Chapter 11 - Bukti Perselingkuhan?
William mendengarkan seluruh cerita Rico dengan seksama. Hampir sepanjang waktu ia hanya berdiam saja. Tapi tentu ia sama sekali bukan orang bodoh. Di balik sikap pasifnya itu diam-diam diperhatikannya bahasa tubuh dan ekspresi wajah Rico saat bercerita.
Beberapa kali ia sengaja melontarkan komentar provokatif untuk menguji reaksi Rico. Orang yang terprovokasi biasanya jadi emosional. Saat emosional, hal yang sebenarnya akan muncul ke permukaan. Sementara kebohongan yang telah diatur rapi akan jadi berantakan. Meski di mulutnya mengatakan dirinya mempercayai Rico, tapi rupanya ia tak sepenuhnya percaya juga dengan cowok ini.
Namun strategi yang selama ini berjalan efektif kali ini tak membuahkan hasil. Karena Rico sama sekali tak terpancing emosinya. Ia sama sekali tak menanggapi provokasi dirinya dan terus melanjutkan ceritanya dengan tenang. Membuat William semakin penasaran dengan bakal calon adik iparnya ini. Entah memang ia berbicara apa adanya secara lempeng lurus atau ia seorang luar biasa pintar yang mampu mengelabui dirinya bulat-bulat.
Sampai akhirnya... ia mengatai dan menyebut Stefany cewek jablay sambil mengejek kenaifan Rico yang masih bersikukuh menganggap kakaknya masih perawan tulen.
Mendengar ucapan William itu Rico bangkit dari duduknya. Lalu dengan tenang ia berkata,"Ko William, peranku disini hanya berusaha menjadi penengah karena kulihat kalian berdua saling mencintai. Saat ini semua yang perlu kukatakan telah kukatakan semuanya. Kini segala sesuatunya balik ke Ko William sendiri. Karena pada akhirnya semua ini adalah urusan Ko William dan Cie Stefany berdua."
Dalam hati Rico agak kecewa juga dengan cowok ini. Dirinya telah menghabiskan waktunya berjam-jam bahkan hampir seharian menceritakan semuanya. Termasuk membuka diri tentang hal-hal yang tak seharusnya diketahui orang lain. Semua ini ia lakukan demi kebahagiaan kakaknya, Stefany. Orang yang telah banyak membantu dirinya. Demi kebahagiaan mereka berdua. Namun yang didapat kini adalah ejekan terhadap dirinya dan terutama Stefany.
"Aku sungguh tak menyangka kata-kata sekasar itu bisa keluar dari mulut Ko William untuk Cie Stefany. Tapi okelah, meski mengagetkan namun aku bisa mengerti hal itu. Yang jelas saat ini urusanku telah selesai. Sampai ketemu lagi, Ko," kata Rico lalu berjalan menuju pintu keluar.
"Rico, tunggu!" seru William buru-buru mencegah cowok itu pergi. "Rico, aku minta maaf dengan perkataanku tadi yang sangat menyinggung perasaan. Aku betul-betul minta maaf," katanya dengan sungguh-sungguh. "Sebenarnya aku tak bermaksud seperti itu, apalagi mengata-ngatai Stefany sekasar itu. Barusan aku hanya mengujimu saja. Dan kini aku betul-betul yakin dengan kejujuran dan sikap obyektif-mu.
So, please sit down."
"Aku terima permintaan maaf Ko William. Dan aku tak masalah kalau Ko William ingin mengujiku. Tapi saat ini aku benar-benar telah menceritakan semuanya. Sehingga sungguh tak ada yang dapat kulakukan lagi. Karena semuanya tergantung Ko William sendiri mana yang akan dipercayai."
"Aku tahu lu telah menceritakan semuanya. Tapi kini giliranku untuk mengungkapkan sesuatu. Gua nggak akan perlu mengujimu barusan, bahkan saat ini kita tak perlu bertemu kalau aku tak mendapat informasi ini. Selama ini aku selalu mempercayai semua perkataan cici lu... oleh karena itu hal ini sungguh sangat mengagetkan sekali."
"Kita memang telah cukup lama membahas tentang hal ini. Tapi aku harap lu bersedia meluangkan waktu lebih lama lagi," kata William dengan sikap agak memohon sekaligus agak memaksa. Membuat Rico akhirnya berjalan masuk dan duduk kembali. Karena ia juga ingin tahu informasi apa yang didapat cowok itu.
"
You know, Rico...," katanya setelah mereka berdua selesai mengambil kopi dan makanan kecil lalu duduk kembali. "Betapa inginnya aku kalau segala sesuatunya seperti yang kaukatakan barusan. Dimana
Stefany is not guilty on all charges. Bahwa semua ini hanyalah persepsi yang salah saja. Tapi informasi yang kudapat - tentu saja dari sumber yang cukup terpercaya - menunjukkan hal yang berlawanan," kata William.
"Mengenai anggapan tentang dirinya sebagai cewek bookingan kelas atas yang suka mendatangi tempat-tempat dugem malam, bagiku telah selesai. Aku bisa menerima bahwa semua itu hanyalah persepsi yang terlihat dari luar saja. Mungkin karena peran kamuflase di kegiatan masa lalunya seperti yang lu ceritakan barusan. Sementara tak ada indikasi kuat yang menunjukkan kalau ia beneran cewek seperti itu. Jadi, perkara ini selesai. Aku tak akan mempermasalahkannya lagi."
"Namun mengenai hubungan gelapnya dengan bapak itu, urusannya tak sesederhana itu. Dari informasi yang kudapat, hubungan mereka tak hanya sekedar hubungan seksual secara kasual belaka. Tapi hubungan itu bahkan jauh lebih dalam dari sekedar
affair biasa."
"Hmm, memang informasi seperti apa yang Ko William dapatkan, yang menunjukkan bahwa Cie Stefany punya hubungan khusus dengan pria lain? Apalagi lu sebut tak hanya sekedar hubungan seksual belaka - satu hal yang sudah sangat mengejutkan sekali sebetulnya - tapi menurut lu bahkan lebih dari itu," kata Rico.
William membuka amplop coklat muda ukuran A4 yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Dikeluarkannya tiga buah berkas kertas dari dalamnya.
"Kau bacalah ini," katanya. "Laporan ini dilakukan pada saat pertemuan gelap Stefany dengan orang itu hari Rabu minggu lalu. Saat cici lu seharusnya
having dinner denganku," katanya dengan nada getir.
"Sebelumnya perlu lu ketahui, sumber informasiku ini cukup kredibel. Jangan tanya dari mana sumbernya, aku tak bisa mengatakan itu. Tapi yang pasti ini bukan pertama kalinya gua memakai jasa mereka. Dan selama ini semua informasinya selalu akurat. Bacalah ini," katanya sambil menyodorkan ketiga laporan itu.
Rico membaca dengan seksama laporan yang terdiri dari tiga bagian itu. Bagian pertamanya dimulai dengan judul
"Tumpukan Celana Jins Biru Tua dan Kaus Abu-Abu Muda".
Bagian keduanya menceritakan proposal lamaran nikah pria itu kepada kakaknya. Dan
bagian ketiganya tentang adegan seks hebat diantara keduanya sebelum Stefany berjanji akan terus memelihara hubungan rahasia mereka setelah pernikahannya nanti. Selama membaca, ia tak mengeluarkan sepatah kata pun karena ia betul-betul mencurahkan perhatiannya pada laporan tersebut.
"Bagaimana menurut lu?" tanya William setelah Rico selesai membaca halaman terakhir dari berkas laporan yang ketiga.
"Tapi ini adalah laporan yang direkayasa.
Ketiga-tiganya adalah laporan palsu!" kata Rico dengan nada tinggi sambil melemparkan tiga berkas kertas itu dengan agak kasar.
William tersenyum melihat reaksi Rico ini. Untuk pertama kalinya cowok calon adik iparnya ini terlihat emosi. Bahkan saat ia mengatai jablay kakak ceweknya, cowok ini tak seemosi seperti sekarang.
"Bagaimana lu bisa mengatakan semua itu adalah laporan palsu?" tanyanya santai.
"Apakah Ko William ini sedang bercanda? Atau mungkin sedang mengetesku lagi?" tanya Rico agak kesal. Ia merasa cowok ini sedang mempermainkan dia dengan sebuah lelucon yang sama sekali tidak lucu. Barang kayak gini dianggap kredibel? Apalagi dijadikan sebagai dasar tuduhan kepada Stefany. Padahal jelas-jelas semua ini adalah rekayasa. Dan orang sepandai William tentu juga tahu akan hal ini.
Namun William menjawab dengan serius.
"Tidak, Rico. Aku tidak sedang mengujimu dan aku tidak bercanda. Menurutku laporan ini cukup kredibel. Tapi kalau lu bilang semua ini adalah palsu, tolong kau berikan penjelasannya. Aku akan dengerin."
"Hmm, ok. Baiklah," kata Rico akhirnya sambil menghela napas. Sungguh ia tak percaya harus menjelaskan hal-hal yang begitu dasar kepada orang yang sama sekali tidak bodoh ini. Apakah rasa cemburu (dan juga cinta) yang terlalu kuat memang benar-benar mampu membutakan mata logika seseorang? Oleh karena itu maka ia disebut cemburu atau cinta buta? Sungguh sangat membuang waktu sekali.
But, anyway...
"Ada banyak kejanggalan dari "laporan" itu. Pertama, se-impulsif-impulsifnya dan segila-gilanya Cie Stefany, tak bakalan ia mendatangi rumah seseorang lalu berenang telanjang bulat disana. Ditambah melakukan hubungan seksual dengan orang itu. Tapi ok lah, hal ini mungkin
debatable kalau ternyata memang betul ada perselingkuhan diantara mereka.
"Namun hal kedua... air kolam itu disebut keruh seperti air susu. Tapi narasi laporan itu menceritakan secara detail aksi
underwater mereka. Apa dasar pelaporan itu? Dari gambar yang diambil dari satelit yang mampu menembus dinding beton dan menembus permukaan air keruh dengan kualitas 8K Ultra HD?" tanya Rico agak sinis.
"Ketiga... penggunaan kata-kata dan kalimat yang menjelaskan segala sesuatunya dengan gaya bahasa hiperbolik yang super bombastis! Menurutku ini sama sekali bukan laporan obyektif. Tapi adalah argumentasi subyektif
at best, kalau tak ingin disebut cerita fiksi khayalan saja. Terlepas apa kategorinya, yang pasti tujuannya adalah untuk membangkitkan emosi orang yang bersangkutan saat membacanya. Dan orang yang bersangkutan itu dalam hal ini adalah lu."
"Keempat... sama sekali tak ada obyektifitas dalam laporan itu. Topik utama narasi laporan itu dari awal sampai akhir hanyalah satu, yaitu mendiskreditkan Cie Stefany saja dengan mendegradasikan nilai-nilai moral dirinya. Mulai dari ia dikatakan berenang telanjang bulat, hubungan seksual yang dilakukannya, lalu "perasaan cinta sejatinya" kepada orang itu, sampai terakhir niatnya untuk melanjutkan perselingkuhan setelah pernikahan. Namun tak hanya itu. Meski tak disebut secara eksplisit, secara tersirat dapat disimpulkan dari laporan itu bahwa Cie Stefany memilih untuk
married dengan lu karena faktor materi. Satu hal yang memang sangat masuk akal kalau ditarik dari sudut pandang umum. Karena aku yakin selama ini lu banyak menemui cewek-cewek seperti itu. Tapi kuyakin Stefany tak seperti itu. Meskipun ini adalah laporan sampah, harus kuakui bahwa pembuatnya adalah orang yang sangat cerdas."
"Kelima... narasi yang serba tahu. Bagaimana mungkin orang yang menulis laporan itu bisa tahu isi hati dan pikiran mereka berdua? Jelas bahwa semua ini adalah rekayasa saja.
"Keenam... lagi-lagi narasi yang serba tahu yang mengetahui masa lalu Cie Stefany yang telah menyerahkan keperawanannya dengan orang itu. Apakah si pembuat laporan itu benar-benar mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Cie Stefany sendiri? Atau hanya berdasarkan asumsi atau bahkan karangan saja? Atau jangan-jangan orang itu telah merekam jejak Cie Stefany sejak beberapa tahun lalu, sebelum berkenalan dengan Ko William karena ia bisa melihat ke masa depan suatu hari akan diminta untuk menyelidiki?" tanya Rico kembali dengan nada sinis.
"Ketujuh dan terakhir... narasi yang serba tahu namun nama orang yang bersama Cie Stefany itu sama sekali tak pernah disebut-sebut. Tidakkah lu memperhatikannya? Tak ada nama orang itu!"
"Si pembuat laporan itu tahu segalanya, termasuk mengetahui masa lalu Cie Stefany, mampu melihat apa yang terjadi di bawah permukaan air keruh di dalam gedung, mampu menyelami isi hati dan pikiran orang lain, mampu melihat masa depan, namun tak bisa mencari tahu nama orang tersebut?"
"Dari semua itu, aku bahkan tak akan mengatakan "laporan" itu sebagai argumentasi subyektif. Menurutku "laporan" itu tak lebih dari cerita fantasi esek-esek yang cocoknya ditampilkan di forum dewasa semacam semprot dot com saja!" kata Rico keras.
Sepertinya ia emosi juga cerita lampu merah picisan macam gini dijadikan dasar untuk menuduh kakaknya berbuat yang tidak-tidak. Kalau memang betul demikian adanya, ia jadi mempertanyakan kemampuan logika cowok ini.
William tersenyum geli mendengar ucapan Rico ini. Apapun yang terjadi, pada akhirnya ia berhasil juga memancing emosi cowok ini.
"Hahahaha... Rico, harus kuakui kau adalah seorang yang cerdas dan kritis sekali. Tapi ada satu hal penting terlewat olehmu. Mungkin karena dirimu terlalu emosi sehingga kau tak ngeh dengah hal itu. Tapi sebelumnya, biarlah kujelaskan sedikit mengenai laporan tersebut."
"Sebelum laporan ini dikirim, aku memang ditanya oleh sumber informasiku tentang laporan macam apa yang ingin dikirimkan. Apakah:
1). Bukti mentahnya saja
2). Bukti mentah ditambah hal-hal yang dapat di-verifikasi
3). Bukti mentah ditambah hal-hal yang dapat di-verifikasi, plus analisa naratif - argumentatif yang lebih panjang dan lengkap namun mengandung unsur subyektif karena beberapa hal memang tak dapat dibuktikan secara gamblang."
"Pada akhirnya aku minta laporan yang panjang meski mengandung sejumlah faktor subyektif. Mengapa? Karena aku ingin mendapatkan opini dari pihak ketiga yang netral yang tak ada sangkut pautnya dengan permasalahan ini. Bahkan aku persilahkan laporan itu dibuat dengan memasukkan semua unsur subyektifitas bahkan imajinasi yang masuk akal. Karena setelah itu aku sendiri yang akan memilahnya mana yang subyektif dan mana yang obyektif. Dan laporan inilah yang akhirnya dikirimkan."
"Kuakui, laporan ini mengandung beberapa hal yang memang bersifat opini bukan sebagai fakta. Tapi ada banyak hal yang bisa diasumsikan dengan aman bahkan disimpulkan tanpa harus melihat faktanya secara gamblang, bukan?"
"Contohnya, apa yang dilakukan cewek yang menyelam di bawah air terhadap cowok yang sedang bugil? Jelas ia tak akan memijiti kuku jarinya khan? Tak perlu menggunakan foto dari satelit segala macam, semua orang juga bisa menebak kira-kira bagian tubuh mana dari cowok itu yang disasarnya."
"Aku terima ucapanmu bahwa laporan itu mengandung banyak unsur subyektif, bahkan spekulatif. Atau menurutmu hanya karangan saja. Misalnya, isi hati mereka.
Fair enough. Aku terima argumentasimu itu. Oleh karena itu, mari kita abaikan semua yang sekiranya subyektif dan spekulatif."
"Tapi setelah semua faktor itu dihilangkan, lu juga tak bisa menampik bahwa yang tersisa mengandung banyak sekali unsur-unsur kebenaran yang semuanya sangat cocok dan
relatable dengan diri Stefany. Baik karakter sifat-sifatnya, maupun juga penggambaran fisik dirinya yang seharusnya tak dapat terlihat kalau saja ia terus-menerus mengenakan pakaian lengkap."
"Lu mengenal sifat-sifat cici lu jauh lebih lama dibanding gua. Apa yang dipaparkan disitu bukankah sangat
relatable dengan dirinya seandainya ia benar-benar selingkuh dengan pria itu? Seandainya laporan ini menggambarkan sosok Stefany yang sangat berbeda dengan yang selama ini kita ketahui, boleh kaukatakan semua ini adalah 100% palsu."
"Hal kedua...
Come on, kita berdua pernah sama-sama ngeliat tubuh telanjang Stefany khan. Dari cerita lu barusan, kauakui hal itu. Nah sekarang aku tanya, apakah penggambaran fisik dirinya di laporan itu menyimpang dari kenyataan? Bagaimana mungkin penggambarannya bisa semuanya benar kalau saat itu ia selalu memakai pakaiannya secara lengkap?"
"Logika yang kaukatakan barusan sekarang aku balik.... bagaimana mungkin laporan ini bisa menyebutkan banyak hal tentang Stefany dengan akurat kalau semua ini hanya karangan saja seperti yang kau katakan itu?
"Pada akhirnya... ok laporan ini tak 100% akurat. Mungkin hanya 50% atau katakanlah cuman 30%. Tapi sisanya yang 30% itu sungguh akurat dan sangat pas sekali dengan kenyataan yang kita ketahui tentang Stefany.
At the end of the day, Rico, bagiku sama sekali tak ada artinya akurasi mengenai berapa ronde mereka bermain, berapa lama, dan posisi apa yang mereka mainkan. Biar hanya melakukan satu kali dan cuma bertahan tiga menit pun, yang namanya selingkuh tetap saja selingkuh!" kata William agak emosi.
"Oh, dan satu lagi... tentang nama orang itu. Apakah itu penting? Bagiku, yang jauh lebih penting adalah siapa ceweknya. Dan ceweknya adalah cici lu Stefany! Lagipula kalau memang aku ingin mencari tahu, sebenarnya aku juga sudah tahu kok siapa orang itu."
"Aku mengerti apa yang kau maksudkan," jawab Rico. "Memang betul, kuakui ada banyak hal yang sangat
relatable dengan diri Cie Stefany."
"Namun aku tak sependapat denganmu kalau kita bisa langsung mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi perselingkuhan dalam pertemuan mereka itu. Apalagi menganggap mereka telah menjalin hubungan gelap sejak lama dan akan mempertahankan hubungan itu di masa depan tanpa dasar kuat."
"Aku akan mengatakan dengan jujur kepadamu. Pada masa-masa itu aku bisa membayangkan bahwa mungkin saja dalam diri Cie Stefany timbul rasa suka terhadap orang yang aku ceritakan tadi. Rasa tertarik dari seorang cewek muda kepada pria dewasa yang sangat matang kepribadiannya. Hal itu mungkin saja terjadi. Apalagi dengan cukup seringnya interaksi diantara keduanya."
"Namun, aku sungguh tak yakin telah terjadi hubungan gelap diantara keduanya seperti laporan itu. Pertama, Cie Stefany tak akan berbuat segila itu. Kedua, aku mengenal cukup dekat orang itu dan tahu betul kepribadiannya. Bahkan seandainya memang betul Cie Stefany menyukainya, ia akan mampu menepis semua godaan itu. Orang itu berada di level yang berbeda dengan kebanyakan orang. Orang itu telah selesai dengan dirinya sendiri perihal urusan harta, tahta, apalagi wanita."
"Tapi oke, lu mungkin meragukan hal ini. Atau katakanlah, ternyata aku salah. Tapi logikanya sekarang begini...
"Seandainya memang betul Cie Stefany punya hubungan masa lalu dengan orang itu, kenapa ia tidak mengakui saja? Pertama, bukan sifat dia suka menyembunyikan sesuatu. Kedua, apalagi lu sendiri sudah berkali-kali mengatakan bisa menerima hal itu. Meskipun mungkin dalam hal ini agak mengejutkan karena cowok itu adalah seorang pria berumur dan - maaf, aku tak tahu apakah hal ini jadi lebih sensitif lagi bagi Ko William karena - selain berumur juga berbeda ras... tapi biar bagaimana pun aku yakin ia tetap akan menghadapi semua resikonya. Itu sifat Cie Stefany yang aku ketahui.
"Sementara kalau memang ia ingin menyembunyikan semua itu, menurutku justru lebih aman baginya dengan mengakui pernah berhubungan intim dengan pacar lamanya tanpa perlu menjelaskan secara detil. Gua yakin lu akan lebih mempercayainya dan tak akan menarik panjang urusan khan."
"Sebaliknya, dengan mengatakan dirinya masih
virgin padahal sebenarnya tidak, justru hal itu membuat posisinya jauh lebih beresiko. Karena pertaruhannya menjadi sangat besar dan dirinya jadi lebih tersorot. Padahal lu sama sekali bukan orang bodoh dan sangat berpengalaman dengan cewek. Untuk apa menempuh jalan dengan resiko yang jauh lebih besar kalau ada cara lain yang jauh lebih aman?"
"Kita berdua sama-sama tahu bahwa Cie Stefany bukan orang bodoh. Dia pasti tahu akan semua perhitungan ini."
"Jadi - dari pengakuan Ko William sendiri - kalau Cie Stefany mengakui dirinya masih
virgin dan kalian memang tak pernah melakukan itu, maka hanya ada satu penjelasan logis untuk itu. Yaitu Cie Stefany memang betul masih perawan!"
"Dan aku tak percaya kalau saat ini ia menjalin hubungan gelap dengannya. Karena menurutku justru Cie Stefany sangat mencintai Ko William," kata Rico tegas. Dalam hati ia membatin, justru gara-gara kakaknya terlalu mencintai cowok inilah, akibatnya jadi dirinya "agak-agak disingkirkannya."
"Kalau Ko William menuntut agar dia mau "jujur", lha wong sekarang pun dia memang telah jujur. Sebaliknya, bagaimana seseorang bisa disuruh mengakui sesuatu yang tak pernah ia lakukan? Misalnya, aku asalnya dari pulau Jawa lalu disuruh mengaku dari Sulawesi. Sementara kalau tidak mau mengaku asalnya dari Sulawesi, aku dianggap bohong. Bagaimana bisa dipaksakan seperti itu?" tanya Rico.
"Terus terang Rico, pada mulanya aku mempercayai semua perkataan Stefany. Termasuk tentu mengenai klaim dirinya yang masih
virgin itu. Semua perkataannya aku terima bulat-bulat sepenuhnya. Karena aku betul-betul mencintainya. Tapi belakangan aku jadi sadar bahwa aku juga tak bisa terlalu banyak memberi dia
my benefit of the doubt tanpa melakukan cek dan ricek seperlunya. Dan saat itu kulakukan, mulai muncul sejumlah ketidak-konsistenan dari apa yang selama ini ia tunjukkan. Dan laporan ini akhirnya mengkonfirmasi semua itu."
"Mengenai logikamu akan sikap Stefany itu, aku bisa menerimanya karena cukup masuk akal. Namun ada pula hal-hal lain yang terlewat oleh lu."
"Stefany adalah seorang yang sering kali melakukan hal yang kebalikan dari kebanyakan orang. Dan kebanyakan hal itu justru menguntungkan dirinya. Logikamu itu memang pantas diterapkan untuk orang lain, tapi bukan terhadap Stefany. Justru menurutku, ia akan mengambil jalan dengan resiko paling tinggi kalau hal itu berpotensi memberikan hasil yang paling besar. Apalagi kalau ia cukup percaya diri kebohongannya itu tak akan terdeteksi. Sementara, dengan terbitnya laporan ini hal itu menunjukkan kepiawaian informanku."
"Selain itu, kebalikan dengan sifat lu yang
down-to-earth, ia seorang yang cukup tinggi hati dalam arti tidak gampang mengakui kekurangan dirinya. Juga, Stefany adalah seorang yang menyukai kemewahan. Tak ada yang salah dengan itu. Apalagi selama kita mampu. Tapi hal itu berarti dia punya beban cukup besar untuk kehilangan seandainya ternyata aku tak bisa menerima masa lalunya."
"Lalu mengenai karakter Stefany yang terang-terangan dan apa adanya itu... memang itu betul. Namun, hehehehe, jangan pernah kau meremehkan kemampuan cewek untuk berpura-pura, Rico. Aku mengatakan ini berdasarkan pengalamanku dekat dengan, hmm... mungkin ratusan cewek jumlahnya. Buktinya - dari pengakuan lu sendiri barusan - di masa lalunya ia bisa berperan menjadi cewek panggilan kelas atas dan banyak orang termakan oleh aktingnya itu.
That speaks for itself, Rico. That speaks for itself," kata William penuh kemenangan.
"Kalau seorang cewek yang - katanya - baik-baik bisa berakting sebagai cewek ga bener, mengapa cewek ga bener tak bisa berakting sebagai cewek baik-baik?"
"Tapi kau jangan salah mengerti, Rico. Aku mengatakan ini semua bukan berarti aku bermaksud menjatuhkan apalagi mencela Stefany. Aku sangat mencintainya dan sampai saat ini aku sungguh berharap ada jalan keluar untuk membereskan masalah ini dengan baik. Oleh karena itulah saat ini aku mengajakmu ketemu dan berbicara."
"Tapi untuk itu kau juga harus berani membuka mata dan menerima kenyataan. Bahwa sesungguhnya cici lu Stefany tak sepolos dan selurus seperti yang selama ini kaubayangkan. Tak bisa hanya karena isi laporan ini negatif lalu serta-merta dikatakan semuanya palsu secara 100%."
"Justru sebenarnya dengan sangat negatifnya isi laporan itu, hal itu menunjukkan bahwa sikap dan perilaku Stefany memanglah negatif dilihat menurut orang ketiga yang netral. Kuakui penilaian itu sendiri memang sifatnya subyektif. Namun penilaian subyektif itu dilakukan oleh orang yang dalam hal ini netral dan obyektif," kata William.
"Tapi menurutku tetap laporan itu tak bisa dijadikan bukti kuat untuk menuduh seseorang berbuat hal yang sangat rendah seperti itu. Apalagi kenyataan di lapangan tak terlihat seperti itu. Mengenai penggambaran Cie Stefany yang sesuai dengan kenyataan... bisa jadi orang yang membuat laporan ini telah lama menyelidiki dan mengetahui cukup banyak tentang dirinya. Lalu ditambah dengan beberapa hal yang sifatnya
common sense, analisa, sedikit spekulasi dan faktor keberuntungan, maka bisa terbentuklah laporan yang "akurat" seperti itu," jawab Rico tetap membela Stefany.
"Seperti fisik dalam tubuh Cie Stefany.... bagi orang yang berpengalaman, dengan melihat dari luar saja mungkin ia bisa menduga-duga seperti apa dalamnya. Misalnya, kalau kulitnya putih banget, kemungkinan besar "dalamnya pasti merah", kalau itu yang lu maksud. Tapi bukan dengan demikian berarti orang itu pernah melihat tubuh telanjang Cie Stefany."
"Aku bukannya membabi-buta membela Cie Stefany oleh karena dia kakakku. Aku selalu berusaha melihat segala sesuatunya dengan obyektif. Dan menurutku laporan itu tak dapat dipakai sebagai dasar untuk mengatakan telah terjadi perselingkuhan. Menurutku itu adalah asumsi yang sangat spekulatif kalau tak ingin dikatakan,
sorry to say, ngawur total."
"Terus terang Ko... kalau aku jadi diri lu, aku tak akan begitu sembrono menggunakan "laporan" macam gini sebagai satu-satunya dasar untuk menganggap calon istriku telah berselingkuh tanpa ada bukti-bukti lebih kuat yang mendukungnya," kata Rico tegas sambil menatap William.
"Nah kau sendiri mengatakan hal itu!" seru William tiba-tiba sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah Rico. "Aku sangat setuju dengan ucapanmu itu."
"Setuju sekali," katanya lagi.
"Tapi kali ini kau betul-betul salah menilai diriku, Rico," kata William.
"
Because neither do I."
"Neither do I," ulang William menegaskan sekali lagi.
Membuat Rico jadi agak tersentak dan menatap dengan tanda tanya.
"Maksudnya... lu punya bukti lain?" tanyanya.
William membuka laci meja. Dikeluarkannya amplop putih berukuran A3 yang didalamnya terdapat beberapa foto. "Silakan lu lihat dan menilainya sendiri," kata William sambil menyodorkan foto-foto tersebut satu persatu. Setiap kali ia menyodorkan foto tersebut, William kembali memperhatikan reaksi wajah Rico saat menerimanya.
Foto #1: Diambil di ruang terbuka tempat parkir sebuah kompleks apartemen saat langit terang. Disitu terlihat Stefany dengan kaus atasan
turtle neck lengan panjang warna abu-abu muda dan celana jins biru tua.
Rico melihatnya tanpa reaksi. Meski dalam hati ia mengenali tempat itu adalah parkiran kompleks apartemen markas rahasia Dharsono.
Foto #2: Foto dua orang yang sedang berpelukan di dalam ruangan. Foto diambil dengan lensa
zoom dari arah samping. Sehingga wajah keduanya tak terlihat. Karena foto itu sebenarnya untuk menunjukkan tubuh keduanya yang melekat erat. Lebih tepatnya, foto tersebut terfokus pada bagian dada menonjol perempuan yang menempel erat di tubuh seorang pria dengan jubah handuk.
Dada menonjol itu terbalut kaus abu-abu muda yang bahan kain, corak, serta warnanya sama persis dengan pakaian Stefany di foto sebelumnya. Sementara lelaki yang dipeluknya itu tak terlihat identitasnya.
Dalam hati Rico agak terkesiap melihatnya. Meski latar belakang gambar itu tidak fokus (karena fokus mengarah pada payudara yang menempel pada tubuh pria itu), namun tempat itu bisa dikatakan sesuai dengan tempat rahasia Dharsono. Ia telah cukup sering datang ke tempat itu sehingga ia sangat mengenal ciri khasnya.
Ia tak terlalu fokus dengan dua tubuh yang menempel itu. Bisa saja mereka memang berpelukan sebelum berpisah tanpa terjadi perselingkuhan. Namun justru yang lebih penting dari itu, sepertinya kelompok rahasia mereka telah terbongkar karena ada yang mengambil foto dari dalam ruangan!
Foto #3: Foto yang mirip dengan sebelumnya. Namun bedanya, ia diambil saat bibir keduanya bersentuhan!
Lagi-lagi sudut pengambilan gambar tersebut agak aneh dan tak lazim. Foto itu juga tak menunjukkan wajah keduanya secara jelas. Namun indikasi kuat mencirikan mereka berdua adalah Stefany dan Dharsono.
Rico memandang foto itu dengan sikap keheranan. Mereka berdua adalah kakaknya Stefany dan Dharsono! Ia dapat mengkonfirmasi hal itu. Ia sangat mengenal keduanya dengan baik, termasuk ciri khas wajah mereka. Meski hubungan keduanya sangat akrab, tapi sungguh aneh dan tak lazim mereka berdua berciuman bibir seperti ini!
Foto #4: Foto di dalam ruangan yang sama, dengan sebagian kolam renang sebagai latar belakang. Sementara pusat fokus adalah Dharsono di tengah gambar dengan foto diambil secara frontal dari depan dari jarak dekat.
Raut wajah Rico seketika berubah melihat itu. Tempat itu adalah tempat rahasia Dharsono. Dan orang itu memang adalah Dharsono!
Saat itu Dharsono hanya bercelana pendek dan telanjang dada.
Lagi-lagi, menurutnya ini agak aneh. Sepengetahuannya orang ini selalu tampil formal dan rapi bahkan di saat santai sekalipun. Apabila ada Stefany datang bertamu disini, maka seharusnya ia akan memakai pakaian lengkap atau setidaknya tak melepas jubah handuknya yang dikenakan barusan. Agak aneh memang kalau ia hanya bercelana pendek seperti itu. Apalagi ada Stefany disitu dan ditengarai hanya mereka berdua di dalam tempat tertutup seperti itu.
Yang menarik adalah sudut pengambilan foto itu. Karena foto itu diambil secara frontal dari depan. Artinya foto tersebut memang sengaja diambil oleh sang pelaku dan mungkin juga dengan sepengetahuan orang yang berada dalam foto tersebut. Stefany sendirikah yang mengambil foto tersebut? Karena sebagian kaus lengan panjang di dekat pergelangan tangan ikut tertangkap di gambar yang diambil dengan lensa lebar tersebut. Yang bahan kain, corak, serta warna abu-abu muda-nya cocok persis dengan pakaian Stefany di foto-foto sebelumnya.
Untuk apa Stefany mengambil foto Dharsono di ruangan itu? Apalagi diambil saat Dharsono sedang bertelanjang dada? Tahukah Dharsono kalau ia sedang diambil fotonya? Padahal sehari-harinya ia bukan orang yang suka sembarangan di foto.
Dan di latar belakang, terdapat jubah handuk tergantung di gantungan yang sama persis dengan yang dipakai orang di foto kedua tadi. Artinya, memang betul dua orang yang berpelukan erat barusan adalah Stefany dan Dharsono. Dan kini pria tersebut melepas pakaian luarnya dan hanya memakai celana pendek olahraga saja di depan kakaknya. Sungguh tak wajar.
Foto #5: Kalau ada pepatah mengatakan "A picture is worth a thousand words", maka foto ini adalah salah satunya. Berbeda dengan foto-foto sebelumnya, pada foto ini tak terdapat adanya sosok seseorang sedikit pun. Bahkan seujung kuku pun tak ada. Foto itu hanya menunjukkan kaus abu-abu muda di atas celana jins biru tua yang tergeletak di pinggir kolam renang saja!
Rico memandang dengan tertegun. Ia tak dapat menyembunyikan keheranan dan keterkejutan dirinya lagi. Kedua pakaian ini jelas adalah pakaian yang dikenakan Stefany tadi. Bahan kain, corak, dan warnanya cocok persis dengan foto-foto sebelumnya. Selain itu, ia juga mengenali ikat pinggang milik kakaknya yang melekat pada celana jins itu. Ia pernah beberapa kali melihatnya. Begitu pula kaus abu-abu mudanya.
Selain itu, ia pernah tinggal lama bersama Stefany sehingga ia cukup mengenal kebiasaan kakaknya. Saat melepas celana panjangnya, ia tak pernah mengeluarkan ikat pinggangnya, kalau celana itu akan dikenakannya lagi. Ia selalu melepas celana dengan ikat pinggang tetap berada pada celana itu. Seperti pada foto ini.
Sementara tempat itu jelas adalah kolam renang di tempat kediaman Dharsono.
Kalau pakaiannya tergeletak seperti ini, dimanakah orangnya atau sedang apa ia?
Lalu dimana dan sedang apa pula Dharsono saat itu?
Foto #6: Foto diambil di tempat parkiran seperti foto pertama. Hanya saja ia diambil saat hari telah gelap dengan lampu di beberapa tempat menyala. Stefany memakai pakaian yang sama seperti tadi. Yaitu kaus abu-abu muda dan celana jins biru tua. Juga dengan ikat pinggang yang sama.
Namun pada foto itu juga ada gambar
zoom pada bagian bahu Stefany, yang diperbandingkan dengan foto di bagian tubuh yang sama yang diambil pada foto pertama. Disitu terlihat sekali perbedaannya. Pada gambar
zoom yang diambil sore hari, terlihat ada bagian menonjol di balik kain baju karena tali BH-nya di balik kain baju di bahunya itu. Sementara pada gambar malam hari, bagian bahunya itu terlihat mulus tanpa adanya tonjolan dari dalamnya. Menunjukkan entah gadis itu menggunakan BH lain dibanding saat sore hari. Yaitu BH tanpa tali di bahu. Atau mungkin ia memang sama sekali tak memakai BH.
Pertanyaannya, tidakkah aneh seorang gadis ujug-ujug mengganti BH-nya di tempat kediaman seorang pria kalau tak ada apa-apa diantara keduanya?
Rico tentu melihat perbedaan dua gambar yang di-zoom itu. Namun ia tak terlalu menganggapnya penting. Karena foto #1-5 telah bersuara cukup keras. Foto terakhir hanyalah pelengkap yang tak terlalu berpengaruh.
Ia tak tahu apakah foto-foto itu hasil editan atau memang sungguh asli tanpa rekayasa sedikitpun. Namun ia bisa memastikan dua hal. 1). Tempat itu adalah tempat rahasia Dharsono yang selama ini sangat dikenalnya dan sering didatanginya. 2). Orang pada foto tersebut memang adalah kakaknya, Stefany, dan Dharsono. Termasuk semua ciri khas fisik keduanya yang sangat dikenalnya, semua itu konsisten dengan apa yang ada pada foto-foto itu.
--@@@@--
"
So," kata William menunggu jawaban Rico. Tentu ia memperhatikan perubahan raut wajah Rico sejak foto ketiga. Ia tahu ada sesuatu yang terjadi. Karena wajah Rico terlihat cukup terguncang.
Rico menatap William dan menganggukkan kepalanya. Sesuai prinsipnya, tak perlu ia berbohong. Apalagi tak ada gunanya pula ia melakukan itu. Ia tahu William telah menyadari perubahan pada dirinya.
"Jujur, aku tak tahu harus berkata apa," kata Rico sambil menghela napas.
"Jadi sekarang lu juga melihat
concern yang gua lihat sebelumnya?"
Rico menganggukkan kepala.
"Jadi sekarang lu juga melihat kemungkinan kuat bahwa Stefany tak sepolos dan se-
innocent seperti anggapan lu selama ini?"
Lagi-lagi Rico secara refleks menganggukkan kepalanya.
Sementara otaknya sedang memikirkan sesuatu.
"
And do you know what is the worst part?" tanya William getir.
Rico tak menjawab karena pikirannya masih entah kemana.
Sudut pengambilan foto-foto itu...
Membuat ia tak berkonsentrasi terhadap William.
Dan cowok itu melanjutkan sendiri perkataannya.
"Hari itu kita harusnya ketemu
dinner bareng. Tapi telponnya ga diangkat-angkat sampai hari berikutnya. Membuatku sempat merasa kuatir. Lalu waktu
weekend kemarin kita ketemu, dia malah bilang sengaja untuk membuatku penasaran. Dan dia mengatakan semua itu dengan wajah tanpa dosa sama sekali bahkan dengan pandangan penuh kasih sayang ke arahku," kata William sendu sambil mengingat saat sebelum mereka memadu cintaitu. Hanya orang yang sangat pandai berpura-pura dan berdarah dingin saja yang sanggup melakukan hal seperti itu!
Rentetan curhat William kemudian berlangsung.
"Dan aku tahu orang itu. Dia adalah teman Papa kalian dan dia ada di pesta pertunangan kita kemarin khan? Bahkan ia sempat mendatangi meja kita untuk memberi ucapan selamat dengan sikap penuh kesopanan. Sementara mereka berdua bersikap seolah-olah tak ada apa-apa dibelakang? Orang macam apa mereka? Dalam hatinya mungkin orang itu sedang mentertawakan gua sebagai cowok paling ****** sedunia!"
"Gua memang bukan cowok alim. Tapi senakal-nakalnya dan sebejat-bejatnya gua, ga pernah gua bersikap muka dua dan menelikung di belakang seperti ini."
"Tapi aku jauh lebih kecewa dengan sikap Stefany. Apalagi rupanya justru dia yang lebih ngebet kepada orang itu dibanding sebaliknya. Apakah karena itu maka dia mengaku masih perawan segala? Supaya aku selalu menghormati dan menjaganya karena tak ingin merusak dirinya. Supaya nanti ketahuannya sudah terlambat setelah kita menikah secara resmi. Apalagi dia telah mengatahui akan adat keluarga kita yang sangat pantang untuk bercerai setelah resmi menikah."
Sudut pengambilan foto-foto itu... Rico membatin...
sungguh menarik sekali!
"Yah, paling nggak sekarang aku tak sendirian mempertanyakan kesetiaan Stefany. Karena kaupun juga sekarang melihatnya demikian," kata William sambil menghibur diri.
"Ko William... sampai saat ini aku belum betul-betul 100% yakin kalau Cie Stefany memang telah berselingkuh," kata Rico mengoreksi calon kakak iparnya itu. "Namun kuakui, saat ini kepercayaanku itu tak sekuat sebelumnya. Dan jujur kuakui, memang indikasinya cukup besar kalau ternyata ia memang betul-betul menjalin hubungan gelap. Tapi sampai terbukti, aku tak akan secara terburu-buru memvonis hal itu."
"Namun kini pertanyaanku ke diri lu, Ko... seandainya memang betul Cie Stefany menjalin skandal hubungan rahasia dengan orang itu, lalu bagaimana sikap lu?" tanya Rico sambil memandang cowok calon suami kakaknya itu.
"Hmm... jujur saja aku cukup terbelah dengan hal ini. Di satu sisi rasanya sulit menerimanya. Calon istri gua menjalin hubungan gelap dan menjadi simpanan om-om, yang dilakukannya dengan sukarela. Tapi di sisi lain, aku menyayangi cici-lu. Stefany adalah cewek spesial yang lain daripada yang lain dan jauh diatas semua cewek yang pernah dekat sama gua. Dan gua telah mengencani cewek tak terhitung banyaknya."
"Tapi, hmmm.... okelah. Sepertinya gua akan menerima dirinya apa adanya. Tapi ada dua syarat mutlak untuk itu. Pertama, dia harus berani mengakui semuanya dengan jujur. Kedua, hubungannya dengan bapak itu harus segera diakhiri!"
"Jadi, tolong kaukatakan kepadanya Rico... tolong katakan bahwa aku akan menerima dirinya apa adanya. Bahkan seandainya orangtuaku, terutama Mami, tahu tentang masa lalunya lalu mereka menentang hubungan kita berlanjut, aku akan menghadapi mereka dan membela dirinya mati-matian. Tapi sebelum itu aku membutuhkan dua hal darinya: kejujuran tentang masa lalu dan komitmen untuk masa depan!" kata William dengan suara sendu dan wajah sangat serius namun agak memelas kepada Rico.
"Tentu saja, Ko. Pada saat yang tepat kalau aku ketemu dia, pasti aku akan melakukan yang terbaik untuk masa depan kalian berdua," kata Rico sungguh-sungguh.
"Omong-omong, barusan lu bilang kalau hal ini sama sekali belum dibicarakan dengan Cie Stefany? Apakah selama ini lu benar-benar tak pernah menunjukkan indikasi tentang semua ini ke dia?"
"Seperti yang kubilang barusan, sama sekali tak pernah. Ia sama sekali tak tahu kalau aku telah mengetahui rahasianya ini. Saat ini hanya kau dan aku saja yang tahu. Sementara Mami dan Papi juga sama sekali tidak tahu."
"Tetap lakukan hal itu, Ko," kata Rico. "Untuk sementara ini jangan mengatakan atau membocorkan kepada siapapun. Kepada Cie Stefany, teruslah bersikap seperti biasa. Sementara aku berjanji akan mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Dan apapun itu, aku akan mengatakannya dengan sejujur-jujurnya. Sebelum pernikahan kalian berlangsung. Itu janjiku!" kata Rico tegas.
"Baik, Rico. Aku akan melakukan itu. Dan aku percaya denganmu," kata William.
"Ko William," kata Rico lagi.
"Satu hal yang perlu kutegaskan saat ini. Terlepas dari "bukti-bukti" yang ada yang menunjukkan hal sebaliknya, perlu kukatakan hal ini dengan sungguh-sungguh. Satu hal yang aku sungguh yakini, yaitu...
Cie Stefany betul-betul mencintai lu. Bukan karena uang lu, atau kekayaan lu, bukan pula karena lu anak konglomerat kondang, dan lain sebagainya. Tapi ia betul-betul cinta murni dari hatinya. Aku kenal baik dirinya dan itulah yang kulihat darinya."
"Tapi tentu ada sejumlah kontradiksi disini, dimana aku berjanji akan kembali dengan hasil temuanku. Nanti begitu aku mendapat jawabannya, aku akan kontak lu."
"Baik, Rico.
Deal," kata William sambil menjabat tangan Rico dengan kuat. "Aku sungguh berharap semoga semua ini tidak benar adanya. Karena sesungguhnya aku juga cinta banget sama cici-lu. Lalu juga keluargaku telah suka kepadanya dan menerimanya sebagai bagian dari keluarga besar."
"Jadi, aku menunggu kabar dari lu, Rico. Semoga kabar bagus," kata William.
"Tentu. Aku akan memberi kabar. Meski, terus terang, aku tak dapat menjamin kalau itu bakalan kabar bagus. Tapi aku pasti akan memberi kabar.
You have my word on that," kata Rico.
"Oya, aku bisa meminta lebih banyak bukti-bukti mentah termasuk foto-foto yang lainnya dari mereka. Bahkan juga rekaman percakapan mereka. Begitu dapat nanti bisa aku berikan ke lu."
"Tak perlu," kata Rico dengan cepat. "Aku akan mencari tahu dengan cara lain dulu."
Seandainya Stefany memang betul-betul berselingkuh dengan Dharsono, foto-foto yang ada sebenarnya telah cukup kuat menunjukkan itu. Sehingga ia tak memerlukan foto mereka berdua lainnya yang tentunya pasti lebih "grafis" dan vulgar lagi. Sebaliknya, kalau ternyata foto-foto yang ada ini hasil rekayasa, tentu foto-foto lain yang lebih syuurr dari keduanya dapat juga diciptakan.
Either way, foto-foto tambahan sama sekali tak bermanfaat baginya.
"Tapi untuk foto-foto yang ada ini, apakah aku boleh membawa semuanya?" tanya Rico.
"Tentu. Kau boleh bawa semuanya," kata William. "Dan laporan ini juga," katanya sambil menyodorkan berkas laporan tersebut.
"Laporan sampah itu? Hmm, tak perlu!" jawab Rico.
Tak lama kemudian mereka berdua berpisah. Pertemuan yang berlangsung sangat lama itu akhirnya berakhir sudah.
Dalam diri Rico terdapat penuh pikiran yang simpang siur. Situasi saat ini begitu semrawut dan penuh turbulensi. Namun ada satu hal yang diketahuinya pasti saat ini. Seseorang bersikap tak sepenuhnya jujur di balik sikap yang ditunjukkannya. Dan orang itu adalah....
dirinya sendiri!