BAGIAN 31
“Delapan tahun yang lalu, muncul seorang pemuda bernama Paksi Jaladara yang dijuluki sebagai Pendekar Elang Salju yang sekarang ini menjabat sebagai Ketua Muda Istana Elang,” jawab Ki Gegap Gempita. “Itu orang yang pertama.”
“Maksudmu ... pemuda yang berhasil memenangkan perebutan gelar pendekar di puncak Gunung Tiang Awan, namun justru ia melepaskannya gelar kehormatan itu dan diberikan pada Pendekar Tombak Putih?” tanya si pendek katai di samping kiri Ketua Aliran Danau Utara.
“Tepat. Meski ia tidak menyandang gelar pendekar lagi, namun para tokoh tua sepakat menyematkan gelar Pendekar Kehormatan pada Paksi Jaladara,” tutur Ki Gegap Gempita.
“Lalu ... siapa yang kedua?”
“Murid mendiang Malaikat Tangan Petir yang dijuluki si Dewa Geledek,” sahut Ki Gegap Gempita. “Yang ketiga adalah seorang pemuda yang selalu memakai rompi kulit binatang bersenjatakan seruling panjang berlubang sebelas dan memiliki tunggangan seekor rajawali hijau raksasa yang bernama Jatayu. Julukannya ... Rajawali Dari Utara.”
“Terus ... siapa orang yang ke empat, Ki?” kejar yang paling belakang dengan rasa tertarik yang tinggi.
“Setahuku, dia adalah seorang jago muda yang dijuluki Kalajengking Berambut Emas,” tutur Ki Gegap Gempita. “Kalian pasti kenal dengan tokoh hitam yang bergelar Bajak Laut Berambut Merah, bukan?”
“Aku tahu siapa dia!” seru Jalak Hutan yang di pojok.
“Jadi ... dia tokoh muda aliran hitam?”
“Tidak.”
“Tidak?”
“Ya! Sebab Bajak Laut Berambut Merah telah tewas enam belas tahun lalu dan muridnya hanya ditinggali sebuah kitab bernama Kitab Sastra Hijau dan kita patut bersyukur meski dia murid tokoh aliran hitam, namun ia berjalan di jalan kebenaran!” lanjut Ki Gegap Gempita.
Semua orang yang ada di tempat itu saling pandang.
Siapa yang tidak kenal dengan empat tokoh muda yang disebutkan oleh Ki Gegap Gempita.
Pendekar Elang Salju, tentu saja mereka tahu siapa adanya sosok pemuda sakti yang memiliki dua istri cantik jelita yang juga memiliki kesaktian pilih tanding. Belum lagi dengan Empat Pengawal Gerbang Istana Elang yang dipilih sesuai dengan garis nasib dan takdir mereka. Nama Empat Pengawal ini sama terkenalnya dengan Ketua mereka. Ketua Istana Elang inilah yang pada delapan tahun lalu berhasil mengungkap siapa dalang pembunuhan terhadap Pendekar Gila Nyawa, yang ternyata didalangi oleh orang keturunan setengah setan setengah manusia yang bernama Pangeran Nawa Prabancana.
Belum lagi dengan murid mendiang Malaikat Tangan Petir yang dijuluki Dewa Geledek. Tentu semua orang persilatan sangat-sangat tahu tentang sepak terjang Dewa Geledek yang berhasil meruntuhkan benteng kekuatan aliran hitam yang waktu itu berusaha mengacaukan jagat persilatan wilayah selatan. Bahkan datuk persilatan yang dijuluki Toya Raja Kera Putih harus merelakan nyawanya melayang di bawah tebasan Pedang Urat Geledek sang pendekar. Dalam pertempuran itu, ia saling bahu membahu dengan tokoh muda berjuluk Kalajengking Berambut Emas.
Akan halnya Rajawali Dari Utara, baru tiga-empat tahun belakangan ini ia muncul ke permukaan, ikut meramaikan kancah dunia persilatan. Entah siapa gurunya tidak ada yang mengetahui dengan pasti. Ilmu silatnya cukup aneh dan jarang-jarang tokoh silat papan atas mengetahui sumber kesaktian dari Rajawali Dari Utara ini.
“Lalu .. siapa tokoh muda yang ke lima, Ki?”
Ki Gegap Gempita menghela napas sebentar, lalu berkata, “Yang ke lima ... namanya baru muncul dua tahun terakhir ini. Dia seorang pendekar bermata buta. Menurut kata sobat Nelayan Dari Laut Utara, pemuda ini menguasai sebuah ilmu kesaktian langka yang paling dicari di rimba persilatan.”
“Maksudmu ... ?”
“Ilmu Sakti ‘Mata Malaikat’!” kata Ketua Aliran Danau Utara, mantap.
Rata-rata orang yang ada di tempat itu terlonjak kaget!
Benarkah apa yang dikatakan si Kitab Pengelana ini?
Mana mungkin ilmu yang sudah ratusan tahun hilang kini bisa muncul kembali?
Kok bisa?
“ ... dan menurut ciri-ciri yang diberikan sobat Nelayan Dari Laut Utara padaku, pemuda bernama Jalu Samudra itulah orangnya,” sambung Ki Gegap Gempita. “Dan menurutku secara pribadi, dialah murid tunggal Dewa Pengemis ... ”
Kaget untuk pertama kali, kata orang adalah biasa. Tapi kalau terus-terusan kaget, bisa sakit jantung namanya. Hal itu kembali terjadi pada para tokoh silat yang ada di tempat itu. Tatapan mata mereka nanar, mengarah pada sosok bayangan biru yang bergerak dengan kecepatan kilat yang saling desak dengan bayangan biru-merah lawan.
“Hanya saja ... ” suara Ki Gegap Gempita terputus sendiri.
“Hanya saja apa, Ki?”
“Dia punya julukan aneh,” sahut laki-laki berbaju putih kucel itu.
“Julukan aneh?Apa Aki mengetahuinya?”
Laki-laki itu mengangguk pelan.
“Apa?”
“Aku malu mengatakannya.”
“Katakan saja. Toh dia pula yang telah menolong kami lepas dari rantai setan itu,” tandas si laki-laki bertongkat panjang.
“Sebutkan saja, kawan!”
“Tak perlu malu-malu lah!”
“Ia digelari ... Si Pemanah Gadis,” kata Ki Gegap Gempita pada akhirnya.
Beberapa orang tercekat. Bahkan ada yang mengulum senyum, namun ada pula yang tertawa tanpa suara. Tidak sedikit yang langsung tertawa tergelak-gelak mendengarnya.
“Julukan kok aneh,” celetuk si botak klimis. “Biasanya orang memakai julukan yang mentereng atau malah menakutkan pihak lawan yang mendengarnya. Pemanah Sakti Tanpa Tanding misalnya. Atau kalau perlu Pemanah Maut Bermata Buta. Lha ini, julukan kok Si Pemanah Gadis? Memangnya gadis mana yang mau ia panah? Orang buta saja pakai gelar sembarangan!”
Mendengar celetukan itu, beberapa orang langsung tertawa geli, bahkan ada yang terbahak-bahak.
“Meski gelarnya sembarangan, tapi ilmu kesaktian yang dimilikinya tidak sembarangan,” bela laki-laki bertongkat panjang. “Ingat! Dia telah menolong kita semua! Camkan itu!”
“Yeah! Aku juga tahu itu! Ngga perlu naik pitam begitulah,” kata si botak klimis tanpa mau disalahkan.
Sementara itu, pertarungan terpecah menjadi dua tempat.
Dengan menggunakan tenaga saktinya yang telah meningkat pesat, Beda Kumala sanggup menahan gempuran empat lawannya sekaligus.
Hitung-hitung pertarungan kali ini sebagai uji coba ilmu barunya!
Plakk! Plakk!
Pedang Dewa dan Karang Kiamat terjajar beberapa langkah ke belakang saat ujung pedang dan kepalan tangan pasangan nyleneh ini saling bentur dengan telunjuk kanan kiri murid Perguruan Sastra Kumala.
“Edan! Seluruh jaringan syarafku seperti digigit oleh puluhan ulat,” desis Pedang Dewa sambil menekankan ujung pedang ke tanah hingga amblas sampai separo lebih. “Dapat kesaktian darimana gadis ini? Aku yakin di perguruannya tidak ada bentuk tenaga seperti ini.”
Sedang karang kiamat yang terdorong agak jauhan, jatuh bergulingan saat tubuhnya secara tidak sengaja kakinya tersandung satu sosok mayat.
Brukk!
Tubuhnya tanpa dapat dicegah, langsung terhumbalang jatuh.
“Keparat!” maki karang kiamat sambil menendangkan kaki kirinya.
Bughh! Wutt!
Mayat itu langsung meluncur cepat ke arah Beda Kumala.
Mengetahui serangan datang dari arah yang tidak diduganya, Beda Kumala segera menggerakkan jurus ‘Ulat Sutera Memintal Benang’ dimana ujung-ujung jari seperti orang menunjuk-nunjuk sesuatu disertai dengan langkah kaki yang kadang bergeser ke kiri kanan, namun anehnya pergeseran kaki tetap menyentuh tanah. Belum lagi dengan badan yang melejit-lejit seperti cacing kepanasan meski posisi kaki tetap berada di tanah.
Sett! Wreett!
Dari ujung jari kanan keluar larikan panjang serabut-serabut putih keperakan.
Srepp! Srepp!
Seperti digerakkan oleh ratusan ulat yang sedang memintal benang, sosok mayat yang di lemparkan oleh Karang Kiamat dalam sekejap telah dibungkus seluruhnya, persis seperti pocongan.
Wutt ... !
Tidak berhenti di situ saja, Beda Kumala segera menarik cepat bungkusan mayat dengan gerak sendak pancing diarahkan ke Tombak Sakti.
Duess ... ! Darrr ... !
Tombak baja di tangan Tombak Sakti langsung bengkok!
Akan halnya bungkusan mayat hancur luluh membentuk debu-debu putih yang beterbangan seperti layaknya debu ditiup angin.
Tombak Sakti sendiri langsung terpental jauh ke belakang disertai semburan darah kental kehitaman keluar dari mulutnya.
“Gadis sundal! Kau harus rasakan Pukulan ‘Dewa Edan’-ku ini!” teriak Tombak Sakti sambil tangan kanan menyusut darah yang menetes.
Jari-jari tangan kiri tombak sakti mendadak berubah menjadi lima warna sekaligus!
Namun belum sempat Pukulan ‘Dewa Edan’ terlontar, jari kanan gadis cantik baju hijau kembali memuntahkan benang-benang perak ke arah Tombak Sakti. Masih dengan jurus yang sama, kembali Beda Kumala berniat mengulang kesuksesan membungkus Tombak Sakti seperti yang dilakukan pada mayat sebelumnya.
Sett! Wreett!
Yang diserang kaget bukan alang kepalang!
Kecepatan datangnya serangan terlalu amat sangat sehingga Tombak Sakti hanya sanggup melotot matanya yang segedhe jengkol, lupa bahwa di tangan kirinya telah siap dengan jurus Pukulan ‘Dewa Edan’ yang telah siap ditunjukkan kehebatannya.
Namun kesadarannya sudah terlambat!
Rett! Retttt!!
Dalam satu helaan napas saja, seluruh tubuh Tombak Sakti sudah terbungkus rapat.
“Selamat jalan ke neraka!” desis Beda Kumala.
Begitu dilakukan gerakan sandal pancing, sosok tubuh Tombak Sakti terlontar ke atas dan langsung meledak diiringi suara dentuman.
“Aaaahhh ... !!”
Buummm ... !!
“Tombak Sakti ... !” seru Trisula Kembar melihat rekannya hancur menjadi debu putih.
Trisula Kembar begitu syok melihat tombak sakti tewas. Meski sering perang mulut, namun hanya Tombak Sakti sajalah sebenarnya orang yang paling sejalan dengan dirinya.
“Aku akan membalaskan dendammu, sobat ... ” desis Trisula Kembar sambil menggenggam erat sepasang trisulanya, katanya, “Gadis setan! Hutang nyawa bayar nyawa! Aku mau menuntut bela pati untuk sahabatku!”
Trisul kembar langsung menerjang cepat.
Wutt ... ! Wutt ... !
Kibasan sepasang trisula yang menerbitkan angin dingin membuat Beda Kumala harus berpikir cermat dalam menghadapi lawan kali ini.
“Menghadapi orang gila harus dengan cara orang waras. Kalau aku ikut-ikutan gila, wah ... bisa berabe, nih!” pikir Beda Kumala sambil berjumpalitan menghindari terjangan lawan.
Begitu Trisula Kembar menyerang, Pedang Dewa dan Karang Kiamat mengikuti langkah sang kawan. Jika tangan kanan Pedang Dewa menggunakan Ilmu Pedang ‘Mayapada Beku’, suatu ilmu pedang yang mengutamakan kecepatan gerak, ilmu pedang yang bisa mendahului serangan lawan dengan pancaran hawa pedang, diikuti serangan yang sebenarnya dilancarkan.
Syuuut! Sutt ... !
Tangan kiri Pedang Dewa melancarkan jurus-jurus pukulan sakti hingga arena pertarungan menjadi semakin ramai dan semarak.
Bumm! Blarrr ... !
Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’ yang digunakan oleh Beda Kumala benar-benar luar biasa. Benang-benang suteranya bisa berubah sekeras baja dan kadang kala bisa selembut kain sutera.
Criing! Criiing!
Terdengar suara nyaring saat benang sutera beradu dengan kulit Karang Kiamat yang menggunakan Ilmu ‘Karang’ tingkat tinggi hingga benar-benar keras seperti batu karang. Seluruh tubuh pemuda yang kini bermata buta menjadi semakin merah kehitaman, layaknya batu karang yang tertimpa sinar matahari selama puluhan tahun.
“Kau tidak akan bisa menembus Ilmu ‘Karang’-ku, cah ayu!” ejek Karang Kiamat. “Menyerah sajalah!”
“Aku tidak percaya ilmu kebalmu tidak bisa ditembus dengan senjata apa pun!” kata Beda Kumala sambil memutar tubuh seperti gasing, melenting ke atas.
Wusss ... !
Gadis itu benar-benar melayang-layang di udara dengan posisi ke bawah di bawah!
Di atas ketinggian, Beda Kumala menggerakkan ke dua tangan di atas kepala, memulai jurus ke dua Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’ yang bernama jurus ‘Belitan Ulat Sutera Jahat’. Sepasang tangannya membuat gerakan tangan bertolak belakang. Tangan kiri membuat gerakan kotak-kotak berulang kali dan tangan kanan membentuk gerak melingkar berulang-ulang.
Sett! Sett!
Dua gulungan benang perak beda bentuk menerabas daerah pertahanan Pedang Dewa dan Karang Kiamat.
Criiing! Criing!
Pedang Dewa sendiri langsung memainkan jurus ‘Fajar Di Tengah Kabut’ untuk memutus benang perak yang membentuk kotak, yang kini seperti membesar membentuk sebuah penjara seluas dua tombak kali dua tombak dan turun dari atas dengan cepat.
Crakk! Crakk!
Brakk!
Begitu menyentuh tanah, penjara benang perak bergerak mengecil dengan sendirinya.
Rett!
Tentu saja Pedang Dewa kelabakan mendapati dirinya terkurung dalam penjara aneh yang bisa bergerak mengecil dengan sendirinya.
“Setan belang! Masakan pukulan saktiku tidak bisa meruntuhkan penjara busuk ini!” teriak Pedang Dewa kalang kabut.
“Heaaaa ... !”
Duarr! Jdarr! Glarr!
Puluhan kali pukulan sakti yang dilontarkan oleh Pedang Dewa membentur penjara benang perak. Namun hasilnya sungguh diluar dugaan. Jangankan koyak seperti yang dibayangkan oleh Pedang Dewa, putus sehelai pun tidak!
Semakin lama, penjara benang perak semakin kecil. Hingga akhirnya ...
“Toobbaaaaatttt ... !!”
Crass ... crasss ... !!
Teriakan kematian Pedang Dewa begitu membuat miris orang-orang yang ada di tempat itu. Apalagi tubuh laki-laki dengan tabiat aneh ini tercacah-cacah seperti daging cincang.
Sungguh kematian yang mengerikan!
Jerit kematian Pedang Dewa datangnya hampir bersamaan dengan jerit lengking Karang Kiamat. Kekasih Pedang Dewa ini juga mengalami nasib yang tidak begitu jauh beda. Hanya bedanya, jika Pedang Dewa penjaranya berbentuk kotak, justru Karang Kiamat dipenjara benang perak berbentuk tabung. Merasa dirinya kebal segala jenis senajat tajam dan pukulan maut, tidak terbertik sedikit pun di kepala pemuda buta itu untuk mempertahankan hidupnya seperti yang dilakukan oleh Pedang Dewa. Karang Kiamat lupa satu pepatah kuno yang berbunyi ‘bahwa diatas langit masih ada langit dan diatas gunung masih ada gunung’.
Di saat punggungnya terasa perih, barulah ia menyadari bahwa dirinya salah perhitungan!
Crass ... crasss ... !!
Kematian yang sama pun diterima oleh Karang Kiamat.
Trisula Kembar yang kini sendirian, nyalinya langsung kuncup. Tanpa banyak kata, ia langsung balik badan. Mengambil jurus paling aman. Jurus yang paling terkenal di kalangan pengecut.
Jurus langkah seribu!
“Huh! Kau boleh pergi! Tapi tinggalkan dulu nyawamu disini!” bentak Beda Kumala. Di udara, gadis itu segera meniup telapak tangan kiri-kanan bergantian. Lima bentuk hawa padat bergulung-gulung setajam pedang melesat cepat ke arah larinya Trisula Kembar yang kini sejarak dua tombak dari pintu gerbang.
Inilah jurus yang bernama jurus ‘Lima Ulat Sutera Mengukur Baju Pengantin’!
Jurus yang sekarang ini digunakan oleh si gadis segera bekerja.
Crass! Crass!
Sepasang kaki Trisula Kembar tepat di bagian lutut terpisah dari tempatnya.
“Aaaahhh ... !!”
Jerit kesakitan terdengar memilukan.
Crass! Crass!
Kali ini, sepasang tangan pun putus sebatas bahu.
“Aaaahhh ... !! Aaaaggghhh ... !! Ampunnn ... !!”
Kembali jerit kesakitan terdengar, bahkan kini semakin memilukan di telinga siapa saja yang mendengarnya. Tubuh Trisula Kembar hampir terjatuh ke tanah saat sebuah tebasan cepat mengenai lehernya.
Crasss!
Selesai sudah penderitaan yang dialami Trisula Kembar untuk selama-lamanya!
Jlegg!
Beda Kumala melayang turun. Mata indahnya memandang ‘hasil buah tangannya’. Ada rasa penyesalan dalam hati gadis itu melihat bahwa ilmu yang ia miliki ternyata sebuah ilmu yang telengas bahkan cenderung sadis dan ganas.
“Tak kukira bahwa Ilmu ‘Kepompong Ulat Sutera Perak’ yang diberikan Kakang Jalu begini menakutkan. Entah bagaimana dengan tujuh jurus lainnya,” desah lirih Beda Kumala. “Aku harus lebih bijaksana menggunakan ilmu ini.”