Dua Hati Yang Terbelah
Silvani keluar dari kamar mandi dengan telah berpakaian lengkap. Gadis cantik itu tersenyum manis memandang Rico yang sedang terbengong-bengong....
"Jadi ternyata memang lu orangnya," kata Rico sambil menatap sedih kepada Silvani. Gadis itu tersenyum penuh arti. Ia sudah tahu maksud perkataan cowok itu. Namun pura-pura bertanya,
"Apa maksud lu, sayang?"
"Sudahlah. Tak perlu lagi ada kepura-puraan diantara kita," kata Rico. "Lu adalah orang yang selama ini mengacaukan kita semua."
"Jadi lu kini sudah mengetahuinya," kata gadis itu santai. "Betul. Gua baru saja mendapat kabar dari Jaka, William, Stefany, dan istri Jaka tentang apa yang terjadi pada mereka dan apa yang mereka lakukan," kata Silvani tersenyum.
"Tapi seberapa banyak yang lu ketahui?"
"Oh ya mulai sekarang jangan panggil gua Vani lagi. Panggil gua Silvani, nama penuh gua. Pemberian dari kedua orangtua gua," kata Silvani tetap tenang namun aura dinginnya begitu terasa.
"Lu adalah putri satu-satunya Kuswantoro. Karena itu lu berniat membalas dendam kepada kita semua. Kini lu berhasil merusak rencana pernikahan Cie Stefany bahkan menghancurkan hatinya, meracuni pikiran Mas Jaka dan membuat Om Dharsono mengundurkan diri bahkan ditahan, dan lu mengacaukan rumah tangga Mas Jaka."
Silvani memandang Rico dengan tersenyum. Memang kini ia telah berhasil membalas dendamnya kepada Dharsono, Stefany, dan Jaka. Sementara ia tak mempunyai masalah apapun dengan William sehingga ia tak perlu mengusik cowok itu lagi. Justru sebaliknya, ia telah memberi "bonus gratis" kepada cowok tersebut dengan menikmati tubuh Stefany secara cuma-cuma. Bahkan mungkin merenggut keperawanannya kalau memang betul Stefany selama ini belum pernah disentuh laki-laki.
Sebenarnya, apakah Stefany sebelum ini masih perawan atau tidak ia sama sekali tak peduli. Yang pasti kini ia sukses menghancur-leburkan hati gadis itu. Inilah pembalasan setimpal atas perbuatan gadis itu saat menjebak ayahnya dulu. Demikian pula Dharsono yang dalam sekejab karier dan reputasinya hancur lebur. Dan Jaka yang rumah tangganya mendadak jadi berantakan dengan cara yang sama seperti yang ia lakukan dulu terhadap orangtuanya. Mereka bertiga semuanya kini kehilangan milik mereka yang paling berharga. Sekarang tinggal tersisa cowok yang berdiri di depannya ini.
"Sebelum gua mulai, kita matikan dulu HP kita. Gua tak mau ada apapun yang bisa merekam pembicaraan kita. Ok buat lu?" tanya Silvani. Rico pun menyanggupinya.
"Ya betul. Gua anak satu-satunya Kuswantoro. Karena itu gua membalas dendam kepada kalian semua. Semua yang lu katakan itu betul," lanjutnya.
"Tapi gua salut terhadap lu, Rico. Pada akhirnya lu mampu mengungkap kebenarannya. Padahal seharusnya sekarang saatnya gua membeberkan semuanya kepada lu. Tapi lu mampu memecahkannya beberapa menit lebih cepat. Sayangnya hal itu terlambat untuk menyelamatkan mereka."
"Tapi omong-omong, bagaimana awal mulanya sampai akhirnya lu bisa mengetahui semuanya? Kalau lu tak keberatan menjawabnya."
Rico menatap Silvani dalam-dalam lalu berkata, "Permainan lu sungguh rapi dan hampir tak berjejak. Namun ada satu petunjuk kecil. Di laporan itu lu menyebut tentang "Tumpukan Celana Jins Biru Tua dan Kaus Abu-Abu Muda". Pertanyaannya, di antara keduanya mana yang ada di atas dan mana yang di bawah? Kalau kita lihat dari foto yang tak bisa bohong, yaitu foto nomor 5, maka kaus itu berada di atas celana jins. Tapi kenapa tidak dituliskan "Tumpukan Kaus Abu-Abu Muda dan Celana Jins Biru Tua"? Karena lu yang menulisnya!"
"Lu dan gua, kita sama-sama punya kebiasaan aneh. Dalam menyebutkan urutan, kita selalu menggunakan logika kita untuk memproses dulu mana yang sekiranya datang duluan dan itulah yang disebut pertama. Terlepas dari bagaimana urutannya secara visual."
"Dan kenyataannya, terus terang dulu gua sering ngeliat Cie Stefany ganti baju. Kebiasaan dia, ia selalu melepas bawahannya dulu sebelum atasan. Lu juga sama seperti dia. Sehingga apa yang ditunjukkan foto itu memang cocok dengan kebiasaan dia. Sementara, cara penulisan di laporan itu hanya cocok dengan gaya lu sementara tak lazim bagi kebanyakan orang."
"Lalu, saat gua sadar kalau foto-foto itu sebenarnya ditujukan ke gua bukan William. Dua hal ini membuat insting gua tiba-tiba teringat kepada lu. Tapi perasaan gua selalu menyangkalnya dan mencari pembenaran untuk membela lu. Bahwa di dunia ini tentu tak hanya kita berdua saja yang punya cara berpikir seperti itu, dan seterusnya. Semua itu karena gua sangat tidak mengharapkan apa yang saat ini terjadi, terjadi," kata Rico mengakui sambil menghela napas.
"Wow, gua betul-betul salut dengan kejelian lu. Karena terus-terang gua ga menyadari itu sampai lu katakan barusan. Namun sayang kejelian lu itu tak ada artinya sekarang. Tahukah lu kenapa gua berhasil mengelabui kalian semua?" tanya Silvani.
"Karena kalian semua tidak fokus!" jawabnya setelah beberapa saat. "Stefany terlalu sibuk dengan persiapan pernikahannya. Jaka, ia terlalu protektif terhadap Stefany. Secara psikologis penjelasannya agak panjang karena tak hanya sekedar faktor cinta. Tapi mungkin kita tak perlu membahasnya di sini. Yang pasti akibatnya ia jadi gampang dibakar emosinya. William, ego dirinya terlalu besar dan ia seorang pencuriga. Sehingga mudah dipengaruhi. Dharsono, hmm, ia terlalu baik. Seandainya ia tak menutup data tentang almarhum Papi, mungkin gua tak bisa seleluasa ini bergerak."
"Lu betul," potong Rico. "Salah satu sebab kenapa gua baru dapat informasi tentang lu barusan ini, karena data lu tak ada. Sehingga perlu waktu agak lama untuk mendapatkannya. Tapi tentu itu bukan alasan utamanya yang lu sendiri juga tahu apa," kata Rico menghela napas.
"Karena lu terlalu mencintai gua. Inilah ketidak-fokusan lu, " Silvani tersenyum penuh simpati kepada Rico.
"Betul," jawab Rico terus terang. "Gua sebenarnya juga tahu beberapa kali lu ketemu Cie Stefany secara diam-diam. Seharusnya ini sudah membuat gua curiga. Namun gua selalu menyangkal kecurigaan itu dengan menganggap bahwa lu memang ingin melakukan pendekatan secara personal dengannya. Karena ia adalah cici gua. Dan ternyata itu adalah sebuah kesalahan fatal," kata Rico dengan tersenyum datar.
"Seandainya gua tidak mengikuti perasaan gua dan langsung bergerak cepat maka gua akan bisa mencegah semua yang lu lakukan."
"Atau siang ini saja, kalau gua ga ngikuti permintaan lu untuk mematikan HP," Rico menghela napas.... "Maka gua akan membaca pesan itu dan gua masih bisa memperingatkan mereka."
"Paling tidak gua akan bisa memperingatkan Cie Stefany untuk berhati-hati karena William pasti telah lu racuni pikirannya."
"Betul sekali. Lu selalu menyangkal logika lu gara-gara terbawa oleh perasaan. Gua yakin selama ini lu mengarahkan kecurigaan lu kepada orang-orang dalam tim kalian. Termasuk Stefany dan Dharsono. Padahal orang dalam yang membantu misi gua itu ya lu sendiri. Rico yang jenius itu. Tanpa lu sadari, lu telah membantu misi gua," kata Silvani.
"Tanpa ketidak-fokusan kalian, tanpa adanya peran serta lu, gua tak akan berhasil sesukses ini. Untuk itu gua perlu berterima kasih kepada lu. Sebaliknya, gua betul-betul minta maaf atas ketidaknyamanan perasaan lu saat ini," kata gadis itu dengan sikap penyesalan yang sungguh tulus dan sama sekali tak dibuat-buat.
"Gua terima permintaan maaf lu," jawab Rico datar.
"You see, bagaimana gua tidak mencintai lu karena bahkan di saat melakukan perbuatan bajingan pun lu melakukannya dengan cara simpatik," kata Rico sambil tersenyum getir.
"Hahahaha. Lu benar-benar kocak. Satu hal lagi yang gua salut. Dari tadi sampai sekarang lu tetap tenang. Tak terlihat sedikit pun lu kehilangan emosi. Lu adalah seorang yang luar biasa dan tak ada duanya di dunia ini," puji gadis itu.
"Hanya satu kesalahan lu... lu terlalu mencintai seorang cewek. Padahal cewek yang lu cintai itu hanyalah sebuah fatamorgana," lanjut Silvani tersenyum.
Rico terdiam. Ia selalu menikmati diskusi dengan gadis ini. Termasuk saat ini. Saat dimana topik pembicaraan adalah satu hal yang sangat tidak mengenakkan.
"Ok. Kalau seluruh pertanyaan sudah terjawab... maka inilah saat kita untuk berpisah, Rico," kata Silvani dengan tenang tapi dinginnya serasa seperti es yang membeku.
"Ada satu hal lagi. Kenapa lu bisa melakukan semua ini?"
"Mengapa lu sampai mengorbankan diri lu sendiri?"
"Maksud lu kenapa gua mau tidur dengan lu? Ah Rico, ini tahun berapa dan jaman apa? Kita bukan hidup di jaman Siti Nurbaya. Gua memang tidur sama lu dan lu adalah cowok yang pertama kali tidur sama gua. Tapi so what gitu loh? Saat ini cewek tidur sama cowok adalah hal biasa."
"Lagian gua sudah bersumpah di depan mayat orangtua gua bahwa gua akan membalas dendam terhadap kalian dengan cara apapun. Jadi itu bukan sesuatu yang sulit bagi gua," kata Silvani dengan santai.
"Justru gua memanfaatkan itu untuk membuat lu terlena dan percaya kepada gua," lanjutnya.
"Ya," kata Rico mengamininya. "Karena gua adalah pintu masuk untuk melaksanakan misi balas dendam lu itu."
"Betul sekali. Tapi ada satu hal lagi!"
"Oh! Apa?"
"Setelah Stefany, Dharsono, dan Jaka, ada satu orang lagi yang masih tersisa. Lu."
Silvani tersenyum dengan sangat manis.
"Gua membuat lu sungguh-sungguh jatuh cinta ke gua. Agar kemudian hati lu pedih sekali kehilangan orang yang lu cintai. Itulah cara gua membalas dendam ke lu. Sama seperti saat gua kehilangan almarhum Papi dan Mami saat itu," kata Silvani tanpa emosi.
"Inilah cara pembalasan gua ke lu. Karena orang yang lu cintai itu adalah fatamorgana. Tidak nyata! Sekarang saatnya lu untuk terbangun dari mimpi dan menyadari pahitnya realita," kata Silvani sebelum ia melangkah ke pintu depan.
Suasana ruangan seketika jadi sunyi dan dingin. Tak ada suara lain kecuali bunyi langkah sepatu Silvani menuju pintu keluar apartemen Rico.
"Silvani.....," kata Rico tiba-tiba memecah keheningan yang dingin itu.
"Vani.....," katanya memanggil nama panggilan sayangnya terhadap gadis itu.
"Di ruangan ini bukan hanya gua satu-satunya yang harus kembali ke dunia nyata," kata cowok itu tenang.
Silvani menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya menghadap cowok itu lagi. "Maksud lu, gua?"
"Omong-omong, panggil gua Silvani!" tegasnya lagi.
Rico menganggukkan kepalanya.
"Lu mau tahu alasan sebenarnya kenapa gua gagal mencegah perbuatan lu?" kata Rico menatap Silvani dalam-dalam.
"Bukankah tadi sudah lu akui sendiri... karena lu terlalu mencintai gua. Karena lu mencintai sebuah fatamorgana,"ujar Silvani.
"Itu betul. Tapi tak sepenuhnya betul.
"Jadi?"
"Karena lu mencintai gua. Itulah alasan utamanya. Seandainya cinta gua hanya satu arah, mungkin gua masih akan bisa bertindak. Tapi karena lu mencintai gua, ini yang membuat logika gua jadi lumpuh."
"Hahahaha... Lu masih hidup di fatamorgana, Rico. Karena dunia nyata sungguh menyakitkan. Sadarlah Rico. Lu telah gua tipu mentah-mentah. Gua ga pernah sungguh-sungguh mencintai lu," kata gadis itu mentertawakan Rico dengan senyum mengejek. Sejak awal pembicaraan mereka, inilah pertama kalinya Silvani kehilangan sikap tenangnya.
"Lu boleh berpura-pura di depan gua. Tapi lu ga bisa menipu diri lu sendiri. Sekarang gua mengerti... Lu seringkali mengatakan bahwa saat yang paling membahagiakan bagi lu adalah saat-saat bersama gua. Saat mengatakan itu lu tidak berpura-pura. Justru sebenarnya lu sangat bersungguh-sungguh dengannya. Lu takut apabila hal itu terjadi. Karena lu tahu pada akhirnya itu akan terjadi. Namun dalam hati kecil lu sebenarnya lu tak mau itu terjadi."
"Itu sebabnya kenapa kecurigaan gua terhadap lu selalu mentah dan mentah lagi. Karena sikap lu terhadap gua begitu natural karena mencerminkan isi hati lu yang sebenarnya. Lu tak perlu bersandiwara apa-apa karena memang lu mencintai gua."
"Dan satu lagi yang tak dapat lu sangkal... Lu bukan tipe orang yang bisa mengorbankan kehormatan diri lu bahkan untuk membalas dendam sekalipun. Karena lu adalah orang dengan kehormatan diri yang sangat tinggi. Karakter lu ini sama dengan Cie Stefany. Gua tahu persis tentang ini."
"Itu sebabnya kenapa gua mencintai lu... karena lu punya banyak persamaan dengan dia. Juga kenapa gua bisa mengerti begitu dalam tentang diri lu."
"Jadi, kalau kita sampai tidur bareng, itu karena lu sendiri memang mau. Kenapa lu mau, karena lu mencintai gua!"
"Tidak! Tidak! Lu salah besar. Gua tak pernah mencintai lu!"
"Vani, lu bisa berkata apa saja. Tapi sikap lu ini justru mengungkapkan isi hati lu yang sesungguhnya. Lu ga akan bisa menipu diri sendiri."
"Hanya saja, ada satu hal lain yang baru hari ini gua mengerti. Dalam diri lu ada pergolakan batin. Karena selain mencintai gua, lu juga membenci gua."
"Vani, sadarkah lu kalau lu dan gua ini sebenarnya sama.... kita sama-sama terbelah. Kalau dalam diri gua terdapat konflik antara logika dan perasaan, dalam diri lu ada konflik perasaan cinta dan benci yang sama kuatnya."
"Kalau lu mau mendengar gua sebentar, gua ada usul untuk menyelesaikan masalah rumit kita ini," katanya lagi memandang Silvani yang diam mematung.
Setelah gadis itu mengangguk, Rico melanjutkan.
"Pertama-tama, mewakili semuanya, kita semua sungguh menyesal atas tragedi yang terjadi dalam keluarga lu waktu itu. Terus terang gua adalah orang yang pertama kali melontarkan ide tersebut. Awalnya hanya sebagai wacana. Tapi kemudian akhirnya disetujui oleh Om Dharsono karena kita tak menemukan jalan lain. Untuk itu, mewakili semuanya gua minta maaf atas hal itu."
"Perlu lu ketahui, kita semua tak ada yang mengharapkan hal itu terjadi. Tak ada yang menduga hal itu akan terjadi. Karena memang kita tak pernah merencanakan hal itu."
"Saat ini lu tentunya sadar betul kalau apapun tindakan kita hari ini tak akan mampu mengubah masa lalu. Sementara saat ini lu ada pilihan jalan lain. Ada hal-hal yang bisa kita lakukan bersama untuk membuat hidup kita semua lebih baik. Pertanyaannya, jalan mana yang akan lu pilih?"
"Gua mengatakan ini semua karena gua ga mau hidup lu saat ini dan ke depannya menderita. Karena gua betul-betul mencintai lu. Gua yakin lu tahu kalau gua selalu ingin lu mendapat apa yang terbaik dalam hidup lu. Lu tahu betul bahwa gua mencintai lu."
"Hmm... memangnya, masih adakah kemungkinan untuk itu?"
"Setelah apa yang terjadi pada mereka, terutama setelah apa yang gua lakukan ke cici lu... mungkinkah hubungan kita terus berlanjut?" tanya gadis itu.
"Vani, saat ini masih belum terlambat buat lu untuk memilih. Setiap manusia pasti melakukan kesalahan. Asalkan mau memaafkan, kita bisa menyambung apapun hubungan tersebut kembali."
"Lagipula, persoalan yang menimpa mereka itu sebenarnya masih bisa diperbaiki semua. Asalkan satu: lu mau menjelaskan kepada mereka. Kepada Mas Jaka supaya ia segera mencabut laporannya. Kepada istrinya supaya mereka dapat rujuk kembali. Dan terakhir, kepada Cie Stefany dan William."
"Saat ini Cie Stefany pasti sedang patah hati, marah, terhina, dan sebagainya. Tapi kalau kita jelaskan semuanya, dia pasti akan memaafkan William karena sesungguhnya dia mencintai cowok itu. Sebaliknya, William pasti akan menyesali perbuatannya dan ingin kembali kepadanya."
"Kalau Mas Jaka mencabut kembali laporannya, maka Oom Dharsono tak akan sampai diperkarakan lebih lanjut. Jabatannya mungkin tak dapat diperolehnya kembali namun gua yakin itu tak masalah baginya. Karena terus terang gua liat sebetulnya ia sendiri mulai merasa jenuh dengan pekerjaannya dan ingin pensiun dini."
"Dan kalau ia sudah tak menjabat lagi, kita semua juga tak ingin meneruskan. Karena selama ini kita hanya loyal kepada beliau."
"Pada akhirnya, semua masalah terpecahkan. Termasuk hubungan kita. Dan ketahuilah, mereka semua adalah orang-orang yang berpandangan luas sehingga mereka pasti akan bisa mengerti. Namun apapun reaksi mereka, gua akan selalu membela dan berada di samping lu".
"Jadi kini semuanya tergantung pada lu," kata Rico mengakhiri ucapannya. Sementara Silvani tetap berdiri diam mematung. Kedua matanya tampak memerah.
"Rico...," kata gadis itu akhirnya memecah kesunyian.
"Lu betul. Semua yang lu katakan tentang gua tadi memang betul," katanya menahan isak tangis.
"I love you Rico. Dan gua memang selalu takut membayangkan saat perpisahan kita karena gua tahu pada suatu hari itu pasti akan terjadi."
"Tapi ketahuilah... terlepas dari apapun rencana yang gua lakukan terhadap lu dan mereka, saat-saat bersama lu adalah saat-saat paling membahagiakan dalam hidup gua. Lu percaya dengan itu?" tanyanya sambil terisak.
"Gua tahu itu," kata cowok itu mengangguk.
"Tapi tahukah lu kenapa?"
"Please tell me."
"Karena itulah saat dimana gua betul-betul menjadi diri gua sendiri," kata Silvani dengan berlinang air mata.
"Gua tak perlu berpura-pura. Gua tak perlu memikirkan balas dendam itu. Gua bisa berbuat apa adanya sesuai kata hati gua yaitu berbahagia bersama lu," kata Silvani lagi.
"Jadi apa yang lu katakan barusan semuanya betul."
"Kalau begitu, kembalilah ke gua, Vani. Mari kita merajut masa depan yang indah bersama," kata Rico sambil memeluk gadis itu.
"Ooooh, I love you, Rico," jawab Silvani menangis sesenggukan di pelukannya.
"I love you too, Vani."
"Rico, satu hal yang belum lu ketahui... sebenarnya gua langsung jatuh cinta saat pertama kali melihat lu. Dan pertemuan kita pertama kalinya bukan di gerai kopi itu. Tapi di pesta pertunangan Cie Stefany dan William. Saat itu gua ngeliat lu dari jauh dan saat itu pula gua langsung jatuh cinta. Padahal gua tahu lu adalah musuh gua. Tapi gua ga bisa membohongi perasaan gua sendiri."
"Kalau begitu, tinggallah malam ini disini. Lalu besok kita datangi mereka semua untuk menyelesaikan semua persoalan. Setelah itu kita akan bersama terus selamanya," kata Rico memeluk erat dan membelai rambut gadis itu.
"Rico, sejak pertama kali melihat lu, gua selalu membayangkan kita hidup berbahagia bersama untuk selamanya. Tak perlu ada dendam diantara kita...," kata Silvani diantara isak tangisnya.
"Tapi gua tak bisa melakukan itu!" teriak Silvani sambil mendorong Rico sekuat tenaganya sampai cowok itu terhuyung.
"Karena dendam dalam hati gua ini tak bisa dihilangkan begitu saja!" seru Silvani dengan pandangan marah.
"Selamat tinggal, Rico!"
--@@@@--
Ruangan itu kini benar-benar sunyi dan dingin. Rico duduk termangu di atas ranjang. Cowok itu seperti kehilangan separuh nyawanya. Segala sesuatunya terasa begitu surreal. Tak sampai sejam yang lalu ia masih berbahagia bersama gadis itu. Saat ini bahkan aroma harum parfumnya masih tercium. Beberapa utas rambutnya masih menempel disini. Bercak-bercak cairan yang keluar dari bagian paling rahasianya masih membekas dan belum mengering betul. Bilur-bilur cakaran ringannya saat bercinta tadi masih terasa di punggungnya. Namun gadis yang dicintainya itu telah pergi entah kemana...
--@@@@--
Silvani melambaikan tangan memanggil taksi.
"Ke airport terminal 3, Pak," katanya singkat.
Kemudian ia terus menangis di sepanjang perjalanan.
Hatinya hancur lebur.