaknya. Kucubit putingnya yang sedari tadi sudah tegang menanti nanti untuk diberikan sentuhan. Frieska menggelinjang, melihat reaksinya aku semakin bersemangat. Kupilin putingnya sementara dengan sisa jariku tetap meremas daging payudaranya gemas.
“Mmmphhhh….” Aku membungkam mulut Frieska yg mendesah dengan bibirku.
kucium bibirnya yang merah merekah itu hingga dapat ku kecap rasa manis nya kemudian ku teruskan melumat bibirnya mengubahnya dari sebuah kecupan menjadi ciuman panas. Frieska sama sekali tak melepas pagutan ku di bibirnya. Dia malah mengalungkan lengannya melingkar di leher ku, memaksaku untuk terus melumat lidahnya yang semakin liar menari - nari di dalam mulutku. Aku membaringkan Frieska di sofa ku hampiri Frieska yang terbaring pasrah dengan penis ku yang sudah dalam kondisi tegang maksimal.
Frieska menatap penisku dengan tatapan yang mesum. Ku dekatkan penisku di hadapan vaginanya. Frieska meraih penis ku dengan tangannya, ia membuka lebar pahanya memamerkan vaginanya yg bersih tanpa bulu. Bibir vaginanya sudah becek mengkilap dibanjiri cairan orgasmenya. Kugunakan cairan itu untuk mengolesi kepala penisku sebelum akhirnya kutusukan di lubang vaginanya yang terasa longgar, namun bagian dalamnya begitu longgar. Frieska menutup mulut dengan tangannya saat aku melakukan penetrasi.
Tak perlu banyak tenaga untuk akhirnya lubang kenikmatannya bisa kutembus dengan penisku.
"Sempit banget dalemnya, padahal masuknya gampang." aku memuji vagina Frieska yg seakan mencengkram dengan erat batang penisku.
Tak sabar, Frieska menggoyang tubuh bawahnya naik turun membuat penisku seperti dipijit oleh dinding dinding vaginanya yang hangat. Aku tentu tak mau kalah , ku cengkeram lekukan pinggangnya sebagai tempat bertumpu agar aku leluasa menggenjot lubang vagina Frieska.
"Aaaaaahhhhh genjot yg kuat sa!" ucap Frieska yg sudah dipenuhi nafsu.
Aku menaruh jari telunjukku di bibirnya sebagai isyarat supaya dia tidak terlalu keras bersuara. Tubuhnya ikut terguncang akibat genjotanku, dadanya yg besar naik turun dengan sangat erotis membuat ku semakin bersemangat untuk menggenjot tubuhnya.
CLEK!
Suara dari gagang pintu depan apartementku yg berputar, dari balik pintu masuk seorang gadis yg tampak sedang bahagia dengan membawa sebuah hoodie berwarna hitam ditangannya. Namun raut wajahnya berubah menjadi terkejut melihat keadaan kami berdua saat ini.
“Aku balikin ini, sorry” Della meletakan hoodie itu di samping pintu.
Della membalik tubuhnya, menutup pintu apartementku. Ia telah menghilang dibalik sana. Aku dan Frieska mematung, tubuhku mati rasa. Jantungku berdegup pelan, semakin pelan seakan akan berhenti. Perasaan berkecamuk didalam dadaku.
“Oh Della cuma mau balikin hoodie, yaudah lanjut lagi” Frieska menggerakan pinggulnya pelan, mencoba membuat penisku yg sudah menyusut untuk menegang kembali.
Aku mencabut penisku dari dalam vaginanya, memakai kembali pakaianku yg berceceran dan bergegas mengejar Della yg sudah turun dengan lift. Aku dapat melihat lift itu masih berada di lantai 5.
“Kak, pakai baju lu, trus pulang” kataku pada Frieska yg melihat ku tergesa-gesa.
“Loh tapi sa, kita belom selesai” balasnya masih berusaha menggodaku.
“Selesai, semuanya udah selesai.” balasku pelan.
“Saat gw udah balik ke kamar ini, gw gak mau ngeliat ada lu disini. Jadi mending sekarang pulang. Terima kasih banyak kak Frieska” tambahku sebelum menutup pintu apartemenku.
Aku turun sambil berlari menggunakan tangga darurat, aku berlari sekuat tenagaku. Nafasku tersengal-sengal dan dadaku terasa seperti akan meledak. Mungkin karena sebelumnya aku sedang memacu nafsu sehingga tenagaku hanya tersisa sedikit saja, namun ini tidak ada apa-apanya di banding keinginanku untuk segera menahan Della sebelum semuanya terlambat. Tenagaku sudah hampir mencapai batasnya, aku berhenti sejenak dan melihat kearah papan penunjuk lantai.
“3?” aku menarik nafas panjang, mengumpulkan sisa sisa tenaga terakhirku.
Aku kembali berlari menuruni tangga apartementku, sampai akhirnya aku mencapai lantai 1. Dengan keringat bercucuran dan nafas memburu, aku keluar dari pintu darurat ini dan menuju kedepan lift yg berhenti di lantai 1 itu.
“Kosong?!” aku tak percaya melihatnya, ternyata aku masih kalah cepat dengan lift ini.
Loh mas Yusa kok pakai tangga?” tanya Mbak Linda, costumer service apartementku.
“Mbak liat cewek pakai kemeja hitam, rambutnya segini turun lewat lift ini gak?” aku menjelaskan ciri-ciri Della padanya.
“Oh dia belum lama tadi keluar, paling masih di depan halaman apartement ini” balas mbak Linda.
Aku langsung bergegas berlari keluar, berharap bahwa aku masih dapat mengejarnya. Sesaat aku sudah berada diluar, ku tengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari keberadaannya. Diujung jalan apartementku ini aku dapat melihat seorang gadis yg sedang berdiri dipinggir jalan raya, seperti menunggu sesuatu.
“Itu dia!” rasa lelahku seakan menghilang ketika berhasil menemukannya.
Aku bergegas berlari kearah tempatnya berdiri itu, namun tubuhku tidak sekuat semangatku. Lariku perlahan memelan, langkahku gontai. Dadaku semakin sesak, aku terbatuk akibat kelelahan. Batukku begitu kosong, bagaikan paru-paru sudah tidak menampung udara sama sekali. Namun aku masih memaksakan tubuhku untuk melampaui batasnya dan kembali mengejar Della. Semakin aku berusaha mengejarnya, semakin terasa jarak antara kami berdua semakin jauh. Pandanganku mulai menjadi samar, namun aku masih dapat sedikit melihat bayangannya dikejauhan itu.
“DELLA!!” aku memanggilnya dengan sisa-sisa tenagaku sebelum tubuhku benar-benar terjatuh.
Pandanganku semakin memburam, namun aku masih melihat samar-samar bayangan Della didepan mataku, bayangannya yg jauh dan kecil itu menatap kearahku. Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas, namun aku dapat melihatnya tersenyum kearahku sambil melambaikan tangannya. Ia melambai kearahku seperti mengucapkan selamat tinggal.
“Dell, tunggu” kata-kata itu keluar dari mulutku sebelum semuanya menggelap.
.
.
.
.
Aku mengerjapkan mataku pelan, aku ingat bahwa tadi aku pingsan karena kelelahan. Perlahan aku kembali mendapatkan kesadaran dan penglihatanku.
“ini kamarku kan?” Aku berusaha meyakinkan kembali.
Aku kini terbaring diatas kasurku sendiri, masih dengan keadaan seperti sebelum aku pingsan tadi.
“kok bisa balik ke kamar?” pikirku bingung.
Aku mencoba menggerakan badanku, namun seluruh ototku rasanya begitu tegang dan sakit. Dadaku juga masih cukup sesak, bernafas saja membuatku kelelahan. Sepertinya untuk saat ini lebih baik aku merebahkan tubuhku sebentar. Kucoba menutup mataku kembali untuk beristirahat.
“udah bangun?” aku merasa mendengar seseorang bertanya padaku.
“suara ini?” aku tak percaya mendengarnya.
“Yusa, udah bangun?” suara itu kembali bertanya padaku.
“gak mungkin” pikirku dalam hati.
“Kalau udah bisa bangun, makan dulu” kembali ia berkata padaku, membuatku semakin penasaran.
Perlahan kubuka mataku untuk melihat sumber suara itu. Aku dapat melihat Della yg sedang duduk disamping kasurku, membawa sebuah piring berisi nasi dan telur goreng. Ia duduk sambil menatapku tersenyum, menggenggam sendok yg sudah siap untuk disuapkan kedalam mulutku.
“makan dulu” Ia kembali berkata padaku, lembut.
Aku kembali memejamkan mataku, berusaha merasionalkan segala hal yg terjadi saat ini. Memikirkan berpuluh puluh kemungkinan bagaimana ini bisa terjadi. Berusaha menyimpulkan kejadian demi kejadian agar bisa masuk kedalam nalar, sehingga kini tercapai sebuah kesimpulan.
“gw masih pingsan dan ini cuma mimpi” Senyum tersungging dari bibirku.
Kembali ku istirahatkan tubuhku dan berusaha untuk tidur, sepertinya memang aku harus kembali beristirahat karena terlalu lelah dan terlalu banyak pikiran yg bercampur aduk sehingga mendapat mimpi seperti ini.
“Aduuuuduuuh!!” Pekikku ketika sebuah tangan mencubit pipiku.
“Sakit!” Aku memegang pipiku yg dicubit kencang sekali dan membuka mataku.
Kembali kudapati Della yg masih berada ditempatnya tadi, masih dengan sebuah piring yg dia letakan diatas pahanya dan sebuah sendok yg berada didalam genggamannya. Bedanya kini wajahnya menatapku dengan kesal dan tangannya bersiap mencubitku kembali.
“iya iya aku makan!” Aku mencoba bangun dari tidurku, namun badanku benar-benar seperti tidak memiliki tulang.
“udah, begitu aja makannya” ia menahanku untuk bangun dan mengarahkan sendoknya kemulutku.
Kini aku makan dengan keadaan berbaring dikasur, dimana Della menyuapiku dengan pelan dan cekatan. Merawatku yg baru tersadar dari pingsanku ini, menemaniku yg terbaring tak berdaya.
“asin banget” kataku ketika memakan telor buatannya.
“Kamu udah makan?” aku mencoba mengajaknya bicara.
Della masih fokus menyendok nasi dan potongan telur goreng di piring itu, bersiap memberikanku suapan berikutnya.
“La, kamu gak marah?” tanyaku kembali, mencari tau apa reaksinya setelah melihatku tadi.
Della tak membalas setiap perkataanku dan tetap menyuapiku, namun ia tak berbicara apa-apa selain menyuruhku makan dan melarangku untuk banyak bergerak. Senyuman dibibirnya benar-benar lembut, ia tidak sekalipun melepaskan pandangannya dariku. Matanya menatapku dalam.
Aku menurutinya dan makan sampai habis, tidak lupa ia memberikan ku air setelah makanku selesai. Mengelap mulutku dengan tissue dan kembali menyuruhku untuk berbaring.
“kamu istirahat ya” Katanya padaku sambil tersenyum.
“iya” balasku padanya.
Kamarku yg temaram karena cahaya dari langit yg berwarna jingga. Cahaya yg sama menyinari wajah Della, kupandang wajahnya dari bawah. Cahaya itu perlahan memperlihatkan seluruh wajahnya. Aku menatap setiap inci wajahnya itu.
“La…” aku memanggil namanya pelan.
Wajahnya benar benar kosong, kulitnya pucat. tak ada cahaya terpancar dimatanya, matanya bengkak dan terlihat jelas sisa air mata di mata dan pipinya. Hanya ada senyuman manis yg sejak tadi merekah, yg bila diperhatikan baik baik senyum itu benar-benar tidak memiliki arti dan makna. Senyuman yg lembut, yg tercipta dari kehampaan yg kini ia rasakan.
“Aku pergi dulu ya, kamu istirahat sampai membaik.” Katanya padaku.
“Kabarin kalau kamu udah baikan…” wajahnya kini berada diatasku yg sedang berbaring.
Wajahnya tepat berada diatas wajahku, senyumannya tersungging dengan jelas. Senyuman yg lebar merekah hingga membuat matanya yg sipit itu hilang. Perlahan kepalanya turun mendekati kepalaku, dahinya kini menyentuh dahiku. Tak berapa lama ia kembali berkata padaku.
“Aku sayang kamu” sesaat setelah kata itu terucap dari bibirnya, ia beranjak dari kursi dan meninggalkanku yg masih berbaring lemah.
Aku berusaha bangkit dari tidurku untuk mengejarnya, namun apadaya ototku tidak mau digerakan. Aku hanya dapat menatapnya dari belakang, menatap tubuhnya yg perlahan lahan menuruni tangga dan kemudian hilang dari pandanganku.
“Della! Tunggu!” Aku hanya mampu meneriakan namanya, tanpa jawaban darinya.
“Lala!” kembali kuteriakan namanya yg juga tidak mendapat balasan.
CLEK!
Suara pintu apartement ku yg ditutup perlahan, menandakan bahwa Della telah keluar dari apartementku. Meninggalkan ku yg terbaring dikasur dan hanya mampu meneriakan namanya.
.
.
.
Seminggu telah berlalu semenjak kejadian itu…
Della tidak pernah hadir saat latihan, ia juga tidak pernah perform di theater setelahnya. Aku mencoba bertanya pada teman teman, member, bahkan keluarganya. Namun semua bungkam seakan menyembunyikan keberadaannya. Aku mencoba bertanya pada Julie, Saktia maupun Gaby. Tapi semua member yg berhubungan dekat denganku benar-benar tidak mengetahui keberadaan Della, ia tidak pernah memberikan kabar kepada mereka bertiga. Aku mencoba mengirimkan pesan, menelfon namun tak ada jawaban darinya. Pesan yg terakhir ia baca adalah pesan dariku yg memberikan kabar bahwa aku telah membaik. Seakan akan hanya kabar itu yg ingin dia dengar untuk terakhir kalinya dariku.
“Gab, Della masih gak ngehubungin kamu?” tanyaku pada Gaby yg duduk disebelahku.
“Gak, terakhir dia ngasih kabar ke sensei kalau dia lagi ada urusan keluarga. Dia juga udah izin lewat ibunya ke management dan di approve” balas Gaby padaku.
“oh gitu, tiba-tiba ilang ya” Balasku padanya, pura-pura tidak mengetahui apa yg terjadi.
“Cie nanyain terus…” balas Gaby padaku.
“bukan gitu, aku cuma penasaran aja” balasku padanya.
Aku kembali memfokuskan diriku pada jalan, melajukan kendaraanku dijalan raya yg sepi ini. Karena hari ini waktu sudah larut malam, Gaby pulang larut karena latihan untuk setlist baru yg sudah berjalan.
“Yusa…” Gaby memanggilku pelan.
“iya?” balasku.
“Kamu udah seminggu ini makannya sedikit, kamu juga banyak diem, dan selalu nanyain Della.” Gaby berkata sambil menundukan kepalanya.
“aku tau kamu khawatir, sama kyak aku khawatir juga…” tambahnya, “tapi cara kamu khawatir ini beda”
“beda apanya? Biasa aja haha” balasku kebingungan akibat perkataannya yg tiba tiba.
“kamu tuh pembohong yg buruk. Jujur sama aku…” Gaby menatapku dengan wajah yg murung.
“kamu cinta sama Della?” ia bertanya padaku, raut wajahnya begitu serius.
“ya gak lah, aku cintanya sama kamu” Balasku padanya tersenyum berusaha meyakinkannya.
“Kamu sayang sama Della?” Tanyanya lagi.
Aku menatapnya bingung, karena raut wajahnya benar-benar serius. Nampak kekecewaan terpancar dari matanya. Ia tidak mempercayaiku.
“Kenapa kamu nanya gitu?” Balasku bertanya padanya.
“gapapa” balasnya padaku, ia menggigit bibir bawahnya.
Aku kembali menatap kearah jalanan, apartement tempat Gaby tinggal mulai terlihat. Aku memelankan kendaraanku.
“didepan aja Sa, kamu langsung pulang aja.” Gaby memintaku menurunkannya didepan pintu masuk.
Aku menurutinya. Menurunkannya didepan pintu masuk apartementnya. Ku buka kaca mobilku sebelum benar-benar pergi, melambai kearahnya.
“Yusa…” Ia kembali memanggil namaku dari luar.
“Kamu sayang sama Della?” Ia kembali bertanya padaku, mulutku tergagap berusaha menjawab pertanyaannya.
“gak usah dijawab, itu bukan pertanyaan” katanya lagi padaku.
“itu pernyataan” kemudian ia meninggalkanku dan masuk kedalam apartementnya.
Perkataan Gaby membuatku tak karuan, aku memacu kendaraanku dengan pikiran berkecamuk. Perkataannya itu seperti sebuah panah yg menghujam tepat ke jantungku. Seperti sebuah petir yg menyambar tepat dikepalaku.
“sayang sama Della?” Aku bertanya pada diriku sendiri.
“Kamu sayang sama Della” aku kembali mengulang perkataan Gaby itu.
“gak mungkin” jawabku sendiri atas pertanyaanku itu.
Aku tak sadar telah berputar putar di jalanan kota Jakarta sedari tadi. Waktu telah menunjukan pukul 1 malam, sudah 1 jam lebih aku berputar putar tak tau arah. Seakan aku lupa jalan kembali ke apartementku dari apartement Gaby. Pikiranku yg kalut membuatku buta arah. Kini aku telah berada dikawasan Tebet, lebih tepatnya berada didepan sebuah warkop.
“ini kan kostan Della?” pikirku dalam hati.
Aku memarkirkan kendaraanku dan berjalan menuju kostan Della. Ternyata pagar kostannya telah dikunci, aku hanya dapat memandang pintu kamarnya dari luar. Berharap sebuah kesempatan bahwa dia akan keluar dari pintu itu, menghampiriku dan tersenyum kepadaku seperti tidak terjadi apa-apa.
“apakah ini mimpi?” aku menatap tak percaya, pintu kamar itu benar-benar terbuka.
Namun ternyata itu adalah Nadila yg membawa sebuah kantung sampah untuk dibuang keluar. Sepertinya memang tidak mungkin hal seperti itu bisa terjadi, ini dunia nyata bukan sebuah adegan didalam film drama.
“Loh Yusa? Ngapain malem malem?” Nadila menghampiriku yg berdiri diluar pagar.
“Oh gak, kebetulan aja lewat” balasku berbohong.
“Nyari Della? Emang belom tau kalo dia pulang kerumahnya?” Nadila mengeryitkan dahinya karena kebingungan melihatku yg berada didepan kostannya selarut ini.
“Tau gw” balasku padanya.
“Oh jangan jangan…” Nadila bergidik ngeri.
“gak usah mikir macem-macem” Balasku melihat tingkahnya itu.
“haha becanda Sa, galak banget sih.” balasnya tertawa kecil.
“lagipula kalo kamu emang mau…” Nadila memilin milin ujung bajunya.
“kamu boleh kok “paw paw” aku” Balasnya dengan pipi bersemu merah.
“Gak usah aneh aneh. Yaudah kalo gitu gw pulang ya” Balasku padanya.
“tunggu…” ia menahanku.
“kenapa lagi?” tanyaku padanya.
“gapapa, gw cuma mau bilang kalau terlalu rasional juga gak bagus Sa” Nadila menatap mataku.
“Gw ngerti, jadi coba jujur sama diri lu sendiri” tambahnya.
Aku tercekat mendengar kata-kata Nadila. Bayangan akan Della berputar dikepalaku. Perasaan yg kupendam sejak dulu, kembali muncul. Rasa sayang yang dulu aku remehkan ini, menyeruak mengisi hatiku. Perasaan yg ku kunci rapat di pojok relung hatiku, yg diasingkan dan ku kurung ditempat yg gelap, tersembunyi dan tak ada seorangpun yg tau. Perasaan yg kecil namun berhasil mengambil alih posisi Gaby yg sudah mengisi hatiku, perasaan kecil yg kembali menjadi dominan.
Aku berlari ke mobilku, meninggalkan Nadila yg menatapku kebingungan dari balik pagar. Sesaat setelah memasuki mobilku, aku mengambil handphone ku dan menghubungi seseorang. Buru-buru kupacu kembali kendaraanku dijalan kota ini, menuju ketempat orang yg tadi kuhubungi dengan cepat.
15 menit kemudian, aku telah sampai ditempat tujuanku, disana berdiri seorang gadis yg telah mengenakan piyama tidurnya. Gadis itu tersenyum sesaat mobilku berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri, aku menuruni mobilku dan menghampirinya.
“Kenapa malem-malem gini ngajak ketemu?” Gadis itu bertanya kepadaku, ia pasti bingung sekali karena aku kembali mengajaknya bertemu.
Aku hanya memandangnya, berusaha menenangkan diriku dan meyakinkan kembali pilihanku ini. Aku menghela nafas pelan, mengumpulkan sisa sisa keberanian yg aku punya.
“Aku mau kita putus” akhirnya aku mengatakan apa yg ingin aku sampaikan.
“hah?” Gaby menatapku tak percaya, raut wajahnya benar-benar terkejut.
"Gab, untuk saat ini kita gak bisa lanjut" Aku memalingkan wajahku darinya, tidak mampu menatap dirinya.
"kenapa? Kamu gak ngasih aku penjelasan sedikitpun" Gaby menatapku dengan kecewa, suaranya bergetar.
"Aku... Harus meyakinkan sesuatu..." Aku mencoba menjahit kata kata agar tidak menghancurkan hatinya.
"Yusa..." Gaby menahan dirinya agar tidak menangis.
"oke, aku paham. Aku tunggu..." Tambahnya lagi kemudian meninggalkanku pergi.
Aku berdiri mematung di depan apartementnya ini, meyakinkan kembali bahwa ini pilihan yg tepat. Tangisku pecah bersamaan dengan turunnya hujan yg mengguyur tubuhku. Apakah semesta ikut bersedih ataukah hanya ingin meledek kisah cintaku yg menyedihkan?
-Bersambung-