Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Tawaran Kehangatan dari Istri Kakak Ipar

VI. Bulan Puasa​

Bulan puasa adalah bulan yang suci. Bulan dimana banyak kemudahan bagi manusia untuk beribadah. Bagi anak-anak, bulan puasa, terutama pada malam hari, mempunyai keasyikan tersendiri. Kesibukan di masjid, melakukan salat tarawih, dan, terutama, tadarus Al-Quran karena ada hidangan makanan bagi mereka yang ikut, atau, bagi bujang-bujang, tidur di masjid untuk membangunkan sahur meninggalkan beragam kenangan.

Sedang, bagiku, bulan puasa kali adalah pengalaman baru. Waktu terasa lamban berjalan. Puasa yang telah memasuki hari ke sepuluh membuat aku kelimpungan. Sejak tadi siang kepalaku pusing. Badanku seperti malas untuk bergerak. Mataku nanar. Kemaluanku seperti mati rasa.

Untung saja, sore tadi, saat mengambil air di kambang, sebutan orang Palembang untuk kolam penampung air, guna keperluan mandi sore, aku berkesempatan berbicara dengan istri kakak iparku, kekasih gelapku. Walaupun hanya sekejap, tapi mampu membangkitkan semangat hidupku.

Membangkitkan semangat hidup karena istri kakak iparku memberi kesempatan bagiku untuk menemuinya malam ini. Alhamdulillah!

Karena aku tahu waktu salat Isya di Palembang dimulai jam tujuh lewat serta bila di lanjut dengan salat Tarawih dan kegiatan tadarus Al-Quran, maka rumah istri kakak iparku akan kosong sampai jam sepuluh malam lewat karena kaum adam di rumahnya akan berada di Langgar Budi Bakti, tempat dilaksanakannya salat Isya, salat Tarawih dan di lanjut tadarus Al-Quran. Itulah waktu berkunjung yang aku usulkan dan istri kakak iparku menyetujuinya.

Dengan alasan sakit perut, aku minta Juju, istriku, menggantikan aku menjaga warung sedang aku pulang untuk buang air besar. Karena kebetulan Juju sedang kedatangan tamu dan tidak salat Tarawih, maka dia bisa menjaga warung untuk memberi kesempatan aku, suaminya, mendatangi iparnya itu. Istri yang berbakti.

Melalui kaca jendela rumah, dapat aku lihat satu persatu penghuni rumah sebelah keluar menuju Langgar, sebutan untuk tempat ibadah saat itu karena pada era 70-an belum familiar menggunakan istilah mushalla. Setelah yakin, rumah sebelah kosong, aku keluar dari rumahku. Berjalan aku menuju teras belakang rumah kakak ipar yang gelap karena lampu belakang sepertinya sengaja dimatikan. Sesampai didepan pintu, pintu kudorong karena aku tahu kalau pintu itu tidak terkunci, hanya dihalangi oleh kayu, seperti yang selalu dilakukan istri kakak iparku untuk mempermudah kami saling berbagi kehangatan.

Aku menyelinap masuk. Dapurnya terang karena lampu menyala, tapi tidak ada dia yang menunggu aku di sana. Aku mendekati pintu kamar tidurnya dan melongok ke dalam. Hanya ada gadis mungilnya yang tertidur di tempat tidur. Segera aku masuk ke kamar tidur itu dan menuju pintu satunya lagi. Kutempelkan telinga di pintu dan kutajamkan pendengaran untuk mengetahui kondisi di luar kamar tidur. Hanya terdengar suara orang yang mengaji. Selain itu, sepi.

Penasaran, pintu aku buka sedikit dan mengintip keluar. Memang sepi, hanya ada seseorang yang duduk di kursi di depan televisi di ruang tengah.

"E-hem,"aku berdehem.

Seseorang yang sedang menonton tadi berpaling ke arahku. Tersenyum dia. Tangannya melambai, memanggil aku mendekatinya. Secepatnya aku datang.

"Selamat malam, Sayang,"ucapku setelah berada disampingnya.

"Malam juga."Istri kakak iparku mendongak, menatap aku. Tangannya menggapai tanganku. Sepertinya dia pun kangen dengan kehadiranku.

Aku mengambil kursi dan meletakkannya di samping dia. Berdampingan kami duduk. Kukalungkan tangan ke lehernya dan dia, dengan manja, menyandarkan diri di dadaku. Pandangan kami tertuju ke arah televisi yang menayangkan acara pengajian.

"Suaranya bagus,"sambil tetap memandang ke televisi, dia berucap,"Utusan dari Jawa Barat."

Aku tarik tanganku dari lehernya. Kutatap dia. Dia yang masih mengenakan mukena, alat salat bagi kaum wanita. Cantik sekali dia. Wanita soleha.

"Eceu cantik dengan mukenanya,"balasku tidak menyambung dengan tema pembicaraannya."Habis sembahyang?"

"Habis sembahyang Isya."

"Di bulan puasa ini, Eceu tambah cantik. Puasa itu membuat cantik seseorang, ya?"pujiku.

"Ada yang bolong puasanya?"

Aku tersenyum."Bolong terus, Ceu."

"Sudah saya duga,"ujar istri kakak iparku."Ada kolak untuk Amir. Mau?"

"Bibir Eceu sudah manis, kok untuk aku cium,"rayuan mautku keluar.

"Gombal."

"Tidak percaya?"

Istri kakak iparku mencibirkan bibirnya ke arahku.

"Eceu tuh harusnya percaya ucapan pacarnya,"ucapku sambil mencubit mesra hidung peseknya.

Tersenyum dia mendengar ucapanku.

"Eceu percaya 'kan kalau bibir Eceu tuh manis?"Sambil menatapnya, kuulang lagi ucapanku.

"Iya,"balasnya.

"Kalau begitu, mana bibirnya?"Kutatap dia.

"Untuk apa?"tanyanya dengan nada heran.

"Untuk aku cium."

"I-ih...Amiir..."Istri kakak iparku mencubit perutku, kesal karena berhasil aku permainkan.

Akhirnya, di ruang tengah rumahnya, didepan televisi 14 inci yang sedang menyiarkan acara pengajian, aku pegang wajahnya dan bibir-bibir kami bertaut. Saling kulum dan saling sedot. Bergantian lidah-lidah kami masuk dan keluar dari mulut kawan mainnya.

Bibirnya aku lepas karena dapat kurasakan kulitnya yang hangat di balik mukena itu. Kutatap dia. Istri kakak iparku pun menatap aku dengan mata bertanya-tanya.

"Eceu tidak pakai apa-apa?"Kuangkat mukenanya dan kutemukan dua buah dadanya yang ranum membulat menggantung seksi.

Istri kakak iparku menarik kembali mukenanya, menutupkannya. Lalu,"Sudah kebiasaan saya tidak pakai apa-apa kalau solat. Kan sudah pakai mukena, tertutup mukena. Sah solatnya."

"Jangan-jangan Eceu juga tidak pakai kolor?"tanyaku penuh nafsu.

Sambil menutupkan tangannya di selangkangannya, istri kakak iparku tersenyum genit. Pahanya dirapatkannya.

Karena tidak bisa menyentuh selangkangannya yang tertutup tangannya, aku meraba pantatnya. Dapat aku rasakan istri kakak iparku tidak mengenakan apa-apa lagi dibalik sarungnya.

"Boleh lihat tidak?"

"Lihat apa?"Istri kakak iparku menepis tanganku yang bergerilya di selangkangannya.

"Memek Eceu."

"Mahal,"ucapnya dengan nada bercanda."Berani bayar berapa?"

Aku pura-pura berfikir, lalu,"Kalau diganti permen?"

"Boleh."Istri kakak iparku tersenyum dan menadahkan tangannya, menunggu permen dari aku. Memang sudah kebiasaan dariku untuk membawa permen setiap kali mengunjunginya.

"Hutang dulu, boleh?"tawarku karena saat ini, karena terburu-buru, aku lupa untuk membawa permen."Nanti diganti. Sepuluh kali lipat."

"Ya ... kalau kayak gitu, dihutang dulu jugalah,"rajuknya.

"Hahaha..."Tertawa aku menanggapi ucapannya karena aku tahu istri kakak iparku pasti bergurau.

Akhirnya, didepannya, aku berdiri. Tersenyum dia melihat aku yang berlenggak-lenggok. Sambil bergoyang dangdut, sarung yang aku pakai, aku pelorotkan. Kemudian kaos pun aku lepas.

Dengan hanya bercelana dalam, kutarik dia dari kursinya. Kuajak dia menari. Tanpa irama musik, di ruang tengah rumahnya yang luas, kami bergerak seirama. Sambil menari, kuangkat mukenanya tinggi-tinggi, melewati kepalanya.

Tersenyum malu dia karena kini dia bertelanjang dada. Segera kupeluk dia. Menikmati hangatnya buah dadanya yang menempel erat di badanku. Istri kakak iparku melingkarkan dua tangannya ke tubuhku. Mukanya mendongak, menatap aku. Senyumnya begitu menggoda.

Agar tidak menghabiskan waktu, sarung yang menutupi bagian bawah tubuhnya, aku injak dan kuangkat dia tinggi-tinggi. Melotot dia, tapi aku tersenyum karena sarungnya tertinggal di kakiku.

Kudorong istri kakak iparku menjauh. Dia menutupkan pahanya. Barangkali malu dengan tatapan liarku yang menghujam ke selangkangannya. Demikian pula, buah dadanya ditutupinya oleh kedua tangannya.

"Aku lepas kolorku dulu, Ceu,"ucapku.

Begitu aku mulai menurunkan celana dalam, istri kakak iparku mengalihkan pandangan ke layar televisi.

"Tidak mau lihat burungku?"godaku."Sudah lama 'kan, Eceu, tidak memegangnya."

Mencibir bibirnya ke arahku dan aku tergelak-gelak.

Mematung istri kakak iparku saat jari-jemariku memegang dua ketiaknya dan aku angkat dia. Berdiri dia di atas kursi. Terpana aku melihat belahan merah kehitam-hitaman yang berselimut bulu-bulu tipis tetapi kasar di selangkangan itu. Sayangnya keindahan itu hilang, tertutupi satu tangannya. Kucoba menariknya, tetapi tangan itu kuat-kuat menjaga wilayah kehormatannya.

Maka, kupandang wajahnya yang meninggi di atas. Lama kutatap dia. Akhirnya, ada senyum yang timbul di wajah manis itu. Senyum kepasrahan atau tanda menyerah, aku tidak tahu pasti. Tapi, yang aku tahu, kembali aku arahkan pandangan ke selangkangannya yang masih istri kakak iparku tutupi. Kupegang tangan itu. Tanpa perlawanan, tangannya meninggalkan selangkangannya kala aku tarik. Kembali belahan memanjang di selangkangan itu terlihat. Kupandang kembali wajah dia, untuk kuberikan satu senyum terima kasih. Setelah itu, aku fokus menatap selangkangannya untuk kemudian bibir aku dekatkan.

Ada aroma khas yang hidungku tangkap saat bibirku menempelkan di areal berbulu itu. Kuciumi bulu-bulu itu. Tangan istri kakak iparku menjambak rambutku, lalu pahanya melebar, memberi ruang bibirku untuk leluasa menjamah kemaluannya.

"Hah!"terdengar pekikan kecil saat aku gigit lembut belahan memanjang itu untuk kemudian aku jilat-jilat. Jambakan di rambutku berganti elusan.

Dua tanganku berpegangan di pantatnya dan lidahku menyibak masuk belahan memanjang itu. Kakinya melonjak meninggi saat lidahku menemukan kelentitnya. Desahan mulai terdengar.

Kutinggalkan selangkangannya. Saat kami bertatapan, jari tengahku yang bermain di belahan memanjang itu. Terpejam mata itu, menikmati elusan jari-jemariku di area kemaluannya dan kecupan-kecupan bibirku di kedua pahanya.

Bibir seksi itu mengeluarkan desahan, begitu jari tengahku menyeruak dalam ke lubang kemaluannya. Dengan cepat tapi lembut, jari tengahku mengobok-obok kedalaman lubang kemaluannya, memainkan g-spotnya. Dan habis rambutku dijambaki olehnya.

Dengan jari tengah masih berada dalam lubang kemaluannya, aku menciumi perutnya, menjilati pusarnya. Dapat kurasakan badannya yang gemetar dan nafasnya yang memburu.

Kepalaku terus meninggi. Kini buah dadanya yang aku ciumi, mengulum bola kecoklatannya sementara jari tengahku tetap bermain dalam lubang kemaluannya. Beberapa kali istri kakak iparku limbung, tapi dengan cepat dia menjambak rambutku agar tidak terjatuh.

Akhirnya, jari tengahku aku tarik dari lubang yang telah basah itu. Kupeluk dia dan aku angkat meninggalkan kursi. Di lantai kayu, di depan televisi 14 inci yang masih menyiarkan acara pengajian, kami berbaring, saling menindih. Aku sudah berada di antara dua pahanya yang mengangkang lebar, siap menyarangkan kontolku di lubang kemaluannya.

"Ah..."terdengar desahnya saat kontolku menyeruak masuk ke lubang kemaluannya.

Dipeluknya aku, aku pun memeluk tubuh telanjangnya. Wajahnya yang tepat berada disamping telingaku, membuat desahannya terdengar begitu dekat dan seksi. Seperti magnet, desahan istri kakak iparku yang berirama menimbulkan hasrat untuk memberi istri kakak iparku kepuasan. Lalu, kontolku pun makin cepat maju mundur dalam lubang kenikmatan itu.

Aku naikkan paha kiriku ke atas paha kanannya, dan kembali aku memajumundurkan kontolku menggagahi kemaluannya. Tangan kirinya aku angkat tinggi. Aku jilati ketiaknya yang putih tanpa bulu itu. Istri kakak iparku menggelinjang liar.

Tanpa melepaskan kontolku dari lubang kenikmatan itu, duduk aku di atas paha istri kakak iparku. Sambil tetap memajumundurkan senjataku, aku remas buah dada imutnya. Merem melek perempuan yang terbaring pasrah itu menikmati seranganku. Aku ambil kaki kirinya dan kupeluk di dada. Berirama kontolku menari didalam kemaluannya.

Aku taruh kembali kakinya di lantai. Kini aku duduk tepat di atas selangkangannya dengan kontol yang tetap menancap dalam kemaluannya. Aku mulai menggerakkan pantatku maju mundur dan istri kakak iparku hanya bisa mendesah-desah nikmat.

Sekarang aku tindih dia. Tubuh kami sama-sama lurus memanjang. Di atas tubuhnya, aku bergerak maju mundur sementara dua tangan istri kakak iparku mencengkeram pinggang, menikmati kekuatan senjata pacar gelapnya ini.

Tersengal-sengal nafas perempuan itu saat aku tinggalkan tubuh telanjangnya. Aku kuakkan dua pahanya dan bersimpuh didepannya. Menjengit dia saat jariku menyentuh kemaluannya, saat mengelusnya. Matanya memejam tatkala kontolku aku tempelkan di ambang lubang bersemak itu. Mulutnya membuka, mengeluarkan desahan pelan, begitu, dengan lembut, aku tekan kontolku masuk.

Saat kontolku telah tertelan sempurna di kedalaman lubang kemaluannya, tubuh telanjang itu aku tarik naik. Istri kakak iparku duduk di atas selangkanganku. Sambil menatapku, sambil memamerkan senyum genit, dua tangannya menggayut di pundak, dan mulai menggerakkan pantatnya maju mundur. Kuambil buah dadanya dan meremasnya, memainkan butir kecoklatan di atasnya.

Tangan aku taruh dibawah pantatnya, lalu aku mulai berdiri. Istri kakak iparku mendekap aku erat-erat sementara dua kakinya melilit pinggangku. Dapat aku rasakan bulu-bulu kasar di selangkangannya yang menempel di perutku dan kenyalnya dua buah dada itu.

Melangkah aku membawa istri kakak iparku yang berada dalam gendongan menuju ruang depan yang gelap. Lampu ruang depan yang berfungsi sebagai ruang tamu tidak dinyalakan. Penerangan hanya berasal dari lampu teras yang menyelinap masuk melalui ventilasi dan sela-sela gorden. Dalam keremangan malam, dapat kulihat ada dua set kursi di sana, yaitu satu set kursi kayu rotan dan satu set kursi sofa, sementara diujung sana terdapat tempat tidur.

Ruang tamu ini luas karena rumah-rumah di daerah sini, biarpun panggung, besar-besar karena tanah di sini masih murah dan kayu sebagai bahan utama pembuatan rumah juga murah dan tersedia banyak. Ada anekdot, anak-anak bisa bermain sepakbola di dalam rumah, saking besarnya rumah.

Istri kakak iparku, aku baringkan di sofa panjang. Menatap dia padaku, lalu,"Nanti ada yang mengintip, Amir."

Tersenyum aku menanggapi ucapannya. Kucium bibirnya sekilas, lalu beralih ke sisi ujung sofa itu. Bersimpuh aku dan kuambil dua kakinya, mendekatkan ke ujung sofa dimana aku bersimpuh.

Pahanya bergantian aku cumbu sementara tanganku mengelus-elusnya. Cumbuanku di pahanya kian ke atas, kian naik mendekati kemaluannya.

"Ah...."Istri kakak iparku mendesah panjang dan pantatnya terangkat meninggi ketika lidahku bermain di belahan memanjang yang tersaput bulu-bulu halus miliknya.

Aku terus mencecapi kemaluannya sementara satu jariku masuk ke dalam lubang kemaluannya.

"Suara apa itu, Amir?"Istri kakak iparku menahan kepalaku yang berada di antara dua pahanya.

"Suara apa?"Melalui dua pahanya aku mendongak ke arah wajahnya yang terangkat.

"Amir tidak mendengarnya?"

Aku menegakkan kepala. Dapat aku menangkap derap langkah di depan rumah. Ada pula suara beberapa orang. Berpandangan kami. Istri kakak iparku duduk mengangkang di depanku. Dia hendak turun dari sofa, tapi aku tahan. Jari telunjuk aku letakkan di bibir, meminta dia untuk diam.

Kepanikan tersirat di wajah istri kakak iparku manakala orang-orang yang berada di depan rumah mulai memanggil-manggil namanya. Kalang kabut kami jadinya. Dengan tergopoh-gopoh, istri kakak iparku turun dari sofa.

Karena tidak ada jawaban dari dalam rumah, langkah-langkah kaki itu kini bergegas menapaki teras rumah. Istri kakak iparku berlari menuju ruang tengah dan aku menyusul. Mukena yang berserak di lantai, diambilnya. Aku pun mengambil pakaianku dan langsung berjalan cepat menuju kamar tidur, tempat tadi aku mendatanginya. Dari pintu belakang kamar tidur, aku menengok ruang belakang, sepi. Tidak terdengar suara orang. Pintu luar pun masih tertutup. Jadi, aku bisa sedikit bernafas lega karena, bila ruang belakang kosong, aku dapat melarikan diri bila terancam. Segera aku mengenakan celana dalam, menutupi selangkangan dengan kain sarung, dan berkaos kembali.

Keramaian masih terdengar. Aku yang berada di kamar tidur itu, coba mengintip dari balik pintu kamar. Untung saja anak gadis kecilnya tetap tidur di tengah kehebohan. Tapi, siapakah orang-orang yang menggeruduk kami malam ini? Apakah ada yang mengetahui kehadiranku di rumah ini? Akankah hubungan terlarang ini telah diketahui orang dan malam ini adalah kesempatan mereka melakukan penggerebekan? Aku tidak tahu. Yang pasti aku harus bersiap menyelamatkan diri agar tidak tertangkap basah.

Semoga saja keadaan malam ini akan bisa terkendali. Aku tidak mau hubungan aku dan Ningsih, sang Eceu terkasih, istri kakak iparku, berantakan karena aku belum puas menikmati hangatnya badannya, liarnya birahinya. Semoga.
 
VI. Bulan Puasa​

Bulan puasa adalah bulan yang suci. Bulan dimana banyak kemudahan bagi manusia untuk beribadah. Bagi anak-anak, bulan puasa, terutama pada malam hari, mempunyai keasyikan tersendiri. Kesibukan di masjid, melakukan salat tarawih, dan, terutama, tadarus Al-Quran karena ada hidangan makanan bagi mereka yang ikut, atau, bagi bujang-bujang, tidur di masjid untuk membangunkan sahur meninggalkan beragam kenangan.

Sedang, bagiku, bulan puasa kali adalah pengalaman baru. Waktu terasa lamban berjalan. Puasa yang telah memasuki hari ke sepuluh membuat aku kelimpungan. Sejak tadi siang kepalaku pusing. Badanku seperti malas untuk bergerak. Mataku nanar. Kemaluanku seperti mati rasa.

Untung saja, sore tadi, saat mengambil air di kambang, sebutan orang Palembang untuk kolam penampung air, guna keperluan mandi sore, aku berkesempatan berbicara dengan istri kakak iparku, kekasih gelapku. Walaupun hanya sekejap, tapi mampu membangkitkan semangat hidupku.

Membangkitkan semangat hidup karena istri kakak iparku memberi kesempatan bagiku untuk menemuinya malam ini. Alhamdulillah!

Karena aku tahu waktu salat Isya di Palembang dimulai jam tujuh lewat serta bila di lanjut dengan salat Tarawih dan kegiatan tadarus Al-Quran, maka rumah istri kakak iparku akan kosong sampai jam sepuluh malam lewat karena kaum adam di rumahnya akan berada di Langgar Budi Bakti, tempat dilaksanakannya salat Isya, salat Tarawih dan di lanjut tadarus Al-Quran. Itulah waktu berkunjung yang aku usulkan dan istri kakak iparku menyetujuinya.

Dengan alasan sakit perut, aku minta Juju, istriku, menggantikan aku menjaga warung sedang aku pulang untuk buang air besar. Karena kebetulan Juju sedang kedatangan tamu dan tidak salat Tarawih, maka dia bisa menjaga warung untuk memberi kesempatan aku, suaminya, mendatangi iparnya itu. Istri yang berbakti.

Melalui kaca jendela rumah, dapat aku lihat satu persatu penghuni rumah sebelah keluar menuju Langgar, sebutan untuk tempat ibadah saat itu karena pada era 70-an belum familiar menggunakan istilah mushalla. Setelah yakin, rumah sebelah kosong, aku keluar dari rumahku. Berjalan aku menuju teras belakang rumah kakak ipar yang gelap karena lampu belakang sepertinya sengaja dimatikan. Sesampai didepan pintu, pintu kudorong karena aku tahu kalau pintu itu tidak terkunci, hanya dihalangi oleh kayu, seperti yang selalu dilakukan istri kakak iparku untuk mempermudah kami saling berbagi kehangatan.

Aku menyelinap masuk. Dapurnya terang karena lampu menyala, tapi tidak ada dia yang menunggu aku di sana. Aku mendekati pintu kamar tidurnya dan melongok ke dalam. Hanya ada gadis mungilnya yang tertidur di tempat tidur. Segera aku masuk ke kamar tidur itu dan menuju pintu satunya lagi. Kutempelkan telinga di pintu dan kutajamkan pendengaran untuk mengetahui kondisi di luar kamar tidur. Hanya terdengar suara orang yang mengaji. Selain itu, sepi.

Penasaran, pintu aku buka sedikit dan mengintip keluar. Memang sepi, hanya ada seseorang yang duduk di kursi di depan televisi di ruang tengah.

"E-hem,"aku berdehem.

Seseorang yang sedang menonton tadi berpaling ke arahku. Tersenyum dia. Tangannya melambai, memanggil aku mendekatinya. Secepatnya aku datang.

"Selamat malam, Sayang,"ucapku setelah berada disampingnya.

"Malam juga."Istri kakak iparku mendongak, menatap aku. Tangannya menggapai tanganku. Sepertinya dia pun kangen dengan kehadiranku.

Aku mengambil kursi dan meletakkannya di samping dia. Berdampingan kami duduk. Kukalungkan tangan ke lehernya dan dia, dengan manja, menyandarkan diri di dadaku. Pandangan kami tertuju ke arah televisi yang menayangkan acara pengajian.

"Suaranya bagus,"sambil tetap memandang ke televisi, dia berucap,"Utusan dari Jawa Barat."

Aku tarik tanganku dari lehernya. Kutatap dia. Dia yang masih mengenakan mukena, alat salat bagi kaum wanita. Cantik sekali dia. Wanita soleha.

"Eceu cantik dengan mukenanya,"balasku tidak menyambung dengan tema pembicaraannya."Habis sembahyang?"

"Habis sembahyang Isya."

"Di bulan puasa ini, Eceu tambah cantik. Puasa itu membuat cantik seseorang, ya?"pujiku.

"Ada yang bolong puasanya?"

Aku tersenyum."Bolong terus, Ceu."

"Sudah saya duga,"ujar istri kakak iparku."Ada kolak untuk Amir. Mau?"

"Bibir Eceu sudah manis, kok untuk aku cium,"rayuan mautku keluar.

"Gombal."

"Tidak percaya?"

Istri kakak iparku mencibirkan bibirnya ke arahku.

"Eceu tuh harusnya percaya ucapan pacarnya,"ucapku sambil mencubit mesra hidung peseknya.

Tersenyum dia mendengar ucapanku.

"Eceu percaya 'kan kalau bibir Eceu tuh manis?"Sambil menatapnya, kuulang lagi ucapanku.

"Iya,"balasnya.

"Kalau begitu, mana bibirnya?"Kutatap dia.

"Untuk apa?"tanyanya dengan nada heran.

"Untuk aku cium."

"I-ih...Amiir..."Istri kakak iparku mencubit perutku, kesal karena berhasil aku permainkan.

Akhirnya, di ruang tengah rumahnya, didepan televisi 14 inci yang sedang menyiarkan acara pengajian, aku pegang wajahnya dan bibir-bibir kami bertaut. Saling kulum dan saling sedot. Bergantian lidah-lidah kami masuk dan keluar dari mulut kawan mainnya.

Bibirnya aku lepas karena dapat kurasakan kulitnya yang hangat di balik mukena itu. Kutatap dia. Istri kakak iparku pun menatap aku dengan mata bertanya-tanya.

"Eceu tidak pakai apa-apa?"Kuangkat mukenanya dan kutemukan dua buah dadanya yang ranum membulat menggantung seksi.

Istri kakak iparku menarik kembali mukenanya, menutupkannya. Lalu,"Sudah kebiasaan saya tidak pakai apa-apa kalau solat. Kan sudah pakai mukena, tertutup mukena. Sah solatnya."

"Jangan-jangan Eceu juga tidak pakai kolor?"tanyaku penuh nafsu.

Sambil menutupkan tangannya di selangkangannya, istri kakak iparku tersenyum genit. Pahanya dirapatkannya.

Karena tidak bisa menyentuh selangkangannya yang tertutup tangannya, aku meraba pantatnya. Dapat aku rasakan istri kakak iparku tidak mengenakan apa-apa lagi dibalik sarungnya.

"Boleh lihat tidak?"

"Lihat apa?"Istri kakak iparku menepis tanganku yang bergerilya di selangkangannya.

"Memek Eceu."

"Mahal,"ucapnya dengan nada bercanda."Berani bayar berapa?"

Aku pura-pura berfikir, lalu,"Kalau diganti permen?"

"Boleh."Istri kakak iparku tersenyum dan menadahkan tangannya, menunggu permen dari aku. Memang sudah kebiasaan dariku untuk membawa permen setiap kali mengunjunginya.

"Hutang dulu, boleh?"tawarku karena saat ini, karena terburu-buru, aku lupa untuk membawa permen."Nanti diganti. Sepuluh kali lipat."

"Ya ... kalau kayak gitu, dihutang dulu jugalah,"rajuknya.

"Hahaha..."Tertawa aku menanggapi ucapannya karena aku tahu istri kakak iparku pasti bergurau.

Akhirnya, didepannya, aku berdiri. Tersenyum dia melihat aku yang berlenggak-lenggok. Sambil bergoyang dangdut, sarung yang aku pakai, aku pelorotkan. Kemudian kaos pun aku lepas.

Dengan hanya bercelana dalam, kutarik dia dari kursinya. Kuajak dia menari. Tanpa irama musik, di ruang tengah rumahnya yang luas, kami bergerak seirama. Sambil menari, kuangkat mukenanya tinggi-tinggi, melewati kepalanya.

Tersenyum malu dia karena kini dia bertelanjang dada. Segera kupeluk dia. Menikmati hangatnya buah dadanya yang menempel erat di badanku. Istri kakak iparku melingkarkan dua tangannya ke tubuhku. Mukanya mendongak, menatap aku. Senyumnya begitu menggoda.

Agar tidak menghabiskan waktu, sarung yang menutupi bagian bawah tubuhnya, aku injak dan kuangkat dia tinggi-tinggi. Melotot dia, tapi aku tersenyum karena sarungnya tertinggal di kakiku.

Kudorong istri kakak iparku menjauh. Dia menutupkan pahanya. Barangkali malu dengan tatapan liarku yang menghujam ke selangkangannya. Demikian pula, buah dadanya ditutupinya oleh kedua tangannya.

"Aku lepas kolorku dulu, Ceu,"ucapku.

Begitu aku mulai menurunkan celana dalam, istri kakak iparku mengalihkan pandangan ke layar televisi.

"Tidak mau lihat burungku?"godaku."Sudah lama 'kan, Eceu, tidak memegangnya."

Mencibir bibirnya ke arahku dan aku tergelak-gelak.

Mematung istri kakak iparku saat jari-jemariku memegang dua ketiaknya dan aku angkat dia. Berdiri dia di atas kursi. Terpana aku melihat belahan merah kehitam-hitaman yang berselimut bulu-bulu tipis tetapi kasar di selangkangan itu. Sayangnya keindahan itu hilang, tertutupi satu tangannya. Kucoba menariknya, tetapi tangan itu kuat-kuat menjaga wilayah kehormatannya.

Maka, kupandang wajahnya yang meninggi di atas. Lama kutatap dia. Akhirnya, ada senyum yang timbul di wajah manis itu. Senyum kepasrahan atau tanda menyerah, aku tidak tahu pasti. Tapi, yang aku tahu, kembali aku arahkan pandangan ke selangkangannya yang masih istri kakak iparku tutupi. Kupegang tangan itu. Tanpa perlawanan, tangannya meninggalkan selangkangannya kala aku tarik. Kembali belahan memanjang di selangkangan itu terlihat. Kupandang kembali wajah dia, untuk kuberikan satu senyum terima kasih. Setelah itu, aku fokus menatap selangkangannya untuk kemudian bibir aku dekatkan.

Ada aroma khas yang hidungku tangkap saat bibirku menempelkan di areal berbulu itu. Kuciumi bulu-bulu itu. Tangan istri kakak iparku menjambak rambutku, lalu pahanya melebar, memberi ruang bibirku untuk leluasa menjamah kemaluannya.

"Hah!"terdengar pekikan kecil saat aku gigit lembut belahan memanjang itu untuk kemudian aku jilat-jilat. Jambakan di rambutku berganti elusan.

Dua tanganku berpegangan di pantatnya dan lidahku menyibak masuk belahan memanjang itu. Kakinya melonjak meninggi saat lidahku menemukan kelentitnya. Desahan mulai terdengar.

Kutinggalkan selangkangannya. Saat kami bertatapan, jari tengahku yang bermain di belahan memanjang itu. Terpejam mata itu, menikmati elusan jari-jemariku di area kemaluannya dan kecupan-kecupan bibirku di kedua pahanya.

Bibir seksi itu mengeluarkan desahan, begitu jari tengahku menyeruak dalam ke lubang kemaluannya. Dengan cepat tapi lembut, jari tengahku mengobok-obok kedalaman lubang kemaluannya, memainkan g-spotnya. Dan habis rambutku dijambaki olehnya.

Dengan jari tengah masih berada dalam lubang kemaluannya, aku menciumi perutnya, menjilati pusarnya. Dapat kurasakan badannya yang gemetar dan nafasnya yang memburu.

Kepalaku terus meninggi. Kini buah dadanya yang aku ciumi, mengulum bola kecoklatannya sementara jari tengahku tetap bermain dalam lubang kemaluannya. Beberapa kali istri kakak iparku limbung, tapi dengan cepat dia menjambak rambutku agar tidak terjatuh.

Akhirnya, jari tengahku aku tarik dari lubang yang telah basah itu. Kupeluk dia dan aku angkat meninggalkan kursi. Di lantai kayu, di depan televisi 14 inci yang masih menyiarkan acara pengajian, kami berbaring, saling menindih. Aku sudah berada di antara dua pahanya yang mengangkang lebar, siap menyarangkan kontolku di lubang kemaluannya.

"Ah..."terdengar desahnya saat kontolku menyeruak masuk ke lubang kemaluannya.

Dipeluknya aku, aku pun memeluk tubuh telanjangnya. Wajahnya yang tepat berada disamping telingaku, membuat desahannya terdengar begitu dekat dan seksi. Seperti magnet, desahan istri kakak iparku yang berirama menimbulkan hasrat untuk memberi istri kakak iparku kepuasan. Lalu, kontolku pun makin cepat maju mundur dalam lubang kenikmatan itu.

Aku naikkan paha kiriku ke atas paha kanannya, dan kembali aku memajumundurkan kontolku menggagahi kemaluannya. Tangan kirinya aku angkat tinggi. Aku jilati ketiaknya yang putih tanpa bulu itu. Istri kakak iparku menggelinjang liar.

Tanpa melepaskan kontolku dari lubang kenikmatan itu, duduk aku di atas paha istri kakak iparku. Sambil tetap memajumundurkan senjataku, aku remas buah dada imutnya. Merem melek perempuan yang terbaring pasrah itu menikmati seranganku. Aku ambil kaki kirinya dan kupeluk di dada. Berirama kontolku menari didalam kemaluannya.

Aku taruh kembali kakinya di lantai. Kini aku duduk tepat di atas selangkangannya dengan kontol yang tetap menancap dalam kemaluannya. Aku mulai menggerakkan pantatku maju mundur dan istri kakak iparku hanya bisa mendesah-desah nikmat.

Sekarang aku tindih dia. Tubuh kami sama-sama lurus memanjang. Di atas tubuhnya, aku bergerak maju mundur sementara dua tangan istri kakak iparku mencengkeram pinggang, menikmati kekuatan senjata pacar gelapnya ini.

Tersengal-sengal nafas perempuan itu saat aku tinggalkan tubuh telanjangnya. Aku kuakkan dua pahanya dan bersimpuh didepannya. Menjengit dia saat jariku menyentuh kemaluannya, saat mengelusnya. Matanya memejam tatkala kontolku aku tempelkan di ambang lubang bersemak itu. Mulutnya membuka, mengeluarkan desahan pelan, begitu, dengan lembut, aku tekan kontolku masuk.

Saat kontolku telah tertelan sempurna di kedalaman lubang kemaluannya, tubuh telanjang itu aku tarik naik. Istri kakak iparku duduk di atas selangkanganku. Sambil menatapku, sambil memamerkan senyum genit, dua tangannya menggayut di pundak, dan mulai menggerakkan pantatnya maju mundur. Kuambil buah dadanya dan meremasnya, memainkan butir kecoklatan di atasnya.

Tangan aku taruh dibawah pantatnya, lalu aku mulai berdiri. Istri kakak iparku mendekap aku erat-erat sementara dua kakinya melilit pinggangku. Dapat aku rasakan bulu-bulu kasar di selangkangannya yang menempel di perutku dan kenyalnya dua buah dada itu.

Melangkah aku membawa istri kakak iparku yang berada dalam gendongan menuju ruang depan yang gelap. Lampu ruang depan yang berfungsi sebagai ruang tamu tidak dinyalakan. Penerangan hanya berasal dari lampu teras yang menyelinap masuk melalui ventilasi dan sela-sela gorden. Dalam keremangan malam, dapat kulihat ada dua set kursi di sana, yaitu satu set kursi kayu rotan dan satu set kursi sofa, sementara diujung sana terdapat tempat tidur.

Ruang tamu ini luas karena rumah-rumah di daerah sini, biarpun panggung, besar-besar karena tanah di sini masih murah dan kayu sebagai bahan utama pembuatan rumah juga murah dan tersedia banyak. Ada anekdot, anak-anak bisa bermain sepakbola di dalam rumah, saking besarnya rumah.

Istri kakak iparku, aku baringkan di sofa panjang. Menatap dia padaku, lalu,"Nanti ada yang mengintip, Amir."

Tersenyum aku menanggapi ucapannya. Kucium bibirnya sekilas, lalu beralih ke sisi ujung sofa itu. Bersimpuh aku dan kuambil dua kakinya, mendekatkan ke ujung sofa dimana aku bersimpuh.

Pahanya bergantian aku cumbu sementara tanganku mengelus-elusnya. Cumbuanku di pahanya kian ke atas, kian naik mendekati kemaluannya.

"Ah...."Istri kakak iparku mendesah panjang dan pantatnya terangkat meninggi ketika lidahku bermain di belahan memanjang yang tersaput bulu-bulu halus miliknya.

Aku terus mencecapi kemaluannya sementara satu jariku masuk ke dalam lubang kemaluannya.

"Suara apa itu, Amir?"Istri kakak iparku menahan kepalaku yang berada di antara dua pahanya.

"Suara apa?"Melalui dua pahanya aku mendongak ke arah wajahnya yang terangkat.

"Amir tidak mendengarnya?"

Aku menegakkan kepala. Dapat aku menangkap derap langkah di depan rumah. Ada pula suara beberapa orang. Berpandangan kami. Istri kakak iparku duduk mengangkang di depanku. Dia hendak turun dari sofa, tapi aku tahan. Jari telunjuk aku letakkan di bibir, meminta dia untuk diam.

Kepanikan tersirat di wajah istri kakak iparku manakala orang-orang yang berada di depan rumah mulai memanggil-manggil namanya. Kalang kabut kami jadinya. Dengan tergopoh-gopoh, istri kakak iparku turun dari sofa.

Karena tidak ada jawaban dari dalam rumah, langkah-langkah kaki itu kini bergegas menapaki teras rumah. Istri kakak iparku berlari menuju ruang tengah dan aku menyusul. Mukena yang berserak di lantai, diambilnya. Aku pun mengambil pakaianku dan langsung berjalan cepat menuju kamar tidur, tempat tadi aku mendatanginya. Dari pintu belakang kamar tidur, aku menengok ruang belakang, sepi. Tidak terdengar suara orang. Pintu luar pun masih tertutup. Jadi, aku bisa sedikit bernafas lega karena, bila ruang belakang kosong, aku dapat melarikan diri bila terancam. Segera aku mengenakan celana dalam, menutupi selangkangan dengan kain sarung, dan berkaos kembali.

Keramaian masih terdengar. Aku yang berada di kamar tidur itu, coba mengintip dari balik pintu kamar. Untung saja anak gadis kecilnya tetap tidur di tengah kehebohan. Tapi, siapakah orang-orang yang menggeruduk kami malam ini? Apakah ada yang mengetahui kehadiranku di rumah ini? Akankah hubungan terlarang ini telah diketahui orang dan malam ini adalah kesempatan mereka melakukan penggerebekan? Aku tidak tahu. Yang pasti aku harus bersiap menyelamatkan diri agar tidak tertangkap basah.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Maa
VI. Bulan Puasa​

Bulan puasa adalah bulan yang suci. Bulan dimana banyak kemudahan bagi manusia untuk beribadah. Bagi anak-anak, bulan puasa, terutama pada malam hari, mempunyai keasyikan tersendiri. Kesibukan di masjid, melakukan salat tarawih, dan, terutama, tadarus Al-Quran karena ada hidangan makanan bagi mereka yang ikut, atau, bagi bujang-bujang, tidur di masjid untuk membangunkan sahur meninggalkan beragam kenangan.

Sedang, bagiku, bulan puasa kali adalah pengalaman baru. Waktu terasa lamban berjalan. Puasa yang telah memasuki hari ke sepuluh membuat aku kelimpungan. Sejak tadi siang kepalaku pusing. Badanku seperti malas untuk bergerak. Mataku nanar. Kemaluanku seperti mati rasa.

Untung saja, sore tadi, saat mengambil air di kambang, sebutan orang Palembang untuk kolam penampung air, guna keperluan mandi sore, aku berkesempatan berbicara dengan istri kakak iparku, kekasih gelapku. Walaupun hanya sekejap, tapi mampu membangkitkan semangat hidupku.

Membangkitkan semangat hidup karena istri kakak iparku memberi kesempatan bagiku untuk menemuinya malam ini. Alhamdulillah!

Karena aku tahu waktu salat Isya di Palembang dimulai jam tujuh lewat serta bila di lanjut dengan salat Tarawih dan kegiatan tadarus Al-Quran, maka rumah istri kakak iparku akan kosong sampai jam sepuluh malam lewat karena kaum adam di rumahnya akan berada di Langgar Budi Bakti, tempat dilaksanakannya salat Isya, salat Tarawih dan di lanjut tadarus Al-Quran. Itulah waktu berkunjung yang aku usulkan dan istri kakak iparku menyetujuinya.

Dengan alasan sakit perut, aku minta Juju, istriku, menggantikan aku menjaga warung sedang aku pulang untuk buang air besar. Karena kebetulan Juju sedang kedatangan tamu dan tidak salat Tarawih, maka dia bisa menjaga warung untuk memberi kesempatan aku, suaminya, mendatangi iparnya itu. Istri yang berbakti.

Melalui kaca jendela rumah, dapat aku lihat satu persatu penghuni rumah sebelah keluar menuju Langgar, sebutan untuk tempat ibadah saat itu karena pada era 70-an belum familiar menggunakan istilah mushalla. Setelah yakin, rumah sebelah kosong, aku keluar dari rumahku. Berjalan aku menuju teras belakang rumah kakak ipar yang gelap karena lampu belakang sepertinya sengaja dimatikan. Sesampai didepan pintu, pintu kudorong karena aku tahu kalau pintu itu tidak terkunci, hanya dihalangi oleh kayu, seperti yang selalu dilakukan istri kakak iparku untuk mempermudah kami saling berbagi kehangatan.

Aku menyelinap masuk. Dapurnya terang karena lampu menyala, tapi tidak ada dia yang menunggu aku di sana. Aku mendekati pintu kamar tidurnya dan melongok ke dalam. Hanya ada gadis mungilnya yang tertidur di tempat tidur. Segera aku masuk ke kamar tidur itu dan menuju pintu satunya lagi. Kutempelkan telinga di pintu dan kutajamkan pendengaran untuk mengetahui kondisi di luar kamar tidur. Hanya terdengar suara orang yang mengaji. Selain itu, sepi.

Penasaran, pintu aku buka sedikit dan mengintip keluar. Memang sepi, hanya ada seseorang yang duduk di kursi di depan televisi di ruang tengah.

"E-hem,"aku berdehem.

Seseorang yang sedang menonton tadi berpaling ke arahku. Tersenyum dia. Tangannya melambai, memanggil aku mendekatinya. Secepatnya aku datang.

"Selamat malam, Sayang,"ucapku setelah berada disampingnya.

"Malam juga."Istri kakak iparku mendongak, menatap aku. Tangannya menggapai tanganku. Sepertinya dia pun kangen dengan kehadiranku.

Aku mengambil kursi dan meletakkannya di samping dia. Berdampingan kami duduk. Kukalungkan tangan ke lehernya dan dia, dengan manja, menyandarkan diri di dadaku. Pandangan kami tertuju ke arah televisi yang menayangkan acara pengajian.

"Suaranya bagus,"sambil tetap memandang ke televisi, dia berucap,"Utusan dari Jawa Barat."

Aku tarik tanganku dari lehernya. Kutatap dia. Dia yang masih mengenakan mukena, alat salat bagi kaum wanita. Cantik sekali dia. Wanita soleha.

"Eceu cantik dengan mukenanya,"balasku tidak menyambung dengan tema pembicaraannya."Habis sembahyang?"

"Habis sembahyang Isya."

"Di bulan puasa ini, Eceu tambah cantik. Puasa itu membuat cantik seseorang, ya?"pujiku.

"Ada yang bolong puasanya?"

Aku tersenyum."Bolong terus, Ceu."

"Sudah saya duga,"ujar istri kakak iparku."Ada kolak untuk Amir. Mau?"

"Bibir Eceu sudah manis, kok untuk aku cium,"rayuan mautku keluar.

"Gombal."

"Tidak percaya?"

Istri kakak iparku mencibirkan bibirnya ke arahku.

"Eceu tuh harusnya percaya ucapan pacarnya,"ucapku sambil mencubit mesra hidung peseknya.

Tersenyum dia mendengar ucapanku.

"Eceu percaya 'kan kalau bibir Eceu tuh manis?"Sambil menatapnya, kuulang lagi ucapanku.

"Iya,"balasnya.

"Kalau begitu, mana bibirnya?"Kutatap dia.

"Untuk apa?"tanyanya dengan nada heran.

"Untuk aku cium."

"I-ih...Amiir..."Istri kakak iparku mencubit perutku, kesal karena berhasil aku permainkan.

Akhirnya, di ruang tengah rumahnya, didepan televisi 14 inci yang sedang menyiarkan acara pengajian, aku pegang wajahnya dan bibir-bibir kami bertaut. Saling kulum dan saling sedot. Bergantian lidah-lidah kami masuk dan keluar dari mulut kawan mainnya.

Bibirnya aku lepas karena dapat kurasakan kulitnya yang hangat di balik mukena itu. Kutatap dia. Istri kakak iparku pun menatap aku dengan mata bertanya-tanya.

"Eceu tidak pakai apa-apa?"Kuangkat mukenanya dan kutemukan dua buah dadanya yang ranum membulat menggantung seksi.

Istri kakak iparku menarik kembali mukenanya, menutupkannya. Lalu,"Sudah kebiasaan saya tidak pakai apa-apa kalau solat. Kan sudah pakai mukena, tertutup mukena. Sah solatnya."

"Jangan-jangan Eceu juga tidak pakai kolor?"tanyaku penuh nafsu.

Sambil menutupkan tangannya di selangkangannya, istri kakak iparku tersenyum genit. Pahanya dirapatkannya.

Karena tidak bisa menyentuh selangkangannya yang tertutup tangannya, aku meraba pantatnya. Dapat aku rasakan istri kakak iparku tidak mengenakan apa-apa lagi dibalik sarungnya.

"Boleh lihat tidak?"

"Lihat apa?"Istri kakak iparku menepis tanganku yang bergerilya di selangkangannya.

"Memek Eceu."

"Mahal,"ucapnya dengan nada bercanda."Berani bayar berapa?"

Aku pura-pura berfikir, lalu,"Kalau diganti permen?"

"Boleh."Istri kakak iparku tersenyum dan menadahkan tangannya, menunggu permen dari aku. Memang sudah kebiasaan dariku untuk membawa permen setiap kali mengunjunginya.

"Hutang dulu, boleh?"tawarku karena saat ini, karena terburu-buru, aku lupa untuk membawa permen."Nanti diganti. Sepuluh kali lipat."

"Ya ... kalau kayak gitu, dihutang dulu jugalah,"rajuknya.

"Hahaha..."Tertawa aku menanggapi ucapannya karena aku tahu istri kakak iparku pasti bergurau.

Akhirnya, didepannya, aku berdiri. Tersenyum dia melihat aku yang berlenggak-lenggok. Sambil bergoyang dangdut, sarung yang aku pakai, aku pelorotkan. Kemudian kaos pun aku lepas.

Dengan hanya bercelana dalam, kutarik dia dari kursinya. Kuajak dia menari. Tanpa irama musik, di ruang tengah rumahnya yang luas, kami bergerak seirama. Sambil menari, kuangkat mukenanya tinggi-tinggi, melewati kepalanya.

Tersenyum malu dia karena kini dia bertelanjang dada. Segera kupeluk dia. Menikmati hangatnya buah dadanya yang menempel erat di badanku. Istri kakak iparku melingkarkan dua tangannya ke tubuhku. Mukanya mendongak, menatap aku. Senyumnya begitu menggoda.

Agar tidak menghabiskan waktu, sarung yang menutupi bagian bawah tubuhnya, aku injak dan kuangkat dia tinggi-tinggi. Melotot dia, tapi aku tersenyum karena sarungnya tertinggal di kakiku.

Kudorong istri kakak iparku menjauh. Dia menutupkan pahanya. Barangkali malu dengan tatapan liarku yang menghujam ke selangkangannya. Demikian pula, buah dadanya ditutupinya oleh kedua tangannya.

"Aku lepas kolorku dulu, Ceu,"ucapku.

Begitu aku mulai menurunkan celana dalam, istri kakak iparku mengalihkan pandangan ke layar televisi.

"Tidak mau lihat burungku?"godaku."Sudah lama 'kan, Eceu, tidak memegangnya."

Mencibir bibirnya ke arahku dan aku tergelak-gelak.

Mematung istri kakak iparku saat jari-jemariku memegang dua ketiaknya dan aku angkat dia. Berdiri dia di atas kursi. Terpana aku melihat belahan merah kehitam-hitaman yang berselimut bulu-bulu tipis tetapi kasar di selangkangan itu. Sayangnya keindahan itu hilang, tertutupi satu tangannya. Kucoba menariknya, tetapi tangan itu kuat-kuat menjaga wilayah kehormatannya.

Maka, kupandang wajahnya yang meninggi di atas. Lama kutatap dia. Akhirnya, ada senyum yang timbul di wajah manis itu. Senyum kepasrahan atau tanda menyerah, aku tidak tahu pasti. Tapi, yang aku tahu, kembali aku arahkan pandangan ke selangkangannya yang masih istri kakak iparku tutupi. Kupegang tangan itu. Tanpa perlawanan, tangannya meninggalkan selangkangannya kala aku tarik. Kembali belahan memanjang di selangkangan itu terlihat. Kupandang kembali wajah dia, untuk kuberikan satu senyum terima kasih. Setelah itu, aku fokus menatap selangkangannya untuk kemudian bibir aku dekatkan.

Ada aroma khas yang hidungku tangkap saat bibirku menempelkan di areal berbulu itu. Kuciumi bulu-bulu itu. Tangan istri kakak iparku menjambak rambutku, lalu pahanya melebar, memberi ruang bibirku untuk leluasa menjamah kemaluannya.

"Hah!"terdengar pekikan kecil saat aku gigit lembut belahan memanjang itu untuk kemudian aku jilat-jilat. Jambakan di rambutku berganti elusan.

Dua tanganku berpegangan di pantatnya dan lidahku menyibak masuk belahan memanjang itu. Kakinya melonjak meninggi saat lidahku menemukan kelentitnya. Desahan mulai terdengar.

Kutinggalkan selangkangannya. Saat kami bertatapan, jari tengahku yang bermain di belahan memanjang itu. Terpejam mata itu, menikmati elusan jari-jemariku di area kemaluannya dan kecupan-kecupan bibirku di kedua pahanya.

Bibir seksi itu mengeluarkan desahan, begitu jari tengahku menyeruak dalam ke lubang kemaluannya. Dengan cepat tapi lembut, jari tengahku mengobok-obok kedalaman lubang kemaluannya, memainkan g-spotnya. Dan habis rambutku dijambaki olehnya.

Dengan jari tengah masih berada dalam lubang kemaluannya, aku menciumi perutnya, menjilati pusarnya. Dapat kurasakan badannya yang gemetar dan nafasnya yang memburu.

Kepalaku terus meninggi. Kini buah dadanya yang aku ciumi, mengulum bola kecoklatannya sementara jari tengahku tetap bermain dalam lubang kemaluannya. Beberapa kali istri kakak iparku limbung, tapi dengan cepat dia menjambak rambutku agar tidak terjatuh.

Akhirnya, jari tengahku aku tarik dari lubang yang telah basah itu. Kupeluk dia dan aku angkat meninggalkan kursi. Di lantai kayu, di depan televisi 14 inci yang masih menyiarkan acara pengajian, kami berbaring, saling menindih. Aku sudah berada di antara dua pahanya yang mengangkang lebar, siap menyarangkan kontolku di lubang kemaluannya.

"Ah..."terdengar desahnya saat kontolku menyeruak masuk ke lubang kemaluannya.

Dipeluknya aku, aku pun memeluk tubuh telanjangnya. Wajahnya yang tepat berada disamping telingaku, membuat desahannya terdengar begitu dekat dan seksi. Seperti magnet, desahan istri kakak iparku yang berirama menimbulkan hasrat untuk memberi istri kakak iparku kepuasan. Lalu, kontolku pun makin cepat maju mundur dalam lubang kenikmatan itu.

Aku naikkan paha kiriku ke atas paha kanannya, dan kembali aku memajumundurkan kontolku menggagahi kemaluannya. Tangan kirinya aku angkat tinggi. Aku jilati ketiaknya yang putih tanpa bulu itu. Istri kakak iparku menggelinjang liar.

Tanpa melepaskan kontolku dari lubang kenikmatan itu, duduk aku di atas paha istri kakak iparku. Sambil tetap memajumundurkan senjataku, aku remas buah dada imutnya. Merem melek perempuan yang terbaring pasrah itu menikmati seranganku. Aku ambil kaki kirinya dan kupeluk di dada. Berirama kontolku menari didalam kemaluannya.

Aku taruh kembali kakinya di lantai. Kini aku duduk tepat di atas selangkangannya dengan kontol yang tetap menancap dalam kemaluannya. Aku mulai menggerakkan pantatku maju mundur dan istri kakak iparku hanya bisa mendesah-desah nikmat.

Sekarang aku tindih dia. Tubuh kami sama-sama lurus memanjang. Di atas tubuhnya, aku bergerak maju mundur sementara dua tangan istri kakak iparku mencengkeram pinggang, menikmati kekuatan senjata pacar gelapnya ini.

Tersengal-sengal nafas perempuan itu saat aku tinggalkan tubuh telanjangnya. Aku kuakkan dua pahanya dan bersimpuh didepannya. Menjengit dia saat jariku menyentuh kemaluannya, saat mengelusnya. Matanya memejam tatkala kontolku aku tempelkan di ambang lubang bersemak itu. Mulutnya membuka, mengeluarkan desahan pelan, begitu, dengan lembut, aku tekan kontolku masuk.

Saat kontolku telah tertelan sempurna di kedalaman lubang kemaluannya, tubuh telanjang itu aku tarik naik. Istri kakak iparku duduk di atas selangkanganku. Sambil menatapku, sambil memamerkan senyum genit, dua tangannya menggayut di pundak, dan mulai menggerakkan pantatnya maju mundur. Kuambil buah dadanya dan meremasnya, memainkan butir kecoklatan di atasnya.

Tangan aku taruh dibawah pantatnya, lalu aku mulai berdiri. Istri kakak iparku mendekap aku erat-erat sementara dua kakinya melilit pinggangku. Dapat aku rasakan bulu-bulu kasar di selangkangannya yang menempel di perutku dan kenyalnya dua buah dada itu.

Melangkah aku membawa istri kakak iparku yang berada dalam gendongan menuju ruang depan yang gelap. Lampu ruang depan yang berfungsi sebagai ruang tamu tidak dinyalakan. Penerangan hanya berasal dari lampu teras yang menyelinap masuk melalui ventilasi dan sela-sela gorden. Dalam keremangan malam, dapat kulihat ada dua set kursi di sana, yaitu satu set kursi kayu rotan dan satu set kursi sofa, sementara diujung sana terdapat tempat tidur.

Ruang tamu ini luas karena rumah-rumah di daerah sini, biarpun panggung, besar-besar karena tanah di sini masih murah dan kayu sebagai bahan utama pembuatan rumah juga murah dan tersedia banyak. Ada anekdot, anak-anak bisa bermain sepakbola di dalam rumah, saking besarnya rumah.

Istri kakak iparku, aku baringkan di sofa panjang. Menatap dia padaku, lalu,"Nanti ada yang mengintip, Amir."

Tersenyum aku menanggapi ucapannya. Kucium bibirnya sekilas, lalu beralih ke sisi ujung sofa itu. Bersimpuh aku dan kuambil dua kakinya, mendekatkan ke ujung sofa dimana aku bersimpuh.

Pahanya bergantian aku cumbu sementara tanganku mengelus-elusnya. Cumbuanku di pahanya kian ke atas, kian naik mendekati kemaluannya.

"Ah...."Istri kakak iparku mendesah panjang dan pantatnya terangkat meninggi ketika lidahku bermain di belahan memanjang yang tersaput bulu-bulu halus miliknya.

Aku terus mencecapi kemaluannya sementara satu jariku masuk ke dalam lubang kemaluannya.

"Suara apa itu, Amir?"Istri kakak iparku menahan kepalaku yang berada di antara dua pahanya.

"Suara apa?"Melalui dua pahanya aku mendongak ke arah wajahnya yang terangkat.

"Amir tidak mendengarnya?"

Aku menegakkan kepala. Dapat aku menangkap derap langkah di depan rumah. Ada pula suara beberapa orang. Berpandangan kami. Istri kakak iparku duduk mengangkang di depanku. Dia hendak turun dari sofa, tapi aku tahan. Jari telunjuk aku letakkan di bibir, meminta dia untuk diam.

Kepanikan tersirat di wajah istri kakak iparku manakala orang-orang yang berada di depan rumah mulai memanggil-manggil namanya. Kalang kabut kami jadinya. Dengan tergopoh-gopoh, istri kakak iparku turun dari sofa.

Karena tidak ada jawaban dari dalam rumah, langkah-langkah kaki itu kini bergegas menapaki teras rumah. Istri kakak iparku berlari menuju ruang tengah dan aku menyusul. Mukena yang berserak di lantai, diambilnya. Aku pun mengambil pakaianku dan langsung berjalan cepat menuju kamar tidur, tempat tadi aku mendatanginya. Dari pintu belakang kamar tidur, aku menengok ruang belakang, sepi. Tidak terdengar suara orang. Pintu luar pun masih tertutup. Jadi, aku bisa sedikit bernafas lega karena, bila ruang belakang kosong, aku dapat melarikan diri bila terancam. Segera aku mengenakan celana dalam, menutupi selangkangan dengan kain sarung, dan berkaos kembali.

Keramaian masih terdengar. Aku yang berada di kamar tidur itu, coba mengintip dari balik pintu kamar. Untung saja anak gadis kecilnya tetap tidur di tengah kehebohan. Tapi, siapakah orang-orang yang menggeruduk kami malam ini? Apakah ada yang mengetahui kehadiranku di rumah ini? Akankah hubungan terlarang ini telah diketahui orang dan malam ini adalah kesempatan mereka melakukan penggerebekan? Aku tidak tahu. Yang pasti aku harus bersiap menyelamatkan diri agar tidak tertangkap basah.
Maaf. Ada kesalahan teknis pengiriman. Semoga nyaman membacanya.
 
Edit aja suhu. Ganti tulisannya dengan dopost. Hehehe...
thank you sudah update suhu...
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Gw jujur menikmati alur ceritanya..kontra character alim tapi binal hehe
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd