Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG That's Why I Love the Moon.

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Anggap aja spin-off macem Rogue One-nya Star Wars heheh



Gue lebih geli kalo lagi tidur dikutekin jarinya kayak temen gue... Romantis asli.

Shiitt :bata:
kok asa apal ya

Apal lah :pandajahat: kmu kan alesha fans club with @Japer =))

Mau ketawa tapi TS udah panjang nulis ceritanya,,,,,,,,, udah dapet juga ijin dari @BHDB pula. Yasudah klo gitu lanjutin aja deh ceritanya. Segelintir orang yg di summon juga bakalan tau betul nih cerita ini
=))

Kakak :kangen: udh cembuh ? Ktnya suckit :(
 
Kang angga ko enggak satu2 aja dulu di kelarin tar malah gak ke urus semua loh. ..
 
Asa aya nu nyebut nyebut nami urang di dieu :|
Ternyata si bangke :bata:

Btw... who is alesha ??? Teu kenal da... secara blm liat daleman nya, tara di bere ku bangke hiji nu ngaku na mah sodara, tp pelit jir.
:sendiri:

Bkn ga ngasih , dia nya sendiri yg ga mau , katanya takut klo gede2 trus bengkok :sendirian:
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
April mop ini mah huahuahua panjang bener si kopi klo ud nulis. :ngacir:

Hahaha maafkan saya, Om. Suka ga bisa di rem euy kalo nulis. Makasih ya udah mampir.

April minta di penyuin.....

Dipenyuin? Maksudnya? Hahaha

Asa aya nu nyebut nyebut nami urang di dieu :|
Ternyata si bangke :bata:

Btw... who is alesha ??? Teu kenal da... secara blm liat daleman nya, tara di bere ku bangke hiji nu ngaku na mah sodara, tp pelit jir.
:sendiri:

Minta kenal sama Om BHDB ja, om Japer. Kalo ga mau disabet aja. Ctarrr!

Kang angga ko enggak satu2 aja dulu di kelarin tar malah gak ke urus semua loh. ..

Hahaha bingung ya? Saya ga bakalan bosen bilang kalo ini spin off dari cerita Diction. Meski dalam payung yang sama, tapi beda penulis. Semua tulisan di tiap episodenya telah disetujui oleh yours truly, @BHDB

bentar ini kan storynya YTH kakang raden angga kusuma ;)

Sudah di jawab ya barusan ehehe. Genjreng bass dulu atuh mang

Menarik dan ditunggi cerita berikutnya

Terima kasih. Harap bersabar ya.

------

Hmmm... How about teaser for episode 2? Anyone?
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
EPISODE 2.1.


Deru nafas kami saling memburu, udara di dalam mobil mulai terasa pengap, bahkan AC mobil ini saja tidak bisa meredam panasnya nafsu jasmani kami. Aku masih sibuk memainkan klitoris April sambil meremas dadanya yang kenyal dan padat. Sesekali putingnya yang menegang ku sentil-sentil dengan ujung telunjukku, Aku sangat suka dengan dada wanita seperti April, tidak terlalu besar namun firm di telapak tanganku. Bibirku tengah menikmati leher putih dan jenjangnya, tak ada satu sudut leher terlewat oleh sapuan lidahku. Tercium pula wangi parfumnya yang menggoda indera penciumanku. Wangi parfum Black Musk racikan The Body Shop dengan aroma Vanila yang manis dan lembut, tidak terlalu menyengat ketika aku menghirupnya. Sangat cocok untuk gadis seumuran April yang sangat aktif, lincah dan energik. Rasanya aku telah mabuk dengan aroma ini...

Tunggu dulu... Tidak... Ini salah... Salah banget.

“Hhhh... Maafin Aa’...” aku menghentikan sentuhanku di vagina April. Nafasku masih terasa berat, degupan jantungku masih berada dalam tempo cepat dan aku merasa sangat bersalah setelahnya. Mata April terlihat sayu karena birahinya yang mulai memuncak. Terlihat raut kekecewaan dari wajahnya. Wajar saja, ketika kamu sudah gejolak hasrat seksualmu sudah di atas ubun-ubun lalu berhenti begitu saja. Terlebih April bersatus sebagai seorang idol yang diikat oleh “aturan” tidak tertulis namun disepakati oleh masing-masing anggota agency, tentu saja ia sangat merindukan sentuhan di titik-titik sensitifnya. Maaf, April... perbuatanku tadi hanya kekhilafanku saja. Apa aku mencintaimu? Sepertinya belum. Aku ingin mengenalmu lebih jauh.

“Hhh... Kenapa, A’?” April masih memelukku, ia sepertinya enggan melepas pelukan di tubuhku. Tubuhnya yang mungil masih terus menggelayut manja. Rambutnya yang wangi Apel pun tercium oleh hidungku. Segar.

“Maaf, April... aku khilaf tadi. Kita seharusnya enggak melakukan ini. Aku masih ada Fey. Aku harap kamu bisa ngerti.” Kilahku. Ku lepaskan tangannya yang melingkari pinggangku lalu mengelus rambut April. “Ya, udah. Sekarang kita terusin perjalanan kita. Takut kamu terlambat kegiatannya.” Ia hanya tersenyum. Entah apa maksud senyum itu. Senyum ketulusan atau kekecewaan. Tak perlu berlama-lama, mobil ini pun ku bawa melaju ke arah Senayan.

-o00o-​

Kami telah tiba di pelataran parkir basement sebuah mal di Senayan. Mengambil posisi parkir di pojokan basement agar tidak terlalu mencolok oleh pengunjung mal. Perjalanan tadi tidak terlalu memakan waktu lama. Meski sedikit terhambat di sekitar Bundaran Senayan karena proyek MRT yang tengah dikerjakan oleh pemerintah Jakarta.

“Nuhun ya, A’... Udah mau anterin aku...” ucap April berterima kasih.

“Sama-sama, April.” Kataku singkat.

“Mmmmm... A’...” April sedikit ragu meneruskan ucapannya.

“Iya, April... Ada apa?”

April sedikit tertunduk. Jemarinya terkatup di atas pahanya. Ia tidak bisa menyembunyikan keraguannya dan aku hanya bisa menebak-nebak apa yang ingin ia katakan.

“A’... Mmmm... Peluk lagi boleh?” Ujarnya malu-malu. Kedua tangannya terentang bagai anak kecil yang mengharapkan pelukan dari orang yang dia sayang. Aku pun tersenyum melihat tingkah April yang menggemaskan ini. Aku amati keadaan sekitar, memastikan tidak ada orang di sekitar kami, mengingat di sini adalah “zona merah” bagi kami yang mengetahui seluk beluk mal tempat April melakukan pertunjukan. Ku peluk tubuh mungil April yang mulai ku hafal lekukannya. Tangan April melingkar erat di pinggangku, kepalanya tersandar di pundak kiriku. Hangat tubuhnya terasa olehku.

“Aku suka di peluk Aa’...” kata April lirih tepat di telingaku. Kata-katanya membuatku sedikit terhenyak, ditambah lembut suara dan desiran nafasnya yang menyapu leherku, membuatku hatiku merasakan sebuah vibrasi yang aneh. Aku sendiri tidak dapat mendefinisikannya, apakah ini yang namanya nyaman? Tidak, ini terlalu cepat. Belum saatnya, Angga.

Kami saling melonggarkan pelukan di tubuh masing-masing. Setelah itu, April mengambil barang-barang bawaannya yang ada di kursi belakang mobil.

“Nuhun, A’ sekali lagi. Aku kegiatan dulu ya?” Ucap April dari sisi luar pintu mobil yang belum ia tutup sepenuhnya.

“Iya, sukses buat pertunjukkannya nanti, kasih yang terbaik, oke? Aa’ duluan ya?” balasku. April hanya mengacungkan jempolnya. Kemudian, aku berlalu meninggalkan April yang melambaikan tangannya. Ia seperti anak kecil nan menggemaskan. Hmmm... di sinilah aku biasa menjemput Fey. Tentu saja secara sembunyi-sembunyi. Tak jarang satpam atau petugas parkir memalakku walau sebatas sebatang rokok atau recehan yang hafal sosokku meski aku bergonta-ganti kendaraan. Ya, beginilah pengorbananku. Mulai dari waktu, biaya yang tidak sedikit serta perasaan yang selalu tertindas ketika aku bersama Fey. Aku muak. Tapi... Apakah aku akan mengulangnya ketika bersama April? Ah, tak tahulah...

-o00o-​

Di sebuah rumah, pinggir jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat.

“... gue kasih tahu, Bob. Sudut ini bukan buat nyimpen sofa” ucapku mendebat Bob. Saat ini aku sedang membicarakan tata letak furnitur calon kedai kopi milik Bob kelak. Rumah peninggalan zaman kolonial ber-arsitektur klasik ini cukup besar dengan parkiran yang cukup menampung sekitar 7 mobil. Terletak di depan jalan besar 2 arah yang cukup ramai khas Jakarta. Tidak tahu persis siapa pemilik sebelumnya, apakah milik keluarga Bob atau rekannya. Sedari tadi aku hanya terfokus pada lembaran kertas putih yang sudah penuh oleh coretan pensilku. Aku dan Bob sedang berada di beranda depan rumah, beberapa pekerja sedang memperbaiki bagian rumah yang sudah usang. Kira-kira 90% bisa dibilang sudah layak pakai, tinggal menunggu alat-alat kopi datang. Setelah itu tinggal menatanya dan siap untuk soft launching.

“Hmmm... oke-oke... bagus kok. Eh, ngomong-ngomong lu tahu enggak kalau di samping rumah ini banyak pemandangan indah di sore hari?” Aku menaikkan sebelah alisku mendengar pernyataan Bob barusan.

“Widiiiih... kalau jendelanya kita buka, kita bisa lihat cewek-cewek malem sore-sore gini hahaha” ujar Bob terkekeh. Lantas aku mengerti apa yang Bob maksud. Terang saja, jalan kecil samping rumah ini adalah jalan menuju perkampungan belakang. Di sana banyak sekali tempat kost yang menurut cerita Bob ditinggali oleh para pekerja malam. Mungkin PL atau terapis spa? Entahlah, aku tidak tahu persis juga. Tapi sedari tadi banyak pengendara ojek online berlalu lalang mengantar pesanan makanan. Ah, dasar cewek-cewek pemalas.

“Besok semua alat-alat dateng, jadi kita bisa langsung setting. Eh, gimana sodara lu? Ada kabar?” tanyaku soal saudara Bob yang tinggal di Bali. Seorang Barista di salah satu hotel berbintang di sana. Lulusan sekolah Pariwisata di Bandung. Meski sudah hidup berkecukupan di sana, Ia mau membantu Bob menjalankan usaha kedai kopinya ini.

“Oh... Si Hari ya? Kayaknya Lusa dia baru bisa datang. Orangnya asyik. Tipikal barista banget. Lo bakal nyambung pokoknya kalo udah ngobrol.” Balasnya. Hmmm... dari cerita Bob, aku bisa menebak karakter Hari. Barista... Sekolah Pariwisata... Bali... Hotel berbintang... seems I know him so well. Sepertinya ia akan sangat detail dan presisi dalam meracik kopi. Kita lihat saja lusa apakah feel-nya secanggih teorinya.

“Terus, pegawai lainnya gimana?” tanyaku lagi.

“Mmmm... sementara gue berdua dulu sama Hari. Toh rencananya kedai gue buka dari sore sampai malam. Paling kalo mendesak pun gue ambil satu pegawai lagi buat bantu-bantu dikit.” Jelas Bob yang aku tanggapi dengan anggukan kecil.

“Hoooahmmm... Udah sore nih, kemana nih kita? Nge-bir yuk?” tawarnya sambil meregangkan tangan dan menguap lebar. Huh, dasar pemalas. Beruntungnya dia punya banyak modal dari kedua orang tuanya di Bandung, belum saudaranya di Jakarta yang tentunya punya nominal harta yang tak sedikit pula.

“Ah, males gue. Lagian ada janji juga gue abis ini.” Seketika, Bob memicingkan matanya padaku.

“Yaelah... Janji sama siapa lagi sih? Mantan Bini lo, Lidya? Oh, atau cewek yang suka pake masker kemana-mana itu, siapa namanya? Lo belum kenalin ke gue, bangsat!” Dengusnya tak karuan. “Eh, itu cewek penyakitan ya? Tiap bareng lo pasti pake masker terus. Atau jangan-jangan giginya nongol semua ya hahaha.” Bob tertawa puas. Sialan, seenak udelnya aja ngatain Fey. Ya... begitulah keadaannya saat aku jalan dengan Fey. Masker selalu terpasang menutupi sebagian wajahnya. Mau tidak mau, aku harus mengerti mengingat ia banyak dipuja oleh fansnya yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Aku tidak mau bermasalah dengan fans fanatiknya yang banyak dan terkenal militan. Bahkan aku iri dengan mereka yang bisa melihat Fey dalam keadaan cantik, siap menggoda para fans-nya yang duduk termangu di barisan depan melihat pesonanya. Sementara aku? Hanya bisa melihat sebagian wajahnya polos tanpa sentuhan tata rias dan masker yang setia menutupi sebagian wajahnya.

Tapi, mereka tidak bisa melihat “kepolosan” tubuh sintalnya saat kami hanya berdua di kamarnya bukan? Hahaha.

“Gue berangkat sekarang aja deh Bob. Titip laptop ya? Besok gue ke sini lagi.” Pintaku sambil menyimpan laptop ke dalam tas dan menyerahkannya pada Bob.

“Lah, anterin gue pulang dulu sih. Bawa aja dulu mobil gue.” Ah, iya. Dasar, Aku kan bawa mobil Bob sejak dari Bandung. Dan Bob ke sini naik jasa Taxi Online.

“Mobil lo aja yang bawa deh, biar gue pake ojek aja.” Kataku sambil menyodorkan kunci mobilnya namun ditolaknya. “Eh, garasi rumah gue penuh. Ada mobil Om gue sama mobil gue satu lagi. Masa gue parkirin depan rumah? Bawa aja udah sono, lagian lu mau nginep di mana, hah? Bukannya lagi bokek lu? Emang bisa sewa hotel? Nginep tempat gue aja sono, sekalian tuh bawa cewek lo yang giginya nongol tuh hahaha!” sindirnya telak. Tapi tidak sampai aku ambil hati.

“Halah, bawa mobil juga kudu isi bensin, belum macetnya. Males! Udah lo bawa aja. Urusan nginep kalo engak ada tempat, baru gue ke rumah lo ya hehe.” Kilahku. Bob pun menyerah dengan kegigihanku dan menerima kunci mobilnya.

Ya, tekadku sudah bulat untuk segera menemui Fey. tidak peduli di mana tempatnya, yang aku pedulikan hanya membereskan semuanya tanpa ada yang tersakiti. Semoga saja.

-o00o-​

Senja mulai menguning di langit Jakarta. Perlahan ojek online yang aku tumpangi mulai mendekati lokasi yang dikirimkan Fey. Sebuah apartemen yang cukup mewah. Aku berhenti di tepi jalan sambil mencoba menghubungi Fey. Sudah 2 kali aku mencoba namun tidak ditanggapi olehnya. Apa Fey masih ada kegiatan ya? Aku pun tidak tahu jadwalnya hari ini, aku hanya menuruti apa permintaanya saja. Disuruh datang jam segini, ya aku tepati.

“Kruuuk~”

Sial, bisa-bisanya cacing di perutku berdemonstrasi minta diberi jatah di saat seperti ini. Aku pun melangkah ke arah lobi apartemen, terlihat ada beberapa cafe di sana. Namun beberapa langkah kemudian, aku mengurungkan niatku itu. Hadeuh... bisa-bisanya aku labil begini sekarang. Aku pun memutuskan untuk keluar area apartemen, sekedar mencari warung sederhana di sekitaran sini dan aku menemukannya tepat di samping area apartemen. Terdapat beberapa pengemudi ojek online sedang bercengkrama, melepas lelah setelah seharian mengantarkan penumpang atau membicarakan kelakuan penumpangnya yang kadang sangat ajaib. Aku menyapa mereka, sekedar berbasa-basi untuk permisi duduk bergabung dengan mereka. Tak perlu waktu lama, aku memesan segelas Jus Mangga dan semangkuk Mie Rebus dengan telur. Sederhana namun cukup memuaskan cacing-cacing di perutku ini.

Handphoneku berdering ketika makananku telah tandas aku santap. Rupanya dari Fey. “Akang di mana? Aku udah di apartemen nih. Langsung aja ke lantai 18 nomor 9 ya?” Ku iyakan saja perintah Fey. Tanpa berlama-lama lagi, aku segera menuju lobi apartemen setelah membayar semua pesananku. Ditemani oleh sekuriti apartemen, aku menaiki lift apartemen menuju unit yang Fey Maksud.

“Hai Akang, yuk masuk. Maaf tadi telponnya enggak aku angkat. Masih perform tadi.”Oh, rupanya ada jadwal show hari ini. Pikirku.

“Unit siapa ini?” tanyaku sesaat setelah Fey mempersilahkanku masuk. “Unit aku, Kak. Hai, apa kabar? Lama enggak ketemu ya? Terakhir di kedai Pizza-nya Bang Daniel ya?” Ujar gadis cantik bertubuh langsing dan semampai Ia terlihat sedang sibuk menghapus make-up pertunjukkannya hari ini.

Rupanya Fey tidak sendiri. Ia bersama Irene, sahabat baik Fey yang juga satu agency. Dan belakangan ini ia diisukan mempunya orientasi seksual menyimpang oleh fans-nya sendiri. Aku tidak percaya begitu saja. Bisa saja itu hanya gimmick dari manajemen-nya untuk sekedar menaikkan rating. Menyimpang apanya? Setahuku Irene pernah memacari salah satu komedian muda ternama. Belakangan diketahui sang komedian ini sudah punya pasangan alias Irene hanya dijadikan “ban cadangan”. Akibatnya, Fey-lah yang jadi sasaran pelampiasan kesedihan Irene. Sungguh malang percintaan Irene. Sudah dilarang pacaran, berusaha serapi mungkin dalam berhubungan, ujung-ujungnya Cuma jadi selingkuhan saja.

“Oh, Irene ya? Wah, pangling aku. Udah dewasa banget sekarang kamu.” Pujiku apa adanya. Namun, Fey terlihat tidak nyaman yang terwakili oleh gerak tubuhnya. Ia sedikit sensitif dengan kata “Dewasa”. Ya, dulu aku beralasan jika Fey terlalu kekanak-kanakan. Maksud hati memintanya untuk lebih dewasa dalam bersikap, tapi ia menanggapinya lain. Ia malah mengubah penampilannya menjurus sexy. Tak ayal fans-nya berang sejadi-jadinya. Fey pun menjadi bahan bully-an fans-nya sendiri. I felt sorry for her actually... Tapi, itu jalan yang ia pilih. Aku tidak berhak melarangnya.

“Akang, sini atuh. Kenapa jauh-jauhan sih, Fey kan kangen.” Ujar Fey manja. Menarik tanganku menuju balkon unit apartemen ini. Tubuhku hanya mengikuti arah tarikan Fey. Sumpah, rasanya aku enggan mendekat padanya sekarang. Aku merasa segan mengingat tujuanku bertemu Fey malam ini. Tidak... Aku harus menyelesaikannnya sekarang juga.

Fey menggeser pintu balkon dan berbalik ke arahku, merentangkan kedua tangannya tanda ingin mendapatkan sebuah pelukan. Aku menghela sedikit nafas lalu segera memeluk Fey. 20 detik. Seperti biasanya aku memberikan pelukan padanya, namun rasanya tidak sehangat dulu. Entah apa yang Fey rasakan sekarang. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Sadar akan Irene yang geli memperhatikan kemesraan kami ini, aku segera melonggarkan pelukanku.

“Cieee... yang lagi jatuh cinta. Ah aku pulang ke rumah aja deh. Takut ganggu.” Tunggu, dia mau pulang? Tidak, jangan sekarang. Jangan sampai Fey sendirian menghadapi kenyataan kalau aku memutuskan hubungannya denganku. Aku butuh Irene untuk menguatkan Fey. Aku takut Fey akan berbuat nekat.

“Eh, jangan pulang dong, please...” rengekku memohon agar Irene mau tetap di sini. Aku sendiri agak risih jika harus ditinggal berdua dengan Fey.

“Iya, iya deh... Hoaaaahm... Udah malam. Aku mandi dulu ya. Kalian bisa pake kamar sebelah. Anggap aja aku enggak ada di sini. Paling juga aku denger kalian berisik semalam suntuk hahaha” canda Irene sambil menanggalkan jaket yang sedari tadi ia kenakan sejak aku masuk ke unit apartemennya, ia nampak lelah, mungkin karena jadwal show-nya beberapa jam yang lalu. Ya, Irene sudah biasa mendengar desahan dan erangan kami saat bercinta. Sungguh aku merasa kasihan dengan fans Irene. Di mata mereka, Irene adalah sosok bidadari yang kalem dan santun. Namun di balik itu semua, Irene tidak sepolos yang mereka kira. Mendengar aktivitas seksual sahabatnya sendiri, di dalam unit apartemennya saja sudah terbiasa, apa lagi hanya membohongi penggemarnya hanya untuk berpacaran dengan komedian?.

Irene pun bersiap membersihkan diri. Ia mengambil handuk di kamarnya dan menuju kamar mandi. Tak berselang lama, terdengar suara percikan shower dari arah kamar mandi. Sementara aku dan Fey berpelukan di balkon, memandangi kerlap-kerlip lampu gedung, diiringi oleh suara deru mesin kemacetan jalanan ibu kota dari kejauhan.

“Akang seminggu ya di sini? Gimana kedainya? Beres?” tanya Fey yang telah bersandar di dadaku, sambil berusaha menyilangkan tanganku di pinggangnya. Ia sangat nyaman duduk dipangkuanku. Kami sengaja duduk di lantai balkon yang ditata sangat “girly” oleh Irene yang notabene lulusan terbaik DKV di salah satu perguruan tinggi swasta Jakarta. Paling tidak, ia punya rasa untuk mendesain huniannya sendiri.

“Besok udah mulai di-setting, alat-alatnya juga udah pada datang malam ini. Semua perencanaan akang pasti tepatlah. Enggak mungkin salah. Kopi houseblend-nya juga akang yang racik.” Seruku membanggakan diri. Fey semakin merapatkan tubuhnya di pelukanku, ia semakin nyaman dengan posisinya sekarang ini. Dan itu membuatku semakin ragu, apakah aku harus mengutarakan maksudku sekarang? Atau aku harus menunggu lagi untuk kesekian kalinya? Sial, kenapa aku jadi bingung sekarang? Tidak, tidak... aku harus mengatakannya sekarang.

“Fey...” panggilku lembut sekaligus mengumpulkan keberanianku. “... ada yang mau akang sampaikan... Tapi, akang mau kamu jangan emosi, oke?” Fey membalikkan tubuhnya ke arahku. Ya, Tuhan... wajah ini... kepolosannya yang hanya bisa ia tunjukkan padaku... seakan menusuk tepat di jantungku. Masih sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Gadis kecil lincah dan penuh ambisi. Bedanya hanya lebih dewasa saja secara fisik.

Maafkan aku, Fey. Aku harus mengatakannya sekarang...

“Iya, Kang? Ada apa?” Aku mengusap pipi lembut. Fey pun memegang tanganku. Ku arahkan ibu jariku ke arah bibir Fey yang masih bergincu merah tebal. Ku usap sedikit tepiannya dan membuat gincu itu sedikit melebar meninggalkan bekas yang menurutku seksi.

“Aku Cuma mau bilang ini sekali saja dan untuk terakhir kalinya...” Fey menatapku dalam-dalam. Terpancar rasa ingin tahu yang sangat besar dari matanya. Aku masih tetap mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan kata-kata itu... Ayo, Angga... ini saatnya. Sekarang, atau tidak sama sekali.

Aku sedikit menarik nafas...

“Setelah apa yang kita jalani selama ini, akang merasa semua ini tidak akan ada ujungnya... Jujur akang sayang sama kamu, tapi akang sudah merasa lelah dengan semua kepura-puraan ini... Akang mau kita jalani hidup kita masing-masing... Akang mau kita berhenti di sini saja... Maaf...”

Seketika mimik wajah Fey berubah menjadi sendu. Ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya akan pernyataanku barusan. Jujur, aku tidak ingin menatap wajah Fey saat ini.

“Kang, kamu bercanda kan? Bilang kalo semua ini enggak bener... Kenapa, Kang? Apa aku ada salah? Tolong kang, katakan kalo kamu Cuma bercanda...” Ujar Fey meyakinkanku. Ia mencoba tersenyum meski matanya mulai berkaca-kaca. Air mata mulai menggenang di ujung kelopak matanya. Kebingungan mulai melanda dirinya. Segudang pertanyaan mungkin telah muncul di dalam kepalanya.

Aku harus kuat.

“Cukup, Fey... semakin ke sini akang semakin sulit mengikuti arah hubungan ini. Aku capek, Fey... Masalah akang di Bandung juga banyak...” tegasku tak kalah meyakinkannya.

“...Maaf, aku bukan bermaksud mencampakkan kamu. Tapi aku melakukannya demi kebaikan kita juga. Karir kamu sedang cemerlang dan aku sendiri enggak bisa kasih jaminan apa-apa untuk masa depan kita, kamu tahu kan posisi aku gimana sekarang? Sekali lagi maafkan Akang, ya? Kamu tenang aja, kalau kamu butuh pertolongan, Akang siap bantu kamu. Aku janji.”

Fey hanya bisa terisak berusaha menahan tangisnya agar tidak jatuh. Tapi tetap saja, sekuat apa ia menahannya, air matanya tetap meleleh. Aku menyeka air matanya dengan ibu jariku, berharap ia lebih tenang. Setidaknya aku masih ingin melihatnya tersenyum kembali... meski tidak seperti dulu lagi.

Fey memeluk tubuhku tiba-tiba. Lebih erat dari sebelumnya. Tangisnya sudah tidak bisa terbendung lagi hingga membasahi kaosku. Ia menangis sejadi-jadinya, meluapkan segala bentuk emosinya. Semuanya terasa menyayat seperti sembilu di hati ini. Semua demi kebaikan kami. Terlebih aku yang tidak ingin menjadi bagian hidup Fey di balik gemerlap topengnya. Fey kemudian menatapku penuh amarah. Ia sangat kacau dengan maskara yang meleleh di bawah kelopak matanya karena tangisannya.

“Ini pasti karena ada orang lain kan, kang? Pasti karena akang mau balikan sama Nona Lidya kan? Atau Akang punya yang lain lagi? Jawab, kang... Jawab!” seru Fey seraya mengguncang-guncangkan tubuhku. Aku hanya bisa mencoba berusaha menenangkannya dengan mengelus pipinya.

“Enggak, bukan karena orang lain... Akang masih sama Teh Dya kok. Akang bahkan udah lama enggak ketemu Lidya. Aku berani bersumpah, keputusan akang ini murni dari diri sendiri, bukan dari orang lain. Maafin Akang ya? Tolong untuk terakhir kali kamu coba mengerti akang seperti aku coba mengerti kamu selama ini, ya?” aku berusaha untuk tersenyum setulus yang aku bisa, meski hati ini sudah tidak kuat menghadapinya.

“Tolong, kang... Fey masih sayang akang... jangan lakukan ini ke Fey... Aku akan lakuin apa aja demi Akang!” Teriak Fey sejadi-jadinya. Ia memukul-mukul dadaku dengan sisa kekuatan yang ia punya. Ia berteriak bagaikan orang kesetanan sampai Irene yang baru saja merapikan diri keluar dari kamarnya. Ia tampak keheranan, menemukan aku dan Fey dalam situasi yang sangat menyedihkan. Aku yang sungkan dengan Irene, mencoba berdiri dari posisi dudukku namun Fey merangkul pinggangku, menahanku agar tidak mengubah posisiku.

“Akang tega sama Fey! Fey masih sayang sama Akang... Tolong jangan lakuin ini... Jangan tinggalin Fey, Kang aku mohon!” Fey mengiba sekuat yang ia bisa, tangisannya sudah berubah menjadi raungan yang malah membuatku merasa sangat bersalah. Irene hanya bisa mematung di depan pintu kamarnya. Mungkin ia terkejut dengan situasi yang mengharu biru saat ini. Ia ingin melangkah ke arah kami namun ia urungkan sedetik kemudian. Mungkin karena sikap kedewasaannya yang telah matang sehingga ia tidak mau mencampuri urusanku dengan Fey... Meski di hatinya ia ingin sekali menolong Fey, sahabatnya.

Namun... Ada yang sedikit mengganjal di dalam diriku.

Aku menangkap ada sedikit garis senyuman di bibir Irene saat kami saling bertatapan tadi sementara Fey masih menggelayuti pinggangku. Entah apa maksud senyumnya tadi, tapi aku merasa ada makna tertentu dari senyum itu.

Aku berusaha melepaskan pelukan Fey selembut mungkin agar ia makin tidak terasa tersakiti oleh sikapku. Aku mencondongkan tubuhku ke arah Fey. Ku pegang kedua sisi pipinya yang telah basah oleh tangisannya. Aku tatap dalam-dalam matanya dan mengecup hangat bibirnya. Sebuah ciuman terakhir yang disaksikan oleh gemerlap malam ibu kota dan Irene yang masih tidak berubah dari tempat ia berdiri saat ini.

Jujur... Fey terlihat sangat cantik. Sangat. Cantik.

Aku pun segera meninggalkan Fey yang masih berusaha menahan tubuhku dengan sisa usaha yang ada. Namun ia sudah tidak cukup kuat menerima keadaan dan hanya bisa berlutut tanpa bisa melakukan apa-apa kecuali menangis sekuat yang ia bisa. Maafkan aku Feydora, gadis kecil menyebalkan yang sempat merebut hatiku selama beberapa tahun ini. Selamanya kamu akan jadi gadis kecil yang aku kenal saat pertama kali kita berjumpa.

“Titip Fey, ya... Ren” ucapku sambil menepuk Bahu Irene menuju pintu unit apartemennya. Sayup tangis Fey perlahan menghilang, seiring aku menutup pintu dan berjalan menjauh, mengikuti lorong lurus menuju lift. Meninggalkan masa lalu yang suatu saat akan menjadi legenda bagi orang-orang yang mengenalnya...

To Be Continued
Hmmm... Kasihan ya Fey sampai hancur kayak gitu. Awalnya saya belum ingin posting episode ke-2 ini. Entah kenapa waktu menulis part putusnya Fey dan Angga, saya merasa tidak kuat untuk melanjutkan... dan karena merasa "gantung" juga, akhirnya saya memutuskan untuk membagi episode 2 ini menjadi dua bagian. 2.1 dan 2.2. Itung-itung membayar kewajiban saya yang belum bisa melanjutkan episode 2 ini sampai selesai, selain karena tidak kuat menulisnya, juga karena kesibukan pindahan ke ibukota. Kira-kira bagaimana ya lanjutannya?

Sabar dulu ya, simpan dulu rasa penasaran anda.

Sampai jumpa di update selanjutnya
 
Terakhir diubah:
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd