Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Bu Norma, Wanita Berjilbab Yang Disekap! [NO SARA]

Bu Norma kira-kira akan diapakan?


  • Total voters
    660
  • Poll closed .

zeerowanwan

Semprot Lover
Daftar
5 Aug 2023
Post
245
Like diterima
1.874
Bimabet
DISCLAIMER: Cerita ini fiktif semata. Ditulis oleh pengarang yang apa adanya. Tidak ada maksud merendahkan/menghina agama, suku, atau ras manapun di dalam penggarapannya. Kritik dan saran akan sangat kami apresiasi. Like, komen, dan atensinya kami tunggu, ya! Selamat membaca!

p.s: prospek update berkala mulus no minus-minus (cerita sudah tamat ditulis soalnya)




INDEX
Arc I
Malam Jahannam 1.1
di hlm ini
Malam Jahannam 1.2
di hlm 2
Malam Jahannam 1.3.1 di hlm 4
Malam Jahannam 1.3.2 di hlm 6
Malam Jahannam 1.4 di hlm 8

Arc II
Pagi Pembawa Petaka 2.1
di hlm 11
Pagi Pembawa Petaka 2.2 di hlm 13
Pagi Pembawa Petaka 2.3 di hlm 16
Pagi Pembawa Petaka 2.4 di hlm 18

Arc III
Hanyut 3.1
di hlm 21
Hanyut 3.2 di hlm 23
Hanyut 3.3 di hlm 24
Hanyut 3.4.1 di hlm 28
Hanyut 3.4.2 di hlm 28

Arc IV
Lost & Found 4.1
di hlm 31
Lost & Found 4.2.1 di hlm 34
Lost & Found 4.2.2 di hlm 34
Lost & Found 4.3
Lost & Found 4.4

Arc V
Birahi Party 5.1
Birahi Party 5.2



Jahannam 1.1

Bu Norma
MESLXFB_o.jpg

Empat tahun sudah Perang Pengakhir Segala Perang usai. Negeri-negeri terkoyak. Pemerintahan runtuh. Tatanan sosial jungkir balik. Ekonomi nyungsep. Wabah melanda. Paceklik tiba. Kejahatan meraja lela. Every man for himself, singkatnya. Dalam situasi yang demikian, Dokter Abi dan Bu Norma enggan menyerah pada keadaan. Mereka menolak berpangku tangan. Sebagai bagian dari mereka yang sedikit lebih beruntung dari yang lain, pasangan suami istri yang dijodohkan itu berjuang membantu menolong sesama. Suka rela mereka datangi mereka-mereka yang membutuhkan. Sekalipun jika itu berarti mereka harus mengorbankan waktu, tenaga, dan sumber daya.

Malam itu bukan pengecualian.

Pasangan suami istri itu sedang dalam perjalanan pulang dari sebuah desa terpelosok. Jauh dari peradaban. Hampir lenyap dari peta. Di sana, mereka membagikan obat-obatan dan makanan. Dengan setia, Bu Norma dampingi suaminya. Tak sedikitpun terbesit enggan, ragu, atau lelah dalam hatinya saat menemani laki-laki itu. Dunia boleh carut marut. Hari-hari boleh gelap. Tapi cintanya pada Dokter Abi akan selalu ada. Menyala.
Sebagaimana ekspedisi-ekpedisi sebelumnya, mereka tidak sendirian. Tiga pengawal menyertai mereka. Dua memimpin di depan dalam kendaraan 4×4 m, sementara yang satu motoran di belakang. Semitruck yang Dokter Abi kemudikan aman di tengah-tengah rombongan.

"Masih empat jam lagi," ucap Bu Norma sambil membetulkan hijab panjangnya. Suara wanita itu lembut nan merdu. Menenangkan. Beberapa saat yang lalu dia baru saja memeriksa arloji di pergelangan tangan kirinya dan menguap lebar. Di sampingnya, sang suami fokus memerhatikan jalan. Lubang bekas ranjau dan bom membuat mereka mustahil memacu laju kendaraan. "Mas belum ngantuk?"

"Belum." Dokter Abi melirik wajah istrinya yang sayu. Meski tak lagi muda, Bu Norma masih secantik saat hari perkawinan mereka. Baginya, wanita itu adalah obor. Tanpanya, dia akan hilang. Tersesat. Tak lagi punya alasan hidup di dunia. "Kamu tidur dulu."

Bu Norma menggeleng. Dia paham betul tabiat suaminya. Luka perang mungkin mengubah banyak orang. Tetapi tidak dengan Dokter Abi. Laki-laki itu masih laki-laki yang meminangnya lima belas tahun lalu. Selalu mendahulukan orang lain. Selalu ingin menolong. Membantu sebisanya.

"Sudah. Jangan bandel. Kamu belum tidur semalam."

"Lah? Kayak Mas tidur aja."

Dokter Abi tersenyum.

"Mas?" Bu Norma kembali bersuara setelah beberapa lama. Kegelapan masih membungkus mereka. Gerimis bahkan mulai membasahi kaca depan mobil mereka. Kelak-kelok jalan seperti tiada habisnya. Tebing dan jurang mengapit mereka. "Tahu ngga, tadi aku diberi oleh-oleh."

"Hm? Oleh-oleh?"

"Iya."

"Dari?"

"Ada bocah gitu, kan. Yatim piatu. Bapaknya dibunuh bandit. Ibunya... hilang pas perang. Dia seneng banget aku kasih mi instan. Belum makan empat hari katanya."

Dokter Abi bungkam, menyimak.

"Nah. Dia bilang aku... mirip ibunya."

"Hah?"

"Iya. Jadi ibunya dia juga dulu guru. Jilbaban juga. Pakai kacamata juga. Bulet tapi punya beliaunya."

"Hmm."

Percakapan mereka disela komunikasi radio dari ketua rombongan yang mengingatkan agar jika Dokter Abi dan Bu Norma merasa capek, mereka akan rehat sejenak sebelum kembali mengarungi malam yang masih panjang.

"Nah, oleh-olehnya ini," kata Bu Norma sambil mengeluarkan sebuah sapu tangan kecil dari saku rompi anti peluru yang dia kenakan. Kepada Dokter Abi dia pamerkan kain polos berwarna cokelat muda itu. "Katanya, ini dulu punya ibunya dia. Sering dipakai ngelap kacamata gitu."

"Hmm."

Bu Norma turunkan kacamatanya yang lalu dia usap dengan sapu tangan si bocah. Matanya sendiri kemudian berkaca-kaca teringat betapa banyak bocah yang senasib. Dia sendiri belum dikaruniai momongan. Meski demikian, insting keibuannya ikut perih merasakan kepedihan anak-anak korban perang itu. Secara tidak langsung, dia sudah anggap mereka anak-anaknya sendiri. Jika bisa, dia ingin bawa setiap dari mereka ke markas di mana kesehatan dan kesejahteraan mereka akan diperhatikan. Sayang, markas sendiri serba kekurangan. Selain harus menolong mereka yang membutuhkan, mereka juga harus mempertahankan diri dari serangan para bandit dan kelompok-kelompik militia yang menjamur seiring ketidak becusan pemerintah mengontrol keadaan.

Sembari meremas sapu tangan barunya, Bu Norma pandangi siluet pohon-pohon di balik kaca jendela mobil yang berkelebat muram. Tanpa dia sadari, kantuk menyergapnya. Ketika kembali membuka mata, tahu-tahu rombongan sudah berhenti.

"Sampai mana ini?" tanya Bu Norma selepas menguap. Di sampingnya, Dokter Abi tampak tegang. Mengamati sekeliling, wanita berhijab itu menyadari ada yang salah. Mereka tidak sedang di tepi jalan sebagaimana biasanya saat beristirahat. Mereka masih di tengah jalan. "Mas? Ada apa?"

"Pohon tumbang," ucap Dokter Abi tanpa emosi.

"Pohon?" Bu Norma memicingkan mata jauh ke depan hingga dia dapat mengenali garis-garis badan manusia-manusia di yang tersorot cahaya mobil ketua rombongan. Di belakang mereka dia dapati sebatang pohon besar melintang.

"Ng... ngga bisa muter kita?"

"Kejauhan."

"Letnan—"

"Sudah turun. Sama Serda Aziz juga."

Bu Norma menengok ke belakang dan melihat motor trail sang pengawal terparkit dekat sekali dengan lampu rem mobilnya. Kembali menoleh ke depan, dia amati bagaimana para lelaki sedang berjuang membuka akses jalan dengan peralatan seadanya. Parang-parang mereka ayunkan lagi dan lagi dan lagi. Ranting dan dahan dipotong di sana-sini. Hujan masih belum berhenti.

"Mas?" Bu Norma cekal lengan suaminya begitu lelaki itu meraih handle pintu pengemudi. "Mau ke mana?"

"Bantu."

"Jangan," larang Bu Norma, tegas. Dia tidak perlu Letnan Munir ingatkan agar tidak membiarkan sang dokter keluyuran. Bukan apa-apa, tenaga medis sangat vital bagi misi mereka. Dan tak hanya itu, cintanya pada Dokter Abi membuat setiap sel dalam dirinya ingin menjaga pria itu supaya tetap aman. Tetap di sisinya.

"Ngga apa-apa, Dik. Cuma pohon, kok," kata Dokter Abi menenangkan. "Ada Letnan juga."

"Ngga boleh. Titik."

"Dik—"

Ucapan Dokter Abi dijeda sorot lampu senter yang tiba-tiba menyalakan kaca depan mobil mereka. Sebentar kemudian, Serda Aziz tampak berlari ke arah mereka. Cepat Bu Norma membuka kaca jendela.

"Bu Norma? Pak Dokter?"

"Sudah bisa lewat, Mas?" tanya Bu Norma pada si pria yang lebih muda. Hati wanita itu melorot saat sang tentara menggelengkan kepala. Bahunya ikut melorot saat Sertu Nuri—sopir ketua rombongan—tampak turun dari mobil dan langsung diludahi hujan.

"Pohonnya gede banget," kata Serda Aziz yang kini berdiri berhadap-hadapan dengan Bu Norma. "Bu Norma sama Pak Dokter masih kuat, kan?"

Bu Norma bertukar pandang dengan Dokter Abi.

"Bantu dorong, ya, Pak, Bu," ucap Serda Aziz sebelum berderap menjauh tanpa menunggu tanggapan mereka yang dia ajak bicara.

"Ditarik mobil aja apa ngga bisa?" tanya Bu Norma pada malam.

"Kalau jalannya mulus," kata Dokter Abi, "pastinya bisa. Lha ini mblegong-mblegong sekawah candradimuka, lho. Mana di ketinggoan juga. Butuh tangan manusia dulu mungkin."

Bu Norma merengut.

"Masih untung kita baru kejebaknya sekarang. Ngga dari tadi-tadi," lanjut si dokter.

Bu Norma kian memberengut.

"Tenang," kata Dokter Abi. Dari loker di bawah setir kemudi dia keluarkan sepucuk senjata api yang lalu dia selipkan pada ikat pinggang. "Biar aku yang turun. Kamu di sini saja. Kunci pintunya."

"Heh? Yo ngga, dong. Aku ikut juga. Tadi Serda—"

Dokter Abi potong protes Bu Norma dengan mencium kening wanita itu. Mereka beradu pandang.

"Please?"

Dengan berat hati, si wanita berjilbab mengangguk.

###

Sebagaimana yang Dokter Abi duga, posisi melintang pohon menyulitkan penanganan. Diameter pohon itu sendiri jika diestimasi kasar mencapai setidaknya tiga meter. Jika nekat menarik (atau mendorong) dengan mobil, akan sangat berisiko. Salah-salah mobil bisa masuk jurang. Karenanya, pemimpin para warga, Demang, terang-terangan menampakkan raut muka cerah saat Sertu Nuri dan Dokter Dokter Abi bergabung.

"Kalau bapak-bapak ndak dateng," kata Demang yang malam itu mengenakan jas hujan ponco sebagaimana warga yang lainnya, "kami sudah mau cabut tadi. Bahaya soalnya malem-malem di luaran begini, Pak. Eh, ndilalah. Bapak-bapaknya tentara juga. Bagus malah."

"Sudah talinya?" tanya Letnan Munir pada seorang warga yang ditugasi mengunci satu sudut batang pohon yang sudah dipotong agar patuh pada kehendak mereka yang akan mendorongnya; ke mana dia akan diarahkannya. Bersama ketiga anggota rombongannya, kini tersedia sembilan pasang tangan untuk lekas kembali membuka jalan. Seharusnya cukup. Atau demikian yang si letnan sangka.

"Sudah, Ndan!" terdengar jawaban dari balik badan pohon yang melintang.

"Ayok semua!" seru Letnan meningkahi suara hujan.

Bersama-sama, dalam satu aba-aba, kesembilan lelaki mendorong sekuat tenaga. Sedikit demi sedikit, pohon bergeser. Belum menggelinding. Tetapi cukup berpindah dari tempatnya semula.

"Lagi!" seru Demang yang Letnan Munir mintai pertimbangan mengenai posisi terbaru batang pohon.

"Ayok!"

"Satu!"

"Dua!"

"Ti—"

Dor!

Dor!

Dor-dor-dor-dor-dor-dor-dor!

Tembakan sporadis dari atas tebing menghujani para pria. Dokter Abi, yang juga veteran perang, langsung tiarap. Kepala rapat dengan tanah basah. Serda Aziz ikut tengkurap di sampingnya. Segera setelah rentetan tembakan berhenti, dokter itu menengok ke kiri. Mata kosong Serda Aziz memandangnya balik. Selamanya tubuhnya memeluk bumi pertiwi.

Terlalu takut untuk bergerak, Dokter Abi pindai sekitarnya. Pendengaran dan penglihatan dia pertajam. Dia tidak bisa seratus persen meyakinkan diri akan apa yang barusan terjadi. Namun, dari yang bisa dia amati, tidak ada laki-laki yang berdiri. Semuanya tumbang. Semuanya tewas. Dia satu-satunya—

Norma!

Bagai tersengat listrik, Dokter Abi beringsut. Bertumpukan siku dan lutut, dia memutar badan ke arah mobil-mobil. Gelap. Karpet dari pecahan mika dan kaca jendela memisahkannya dari istrinya. Untuk saat ini, dia tidak melihat mayat Bu Norma. Bagus. Itu bagus. Pintu mobilnya pun masih tertutup. Sekarang, dia harus mendekat. Demi memastikan.

Belum juga Dokter Abi sempat bergerak, dia dengar siulan panjang. Siulan tersebut disambut siulan lain, dari arah pepohonan di jurang. Nyaringnya siulan menembus rintik hujan.

Celaka, pikir Dokter Abi.

Pohon tumbang itu hanya jebakan. Mereka masuk ke dalam perangkap! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodo—

"Mas!" panggil Bu Norma yang kini mengintip dari celah pintu mobil yang dia buka tipis. Kaca jendela rapat terkunci. Beberapa peluru nyasar melubangi kap mobil. Selain itu, dia aman. Seketika sewaktu mendengar dua letusan pertama, wanita itu telah menjatuhkan diri ke lantai kendaraan, meringkuk seperti bocah ketakutan. Sekarang, ketakutan yang lain menyergapnya. Dia takut suaminya kenapa-napa. "Mas Abi!"

"Norma!"

Bu Norma lega begitu mendengar suara suaminya. Suaminya terdengar panik, tapi baik-baik saja. Tanpa pikir panjang, dikuasai perasaannya, wanita itu membuka pintu mobil.

Baru juga Bu Norma melongokkan kepala, sebuah sepatu terbang menghantam rahangnya. Tersuruk dia jatuh ke jalan. Dunia berputar-putar. Tangannya terasa kebas. Kerongkongannya terkunci. Punggungnya membentur sesuatu yang keras, agaknya. Basah. Dia kehujanan.

Ajaibnya, kacamata wanita masih bertengger pada hidung bangirnya.

"Ck, ck, ck," decak seseorang. Wajahnya gelap. Badannya kerempeng. Matanya juling. Sepatu-sepatu militer membungkus kakinya. Demi mengamati lebih dekat si wanita, dia tekuk kedua lutut. Sebuah senter kecil dia arahkan ke wajah Bu Norma. "Walah. Ada mbak-mbak."

"Mbak-mbak dari mana?" tanya temannya, yang kini ikut berjongkok. Mereka baru turun dari tebing. Sementara Si Juling memegangi senter, dia menenteng sebuah senapan laras panjang. Sesabuk amunisi melintangi dadanya. Kepalanya berbandana merah, senada dengan rok Bu Norma. "Emak-emak ini."

"Halah. Tahu apa kowe soal wedokan."

Si bandana tampak amat sangat ingin memopor kawannya. Untung bagi si Juling, tiba-tiba terdengar letusan pistol. Mereka menoleh. Sorot cahaya senter serta merta jatuh pada sosok Dokter Abi, yang berdiri dengan pistol di tangan. Tembakan yang dia lepas ke udara barusan hanyalah peringatan. Sekarang, dia arahkan moncong pistol pada para bandit yang berpakaian ala-ala militer namun tampak jelas mereka sebenarnya orang-orang kurang kerjaan. Penjahat. Sampah masyarakat.

"Angkat tangan! Jatuhkan senjata kalian!" Suara Dokter Abi terdengar mengancam. Pistol dia genggam erat di kedua tangan. Kaki melangkah ke depan, pelan. "Cepat pergi sebelum aku lubangi—"

Dor!

Dokter Abi tumbang. Sebuah pelor panas menembus pahanya. Dia berteriak kesakitan. Pistol terlepas dan masuk ke kubangan jalan. Dia tahu pembuluh aorta kaki kirinya kena. Rasa sakitnya baru akan dimulai sebentar lagi. Akan tetapi, denyut darah yang muncrat sudah dia dapati. Sebisanya dia tekan lubang masuknya peluru.

"Tokek elek! Matane picek!" sergah seseorang yang kemudian muncul dari bayangan pepohonan di sepanjang jurang. Di tangan kiri dia jinjing sebuah gergaji berjenis cross cut yang biasa dipakai dua orang. Sementara, di tangan yang lain sepucuk revolver dia genggam. Pria ini tingginya kurang lebih 180 cm. Jauh lebih tinggi dibanding si Juling dan Si Bandana. Meski demikian, dia tampak kerdil saat dibandingkan dengan lelaki yang muncul paling akhir. Bukan hanya tinggi, pria gondrong ini juga berbahu lebar. Senapan-senapan serbu milik para pengawal Bu Norma dan Dokter Abi dia pikul di atas salah satunya. "Kalau aku ndak buru-buru naik, bisa ngendhut kowe."

Ngendhut adalah padanan kata para bandit untuk mati; kembali ke tanah/lumpur.

"M-maaf, Kopral," Tokek mengembik. Kembali dia senteri sosok Bu Norma yang masih meringkuk menyamping. "Habisnya, nemu cewek kita, Kopral."

"Cewek?" tanya Kopral, tanpa dosa melangkah ke arah Dokter Abi lalu menyudahi penderitaan sang dokter dengan satu tembakan di kepala. Revolver lalu dia selipkan di pinggangnya. "Cewek apa?"

"Ini, Kopral!" seru Si Bandana seraya mengangkat salah satu kaki Bu Norma ke udara. Rok panjang yang wanita itu pakai tersingkap karenanya. Nampaklah betis dan paha jenjang si wanita berpostur 172 cm dan berbobot 66 kg itu. Sebelum Kopral dan si Raksasa tiba di hadapan mereka, buru-buru dia jatuhkan kembali kaki janda itu. Walau wajahnya telah dikunjungi kerut dan dimakan usia, sebenarnya dia masih remaja. Bu Norma adalah wanita pertama yang disentuhnya.

"Hmm," gumam Kopral manakala dia ambil alih senter dari tangan Tokek. Sekujur badan Bu Norma dia terangi. Darah yang meleleh dari sela bibir si wanita dia usap lalu jilat. "Manis juga," komentarnya. Kemudian, saat dia remas payudara Bu Norma yang kenyal sebab belum pernah membalon karena ASI, dia berkata, "Wih. Boleh juga ini susu."

"Gimana, Kopral? Kita," ujar Tokek, "bawa ke pondok?"

Kopral menoleh pada si Raksasa, yang tampak tak tertarik. Mereka saling bersitatap lama.

"Lumayan, lho." Tokek kembali buka suara. "Biar ini Kancil tahu rasanya memek juga."

Setelah berunding singkat, keempat pria itu masuk ke dalam mobil yang tadinya Dokter Abi kendarai. Sebuah semitruck dengan palang merah pada atapnya. Mobil itu Tokek putar balik. Motor Serda Aziz yang jadi korban manuver kasar tersebut. Terguling-guling ke jurang dia disertai suara kerasak berisik sebelum diakhiri debam samar.

Lalu, diam.




~bersambung​
 
Terakhir diubah:
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd