Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAN IMPIAN

CHAPTER 5

Pemuda itu menguap selebar yang ia bisa, cahaya matahari pagi begitu saja menusuk indera penglihatannya. Sejurus kemudian ia mulai mengecek smartphone-nya yang tergeletak di meja kecil samping tempat tidur. Mata John melebar, dengan kening berkerut, ia ingin memastikan apa yang dilihatnya itu adalah kenyataan. Pesan whatsapp dari sahabatnya itu seakan ada kompor yang menyala di atas kepala John, dan tentu saja mata pemuda itu tampak berapi-api. Persahabatan yang terjalin sejak di bangku SMP itu, telah mengalami asam garam kisah untuk keduanya. John sadar betapa ia sangat merindukan sahabatnya itu yang sudah empat tahun lebih tak bertatap muka.

Rafael yang diberi julukan oleh John ‘si pemilik uang tanpa seri’ ini adalah seorang sahabat yang kaya dan dermawan. Rafael adalah seorang anak konglomerat sekaligus seorang pewaris perusahaan. Rafael memiliki kehidupan gemerlap karena ayahnya adalah pengusaha besar yang malang-melintang di berbagai negara. Hampir setiap hari Rafael selalu mengeluarkan uang dalam jumlah yang cukup banyak untuk berbagai keperluan, tetapi anehnya uang yang ia miliki seolah tidak pernah habis. Dompetnya seperti mesin pencetak uang.

Jari-jari John mulai mengetik kata demi kata dengan lincah di layar smartphone untuk membalas pesan dari sahabatnya itu. Tak lama setelah pesan terkirim, sebuah panggilan video masuk.

“Selamat pagi, mas bro …” sapa John pada sahabatnya di seberang sana.

“Busyet dah … Baru bangun tidur? Ini udah siang bro … Udah jam Sembilan,” kata Rafael dengan logat Tionghoa-nya yang tak pernah bisa benar-benar hilang.

“Lah, kok tau di sini jam sembilan? Emang kau di mana sekarang?” tanya John heran karena yang ia tahu Rafael kuliah di Amerika. John dan Rafael harus berpisah selepas kelulusan SMA karena Rafael memutuskan kuliah di negeri Paman Sam.

“Aku di Indonesia, bro … Aku lagi di rumah sekarang … Buruan ke sini sebelum kehabisan oleh-oleh,” kata Rafael dengan wajah polos, sambil tertawa kecil yang membuat matanya yang sipit semakin tak nampak saja.

“Aaasiaap … Aku segera meluncur,” sahut John bersemangat.

“Oke ya … Aku tunggu … Bye …” kata Rafael dan langsung panggilan video terputus.

Dengan ‘semangat 45’, John loncat dari tempat tidur. Pemuda itu buru-buru mandi dan siap-siap bertandang ke rumah Rafael. Setelah berpamitan kepada ibunya, John langsung memacu motor yang ia tunggangi dengan kecepatan tinggi. Berhubung di hari Minggu jalanan Jakarta lengang dan menyenangkan, John bisa membesut motornya seakan ia berada di lintasan balap. Dengan kecepatan tinggi, motornya meliuk-liuk menyalip beberapa mobil dan motor yang ada di hadapannya, sambil mempertontonkan skill membesut motornya yang ciamik.

Akhirnya John sampai di sebuah rumah megah dengan style semi Eropa dan sedikit campuran Asia di halamannya. John yang tak asing dengan rumah megah ini langsung bisa masuk tanpa ada protokoler yang diberlakukan bagi para tamu yang berkunjung ke sini. John sudah sangat kenal dengan orang-orang di sekitar rumah sang konglomerat ini, mulai dari security, pegawai-pegawai, kepala rumah tangga, sampai kepada kedua orangtua Rafael. Sehingga wajar apabila John sudah dianggap keluarga sendiri di rumah ini.

“Mas bro … Gila, aku seperti lagi ngangenin cewek …!” sapa John pada Rafael yang telah menunggu di teras rumah.

“Ha ha ha … Sama …” ucap Rafael.

Kedua sahabat itu saling berpelukan erat untuk melepas rindu mereka karena sudah cukup lama tak bertemu. Persahabatan mereka memang tak perlu diragukan lagi. Bisa dibilang persahabatan John dan Rafael ibarat ngompol di celana. Semua orang bisa melihatnya, tetapi hanya mereka saja yang bisa merasakan kehangatan di dalamnya. Sebenarnya, apa yang kedua pemuda itu alami terkadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan keduanya mempunyai nilai yang lebih. Sehingga secara tidak langsung John dan Rafael merasa telah menjadi saudara.

“Kapan kau datang?” tanya John setelah mengurai pelukan.

“Tadi malam, sekitar jam delapan. Tadinya aku mau langsung ke rumahmu, tapi gak jadi karena kecapean,” jawab Rafael sambil mengajak John masuk ke dalam rumah.

“Gimana juga kalau pulang berpergian harus pulang dulu ke rumah. Ngapain juga ingin ke rumahku. Kau sudah diverboden masuk ke rumahku,” ujar John sambil tersenyum. Tiba-tiba John teringat kejadian saat Tina memergoki Rafael sedang ‘ngamar’ di sebuah hotel dengan seorang ‘call girl’ kelas atas yang juga seorang aktris. Padahal saat itu Rafael dan Tina sedang menjalin hubungan yang cukup serius.

“Itu dia … Aku ingin menghilangkan verboden itu … Aku ingin balikan sama adikmu,” ungkap Rafael agak sendu.

“Ha ha ha … Jangan mimpi, mas bro … Si Tina sudah benar-benar muak melihat mukamu. Kesalahanmu tidak pernah bisa ia maafkan. Kemarahan adikku padamu berimbas juga padaku. Aku dimusuhinya hampir tiga tahun gara-gara membelamu. Untung dia sekarang agak melunak tapi masih sedikit jutek,” kata John sembari menepuk-nepuk bahu sahabatnya.

“Oh, come on, John … Please, help me …” rajuk Rafael bersungguh-sungguh.

John hanya bisa mengangkat bahu dan tertawa. Rafael dan John akhirnya memasuki sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat mini bar tempat meracik aneka minuman segar yang rata-rata beralkohol. Keduanya kembali melanjutkan obrolan mengenai pengalaman hidup mereka selama terpisahkan, sambil menikmati minuman segar yang iringan musik lembut. Obrolan kedua pemuda itu begitu seru terkadang diselingi ngakak puas dan ketawa terbahak-bahak sambil bernostalgia.

“Aduh … Rame banget di sini?” tiba-tiba suara lembut menginterupsi kedua pemuda tersebut.

“Hai, Tante Lee … Apakabar?” segera saja John turun dari kursi bar dan menyambut wanita yang berstatus ibu dari Rafael.

“Baik … Bagaimana kabarmu?” Tante Lee balik bertanya pada John. John pun mencium punggung tangan wanita yang berwajah oriental itu.

“Baik tante … Lama gak bertemu … Tante semakin ehem saja …” John mulai menggoda wanita yang memang berparas cantik dan bertubuh aduhai seksinya.

“Kebiasaanmu itu gak pernah hilang … Hi hi hi …” Tante Lee membalas godaan John dengan mencubit hidung pemuda itu.

Sebenarnya tidak berlebihan pujian yang dilontarkan John pada ibu dari Rafael itu. Selain berparas cantik, Tante Lee juga sangat elegan dengan kegenitannya. Pakaian yang dikenakan wanita yang sudah berusia 45 tahun itu indah dan seksi. Lekuk tubuhnya begitu menarik, dihiasi payudara yang masih indah untuk wanita seumurnya. Pinggul Tante Lee begitu ramping dan bokong yang begitu montok tersembul dari rok yang ia kenakan. Dia sangat pandai merawat tubuhnya, sehingga dari kejauhan pun kulit Tante Lee terlihat bersinar dan mempesona.

“Mau gabung?” tanya John sembari memberikan kursi bar kepada Tante Lee.

“Oh, tidak … Tante hanya ingin memastikan saja, siapa yang sedang ramai di ruangan ini. Tante mau pergi dulu, ada urusan yang harus tante selesaikan,” kata Tante Lee.

“Oh, baiklah … Hati-hati di jalan,” ucap John sambil sedikit membungkukan badan.

“Terima kasih …” sahut Tante Lee sambil tersenyum ramah.

Senyum nakal tersungging di wajah John. Mata nakal John menatap intens punggung dan bokong wanita seksi itu yang sedang berjalan keluar ruangan. John duduk kembali di kursinya semula lalu menghela nafas panjang seakan di hatinya ada yang mengganjal dan tidak nyaman.

“Kenapa?” tanya Rafael yang merasakan ‘sesuatu’ pada diri John.

“Your mother is very attractive and very sexy,” kata John dengan nada kagum yang tidak berlebih-lebihan.

“Oh … Stop talking my mother …!” suara Rafael agak kesal dengan kebiasaan buruk John yang selalu saja membicarakan keseksian ibunya.

“Kalau aku bilang, kau adalah orang yang paling merugi di dunia. Kau memiliki perhiasan terindah di dunia tapi tidak pernah kau nikmati,” kata John memulai provokasinya.

“Jangan bilang kalau kamu sedang membicarakan ibuku,” Rafael mulai sewot.

“Dalam mitologi Mesir, hubungan sedarah bukanlah hal yang tabu dan banyak fakta yang akhirnya menyimpulkan bahwa incest telah merebak pada jaman Mesir kuno. Dalam sejarah juga dicatat bahwa raja-raja Mesir kuno dan putra-putrinya kerap kali melakukan tingkah laku incest dengan motif tertentu, seperti untuk meningkatkan dan kualitas generasi penerusnya,” kata John santai lalu menenggak minumannya yang hampir habis.

“Aku gak percaya kamu mengatakan itu,” Rafael geleng-geleng kepala. “Kamu semakin gila,” lanjut Rafael sambil tersenyum miris.

“Incest bukan sekedar berhubungan seks tetapi memiliki makna bercinta yang sesungguhnya. Dalam incest banyak melibatkan perasaan, bukan sekedar nafsu birahi tetapi juga kasih sayang dan cinta. Incest melibatkan segala emosi dan asmara, membuat yang melakukannya merasa lebih dekat. Hubungan cinta dan kasih sayang yang dipadukan dengan nafsu birahi akan menghasilkan kepuasan seksual yang maksimal. Ini sangat berbeda dengan hubungan seks yang hanya untuk pelepasan seksual,” ungkap John lagi.

“Sorry, bro … Aku belum bisa menerima teorimu itu,” kata Rafael sambil mencibir.

“Kamu harus mencobanya karena teoriku akan terbukti saat kamu merasakannya sendiri,” kata John santai.

“No … It’s non-sense …” bantah Rafael keras.

“Ha ha ha … Berarti kau memang orang yang merugi sedunia,” John terbahak-bahak.

“Aku gak peduli …!” Rafael menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.

Perdebatan seperti itu sudah sangat sering mereka lakukan, entah di waktu senggang atau di waktu sibuk mereka. Tak ada yang tersinggung walau kadang perdebatan mereka sering terdengar sengit dan sadis. Keduanya sudah terbiasa adu argumen, atau saling mempertahankan pendapat, yang ujung-ujungnya tertawa bersama-sama. Fakta ini merupakan bukti kalau persahabatan mereka adalah persahabatan sejati.

Tak terasa, sudah berjam-jam John dan Rafael ngobrol tanpa alur yang jelas. Dan kini keduanya berada di dalam kamar Rafael yang terletak di lantai dua. Arah kamarnya menghadap ke kolam renang yang begitu indah dan jernih. Di sisi kolam renang terdapat tempat duduk bergaya vintage yang keren. Selain itu ada rumput hijau yang rimbun juga terdapat pohon palem membuat pemandangan di sekitar kolam menjadi lebih eksotik. Sebentar lagi John berniat akan berenang di sana menunggu matahari agak tergelincir ke barat.

John berdiri di depan jendela yang menghadap kolam renang sementara Rafael masih asik dengan game online-nya. Tiba-tiba John melihat Tante Lee berjalan ke arah kolam dengan menggunakan bikini merah maroon yang mengekspos kulit mulus dan tubuh seksinya. Saat wanita itu berjalan, kedua bukit kembarnya bergetar seperti ombak dan memantul-mantul secara bersamaan. Lekukan tubuh yang membentuk pinggang dan pinggulnya pun seindah model-model seksi yang menjadi cover majalah dewasa. Sebagai lelaki normal tentu saja John merasa gerah kala melihat wanita cantik setengah bugil di bawah sana.

“Bro … Sini …” John memanggil Rafael.

“Ada apa?” tanya Rafael seraya bangkit dan menghampiri John.

“Lihat itu! Tubuh yang sempurna sebagai wanita,” kata John.

“Hhhmm … Ibuku memang seksi,” gumam Rafael.

“Bayangkan jika ibumu telanjang. Dan bayangkan memeknya,” ucap John pelan.

“Ya … Sangat merangsang …” jawab Rafael.

“Yang kau bayangkan bukan memek ibumu, bro … Tapi memek perempuan lain yang pernah kau gauli. Betapa merangsang kalau saja kau mengetahui bentuk memek ibumu yang sebenarnya,” jelas John penuh penekanan.

“Aaahh … Aku benci ajaran sesatmu, bro … Tapi, aku akui kalau ini sangat panas …” ucap Rafael sembari menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.

“Turunlah! Temani ibumu berenang … Aku merasakan kalau dia ingin ditemani,” kata John.

Rafael melihat ibunya sedang duduk di kursi santai sambil mengolesi tubuhnya dengan cream penyehat kulit. Rafael ingin sekali mengingkari perasaan yang muncul dalam dirinya, tetapi perasaan itu terlalu kuat untuk dibantah. Ya, pemuda itu mengagumi kemolekan ibunya dan tertarik secara seksual maupun emosional. Akhirnya muncullah kekuatan atau dorongan untuk mencoba sesuatu yang selama ini tidak pernah ia pikirkan.

“Aku akan ke bawah,” ucap Rafael.

“Aku akan pulang. Aku harap, besok aku mendengar kabar baik darimu,” kata John.

Mereka berdua saling berjabat tangan ala lelaki dan kemudian saling memberi senyum satu sama lain. John dan Rafael turun ke lantai satu dan berjalan berlawanan arah saat sampai di anak tangga terakhir. John keluar rumah lewat pintu depan lalu pergi meninggalkan rumah sahabatnya, sementara itu Rafael menghampiri ibunya dengan hati was-was dan tidak yakin. Rafael melangkah dengan kaki yang sedikit gemetar hingga akhirnya ia duduk di kursi santai yang kosong sebelah ibunya.

“Hai … Kemana John?” tanya ibunya kepada Rafael. Wanita yang oleh John dipanggil ‘Tante Lee’ ini sebenarnya bernama Yenni Novianti. Sedangkan Lee adalah nama suaminya atau ayah dari Rafael.

“Pulang, mom … Dia ada keperluan yang gak bisa dia tinggal,” jawab Rafael dengan suara dibuat setegar mungkin.

“Wah, kok gak bilang sama mommy … Mommy sangka, John akan menginap … Padahal mommy mau ngajak kalian makan malam di restoran,” kata Yenni sedikit kecewa.

“Kan masih ada aku, mom … Mau aku bantu ngolesin?” kata Rafael sembari mengulurkan tangan.

Ada keterkejutan yang dirasakan Yenni ketika mendengar anaknya menawarkan bantuan untuk mengolesi kulitnya. Sesuatu yang tidak pernah terjadi dan ini kali pertama anaknya ‘berani’ berbuat itu. Yenni pun lantas tersenyum sambil memberikan cream kepada Rafael. Yenni meminta Rafael untuk mengolesi kulit punggungnya. Tubuh mulus itu tengkurap, dengan pantat sedikit naik.

Rafael mulai membasuhi tangannya dengan cream lalu mengusap kulit punggung Yenni dengan sedikit pijatan. Kulit punggung Yenni terasa sangat halus dan lembut di telapak tangan Rafael, membuat tubuh pemuda itu bereaksi. Rafael tak percaya kalau dirinya kini diliputi kabut birahi. Rafael benar-benar merasakan sesuatu yang berbeda pada tubuhnya. Dia merasakan dorongan nafsu birahi yang semakin lama semakin nyata. Terlebih saat Rafael menatap bongkahan pantat sekal dan mulus yang sedikit menungging cantik di hadapannya.

“Kulit mommy halus banget,” ucap Rafael sedikit bergetar menahan hasrat.

“Massa … Perasaan mommy sudah agak keriput,” respon Yenni yang sedang merasakan enak di kulit punggungnya.

“Nggak, mom … Aku gak melihat ada keriput … Putih dan mulus seperti kulit anak gadis,” kata Rafael.

“Kamu ini bisa saja,” ucap Yenni yang semakin menikmati pijatan tangan Rafael.

Mereka pun berbincang-bincang santai dan hal itu membuat rasa grogi Rafael sirna. Bahkan tangan Rafael dengan gemulai sudah berani menyerempet bagian tubuh ibunya yang agak pribadi. Diam-diam Rafael mengakui ‘ajaran sesat’ yang diucapkan John. Cinta, kasih sayang dan nafsu birahi berkumpul menjadi suatu rasa senang dan bahagia yang mengalahkan logikanya. Rafael jadi lupa menjejak bumi karena terbuai dengan rasa manisnya yang nikmat tak terkira.

“Sudah sayang … Terima kasih,” ucap Yenni.

“Oh, sama-sama,” jawab Rafael walau kecewa karena kesenangannya harus terhenti.

“Kamu mau berenang?” tanya Yenni setelah bangkit dari posisinya dan bersiap-siap menceburkan diri ke dalam kolam renang.

“Silahkan, mommy saja,” jawab Rafael ragu.

Yenni pun tersenyum lalu mengusap pipi Rafael dengan mesra sambil berjalan ke tepian kolam renang. Detik berikutnya, sosok seksi itu telah meluncur masuk ke dalam kolam. Riak-riak gairah mulai membuat suhu tubuh Rafael meningkat. Dan semakin membuatnya gerah kala ibunya memamerkan payudaranya secara optimal dengan berenang gaya punggung. Payudara Yenni bergerak seirama dengan gerakan renang yang wanita itu lakukan menambah kesan sensual.

Tak ingin terpengaruh lebih jauh, Rafael pun bangkit dan berjalan masuk ke dalam rumah lalu ke kamarnya. Mendesah lega kala berbaring di atas kasur dan sedikit demi sedikit membantu meredakan gejolak asing di dalam tubuhnya. Lagi-lagi ia tidak percaya kalau dirinya menikmati moment tadi bersama ibunya. Sungguh, sebuah sensasi aneh yang bahkan belum pernah Rafael rasakan dan dapatkan sebelumnya. Tak ayal lagi, kini tubuh seksi ibunya menjadi objek fantasi pikiran mesum pemuda itu.

###

Pemuda itu melajukan motor di jalan raya, menyelip lincah di antara mobil-mobil. John membelokkan motornya menuju ke sebuah minimarket lalu memarkirnya di tempat parkir motor. Kerongkongannya terasa kering dikarenakan Rafael terus-terusan menawari minuman keras padanya. Kini rasa hausnya mendominasi, ia butuh air mineral yang menyegarkan tenggorokannya. John merapikan sedikit penampilannya begitu turun dari motor kemudian berjalan menuju pintu masuk minimarket. John memasuki minimarket tersebut dan lumayan terkejut saat berpapasan dengan wanita yang sangat ia kenal.

“Tante Citra …” sapa John seketika itu juga pada ibu dari salah satu teman terdekatnya.

“Hai … John …” sambut wanita itu sangat ramah. Keduanya berdiri berhadap-hadapan.

“Belanja tante?” pertanyaan basa basi terlontar dari mulut John.

“Sedikit, cuma beli gula saja. Mau ketemu Dedi?” Citra menebak namun tebakannya salah. Dedi adalah nama anaknya dan dia juga teman dekat John.

“Sebenarnya saya mau beli air mineral,” jawab John sambil tersenyum lucu.

“Oh … Tante kira mau ketemu Dedi tapi mampir dulu ke sini,” ucap Citra yang masuk akal karena lokasi rumahnya tidak jauh dari minimarket ini.

“Saya beli dulu air mineral. Tante tunggu saja di luar sebentar. Nanti saya antar tante pulang,” kata John yang langsung beranjak mencari air mineral tanpa menunggu jawaban dari ibu temannya tersebut.

Dengan cepat John mencari barang yang ia ingin beli. Kemudian setelah membayar di kasir, sambil meneguk air mineral, John keluar dari minimarket. Citra berdiri menyender di mobil yang entah milik siapa, menunggu John. Matanya memperhatikan pemuda itu yang sedang mengeluarkan motor di barisan parkir. Seperti biasa, John membawa motor sport berwarna merah yang merupakan motor kesayangannya.

“Mari …” ajak John yang sudah berada di atas motornya. Citra pun naik di boncengan motor dan duduk senyaman mungkin sambil memberi jarak di antara tubuh mereka. “Udah?” John berucap saat Citra sudah nyaman bertengger di motornya. “Motor saya jalannya kencang loh, tante …” lanjut John.

“Iya terus?” ucap Citra.

Dari balik spion, John dapat melihat Citra tersenyum ke arahnya. John mengulum senyum. Wanita itu seolah sudah hafal dengan tipu muslihatnya. Citra sendiri pun memang sudah hafal sebenarnya. Alih-alih beralasan kecepatan motornya yang memang kencang atau modus semata agar dirinya berpegangan di pinggang pemuda itu. Memang keduanya terdengar ambigu, antara John menyuruhnya pegangan atau memang pemuda itu hanya sedang pamer motor sport miliknya. Namun anehnya, tangan Citra tetap bergerak menyentuh pinggang John, berpegangan di sana.

Setelahnya, motor mulai bergerak meninggalkan kawasan minimarket. Membelah jalanan ibukota. Tidak terlalu pelan dan tidak terlalu kencang, melaju dengan kecepatan normal. Atau mungkin hanya Citra yang menyebutnya normal, tidak dengan John. Citra tidak yakin motor dengan kapasitas 1.000 cc itu dikatakan melaju dengan kecepatan normal. Padahal dalam dunia perbalapan bisa dibilang itu sama saja tidak bergerak. Mungkin John juga berpikir demikian. Terlebih lagi kondisi jalanan yang sudah mulai padat pengendara. Tidak melebih-lebihkan, tetapi mirip sekali dengan kalimat hiperbola yang menyebutkan seperti semut merayap.

Sekitar kurang lebih 15 menit berkendara, Citra dan John akhirnya sampai di tempat tujuan. Entah kenapa, John menerima ajakan Citra untuk masuk dulu ke rumahnya sekedar minum kopi dulu sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Keduanya masuk ke dalam rumah yang ternyata hanya berpenghuni mereka berdua saja. Citra menjelaskan kalau Dedi dan ayahnya sedang memperbaiki lift yang rusak di sebuah mall. John yang tidak sungkan lagi karena sering berkunjung ke rumah ini, mengikuti langkah Citra menuju dapur. Beberapa menit berselang, keduanya terlibat dalam obrolan santai yang ditemani kopi dan cemilan. Namun kali ini John merasakan ada yang berbeda dari Citra. Ibu temannya ini terlihat agak sendu, tak seperti biasanya yang selalu ceria.

“Kamu kapan lulus, John?” tanya Citra sembari memegangi gelas chapuccino-nya yang mulai mendingin.

“Mudah-mudahan dua tahunan lagi, tante … Saya masih punya jatah tiga tahun lagi sebelum kena drop out,” jawab John.

“Jangan sampai drop out, dong … Sayang uang, tenaga dan waktu. Belajarlah sungguh-sungguh supaya cepat lulus,” kata Citra lembut.

“Maunya sih begitu, tante … Cepat lulus dan bekerja. Saya juga sudah bosan kuliah,” ungkap John sambil cengengesan.

“Kamu kan calon dokter, ya?” tanya Citra.

“Ya …” jawab John singkat.

“Wah, jadi dokter pasti banyak uangnya …” kata Citra lagi.

“Amin … Terima kasih atas doanya …” sahut John.

Selang beberapa waktu, terdengar bel rumah berbunyi keras. Citra menghampiri daun pintu depan rumahnya dan John mengikuti di belakang wanita itu karena penasaran siapa yang datang. John menduga Dedi dan ayahnya yang datang. Tetapi semuanya benar-benar meleset dari dugaan John. Dua orang laki-laki berwajah kasar serta memakai jaket kulit hitam adalah orang yang sedang bertandang. Air muka mereka sungguh tidak bersahabat seolah siap menebar terror kepada sang tuan rumah.

“Ma..maaf … Bapak sedang tidak ada di rumah …” Suara Citra terdengar gugup dan ketakutan.

“Sesuai perjanjian, hari ini jam empat sore, anda akan membayar hutang anda dan jika tidak bisa membayar terpaksa rumah ini akan kami sita,” kata salah satu pria itu sangat garang.

“Ta..tapi … Ka..kami belum bisa …” perkataan Citra belum selesai keburu disambar oleh pria itu lagi.

“Dengan sangat terpaksa kalian harus pergi dari rumah ini,” ucapan si pria semakin tajam.

“Sebentar, bapak-bapak … Bisakah kita bicara di dalam?” akhirnya John nimbrung percakapan karena tidak tega melihat Citra begitu panik dan ketakutan.

“Tidak ada lagi pembicaraan yang perlu dilakukan. Kita sudah sepakat kalau hari ini adalah hari terakhir pembayaran. Kami sudah terlalu sabar dan sabar kami sudah habis,” jelas si pria.

“Berapa hutang tanteku pada kalian?” tanya John yang sok menjadi pahlawan.

“Dua ratus juta …” tegas si pria.

“Bisakah kalian menunggu sekitar 10 menit?” tanya lanjut John.

“Hhhmm … Baiklah …” sahut si pria agak melunak.

Kedua pria ‘galak’ itu duduk di kursi teras sementara John membawa Citra yang sedang sesegukan ke dapur kembali. Setelah mendudukan Citra di kursi meja makan, John langsung menuju halaman belakang rumah. Secepatnya pemuda itu menghubungi Rafael dengan harapan sahabatnya bisa membantu. Ada sedikit keyakinan kalau Rafael bisa meminjamkan uang sebanyak dua ratus juta karena selain uangnya tersedia, Rafael juga sangat tidak ‘tegaan’ jika ada orang yang mengalami kesulitan.

“Mayday … Bro …” John langsung berkata saat teleponnya diangkat Rafael.

“Hhhmm … Ada apa?” tanya Rafael dengan suara serak seperti suara orang yang baru bangun tidur.

“Ibunya si Dedi … Dia kelilit rentenir … Kalau gak bisa bayar hari ini, rumahnya akan di sita,” jawab John berharap-harap cemas.

“Oh … Berapa?” tanya Rafael santai.

“Dua ratus juta …” jawab John semakin cemas.

“Aku transfer uangnya ke rekeningmu … Masih yang dulu nomor rekeningmu, kan …?” ujar Rafael yang membuat hati John serasa plong.

“Ya, masih … Gimana sistem pembayarannya?” tanya John.

“Nanti kita bicarakan, sekarang aku mau transfer dan lanjut tidur …” kata Rafael tanpa beban.

“Oke … Makasih sebelumnya …” John tersenyum lalu memutuskan sambungan telepon.

John bergegas kembali ke dapur dan menghampiri Citra yang menatap pemuda itu dengan mata berlinang air mata. John berlutut di depan Citra lalu mengambil kedua tangan wanita itu dan menggenggamnya untuk memberikan ketenangan. John mengangguk dan tersenyum memberikan isyarat kalau keadaan terkendali dan akan baik-baik saja.

“Kita selesaikan masalah ini sekarang juga,” lirih John yang disambut tatapan terbelalak dari Citra.

“Bagaimana bisa?” tanya Citra tak percaya.

“Kita lunasi hutang tante sekarang dengan uang pinjeman juga. Tapi, uang pinjeman ini tanpa bunga dan bisa dinego lagi waktu pembayarannya,” jelas John penuh keyakinan.

“Oh … John … Terima kasih …” pekik Citra seraya merangkul kepala John dan membenamkannya di dada wanita itu. Karuan saja John bisa merasakan kekenyalan buah dada Citra di kepalanya. Namun kali ini John merasa jengah karena suasananya yang tidak tepat.

“Sudah tante … Sekarang kita temui tamu kita … Kita selesaikan masalah tante …” ucap John sembari mengurai pelukan Citra lalu berdiri.

John dan Citra akhirnya menemui dua pria yang sudah menunggu sekitar lima menit di teras rumah. John mengajak kedua pria itu untuk masuk ke ruang tamu dan mereka pun menyelesaikan masalah utang-piutang dengan damai. Tak lama, kedua pria penagih hutang itu keluar dari dalam rumah karena merasa urusannya telah selesai. John mengantarkan mereka sampai ambang pintu. Tiba-tiba Citra memeluk John dari belakang dan kedua tangannya melingkar di perut John. Berkali-kali Citra mengucapkan terima kasih dan merasa sangat tertolong dengan bantuan pemuda itu. Tak berlebihan karena Citra merasa seperti keluar dari mulut buaya.

“Sudah, tante …” ucap John yang lagi-lagi harus mengurai pelukan Citra.

“Terima kasih, John … Telah menyelamatkan tante …” ucap Citra lirih sembari menghapus air mata di pipinya.

John mengalungkan lengan kanannya di bahu Citra lalu membawa wanita itu duduk di sofa. Wanita berambut sebahu itu terisak, serta merta menjatuhkan kepalanya di bahu John. John mengelus rambut Citra penuh dengan perasaan. Mau tidak mau, John ikut larut dengan kesedihan yang dirasakan Citra. John pun berusaha menenangkan Citra dengan memeluk dan mencium kepalanya.

“Sudahlah, tante … Kan, sudah berakhir … Jangan bersedih lagi,” ucap John bergetar menahan rasa sedih.

“Dengan pertolonganmu, tante seperti keluar dari dalam neraka. Seandainya sempat kejadian rumah ini disita, tante sudah berniat mengakhiri hidup tante. Kamu sudah menyelamatkan nyawa tante,” ungkap Citra sambil mengeratkan pelukannya.

“Tante jangan berlebihan begitu. Saya hanya sekedar meminjamkan uang saja, tidak lebih.” Kata John merasa malu hati karena yang sesungguhnya Rafael lah yang telah menyelamatkan wanita ini.

“Tidak … Kamulah dewa penolong tante …” Citra bersikukuh. John tidak bisa menjawab lagi dan suasana hening untuk beberapa saat sebelum akhirnya Citra bersuara kembali, “Sebenarnya, masalah tante yang tadi … Suami dan anak tante tidak tahu. Itu semua kesalahan tante yang tidak ingin orang lain tahu.”

“Begitukah?” John terkejut.

“Iya … Gara-gara tante tergiur dengan arisan bodong. Tante tertipu setelah memasukkan uang 125 juta. Padahal uang itu tante pinjam ke rentenir. Tante yang gak bisa bayar pinjeman terus dikejar-kejar bahkan diancam untuk disakiti, akhirnya terpaksa tante meneken perjanjian yang isinya rumah ini akan disita kalau tante gak bisa membayar,” jelas Citra yang terdengar mulai bisa menguasai diri.

“Pada waktu tante pinjam uang sebesar 125 juta, apakah tante memberikan jaminan?” tanya John agak bingung.

“Tidak … Karena rentenir itu teman tante …” jawab Citra.

“Hhhmm … Kalau memang berteman, kenapa dia tega mengancam segala?” tanya John lagi.

“Bisnis adalah bisnis … Dalam bisnis tidak ada pertemanan … Itu katanya …” jelas Citra seraya bangkit dari tubuh John. Wanita itu menatap John dengan lembut. Dan tiba-tiba, Citra mencium kening John untuk beberapa detik lalu berkata, “Terima kasih, sayang …” ucapan Citra itu sangat mengejutkan John. Ucapan ‘sayang’ yang dilontarkan Citra membuat John salah tingkah.

“He he he … Tante jangan berlebihan begitu … Saya jadi malu …” John tersipu dan wajahnya sedikit menghangat.

“Kamu adalah pahlawan tante … Tante tidak tahu cara membalas kebaikanmu,” ucap Citra sembari memainkan jemarinya di wajah John.

“He he he … Tante Citra bisa saja, ah …” kini John pun grogi, hatinya semakin tak karuan. “Oh, ya … Sudah saatnya saya pamit. Hari sudah mulai gelap,” akhirnya John memutuskan untuk pulang sebagai usaha untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan. “Sial … Kalau bukan ibunya si Dedi, pasti sudah aku …” batin John berteriak.

“Eh … Jangan dulu pulang, please … Temani tante sampai Dedi pulang …” pinta Citra sangat memelas.

Shit!!!” sekali lagi batin John berteriak.

Dengan sangat terpaksa akhirnya John memenuhi keinginan Citra untuk tetap tinggal dan menemaninya. Mereka pun melanjutkan obrolan di dapur. Dan seperti tadi, kopi serta cemilan adalah teman obrolan keduanya. Pada saat itu, John sudah bisa merasakan kalau Citra mulai menggodanya. Ucapan yang menjurus, senyuman dan kerlingan nakal kerap Citra lontarkan pada pemuda itu. Namun John tetap bersikukuh kalau Citra adalah ibu temannya. John merasa harus berhati-hati menghadapi situasi seperti ini.

“Tunggu sebentar ya … Tante mau ke kamar dulu …” ucap Citra genit sembari meninggalkan dapur.

John termenung di kursi meja makan. Hatinya semakin tidak enak, sekarang pikirannya berkecamuk seperti ada huru-hara besar. Kalau sudah begini, ia hanya bisa berdoa, atau selain itu, ingin rasanya ia kabur menghilang dari tempat ini. Bukannya ia munafik, tetapi jika sampai terjadi ‘sesuatu’, itu berarti ia telah menyakiti perasaan temannya. Lama kelamaan, perang batin yang dihadapi John jauh lebih kompleks. Ada ruang ‘kepenasaran’ yang dihadirkan. Mulai tumbuh ketetarikan John terhadap godaan yang dilakukan Citra pada dirinya. Akhirnya John hanya bisa pasrah, menanti kelanjutan cerita yang akan hadir selanjutnya.

Bersambung

Chapter 6 di halaman 8​
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd