Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG That's Why I Love the Moon.

Status
Please reply by conversation.
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
EPISODE 2.2.


Apa yang kalian harapkan dari akhir sebuah kisah roman percintaan dua insan manusia? Tentu saja akhir yang membahagiakan. Itu pasti. Tanpa terkecuali aku. Masih terasa kelembutan bibir Fey semalam yang ku kecup untuk terakhir kalinya. Rasa itu masih terus berputar di dalam kepalaku. Seperti potongan adegan dalam film yang acak dan bertubi-tubi menyerang bagian Hipokampus otakku. Hati dan pikiranku seakan bertempur selepas pertemuan yang menyakitkan bagi Fey semalam. Seluruh indera pada tubuhku serasa tidak berkoordinasi dengan baik. Hingga akhirnya kini aku berakhir di sebuah meja dengan botol-botol Sake bergelimpangan di hadapanku.

Kursi-kursi di restoran Pizza bernuansa otentik ini sudah naik ke atas meja. Lilin minyak dekorasi meja masih menyala, lidah api kecilnya masih kuat membakar sumbunya. Entah berapa botol Sake yang ku tenggak sampai aku tidak sadar tertidur hingga restoran tutup. Sedikit aneh memang, restoran makanan khas Italia tapi menyediakan minuman alkohol asal Jepang.

Terdengar sayup-sayup True Heart menggaung ke seluruh ruangan. Salah satu nomor klasik milik grup musik The Oak Ridge Boys ini perlahan membangkitkan kesadaranku. Kepalaku masih berat. Selain karena Sake semalam, juga karena tubuhku yang tidak bisa beristirahat begitu saja. Aku memicingkan mata ke arah bar, ku lihat Daniel sahabatku, si pemilik restoran ini tengah sibuk menyiapkan panggangan Pizza-nya. Memasukkan kayu-kayu bakar ke dalam tungku tradisional selayaknya di Italia. Di tengah gempuran restoran Pizza moderen yang menjamur di seluruh penjuru kota, Daniel masih mempertahankan cita rasa Pizza khas Italia dengan cara tradisional.

Hoaaahhhmmm!

Aku menguap sekuat tenaga tanpa peduli sekitar. “Eh, gue ketiduran ya?” kataku sembari mengucek mataku yang terasa pedih. Sepertinya aku memang tertidur di meja ini dan Daniel sengaja membiarkan kondisiku sekarang ini. Memang sahabat terbaik.

“Lo kalo tidur berisik hahaha! By the way, sarapan?” celetuk Daniel mendekati mejaku dan meletakkan piring berisi setangkup French Toast. Ia dengan cekatan membereskan botol-botol Sake yang berserakan di atas meja, seketika aku tidak enak hati dibuatnya... Huft... aku hanya bisa merepotkan saja.

“Waduh, jam berapa sekarang? Kenapa lo enggak bangunin gue aja sih?” cicitku sambil meraih segelas air putih yang dibawa Daniel bersamaan dengan roti isi yang tengah aku santap. Memang dasarnya Chef, walau Cuma roti isi keju biasa dengan lumuran susu kental manis di atasnya, tapi lidahku merasakan sentuhan tangan profesional dalam proses penyajiannya. Permukaan luar roti yang kering dan renyah, namun tetap moist di dalam karena lelehan keju yang terasa gurih juga lembut. Sebuah kenikmatan yang hakiki. Sambil menghabiskan French Toast, pandanganku menyapu ke seluruh sudut restoran. Tidak terlihat satu pun karyawan Daniel yang datang. Masih terlalu pagi aku rasa.

“Lo tidur nyenyak banget, ya iyalah... Sisa stok Sake gue lo tenggak semua, Kampret! Gini nih kebiasaan lo. Kalo galau pasti ujung-ujungnya mabok.” Dengusnya sambil menyulut sebatang rokok filter. Lantas ia menuju bar dan membuang seluruh botol Sake ke dalam tempat sampah.

Dengan langkah sedikit gontai, aku menuju meja bar untuk mencari kopi. Bagiku, pagi tanpa secangkir kopi adalah kehampaan. Akan ada yang terasa kurang menjalani keseharian tanpa mencecap kopi di pagi hari. Setelah beberapa saat menelisik meja bar, aku hanya menemukan sedikit bubuk kopi yang sudah digiling halus. Wangi aroma kopi itu pun semerbak mengisi rongga hidungku... Aaahhh... Robusta dari Lampung rupanya. Kopi jenis ini memang cocok dinikmati saat pagi hari. Tanpa berlama-lama, aku langsung memanaskan air menggunakan pemanas listrik. Setelah ku rasa cukup, aku menyeduhnya dengan metode Tubruk.

“Bikinin gue juga dong, bro...” ujar Daniel yang sedang merapikan meja bar setelah memeriksa tungku panggangan Pizza.

“Bikin sendirilah! Gue masih pusing gini juga.” Ketusku sambil berlalu. Namun Daniel dengan sigap mencegahku. “Enak aja lo! udah ngabisin stok Sake, tidur sembarangan, gue bikinin sarapan lagi. Udah bikinin cepet, yang barista lo, bukan gue, Angga!” protes Daniel. “Hadeuuh... iye, iye. Gue bikinin.” Aku pun menyerah karena keadaan. Benar juga katanya, aku sudah sangat merepotkannya semalaman dan mungkin Daniel ingin mencicipi kopi buatanku meski dengan cara sederhana. Baiklah...

-o00o-​

“Nih, kopi lo...” singkatku saat menyodorkan cangkir kopi.

Thank’s, bro... Hmmmm, wangi banget kopinya. Gue enggak bakalan bisa nyeduh kopi seenak ini. Lo udah ada di level expert. Beda sama Angga yang gue kenal 3 tahun lalu yang bisanya rapat sambil selingkuhin Defi yang super hot mom haha” Daniel tertawa puas sementara aku hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya.

Ya, Daniel dan restoran ini adalah saksi kelakuanku beberapa tahun lalu. Dari semua wanita yang pernah bersamaku, hanya Vio yang belum pernah ku ajak ke sini. Restoran ini adalah tempat teraman bagiku dan pasanganku yang lain untuk bertemu. Defi, Lidya, Dyaningsih hingga Fey pun pernah duduk di kursi restoran ini. Sekedar berbincang lalu berlanjut entah ke mana.

“Ngomong-ngomong, kenapa semalem lo? Kayaknya berat banget sampai tepar begitu.” Selidik Daniel. Hmmm... pertanyaan itu membuatku teringat akan kejadian malam tadi bersama Fey. Rasanya aku enggan membicarakannya, namun aku harus berterus terang pada Daniel sebagai rasa terima kasihku karena telah menampungku tadi malam. Apa lagi ia sudah menyediakan Pizza Handmade terbaik seantero Jakarta, ditambah Sake yang membuatku mengawang sejenak melupakan kejadian semalam.

“Gue putus sama Fey tadi malem.” Ucapku datar.

“Uhukkk! Serius lo?” Daniel tercekat mendengar kata-kataku barusan ketika menyeruput kopi. “Kok bisa? Bukannya lo itu sosok superhero dia sedari kecil?” lanjutnya.

“Gue udah enggak bisa lanjut... Terlalu melelahkan. Gue enggak bisa mengimbangi ego dia yang makin hari makin membuat gue tertekan...” kataku sambil memutar-mutar cangkir kopiku di atas meja. “... Kita juga jarang ketemu karena jadwal dia yang makin padat. Ditambah dia seakan pengen show off ke semua orang kalau dia punya pacar yang bisa di kontrol tanpa sepengetahuan penggemar garis kerasnya dan managementnya. Apa lagi lo tahu kalo posisi gue istri sah Vio dan Dyaningsih. Buat gue, itu sangat ceroboh.” Aku menyulut sebatang rokok berperisa mangga kesukaanku. Asap mengepul seiring ku hembuskan udara dari rongga mulutku. Seakan semua beban pikiranku semalam menghilang bersama asap itu.

Daniel nampak berpikir keras. Telunjuknya mengetuk-ngetuk pelan cangkir kopinya. “Hmmm... berat juga masalah lo. Tapi tindakan lo itu ada bener. Di satu sisi, karir Fey sedang menanjak dan itu bisa membahayakan karir sekaligus diri Fey sendiri jika bertindak ceroboh...” Daniel pun mereguk kopinya sedikit demi sedikit. Lidahnya menyecap-nyecap, seakan mencari after taste yang lain dari kopi Robusta yang cenderung pahit. “... Apa lagi fans dia yang kata lo garis keras. Bisa-bisa lo ditelanjangin rame-rame di tengah monas hahaha.” Seloroh Daniel.

“Hahaha... sekalipun ketahuan, mereka enggak akan tahu siapa dan di mana gue. Gue kan hantu hahaha” ujarku membela diri.

“Ya... ya... ya... terserah Raden Angga si tukang colok lobang perawan hahaha”

“Sianying! Tapi bener juga sih ahahaha...”

Tidak ada yang lebih menyenangkan ketika kita sedang berada dalam kedalaman palung paling dalam dari proses hidup, para sahabat datang memberikan uluran tangan tanpa pamrih. Aku sungguh beruntung mempunyai sahabat seperti Daniel yang bisa menjadi pendengar yang baik. Bahkan aku sedikit lebih banyak berbicara dibanding semalam yang lebih memilih diam, meneguk Sake sambil melahap Pizza handmade istimewa hasil tangan cekatan Daniel secara Cuma-Cuma. Ditemani kopi, makin membuat aku dan Daniel terlarut dalam berbagai macam obrolan...

Sesungguhnya pagi hari adalah waktu yang paling tepat untuk meminum kopi dan berkontemplasi.

Matahari mulai meninggi dari posisi awal ia terbit. Aku mengintip jam di ponsel Androidku menunjukkan sudah waktunya untuk restoran Pizza ini untuk buka. Salah satu karyawan Daniel yang datang lebih awal mulai menurunkan satu per satu kursi dari atas meja. Ku putuskan untuk membasuh wajahku di wastafel dan berpamitan dengan Daniel.

Thank’s, bro buat Sake sama Pizza-nya, tahu aja gue lagi kere.” Ujarku terus terang.

“Bukannya lo kere terus ya tiap hari? Lo kan laki yang mokondo, modal kontol doang hahaha” balas Daniel ringan saja.

“Kampret! Lo kalo ngomong suka pas mulu ya? Okelah, ojek online gue udah nunggu di depan. Yuk, jalan dulu.”

“Okesip, ati-ati. Salam buat Bob ya. Sukses buat opening-nya besok!”

“Siap!” Perlahan motor ojek online yang aku pesan meninggalkan kawasan Pondok Indah untuk menuju kedai kopi milik Bob. Hari ini aku harus mulai men-setting alat-alat kopi untuk persiapan pembukaannya esok hari.

-o00o-​

@ Kedai Kopi Bob, Kawasan Jalan Percetakan Negara.

Deru mesin grinder kopi bagaikan simfoni terindah bagiku dan saat ini aku sedang menggiling beberapa gram beans houseblend dari roastery kedai milikku, Cups~en~Ciel. Semerbak harum kopi yang baru saja aku giling dengan tingkatan fine grind itu pun langsung menyeruak menyerang reseptor-reseptor indera penciumanku. Lalu ku masukkan gilingan kopi tadi ke dalam tamper. Aku mencoba alat presso hasil berburu di lapak-lapak online paling direkomendasikan oleh teman-teman sesama barista. Pegasnya masih mantap dan crema presso yang dihasilkan masih terlihat baik. Kemudian ku nyalakan steamer untuk memanaskan 150 ml susu murni segar hingga berbuih. Lalu, aku menuangkannya ke dalam cangkir yang telah berisi single espresso tadi dan membuat latte art berpola rosseta sederhana.

Voila! Secangkir Coffee Latte siap aku sajikan untuk Bob.

Sluuuurrp!

Bob sangat antusias mencecap Latte buatanku. Ia nampak menganggguk-anggukan kepalanya. “Gimana?” tanyaku singkat dan sangat ingin tahu. “Beuh, enak banget sumpah! Seger banget.” Pujinya. “Engga salah lo gue serahin buat cari mesin kopi. Biar second tapi kualitasnya masih bisa bersaing dengan yang baru sekalipun.” Sambung Bob kembali.

Namun, menurutku secangkir kopi enak bukan karena mesin kopinya saja. Tetapi juga bahan baku terbaik merupakan faktor yang utama. Mulai dari komposisi biji untuk houseblend yang aku pilih berdasarkan pengalamanku beberapa tahun ke belakang dan kualitas kesegaran susu untuk dibuat menjadi foam yang apik. Dan Bob sendiri telah merasakannya sendiri sensasi single shot Espresso berpadu dengan gurihnya susu. Aku yakin Bob sekarang mulai menyukai kopi tanpa gula.

Senyum terkembang di bibirku. Melihat tingkah laku sahabatku bak anak kecil menemukan mainan kegemarannya yang telah lama hilang. Beberapa kali bahuku ditepuknya. Aku pun merasa yakin akan masa depan kedai ini. Aku pun menjadi bersemangat. Ku kepalkan sebuah tinju yang direspon sama oleh Bob. Kedua kepalan kami Saling beradu. “Kita majukan kedai ini, bro!” ucap Bob dengan wajah sumringah.

“Terus rencana lo selanjutnya gimana? Besok masih di sini kan buat opening? Barista temen lo udah siap kan?” Bob bertubi-tubi menanyaiku bagai senapan mesin sedang ia tidak sadar bahwa orang yang dia maksud sudah berada persis di belakangnya. “Nah, ini dia orangnya!” sergahku. Bob pun menoleh ke belakang dan menemukan sesosok laki-laki berambut gondrong yang menenteng jaket jeans hitam, tubuh penuh tatto dan celana jeans sobek-sobek. “Kenalin, calon barista lo, namanya Andi” kataku mengenalkan Andi pada Bob. Bob sangat antusias menjabat tangan Andi.

Andi termasuk teman seperjuanganku. Ia kini tinggal di Jakarta setelah lama malang melintang menjadi barista di skena kopi pulau Bali. Bakatnya meracik kopi tidak perlu diragukan lagi karena kami sama-sama belajar dari kakaknya, Bang Jack. Pemilik dari Kedai Bang Jack di Bandung.

“Oh, halo... Gue Bob. Wah, tampang lo udah barista banget, nih! Mohon bantuannya ya?” ujar Bob berusaha mencairkan suasana. Andi membalas menyalami Bob. Ia hanya tersenyum bisa saja. Memang sudah karakternya, tidak banyak bicara namun gesit bekerja dalam bidangnya.

“Pake Piston ya, kang? Good choice” seru Andi seraya mendekatiku sembari mengeluarkan apron dari tas Alpina miliknya. Tak banyak bicara, Andi langsung mengambil biji kopi sesuai takarannya, menggilingnya dan membuatnya menjadi single espresso. Dilanjutkan dengan membuat foam dan menyulapnya menjadi sebuah gambar motif merak yang cantik dan ia sajikan pada Bob. Ah, Andi... sungguh pribadi yang tidak pernah basa-basi. Mungkin secangkir latte ini bagaikan surat lamaran Andi untuk Bob. Bob hanya mengangguk-angguk dan segera mencicip kopi buatan Andi. Seakan ia tahu seluk beluk kopi padahal ia sendiri masih awam. Hanya dari segi pengalaman bisnis yang mumpuni saja sehingga Bob berani terjun ke dunia perkopian.

Hingga menjelang tengah malam, aku, Bob, Andi dan Bang Darman masih membereskan kedai. Semua dipersiapkan dengan matang untuk persiapan grand opening kedai yang di beri nama Bob’s Coffee ini. Terdengar norak memang, tapi masa bodohlah. Semakin norak biasanya akan semakin mudah dikenal. Kalau ada yang bertanya rekomendasi tempat ngopi, pasti yang diingat adalah kedai Bob.

“Eh, Ngga... Besok Fey lo ajak ke sini kan? Lumayankan buat narik fansnya buat ngopi-ngopi di sini?” ucap Bob saat aku sedang menyeduh kopi Arabica Lintong untuk kami nikmati setelah kami seharian penuh berberes. Sial, ia mengingatkan hal yang seharusnya sudah aku lupakan seharian tadi.

“Ehmmm... Bob, gue udah enggak sama Fey lagi.” Bob memandangku dengan tatapan tidak percaya.

“Lu yang diputusin ya? Seorang Angga mana mungkin melepas cewek secantik Fey hahaha.” Aku hanya tersenyum getir mendengar tanggapan Bob. Sudah sepatutnya aku menerimanya, biarlah seperti itu adanya. Lagi pula, aku adalah “hantunya” Fey dan tidak semua orang harus tahu kisah kami.

Drrrrt!

Ponselku bergetar di atas meja saat kami berempat sedang beristirahat di salah satu sudut kedai. Siapa? Lho, April? Ada apa tengah malam begini ia meneleponku?

“Halo?”

A’a?”

“Iya?

Di mana?”

“Masih di kedainya Bob, kenapa?”

Share location dong, A’? aku mau mampir. Belum mau pulang kan?”

“Oh, iya... nanti aku share location-nya. Enggak kok, masih lama. Baru aja selesai beres-beres. Paling juga Aa’ nginep di lantai 2 kedai.”

Oke, April ke situ sekarang. Dah, Aa’...”

“Daaaah, hati-hati di jalan...”

“Siapa?” Tanya Bob ingin tahu setelah aku mengakhiri panggilan.

“April” balasku sambil mencicip kopi Lintong seduhanku yang masih mengepul.

“April siapa lagi nih? Gila ya, stok cewek lo enggak ada abis-abisnya dah!” umpat Bob dengan sedikit menoyor kepalaku. Sekali lagi aku hanya bisa menerima perlakuan Bob dengan senyum simpul. Ya, mau tidak mau aku harus menerima “kutukan” ini. Ketika semua laki-laki ingin didekati oleh banyak wanita, aku sendiri malah ingin melepas “kutukan” ini. Rasanya aku ingin bertukar jiwa dengan seseorang selamanya. Berat rasanya. Kalian tidak akan kuat.

-o00o-​

Malam terasa sangat dingin untuk ukuran kota Jakarta yang padat dan berpolusi tinggi. Bob sengaja membuka semua jendela di kedai agar sirkulasi udara tetap baik di setiap ruangan. Namun aku merasakannya berbeda. Aku merasa kegerahan. Meja di beranda depan kedai menjadi pilihanku untuk melepas lelah. Sedikit memisahkan diri dari Bob yang sedari tadi akrab dengan Andi di bar. Sebatang rokok filter ku nyalakan dan ku hisap dalam-dalam. Sekedar menemaniku menikmati waktu istirahatku sambil menikmati semilir angin malam yang tidak terlalu kencang berhembus.

Sesaat setelah batang rokok pertamaku habis, aku melihat sorot lampu mobil mengarah ke parkiran. Nampak seorang gadis dengan cardigan hitam kebesaran dan rok tanggung berjalan ke arahku setelah mengunci mobilnya, wajahnya ditutupi masker penutup wajah. Sudah pasti itu adalah April.

“Hai, Aa’... Lama ya nunggunya?” Sapa April sambil langsung duduk di sebelahku. Tiba-tiba ia meraih tanganku dan mencium punggung tanganku.

“Eh, eh... Enggak usah gini juga, jadi enggak enak, berlebihan ah!” aku bersungut, April hanya tertawa dan makin menggenggam tanganku erat.

“Maaf ya lama. tadi abis perform, nganterin Mauly pulang dulu. Ngomong-ngomong, April seneng deh bisa ketemu sama Aa’... Eh, itu minuman apa A’?” Cerocos April yang langsung mengambil cangkir kopi di hadapanku.

“Cuma kopi seduhan biasa aja kok...” jawabku. Sepertinya kegiatan April malam ini sangat padat sehingga ia butuh minuman yang menyegarkan.

“Icip boleh?”

“Eh, jangan! Itu kuat banget. Nanti kamu susah tidur. Kamu kan capek abis kegiatan...” Cegahku pada April untuk meminum kopi yang ku racik. Bukannya sok perhatian tapi memang efek kopi itu sendiri yang aku anggap tidak akan begitu enak ke perut April.

“Hmmm... Ya udah deh.” Ujarnya dengan wajah kecewa. Ia nampak celingukan melihat ke dalam kedai. “Aa’ buatin cokelat hangat aja ya? Mau?” tawarku.

“Mauuuu... Ada? Berapa?” balasnya manja.

“Santai. Masih belum buka kedainya. Yang punya juga Bob ini, jadi masih gratislah. Oke, tunggu bentar ya?”

Baru saja aku sampai di bar, kepalaku sudah menjadi sasaran empuk jitakan Bob. “Sialan lo, Ranggalawe! Baru aja lepas dari cewek cantik muka galak favorit gue, eh... udah ada cewek lucu nyamperin aja. Bangke!” Aku hanya mendengarkan cicitan Bob sambil menyiapkan cokelat panas untuk April. Tidak ada tanggapan berlebihan dariku. Hanya ekspresi datar dan kemudian ngeloyor dengan santainya menghampiri April dengan satu cup cokelat panas yang siap dinikmati oleh April.

“Selamat menikmati. Kalau kurang manis, nanti Aa’ ambilin gula”

“Makasih A’...” segera April meniup cokelat panas yang aku sajikan dan menyeruputnya perlahan. “Awww... panas... panas... ssssh!”. Lucu sekali ekspresi gadis mungil ini.

-o00o-​

Kami habiskan sisa malam yang ada dengan berbagai macam obrolan. Tak sedikit keluh kesah terselip di antara pembicaraanku dengan April. Beranda depan kedai ini cukup nyaman dengan dekorasi rangkaian lampu bercahaya lembut yang baru saja terpasang, menambah kesan romantis untuk siapa saja yang datang ke sini. Langit kelam Jakarta tiba-tiba bercahaya oleh bulan yang belum mencapai fase purnama nan sempurna. Wajah April yang sebelumnya terlihat lelah, perlahan menjadi berseri-seri. Aku merasakan siklus yang sudah tidak asing lagi dan membiarkan momen-momen kebersamaanku bersama April mengalir begitu saja. Mengisi satu ruang kosong tanpa syarat apapun yang menghalangi. Secepat inikah aku menyukai gadis ini dengan bulan sebagai saksinya? Wajah ayu khas Pasundan dengan kulit putih langsatnya semakin berpendar ditimpa sinar bulan malam ini.

“A’... Tahu enggak? April suka sekali sama bulan.” Ucapnya seraya menggenggam tangan kananku. Ia menatapku dalam-dalam. Mataku menangkap adanya harapan yang tinggi terpancar dari mata bulat-nya. Namun sebagian diriku masih menyangkal. Apakah harus secepat ini?

“Ehmmm... Aa’ pernah baca di bio twit**ter April sih kayaknya. Tapi alasanya mending denger langsung dari orangnya. Jadi... kenapa suka bulan?” tanyaku beralasan sambil berusaha melepaskan tanganku pelan-pelan, sayangnya April masih kukuh berusaha memegangnya sedikit memaksa.

“Aku suka bulan karena ia tidak pernah mengkhianati malam. Cahanya selalu setia memperindah gelapnya malam hahaha... Apa sih...” Racau April tidak jelas. “Pokoknya mah kalau lihat bulan perasaanku jadi tenang. Mungkin ini terasa bodoh, ya... Tapi April merasa jodoh April juga sedang melihat bulan yang sama sekarang... Tapi enggak ketemu-ketemu sama jodohnya nih... Enggak tahu deh kalau sekarang hahaha...” sambung April penuh dengan umpan. Aduh, mata bulat itu... mata bulat yang berkilat oleh sinar bulan... sedang menatapku penuh harap. Tidak, Angga... Jangan secepat ini jatuh cinta. Tahan.

“Terus, kenapa sampai sekarang belum ketemu jodohnya? Aku yakin kamu cukup mudah dalam menarik perhatian cowok.”

“Aku benci cowok zaman sekarang. Rata-rat genit. Pada cabul, aku mah jijik!”

“Lha terus, berarti kamu sukanya cewek dong?”

“Ih, enggak gitu juga atuh Aa’... April masih normal. Masih suka sama cowok kok... Nih... nih...” sambar April yang tiba-tiba meraih tangan kananku dan mengeluskannya ke arah pipi gembilnya yang halus. Sebuah kode keras yang sangat aku pahami di luar kepala. “Hehehe... Kirain kamu... Ehmmmm...” Aku menggantungkan kalimatku dan kembali meneguk kopiku yang mulai dingin demi menutupi diriku yang tengah salah tingkah.

Keheningan menyelimuti kami beberapa saat. “Emang... Uhmm... Aa’ enggak ngerasain apa-apa gitu waktu kejadian di mobil kemarin?” Tanya April memecah keheningan ini dengan suara yang mulai parau. Kasihan sekali April ini... Ia sungguh kelelahan.

April tertunduk lesu. Memang apa yang ia harapkan saat itu? Aku hanya bisa menatap kecantikannya malam ini meski tanpa riasan yang berarti. Walau terlihat lelah... Kamu memang cantik.

“Ehmmm... Waktu di mobil... Aku minta maaf banget. Aa’ Khilaf... Aku seharusnya enggak boleh melakukan itu... Aku minta maaf karena sudah melecehkan kamu...” jujur aku menyesal sekali saat itu dan sampai sekarang.

“Tapi aku enggak merasa dilecehkan, A’... aku... suka...” April setengah terbata mengucapkan dua kata terkahir. Tunggu...

“Suka apa?”

“SUKA SAMA AA’!” Balas April setengah berteriak...

Mati kau Angga. Satu lagi wanita jatuh cinta karena “kutukanmu”

“Iiiih malu tauk!” Seketika April menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Kakinya bertubi-tubi menghujam lantai. Ia menggeleng tidak karuan. Lucu sekali melihatnya salah tingkah seperti ini. Dasar gadis muda.

“Kamu tahu kan Aa’ mantannya Fey sekarang, apa kamu enggak risih?”

“Hhhh... Tolong jangan bahas dia kalau kita lagi berdua. Pokoknya jangan bahas Fey... Maaf, A’... aku udah enggak suka sama dia sejak...” April menoleh ke arah lain. Ia menggantung kalimatnya yang membuatku jadi penasaran.

“Dia kenapa?”

“Dia noyor kepala aku di backstage. Bikin bete!”

Aku menahan tawa yang hampir saja meledak. Lucu sekali ia bisa sangat benci dengan Fey karena hal yang sepele. “Kenapa? Emang kamu ada salah?” tanyaku kembali sambil menguasai diriku lagi.

“Aku salah? Duh Aa’ lupa? Kita kan pernah bertemu pandangan waktu pertunjukan ulang tahun Fey. Aa’ kan di sana. Aku inget banget Aa’ pake kupluk warna hitam.” Ah, waktu itu... dasar umur, kadang suka lupa dengan hal-hal tertentu.

“Oh, waktu itu... Iya sih. Tapi serius lupa kalo pernah lihat-lihatan sama kamu haha” kilahku. Hmmm... kenapa Fey bisa seperti itu? Padahal yang dilakukan oleh April adalah bagian dari profesionalisme dia sebagai idola. Apa ya istilahnya? Ah, iya... eyelock... menurutku eyelock adalah salah satu bentuk fans service dari idola untuk penggemarnya. Sehingga fans yang menjadi korban “tatapan maut” sang idola merasa seperti diperhatikan... Padahal itu bagian dari bisnis agar fans kembali dan kembali lagi menonton pertunjukkan mereka.

Ya, terlepas dari siapa aku dan Fey saat itu... Tapi sepertinya “eyelock” adalah sumbu permasalahan April dengan Fey. Mungkin.

“Ih, tuh kan nyebelin!” Aku tertawa melihat tingkah kekanakan April yang menggemaskan. Bibirnya terkatup rapat dan merengut. Tangannya terlipat di depan dadanya. Padahal kalau diingat lagi, umur April lebih tua setahun dibanding Fey. Aku rasa malam ini akan sedikit lebih panjang.

“Jadi kenapa sampai ditoyor? Gara-gara eyelock?”

“Tauk ah... Mungkin Fey enggak suka Akang Angga-nya di godain cewek lain. Padahal eyelock itu bagian dari tugas aku biar fans baper.”

“Kenapa harus Aa’? kan banyak yang nonton waktu itu.”

“Enggak tahu juga, akunya juga random... Tapi aku kan tahu Aa’, si Fey mah suka cerita kalau nginep di kost. Akunya jadi penasaran hehehe.”

“Ya, jelas ditoyorlah... Pacar orang digodain hahaha.”

“Emang hobinya bikin sirik aja si Fey... Nge-betein sumpah.”

Kembali suasana menjadi hening. Hanya sayup-sayup suara obrolan Bob dan kawan-kawanku dari dalam dan angin yang berhembus pelan menerpa kami berdua yang tengah terdiam.

“Kenapa harus sirik? Aku kan biasa aja, enggak ada yang menarik deh perasaan.” Aku kembali menyeruput sisa kopiku, aku teguk hingga tandas.

“April juga cewek biasa, A’... Aku butuh perhatian.”

“Sendirinya juga udah banyak yang merhatiin kok, ribuan malah!”

“Iiih Aa’! Bukan itu maksudnya...” April memukul manja lenganku.

“Ya terus apa dong? Aku enggak ngerti maksud kamu.”

“Hih, ngeselin! Maksud aku pacar a’... pacar!” Ia menekankan kata pacar dengan mantab. “... Buat aku peluk, buat disayang... Tapi... Kebanyakan cowok mah modus sama nafsu doang...”

Entah mengapa aku makin terbawa arah obrolan yang makin menjurus frontal. Ya, sudah ikuti saja pikirku. “Bukannya Aa’ juga gitu ya? Kebawa nafsu terus minta maaf pake alasan khilaf?” Ucapku jujur. April terdiam sejenak mendengar perkataanku.

“Hmmm... iya juga sih, nakal Aa’... eh, emang nakal ya? Jawab, selain Fey siapa lagi yang udah Aa’ ajak bobo bareng? Ngaku!” April begitu antusias menanyaiku. Ia mendorong tubuhku yang sudah lelah seharian tadi hingga membuatku hampir terjatuh dari tempatku duduk. Gila, badan mungil tapi tenaganya besar. Luar biasa.

“Eh, apaan sih? Kok kamu jadi kepo gitu sih? Hmmm... siapa aja ya? Satu... Dua... Aduh, aku lupa hahah” godaku pada April sambil berpura-pura menghitung karena memang aku juga sudah lupa.

“Bodo ah, betein sumpah. Aa’ jahat!” dengusnya sambil menyilangkan kedua tangan tepat di depan dadanya yang justru malah menghimpit bongkahan payudara sintalnya. Hal itu membuat mataku langsung fokus pada pemandangan indah itu. Sungguh April mempunyai bentuk tubuh yang menarik. Tubuh langsing dengan dada yang berukuran di luar kewajaran.

“Oh, jahat ya? Tapi kok kamunya mau aku jahatin? Kok kamu enggak teriak waktu kejadian di mobil kemarin?” April melotot ke arahku dan membuang pandangannya ke arah berlawanan seakan tidak butuh. Namun seketika ia menutup mulutnya seakan menahan tawa.

“Iya, ya... kenapa aku enggak teriakin maling sekalian ya? hihihihi...”

“Mungkin itu karena good girl always love...”

“A bad guy... ya kan?” potong April meneruskan kalimatku. “Awalnya aku kaget karena aku yang mancing-mancing. Kirain Aa’ bakal enggak tergoda nyatanya malah kepancing... Aku enggak masalah... Tapi gimana ya... duh, aku bingung... Kayaknya alu beneran suka sama Aa’...” Di antara sikapnya yang makin salah tingkah, terselip perasaan suka padaku. Ini terlalu mendadak...

“Secepat ini? A-aku... Aa’ masih belum bisa sepertinya...” Ucapku terbata dan sedikit memelas. April menghela nafasnya dan tersenyum kepadaku. Mata bulatnya sangat berbinar. Aku melihat ketulusannya yang justru membuatku makin bimbang apakah aku harus menerima pernyataan cintanya.

“Iya, April ngerti A’... Aku akan berusaha keras buat membuka hati Aa’ lagi... Kata orang usaha keras itu tak akan mengkhianati, kan? hahaha” Sungguh menggemaskan melihat April yang terlampau jujur dan lepas. Derai tawanya membuatnya makin mempesona malam ini.

“Eh, kayak kenal kata-kata itu? Kayak pernah denger di mana gitu hahaha”

“Apaan sih Aa’.... ahahah!”

Malam makin larut. Sudah hampir 2 jam aku dan April mengobrol. Bob mengisyaratkan untuk menutup kedai dan berkumpul sejenak untuk briefing rencana pembukaan kedainy nanti. Aku tidak lupa mengenalkan April kepada Bob dan beberapa rekan yang membantu di sana. “Bob, gue anterin April dulu ke depan ya?” Kataku meminta izin. Bob hanya mengacungkan jempol tanda ia memperkenankanku.

Kami berjalan menuju mobil April yang terparkir paling ujung. Ia nampak sesekali menguap dan terlihat letih dan sampailah kami di samping sebuah Terios warna Putih berplat nomor daerah Bogor. April membuka pintu dan meletakkan barang bawaannya di kursi penumpang depan, memposisikan dirinya di belakang kemudi untuk bersiap mengendarai mobilnya.

“Hati-hati nyetirnya...” ujarku basa-basi.

“Hoaaaahmmm... Iya, udah ngantuk nih...” balas April sedikit mengucek matanya yang agak sembab.

“Emang kost-nya di mana?”

“Lumayan sih kalau dari sini.”

“Yakin kamu masih sanggup nyetir sampai kost?” Kembali aku meyakinkannya. Aku sedikit khawatir jika melihat keadaannya sekarang. Mata yang mulai mengantuk dan tubuh yang sudah letih dihajar kegiatan padat seharian ini pasti akan mempengaruhi konsentrasinya dalam berkendara.

“Entahlah... Aa’ mau nganterin aku?”

“Hmmm... Boleh. Dari pada nanti ada apa-apa di jalan.”

“Beneran? Terima kasih A’! Aa’ memang baik hati, sini atuh...” Ajak April seraya memindahkan bawaanya ke kursi tengah dan selanjutnya ia bergeser ke kiri kursi penumpang. Aku pun bersiap mengambil alih kemudi dan segera mengantar April. Tak lupa mengirimkan pesan Whatsapp pada Bob bahwa aku akan mengantarkan April pulang agar Bob tidak kebingungan karena aku tidak segera kembali ke kedai.

-o00o-​

“Ke arah Tugu Tani aja A’...” ucap April sambil menunjuk rambu petunjuk arah berwarna hijau dan putih. Aku pun mengikuti petunjuk arahnya dan berbelok kanan. Sudah hampir 15 menit kami berjalan menyusuri jalanan kota Jakarta yang lengang menjelang dini hari. Ditemani playlist random dari iPhone April yang terhubung dengan kabel aux ke perangkat audio mobil bawaannya. Sebuah lagu Jepang lawas terputar secara acak. Tunggu... Ini kan Sparkle-nya Tatsuro Yamashita? Hmmm... Selera musik April tinggi juga ya. Tapi aku tidak terlalu terkejut mengingat April memang sedari dulu menyukai hal-hal berkaitan dengan sub-kultur Jepang sejak remaja.

Sejenak ku arahkan pandangan pada April. Ia nampak beberapa kali menguap sepanjang perjalan tadi. “Capek banget ya?” Kataku sambil tetap berkonsentrasi memegang kemudi. “Banget. Tapi malam ini adalah malam paling membahagiakan buat April... Terima kasih ya, A’...” Kata April. Ia spontan memeluk lengan kiriku dan menggelayut manja. Aku yang sedikit terkejut hanya bisa tersenyum melihat wajah polosnya. April nampak nyaman menyandarkan tubuh rampingnya di sisiku. Mendadak lagu yang berirama menyenangkan berubah menjadi dentingan piano khas Kiroro. Suasana berubah menjadi sendu dan terasa romantis. Sebenarnya aku malah akan membuatku mengantuk, namun melihat April yang nyaman dengan suasana seperti ini, mau tidak mau aku harus menikmatinya.

Beberapa saat kemudian, sampailah kami di depan gerbang kost April. Sebuah kost eksklusif tiga lantai yang nampak cukup mewah dengan arsitektur minimalis. Aku rasa fasilitasnya setara dengan hotel berbintang. Terlihat satpam yang berjaga segera membukakan gerbang teralis besi yang cukup tinggi. Aku buka sedikit kaca jendela mobil untuk menyalami si satpam. “Parkir di situ aja...” kata april menunjukkan area parkir yang kosong. Segera aku menuruti arahannya.

“Eh, ini kost-an campur ya?”

“Iya, kebanyakan sih artis-artis gitu yang nge-kost. Eh, Mampir dulu yuk A’...”

“Duh, enggak dulu deh. Nanti enggak enak kalo dilihat sama penghuni kost lain.” Aku sengaja beralasan karena aku takut terjadi sesuatu yang aku inginkan jika hanya berduaan di kamar hahaha.

“Iya sih, hmmm... atau kita mau colongan aja? Mau?” April masih tidak menyerah untuk memintaku mampir sejenak. “Eh... Eh... nakal ya? Enggak boleh nakal lho.”

“Sesekali nakal kan enggak apa-apa... Kalo keseringan itu namanya kebiasaan haha” canda April.

“Sering ya?”

“Apanya?”

“Masukin cowok ke kamar kost? Hmmmm...”

“Ih enak aja! Enggak pernah sama sekali! Aa’ mah gitu. Aku cewek baik-baik ya!”

April pun segera turun dari mobil. Sepertinya aku sudah terlampau batas dalam bercanda. Sial, punya mulut enggak bisa difilter kayak kopi dagangan sendiri. Segera aku turun dari mobil berlari menuju April yang nampak tergesa-gesa.

“Maaf...” ucapku yang telah menangkap tangan kanannya. Langkah April terhenti. Aku letakkan kunci mobilnya tepat di telapak tangannya dan mengatupkan jemarinya. Aku sedikit memberikan remasan lembut di sana. April terlihat tertunduk seakan tidak mau melihatku. “Aa’ mah...” Ucapnya pelan dengan nada sedikit bergetar. April pun sedikit menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Nafasnya sedikit sesenggukan menahan air mata yang berkumpul di ujung kelopak matanya yang menyipit.

“Maafin aku... aku salah bicara tadi” sesalku dengan senyum terbaik yang bisa aku berikan padanya.

“Iya, April maafin...” Katanya dengan senyum terpaksa. “... Enggak boleh kayak tadi lagi. Aku sama Fey itu sama. Sama-sama gadis yang butuh kasih sayang dari laki-laki yang disukai.” Ucapannya membuatku makin menyesalkan perkataanku tadi. Terlebih ia menyebut nama Fey, semakin membuatku merasa bersalah. Dari pada aku makin berdosa, lebih baik aku segera pergi dari sini.

“Aa’ balik ke kedai ya?”

“A’...”

“Ya, Pril?

“Boleh aku peluk Aa’?”

Belum aku memberikan persetujuan, April sudah menubrukkan dirinya dan melingkarkan tangannya dipinggangku. Hangat tubuhnya seketika terasa menjalar ke seluruh tubuhku. Harum parfum Fijian Water Lotus yang menyegarkan pun merebak di seluruh rongga pernafasanku. Sesekali April mengendusi tubuhku layaknya kucing peliharaan yang rindu pemiliknya. Aku pun membalas pelukannya. 20 detik. Tidak kurang. Tidak lebih.

Setelah puas memelukku, April mengendurkan pelukkannya dan segera meninggalkanku masuk ke dalam kostnya.

“Aa’ Angga...” Panggil April.

“Iya, April? Ada apa?” refleks aku membalikkan badan.

“Kalau berubah pikiran, kamar aku di lantai 2, nomor 13 ya?”

Hadeeeeuh... Masih saja April bersikeras untuk mengajakku mampir sebentar, namun aku menggeleng seraya tersenyum dan bergegas keluar gerbang kost-an April.

Aku mengeluarkan ponsel Android bututku, membuka aplikasi ojek online andalanku untuk mengantarku kembali ke kedai milik Bob. Tidak lama kemudian, ojek online yang aku pesan telah datang. Aku pun berlalu meninggalkan kost April.

Tidur yang nyenyak, gadis bulanku.

-o00o-​

Hmmmm... akhirnya hari ini berakhir juga. Apa lagi ditutup dengan malam yang menyenangkan buatku. Pengennya sih enggak mau berakhir. Ya, meski Aa’ tadi bikin aku bete, tapi intinya membahagiakan. Aku tahu ini terlalu cepat, tapi aku tidak tahan untuk mengatakan perasaanku sebenarnya. Setidaknya aku merasa lebih lega meski Aa’ belum mau untuk menerimaku sebagai kekasihnya. Ahhh... bau tubuhnya masih terasa di ingatanku. Sepertinya aku harus segera menuliskan kejadian hari ini di notes. Aku tidak mau ingatan hari ini berakhir begitu saja.

Aku meraih tas yang ku letakkan di atas meja belajarku dan segera mengambil notes yang tersimpan di tempat khusus di dalamnya. Aku pun mulai menggoreskan tinta pulpen di atas kertas notes yang telah menguning. Sebuah notes warisan dari Kakak Sepupuku yang telah berpulang sedari aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Bagiku, notes itu adalah perwujudan kontak batinku dengan Kakak sepupuku itu...

Dear, moon notes...

Akhirnya saat ini tiba , saat-saat aku bisa memeluk Aa’

Aku bahagia , cici... aku sangat bahagia hari ini

Apa yang ku ragukan lagi ?

aku sudah separuh jalan, aku tidak akan mundur, ci...

Awalnya memang aku hanya dendam kepada temanku , eh... mantan teman

Tapi setelah aku mengenal Aa’

Aku jatuh cinta...

Cici jangan marah, ya?

Aku sayang cici kok...

Aku bakal jaga Aa’ untuk cici

Selesai deh... Hoaaahmmm... Udah ngantuk, saatnya tidur. Semoga nanti di mimpi bisa ketemu Aa’... hahaha apaan sih. “Selamat malam A’, semoga kamu mimpi indah di bawah sinar bulan malam ini. Aku sayang Aa’...” batinku.

Tok... tok... tok!

Eh, siapa sih jam segini yang ngetok-ngetok? Ganggu aja orang mau tidur. Eh, apa jangan-jangan itu Aa’ ya? Apa dia berubah pikiran, terus balik lagi ke sini? Wah, kalo bener aku mau peluk Aa’ sepuasnya... Sampai pagi pun enggak boleh aku lepas. Aku pun tergesa-gesa menuju pintu. “Iya sebentar...” aku pun bersemangat membukakan pintu dan...

“Katanya enggak mau mampir, kok balik la...” Aku menghentikan kalimatku.

“Lho... kok... Lo...”

To Be Continued.

Hmmm... Akhirnya bisa update lagi setelah sekian lama ya, terima kasih yang sudah setia menunggu. Eh... ngomong-ngomong, siapa ya kira-kira yang datang malam-malam ke kost-an April? Simpan rasa penasaran anda di update selanjutnya.

Dan lagu yang dipakai untuk episode kali ini adalah :

The Old Ridge Boys - True Hearts

Tatsuro Yamashita - Sparkle

Glosarium :

Houseblend : Hasil pencampuran 2 jenis biji kopi atau lebih berdasarkan pengalaman roaster / pemilik kedai kopi. Biasanya houseblend merupakan menu utama untuk dijadikan sebagai ciri khas suatu kedai.

Tamper : Alat untuk memadatkan bubuk kopi pada portafilter (wadah ekstraktor kopi)

Fine Grind : Salah satu tingkat gilingan kopi, Tidak terlalu kasar namun juga tidak terlalu halus. Biasanya dipakai untuk menyeduh menggunakan V60 atau Aeropress

Crema : Cairan berwarna kuning tua yang muncul pertama kali saat ekstraksi yang mengambang di atas espresso

Steamer : Alat untuk memanaskan susu untuk mendapatkan busa susu yang biasanya disajikan untuk Cappucino atau Latte

Foam : Busa / Buih

Rosetta : Salah satu motif umum latte art dalam penyajian kopi dengan susu
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd