Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY Si Pemanah Gadis

Bimabet
BAGIAN 40


"Setahuku, para pencipta kitab seringkali membuat teka-teki bagi penemu kitab, entah itu kitab curian atau menemukan di suatu tempat, lagi pula tidak selamanya kitab sakti berisi ilmu-ilmu kesaktian," sahut Nyai Kembang Hitam sambil mengusap-usapkan halaman pertama kitab di bongkahan dada mulusnya yang berkeringat.
"Gila ni cewek," pikir Dedengkot Dewa, "Masa’ kitab sakti dibuat lap keringat!?"
Dedengkot Dewa sedikit dongkol juga melihat Kitab Ilmu ‘Sayap Pedang Malaikat’ yang menurutnya palsu, pulang-balik di pakai lap keringat.
"Terus?"
"Ada juga cara membaca kitab dengan cara diterawangkan ke arah matahari ... "
"Itu sudah kulakukan dari pagi sampai malam ... "
"Direndam dalam air dingin atau panas ... "
"Sudah."
"Ditaburi tanah, serpihan batu, ditetesi darah ... "
"Itu juga sudah ... " sahut Dedengkot Dewa dengan jengkel plus mata blingsatan, karena melihat sebentuk dada kencang membusung dengan ujung-ujung menegang keras. Dadanya terasa bergejolak hebat melihat baju ketat Nyai Kembang Hitam sudah porak-poranda alias berantakan tak karuan karena di sodok kesana-kemari dengan kitab yang pakai buat me-lap keringat.
Kitab di tangannya sampai lecek!
"Hehh ... " dengan jengkel, Dedengkot Dewa berjalan mendekat dengan dua tangan terulur siap meremas sepasang dada membusung kencang Nyai Kembang Hitam.
Ketika kurang sejari saja, Nyai Kembang Hitam berseru, "Hentikan juluran tanganmu!"
Sontak, sepasang tangan Dedengkot Dewa terhenti seketika.
"Kakang Yama pasti belum menggunakan cara yang kupakai ini," katanya sambil mengangsurkan kitab di tangannya.
“Cara yang mana?"
“Lihat saja sendiri."
Mata Dedengkot Dewa melotot melihat coretan-coretan disana, ada tulisan yang terlihat ada yang tidak, tertera disana.
Itu artinya, kitab itu bisa dikatakan setengah asli!
“Kok bisa begitu?"
“Kok bisa-kok bisa!? Ya ... bisa saja ... !" tukas Nyai Kembang Hitam dengan sedikit menggeliat manja.
"Kalau begitu, kau tolonglah aku ... " pinta Dedengkot Dewa sambil mengangsurkan kitab di tangannya. Bukan ke tangan Nyai Kembang Hitam, tapi langsung tepat di tengah dada membusung yang sudah terbuka lebar.
"Aku sudah tidak berkeringat, Kakang."
"Kalau begitu, kau harus berlari-lari di tempat ini agar cepat berkeringat," usul Dedengkot Dewa palsu. "Nanti biar aku yang me-lap keringatnya."
"Ahhh ... maless ... " sahut Nyai Kembang Hitam ogah-ogahan, sambil menelentangkan diri di atas meja bundar. "Kayak gitu bikin capek ... "
"Terus bagaimana?"
"Kakang Yama bisa membuatku berkeringat lebih cepat."
"Caranya?"
"Ajaklah aku bercinta!"
Kata-kata ajaib ternyata cukup ampuh.
Setelah usap sini-usap sini, remas sana-remas sini, dan akhirnya ... jurus ‘Bola Sodok’ digelar di atas meja.
Suaranya ... wuuiiih ... bikin jantung nyut-nyutan!
Sambil goyang pinggul, tangan kiri Dedengkot Dewa palsu yang memegang kitab, me-lap keringat yang mengucur deras dari tubuh bugil Nyai Kembang Hitam sedang tangan kanan justru asyik meremas-remas bukit putih-kenyal di dada Nyai Kembang Hitam secara bergantian.

Sayap Pedang Malaikat ...
Dari tetesan air surga para penyandang kutuk
Penyatuan serpihan dalam kekuasaan
Satu untuk sepuluh dan sepuluh untuk satu

--o0o--

"Bagaimana?" tanya sosok baju hitam-hitam pada orang yang baru datang, yang sama-sama berbaju hitam-hitam. Cuma sepasang mata saja yang kelihatan mencorong tajam. "Apa yang kau dapatkan?"
"Orang-orang itu pada pemalas semua, Hitam ke Tiga Belas!" dengus orang yang baru datang, lalu sambungnya, " ... dari hasil penyelidikanku selama empat hari belakangan ini, tidak ada persiapan sedikit pun yang mereka lakukan. Padahal kegegeran yang kita buat beberapa waktu yang lalu seharusnya cukup membuat mereka bersikap waspada."
Orang yang juga sama-sama berbaju hitam, --yang disebut Hitam ke Tiga Belas-- terdiam beberapa saat, lalu desisnya, " Hitam ke Lima Belas! Apa kau tidak curiga dengan hal ini ... "
"Apanya yang kau curigai, Hitam ke Tiga Belas?" tanya Hitam ke Lima Belas.
"Situasi sekarang ini."
"Situasi?"
"Ya. Apa kau tidak merasa aneh!? Ratusan orang telah kita bantai, tapi justru orang-orang kepulauan ini tidak melakukan apa-apa. Seolah nyawa teman-teman mereka yang terbantai dianggap kentut busuk," ucap Hitam ke Tiga Belas.
"Aku sependapat denganmu, Hitam ke Lima Belas!" sahut orang yang baru datang, sambungnya, " ... atau jangan-jangan mereka justru sedang mempersiapkan jebakan ... "
"Jebakan apa maksudmu?" potong Hitam ke Tiga Belas.
Sambil mengangkat bahu, ia menjawab, "Entahlah ... hanya itu saja yang terpikir olehku."
"Benar!" desis Hitam ke Tiga Belas, sambungnya, "Tapi perangkap macam apa yang dipersiapkan orang-orang Kepulauan Tanah Bambu? Tak satu pun dari kawan-kawan kita, yang menyusup ke tempat ini mengetahuinya! Ini terlalu aneh dan mencurigakan sekali ... "
"Apa dua puluh orang kawan kita tidak ada satu pun yang melaporkan pada Hitam ke Satu, tentang hal ini?" tanya Hitam ke Lima Belas.
Hitam ke Tiga Belas terdiam beberapa saat, lalu ia menggeleng.
Setelah terdiam beberapa saat dengan pikiran masing-masing, Hitam ke Lima Belas berkata, "Kita pergi."
Tanpa menunggu jawaban Hitam ke Tiga Belas, sosoknya segera berkelebat cepat ke jurusan timur yang segera diikuti oleh Hitam ke Lima Belas yang tertinggal beberapa kejab.
Sesaat, sepi kembali meraja di tempat itu.
Namun, tak lama kemudian, gundukan tanah yang berada sejarak satu tombak dari tempat ke dua orang tadi berada, terlihat bergerak menggelembung-bergolak seperti air, dan ...
Plusss ... !
Sebentuk kepala menyembul keluar dari dalam tanah. Tidak ada yang luar biasa dari raut muka laki-laki usia parobaya, mata tetep dua, telinga juga masuk berjumlah sama sesuai takdirnya, rambut sudah berwarna dua. Yang luar biasa nih ... hidungnya terlalu besar untuk ukuran hidung manusia, mirip-mirip paruh burung betet gitulah, warnanya kuning kecoklatan. Dan satu-satunya makhluk hidup yang ada di wilayah Kepulauan Tanah Bambu yang punya hidung aduhai cuma seekor ... eh, seorang doang.
Galah Mayat, tentunya!
"Dugaan Guru memang tepat. Pengacau busuk itu sudah mengacak-acak tatanan yang ada wilayah ini," gumamnya, " ... dua puluh orang lagi!? Benar-benar slompret tulen! Hemm ... kuikuti saja mereka."
Seperti cara keluarnya, cara masuk pun kayak telur dimasukkan ke dalam air dengan pelan-pelan.
Pluss ... !
Menghilang tanpa jejak!

--o0o--

“Kakang Riung! Coba kau lihat di sebelah sana," kata lirih seorang gadis manis berkulit kuning sedikit kecoklatan dengan raut muka lonjong berbaju kuning gading. Satu-satunya makhluk manis yang kerap kali nebeng dengan Riung Gunung cuma satu saja, siapa lagi jika bukan Kaswari, murid tunggal Gayam Dompo!
Riung Gunung mengarahkan pandangan mata pada arah yang ditunjuk Kaswari.
Dua sosok tubuh terlihat mengendap-endap di dekat sebuah batu besar.
“Kita bantai?" tanya Riung Gunung.
“Satu-satunya cara mengurangi kekuatan lawan adalah dengan membunuhnya," sahut gadis itu sambil melolos pedang dari balik punggung. “Kakang pilih yang mana?"
“Aku ambil yang kiri saja," kata Riung Gunung.
Bersamaan dengan selesainya kata-kata si pemuda, tubuh keduanya melesat cepat ke arah dua sosok tubuh berbaju hitam-hitam.
Wutt!
Sebagai orang yang berkecimpung di dunia persilatan, dituntut siap dalam kondisi apa pun. Suara desiran angin selembut apa pun bisa membuat mereka waspada, apalagi jika desiran itu sanggup membuat kepala mereka menggelinding dari tempatnya bercokol.
“Bangsat!" maki seorang diantara mereka sambil membuang tubuh ke samping, namun kelebatan tubuhnya masih kalah cepat dengan serangan jari telunjuk yang semula mengincar belakang kepala justru melenceng ke pundak kiri.
Jrabb!
“Akkkh ... !"
Entah jari macam apa yang sanggup menembus kulit manusia, yang jelas, tusukan jari telunjuk yang dilancarkan Riung Gunung bukan sembarang serangan.
“Siapa kalian!?" bentak yang terluka di bagian pundak.
“Seharusnya kami yang bertanya, siapa kalian dan buat apa kalian mengendap-endap di wilayah perguruan kami?" tegur Riung Gunung sambil ke dua jari telunjuknya bergerak persilangan seperti tangan belalang sembah.
"Huh!" dengus si laki-laki berbaju serba hitam kecuali bagian mata yang terlihat gusar.
Sepasang telapak tangannya terlihat berkelebatan cepat sehingga membentuk beberapa bayangan telapak disertai suara desiran kuat.
Sontak, gerakan tangan yang rapat-cepat membuat murid Ki Ajar Lembah Halimun terjengkit kaget.
"Bukankah ... itu jurus ‘Telapak Memindah Bayangan’?" katanya tanpa sadar.
Tanpa menjawab, lawan yang diduga menggunakan jurus ‘Telapak Memindah Bayangan’ justru melancarkan serangan kilat ke arah dada.
Wutt!
Seleret hawa pekat putih bening menerjang deras.
"Benar! Ini jurus ‘Telapak Memindah Bayangan’ milik ayahku!" pikirnya sambil telunjuk kiri yang bersinar keemasan langsung didorongkan ke depan untuk menahan lesatan hawa pekat putih bening yang diduga kuat sebagai jurus ‘Telapak Memindah Bayangan’.
Juss!
Buyar sudah serangan kilat sosok laki-laki berbaju hitam-hitam.
Serangan lawan berhasil dieliminasi dengan sempurna oleh jurus ‘Belalang Emas Menunjukkan Jalan’ yang digunakan oleh Riung Gunung.
Akan halnya Kaswari justru mendapatkan lawan yang seimbang dalam ilmu pedang. Beberapa kali pedang keduanya beradu, membuat tangan kesemutan. Meski begitu, sekilas terlihat si gadis unggul dalam peringan tubuh.
“Ilmunya cukup tinggi," pikir Kaswari sambil melenting keatas menghindari sapuan bawah lawan ke arah kaki. Dari atas, tubuhnya meliuk indah sambil pedangnya di putar cepat membentuk hingga tercipta bayangan pedang dengan jurus ‘Membelah Samudera’ ajaran si Contreng Nyawa.
Wrett!
"Sial!" maki si baju hitam membuang diri ke samping sambil menusukkan pedang ke arah perut.
Sett, wutt ... !
Desiran angin tajam mendahului serangan.
Murid tunggal Kakek Kocak dari Gunung Tugel bukannya tidak tahu tindakan lawan. Tapi dibiarkannya tusukan pedang menusuk perut rampingnya.
Benar-benar tindakan nekad!
Criing!
"Uhhh," terdengar keluhan pendek dari baju hitam saat ujung pedangnya seperti membentur bongkahan batu kali. Meski pedang sampai melengkung, tetap tidak bisa menembus perut Kaswari.
"Kau ... kau ... ," kata si baju hitam sampai tergugu saking kagetnya.
“Memangnya kenapa?" sentak Kaswari sambil terus memutar-mutar pedangnya dalam jurus yang sama.
 
BAGIAN 41


Sebisa mungkin si baju hitam menghindar dengan cara melayang mundur, tapi hawa pedang Kaswari telah terlebih dahulu melesat melewati batang lehernya.
Sratt ... !
Jlegg!
Kaswari berdiri tegak di belakang si baju hitam lawannya dengan pedang teracung lurus ke depan. Tidak ada darah setetes pun di sana. Atau jangan-jangan jurusnya gagal?
Sosok si baju hitam cepat berbalik saat mengetahui lawan cantiknya berdiri tepat di belakangnya.
"Ilmu ... ke ... bal ... "
"Tidak ada ilmu kebal, cuma kupakai Jubah Kulit Harimau Kuning milik guruku," sahut pelan Kaswari sambil balik badan.
Terlihat segaris luka memerah melingkari leher laki-laki berbaju hitam.
Leher pun bergeser dengan sendirinya, dan ...
Plukk!
Jatuh ke tanah, lalu tubuh tanpa kepala pun ikut solider jatuh ke tanah dengan suara jatuhan yang lumayan keras.
Blugh!
Mati dengan kepala terpisah dari leher!
Sementara itu, Riung Gunung berloncatan kesana-kemari bagai belalang jantan liar. Berulang kali sepasang tangan dan cecaran tendangan berhawa maut berusaha menghajar tubuh lawan yang lintang pukang menyelamatkan selembar nyawanya. Namun, sepandai-pandainya lawan menghindar, tokh akhirnya terhantam juga.
Wutt!
Bugh ... ! Bugh ... !
Kepala sosok hitam-hitam terdongak memandang langit saat tulang punggungnya terkena tendangan setengah lingkaran murid Ki Ajar Lembah Halimun ini.
"Kurang ajar!" bentak sang lawan sambil berjumpalitan ke belakang beberapa kali.
Baru saja berdiri tegak di tanah, sosok Riung Gunung justru telah berada satu langkah di depannya.
"Apa!?" serunya kaget.
Terlambat!
Desss ... !
Pukulan ‘Belalang Emas Menebah Pasir’ dengan nikmatnya menghantam tepat di dada kiri.
"Huaaaahhh ... aaaghh ... " seruan lolong kesakitan terlontar begitu saja dari mulut si baju hitam dengan tubuh melayang ke belakang sejarak tiga tombak. Sambil bangkit berdiri, tangan kanannya meraba dada kiri yang terkena hantaman.
Tiba-tiba, matanya membeliak lebar-lebar!
"Jantungku berhenti berdenyut," kata lirih si baju hitam. "Jantungku ... pecah!?"
"Benar! Jantungmu matang di dalam mendekati hangus dan artinya kau tahu sendiri, sobat!" sahut Riung Gunung. "Dalam dua belas hitungan, kau akan mati. Sobat, bertobatlah selagi sempat."
"Bangsat!" maki gusar si baju hitam, "Kau harus menemaniku ke neraka, anak muda keparat!"
Kembali sepasang tangannya berkelebatan cepat, kali ini disertai dengan hempasan hawa dingin membekukan tulang.
"Ini ... jurus ‘Telapak Memindah Bayangan’ tingkat empat," desis Riung Gunung. Meski ia tahu, dalam dua belas hitungan lawan akan tewas, namun sebagai seorang pendekar, akan lebih mati terhormat jika tewas dalam suatu pertarungan. Maka, Riung Gunung mengerahkan jurus Pukulan ‘Belalang Darah’ yang diwarisi dari Ki Ajar Lembah Halimun.
"Heaaa ... !"
Dibarengi teriakan keras, keduanya saling dorong hawa sakti yang terangkum dalam jurus andalan masing-masing. Buncahan hawa dingin membeku putih kusam berbentuk telapak tangan raksasa saling labrak dengan sosok bayangan belalang raksasa merah darah.
Glarrr ... glarrr ... !
Dan akibatnya ... tanah semburat ke arah menutupi pandangan. Debu-debu beterbangan. Beberapa pohon bertumbangan terkena imbas dari dua tenaga yang saling labrak.
Dalam tujuh-delapan helaan napas, alam kembali membumi.
Terlihat sosok baju hitam terkapar tanpa nyawa dengan dada melesat membentuk cekungan dalam. Akan halnya Riung Gunung masih berdiri tegak, meski dengan tubuh gemetar.
Brugh!
Tubuh si pemuda pun ambruk ke tanah.
"Kakang Riung!" Kaswari berseru. Sosok tubuhnya memburu ke arah jatuhnya si pemuda. Diraih dan dipangkunya kepala si pemuda, "Kang ... kakang ... "
Kaswari menggoyang-goyang kepala Riung Gunung, namun si pemuda diam saja.
"Kang ... jangan mati, Kang ... jangan tinggalin aku ... "
"Yang mati siapa?" kata Riung Gunung sambil membuka mata. "Cuma kecapekan saja kok dibilang mati?"
"Wuhhh ... kukira Kakang mati ... " sahut Kaswari sambil memencet hidung bangir si pemuda.
Tentu saja si pemuda gelagepan tak bisa bernapas.
"Hmphh ... hmphh .. " (kira-kira begitu dech suaranya.)
"Lhe-pha-shin," kata si pemuda dengan nada sengau. "Kalau aku mati gimana, coba?" gerutunya setelah pencetan hidungnya di lepas.
"Musuhmu gimana?" tanya Riung Gunung dengan kepala masih di pangkuan si gadis cantik baju kuning gading.
"Cuma mati dengan kepala terpisah," jawab Kaswari, enteng. "Musuh Kakang juga mati tuh."
"Sebenarnya dia udah mati dari tadi, cuma dia masih kedot juga. Jantung udah hangus gitu masih nekad adu pukulan," ucap Riung Gunung. "Sudah jadi mayat saja, masih bikin susah orang tuh."
"Kita pulang, yuk."

--o0o--

Di Perguruan Tanah Bambu ...
Blubb ... !
Entah darimana datangnya, seseorang berpakaian hitam total ala ninja lengkap dengan pedang samurai di punggung, muncul begitu saja dihadapan Tua Raja Pedang Bintang dan Tua Raja Tabir Mentari.
“Ada berita apa, Sanosuke?" tanya Tua Raja Pedang Bintang.
“Di barat laut, tepatnya di Ngarai Tanah Hitam, ada sekumpulan orang yang tengah menyusun kekuatan," terang ninja bernama Sanosuke. Logat bicaranya masih cukup bisa dimengerti. Meski aksen negeri asalnya masih cukup kental. Sambungnya, “Menurut pengamatan, ada seratus orang berpakaian cukup aneh."
“Aneh bagaimana?" tanya Tua Raja Pedang Bintang.
Tanpa menjawab, jari tangan Sanosuke menggurat lantai batu putih dengan cepat. Di gurat seenaknya seperti mengiris tahu.
“Saya tidak tahu pakaian ini jenis pakaian apa, karena terlau beraneka ragam. Dari sekian banyak orang berpakaian aneh, cuma ada satu perempuan disana."
Tua Raja Bedah Bumi berjongkok mengamati lukisan cepat yang dibuat Sanosuke.
“Ini seperti gambar ... wayang?" gumam Tua Raja Bedah Bumi.
“Gambar wayang?" tanya heran Tua Raja Pedang Bintang dan Tua Raja Tabir Mentari hampir bersamaan. Keduanya saling pandang satu sama lain.
“Sanosuke! Kau yakin apa yang kau lihat?" tegas Tua Raja Pedang Bintang.
“Leher saya sebagai taruhannya!" jawab tegas Sanosuke.
Tua Raja Tinju Kayangan yang baru saja datang, langsung membentak keras, “Jika kau salah lihat, bukan hanya nyawamu yang hilang, tapi jasadmu bakalan sulit dibedakan mana kaki mana tangan! Paham kau!?"
“Haik!" kata mantap terucap dari mulut Sanosuke.
Suasana hening sekejap, lalu Tua Raja Pedang Bintang berkata memecah kesunyian, “Kembalilah ke tempatmu!"
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Sanosuke membanting benda bulat yang menghasilkan asap tebal.
Blubb!
Begitu asap menghilang, hilang pula sosok Sanosuke.
“Bagaimana ini?" keluh Tua Raja Tabir Mentari.
“Jika benar apa yang dilihat Sanosuke, bisa dipastikan tumbal seratus kepala telah terlaksana," ucap Tua Raja Pedang Bintang, masgul, “ ... dan Danau Sata Kurawa telah diacak-acak orang. Dan satu-satunya penangkal kekuatan hitam Danau Sata Kurawa hanyalah mandi di Danau Panca Pandawa. Dan itu pun harus secepatnya!"
“Lalu, apa yang kita tunggu!?" potong Tua Raja Tabir Mentari, “Biar aku panggil Dedengkot Dewa sekarang."
Ke empatnya segera beranjak pergi. Namun baru keluar dari Balai Ranting Bambu, segumpal asap tebal tahu-tahu muncul di hadapan mereka.
Blubb!
Sosok ninja dengan pakaian putih-putih berdiri tegak disana.
“Tokugawa! Laporan penting apa yang kau bawa?" kali ini Tua Raja Tabir Mentari yang bertanya.
“Danau Panca Pandawa telah kering."
“Apa!?" ke empatnya berteriak kaget.
“Sial!" maki Tua Raja Bedah Bumi sambil menghentakkan sebelah kakinya. Sontak, tanah bergetar hebat bagai dilanda gempa kecil.
“Sudahlah ... “ kata tenang Tua Raja Pedang Bintang sambil menepuk bahu sang rekan. “Kita cari cara lain untuk mengatasinya.
“Rupanya ... kita terlambat setengah hari," desah Tua Raja Bedah Bumi.
“Apa maksudmu?" tanya Tua Raja Tabir Mentari.
“Setahuku, Danau Panca Pandawa akan mengering jika kekuatan hitam Danau Sata Kurawa digunakan serentak."
“Lalu?"
“Untuk menunggu kemunculan kembali air keramat itu, setidaknya menunggu waktu seratus hari di muka."
“Tapi kita tidak bisa menunggu seratus hari dimuka," sahut Tua Raja Pedang Bintang sambil tangannya bergerak mengulap.
Ninja yang bernama Tokugawa mengangguk sekali.
Bluubb!
Lagi-lagi asap tebal menyelimuti tubuh si ninja dan saat asap memudar, sosok ninja putih telah menghilang entah kemana.
“Huh ... aku benar-benar heran," cetus Tua Raja Bedah Bumi dengan tiba-tiba.
“Apa yang kau herankan?"
“Ya ... anak buahmu, Kang!?" sahut Tua Raja Bedah Bumi, lalu dengan gaya bercanda dia pun berkata, “Kok ya ... sempat-sempatnya main-main dengan asap, kayak anak kecil saja? Apa ga sesak napas gitu?"
“Hahahaha! Kalau itu jangan tanya padaku. Itu sudah bagian ilmu Ninjitsu mereka," tutur Tua Raja Pedang Bintang, “Lagian ... bukankah kau sendiri juga suka main tanah!? Bukankah begitu, anak besar!?"
Keempatnya tertawa berderai.
Untuk sesaat, masalah tersingkir sementara waktu.
“Sudahlah. Lebih baik kita fokuskan pada apa orang-orang brengsek yang seenaknya saja mengacak-acak tempat kita," tegas Tua Raja Tabir Mentari, “Entah dengan cara bagaimanan mereka bisa masuk kesini. Seingatku, Ilmu ‘Pagar Gaib Penyamar Wujud’ masih berfungsi baik."
“Aku juga merasakan hal itu," kata Tua Raja Tinju Kayangan.
“Kita kumpulkan semua kekuatan kita! Besok pagi, kita buat mereka jadi perkedel!"

--o0o--
 
BAGIAN 42


Orang-orang persilatan tentu paham dengan pameo : ‘di atas langit masih ada langit’ dan istilah : ‘di atas rencana pasti ada rencana yang lebih tinggi lagi’. Bahkan pengertian : ‘sebagus-bagusnya rencana, pasti ada satu dua bagian yang tidak sesuai rencana.’
Seperti halnya yang terjadi pagi itu.
Untuk mengurangi kekuatan lawan, yang direncanakan pihak Kepulauan Tanah Bambu tentunya, ternyata justru didahului oleh lawan. Hampir sembilan puluh persen orang-orang Kepulauan Tanah Bambu terkapar tanya nyawa di kediaman masing-masing. Tidak peduli orang tua jompo yang nyawanya tinggal satu sedotan, laki-perempuan tanpa pandang bulu, termasuk pula ibu-bu tua dan muda, termasuk pula bayi yang baru lahir dan anak-anak kecil tak berdosa juga bergeletakan tanpa nyawa, semua mati dengan mata melotot dan muka pucat kebiruan.
Usut punya usut, penyebab kematian cuma satu : RACUN!
Entah manusia titisan iblis darimana yang sanggup melakukan perbuatan biadab dan sekeji seperti itu!
Yang lebih mengagetkan lagi, Ratu Kuburan juga menjadi salah satu korbannya. Waktu ditemukan Galah Mayat masih bisa bernapas meski cuma ala kadarnya.
Gayam Dompo, Riung Gunung, Kaswari dan beberapa orang lainnya memeriksa rumah per rumah yang ada di seantero wilayah yang terkena racun. Dan hasilnya, mereka masih menemukan dua anak kecil dan tiga bayi mungil yang masih hidup. Mereka selamat dari bahaya racun karena faktor kebetulan. Karena mereka tergolong orang miskin, maka tidurnya tidak di atas ranjang dengan kasur empuk, tapi justru dengan kasur ala kadarnya beralas tanah.
Itu saja!
"Ranggis dan Luksiyo selamat, Guru," sahut Kaswari sambil menggendong dua anak perempuan yang masih balita. Keduanya tertidur pulas, entah kecapekan menangis atau memang benar-benar ngantuk.
"Tiga anak kembar pasangan Tukang Sayur dan Tukang Daging juga masih hidup," kata Riung Gunung sambil menunjukkan ranjang bayi dari jalinan rotan yang dibopongnya.
Gayam Dompo menghela napas dalam-dalam.
"Di pojok sana, cuma Tukang Pijat langgananku yang masih hidup. Cuma kemungkinan besar, tidak bisa melewati dua hari di muka. Entah kalau Tabib Tangan Api bisa mengatasi racun ganas yang mengeram dalam tubuhnya ... "
"Syukurlah kalau Tabib Tangan Api selamat," ucap Riung Gunung, lega.
"Selamat sih selamat, tapi kalau kakinya buntung juga repot," gerutu si kakek dengan mulut mengerucut.
"Kok bisa?" tanya Kaswari dan Riung Gunung bersamaan.
"Kok bisa-kok bisa-kok bisa! Ya, bisalah!" tukas Gayam Dompo manyun berat. Bibirnya kembali termonyong-monyong.
Enak kalau dikucir!
"Kalian tahu, Tabib Tangan Api waktu jalan gimana, khan!?"
"Ya, setahuku Wari sih ... kalau dia berjalan pakai tangan, bukan pakai kaki. Dari yang Wari denger, Tabib Tangan Api mengatakan kalo sepasang kakinya cuma sebagai pajangan saja," ucap Kaswari sambil menarik-narik bibir bawahnya, itu pertanda kalau dia sedang mengingat-ingat sesuatu.
Cuma kebiasaan!
"Setahuku juga begitu," kata Riung Gunung sambil membayangkan sosok si Tabib Tangan Api.
"Betul. Apa yang kalian katakan semua betul," kata Gayam Dompo sambil membetulkan duduknya.
"Lalu kenapa kakinya bisa buntung, Kek!?"
"Ooo ... itu! Kata Tabib Tangan Api, pas malem kejadian, dia baru pulang dari hutan selatan untuk mengambil tanaman obat karena stok obatnya sudah menipis. Karena tidak bisa membawa semua bahan obat pakai tangan, jadinya semua buntalan obat nangkring di atas kaki. Kalau dilihat sekilas, apalagi waktu malam gelap kayak semalem, khan mirip kayak kepala, tuh ... "
"Emmm ... jadi jika dilihat di malam hari persis orang berjalan. Begitu, Kek?" tebak Riung Gunung. " … dan karena dikira orang berjalan, maka si penyerang gelap mengira menebas batang leher orang?"
"Yup!" kata si kakek kembali membenarkan dugaan si pemuda. "Tapi justru hal itu merupakan suatu keberuntungan Tabib Tangan Api ... "
"Kenapa bisa begitu, Guru!?" potong Kaswari.
"Soalnya, sepasang kaki Tabib Tangan Api terjangkit suatu penyakit aneh ... "
"Aneh bagaimana, Kek? Perasaan kakinya baik-baik saja tuh. Lagian dia kan tabib, masak ga bisa nyembuhin sakitnya sendiri?"
"Calon mantu sontoloyo! Biarin aku selesai ngomong kenapa, sih!?" semprot Gayam Dompo dengan mata melotot. "Dasar slompret!"
Riung Gunung cuma meringis saja.
"Meski kelihatan normal, kaki Tabib Tangan Api hanya bisa dipakai berselonjor saja karena seluruh urat kakinya mengejang kaku sejak ia umur empat tahun diakibatkan gigitan Ular Kawah Api peliharaan ayahnya. Beruntung segera ketahuan ayahnya, Tabib Putera Dewa, sehingga menjalarnya racun sanggup ditekan. Namun, racun Ular Kawah Api sudah terlanjur menjalar cepat menuju jantung, satu-satunya cara adalah dengan mengumpulkan semua racun mematikan itu ke salah satu anggota tubuh Tabib Tangan Api, dan dipilihnya sepasang kaki. Tabib Putera Dewa berpikir keras, bagaimana cara mengenyahkan sisa racun yang mengeram dalam tubuh anaknya. Pikir punya pikir, daripada dibuang percuma, kenapa tidak dimanfaatkan saja."
"Maksud, Guru?"
"Ya. Racun Ular Kawah Api diolah dengan beberapa ramuan racun dan salah satunya adalah hati Ular Kawah Api. Dicampur menjadi satu dan diminumkan pada anaknya saat si anak berumur delapan tahun. Enam bulan kemudian, pencampuran ramuan obat dan racun Ular Kawah Api yang mengeram dalam tubuh si anak bisa bersinergi dan membentuk hawa murni aneh. Itulah asal muasal ‘Hawa Sakti Ular Api’ yang dimiliki Tabib Tangan Api."
Riung Gunung dan Kaswari manggut-manggut kayak marmut.
" ... sejak dulu, Tabib Tangan Api ingin sekali memotong kakinya, hanya saja ... "
"Hanya saja apa, Kek?"
Sambil memelankan suaranya, si kakek berbisik lirih, "Dia takut sama darahnya sendiri."
Dua muda-mudi itu saling pandang, lalu hampir bersamaan mereka berucap, "Tabib macam apa dia!? Sama darahnya sendiri takut?"
Dengan acuh tak acuh, Kakek Kocak Dari Gunung Tugel menjawab, "Yeee ... tapi khan juga manusia, atuh ... "
"Kalau dipikir-pikir, Tabib Tangan Api beruntung juga, Kang."
"Beruntung gimana?"
"Coba kalau kakinya sehat, lalu jalan malem-malem kayak semalem. Bukankah yang kena tebas justru lehernya?"
"Emm ... iya juga, sih," sahut Riung Gunung membenarkan. "Merubah musibah menjadi anugerah."
Sementara itu, sejarak lima tombak ke selatan, Galah Mayat berhasil menyadarkan Ratu Kuburan dari kondisi pingsannya.
"Nyai ... bertahanlah ... kau pasti selamat," desis terisak Galah Mayat.
Ratu Kuburan menggeleng lemah.
"Sudahlah, Galah ... Mayat! Racun yang ... menyerangku ... sangat ga ... nas sekali," ucap lirih Ratu Kuburan.
"Kau diam dulu dan jangan banyak bergerak," potong Galah Mayat sambil mengalirkan hawa murninya lewat punggung Ratu Kuburan.
"Ini sejenis racun Tujuh Warna," desis Ratu Kuburan, semakin lirih. "Racun ... Tujuh ... Warna ... benar-benar hebat ... "
Tiba-tiba tubuh Ratu Kuburan mengejang hebat seperti disengat kalajengking.
"Uuuhh ... auhh ... " Ratu Kuburan berteriak parau dan ...
Blugh!
Jatuh terkapar tanpa nyawa!
Sontak Galah Mayat meraung-raung keras meratapi kematian Ratu Kuburan.
"Huuaaaa ... Huaa .... Haaa ... !"
Gayam Dompo sampai terlonjak kaget, terus melesat cepat ke arah Galah Mayat.
Gayam Dompo segera saja memegang leher Ratu Kuburan, lalu menghela napas dalam-dalam.
Melihat gelengan Gayam Dompo, suara sember Galah Mayat makin kencang saja.
"Huuaaaa ... huaakkh .... haaakhh ... !"
"Dasar kampret!" maki Gayam Dompo sambil bangkit berdiri. "Sudah tua bangka bau tanah, nangis saja pakai ingus berleleran di hidung."
Kaswari dan Riung Gunung berjalan mendekat. Lima anak yatim piatu yang tadi mereka selamatkan telah dibawa para pengawal baju hitam untuk dirawat di tempat Tabib Tangan Api.
"Bagaimana, Guru? Bisa diselamatkan?"
Gayam Dompo hanya membuat garis melintang di leher, lalu ditarik ke kanan. Artinya : sudah menghadap raja maut!
"Heh, nenek sakti berjuluk Ratu Kuburan! Kali ini nasibmu benar-benar buruk sekali," desah Riung Gunung. " … jika biasanya kau sanggup menghidupkan orang mati, meski cuma sesaat, tapi sekarang siapa yang akan menghidupkanmu kembali?"
Seorang laki-laki gemuk yang akrab dipanggil Mata Maling berlari mendekat.
"Bagaimana? Sudah kau hitung semua?" tanya Gayam Dompo. Gayanya dibuat-buat berwibawa, tapi justru malah kayak gorilla lagi pasang aksi.
"Sudah, Ki Gayam. Sudah," sahut Mata Maling. "Total seluruhnya mendekati tiga ribu orang. Termasuk anak-anak dan orang tua, perawan cantik, perawan jelek, janda kem ... "
"Cukup!" bentak Gayam Dompo, "Kuminta totalnya saja. Tidak perlu keterangan panjang lebar."
"Iya ... i ya, Ki." jawab Mata Maling dengan gugup. Dia memang selalu gugup kalau dibentak dengan keras. Apalagi yang membentak levelnya kayak Gayam Dompo. Walau suka melucu, tapi sudah urusan bentak-membentak, jelas tidak lucu lagi.
"Tiga istal kuda habis, ribuan ayam mati, belum lagi ternasuk sapi dan kerbau. Intinya, semua hewan ternak ludes tanpa sisa," lapor Mata Maling sambil menggulung lembaran kulit ditangannya.
"Benar-benar edan!" maki Gayam Dompo. Sambungnya, "Lalu yang selamat sudah diungsikan ke tempat Tabib Tangan Api?"
"Sudah beres, Ki."
"Kalau begitu, yang selamat tinggal beberapa ratus orang saja, Kek," ucap Riung Gunung dengan terenyuh. "Benar-benar malapetaka besar telah menimpa tempat kita."
"Paman, jika boleh tahu, wilayah mana yang selamat?" tanya Riung Gunung.
"Sembilan bagian wilayah timur selamat," jawab Mata Maling. "Memangnya ada apa, Nakmas Riung?"
Riung Gunung berdiri tegak menerawang.
"Jika benar begitu, arah luncuran racun pasti dari arah timur. Setahuku, selain Balai Ranting Bambu tempat Empat Tua Raja bermukim, hanya ada satu tempat yang memiliki ketinggian cukup untuk menebarkan racun."
Kaswari terperanjat kaget, katanya, "Maksud Kakang ... Puncak Tanah Hitam?"
"Betul. Jika dilihat arah angin semalam, memang dari arah timur, lalu berbelok arah ke segala penjuru."
Semua yang ada ditempat itu terdiam sesaat.
"Dan setahuku, cuma Paman Dedengkot Dewa dan Tua Raja Tinju Kayangan yang seringkali naik ke tempat itu, sebelum mencapai Ngarai Tanah Hitam," ucap Riung Gunung.
"Sebelum ada bukti kuat, kita tidak bisa sembarangan menuduh," sahut Kaswari, lalu sambungnya, "Hanya dengan patokan kalau keduanya sering berada ditempat itu ... "
"Kau benar, Nimas Wari," kata Riung Gunung.
"Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan adalah kita selidiki dahulu siapa-siapa orangnya yang bertanggung jawab. Siapa keparatnya yang dengan mudah mencabut nyawa orang seperti mencabut rumput liar!" geram sekali Kakek Kocak Dari Gunung Tugel.
"Itu jalan yang terbaik, Guru."

-o0o-

Sore hari setelah kejadian ...
Pemuda murid Ki Ajar Lembah Halimun terlihat memasuki pelataran rumah peninggalan ayahnya. Sesampainya di teras rumah, matanya mengedar ke sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang mengikutinya.
"Hemm ... tetap aman seperti biasanya," gumam sang pemuda.
"Aman? Apa maksudnya dengan kata ‘aman’? Kelakuannya akhir-akhir ini benar-benar mencurigakan atau jangan-jangan dia mata-mata di pihak lawan?" kata hati sesosok tubuh samar yang sedari tadi mengikuti kelebatan pemuda berperiuk itu. Sosoknya terlihat antara ada dan tiada, membaur dengan lingkungan sekitar, menyamarkan wujud, membentuk gelembung-gelembung udara yang berpenjal-penjal seperti agar-agar. Jika tidak memiliki peringan tubuh kelas atas, tak nantinya bisa diketahui oleh pemuda bernama Riung Gunung.
"Kalung Batu Kalimaya benar-benar luar biasa," batin bayangan samar.
 
BAGIAN 43


Masih teringat jelas dibenaknya, bagaimana dengan tidak sengaja ia menemukan sebentuk batu kuning bening berbentuk oval. Dikatakan tidak sengaja, karena waktu sedang menyelidiki bekas tempat amukan Tua Raja Tinju Kayangan karena mengejar orang yang mencuri benda pusaka Perguruan Tanah Bambu (itu lho ... waktu si Riung Gunung dapat ‘sobekan kain’ berbau aneh ... )
Karena tertarik, disimpannya saja batu bening temuannya.
Saat mengagumi batu itulah, Gayam Dompo mendatanginya.
"Dari mana kau dapat batu itu, Wari?" tanya si guru waktu itu.
"Di bekas tempat Paman Tinju Kayangan ngamuk, Guru."
Diambilnya begitu saja benda bulat oval itu, diamat-amati sebentar, lalu diangsurkan kembali ke Kaswari sambil berkata, "Genggam dan alirkan hawa saktimu ke batu ini."
"Lahhh ... nanti pecah, Guru. Khan’ sayang!"
"Kalau pecah, nanti guru ganti, dech ... "
"Ganti pake’ apa?"
"Ganti pake’ batu gunung, segedhe gajah lagi, hehehehe ... "
"Wuuh ... mana bisa buat mainan ... "
Meski dengan bersungut-sungut, diikutinya juga saran si kakek.
Rett ... !
"Ehh ... !?"
Mata Kaswari terbelalak besar-lebar saat mengetahui tangan yang memegang batu menggelombang lalu berangsur menghilang.
"Kok bisa!?" mata indah si gadis baju kuning gading memandang Kakek Kocak dari Gunung Tugel dengan tatapan bertanya.
Gayam Dompo hanya tertawa kecil saja.
"Seperti yang kuduga. Itu bukan batu biasa. Bisa dikatakan sebagai batu sakti atau batu bertuah."
"Batu bertuah?" desis Kaswari sambil menarik kembali hawa saktinya.
Tangannya kembali seperti semula.
"Ya. Batu itu bernama Batu Kalimaya. Untuk jenisnya ada berapa, aku kurang tahu."
Berkat petunjuk gurunya pula, kesaktian Batu Kalimaya bisa digunakan, meski saat ini, yang bisa dilakukan oleh murid cantik Gayam Dompo ini hanya menyamarkan wujud.
Untuk menjaga supaya tidak hilang, Batu Kalimaya dijadikan mata kalung. Orang-orang di Kepulauan Tanah Bambu hanya tahu kalau kalung yang melingkar di leher Kaswari adalah pemberian gurunya.
Riung Gunung sendiri tidak menyadari sosok yang mengikutinya sejak dari kediaman Tabib Tangan Api. Setelah yakin bahwa tidak ada orang yang mengikutinya, barulah dia masuk ke dalam rumah.
Krieett ... !
Derit pintu terdengar mengusik telinga.
Blakk!
Tidak ada yang istimewa dari rumah peninggalan Pemulung Nyawa ini. Sekedar ruangan dengan luas delapan tombak kali delapan tombak. Terlihat cukup lega untuk ukuran dua orang yang menghuninya, Riung Gunung dan ayahnya.
Ruang tanpa sekat apa pun. Maklum saja, selain tidak punya anak perempuan, mendiang Pemulung Nyawa termasuk manusia dengan bakat seni minimal, mendekati nol sebenarnya.
Dua buah dipan kayu jati berukir teronggok diam di masing-masing sudut ruangan, ditalami kasur empuk yang sudah jebol disana-sini. Sedang di tengah ruangan, persis di tengah-tengah, berdiri angkuh meja bulat besar ukiran bunga-bungaan, lengkap dengan cangkir bambu di atasnya. Tiga piring tanah liat terlihat kosong tanpa singkong sepotong pun.
Riung Gunung duduk di kursi paling tengah, tepat membelakangi pintu. Terdiam untuk beberapa saat, meraih cangkir, dan meneguk air di dalamnya dengan pelan.
"Hemm ... masih nikmat meski sudah dingin," gumamnya sambil meletakkan cangkir kosong ke tempat semula.
Trek!
Si pemuda memutar cangkir bambu ke arah kiri.
Srekk!
Lalu memutar berlawanan arah ke posisi semula.
Ditunggunya beberapa saat.
Tidak ada yang berubah di tempat itu.
Tetap sunyi.
Sunyi tetap meraja untuk beberapa saat.
Sepuluh tarikan napas berikutnya, Riung Gunung bangkit dan berjalan ke arah dipan di pojok kanan. Kurang dari sepuluh langkah, dipan kayu tiba-tiba terangkat ke atas dengan sendirinya.
Krakk!
Tanpa banyak pikir, pemuda berperiuk melompat masuk ke dalam.
Bersamaan dengan itu pula, sebentuk sinar bening transparan melesat masuk ke dalam.
Kriett!
Dipan kembali tertutup dan suasana hening menyepi seperti sebelumnya.

--o0o--

Di bawah dipan berukir, suasana gelap langsung menyergap. Seolah sudah biasa dengan situasi gelap, Riung Gunung berjalan menuruni anak tangga. Entah berapa banyak jumlahnya, si pemuda sendiri tidak mengetahuinya. Tak berapa lama, sampailah ia pada sebuah pintu baja tahan karat (maklum aja, jaman bahula ga ada istilah stainless stell. Tapi kalau baja tahan karat sudah ada lho, entah pandai besi mana yang sanggup bikin, hehehe ...)
Pintu baja tebal terlihat kokoh menghadang jalan.
Di samping kiri ada beberapa kotak lima warna : merah, kuning, biru, hitam dan putih. Si pemuda berperiuk terdiam beberapa saat, entah apa yang ia tunggu. Sebentar kemudian, ia menekan kotak merah tiga kali dengan cepat dan kotak biru dua kali dengan lembut.
Grekk ... !
Pintu baja bergeser memperdengarkan suara cukup keras.
Seberkas sinar terang menerjang sisi gelap di belakang si pemuda sehingga membentuk bayangan. Dengan ringan, sang pemuda melangkah masuk. Setelah dua langkah, pintu baja tebal kembali bergerak menutup.
Grakk!
Di dalam ruangan, berukuran lima tombak kali tujuh tombak, tampak terbaring lemah sesosok tubuh. Sosoknya terlihat ringkih dengan jejak luka yang sudah mengering. Tubuh yang telanjang dada tidak bisa menutupi betapa kurusnya sosok kakek yang terbujur tanpa daya. Helaan napas lemah saja yang menandakan kalau sosok renta itu masih bernyawa.
Di bagian sudut ruangan, tampak sesosok tubuh dalam keadaan bersila. Sosok yang sama-sama sudah uzur dimakan usia, namun masih tampak roman ketampanan di masa mudanya. Seluruh rambut sudah memutih perak, termasuk pula cambang dan kumis memutih sempurna. Jubah putihnya yang dikenakannya terlihat menjuntai menyentuh tanah. Meski begitu, roman mukanya terlihat segar berseri penuh dengan daya hidup yang luar biasa.
Sebatang tongkat berlekuk mirip ular terlihat di atas pangkuannya.
"Bagaimana muridku, kau sudah dapat kabar tentang obat yang dibutuhkan ayahmu?" tanya si kakek berjubah putih.
"Maaf, Bapa Ajar! Ananda belum berhasil menyirap kabar tentang Batu Sakti Kalimaya," jawab Riung Gunung sambil dengan khidmat mencium tangan si kakek yang disebutnya sebagai : Bapa Ajar. Satu-satunya manusia di wilayah Perguruan Tanah Bambu yang disebut ‘Bapa Ajar’ hanya Ki Ajar Lembah Halimun seorang.
Setelah itu, Riung Gunung duduk bersila di hadapan si kakek dengan lesu.
Si kakek terdiam saja dengan sorot mata teduh mengawasi sosok lemah di atas dipan kayu.
"Kurasa ... kau tidak perlu mencarinya lagi, Muridku."
Riung Gunung terlonjak dari duduknya.
"Kenapa begitu, Bapa Ajar!? Apakah nyawa Romo memang benar-benar tidak bisa tertolong lagi?" ucap Riung Gunung dengan nada sedih.
Ki Ajar Lembah Halimun tersenyum kecil, lalu bangkit berdiri sambil berkata, "Karena Batu Sakti Kalimaya sekarang ada disini ... "
Kembali Riung Gunung terkaget-kaget.
"Disini!?" si pemuda bangkit berdiri sambil memutar tubuh, "Di sebelah mana, Bapa?"
Ki Ajar Lembah Halimun tersenyum, lalu berkata lembut, "Anak gadis yang tersamar. Lebih baik kau tunjukkan wujudmu. Tidak baik bertamu di rumah orang dengan sembunyi-sembunyi."
Riung Gunung tersentak!
Katanya dalam hati, "Kurang ajar! Siapa manusianya yang sanggup mengelabuiku?"
"Tunjukkanlah dirimu, Cah Ayu." Kembali Ki Ajar Lembah Halimun berkata.
"Baiklah, Kek." Satu suara menyahut.
Mendengar suara lembut itu, kening Riung Gunung sedikit berkerut, "Suara itu ... "
Belum lagi ucapan si pemuda berperiuk dilanjutkan, sesosok bayangan mewujud dan berpenjal-penjal membentuk badan manusia. Semakin lama semakin nyata wujudnya. Dan akhirnya ...
"Kau?"
"Iya Kang. Ini aku," sapa sesosok gadis cantik berbalut baju kuning gading sambil tersenyum manis.
"Bagaimana bisa kau ... " kata-kata Riung Gunung terpotong. Entah apa yang ada dalam benaknya, hanya ia yang tahu. Sulit sekali diterima jika dari tadi ia diikuti oleh murid tunggal Kakek Kocak dari Gunung Tugel. Lalu sambil menghela napas, ia pun berkata, "Ahhh ... sudahlah ... "
Riung Gunung bangkit berdiri, sambil berkata, "Kemarilah, Nimas."
Sosok ramping itu berjalan mendekat.
"Maaf, Kang. Selama ini Wari memata-matai Kakang. Soalnya tingkah Kakang cenderung aneh semenjak kepulangan Kakang dari Lembah Halimun Kegelapan. Hal ini pun Wari lakukan atas persetujuan Guru dan Nini Cemara Putih."
"Alasannya apa?"
"Habisnya ... Kakang sok misterius, sih."
"Hah? Misterius gimana?"
"Beberapa hari terakhir ini, Wari liat Kakang seperti orang bingung. Apalagi setelah kejadian kemalingan beberapa waktu yang lalu. Kakang semakin terlihat aneh," cerocos Kaswari.
"Sudahlah!" potong Riung Gunung, "Nanti saja Kakang ceritakan lengkap. Intinya, Kakang lagi bingung buat nyembuhin Romo yang sakit parah. Seluruh jalur hawa saktinya rusak parah."
"Karena kejadian penyerangan gelap itu?"
"Ya. Awalnya Kakang kira Romo sudah tewas," kata Riung Gunung membayangkan sosok sang ayah, si Pemulung Nyawa, tergeletak tanpa gerak dengan dada kiri melesak dalam yang menurut perkiraannya, jantung pastilah pecah akibat serangan maut yang dilancarkan Pawang Racun Kecil. "Waktu Kakang angkat ke dalam rumah, ternyata Romo siuman."
"Kok bisa?"
"Rupanya Romo memiliki sebuah ilmu yang bernama ‘Memindah Jalan Darah’. Sehingga disaat yang cuma sepersekian detik itu, Romo masih bisa mengerahkan ilmu itu, meski tidak dengan tenaga maksimal. Sehingga kondisinya pasca serangan seperti orang mati." Lalu dengan nada geram, ia melanjutkan katanya, "Pawang Racun Kecil harus menerima akibatnya."
"Ooo ... begitu."
"Rupanya kau murid dari Gayam Dompo," sela lembut Ki Ajar Lembah Halimun.
"Benar, Bapa Ajar!" jawab Kaswari, "Tadi Bapa Ajar menyebut-nyebut Batu Sakti Kalimaya. Apakah batu ini yang Bapa Ajar maksudkan?"
Kaswari melepas kalung batu kuning yang melingkar di lehernya, lalu diangsurkan pada kakek bermata teduh itu.
"Benar. Batu ini yang kakek maksudkan. Bisa kupinjam sebentar?"
"Bisa, Bapa. Bisa. Silahkan."
"Jadi ... yang kau pakai itu Batu Sakti Kalimaya?" ucap Riung Gunung kaget.
"I ya. Emang kenapa?"
"Kenapa kau ga bilang ... "
"Emangnya Kakang bertanya?" balik tanya Kaswari.
"Sudah-sudah-sudah. Lebih baik kalian berdua diam dulu," kata Ki Ajar Lembah Halimun sembari berdiri. Dihampirinya sosok Pemulung Nyawa yang tergeletak tanpa daya.
"Kalian kemarilah," panggil Ki Ajar Lembah Halimun.
Kaswari dan Riung Gunung berjalan mendekat.
"Kaswari, kau pegang pada dua kaki, tepat di mata kakinya," perintah si kakek berjubah putih," … dan kau pegang pundak Romo-mu."
Keduanya beringsut ke tempat yang ditunjuk oleh orang tua ini.
"Sudah siap?"
Keduanya mengangguk.
"Kalian harus bertahan sekuat mungkin, jangan sampai lepas."
"Baik."
Ki Ajar Lembah Halimun menggenggam erat Batu Sakti Kalimaya kuning milik murid cantik Kakek Kocak dari Gunung Tugel ini. Mulutnya berkemik-kemik membaca mantra. Seberkas sinar kuning berpendar-pendar terlihat dalam genggaman salah satu tokoh sakti dari kepulauan tanah bambu.
Slassh!
Sebersit cahaya kuning sebesar lidi meluncur cepat kearah ulu hati si Pemulung Nyawa. Sesaat setelah diterjang cahaya kuning, sosok si Pemulung Nyawa bergetar kuat, bahkan bergerak liar seperti orang kesurupan.
"Ahhh … aghhh … "
"Tahan yang kuat!" perintah si kakek berjubah putih.
Semakin lama, gerakan liar si Pemulung Nyawa semakin menghebat. Akan halnya bersitan cahaya kuning juga semakin mendekati satu jari besarnya.
Hingga pada akhirnya, setelah sepeminuman teh, guncangan pada si Pemulung Nyawa makin menurun … menurun … menurun, dan akhirnya berhenti sama sekali.
"Sudah cukup," kata Ki Ajar Lembah Halimun sambil membuka genggaman tangannya.
Kaswari dan Riung Gunung, secara hampir bersamaan, melepas pegangan pada mata kaki dan pundak sosok yang sekarang terbaring dengan napas teratur. Cerukan dalam di dada kiri sudah terlihat normal.
"Setelah ini apa lagi, Bapa?" tanya Kaswari sambil mengusap keringat di keningnya.
"Kita tunggu Khagata tersadar kembali."

--o0o--
 
nah kisanak hanya sampe disini cersil ini ane share dimari :sedih::sedih::sedih:,
mari berharap semoga sipengarang membacanya & tergugah utk ngelanjutin cersil ini
terima kasih banyak atas apresiasi dari kisanak semua atas cersil SiPemanah Gadis Karya Gilang Satria yg ane share ini
dan ane mohon maaf yg sebesar2nya klo ga bisa kasih yg lebih lg utk kisanak semua disini
:ampun:
 
Cerita ini udah luama banget. Mulai jaman bahula sampai skr belum diupdatekan sama yg empunya cerita. Kabar terakhir semua rancangan tulisan hilang krn banjir. Dan Gilang sendiri lenyap entah kemana. Cerita bagus, sayang ga tamat dan ga mungkin bakal tamat.
 
TS bener-bener memanjakan pembacanya. Keren Suhu.... lama ga baca cersil, jadi terobati kangennya :hore:
 
Hmmm......

Sayang sekali kisanak.....
Jd kemungkinan ini cuma sampai d sini ya


Padahal udah semakin menarik ceritanya



Semoga dapat d lanjutkan :kaget:
 
pertamax ka?

Cerita ini udah luama banget. Mulai jaman bahula sampai skr belum diupdatekan sama yg empunya cerita. Kabar terakhir semua rancangan tulisan hilang krn banjir. Dan Gilang sendiri lenyap entah kemana. Cerita bagus, sayang ga tamat dan ga mungkin bakal tamat.
bkn hu itu terjadi thn 2008
"gilang 16 Mei 2008 jam 11:23am Balasan Lapor
sory, agak lama. sebab rumah dan seluruh barang di dalamnya hancur di terjang banjir termasuk pula naskah-naskah yang mau di upload.
cry.gif

terpaksa harus peras otak lagi buat dari awal!"

ini postingan terakhirnya
"gilang 24 Oktober 2013 jam 9:29pm Balasan Lapor
maaf kelamaan ...
tongue.gif

baru balik ke jawa, trus ketik ulang yang ane tulis tangan selama dinegeri orang.
baru ampe bab 43, langsung upload semua."

kemungkinannya sipengarang skrg tinggal dinegri org dan mungkin jg beliau sangat sibuk dikerjaannya

TS bener-bener memanjakan pembacanya. Keren Suhu.... lama ga baca cersil, jadi terobati kangennya :hore:
thx hu dah baca cersil ini

Mantaf trimakasih sudah abdet

sama2 hu
thx hu

Yahhh...
Udh segitu aja hu?
Semoga yg punya cerita mau terusin cerita ini..

hmmm...
Akhirnya sampe jg..trim kirimannya, semoga saja om gilang bsa melanjutkannya...
semoga hu

Hmmm......

Sayang sekali kisanak.....
Jd kemungkinan ini cuma sampai d sini ya


Padahal udah semakin menarik ceritanya



Semoga dapat d lanjutkan :kaget:
sama2 berharap hu

Seandainya aja ada yg berbaik hati untuk menyambung kisah ini......
ayo ada yg mau?

seperti biasa.....
Jossss..... :jempol:
thx hu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd