Episode 19
Dilema
POV Eda
Hari Sabtu, tanggal 28 Januari, gue lagi di Kebun Raya Bogor. Kak Rivin minta ditemenin jalan lagi hari ini. Kali ini udah kali ketiga Kak Rivin minta jalan setelah chat dua mingguan lalu.
“Eda, ntar ke rumah anggrek ya abis makan.” Kata Kak Rivin.
“Iya, bentar ya istirahat dulu. Jalan terus pegel nih.” Gue berangsur duduk di atas rumput samping tukang es krim.
“Ya ampun, baru sebentar tau.”
“Sebentar apaan, udah satu setengah jam ya jalan.”
“Iya deh, iya. Biasain jalan kaki abis ini makanya.”
Kak Rivin mengeluarkan bekal makanannya yang sudah disiapkan untuk porsi kami berdua. Gak bisa dipungkiri, masakan Kak Rivin emang enak banget sih. Gue selalu gak sabar kalo bekal makan udah keluar dari tas. Apapun bahan makanannya, petai sekalipun, semuanya jadi enak kalau dimasak Kak Rivin.
“Suapin?” Katanya
“Gak usaaah. Bisa sendiri.” Gue membela diri.
Gue menyuap sendok pertama ke mulut gue sendiri.
“Sumpah ya, enak banget! Selalu enak.” Respon gue
“Gak usah gombal.”
“Beneran. Chef Juna juga pasti meleleh nih makan masakan kakak.”
“Eh, eh, perjanjiannya apa hayoo.”
“Iya, sorry.”
Perjanjiannya gak boleh manggil pake 'Kak'. Aneh banget ya manggilnya Rivin doang. Dua minggu lalu, katanya, gue gak akan dimaafin kalo sekali-sekali manggil namanya pakai awalan Kak. Dua minggu udah lewat jauh, tapi gue masih sering keceplosan manggil ‘Kak’. Awkwardnya berasa sampe sekarang.
“Ulangin.” Pintanya
“Emm.. Chef Juna juga pasti meleleh nih makan masakan.. Rivin.” Gue bicara canggung.
“Oke lah. Sering dilatih ya.” Rivin menepuk bagian atas dengkul gue.
Sebuah chat masuk. Grup Dadakan ada di posisi paling atas.
Jamet: Hai hai, piye kabar?
Gue: Halo halo.
Jennifer: Hai hai. Baik baik.
Jamet: Absen dooong.
Anwar: Wah, roman-roman ngajak dadakan nih.
Jamet: Hahaha, ketahuan.
Anwar: Ke mana nih?
Jamet: Absen dulu doong.
Gue: Hadir.
Setelah gue, selanjutnya ada Jennifer, Anwar, dan Tika yang absen. Tapi selanjutnya sepi. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Hari, Erna, dan Dani di grup. Last seen mereka bertiga bahkan tidak muncul karena setting privatenya.
Bicara soal Dani, ada apa sih sama dia? Jarang ngasih kabar lagi. Atau, ada apa sama gue? Gue, kenapa Selama dua minggu malah habis waktu sama Kak Rivin.. eh, Rivin. Gue hitung, jalan-jalan udah tiga kali, bahkan makan malam berdua di kosannya udah lima kali. Kelima-limanya tidak satu pun ada kehadiran Dani, atau bahkan Sesil.
Gue memasukkan handphone ke kantong lagi.
“Vin, Rivin.” Panggil gue
“Kenapa, Da?” dia menoleh sambil mengunyah makanannya
“Itu.. Gak pernah liat Dani ya di kosan?”
“Nyariin ya? Bukannya... ehmm.. nginep sama.. kamu?” Raut mukanya berubah.
Garis mata Rivin menunjukkan samar kalau dia kehilangan keceriaannya dengan tiba-tiba. Topik pembicaraan gue kayanya ada yang salah. Masa sih salah kalo gue ngomongin Dani?
“Ehhh, jangan cemberut gitu dong, Vin.” Sial, kenapa gue jadi merayu gini.
“Iya gapapa. Tadi nanya Dani kan?”
“Iya..”
“Jarang balik ke kosan dia. Biasa. Nginep sama temennya yang lain kali ya.”
Ah, opininya Rivin kenapa gitu sih. Kalo Dani gak nginep sama gue, dia nginep sama siapa??
“Eda, Aaaaaak.” Dani melayangkan satu sendok makanan ke arah mulut gue.
---
POV Hari
Selama dua minggu, kami melakukan pergerakan sendiri-sendiri. Setiap tiga hari sekali kami berkumpul di apartemen untuk memberikan progress. Info-info baru lebih banyak didapatkan Sigit dan Erna. Meski begitu, Erna tetap fokus bersama Bryophytenya. Lama-lama Erna juga jadi gak terlalu pendiam lagi sama gue dan Dani.
Hubungan Dani bersama Eda gue perhatikan mulai agak renggang. Mereka jadi jarang berdua karena Dani lebih sering nginep sendirian di penthouse karena sibuk latihan dengan alat-alat barunya. Sekali gue pernah nanya kabar Eda. Katanya, Eda sibuk. Udah. Eda sendiri udah jarang ke kampus menjelang kelulusan. Pernah dia nanya Eda di grup wa yang isinya berempat, katanya, males ke kampus karena udah gak ngapa-ngapain.
Gue sendiri, selain keliling Jabodetabek sama Erna, juga sering berkomunikasi dengan laboran di markas besar soal info obat untuk Dani dan Kenia.
Sekarang, siang ini, kami berempat tengah berkumpul di penthouse untuk memberikan info masing-masing. Dani bertugas sebagai pencatat dengan laptopnya.
“Saya laporan duluan ya. Berita baiknya, saya kemarin baru dari Padang, mereka belum berhasil ketemu Inhuman lagi. Tapi buruknya, mereka juga udah ke mana-mana di Sumatra, walaupun cuma utusan satu atau dua orang.” Terang Sigit.
“Oke, makasih, Git. Lanjut gue ya...” Gue mau laporan.
Gue lebih menceritakan progress obat yang disempurnakan untuk Dani dan Kenia. Kabar mengejutkan dibertahu minggu lalu saat tes darah Dani selesai dianalisis. Kandungan darahnya mengandung kristal terrigen dalam jumlah minor, sedangkan Kenia nggak ada.
“Aneh gak sih?” Gue melempar pertanyaan.
“Gimana, mas? Saya belum paham.” Sigit nanya balik.
“Dani terpapar gas di waktu yang sama kaya Kenia, kan...”
“Iya. Itu ngerti. Terus?”
“Kalo gitu, harusnya Kenia udah terrigenesis waktu itu juga.”
Erna mulai menggaruk-garuk dagunya. Dia mencoba menganalisis dengan gaya detektif labil.
“Bukannya sampel darah Dani baru diambil dua minggu lalu ya?” Tanya Erna
“Terus?” Dani penasaran
“Kata Hari, sampel darah Kenia diambil pas Desember? Waktu di Menara Saidah itu. Ada bias waktu kan. Sekarang gue tanya lu, Dan. Lu ngapain aja abis kejadian itu?”
Dani kelihatan berpikir keras.
“Waduh, banyak lah, sebulan lebih loh jaraknya.” Kata Dani.
“Iya, apa aja?” Erna semangat.
“Nginep empat hari di tempat Eda, tahun baruan rame-rame, sakit perut abis makan sate kambing, sakit perut mau dapet, abis itu....”
Dani nyebutin kejadian yang dia ingat-ingat. Tapi semua jawaban itu gak bikin gue sama Erna puas. Gak ada momen seaneh terrigenesis gue sama Erna, atau pun kejadian munculnya setan alias Puri yang tiba-tiba.
“Udah. Gitu.” Kata Dani.
“Udah?” Tanya Gue dan Erna barengan.
“Iya, udah.”
“Pasti ada yang kelewat ini sih.” Gue masih penasaran.
“Seafood? Biasanya Terrigenesis dimulai setelah makan seafood kan?” Tanya Sigit.
“Wah, seafood udah hampir tiap hari gue makan. Otak-otak diitung kan?” Kata Dani.
Kami semua saling melihat satu sama lain. Seafood bisa jadi jawaban paling logis. Gue, Erna, Puri, dan Lina berubah setelah makan apapun yang mengandung hewan laut.
“Bisa jadi, sih. Dani kan bukan inhuman, kristal terrigennya jadi numpuk di darah.” Kata gue.
“Logis juga.” Erna menambahkan.
“Oke, gue kabarin laborannya abis ini. Lanjut laporan siapa lagi?”
“Gue deh..” Erna angkat tangan.
---
POV Jamet
Chat Grup Dadakan. Dua jam setelah aku nyuruh absen.
Jamet: Ini Hari, Dani, sama Erna ke mana? Muncul dong
Tika: Erna lagi gak sama kita met
Anwar: Iya, di rumah cuma ada gue, Tika, sama Jeruk nih
Jamet: Waduh, Erna gak ngasih tau lu war?
Anwar: Nggak
Jennifer: Kasih tau aja dulu mau jalan ke mana met. Ntar mereka juga pada baca.
Aku pikir-pikir sejenak. Memang gak ada salahnya pengumuman duluan sih.
Jamet: Oke, jadi abis wisuda kan aku mau pulang ke Malang, jadi aku mau ngajak kalian ikut jalan-jalan di Malang, ke kotanya, kulineran, tempat wisatanya, Bromo, Semeru, pokoknya ke mana kalian mau deh. Siapa aja yang bisa?
Anwar mengetik...
Anwar: Weeeh, gue sama Tika jelas ikut
Jennifer: Ikut deh
Eda: Wah, lu gak balik ke Depok lagi met?
Jamet: Iya da. Mau membangun di negeri sendiri hahaha.
Eda: Ikut deh kalo gitu
Jamet: Sip, tapi ini gak dadakan banget ya. Masih pertengahan bulan depan hehehe.
Anwar: Woles met. Atur aja.
Lama tidak ada balasan lagi. Kami semua menunggu jawaban mereka bertiga yang gak ada kabar. Aku kembali beralih ke chat satunya. Chat dengan Janiar sampai lupa waktu.
Tiba-tiba, ada telepon dari Jennifer.
“Halo, Met?” Kata Jennifer dari seberang telepon
“Halo, Je. Ada apa?” Jawab gue
“Lu beneran mau balik permanen ke Malang?”
“Iya, Je? Ada apaan emang?”
“Nggak. Nggak ada apa-apa sih.”
“Ada ‘sih’nya. Berarti sisanya ada apa-apa.”
“Hahaha. Nggak kok, suer.”
Tumben Jennifer bertingkah aneh. Aku berusaha untuk mengakhiri percakapan karena sedang ngechat sama Janiar. Tapi, setiap pertanyaan Jennifer membuatku segan dan harus menanggapinya.
Obrolannya sebenarnya lebih banyak ngalur ngidul. Tidak dapat kutemukan tujuan Jennifer meneleponku yang tak terasa sudah hampir tiga perempat jam. Bahkan, sebagian besar hanya mengulang cerita penelitian gue dan dia seperti saat di GI beberapa minggu lalu.
Terpaksa aku putuskan obrolan ini dengan frontal.
“Eh, Jen, udah hampir sejam nih ngobrolnya. Gue cicil beres-beres barang dulu ya buat pindahan.” Gue bohong.
“Oh lagi beberes ya. sorry deh.”
“Iya, maaf ya, Jen.”
“Gue bantuin beberesnya ya. Boleh kan?”
“Ha?”
“Becanda. Jauh juga kalo gue ke Depok siang-siang begini hahaha.”
“Hahaha. Oke deh, Jen. Bye ya.”
“Oke. Bye.”
Urusan selesai. Janiar kembali kuchat dengan permohonan maaf karena telat membalas. Kemungkinan besar akan lama dibalas karena di sana Janiar sudah sibuk sendiri akibat lama menungguku.
Lama tanpa balasan dari Janiar, aku kembali iseng chat di grup Dadakan. “Hari, Dani, Erna, pada ke mana lu pada? Butuh jawabannya sekarang nih.”
Tidak lama kemudian, handphoneku bergetar. Kukira ada balasan dari Janiar. Tapi, di layar justru tertera nama Jennifer yang mulai resek lagi.
---
POV Dani
Erna menceritakan laporannya dengan detail.
“Gue sampe kemaren bareng Hari fokus ke daerah Jakarta Barat sama Selatan. Berjam-jam gue coba dengerin ribuan frekuensi, telepon, dan baca chat setiap orang. Ada beberapa yang mencurigakan awalnya, tapi setelah diikutin ternyata transaksi narkoba, prostitusi, pokoknya gitu-gitu lah. Bukan kewenangan kita.”
Laporan Erna masih nihil tentang keberadaan watchdog, tapi temuannya gila juga. Di sisi lain, selain fokus gue sambil notulen gue juga lagi menjajal kamera lebah. Gak tanggung-tanggung, gue meyebar seratus kamera lebah untuk mengikuti Eda selama seminggu belakangan.
Bukan tanpa alasan, gue udah dua minggu ini gak sempet ketemu Eda. Pantauan gue lakukan sejak minggu lalu, setelah mahir menggunakan kamera lebah. Ternyata, yang selalu gue lihat adalah Eda yang semakin sering jalan sama Kak Rivin. Mereka bahkan jalan ke Kebun Raya Bogor hari ini.
Ketakutan gue semakin menjadi nyata. Hari ini, ketakutan gue menjadi kemarahan terhadap Eda.
“Oke, ini udah seminggu ya.” Gumam gue.
“Tiga hari, Dan, bukan seminggu.” Hari menyahut gue
“Eh?”
“Ah eh ah eh.” Balasnya
Suara gue ternyata kedengeran.
“Oh iya, tiga hari. Sorry gak fokus, gue minum dulu ya.”
“Kaya iklan aja lu.” Hari ngeledek
Gue pindahkan windows yang menayangkan kamera lebah menjadi microsoft word. Setelah itu, gue menuju kulkas untuk emngmabil air dingin. Sembari gue ambil minum, mereka pun istirahat sejenak sambil ngemil dan ngobrol.
“Mbak Erna, bandnya lancar?” Tanya Sigit.
“Lancar kok. Jadwal latihan juga gak berantakan.”
“Ooh. Kirain keganggu, mbak.”
“Santai aja.”
“Eh, Jamet ngechat nih di grup Dadakan.” Hari memotong.
Gue membuka handphone gue sendiri. Ternyata hampir tiga jam lalu Jamet memanggil kami bertiga. Dia mengajak kami semua ke Malang sebagai jalan-jalan perpisahan.
“Kapan, nih?” Tanya gue sambil minum.
“Gak tau. Anaknya gak ngasih info juga.” Jawab Hari
“Gimana? Pada bisa ikut?” Gue nanya lagi.
“Keganggu gak kerjaan kita?” Erna nanya balik
“Hmmm..” semua jadi mikir.
Dilema juga, di satu sisi teman kami sudah kemungkinan besar gak akan ketemu lagi. Di sisi lain, ada pekerjaan yang harus terlaksana.
“Ikut aja, mas, mbak.” Sigit nyahut tiba-tiba.
“Jauh jarak ke Malang, Git.” Jawab gue.
“Tenang aja.” Sigit memutar-mutar jarinya.
“Oh iya lupa, kan ada pintu ke mana saja.” Hari berguyon.
“HAHAHA.” Kami bertiga tertawa.
Gue beranjak kembali ke posisi duduk tadi dengan segelas air minum.
“Lu sendiri sibuk gak? Ntar repot.” Erna memastikan
“Saya masih kuliah tingkat awal kok. Bisa izin-izin lah.” Jawab Sigit santun
Sigit pernah cerita, dia ngulang kuliah lagi dari awal gara-gara lama menghilang di Nepal itu. Semua data kependudukannya dicatat ulang karena pernah memiliki status meninggal dunia. Lucu juga sih sedikit.
“Gue balesin nih ya.” Kata Hari.
“Jangan dong. Kita bales masing-masing aja lah biar gak ketahuan lagi bareng.” Jawab Erna.
“Oke.”
Kami absen masing-masing di chat tersebut. Lalu dijawab dengan eot-emot bahagia oleh Jamet. Katanya, tanggal berangkat dikasih tau beberapa hari lagi. Habis itu, langsung beli tiket kereta.
Mata gue kembali lagi ke layar laptop. Erna pun kembali dalam cerita laporan kegiatannya. Gue secara diam-diam juga kembali membuka windows kamera lebah.
“Loooh, ilang??!” Gue sedikit teriak.
“Apaan yang ilang, Dan?” Hari mencoba menoleh ke laptop.
“E-eh, ini kirain catatannya hilang, ternyata gue ngeklik new sheet hahaha.”
“Kirain apaan. Lanjut laporannya, Na.” Hari gak jadi ngeliat laptop
Hilang! Dani sama Eda hilang dari pandangan kamera lebah. Kemana mereka pergi? Gue jelajahi Kebun Raya Bogor dengan menyebar kamera lebah. Ada yang pergi masjid, ke taman meksiko, ke kompleks palem, ke toko buku, hingga rumah anggrek. Ternyata mereka berdua ada di rumah anggrek.
Gue makin marah lihat kelakuan mereka berdua. Gue mau nangis begitu mereka saling rangkul dengan mesranya. Mereka gak canggung berfoto wefie dengan koleksi anggrek yang sedang berbunga di sana.
Marah atau sedih ya perasaan ini? Bodo amat. Yang penting, gue putuskan gak mau bareng lagi sama Eda!
Ah elaaaaah.....
BERSAMBUNG