Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT THREESOME, DRAMA DAN DILEMA

CHAPTER 14

Wulan bergegas meninggalkan counter check in setelah menyelesaikan administrasi penerbangannya. Ia tidak memperdulikan panggilan Evan yang meneriakkan namanya dengan cukup lantang, sehingga beberapa orang yang lalu lalang menoleh kearahnya dengan pandangan menyelidik. Langkah Wulan terhenti di jalur pemeriksaan X Ray karena antrian yang cukup panjang. Ia tahu Evan berhasil menyusulnya. Tanpa menoleh ia melangkah perlahan mengikuti antrian yang bergerak maju.
"Moon ....." terdengar suara Evan tepat dibelakangnya, ditingkah dengan nafasnya yang tersengal sengal dan genggaman tangannya pada lengan Wulan "Please .. bicaralah padaku atau katakanlah apa salahku hingga kau menjauh dariku seperti ini tiba tiba"
"Lepaskan tanganku" ujar Wulan singkat
"Tidak sebelum kau berjanji bicara padaku" tegas Evan
"Atau aku akan berteriak" desis Wulan mengancam seraya melemparkan tatapan tajam pada Evan
Evan melepaskan tangannya dari lengan Wulan. Sejenak tanpa bicara ia terus bergerak dalam antrian mengikuti Wulan.
Selepas antrian pemeriksaan X Ray Wulan terus melangkah sementara Evan masih terus mengikutinya. Wulan berharap mereka tidak duduk di kursi yang berdekatan di dalam pesawat nanti. Wulan mencari kursi kosong di ruang tunggu, mengeluarkan head set nya, memutar lagu dan duduk diam seraya membaca beberapa berita terkini dari layar HP nya. Waktu boarding masih 30 menit lagi dan ia tahu, Evan berada tepat disampingnya.
Evan tidak berbicara sepatah katapun, tapi Wulan dapat merasakan tatapannya kearah Wulan. Awalnya Wulan berusaha untuk tidak memperdulikan keberadaan Evan. Namun 10 menit berlalu ketika Evan tiba tiba berlutut dihadapannya dan menggenggam tangannya. Wulan terkejut, ia segera menarik tangannya dari genggaman Evan dan melihat sekeliling. Beberapa penumpang menatap mereka, sebagian menatap dengan pandangan aneh dan sebagian menatap dengan senyum melihat tingkah Evan. Wulan segera melepas head set nya dan mendesis
"Evan! Apa apaan ini?"
"Sebelum kau mau mendengarkanku, aku akan tetap berlutut seperti ini." ratap Evan "Sebentar lagi aku akan bacakan puisi untukmu atau menyanyikan lagu agar semua orang melihat kita."
Wulan terbelalak "Jangan lakukan itu! Coba saja .. aku tidak akan perduli" ujar wulan seraya meredakan gemuruh amarah dalam dadanya.
"Kamu kira aku tidak berani? Aku Don Juan seperti katamu, kamu kira ini hanya ancaman biasa?" bisik Evan seraya tersenyum "Don Juan akan melakukan apapun agar kekasih hatinya bertekuk lutut dihadapannya"
Wulan mulai merasa panik. Beberapa orang terlihat berbisik bisik seraya memperhatikan Evan yang terus berlutut dihadapannya. Wulan melihat Evan mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku bajunya, membuka lipatannya dan mulai membaca
"Aku yang mencintaimu ..." teriaknya, membuat Wulan bertambah panik. Beberapa penumpang mulai menoleh, mengira ini adalah proses seorang laki laki menyatakan cinta pada pasangannya seperti terlihat dalam reality show TV kenamaan.
"Stop!!!" desis Wulan "OK. 1 menit, dan aku akan mendengarkanmu bicara"
"Satu menit??" tanya Evan seraya bangkit dan duduk disamping Wulan. Ada senyum kemenangan di sudut bibirnya. "Hanya 1 menit? Come On Moon ...."
"59 detik" ujar wulan tak perduli. Ia mencoba mengusir rasa malu dibawah tatapan beberapa orang yang masih memandang mereka penuh tanya
"Tapi ... Moon, ini masalah serius. Tidak bisa hanya 1 menit" tawar Evan
"58 .. 57 ..." ucap Wulan terus berhitung
"OK .. OK Moon ... " ucap Evan akhirnya.
"Aku hanya mau bilang bahwa ... setelah kejadian itu, aku .. memutuskan untuk bercerai dengan istriku ..."
Wulan sedikit terkejut namun berusaha tetap tenang. Tanpa menoleh kepada Evan ia berkata dingin "Bukan urusanku"
"Tentu saja urusanmu .. karena aku katakan padanya alasanku ingin bercerai dengannya karena aku masih mencintaimu!" ucap Evan lagi. Kali ini ia berhasil mendapatkan perhatian wulan. Wulan menatapnya tajam. Mulutnya terbuka seperti ingin berkata sesuatu. Wajahnya memerah. Ia terdiam beberapa saat.
Sebelum sempat berkata kata, panggilan boarding untuk masuk ke pesawat terdengar. Wulan bergegas menarik koper kecilnya, berjalan menuju pintu boarding. Ia berharap bisa menghindar dari Evan sejauh mungkin. Evan mengikuti langkahnya, berusaha agar tidak berada jauh dari wulan.
"Satu menitmu sudah habis. Tinggalkan aku dan jangan ganggu aku lagi" ucap wulan sambil terus berjalan
"OK" ucap evan tak perduli "Aku akan diam sepanjang perjalanan. Berada di sampingmu saja aku sudah senang"
Wulan menoleh, melihat wajah evan yang penuh kemenangan.
"Kita duduk bersebelahan Moon ...." ucapnya menambah gemuruh emosi dalam dada wulan.
"Petugas Check in yang cantik dan baik hati mengabulkan permintaanku." ujar evan seraya menyeringai.

Wulan duduk menatap keluar jendela pesawat. Hatinya terasa kacau dengan emosi yang terus berkecamuk didalam dada. Ia merasakan Evan menghempaskan diri duduk disampingnya. Tanpa menoleh, Wulan bergumam "Rayuan apa lagi yang kau katakan pada si cantik petugas check in tadi sehingga bisa mendapatkam kursi yang kau inginkan?"
Wulan mendengar Evan mengunci seat belt nya dan berbisik di telinga "Apapun Brown Eyes, akan kulakukan untuk mendapatkan sedikit waktu bicara denganmu"
Wulan terdiam. Evan adalah seorang produser musik dan penulis lagu yang sebetulnya cukup terkenal. Hanya saja pekerjaannya yang sering berada di belakang layar membuat ia jarang tersorot publikasi. Beberapa grup Band kenamaan setidaknya pernah populer karena membawakan lagu ciptaannya. Beberapa penyanyi yang kini tengah naik daun diorbitkan namanya oleh Evan sebagai produsernya. Bisa jadi keberadaan Evan di Bali kali ini pun karena pekerjaannya. Dan Wulan semakin meratapi ketidak beruntungannya berada di jam yang sama pada kepulangannya kembali ke Jakarta.
Pikiran Wulan melayang pada Rio. Seandainya saja ia tidak berada di situasi yang tidak memungkinkan Rio menemaninya pulang, ia pasti sudah pulang bersama Rio pada jam yang berbeda tanpa harus bertemu Evan. Ataupun pada jam yang sama, setidaknya Rio ada disampingnya menemaninya, membatasi Evan untuk bisa mendekatinya. Wulan memejamkan mata. Penyesalan terkadang timbul disaat seperti ini. Mengapa ia harus memiliki hubungan pernikahan seperti ini dengan Rio. Pertemuan terakhirnya dengan Evan bukanlah pertemuan yang ia harapkan. Rasanya Wulan ingin segera menghapus ingatannya akan apa yang terjadi, saat kenyataannya ia sangat menikmati hubungan sex dengan Evan walau dengan pengetahuan suaminya.
Pesawat berada pada posisi Take off, hal yang paling tidak disukai Wulan. Ia menggenggam sandaran tangan disampingnya erat erat, memejamkan matanya dan menundukkan kepalanya sampai ia merasa pesawat terbang dalam posisi datar. Wulan menarik nafas lega.
"Masih takut take off rupanya, Moon?" tanya Evan "Aku masih ingat saat kau bercerita padaku tentang hal ini."
Wulan tidak berkomentar. Ia berpura pura sibuk memilih chanel film pada layar TV di kursi dihadapannya.
"Film Misteri? Masih suka film dengan genre itu?" tanya Evan lagi. Jika saja Wulan tidak berada beribu kilo meter diatas bumi, ingin rasanya ia keluar dari pesawat pada saat itu juga.
"Apa maumu sebenarnya Van?" tanya Wulan akhirnya. Menyerah. Ia tidak bisa terus menghindar seperti ini. Ia tau, sampai kapanpun Evan akan terus mengejarnya sebelum ia mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan ini mulai membuat Wulan panik. Perutnya terasa mual, asam lambungnya meningkat, selalu terjadi bila Wulan merasa stress. Ia tidak ingin pingsan didepan Evan, apalagi di saat seperti ini
"Aku hanya ingin bicara denganmu tentang apa yang sudah terjadi diantara kita ... ehm ... saat itu ..." jawab Evan
"Tidak ada yang perlu dibicarakan. Apa? Itu hanya sekedar Have Fun. Rencana gila aku dan suamiku. Kamu membantuku dan suamiku mewujudkannya. Dengan bayaran yang sudah dilunasi oleh suamiku. Titik. Urusan kita selesai." Wulan mengeluarkan semua perkataannya dengan suara perlahan. Ia takut bila ada penumpang lain yang mendengar.
"Tapi belum selesai untukku" jawab Evan "Moon .. taukah kamu apa yang mendasari aku menawarkan diri untuk membantumu? Karena ... beberapa kali pertemuan kita sebelum itu ... entah kenapa aku .. mulai merasa .. jatuh cinta lagi padamu. Ehm .. bukan .. bukan jatuh cinta lagi .. tapi memang cintaku untukmu selalu ada di hati .. tidak pernah pergi dan ia muncul kembali saat kita bertemu lagi .. Aku tidak pernah benar benar meninggalkanmu, Moon. Bahkan setelah menikah dengan isteriku pun aku selalu memantau keberadaanmu."
"Cintaku padamu berakhir setelah kau memilih meninggalkanku. " ujar Wulan tajam. Wulan merasa luka lamanya kembali terbuka. "Cinta macam apa yang membiarkan kekasihnya menangis berbulan bulan dalam ketidak pastian? Cinta macam apa yang berada diatas penghianatan? Dimana Cinta saat aku kehilangan arah dalam penderitaan? Kamu dan Cinta barumu bersenang senang diatas penderitaanku."
Evan mengepalkan tangannya, menunduk tanpa kata.
"Aku sudah melupakan semuanya. Aku sudah menemukan hidup baru yang sangat indah. Jangan pernah ungkit lagi masa lalu kita. Semua sudah aku kubur dalam dalam" ucap wulan.
"Maafkan aku Moon, untuk yang kesekian kalinya, maafkan aku ...." ucap evan
"Aku sudah memaafkanmu. Karenanya tolong jangan usik lagi kehidupanku sekarang van.. Aku menyesal telah membawamu kembali ke kehidupanku. Hal yang seharusnya tidak aku lakukan" ucap wulan lagi
"Tapi semua terjadi karena keinginanku.. Aku yang mengajukan diri sebagai partner 3S mu karena ... aku ... aku tidak ingin laki laki lain nanti yang menyentuhmu ..."
ujar evan "Aku tidak menerima uang dari suamimu sepeserpun. Aku tinggalkan amplopnya di resepsionis, dengan pesan untuk mengembalikannya pada suamimu saat kalian check out"
Wulan menatap evan dengan pandangan tak mengerti
"Suamimu tidak menceritakannya padamu?" tanya Evan tak percaya "Moon ... lihatlah kehidupanku sekarang .. apa kau pikir aku masih perlu menerima uang itu sebagai tambahan penghasilanku? hanya 1 jam saja, aku bisa mendapatkan dua kali lipat lebih besar dari yang suamimu bayarkan, jika aku mau ...."
Wulan menatap Evan dengan tatapan nanar. Kenapa Rio tidak menceritakan hal ini padanya?
"Kenapa tidak kau ambil saja uang itu?" tanya wulan ketus
"Karena aku lakukan semuanya karena aku menyayangimu!!" tukas Evan tegas "Tidakkah kau paham itu, Moon? Aku mencintaimu!!"
Mata wulan mulai berkaca kaca. Entah apa yang dirasakannya saat ini tapi ia merasa perutnya bertambah mual
"Suami macam apa yang membiarkan isterinya disentuh laki laki lain moon? Aku tidak akan pernah membiarkan isteriku di setubuhi laki laki lain, apalagi untuk alasan kenikmatan semata." Evan menambahkan "Harga diri. Aku mampu memberikan kenikmatan seks pada isteriku sendiri tanpa perlu bantuan orang lain. Isteriku milikku. Milikku. Tidak akan aku biarkan orang lain menyentuhnya sedikitpun!"
"Cukup!!!!" jerit Wulan tertahan. Pipinya telah basah dengan air mata. ia menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya. Ingin rasanya ia berteriak saat itu. Ia hanya ingin bertemu Rio saat ini dan membuang evan jauh jauh dari sisinya.
Beberapa saat berlalu, Evan membiarkan wulan menangis. Ia kemudian menyodorkan sebotol air mineral yang dibagikan oleh pramugari "Minumlah moon .. tenangkan dirimu. Setidaknya kini kamu mengerti apa yang harus kita bicarakan ...." ujarnya.
Wulan mencoba menenangkan dirinya. saat ini ia perlu pikiran yang jernih untuk mencerna semua perkataan evan. Ia meneguk air dari botol pemberian evan, memejamkan matanya sepanjang perjalanan hingga pesawat mendarat ....

Rio memutuskan untuk mengambil penerbangan terakhir dari Bali menuju Jakarta. Selain agar tidak berada pada waktu dan tempat yang sama dengan Wulan, ia juga dapat memastikan Wulan tiba dengan selamat terlebih dahulu kembali ke Jakarta. Sebelum berpisah tadi, Rio sudah berpesan agar Wulan menginformasikan keadaannya setibanya ia di Jakarta. Satu jam sebelum jam keberangkatannya, Rio sudah tiba di Bandara, mengambil tempat di sudut ruang tunggu menunggu kabar dari Wulan. Seharusnya pesawat Wulan sudah tiba di Jakarta saat ini. Berkali kali Rio melirik layar HP nya namun belum tampak notifikasi adanya pesan dari Wulan.
Rio meraih selembar surat kabar dari kursi di hadapannya. Tampaknya seseorang meninggalkannya disana setelah selesai membacanya. Rio mulai membolak balik halaman demi halaman, mencari berita yang menarik untuk dibaca, ketika matanya tertuju pada satu pengumuman di sudut bawah lembar teralhir. Pengumuman tentang ajang pencarian bakat Band anak muda se Bali. Acara yang diadakan berlangsung tiga hari dan berakhir hari ini. Rio melihat benerapa selebriti papan atas yang menjadi juri dalam ajang tersebut, dan mengerenyitkan dahinya membaca salah satu nama juri yang sangat dikenalnya.
Rio memandang sekeliling. Suasana Airport malam ini masih sangat ramai. Beberapa penumpang tampak bergerombol, membawa barang bawaan yang sangat banyak. Rio mengenal lambang salah satu TV swasta pada properti yang mereka bawa. Di sudut lain kelompok lain tampak bersendagurau dengan dandanan yang cukup mencolok mata, mungkin berlatar belakang dunia entertainment.
Insting tajam Rio terusik. Dibacanya sekali lagi nama seorang juri yang tertera pada surat kabar, melihat berkeliling seakan mencari sesuatu dengan seksama. Ia tidak menemukan apa yang ia cari pada kerumunan orang disekelilingnya. Jantungnya mulai berdegup kencang. Diliriknya kembali layar HP miliknya. Belum ada juga kabar dari Wulan. Rio menekan nomor telepon Wulan pada kontaknya, mendengar nada sambung diseberang sana dan menunggu Wulan menerima telepon darinya. Nada sambung yang terdengar menandakan Wulan sudah tidak lagi berada dalam pesawat. Ia sudah tiba di Jakarta, tepat seperti perkiraannya. Rio mengulang kembali teleponnya, mulai merasa cemas akan keadaan Wulan.

Wulan duduk menghadapi secangkir teh hangat di genggamannya. Rasa hangat yang dialirkan dari cangkir teh ke dalam telapak tangannya sedikit memberikan rasa nyaman. Ia menarik nafas dalam, menghembuskan perlahan. Rasa mual yang dirasakannya di pesawat tadi semakin berkurang. Ia berniat menelepon Rio, tapi entah apa yang menahannya untuk tidak melakukannya. Wulan berusaha tidak perduli terhadap Evan yang duduk dihadapannya. Wulan mengenakan jaket Evan. Evan sendiri yang membantunya mengenakan jaket tersebut saat di dalam pesawat tadi tubuhnya tiba tiba menggigil. Entah karena kedinginan atau kecemasan terhadap keberadaan Evan, ia sendiri tidak mengerti. Wulan juga tidak kuasa menolak saat evan membimbingnya menuju cafe terdekat untuk sekedar menenangkan diri.
"Minumlah teh nya, Moon .. setidaknya bisa menghangatkan perutmu yang kosong .. atau kau ingin makan sesuatu?" tanya Evan. ada nada kuatir dalam kalimatnya melihat wajah pucat Wulan "Aku antar kau pulang nanti .. Aku sudah meminta supir yang menjemputku untuk menunggu. Kita pulang setelah kau merasa nyaman"
Wulan tak bergeming. Ia hanya menunduk. Evan berhasil mengobrak abrik emosinya dengan teori teori yang diungkapkannya tadi. Tidak pernah ada rahasia diantara dirinya dan Rio. Lalu kenapa Rio tidak menceritakan tentang bayaran evan tempo hari padanya? Beberapa hal berkecamuk di pikiran Wulan.
"Dimana kamu mengenal Rio?" tanya wulan pelan.
"Rio tidak menceritakannya juga padamu? Atau kau yang enggan bertanya untuk menghindari konflik? tanya Evan sambil tersenyum sinis "Pernikahan yang penuh rahasia ....."
"Apa maksudmu?" tanya Wulan curiga
"Moon .. My Brown Eyes ..." ucap Evan seraya memajukan dirinya menatap Wulan dari dekat "Rio teman lamaku ... aku tahu segala sesuatu tentangnya, termasuk ... pernikahan rahasia nya dengan mu .... Bukan karena aku menyelidikinya, tapi karena aku terlalu peduli padamu ..."
Wulan menelan air liurnya, membasahi tenggorokannya yang terasa mengering. Ia merasa ada maksud tertentu dalam nada bicara Evan.
"Ceritakan apa yang kau tau tentang Rio" ucap Wulan mencoba tetap terlihat tenang "Jangan salahkan aku yang tidak pernah lagi percaya pada ucapanmu. Kurasa kau hanya membual ...."
Evan tertawa, mengetuk ngetukan jarinya ke meja seraya menatap Wulan.
"Apapun Moon .. akan kulakukan untuk membuat kau mencintaiku lagi ... sejak saat itu, aku terobsesi untuk memilikimu" desisnya pelan, namun begitu menusuk di telinga Wulan "Dengarkan baik baik ....."
Evan mulai bercerita tentang masa lalu, saat ia dan Rio bersahabat namun juga bersaing semasa SMA. Panjang lebar dan jelas, termasuk mengapa dulu ia meninggalkan Wulan demi meraih cinta Fani. Saat ia menyadari kehilangan Wulan, saat ia mendengar kabar pernikahannya dengan Rio dan saat ia mulai mengikuti kehidupan Rumah Tangga mereka.
Wulan mendengarkan semuanya dengan hati hati, menyimak setiap detail cerita dan merangkainya dalam satu benang merah pertemuan mereka. ia mengabaikan satu panggilan telepon dari Rio pada HP nya.
"Jadi ..... kamu sudah tau kepada siapa 3S yang aku ajukan itu bermuara?" tanya Wulan "Kamu tau akan bertemu Rio?" tanya Wulan menahan emosi
"Ya ... aku tau ...." jawab Evan singkat
"Apa maksudmu sebenarnya Evan?" tanya Wulan tajam
Evan menyeringai "Aku ingin kamu." jawabnya tegas
"Merebutku dari Rio, seperti dulu Rio memenangkan Fani darimu terlebih dahulu??" tanya Wulan
"Ya dan Tidak" jawab Evan "Ya, merebutmu dari Rio tapi bukan karena masa lalu. Tapi karena aku memang mencintaimu. Moon, semakin aku tahu, semakin aku yakin Rio tidak pantas memilikimu."
"Beraninya kau katakan itu!!" bentak Wulan "Dia yang tulus mencintaiku saat kau meninggalkanku, kau mengerti??? Aku sangat mencintai suamiku!! Jangan pernah ... jangan pernah sekalipun berharap, Evan!!!"
Evan terdiam. Wulan terengah engah menahan emosi yang semakin berkecamuk di dadanya, saat ia mendengar HP nya berdering lagi.
Rio. Tampak pada layar HP nya. Kali ini Wulan harus menjawab teleponnya. Sudah menjadi komitmen Rio untuk selalu memantau keadaan Wulan bagaimanapun caranya. Dan kali ini Wulan melanggar ketentuan untuk memberikan kabar keberadaannya sesuai pesan Rio. Wulan melirik Evan tajam, sebagai tanda agar Evan tidak bersuara saat Wulan menerima panggilan Rio.
"Bunda ....." suara Rio diujung sana. Wulan dapat merasakan kecemasannya "Kenapa tidak ada kabar? Bunda dimana?"
"Bunda .. masih di airport Ayah .. sedang minum teh .. perut Bunda agak tidak enak rasanya tadi .." jawab Wulan mencoba mengatur nada suaranya agar Rio tidak mendengar kegalauannya
"Kenapa? Bunda baik baik saja? Ini sudah malam, seharusnya Bunda sudah ada dirumah ..." ujar Rio lagi "Cepat cari taksi .. teh nya diminum sambil jalan saja"
"Iya Ayah ... " jawab Wulan singkat
"Ada yang terjadi selama di perjalanan tadi?" tanya Rio. Nada suaranya tajam penuh selidik. Sesaat wulan merasa panik, apakah Rio tahu keberadaan Evan saat ini? Tapi rasanya tidak mungkin. Darimana Rio bisa mendapatkan informasi mengenai ia dan Evan
"Mmhh .. maksud ayah?" Wulan mencoba menghindar "Semua baik baik saja yah .. Bunda segera pulang, Ayah tidak usah kuatir"

Diujung sana, Rio tau Wulan tengah menutupi sesuatu. Ia sangat mengenal Wulan. Istri tercintanya ini sangat mudah terbaca. Rio bisa mencium semua kesedihan, kemarahan ataupun kegembiraan di hati wulan, walau hanya sebiji jagung. Kali pertama, Wulan berbohong kepadanya. Rio tau, ini sangat serius ....
 
Terakhir diubah:
CHAPTER 15

Evan memilih beberapa kuntum mawar, menyerahkan pada penjual Bunga untuk dikirimkan ke alamat yang tertera di kartu ucapan yang telah ia tulis sebelumnya. Bunga untuk Wulan. Paling tidak seminggu sekali, ia mengirimkan kuntum Bunga Mawar untuk sekedar mengingatkan Wulan akan perasaan yang ia miliki saat ini. Evan sendiri tidak mengerti, mengapa semakin hari setelah kejadian 3S bersama Wulan, ia merasakan Cinta yang semakin tumbuh pada Wulan. Ia tau, sesungguhnya Cintanya pada Wulan tidak pernah pergi. Hanya saja ia tidak berhasil menjaga perasaannya dan tidak akan pernah ia ulangi lagi. Disaat ia mengejar mimpinya, ternyata Cinta sesungguhnya masih tetap untuk Wulan. Wulan dimatanya kini adalah Wulan yang semakin cantik dengan kedewasaannya.
Ada suatu perasaan yang begitu menggelitik hatinya saat ia mengetahui kehidupan Rumah Tangga Wulan dengan Rio. Bermula dari uangkapan perasaan Wulan saat Rio berniat melakukan 3S, Evan semakin merasa bahwa Wulan tidaklah dicintai sebagaimana harusnya. Cinta sejati seharusnya tidak berbagi, satu hal yang diyakini Evan. Apapun alasannya, jika Rio benar benar mencintai Wulan, ia seharusnya tidak menjadikan Wulan sebagai wanita kedua di hatinya, apalagi membagi Wulan dengan laki laki lain. Evan merasa Wulan berhak mendapatkan kehidupan dan Cinta yang lebih baik, dan ia akan memberikannya untuk Wulan. Cintanya hanya untuk Wulan dan karena itu pula, ia akan segera mengakhiri Rumah Tangganya dengan Fani. Evan siap melakukannya karena tidak ada lagi Cinta dan kebahagiaan yang ia miliki bersama Fani saat ini. Wulan mungkin belum bisa menerimanya saat ini, namun ia percaya, Cinta bisa hadir karena Biasa. Ia akan membuat Wulan terbiasa dengan kehadirannya, ia akan mengisi kekosongan yang tidak bisa diberikan Rio kepada Wulan dan perlahan menggantikan posisi Rio di hati Wulan. Kesempatan itu ada, dan Evan berniat akan memiliki Wulan, bagaimanapun caranya.

Wulan meraih 3 kuntum Mawar Putih yang tergeletak di atas mejanya. Dibacanya pesan pada sepucuk kartu yang terikat pada tangkai Mawar tersebut "Aku Mencintaimu" .. Tanpa alamat dan nama pengirimpun, Wulan tau bahwa Evan lah yang mengirim Bunga tersebut, kali keempat ia menerima kiriman Evan. Wulan tersenyum, menghirup wangi Mawar dan meletakkannya pada Vas di meja kerjanya. Wulan ingat betapa ia merasa terganggu dengan kiriman Bunga pertama dari Evan.
"Apa maksudmu?" tanya Wulan saat itu
"Kenapa ...?" tanya Evan "Bunga Mawar itu? Bunga kesukaanmu kan?"
"Cukup Evan .. berapa kali harus aku katakan? Aku sudah bersuami. Untuk apa kau lakukan ini? Aku tidak butuh itu!"
"Berapa ribu kalipun kau katakan itu, tidak akan merubah perasaanku padamu. Buang saja Bunganya kalau kau tidak suka. Aku tidak peduli. Yang terpenting bagiku hanya aku sudah bisa menyatakan perasaanku padamu, Moon ..."
Wulan menutup teleponnya tanpa berkata apa apa. Ia memejamkan matanya mengusir emosi yang mulai dirasakannya dalam hatinya.
Setiap Minggu selalu datang Bunga yang sama untukknya. Perlahan Wulan mulai berdamai dengan hatinya. Ia lelah terus menerus merasakan perasaan yang membuatnya tidak nyaman. Baiklah, pikirnya, Bunga mawar putih memang Bunga kesukaannya. Tidak ada salahnya ia jadikan sebagai tambahan hiasan ruang kliniknya, untuk sekedar memperbaiki moodnya yang turun naik. Wulan menyediakan satu vas khusus untuk kiriman bunga dari Evan.
Dan kali ini, entah mengapa ia mulai menikmati perhatian Evan kepada dirinya. Bunga, Coklat, semua hal hal yang ia sukai telah dikirim Evan. Evan seperti datang kembali dari masa lalu, memanjakannya seperti dulu. Wulan mulai menyadari bahwa Moodnya semakin hari semakin bertambah baik dengan adanya perlakuan istimewa dari Evan saat ini. Tidak hanya kiriman, tapi Evan pun tidak pernah absen mengingatkan waktu makan, menanyakan kabarnya, ataupun hanya sekedar menyapanya melalui chat pada layar Handphone nya. Hanya satu hal yang belum mau wulan lakukan, yaitu permintaan evan untuk meluangkan waktu berdua saja dengannya.
"Hanya makan siang, Moon .. Makan siang. Tidak lebih." pinta Evan berkali kali
"Tidak" tolak wulan "Apa nanti kata Rio kalau tau istrinya pergi dengan laki laki lain, apalagi Don Juan seperti dirimu."
"Resto nya kan ramai .. tidak cuma kita berdua Moon .. apa sih yang kamu takutkan, makan siang dengan teman kan hal yang biasa" desak evan lagi
"OK. .. aku ajak teman. Jadi tidak kita berdua saja." ujar wulan santai
Evan terdiam. Kali ini ia menyerah, tapi ia akan mencari jalan lain agar wulan mau meluangkan waktu untuknya. Sabar, perlu waktu, batinnya dalam hati.
Wulan tau, seperti apapun ia tutupi keberadaan evan, Rio pasti bisa merasakannya. Perasaan rio ajaib, menurut wulan, Rio selalu bisa membaca hatinya, entah bagaimana caranya. Karenanya wulan sangat berhati hati menjaga perasaan rio. Ia tidak ingin rio disana merasa terganggu, dan menyebabkannya tidak bisa berkonsentrasi terhadap keluarga dan pekerjaannya. Wulan melirik layar HP nya. Tidak ada pesan dari Rio. wulan menarik nafas dalam dan menahan kerinduan dalam hatinya dengan menutup mata.

##############################
"Kenapa jauh sekali sih liburannya, Bun ...." nada suara Rio diujung sana terdengar berat. Wulan tengah menyampaikan rencana liburan bersama teman temannya ke Jepang minggu depan. Mereka telah lama merencanakan ini, namun baru kali ini Wulan memiliki kesempatan untuk memberitahukannya pada Rio.
"Bunda kan belum pernah kesana Yah, beli tiket murah sudah lama, masa pas hari keberangkatan Bunda batal pergi ..." rajuk Wulan
"Ya tapi Bunda juga ijin Ayahnya mendadak begini ... Jauh, hanya bertiga perempuan semua ... Ayah kuatir deh. Ganti sajalah dengan yang domestik .. liburan kan tidak harus ke luar negri" tambah Rio
"Kan Ayah sibuk terus, Susah di hubungi, Bunda ijinnya kapan ...? Pas bisa kontak, buru buru juga .. banyak hal lebih penting lain yang harus dibicarakan sampai Bunda tidak ada waktu buat ijin Ayah ..." ujar Wulan lagi
"Ya sudah .. pergilah .. jadi hari Selasa, jam berapa flight nya?" tanya Rio, menyerah. Melarang Wulan pergi pun rasanya percuma di detik detik akhir keberangkatan seperti ini. Akhir akhir ini mereka memang jarang memiliki waktu bersama, bahkan sekedar untuk bercakap cakap lewat HP, karena kesibukan Rio dan jabatan barunya.
"Jam 3 pagi sudah kumpul di Airport Yah .. Flight nya jam 6 pagi" ujar Wulan
"Jam 3?? Bunda berangkat jam berapa dari rumah? Siapa yang antar pagi pagi Buta begitu?" tanya Rio cemas
"Sendiri saja naik taksi .. biasa kan Bunda bisa sendiri. Tidak usah diantar siapa siapa ..." Wulan mencoba menenangkan. Ia kuatir Rio akan berubah pikiran memberinya ijin berangkat berlibur
"Bun ...." nada Rio semakin jelas terdengar cemas "Bunda paling tidak harus berangkat jam 2 pagi .. Apa tidak ada yg bisa mengantar atau Bunda berangkat dengan teman Bunda sajalah ... "
"Repot Yah .. mereka diantar suami masing masing, Bunda tidak enak kalau berangkat sama sama .. nanti mengganggu ..." Tiba tiba ada kesepian menyeruak dihati Wulan. Entah apa yang dirasakannya kali ini tapi ia merasa ingin Rio ada disampingnya
"Ya baiklah .. taksi yang aman ya Bun .. jangan taksi on line .. cari perusahaan taksi yang jelas." tambah Rio "Maaf Ayah tidak bisa antar Bunda. Selasa itu ada acara 3 hari kunjungan Dinas, Ayah akan bersama Bu Rio selama 3 hari, jadi mungkin Ayah juga tidak bisa chat Bunda ...."
"Iya .. Bunda ngerti Yah ..." nada suara Wulan melemah. Ada sesuatu yang mengiris dadanya. Ini hal yang biasa selama 5 tahun bersama Rio, tapi kali ini tiba tiba ia merasa begitu berat.
"Hati hati ya Bun ..." pesan Rio sebelum menutup teleponnya.
Wulan menghela nafas. Entah sudah berapa banyak momen penting yang ia lewatkan tanpa Rio disampingnya. Saat ia diwisuda menjadi dokter gigi spesialis dua tahun lalu, ia ingat semua temannya yang sudah berkeluarga didampingi oleh suami dan anak mereka, sementara Wulan datang hanya bersama ibu dan adik adiknya. Saat ulang tahunpun, waktu yang istimewa untuk sebagian orang, Wulan lewatkan tanpa Rio disisinya, walaupun belum pernah Rio lupa mengirimkan pesan sayangnya untuk Wulan di hari kelahirannya. Wulan menggelengkan kepalanya, mencoba menepis keraguan yang mulai bersarang di hatinya. Rio adalah suami yang baik, dan keadaan ini bukanlah kemauannya. Wulan tau, dibalik semua kekurangannya, Rio sangat mencintainya.
Ketukan di pintu menyadarkan Wulan dari lamunannya. Pasien klinik sudah hampir sejam yang lalu ia selesaikan. Wulan melangkah membuka pintu dan menemukan Evan dihadapannya dengan senyum lebar khas miliknya. Tangan kanan dan kiri Evan penuh menenteng beberapa tas kantong plastik.
"Makan siang datang Moon ..." seringai Evan meningkahi pandangan penuh selidik Wulan. Ia tidak peduli Wulan yang belum mempersilahkannya masuk, Evan melangkah ke dalam ruang klinik dan meletakkan kantong kantong plastik di atas meja, membukanya satu persatu, menyusunnya untuk disantap oleh dua orang. Nasi, Ayam Balado, Cah kailan, Air mineral lengkap dengan peralatan makan sendok dan garpu plastik
"Karena kamu tidak mau aku ajak makan di luar, maka makanannya yang aku bawa kesini. Semua kesukaanmu dan ini sudah jam 1 siang, perawat didepan bilang kamu belum makan" oceh Evan seraya terus membereskan meja "Berapa kali aku nengingatkanmu untuk tidak terlambat makan Moon .. penyakit maag mu itu jangan sampai kambuh lagi"
Wulan memegangi perutnya yang sedikit berbunyi, terpancing oleh harum masakan yang memenuhi ruangan. Ia merasa sangat lapar. Ditelannya air liur yang mulai memenuhi mulutnya
"Siapa bilang aku mau makan?" tanya Wulan menutupi rasa laparnya "Aku baru saja makan roti. Aku belum lapar Van .."
"Bohong ..." timpal Evan "Kamu baru menyuruh Office Boy untuk membeli makan siang kan?"
Wulan terkejut. Evan menyeringai "Sudah aku batalkan pesanannya. Aku ganti dengan ini ...."
"Bagaimana .. kau ..." Wulan tidak meneruskan pertanyaannya, ia hanya menatap Evan yang masih sibuk membuka bungkusan dalam pelastik dan menatanya agar siap dimakan oleh Wulan
"Silahkan tuan putri ...." ujar Evan seraya sedikit membungkukkan badannya. Wulan tak bergeming "Perlu aku gandeng tanganmu?" tanya Evan.
Wulan melangkah perlahan, duduk di kursinya berhadapan dengan Evan.
"Aku tidak akan mulai makan sebelum kamu makan terlebih dahulu, dan kita bisa seharian duduk seperti ini tanpa makan apa apa" ujar Evan nelihat wulan yang belum juga menyentuh makanannya. Wulan melirik Evan, sebelum akhirnya mulai menyendok dan menyuap makanan ke dalam mulutnya. Evan tersenyum, ikut menyuap makanan dihadapannya. Beberapa saat tanpa percakapan apapun, mereka berdua sibuk menikmati makanan, sebelum satu persatu kalimat keluar dari mulut mereka, berbicara hal hal ringan yang berkembang menjadi percakapan panjang antara keduanya. Wulan segera hanyut dalam suasana, menghabiskan setengah makanannya saat HP nya berdering dengan nama Rio terpampang pada layarnya.
"Bunda ....." suara Rio diujung sana, membuat Wulan tercekat "Sudah makan kan?"
"Sedang makan .. Ayah .." jawab Wulan ditengah degup kencang di dadanya. Apakah Rio tau keberadaan evan saat ini? Kenapa begitu pas saat rio meneleponnya. Haruskah ia menceritakan tentang Evan atau tidak. Wulan mulai gelisah.
"Ayah lupa .. Bunda mau ayah transfer berapa untuk ke Jepang? Tapi belum ayah tukar Yen .. nanti ditukar sendiri ya ..." lanjut rio. Nada suaranya tenang. Wulan mengambil kesimpulan hanya kebetulan rio meneleponnya bersamaan dengan kehadiran Evan. Rio tidak tahu, itu kesimpulan Wulan.
"Bulan lalu Ayah sudah kasih Bunda uang untuk beli Jam tangan tapi kan tidak jadi " ucap Wulan "Biar Bunda pakai uang itu saja Yah. Tidak usah kirim lagi .."
"Cukup?" tanya Rio
"Cukup ... " jawab Wulan " Jepang mahal katanya .. Bunda tidak belanja ah Yah .. sayang uangnya .. Bunda cukup jalan jalan saja"
"Takut kurang Bun .. takut Bunda perlu beli apa nanti kalau tidak pegang uang cadangan kan repot" desak Rio "Ayah transfer lagi saja ya .. biar Ayah tenang juga"
"Iya Yah ..." Ucap Wulan. Ia merasa Evan tengah memperhatikannya, berusaha mencari tau percakapan antara Wulan dan Rio.
Tepat saat yang bersamaan, pintu klinik dibuka dan seorang perawat masuk kemudian terkejut, tidak menyangka Wulan tengah menerima tamu
"Maaf dokter .. saya kira dokter sendiri .. Maaf nanti saja saya kembali lagi Dok .." ucapnya gugup kemudian keluar dan menutup kembali pintu. Jantung Wulan berdegup kencang. Rio pasti mendengar kalimat yang diucapkan perawat dengan cukup kencang tadi. Dan benar dugaannya.
"Ada siapa Bun?" tanya Rio "Kata Bunda tadi Bunda sedang makan ..."
"Iya Ayah .. tidak ada siapa siapa .. " jawab Wulan perlahan mencoba mengatur nafasnya yang mulai berat. Ini bisa jadi masalah besar bila Rio tahu. Dan Wulan tidak siap menghadapi kemarahan Rio saat ini.
"Lalu? siapa tadi yang masuk?" tanya Rio dengan nada menyelidik
"Perawat Ayah .. ini .. ada detailer obat yang minta tandatangan saja .. tidak penting" jawab Wulan, ia menundukkan wajahnya seolah Rio ada dihadapannya dengan tatapan tajam
Hening beberapa saat sebelum terdengar lagi suara Rio
"OK ... Ayah transfer uangnya ya Bun .. selamat berlibur sayang .."
Wulan menutup telepon, menarik nafas lega. Selera makannya mendadak hilang.
"Mau kemana Moon?" tanya Evan "Jepang? Kapan?"
"Ya .. " Jawab Wulan singkat "Aku sudah selesai makan .."
"Tidak dihabiskan?" tanya Evan
"Van ...." keluh Wulan "Kamu memposisikan aku di tempat yang sangat sulit. Bagaimana kalau tadi Rio tau kamu ada disini?"
"Makan siang dengan teman, ada yang salah?" tanya Evan
"Tapi kamu bukan teman biasa kan Van .. Rio tau itu .. Jangan pura pura bodoh, kamu tau bagaimana sikap Rio terhadapmu kan" jawab Wulan
Evan mengangkat bahunya mencibir "Karena dia tahu aku bisa merebutmu .. kalau kamu mau" tukasnya "Tapi istrinya ini sangat sulit ditaklukan"
Wulan mendelik, terusik dengan ucapan Evan.
"Kapan berangkat Moon? kamu tidak cerita padaku kalau mau pergi ..." tanya Evan
"Harus?" tukas Wulan "Dalam posisi apa aku harus menceritakan padamu?"
"Ya mungkin ... aku bisa membantu mengantarmu atau membawakan koper yang pasti berat itu ...."
Wulan memalingkan muka, tidak menjawab.

Jauh disana Rio memendam rasa curiganya. Ada sesuatu yang disembunyikan wulan tentang orang yang bersamanya tadi. Rio menebak nebak, dan ia merasa tidak nyaman saat membayangkan satu orang yang mungkin ada disisi istrinya tadi ...

#####%#########################
"Mungkin alergi cuaca dingin disana, Moon ..." ujar Evan, tangan kirinya menyodorkan selembar tissue pada Wulan yang masih terus terbatuk batuk sementara tangan kanannya menjaga setir agar mobil tetap melaju lurus di jalan Raya. Pesawat Wulan dari Jepang baru saja mendarat, terlambat 2 jam dari jadwal yang diperkirakan.
"Flu ini mengganggu liburanku" keluh Wulan, sesekali menempelkan tissue pada hidungnya.
"Ke dokter?" saran Evan, tampak kuatir pada keadaan Wulan. Lingkaran hitam pada mata Wulan menandakan ia dalam kondisi yang sangat lelah
"Tidak usah" jawab Wulan "Aku hanya ingin istirahat Van"
Wulan melirik layar HP nya berulang kali berharap ada pesan dari Rio yang menanyakan kabarnya. Satu minggu tanpa saling mengirim berita. Evan yang mengantarnya ke Bandara saat akan berangkat seminggu yang lalu. Dan Evan pula yang menjemputnya saat kepulangannya ini. Evan selalu menanyakan keadaannya selama di Jepang, sementara ia menunggu kabar dari Rio yang tidak pernah menghubunginya.
Wulan terbatuk lagi, kali ini cukup panjang tanpa berhenti.
"Moon ..." ia merasakan tangan Evan menyentuh bahunya "Ayolah .. kedokter sekarang .. Batuknya parah sekali .."
Wulan menggeleng. Ia merebahkan dirinya di kursi mobil dan mulai memejamkan mata. Evan terdiam membiarkan Wulan tertidur sementara mobil melaju mengantar mereka ke kediaman Wulan.

Evan membawa koper Wulan memasuki ruang tamu rumah Wulan. Didalam, Wulan sudah duduk meminum secangkir lemon tea hangat buatan ibunya. Ia tersenyum pada Evan yang menghempaskan dirinya duduk disamping Wulan
"Terimakasih ..." ucap Wulan "Berat ya?"
"Lumayan ...." jawab Evan sambil menyeringai "Ada oleh oleh untukku?"
Wulan tertawa "Untuk porter pribadi, pastinya ada ...." guraunya disambut tawa Evan.
Wulan meneguk teh hangatnya perlahan. Tenggorokannya mulai terasa lega. Diraihnya HP nya kembali memeriksa jika ada pesan dari Rio
"Dia belum menghubungimu?" tanya Evan. Wulan tidak menjawab, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. Rasanya Wulan begitu ingin menghubungi Rio saat ini. Menceritakan semua pengalamannya melihat negeri Sakura, menyampaikan berita bahwa ia sudah membelikan oleh oleh khusus untuk Rio dan mengeluhkan keadaannya yang sedang sakit saat ini. Tapi ia tidak bisa melakukan itu. Rio mungkin sedang berada di posisi tidak aman. Itu artinya, telepon Wulan hanya akan menyebabkan masalah bagi Rio. Wulan terpaksa harus menunggu, sampai Rio yang menghubunginya.
"Biar aku yang menghubungi Rio kalau kamu begitu ingin bertemu Rio, Moon " tawar Evan. Ia bisa melihat kegundahan dalam diri Wulan. Kerinduan yang sangat dan dalam kondisi tidak sehat seperti ini, Evan tidak bisa tinggal diam. Pikirannya sibuk bertanya tanya mengapa seorang suami bisa begitu tahan tidak menanyakan kabar isterinya selama berhari hari
"Tidak perlu .. kamu tau posisiku Van .. telepon ku hanya akan mengganggunya nanti. Kalau dia belum menghubungiku, itu berarti ada sesuatu yang lebih penting" ujar Wulan
"Lebih penting darimu??" cetus Evan "Apa Moon? Apa yang lebih penting dari keadaan seorang isteri bagi suaminya?" Wulan terdiam. Tenggorokannya terasa tercekat mendengar perkataan Evan "Semua ada prioritasnya dan jelas, kamu bukan prioritas pertama untuk suamimu kalau begini"
Wulan menghela nafas. Kedekatannya bersama Evan beberapa waktu belakangan ini membuat Evan semakin mengerti seperti apa kehidupan Rumah Tangga yang dijalaninya bersama Rio. Wulan mulai merasa Evan lah yang bisa mengisi kekosongan hatinya tanpa Rio disampingnya. Wulan kembali terbatuk. Ia merasa tubuhnya menggigil, dingin menyergap membuat ia semakin merapatkan sweater yang dikenakannya.
Evan mendekat, meraba kening Wulan
"Kamu demam moon ... ayolah kita ke dokter ..." ujarnya setengah memaksa
"Biar aku istirahat dulu Van .. kalau demamnya tidak hilang dalam 3 hari, aku ke dokter" jawab Wulan lemah
"Baiklah .. istirahatlah Moon, aku pulang dulu ..." Evan berpamitan. Wulan mengangguk, mengantar Evan ke teras rumah dan menunggu mobil Evan hilang dari pandangan mata.
Dari balik pintu kamar, sepasang mata memperhatikan mereka tanpa suara ...
 
Terakhir diubah:
1 yg jd ganjalan ...

Klo bisa merasakan ada sesuatu d seberang sana knp Rio tdk pernah bertanya apakah si evan pernah menghubunginya lagi????
 
dramanya menarik.. bagaimana keluarga Rio dgn istri pertama suhu..?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd