Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Sekuntum Simbelin

Bimabet
silahkan kakak, mau gelar tenda juga boleh kok :kk:


hhhmmmm musim hujan emang dingin ya suhu



mari mari :beer:




btw update chapter terakhir besok pagi meluncur, tapi enakan pagi apa malem ya :bingung: oke ditunggu aja eaaa :kk:


:hore:
Mendingan malem ini jugak gan..
:galau: :hua:
Sambil nemenin ane yang lagi gundah gulana..
 
Cahaya
Tak mampu mata ini menatap
Kau begitu menyilaukan
Kupejamkan hingga tak kulihat lagi
Biar kupandang jelas didalam mimpi


Benar2 Cidaha banget ini mah :ngeteh:
Ijin nimbrung ya suhu :beer:
 
:):)
beli sarung ke Pasar Slompretan
lihat Cerbung tengokin update 'tan​
:baca: dulu suhu.
:ampun:





:wek:



___:ngacir:___​
:senam2:
eh..cakUl nyampe di mari
baca cerita sambi dengerin Padi
disruput dulu, cak! ini kopi..
gak enak dong sambil lari-lari..
:ngeteh:
:beer:
 
silahkan kakak, mau gelar tenda juga boleh kok :kk:


hhhmmmm musim hujan emang dingin ya suhu



mari mari :beer:




btw update chapter terakhir besok pagi meluncur, tapi enakan pagi apa malem ya :bingung: oke ditunggu aja eaaa :kk:

sudah menggalau menunggu apdetan :galau:
 
Chapter 3 (Dalam Dekapan Sang Malam)

Februari 2009

“Fiuuhhh.”

Aku menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuhku di kursi setelah lelah seharian bekerja. Aku pandangi langit-langit ruangan kantorku yang berhias pita merah muda. Di setiap meja karyawan terdapat bunga mawar berbagai macam warna.

Dalam rangka valentine, kantorku di hias sedemikian rupa beraroma merah muda. Setiap tahunnya kantorku memang selalu merayakan valentine, bahkan di malam tanggal 14 Februari kantorku mengadakan acara valentine untuk seluruh karyawannya. Dan setiap karyawan di perbolehkan membawa pasangannya masing-masing ke acara tersebut.

Aku bekerja di perusahaan ini sejak kuliah semester 3 untuk membantu biaya kuliahku. Setelah aku lulus, aku mendapat kenaikan jabatan sesuai ijazah yang aku miliki.

“Apa tahun ini kamu juga akan melewati acara valentine ?“ Mawar namanya wanita yang menegurku. Sama seperti namanya, dia sangat menyukai bunga mawar. Dia rekan kerjaku yang mejanya bersebelahan dengan mejaku.

“Yeah, sepertinya.”

“Ayolah Will kali ini ikut, kan gak harus punya pasangan untuk ikut.”

“Bukan karna itu kok aku malas untuk ikut, tapi…..”

Ucapanku terhenti saat ponselku bergetar, sebuah sms masuk. Saat kulirik layar ponselku, tertera nama ‘Cahaya’ sebagai pengirimnya.

“Will, aku mendapat cuti 2 hari, dan rencananya Kamis pagi aku sampai ke Jakarta untuk mengurus legalisir ijazahku, apa kamu bisa menjemputku di stasiun.”

Aku tersenyum, lalu melirik kalender. Ah hari Kamis besok tepat tanggal 14 Februari. Aku menatap mawar yang masih diam menatapku, menunggu jawaban dariku.

“Maaf sepertinya aku harus mengambil cuti pada tanggal 14 dan 15 nanti, jadi aku tidak bisa ikut acara itu.”

Stasiun Gambir

Aku pandangi setiap lalu lalang orang-orang yang baru saja turun dari kereta. Mencari-cari seberkas Cahaya indah diantara mereka. Hatiku sungguh berdebar, setelah 6 tahun tak bertemu dengan Cahaya.

Hanya lewat surat, sms, dan telepon aku berhubungan dengan Cahaya. Berbagi cerita tentang setiap kejadian yang kami alami selama ini. Dan masih seperti dulu dan dulu, aku tak pernah bisa menyampaikan perasaanku kepada Cahaya.

Setiap menit seperti berjalan lama sekali, setiap kereta yang berhenti aku selalu perhatikan baik-baik pintu setiap gerbongnya. Memperhatikan dengan sangat berdebar setiap wanita yang melangkah keluar.

Matahari semakin meninggi, dan aku baru sadar kalau ponselku tertinggal di rumah. Aku tidak bisa menghubungi Cahaya untuk menanyakan kenapa belum sampai. Suasana stasiun yang ramai di pagi hari, mulai berkurang semakin siang. Dan aku masih berkutat dalam penantianku disini.

Bahkan hingga matahari telah turun dari kedudukannya yang paling atas, Cahaya belum sampai. Aku terus menunggu di sebuah kursi yang ada di stasiun, aku tak peduli dengan kondisiku saat ini. Yang aku pikirkan hanyalah menunggu Cahaya, tanpa berani untuk melangkah pergi dari penantianku.

Semakin lama semakin memudar, hingga……

“Will !”

Suara yang sangat ku kenal memanggilku, saat itulah aku sadar bahwa aku sudah terbuai dalam alam mimpi. Sebisa mungkin aku buka mataku kembali dan aku dapati seorang wanita tersenyum manis walau masih samar karna mataku yang baru ku buka, tapi aku bisa mengenalinya. Sama seperti dulu ketika dia tersenyum, mata sipitnya tenggelam hampir menutup.

“Cahaya, gimana perjalanannya ?”

Aku langsung memalingkan wajahku, berpura-pura membasuh mataku. Ah aku masih sama seperti dulu ternyata, tak mampu lama-lama menatap wajah Cahaya yang berkilau-kilau.

Dia telah sedikit berubah, lebih dewasa dengan Cahaya yang terakhir aku lihat 6 tahun yang lalu saat kami lulus SMA. Rambutnya tak lagi panjang hingga sepinggang, kini rambutnya sebahu dan lebih mengembang. Mata sipitnya terlindung kaca mata tipis.

“Bukkk.”

Seketika itu Cahaya menghamburkan peluknya, mendekap tubuhku sangat erat. Dengan sedikit getaran pada tulang-tulangku, aku membalas pelukannya. Menghirup aroma wangi dari tubuhnya, merasakan tiap detakan jantungnya.

“Maaf Will, aku ketinggalan kereta, aku kebingungan mencari tiket untuk perjalanan berikutnya hingga aku dapat perjalanan malam hari.”

Cahaya semakin erat memelukku, seolah meminta dan terus meminta maaf atas keterlambatannya yang luar biasa lama. Ah tapi mengapa aku tidak mempermasalahkan keterlambatannya, mendekap Cahaya seperti itu seolah berhasil dengan sukses mengobati kerinduanku selama ini.

Dan aku berharap semoga sang waktu memperlambat langkahnya, agar aku dapat semakin lama menikmati setiap hela nafas yang menghangatkanku malam ini. Bahkan aku tak peduli dengan jarum jam yg hampir berada di angka 12.

*****​

Kini kami berada di tempat Simbelin mekar, dibawah terpaan cahaya bulan yang dalam bentuk sempurnanya. Malam ini nampak sangat cerah, hingga gugusan bintang dapat kami lihat dengan indah.

Kami duduk memandang langit sambil bercerita banyak hal. Mengenang saat-saat dulu kami bersama, saat kami kecil sampai ke masa-masa SMA. Hingga sampai kami kehabisan bahan pembicaraan.

Dan binatang malampun menggantikan kami berceloteh, saling sahut menyahut. Cahaya nampak keletihan, dia merebahkan kepalanya di bahuku. Saat-saat yang telah aku nantikan beberapa tahun belakangan ini.

“Will,” Cahaya kembali membuka pembicaraan, “apa disini sering hujan ?”

Aku menopang tubuhku dengan kedua tangan kebelakang, memandang kilau cahaya dari bulan dan bintang, “seperti yang dulu selalu kita alami di bulan Februari, disini sedang musim hujan Cahaya. Tapi sudah 3 hari ini cuaca disini cerah.”

“Aku rindu saat hujan bersamamu dan juga Simbelin,” Cahaya semakin dalam merebahkan kepalanya di bahuku, membuat tanganku sedikit menekan tanah untuk menahan beban kami berdua.

“Yah,” aku hirup dalam-dalam aroma wangi Cahaya yang berpadu dengan wangi Simbelin.

“Menurutmu di Batam apa sering hujan juga ?”

“Maksudmu ?” aku menatap wajah teduh Cahaya yang sedang memperhatikan bunga Simbelin.

“Bulan depan aku pindah ke Batam.”

Aku terdiam untuk beberapa saat, menyadari jarak kami yang akan bertambah jauh. Tubuhku serasa melemah, semakin hanyut dalam kesunyian malam.

“Apa kamu selalu mengingatku ?”

Cahaya menatapku, saat itulah degupan jantungku semakin cepat. Bibirnya yang merah merekah mendekat, nampak sangat berkilau. Aku hanya dapat menatapnya penuh keraguan.

“Cup,” bibirnya tepat mengenai bibirku, mataku terbelalak lebar tapi tidak dengan Cahaya, dia terpejam wajahnya nampak tenang.

“Will,” dia membuka matanya, menatapku dengan mata sipitnya yg imut. Kemudian kedua tangannya melingkari tubuhku dan merebahkan tubuhnya di atas tubuhku.

Aku kehilangan keseimbangan, membuat aku terhampar di atas rerumputan, ketika itu pula bibir kami kembali bersentuhan. Aku berusaha mengatur nafasku yang memburu, Cahaya nampak tenang, semakin erat mendekapku.

Rasa ini tak mungkin bisa aku ungkapkan hingga berakhirnya malam. Satu rasa yang aku rasakan kini mengantarkan ku ke sebuah dekapan hangat. Bibir kami telah menyatu, lembut sangat lembut hingga aku ikut terpejam. Jemariku mulai menari membelai punggung dengan penuh kasih.

Tanpa sadar, kecupan lembut kamu mulai berubah, lidahku mulai menyeruak masuk ke dalam rongga mulut Cahaya. Mencari-cari lidah Cahaya yang masih malu-malu pada akhirnya menyapa lidahku dengan kelembutan.

“Hmmmmm,” terdengar suara lenguhan Cahaya, harum bibirnya dapat jelas memenuhi penciumanku.

Semakin lama lumatan lidah kami semakin liar hingga menghasilkan decak suara liur. Jemariku yang tadi hanya membelai, kini meremas pundak Cahaya. Sesaat kemudian kami membuka mata kami dan melepaskan pagutan kami

Cahaya membelai wajahku perlahan, wajah yang diterpa sinar rembulan. Dia tersenyum manis, untuk kedua kali aku mampu menatapnya berlama-lama. Dan saat inilah aku sadar, bahwa sudah rela membutakan mataku karna menatap kilau Cahaya darinya.

garis tawanya
waktu berhenti apabila ku memandangnya
mengagumkan
melemahkan aku melihat tatap matanya
 
Terakhir diubah:
Epilog : Cahaya Dan Simbelin

Februari 2015

Disebuah aula yang megah, aula yang dulu sering di pakai untuk seminar saat aku SMA. Yah, ini adalah aula SMA ku dulu, dan saat ini aku dan juga teman-teman seangkatanku sedang mengadakan reuni akbar.

Semua telah berubah, termasuk diriku. Kami semua saling bertukar cerita, mengenang kejadian-kejadian lucu saat SMA. Banyak yang membawa pasangannya, bahkan ada yang membawa anak mereka.

Ah rasanya waktu berjalan terlalu cepat, dan kini seorang wanita bermata sipit berjalan ke arah panggung yang disediakan panitia. Langkah anggunnya menapaki setiap anak tangga pada panggung.

Cahaya Karamy duduk di depan piano yang ada di atas panggung, dia akan menyumbang sebuah lagu. Cahaya terdiam sejenak, memandang tuts piano di hadapannya. Bibir manisnya diarahkan tepat di depan mic kemudian mulai berbicara.

"Dahulu kami sering memandang bunga di belakang rumah kami. Bunga yang indah dan harum, ditemani tetesan air hujan yang selalu kami rindukan. Kami gak tau nama bunga itu apa, kami sudah mencari tahu tapi tetap tak mendapatkan namanya. Pada akhirnya kami menamakan sendiri bunga itu dengan nama Simbelin."

Senyum kecil terlihat menggores bibir manisnya, dia memejamkan matanya seolah coba mengingat-ngingat kembali kenangan yang dahulu dia rasakan. Satu helaan nafas panjang sebelum dia kembali membuka matanya.

"Lagu ini ku persembahkan untuk Simbelinku yang selalu menyambutku di pagi hari ketika itu. Dan kini ia selalu menyambutku dalam mimpi di malam hari."

Cahaya mulai memainkan jemari lentiknya, menekan dengan gemulai tuts piano, menghasilkan suara yang pelan namun dalam.

♪ Tiga waktu berlalu ♪
♪ Rentang hatiku menyayat ♪
♪ Wajah kasih yang dulu ♪
♪ Hadir dalam tidur ♪

♪ Malamku penuh mimpi ♪
♪ Pertemuan tak terjamah ♪
♪ Sinar di ujung sana ♪
♪ Menerangimu ♪

Suara lembutnya mengalun indah, menggemakan aula, membuat setiap orang terpaku mendengarkan Cahaya bernyanyi. Terlebih aku, seperti tersihir tak mampu menggerakan tubuhku.

♪ Pernah kau berkata ♪
♪ Bila ku merindu ♪
♪ Bicara saja bintang kan mendengar ♪
♪ Maka kau kan merasakannya ♪

♪ Aku tahu diri ♪
♪ Semua takkan mungkin ♪
♪ Biarkan saja semua jadi kenangan yg mungkin ♪
♪ Takkan terlupa sampai kau menua ♪
♪ Biar saja ♪

Tubuhku serasa bergetar, mendengar setiap lantunan merdu yang dihasilkan dari paduan suara piano dan Cahaya. Denting-dentingnya mampi merasuki sukmaku, tubuhku menjadi menggigil.

♪ Hujan di ujung bulan ♪
♪ Biar jadi saksi hat i♪
♪ Betapa pun mencinta ♪
♪ Ini takkan mungkin ♪
Cahaya mengakhiri lagunya dengan suara yang sedikit meninggi, terdengar sangat emosional, jari-jarinya menekan dalam-dalam tuts piano. Rambutnya meriap, menutupi sebagian wajahnya. Nafasnya sedikit tersengal, dia menunduk sesaat lalu berdiri.

Dia memandang ke arah teman-teman SMA, tapi matanya fokus ke arahku, lalu bibirnya bergerak-gerak mengucapkan kata-kata tanpa suara. Tapi aku paham dengan gerakan bibirnya, dia mengatakan.......

"Aku selalu mengingatmu."

Setelah itu dia turun, dan seorang pria dewasa bersama seorang anak lelaki kecil menyambutnya. Pria dewasa itu membawa rangkaian mawar merah dan memberikannya kepada Cahaya. Mereka bertiga tersenyum, Cahaya menerima bunga itu diiringi sebuah kecupan lembut pada keningnya, lalu menggendong anak kecil yang lucu.

Cahaya menggandeng mesra pria itu dan bersama-sama berjalan menuju kursi. Sekali lagi Cahaya memandangku, dan memberikan senyuman khasnya yang aku balas dengan senyumanku untuknya, senyuman yang mungkin untuk terakhir kalinya kami saling berikan.

*****​

Bunga Simbelin selalu mekar diantara rumput liar, bunga yang selalu menjadi terindah untukku, bunga yang menyimpan setiap kenangan. Tanganku menggenggam lembut sebuah kertas karton berwarna pink, ukurannya kecil dan berbentuk siluet beruang terlipat dua. Aku membuka lipatannya dan membaca isinya.

Ketika isyarat lebih berharga daripada ungkapan
Saat itulah Simbelin mekar dan mewangi
Untuk satu pertanyaan yang tak pernah terjawab walau sudah diketahui
Untuk ribuan ungkapan yang tak terucap walau sudah terbaca
Untuk jutaan surat yang bersembunyi walau sudah tersirat
Simbelin akan tetap mekar menyambut kita berdua
Hanya kepada kita berdua Simbelin mewangi

Cahaya Karamy

Aku tersenyum simpul, melipat kertas itu lalu memasukannya ke dalam saku bajuku.

"Ayah, bunga apa ini ?" tanya seorang anak perempuan berusia 3 tahun di sebelahku.

"Simbelin."

"Sama seperti nama belakangku."

Aku berlutut di hadapannya, menatap dan mengusap rambutnya yang di poni lucu. "Kamu tau nak, kenapa ayah menamakanmu Cahaya Simbelin ?"

"Apa yah ?" anakku bertanya dengan mata yang bulat berbinar, penuh kepolosan.

"Karna cahaya dan Simbelin saling menyayangi, saling berbagi kehangatan, keindahan dan harum. Cahaya dan Simbelin tidak pernah bisa bersatu karna ada satu penghalang tak kasat mata yang memisahkan mereka, tapi mereka tetap saling menunggu meski itu artinya harus menunggu selamanya."

Anakku menatap dengan mata yang membulat, "Boleh aku petik Yah, untuk kuberi pada Bunda ?"

Aku menggeleng pelan dan tersenyum, "berikan bundamu mawar, karna dia suka mawar !"

"Oh iya ya, sama kayak nama Bunda."

"Sudah kamu masuk ke dalam, sebentar lagi hujan," aku membelai rambut anakku lalu mengecup keningnya.

"Ayah gak masuk ke dalam ?"

Aku tersenyum, menatap langit yang teduh, hembusan angin bersiap menyapu bulir-bulir air yang berkumpul di awan pekat, "nanti ayah nyusul sebentar lagi."

Dia berlari riang meninggalkanku yang menantikan hujan turun dari atas langit, dan mungkin Cahaya juga sedang melakukan hal yang sama.

Kita pernah berharap di waktu yang telah lalu


Harapan yang semakin menipis dari waktu ke waktu

Memudar diantara tetesan air di bulan hujan

Suatu saat nanti kita akan bersama memandang Simbelin

Tanpa keraguan sedikitpun

Hanya kita berdua


Berapa banyak lagi aku harus kehilangan, sebelum hatiku diampuni?
Berapa banyak lagi rasa sakit yang harus aku alami untuk bertemu denganmu lagi?
Sekali lagi, oh musim, kumohon musim engkau jangan berganti
Sekali lagi, tinggalkan waktu saat kita bersama

Saat jalan kita mulai tak sama
Aku ingin menyatukannya
Membuat sikapku jadi berbeda
Tapi hati tak bisa dipaksa
Satu kesempatan lagi, mengulang masa indah kita berdua
Satu kesempatan lagi, Namun takdir kita telah berbeda
Jika hanya ingin menghindari kesepian,
Dengan siapun aku bisa,
Karena bintang malam terlihat seperti akan jatuh,
Aku tak bisa membohongi diri sendiri.
Sekali lagi, oh musim, jangan memudar.
Sekali lagi, saat itu menyenangkan

Aku selalu mencari sosokmu muncul di suatu tempat
Pada persimpangan jalan, bahkan dalam mimpi
Meskipun aku tahu kau tak ada di tempat seperti itu
Jika harapanku menjadi kenyataan, aku akan berada di sisimu sekarang
Tak ada yang tak bisa aku lakukan
Semua akan aku buktikan bahwa aku bisa memelukmu erat

Aku selalu mencari bayanganmu muncul di suatu tempat
Di toko wisata, di sudut surat kabar,
Meskipun aku tahu kau tak ada di tempat seperti itu
Jika keajaiban itu terjadi, aku akan menunjukkan padamu sekarang
Pagi baru, yang akan aku mulai
Dan kata-kata "Aku mencintaimu" yang tak pernah bisa aku katakan



SELESAI
 
Terakhir diubah:
baca dolo ah :baca:
 
udah selesai aja bang :suhu:

dan endingnya kasih tak sampai :galau:
 
Udah pada punya anak aja om Wil,
tapi lumayan lah ending nya nggak terlalu ngenes :jempol:
 
cerita suhu will selalu sukses bikin ane galau.......:galau:

untung cepet tamatnya.....

suhu will mang bener2 ahlinya ngaduk2 emosi........:beer:

btw....cerita2 lainnya ditamatin juga donk suhu......pliss....:kk:

sayang bgt cerita2 bagus kyk "taman sang dewi" gak dilanjutin
 
walah udah SELESAI begitu aja???
:galau:
 

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd