Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Vanquish 2 : The Next Level

Bimabet
menunggu emang membuat kesel. tp gpp deh, kalo emang ini udah takdir
 
Suhu alan udah nongol. Monggo di lanjut ngeditnya ane udah standby nunggu update-an
 
Woooeyy bang anal mana ini Ara kok ga nongol" :galak: :galak: :galak: kalau ga nongol malam ini bakalan ane suruh suhu cumi buat tusboler suhu Alan eh anal :papi: :mami:
 
Edun.... sampe jam segini updatenya belum keluar juga.
Suhu Alan ayo keluarin
:galak: :galak: :galak:
 
update update update update update update update update update update update update update update

nanti keburu maintenance suhu alan :galau:
 
Terakhir diubah:
Chapter 23
La Batalla Termina, Adiós Mi Ángel


Budi bersama ketiga rekannya yaitu Assassin, Insane dan Hurricane masih terlibat baku tembak dengan kawanan penjahat anak buah Bastian. Tanpa ampun mereka melepaskan tembakan yang tepat mengenai bagian tubuh ataupun kepala dari lawannya, membuat mereka tersungkur bersimbah darah. Sebenarnya beberapa kali tembakan dari lawan sempat mengenai mereka, namun dengan pakaian khusus yang dipakai, semua itu tak mampu menembus kulit mereka.

Melihat perlawanan yang dilakukan nampak sia-sia membuat pihak musuh semakin panik. Mereka mulai menembakkan senjatanya dengan asal sehingga dengan mudah dilumpuhkan oleh Budi dan kawan-kawan. Rio dan Tono yang akhirnya bergabung dengan mereka melihat situasi terlebih dahulu, sebelum akhirnya ikut menembak setelah mencari tempat berlindung yang dirasa cukup aman.

TRAAAAAAANG...

“Anjiiing!” teriakan Insane mengejutkan rekan-rekannya.

“Kenape lu San?” tanya Hurricane sambil masih terus menembakkan senjatanya ke arah lawan.

“Kagak. Kaget aja gue, senapan gue kena, hampir ngenain tangan gue tadi, untungnya nggak apa-apa.”

“Itu si Rio!” ujar Budi saat melihat Rio membidikkan senapannya ke arah mereka.

“Nah ini pentolannya udah keluar, hajar Bud!”

Shadow, Queen, Rio sama Tono udah keluar. Tunggu sampai Bastian dan McArthur bersaudara keluar, nanti kalian masuk ke villa, selamatkan sandera!” ujar Budi memberikan perintah kepada kedua rekannya yang masih melindungi mereka dari belakang.

Roger that!” jawab keduanya bersamaan.

“Mas Jaka, gimana statusnya disana?” Budi memantau kondisi Jaka yang berada cukup jauh dari mereka dengan radio komunikasinya.

Aman Bud, sniper mereka belum nemuin lokasiku.

“Loh, katanya tadi udah dibereskan Jak?” Insane ikut mengomentari.

Itu tadi cuma 2 orang aja. Aku yakin masih ada yang lainnya.

Sementara itu di tempat persembunyiannya, Jaka masih terus membidik lawan-lawannya. Dari tadi belum ada tembakan yang meleset, hampir semua peluru yang dimuntahkan mampu menembus kepala lawannya. Tidak adanya gangguan membuat Jaka bisa dengan nyaman melindungi keempat rekannya yang berada di garis depan. Hanya saja dia masih belum bisa membidik Rio dan Tono yang posisi mereka cukup tersembunyi dari tempatnya sekarang.

Sedang fokus dengan tembakan-tembakannya tiba-tiba saja Jaka dikejutkan oleh suara teriakan beberapa pria yang dia dengar. Suara itu tidak terlalu jelas, menandakan kalau sumbernya cukup jauh dari lokasinya sekarang. Jaka menghentikan sejenak tembakannya untuk lebih memfokuskan pada pendengarannya. Masih dia dengar suara, sekitar 2 sampai 3 orang berteriak.

Asumsi dia, jika memang suaranya sebanyak itu, berarti mereka adalah dari pihak musuh, karena yang dia tahu, hanya ada 2 orang yang membantunya kali ini. Beberapa saat menunggu tak ada suara teriakan lagi, membuat Jaka yakin bahwa para sniper musuh yang tersisa sudah berhasil dilumpuhkan.

Dia kemudian berkonsentrasi lagi membidik lawan yang jumlahnya sudah semakin berkurang. Dia juga melihat Budi dan ketiga orang lainnya mencari tempat berlindung, baku tembak yang tadinya berlangsung sangat sengit berhenti sementara. Terlihat oleh Jaka teman-temannya sedang mengganti magazine senapan mereka masing-masing.

Jaka lalu menembakkan kembali pelurunya ke arah musuh yang sedang bersembunyi. Beberapa tembakannya yang tepat mengenai sasaran membuat yang lainnya menjadi panik dan mengira-ngira darimana arah tembakan itu. Kemudian mereka berpindah ke tempat yang dirasa lebih aman dari jangkauan Jaka. Namun saat mereka berpindah, ternyata hal itu sudah ditunggu oleh Budi dan yang lainnya, sehingga kembali mereka menjadi sasaran empuk keempat orang itu.

Saat baru saja berhasil menghabisi beberapa lawannya, tiba-tiba Jaka dikejutkan kembali oleh suara dari semak-semak yang berada di sekitarnya. Jaka bersiaga, dia mengeluarkan pistol yang sedari tadi masih belum berpindah dari sarangnya. Selain senapan runduknya, Jaka memang mempersiapkan senjata lain untuk berjaga-jaga, jika memang ada musuh yang mengetahui keberadaannya dan bergerak mendekat.

Jaka memakai night vision goggles yang sudah disiapkan, untuk bisa melihat lebih jelas di kegelapan seperti ini. Dia bisa melihat ada dua orang bergerak mendekatinya. Jaka masih belum yakin apakah kedua orang itu adalah orang yang membantunya ataukah dari pihak musuh, karena itu dia masih bersikap waspada.

“Siapa?!” gertak Jaka saat posisi kedua orang itu sudah cukup dekat, membuat kedua orang itu terkejut.

“Tunggu dulu. Ini kami, Marto dan Ichi,” jawab seseorang diantaranya yang tak lain adalah Marto.

“Oh kalian, kemarilah,” ujar Jaka kemudian menyalakan senternya sekejap untuk memberi tahu posisinya kepada mereka.

Siapa Mas?” tanya Budi melalui radionya karena mendengar Jaka berteriak.

“Marto dan Ichi, mereka sudah disini.”

Tak lama kemudian Marto dan Ichi sudah berada di lokasi Jaka. Meskipun dalam kegelapan mereka masih bisa melihat Jaka yang sedang tertelungkup sambil membidikkan senjatanya ke arah villa.

“Gimana Mas Marto? Aman kan?”

“Iya, kami sudah bereskan sniper lawan, seperti arahan dari teman anda. Tadi kami berpencar untuk mencari lokasi mereka, dan berhasil membunuh semuanya. Saya rasa anda mendengar teriakan mereka tadi.”

“Ya, saya dengar kok. Lalu gimana dengan yang di bawah?” tanya Jaka tanpa memalingkan wajahnya, dan masih terus menembaki lawan-lawannya yang berada di villa.

“Oh iya, barusan saya dapat laporan dari Fadli, kalau mereka sudah berhasil membunuh keempat Mata Angin dan semua anak buahnya. Sekarang Fadli, Paidi, Fauzi dan Nickolai sedang menuju kemari.”

“Bud, kamu udah denger sendiri kan?”

Iya Mas, aku denger. Kalau mereka mau suruh nyusul kesini aja sekarang.”

“Mas Marto dan Ichi, Budi bilang kalau kalian mau nyusul kesana silahkan saja, tapi tolong lebih hati-hati, karena lawan-lawan kita agak ngawur menembakkan senjatanya, salah-salah bisa kena kalian nanti. Saya akan tetap disini, melindungi yang lain dari jauh.”

“Baik, kami akan menyusul kesana.”

Setelah itu Marto dan Ichi segera beranjak meninggalkan Jaka untuk menuju ke villa, bergabung dengan Budi dan juga yang lainnya. Kembali Jaka terlihat asyik dengan senapan runduknya, menembaki siapa saja lawan yang terlihat olehnya.

Bastian dan McArthur bersaudara udah keluar. Mas Jaka bisa lihat nggak dari sana?” tiba-tiba terdengar suara Budi di earphone yang terpasang di telinga Jaka.

Negative. Nggak kelihatan Bud dari sini.”

Emang udah jatah kita itu Bud,” sahut Insane.

Oke, kita bergerak. Mas Jaka tetap lindungi kami dari sana ya,” ujar Budi memberikan instruksi.

“Oke siap!”

Suasana baku tembak di halaman villa yang tadi sempat terhenti kini sudah kembali terdengar lagi. Insane dan Assassin bergerak maju, sementara Budi dan Hurricane berada di belakang mereka. Senapan serbu yang sudah terisi penuh amunisinya itu kembali ditembakkan ke arah persembunyian para penjahat.

“Tembak! Serang balik mereka!”

Tono dan Rio memberikan instruksi kepada anak buahya yang terlihat takut-takut untuk keluar dan membalas. Namun karena merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan selain menyerang balik, mereka pun beranjak dan mengarahkan tembakannya ke Budi dan rekan-rekannya.

Shadow, Queen, bergerak!”

Tak ada jawaban dari keduanya, namun Budi tahu kalau Shadow dan Queen akan langsung bergerak sesuai dengan yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Tugas keduanya adalah mengeluarkan semua sandera yang berada di dalam villa dan membawanya ke tempat yang aman, sehingga rekan-rekannya yang lain bisa dengan leluasa untuk membantai para penjahat ini. Dengan memindahkan sandera mereka juga tidak perlu takut jika tembakan ngawur yang dilepaskan lawannya akan melukai para sandera.

*****

Marto dan Ichi nampak sedikit kesulitan untuk bergerak menuju ke arah villa. Masalahnya jalan yang mereka lalui memang dipenuhi semak belukar yang lumayan tinggi, jadi mereka harus berhati-hati jika sewaktu-waktu ada serangan dari hewan-hewan yang berada di sekitar situ. Beruntung mereka termasuk orang-orang terlatih sehingga masih bisa mengatasi kesulitan-kesulitan itu, meskipun Marto sudah cukup lama tidak bersentuhan dengan hal-hal semacam ini dan juga Ichi yang belum pernah melewati medan seperti ini dalam menjalankan tugasnya.

“Chi, kita nanti langsung ikut nyerang atau nge-back up mereka dari belakang?”

“Lihat kondisi dulu aja Mas, kalau diperlukan ya kita ikut nyerang bareng mereka.”

“Tapi kalau misal kita nanti harus duel sama mereka, Rio bagianku. Entah siapapun dia yang sebenarnya, tapi dia udah ngusik keluargaku, terutama istriku, aku nggak akan pernah maafin dia.”

“Soal itu gampang, yang jelas, seperti apapun nanti, kita nggak boleh ngebiarin satupun dari mereka lolos Mas, kalau perlu, habisi aja mereka semua.”

Mereka sudah semakin dekat dengan villa. Cahaya lampu dari villa merupakan penunjuk bagi mereka untuk menentukan arah jalannya. Semakin dekat, meskipun kondisi masih cukup gelap tetapi akhirnya mereka bisa melihat puluhan senjata otomatis yang terpasang, beserta beberapa kamera pengawas. Mereka menggelengkan kepalanya, berpikir segila apa lawan mereka hingga bertindak sampai sejauh ini. Mereka pun tak bisa membayangkan jika senjata-senjata itu aktif, akan sangat sulit untuk menembus sampai ke villa, sehebat apapun orang itu.

Dari situ mereka juga sudah bisa mendengar suara baku tembak yang terjadi. Cukup banyak rentetan tembakan yang terdengar, membuat mereka serentak berhenti untuk memeriksa senjatanya masing-masing. Mereka harus memastikan senjatanya dalam keadaan siap tempur untuk menghadapi segala kemungkinan nantinya. Namun sebelum melanjutkan langkahnya, Marto dikejutkan oleh getaran dari ponselnya, Fadli menelpon.

“Halo, kenapa Fad?”
Halo, Mas Marto dan Ichi dimana?

“Kami sudah jalan ke villa, ini sudah hampir sampai. Kalian dimana?”
Kami masih di jalan Mas, bentar lagi sampai di tempat kemarin.

“Hmm, tempat kemarin yaa. Kalau gitu nanti kalian cari jalan yang aman ke arah gerbang villa, tapi hati-hati yaa, lawan kita nembaknya ngawur, takutnya nanti kena peluru nyasar.”
Oke Mas, makasih infonya, secepatnya kami kesana.

“Ada apa?” tanya Ichi saat Marto kembali memasukkan ponsel ke sakunya.

“Fadli dan yang lain bentar lagi nyampai sini, aku suruh langsung ke arah gerbang aja,” jawab Marto sambil mereka kembali melanjutkan perjalanan ke arah villa.

“Hmm, baguslah, makin banyak bantuan. Tapi yakin mereka nggak akan malah nyusahin?”

“Sejujurnya aku kurang tahu kemampuan mereka seperti apa, tapi kalau Fadli yang ngasih rekomendasi, yaa berarti mereka cukup bisa diandalkan, buktinya Mata Angin dan gerombolannya berhasil diatasi kan.”

“Yaah, okelah, asal nggak ngerepotin aja. Aku paling benci kalau dalam kondisi seperti ini malah harus direpotin dengan rekan sendiri.”

“Hahaha, sudahlah, lebih baik kita cepat kesana.”

*****

Queen, kita berpencar. Aku disini, kamu naik ke lantai 2.”

“Oke, hati-hati.”

Shadow dan Queen kini sudah berada di dalam villa. Kondisinya cukup sepi, berbeda jauh dengan hingar bingar baku tembak yang terjadi di luar. Setelah memastikan Queen naik ke lantai 2 dengan aman, Shadow segera memeriksa ruangan-ruangan di lantai 1 ini. Dengan senapan serbu yang tadi sempat dia ganti magazine-nya, dengan sangat berhati-hati dia melangkah tanpa menimbulkan suara, meskipun sebenarnya suara baku tembak dari luar villa cukup keras untuk menyamarkan suara yang ditimbulkannya.

Dia tahu ada dua kamar yang harus dia periksa, yaitu kamar yang digunakan sebagai tempat untuk menyekap Ara dan Mila. Dengan sangat perlahan kini dia sudah mendekati pintu kamar pertama. Sempat sejenak mengawasi kondisi sekitar, kemudian dia memutar handle pintu itu tanpa menimbulkan suara, lalu dengan gerakan tiba-tiba membuka dan langsung menodongkan senapannya.

Namun ternyata kamar itu kosong. Masih dengan berhati-hati dia memeriksa kamar itu, termasuk di kamar mandinya juga. Namun hasilnya memang nihil, tidak ada siapa-siapa di kamar ini, hanya beberapa utas tali dan pakaian wanita yang nampak berserak di lantai. Shadow nampak terdiam sejenak, jika tidak di kamar ini, kemungkinan kedua wanita itu dikumpulkan di satu kamar yang sama, yang berarti bahwa Fuadi dan Arjuna berada di kamar itu juga. Tentu akan lebih merepotkan jika keduanya membawa senjata.

Shadow sempat berpikir apakah lebih baik menunggu Queen agar nantinya ada yang mem-back up jika terjadi sesuatu, namun kemudian dia mengurungkannya. Akhirnya dia keluar dari kamar itu untuk menuju kamar lainnya. Kali ini dia harus lebih waspada, karena ada kemungkinan harus menghadapi 2 orang sekaligus, dimana pastinya mereka akan menggunakan sandera sebagai tameng. Dia sempat mengumpat karena lupa membawa thermal detector, karena jika membawanya dia bisa mendeteksi posisi lawan berdasarkan panas tubuh mereka.

Dia sudah berada di depan pintu kamar kedua. Sayup-sayup terdengar isak tangis serorang perempuan dari dalam kamar. Kali ini dia harus bermain feeling, memperkirakan dimana posisi lawannya, bagaimana kondisi mereka dan juga para sandera. Namun untuk berjaga-jaga, dia mempersiapkan sebuah pistol, membuka kuncinya sehingga akan lebih mudah jika sewaktu-waktu harus digunakan.

Setelah merasa siap, dia menarik nafas dalam-dalam. Dia tahu lawan yang berada di dalam kamar akan memperhatikan pintu ini, jadi tak perlu membukanya dengan pelan-pelan. Dengan gerakan yang sangat cepat dia memutar handle pintu, mendorongnya sambil menodongkan senapannya. Dia cukup terkejut melihat apa yang ada di dalam kamar ini. Tiga orang yaitu Sakti, Wijaya dan Aini duduk terikat di kursi berjejer dengan posisi menghadap ke arah pintu. Di belakangnya, Arjuna berdiri memeluk Mila dan Fitri yang dalam keadaan telanjang bulat.

Kedua tangan Arjuna memeluk leher Mila dan Fitri. Tangan kanan Arjuna memegang pistol yang diarahkan kepada Fitri yang berada di sisi kirinya, sedangkan tangan kiri juga memegang pistol yang diarahkan kepada Mila yang berada di sisi kanannya. Posisi kepala dan tubuh kedua wanita itu menempel sehingga berhasil menutupi Arjuna dengan sempurna, hanya bagian mata ke atas yang terlihat karena memang dia lebih tinggi daripada Mila dan Fitri.

“Wah wah, ternyata bener perkiraan Bastian, bakal ada anggota Vanquish yang menyusup kemari untuk membebaskan para sandera. Tapi sayangnya, kami sudah bersiap dengan semua itu, pria bertopeng, haha.”

“Lepaskan para sandera dan menyerahlah Arjuna! Anak buahmu di luar sudah banyak yang mati, termasuk keempat Mata Angin dan semua anggotanya yang akan menyusul dari bawah.”

Ucapan Shadow sempat membuat kaget Arjuna. Dia tak menyangka bahwa Mata Angin dan anak buah yang menyusul dari bawah berhasil dibunuh. Harusnya rencana ini tak diketahui oleh siapapun, tapi sekarang malah sudah berhasil dibereskan. Meskipun begitu, Arjuna tetap mencoba untuk tetap bersikap tenang.

“Haha, nggak masalah. Mereka memang dipersiapkan untuk mati melindungi kami. Dan kamu juga tahu, kami tidak akan pernah menyerah. Jadi lebih baik buang senjata kamu atau aku akan bunuh sandera ini satu persatu!”

Shadow masih terdiam mendengar gertakan dari Arjuna. Dia mencoba mempelajari situasi dan berbagai kemungkinan untuk bisa menyerangnya. Tapi sangat sulit karena tubuhnya tertutup oleh kedua wanita itu. Dia pun melihat pistol Arjuna dalam posisi siap untuk di tembakkan. Jika sedikit saja gegabah, nyawa Mila maupun Fitri bisa terancam.

“Ayo tunggu apalagi, cepat buang senjata kamu!” kembali Arjuna menggertak sambil meneratkan pelukannya di leher Mila dan Fitri.

“Jangan dengarkan dia, cepat tembak saja, jangan pedulikan kami,” tiba-tiba Mila berbicara dengan suara yang serak.

“Iya tembak saja, bagaimanapun dia akan tetap membunuh kita semua nantinya,” ujar Fitri menimpali, juga dengan suara serak. Nampak sekali bahwa kedua wanita itu sudah tak memiliki tenaga, namun masih memiliki keberanian begitu tahu ada yang datang untuk menolong mereka.

“Diam kalian berdua! Hei kamu, cepat buang senjatamu!” hardik Arjuna dengan tak sabar sambil kembali mengeratkan pelukannya, membuat Mila dan Fitri memekik kesakitan dan memegangi tangan Arjuna, berusaha untuk merenggangkan pelukan itu agar tak terlalu menyakiti mereka.

Setelah memperhitungkan kondisi, mau tak mau Shadow menurunkan senapan serbunya. Sambil matanya tetap menatap ke arah Arjuna dia membungkuk meletakkan senapannya ke lantai, setelah itu menegakkan badannya kembali dan menendang pelan senapan itu menjauh darinya.

“Hei, kamu pikir aku nggak tahu kalau senjatamu bukan cuma itu? Ayo cepat keluarkan semuanya dan buang seperti tadi!”

Shit! Umpat Shadow dalam hatinya. Dengan terpaksa dia mengeluarkan dua buah pistol yang berada di sisi kanan dan kiri pinggangnya. Kembali dia melakukan seperti tadi, membungkukan badannya untuk meletakkan pistolnya di lantai. Dia menatap dengan sangat tajam ke arah Arjuna yang terlihat puas karena lawannya menurut, berkebalikan dengan sorot mata Mila dan Fitri yang terlihat kecewa dengan apa yang telah dilakukan oleh Shadow.

*****

Pada saat yang bersamaan, Queen sudah berada di lantai 2 villa ini. Dia mengamati sejenak kondisi sekitar. Terdapat beberapa kamar dengan pintu yang tertutup rapat. Dia harus sangat berhati-hati, karena tidak tahu berapa orang dan siapa saja yang berada di lantai ini. Sama seperti hahlnya yang dilakukan oleh Shadow di lantai bawah, dia memeriksa kembali senjata yang sudah terisi penuh amunisinya. Dia juga mempersiapkan pistolnya untuk menghadapi hal-hal diluar dugaannya.

Perlahan dia mendekati kamar pertama, memutar handle pintu dan dengan cepat mendorongnya hingga terbuka. Kosong, tak ada siapapun di kamar itu. Bahkan kamar itu nampak masih begitu rapi, seperti tidak pernah ditempati sebelumnya. Dia kemudian keluar dan menuju ke kamar selanjutnya. Dan ternyata sama saja dengan sebelumnya, kamar tersebut juga kosong, tidak ada tanda-tanda pernah ditempati. Queen menuju ke kamar selanjutnya dan hasilnya sama saja, namun ada beberapa lembar pakaian pria berserakan disana.

Sudah 3 kamar diperiksa dan hasilnya nihil. Meskipun begitu dia tak mengurangi kewaspadaannya. Tersisa 2 kamar lagi, bisa saja lawannya berada di salah satu, atau malah mungkin di kedua kamar itu. Posisi kedua kamar itu berada di bagian depan, sehingga orang yang di dalamnya bisa melihat dengan jelas baku tembak yang terjadi di halaman villa. Tiba-tiba terpikir sebuah kemungkinan buruk di kepala Queen, dia pun segera menghubungi Jaka melalui alat komunikasinya.

Nocturne, masuk.”
Iya Queen, masuk. Ada apa?

“Bisa pantau lantai 2 villa ini?”
Oke bentar.

“Gimana Mas?” tanya Queen lagi setelah menunggu beberapa saat.
Oke, ada 2 jendela. Yang sebelah kanan kondisi gelap, yang kiri terang dan sepertinya ada orang.

“Berapa orang? Bisa dilihat pakai thermal detector?”
Negative. Thermal detectorku nggak bisa dipakai dari jarak ini.

“Nggak ada yang mencurigakan? Maksudku, mungkin ada yang bersembunyi dan mengincar rekan-rekan kita dari lantai 2 ini?”
Aman. Aku udah beberapa kali cek kok.

“Oke, kalau gitu aku masuk.”
Hati-hati.

‘Sebelah kiri dari arah Mas Jaka, arah kananku,’ batin Queen.

Tak ingin menunda lebih lama, dia segera mendekati kamar itu. Dengan gerakan yang cukup cepat, Queen membuka pintu itu dan menodongkan senapannya. Terlihat seorang wanita cantik berambut panjangnya terkejut dengan kehadirannya. Wanita itu duduk di kursi, memeluk seorang bocah lelaki yang sedang tertidur. Tangannya memegang sebuah pistol dan mengarahkannya ke kepala bocah tadi. Sedangkan di nampak seorang anak perempuan yang juga tertidur pulas.

“Sii... Siapa kamu? Buang senjatamu atau kubunuh bocah ini!”

“Apa kamu yakin bisa membunuh anak itu, Martha?”

“Baa... Bagaimana kamu bisa tahu namaku?!” terlihat Martha terkejut karena wanita bertopeng itu ternyata mengetahui identitasnya.

“Itu nggak penting. Yang penting sekarang kamu letakkan pistolmu perlahan, lepaskan anak itu dan menyerahlah, agar semua jadi lebih mudah.”

“Nggak! Kamu yang harus buang senjata itu, atau aku akan benar-benar membunuh anak ini!”

“Oke oke, aku buang senjata ini,” Queen pun mengalah dan meletakkan senapannya di lantai.

“Sekarang lepaskan Ardi, Martha. Anak itu nggak tahu apa-apa.”

Bukannya melepaskan Ardi, Martha justru menodongkan pistolnya kearah Queen. Namun terlihat sekali tangan Martha bergetar hebat.

“Sudahlah, lepaskan Ardi. Lihat tanganmu yang bergetar itu, jelas sekali kamu belum pernah memegang pistol sebelumnya, dan kurasa kamu nggak tahu cara memakainya.”

“Diam! Aku tinggal menarik pelatuknya saja untuk membunuhmu!”

“Kalau begitu lakukanlah.”

Martha terdiam, tangannya semakin gemetar. Queen memang tak salah, ini adalah pertama kalinya dia memegang sebuah senjata api seumur hidupnya. Sebenarnya Bastian sudah melarang, namun tanpa sepengetahuan orang lain dia memaksa Tono untuk memberikannya sebuah pistol, untuk sekedar berjaga-jaga.

“Ayo lakukan, tunggu apalagi? Tunjukkan bahwa kamu bisa memakai pistol itu.”

DOOOORRRR

“Aaaarrrgghhhh...”

Queen jatuh terduduk memegangi perutnya yang ditembak oleh Martha. Martha sendiri terlihat tak percaya dengan apa yang telah dilakukannya, namun sesaat kemudian dia tersenyum.

“Hahaha, kamu lihat kan? Akupun bisa membunuhmu,” merasa berhasil melukai lawannya, Martha berdiri, meletakkan Ardi di ranjang dan berjalan mendekati Queen.

Martha yang tak pernah terlibat hal-hal seperti ini tentu tak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Meskipun dia sempat mendengar Bastian mengatakan bahwa kemungkinan lawan-lawan mereka akan menggunakan pakaian anti peluru, namun dalam bayangannya pakaian itu berbentuk seperti rompi yang biasa dia lihat di film-film. Karena itu saat melihat Queen yang tidak memakai rompi, dia berpikir bahwa tembakannya telah berhasil melukai wanita bertopeng itu.

Queen, kamu nggak apa-apa?” terdengar suara Budi dari alat komunikasi yang terpasang di telinga Queen.

Not a big deal, you know what i wore. But i think, i have to kill her,” jawab Queen berbisik. (Bukan masalah besar, kamu tahu apa yang aku pakai. Tapi kurasa, aku harus membunuhnya.)

Do it! She’s just one of them.” (Lakukanlah! Dia hanya salah satu dari mereka.)

Martha semakin mendekat dan kini hanya berjarak sekitar dua langkah saja dari wanita yang baru saja ditembaknya. Queen sendiri nampak semakin membungkuk, seolah menahan rasa sakitnya, padahal itu hanyalah untuk menyamarkan gerakan tangan kanannya yang sedang meraih sebuah pistol yang terselip di pinggangnya.

Martha masih menodongkan pistolnya saat tiba-tiba Queen menatapnya sangat tajam. Dia tak bisa mengartikan pandangan itu, namun dari topeng kain merah yang menutup wajahnya, wanita yang baru saja tertembak itu seperti sedang tersenyum, membuat Martha semakin kebingungan. Disaat seperti itu, dengan gerakan yang sangat cepat tangan kanan Queen yang telah memegang pistol terarah kepada Martha, dan...

DOOOORRRR

Buuuggghh

Sebuah tembakan tepat bersarang di kepala Martha, membuatnya terjatuh ke belakang. Matanya terbuka lebar menandakan keterkejutannya. Bibirnya juga terbuka meskipun tadi tak mengeluarkan suara sedikitpun. Dari luka tembak di kepalanya mengalir darah segar. Tubuhnya sempat mengejang sebentar, dan kemudian tak bergerak. Dia pun menghembuskan nafas terakhirnya.

I’m done, the hostages saved.” (Aku sudah selesai, sandera selamat.)

*****
 
Terakhir diubah:
“Hahaha, dimana-mana memang seperti itu ya. Kalian selalu menurut jika diancam dengan sandera seperti ini. Asal tahu saja, rasanya sayang sekali jika harus membunuh kedua wanita cantik ini, tubuh mereka masih begitu enak untuk dinikmati, hahaha.”

Arjuna tertawa puas melihat lawannya yang tak punya pilihan lain. Setelah ini tinggal memaksanya membuka pakaian anti peluru itu dan menembakinya hingga mati. Dia tak menyangka akan semudah ini melumpuhkan salah satu anggota dari pasukan rahasia yang katanya jauh lebih hebat dari pasukan elit manapun di negeri ini.

Namun karena saking puasnya membuat Arjuna tak menyadari ada yang berubah dari tatapan Shadow. Pria itu memang sudah meletakkan kedua pistolnya di lantai, namun kini tatapannya tajam ke arah Fitri. Wanita itu seperti menyadari sesuatu, dan merespon dengan sedikit menganggukkan kepala tanpa membuat Arjuna curiga.

Shadow kemudian menggeser kedua pistol itu kearah senapan yang berada beberapa langkah di depannya. Dia bergerak seperti akan berdiri kembali, namun dengan gerakan yang sangat cepat tangan kanannya mengambil sebuah pistol kecil yang terselip di sepatunya dan langsung menembakkannya ke arah Arjuna.

DOOOORRRR

“Aaaarrrgghhhh...”

Sebuah tembakan tepat mengenai kening Arjuna. Arjuna yang tak menyangka hal itu tak bisa berbuat apa-apa, terlebih lagi tiba-tiba Fitri yang entah mendapat tenaga dari mana langsung bergerak meringkus tangannya sekaligus membebaskan Mila dan merebut pistol dari tangan Arjuna.

Arjuna yang kehilangan keseimbangan langsung terjatuh di ranjang di belakangnya. Tubuhnya langsung ditindih oleh Fitri, dan kemudian Fitri menembak kepala Arjuna berkali-kali dari jarak dekat dengan pistol yang berhasil dirampasnya hingga peluru di pistol itu habis. Arjuna meregang nyawa, bersimbah darah dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

Shadow menarik nafas lega. Perjudian yang dilakukannya berhasil. Pistol yang dia pakai tadi adalah sebuah pistol kecil yang hanya berisi satu buah peluru. Jika tembakannya meleset sedikit saja, bisa gagal semuanya. Apalagi jika dibandingkan dengan anggota yang lain, kemampuannya menembak termasuk yang paling buruk, namun dia bersyukur bisa dengan tepat mengenai Arjuna.

Shadow done. The hostages saved.

Segera Shadow menghampiri Sakti untuk melepas ikatannya. Begitu terlepas langsung saja Sakti menghampiri dan memeluk istrinya yang terduduk lemas. Shadow juga membebaskan Wijaya dan Aini. Mereka berdua berpelukan erat. Merasa begitu lega.

Pada saat yang bersamaan, Queen yang menggendong Ardi dan Tika masuk ke dalam kamar itu. Melihat kedua cucunya langsung saja Wijaya dan Aini menghambur ke arah Queen. Wijaya menggendong Ardi dan Aini menggendong Tika. Mereka terlihat semakin lega melihat cucu-cucunya selamat.

“Mana Ara?” tanya Queen sambil menuju ke arah Shadow yang sedang mengambil senjata-senjatanya. Dia hanya menjawab dengan gelengan kepala.

”Queen, tolong carikan apapun untuk menutupi tubuh mereka. Aku akan periksa dulu ruangan yang lainnya. Tunggu aku kembali, nanti kita keluar sama-sama.”

“Baiklah.”

Shadow pun keluar dari kamar itu untuk memeriksa ruangan-ruangan lain di villa ini, masih ada Ara dan Fuadi, serta wanita-wanita lain yang harus segera ia temukan. Sementara itu Queen mengambilkan pakaian untuk Mila dan Fitri. Dia memberikan salah satu pakaian itu kepada Sakti agar dipakaikan ke Mila, kemudian menghampiri Fitri yang masih menduduki tubuh tak bernyawa Arjuna.

“Mbak Fit, pakai ini dulu. Nanti kita keluar sama-sama, suamimu sudah menunggu disana,” Fitri terkejut dan menatap Queen, namun dengan segera dia menguasai dirinya. Dia segera memakai pakaian yang diberikan.

“Nona, hmm... Maaf, siapapun anda, bagaimana dengan Ara?” tanya Wijaya yang masih menggendong Ardi.

“Teman saya sedang mencarinya, kita tunggu dulu disini. Nanti kalau dia sudah kembali kita keluar bersama-sama. Kondisi di luar sangat kacau, para penjahat itu menembak ke sembarang arah, jadi kami harus memastikan kalian semua bisa keluar dari tempat ini dengan selamat.”

Mereka semua hanya mengangguk. Memang jika mendengar dari kamar ini, baku tembak yang terjadi di luar villa sepertinya sangat berbahaya. Akan menjadi sebuah hal yang konyol jika mereka keluar begitu saja. Meskipun jika diperhatikan suara-suara tembakan yang terdengar sudah tidak sebanyak sebelumnya, namun tetap saja mereka tak mau ambil resiko. Setelah beberapa saat menunggu, Shadow kembali ke kamar itu dan hanya menggelengkan kepalanya.

“Mungkin Ara ada di tempat lain. Sebaiknya kita keluar dulu dari sini.”

“Tapi bagaimana dengan Ara? Kita harus mencarinya dulu,” ujar Wijaya dengan panik mengetahui anaknya tidak ada di villa itu.

“Kami akan mencari dan menyelamatkannya Pak, tapi yang terpenting sekarang adalah kalian keluar dulu dari villa ini ke tempat yang lebih aman.”

“Mereka benar Yah, sebaiknya kita keluar dulu, dengan begitu mereka akan lebih leluasa untuk mencari Ara,” ujar Sakti ikut menambahi.

“Baiklah, tapi tolong temukan anak saya.”

“Kami akan berusaha semaksimal mungkin Pak.”

Mereka semua pun akhirnya keluar dari kamar. Terlihat hari sudah mulai terang, namun baku tembak belum berhenti. Meskipun suaranya sudah tidak sebanyak sebelumnya, namun sepertinya terlalu riskan untuk keluar dari pintu depan villa ini.

”Venom, bagaimana kondisi di luar? Kami akan membawa sandera keluar,” Shadow menghubungi Budi melalui alat komunikasinya. Sengaja dia memanggilnya Venom agar tidak membuat Wijaya dan keluarganya semakin cemas.

Lawan tinggal sedikit, paling sekitar 20an orang. Tapi sebaiknya kalian lewat samping, dari depan terlalu beresiko.

“Oke, kami cari jalan lain.”

Shadow dan Queen segera mengarahkan Wijaya dan keluarganya untuk menuju ke arah lain. Tidak ada pintu di bagian samping, jadi terpaksa mereka harus lewat jendela. Mereka bedua memeriksa keadaan terlebih dahulu, nampak beberapa mayat penjahat tergeletak bersimbah darah. Setelah memastikan kondisi aman, mereka pun menghancurkan jendela itu.

Shadow keluar terlebih dahulu untuk berjaga-jaga, kemudian diikuti oleh satu persatu dari mereka. Setelah semua keluar mereka pun melangkah dengan berhati-hati. Mila langsung merasa mual dan hampir muntah ketiga melihat mayat-mayat penjahat yang bergelimpangan itu. Belum pernah sekalipun dia menyaksikan pemandangan seperti ini secara langsung.

“Kami sudah di luar dan akan menuju gerbang, tolong lindungi kami,” ujar Shadow melalui alat komunikasinya.

“Tunggu sebentar, kami isi ulang amunisi dulu. Nanti kalau aku kasih kode, kalian langsung bergerak,” terdengar jawaban dari Budi.

Shadow memberitahukan hal itu kepada mereka semua. Dia sedikit khawatir dengan Mila dan Aini, apakah dengan kondisi seperti ini bisa bergerak dengan cepat. Karena itu dia meminta Aini untuk menyerahkan Tika kepada Queen. Nantinya Fitri akan membantu Aini agar bisa bergerak lebih cepat, sedangkan Mila akan dibantu oleh suaminya.

Oke Shadow, move now!

Bersamaan dengan isyarat dari Budi, terdengar suara tembakan yang membabi buta. Shadow pun langsung meminta mereka bergerak, sambil dirinya melindungi dengan mengarahkan senapannya ke arah para penjahat itu. Tembakan membabi buta dari Budi dan rekan-rekannya membuat para penjahat kalang kabut dan kembali bersembunyi, sehingga pelarian para sandera itu berjalan dengan aman. Namun ternyata Steve yang bersembunyi bersama dengan Bastian dan David melihat itu, sayangnya sudah terlambat untuk bertindak karena para sandera sudah berhasil keluar dari gerbang.

“Boss...”

“Kenapa Steve?”

“Mereka berhasil membebaskan para sandera, termasuk kedua anak kecil itu.”

What??? Fuck... Fuck... Fuck...!

Bastian tahu, jika kedua anak kecil yang diculiknya berhasil dibebaskan, itu berarti sesuatu yang buruk telah terjadi kepada Martha. Dia mengutuk dirinya sendiri. Harusnya dia membawa Martha ke tempat yang lebih dekat dengannya, sehingga bisa melindunginya. Tapi kini sudah terlambat. Penyesalan dan kemarahannya memuncak.

“Berapa anak buah kita yang tersisa?”

“Nggak banyak boss, kalau ditambah kita berlima, mungkin tinggal 20an.”

Kembali Bastian terdiam. Dia tak menyangka rencana yang sudah sedemikian rapi dia susun selama bertahun-tahun menjadi seberantakan ini. Rencana itu sudah dia bukan dengan sangat detail. Setiap hal-hal kecil yang berhubungan secara langsung maupun tak langsung sudah dipikirkan matang-matang. Semuanya berjalan dengan sangat lancar sampai beberapa jam yang lalu. Namun kini semuanya kacau.

Dia merasa ada sesuatu yang salah, tapi otaknya sedang tak bisa berpikir jernih untuk menemukan inti permasalahan itu. Pikirannya terganggu oleh hal buruk yang terjadi pada Martha, lagipula sekarang mereka sedang berperang, tak ada gunanya juga kalaupun akhirnya bisa menemukan kesalahan pada rencananya itu. Sekarang mereka harus bertindak, atau akan semakin terdesak dan mendapatkan kekalahan yang konyol.

“Ton, perintahkan anak buahmu untuk menyerang!” ujar Bastian pada Tono yang berada tak jauh dari tempatnya.

“Tapi boss...”

“Sekarang atau nanti sama saja. Bersembunyi seperti ini akan membuat mereka lebih mudah mengalahkan kita. Cepat serang, dan bunuh mereka semua!”

Sebenarnya Tono ragu untuk melakukan perintah dari Bastian. Dia tahu amunisi yang dimiliki anak sudah semakin menipis. Memerintahkan untuk menyerang seperti itu sama saja dengan menyuruh mereka bunuh diri. Tono juga yakin anak buahnya mulai kehilangan kepercayaan diri karena melihat begitu banyak teman-temannya yang mati, sama halnya dengan dirinya. Namun dia tahu perintah Bastian bukan sesuatu yang bisa ditolak. Dia pun menghela nafas dalam-dalam, kemudian tiba-tiba berdiri dan berlari ke arah lawannya.

“Semuanya, ayo kita habisi mereka!”

Tono tahu, hanya dengan perkataan saja tak akan cukup untuk membuat anak buahnya bergerak, karena itulah dia nekat keluar dari tempat perlindungannya dan menyerang secara frontal. Melihat apa yang dilakukan Tono membuat anak buahnya pun bergerak mengikutinya. Mereka seperti sudah tak peduli lagi dengan nyawanya, toh pada akhirnya mereka akan mati juga.

Bastian, Steve, David dan Rio terkejut melihat aksi nekat Tono itu. Mereka segera membidikkan senjatanya ke arah Budi dan rekan-rekannya untuk melindungi Tono. Hal itu cukup mengejutkan bagi Budi dan rekan-rekannya, sehingga mereka yang tak siap memilih untuk kembali tiarap di tempat perlindungannya. Melihat hal itu tentu saja Tono dan para anak buahnya semakin semangat untuk terus mendekat dan menyerang lawannya.

Namun kemudian justru tembakan datang dari arah gerbang. Shadow, Queen, Marto dan Ichi yang berada disana segera memuntahkan peluru ke arah penjahat-penjahat nekat itu. Satu persatu dari mereka bertumbangan dengan kepala tertembus timah panas, hingga hanya tersisa Tono seorang. Itupun tidak lama, karena posisinya yang cukup dekat dengan Budi dan rekan-rekannya membuat badannya yang besar itu diberondong oleh senapan serbu milik Hurricane.

“Bangsat kalian semuaaaa!”

Bastian yang melihat itu semakin kalap. Dia menembakkan senjatanya dengan membabi buta, diikuti oleh Steve, David dan juga Rio. Namun baru beberapa saat menembakkan senjatanya, Rio dikejutkan oleh sebuah peluru yang persis mengenai senapannya, membuat senapan itu hampir terlepas dari tangannya. Belum hilang rasa terkejutnya, sebuah peluru kembali mengenai salah satu bagian dari senapannya lagi, yang kali ini berhasil membuatnya terlepas bahkan rusak, tak bisa digunakan lagi.

“Anjing, si sniper!”

Rio kemudian mengeluarkan pistolnya, namun baru dua kali menembak hal yang sama terulang lagi. Pistolnya dibuat hancur oleh peluru yang entah darimana datangnya. Dia kembali mengeluarkan pistol cadangan lagi yang merupakan senjata terakhirnya, namun kembali bernasib sama dengan yang sebelumnya. Hal itu membuatnya murka dan menyumpah serapah tak karuan.

Hal yang sama selanjutnya terjadi kepada Bastian, Steve dan David. Mereka yang memaksakan untuk menyerang membuat posisinya justru masuk ke dalam jangkaun Jaka. Namun Jaka yang mengetahui jika lawannya hanya tinggal mereka berempat memang sengaja tak langsung membunuhnya, dia ingin memberi kesengangan kepada rekan-rekannya.

Venom, Assassin, Insane, kurasa kalian akan lebih puas jika menghabisi mereka dengan duel satu lawan satu bukan?” terdengar suara Jaka dari alat komunikasi di telinga mereka.

“Loh, gue kok nggak disebut?” Hurricane protes karena namanya tak disebut.

Untuk yang ini kamu cukup lihat aja.

“Lha kan masih ada 1 orang Jak?”

No no no. Kurasa Rio itu adalah jatahnya Marto, bukan begitu?

“Aah kampret, giliran kayak gini aja dikasih ke orang lain, giliran yang ribet-ribet gue yang disuruh maju. Tahu gitu dari tadi gue hancurin aja tempat ini pakai jet,” jawab Hurricane mendengus kesal.

“Kan ada sandera yang harus diselametin nyet, kalau lu pakai jet ya modar semua lah,” ujar Insane menimpali.

“Udah-udah nggak usah ribut. Mending kita hadapi mereka, semakin cepat semakin baik. Inget, Fuadi dan istriku belum ketemu. Istrinya Ichi juga,” Budi menengahi keributan diantara rekan-rekannya itu.

Shadow, kasih tahu Mas Marto!”

Udah Bud, dia juga udah siap.

Budi melirik ke belakang, dan memang terlihat Marto sudah bersiap dan mulai berjalan maju mendekati mereka. Budi, Assassin dan Insane pun segera berdiri. Bersama dengan Marto mereka melangkah ke depan dengan santai. Mereka berempat bahkan terlihat menaruh senapan serbu yang sedari tadi dipakainya. Mereka cukup yakin melakukan itu karena jika tiba-tiba ada yang menyerang dengan menggunakan senjata api, masih ada Jaka, Hurricane, Shadow, Queen dan juga Ichi yang melindungnya. Apalagi Marto juga tahu bahwa Fadli, Paidi, Fauzi dan Nickolai juga sudah sampai di tempat itu dan sekarang bergabung dengan Ichi.

Bastian, Rio, Steve dan David melihat itu semua sebagai tantangan untuk berduel. Mendapat tantangan seperti itu tentu saja harga diri mereka terusik. Apalagi mereka pun kini sudah tak lagi memegang senjata api, jadi satu-satunya jalan untuk meneruskan pertempuran ini adalah dengan duel satu lawan satu. Mereka sudah tak lagi nantinya akan seperti apa, karena kalaupun menang dari Budi dan ketiga orang itu, masih ada rekan-rekannya yang lain, yang siap menembakkan senjata mereka kapanpun.

Serentak mereka berempat berdiri, kemudian berjalan ke arah Budi dan rekan-rekannya. Ekspresi wajah dari kedua pihak ini jauh berbeda. Bastian dan rekan-rekannya terlihat begitu emosi karena anak buah mereka yang sudah dipersiapkan berhasil dibunuh seluruhnya, dan rencana yang mereka susun sejak bertahun-tahun yang lalu itu hancur berantakan hari ini. Sedangkan Budi dan rekan-rekannya nampak lebih tenang, mungkin hanya Marto yang sedikit terlihat emosi saat menatap Rio.

Kini mereka sudah saling berhadap-hadapan. Marto menghadapi Rio, Insane menghadapi David, Assassin menghadapi Steve, dan Budi menghadapi Bastian. Budi bahkan kemudian melepas topengnya, namun tidak dengan kedua rekannya.

“Well, rupanya ini Vanquish yang sesungguhnya. Harus diakui, aku terlalu meremehkan kalian. Aku benar-benar salah memperhitungkan sampai dimana kemampuan kalian sehingga semua yang telah kami lakukan berantakan seperti ini.”

“Kalian tak perlu repot mengira-ngira Bas, apa yang terjadi pagi ini bahkan belum ada separuhnya dari kemampuan kami yang sebenarnya. Persiapanmu sudah lumayan, tapi kalian berurusan dengan orang yang salah.”

“Tinggi juga omonganmu Bud, bahkan dimana istrimu saja kamu belum tahu kan. Mungkin sekarang dia sedang asyik bercinta dengan ayahku.”

“Setelah membunuhmu, aku akan menemukan mereka, dan akan mengirim Fuadi untuk menemanimu di neraka.”

Bastian sedikit heran dengan reaksi Budi yang tidak terkejut dengan perkataannya. Dia melirik yang lainnya, dan sepertinya mereka juga tidak terlalu peduli dengan kata-katanya barusan.

“Tak perlu bingung, kami sudah mengetahui hubunganmu dengan Fuadi, Baskara!” Kini justru Bastian yang terkejut karena ternyata Budi sudah mengetahui jati dirinya yang sebenarnya.

“Wah wah, sampai disitu rupanya yang kalian ketahui. Memang tak salah jika disebut sebagai pasukan terbaik di negeri ini. Sepertinya aku tak perlu repot-repot lagi untuk memberi tahu siapa kami sebenarnya dan apa tujuan kami melakukan ini semua bukan?”

“Ya, kau benar Bas, kami sudah tahu semuanya. Dan rasanya Rory akan senang sekali jika kedua anaknya menyusul dan menemaninya di neraka,” celetuk Insane menyahuti omongan Bastian.

Fuck off you!

Perkataan Insane rupanya menyulut kemarahan David sehingga langsung menerjang ke arahnya. Begitu pula dengan Steve yang langsung menyerang Assassin. Bastian dan Rio pun demikian, langsung menyerang lawannya masing-masing. David dan Steve yang merupakan mantan anggota satuan khusus Inggris tentu saja memiliki dasar beladiri yang mumpuni, namun bukannya membuat Insane dan Assassin gentar, mereka justru semakin bersemangat.

Budi yang sedikit terkejut dengan kemampuan Bastian, dia tak menyangka rupanya pria ini cukup hebat beladirinya. Sedangkan Marto merasa kemampuan Rio sebenarnya tidak seberapa hebat, tapi kemarahan dan kenekatan membuatnya sedikit sulit untuk dilawan. Meskipun begitu baik Budi maupun Marto masih merasa yakin mereka mampu mengalahkan lawannya masing-masing.


Marto vs Rio

Rio menyerang Marto secara membabi buta. Baik pukulan maupun tendangan bergantian dia layangkan, namun tak satupun mengenai bagian tubuh Marto. Dengan cukup gesit Marto mudah saja menghindar karena gerakan-gerakan Rio cukup mudah untuk dia tebak. Belum terlihat ada keinginan dari Marto untuk membalas, karena dia memang ingin menguras tenaga lawannya itu dulu.

Tersadar bahwa semua gerakannya hanya sia-sia, Rio menghentikan serangannya. Dia masih memasang kuda-kuda sembari mengatur nafas dan berpikir bagaimana caranya bisa mengalahkan Marto. Dia mulai menyadari bahwa dirinya yang dikuasai emosi akan sangat merugikan, sehingga mencoba mendinginkan kepalanya.

Marto menyadari hal itu langsung bergerak menyerang Rio. Dia tak mau memberi kesempatan lawannya untuk menenangkan diri karena bisa berbahaya baginya, mengingat Rio ini orangnya sangat licik. Rio yang terkejut dengan serangan tiba-tiba dari Marto tak mampu sepenuhnya menghindar sehingga beberapa pukulan mendarat di wajahnya. Meski pukulan-pukulan itu tak begitu telak namun tak ayal membuatnya yang tadi sudah cukup tenang kembali emosi dan lagi-lagi menyerang dengan asal.

Tindakan Rio ini justru membuat pertahanannya terbuka dan tentu saja hal itu dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Marto. beberapa kali jab dari Marto mendarat di dada maupun wajah Rio. Pada awalnya Rio tak terlalu mempedulikan dan terus menyerang, namun lama kelamaan dia mulai merasa kesakitan karena pukulan-pukulan itu.

Buuugghhh...

“Aaarrgghh bangsat!”

Sebuah hook telak mendarat di dagu Rio membuatnya sedikit kehilangan keseimbangan. Namun Marto tak langsung memberikan serangan susulan. Dia seperti masih ingin bermain-main dengan Rio, dan hal itu benar-benar membuat emosi Rio memuncak. Kembali dia mengarahkan pukulannya kepada Marto, dan sekali lagi dengan mudah dihindari, bahkan tanpa diduga Marto memberikan sebuah pukulan telak di ulu hati Rio.

“Uuuggghhhh.”

Rio sampai harus mundur beberapa langkah dan membungkukkan badannya menahan sakit. Dia meringis namun tetap menatap Marto dengan sangat tajam. Sementara Marto masih kelihatan begitu tenang. Dia tersenyum lebar melihat Rio yang kesakitan, bahkan nafasnya masih normal, menandakan ini bukan pertarungan yang cukup berat baginya.


Budi vs Bastian

Sementara itu pertarungan antara Bastian dan Budi masih terlihat berimbang karena sedari tadi Budi lebih banyak menghindar. Dia ingin lebih tahu dulu sampai mana kemampuan Bastian yang sebenarnya. Keduanya sama sekali belum terkena pukulan satupun, nafasnya pun juga masih terjaga dengan baik. Terlihat bahwa Bastian memiliki stamina yang cukup bagus.

Bisa terlihat diantara teman-temannya yang lain, Bastian jauh lebih tenang dan tidak gegabah. Entah dulunya mendapatkan darimana, tapi Budi mulai meningkatkan kewaspadaan menghadapinya. Kemampuan beladiri yang cukup bagus ditambah dengan otak yang super licik membuat Budi harus berhati-hati dengan segala kemungkinan.

Bastian pun sama, setelah beberapa kali melancarkan serangan kepada Budi, dia tahu kalau lawannya ini memiliki kemampuan diatas rata-rata. Dia juga harus berhati-hati dengan segala kemungkinan yang bisa dilakukan oleh Budi. Keduanya saling tatap dengan tajam. Sejurus kemudian mereka sudah saling menyerang.

Kali ini Budi tak hanya menghindar, namun juga balas menyerang. Sedikit demi sedikit dia sudah bisa memperkirakan sejauh mana kemampuan Bastian. Jual beli pukulan dan tendangan dari keduanya masih belum menemui sasaran karena berhasil ditangkis dengan baik. Kedua pria inipun masih terlihat begitu berhati-hati dan selalu menjaga jarak. Benar-benar akan alot dan menguji kesabaran keduanya.


Insane vs David

Di tempat lain pertarungan yang lebih seru terjadi antara Insane dan David. Dengan teknik beladiri tingkat tinggi yang mereka kuasai, dan juga cara bertarung yang hampir sama membuat keduanya sudah sama-sama berhasil membuat wajah lawannya terluka. Insane adalah tipe petarung yang tidak mempedulikan pertahanan dan terus menyerang. Dia tak masalah wajahnya babak belur asal lawannya menderita luka yang lebih parah.

David juga memiliki karakter yang hampir sama, namun dalam keadaan normal dia masih memiliki pertahanan yang cukup baik. Akan tetapi perkataan Insane yang menyinggung soal ayahnya tadi membuatnya emosi dan kalap. Dia menyerang Insane habis-habisan meskipun wajah dan tubuhnya juga penuh dengan luka lebam.

Sebuah hook dilancarkan oleh David tetapi berhasil ditangkis dan justru dibalas dengan uppercut oleh Insane yang mendarat telak di dagu David membuatnya sedikit sempoyongan. Namun secepat kilat David membalasnya dengan sebuah tendangan yang mendarat di perut Insane. Mereka sama-sama terdesak mundur beberapa langkah, namun langsung maju menyerang kembali.

Keduanya kembali mengepalkan tangan untuk memberikan pukulan kepada lawannya, dan kembali sama-sama mengenai sasaran. Baik Insane maupun David seperti sedang adu ketahanan siapa yang lebih kuat menerima serangan dari lawannya. Mereka masih nampak tegap berdiri meskipun nafasnya sudah mulai memburu. Namun hal itu masih belum menghentikan keduanya untuk kembali asyik jual beli pukulan.


Assassin vs Steve

Tepat di samping mereka, nampak Assassin yang sedang melawan Steve. Perbedaan yang cukup jauh terlihat dari keduanya. Wajah Steve sudah begitu babak belur sedangkan Assassin sama sekali belum tersentuh. Steve tak habis pikir karena dia sebenarnya memiliki kemampuan beladiri yang boleh dibilang sangat baik, namun sama sekali tak bisa melukai lawannya sedikitpun. Dia benar-benar tak menduga ada orang yang memiliki kemampuan setinggi Assassin.

Meskipun begitu sudah terlambat untuk mundur, dan tak mungkin dia menyerah. Kembali Steve mencoba mengatur strategi bagaimana agar pukulan ataupun tendangannya bisa mengenai lawannya itu. Sikap Assassin yang cenderung santai tentu membuatnya tersinggung, namun dia tak mau gegabah lagi. Dia sudah merasakan bagaimana pukulan-pukulan pria bertopeng itu sukses membuat pelipis kanannya robek.

Steve memasang kuda-kuda, mengepalkan tangannya kuat-kuat, mengumpulkan tenaga yang sudah lumayan terkuras. Kemudian dengan cepat dia menyerang Assassin. Sebuah pukulan dengan tangan kiri dia layangkan ke wajah pria itu, namun dengan gesit mampu dihindari. Steve sudah bisa menebak kemana lawannya akan bergerak langsung mengarahkan tangan kanannya. Kali ini pukulannya mampu mengenai wajah Assassin meskipun tidak terlalu telak.

Steve menjadi semakin bersemangat, dia kembali menyerang dan sekali lagi bisa mengenai meskipun tak sampai membuat lawannya terluka parah. Setelah dua pukulannya berturut-turut mampu mengenai Assassin membuat semangatnya kian bertambah. Namun sayangnya dia tak sadar bahwa semua ini hanyalah pancingan dari lawan agar pertahanannya menjadi terbuka.

Terlalu asyik menyerang membuat Steve lengah. Sebuah pukulan darinya dengan mudah dihindari dan tanpa diduga sebuah pukulan balasan dilayangkan oleh Assassin dan itu tepat mengenai pelipis kirinya hingga robek. Belum sempat hilang rasa sakitnya sebuah pukulan susulan kembali mendarat di pipinya. Steve langsung berusaha melindungi wajah dengan kedua tangannya namun kemudian sebuah tendangan masuk telak mengenai perutnya dan harus membuatnya jatuh tersungkur.

Uhukh uhukh, shit, fool, he let me strike to make a chance to hit me.” (Sialan, bodoh, dia membiarkanku menyerang untuk membuat peluang agar bisa memukulku.)

Steve kembali mencoba untuk bangkit. Sekali lagi sikap lawannya yang santai dan seperti meremehkan membuatnya semakin marah. Namun dia masih menahan diri untuk menyerang, selain karena tadi sudah terpancing, efek dari pukulan Assassin kini membuat kedua pelipisnya robek. Darah yang mengalir sangat mengganggu pengelihatannya. Dia hanya menyeka sekedarnya saja, sambil mengerjapkan kedua matanya yang terasa perih.

Kini Steve kembali bersiap untuk menyerang. Dia tak lagi memikirkan strategi, karena sedari tadi dengan mudah dipatahkan bahkan diserang balik bertubi-tubi oleh lawannya. Satu sisi dalam dirinya merasa bahwa dia akan kalah dalam duel ini, namun harga dirinya menolak untuk menyerah. Lebih baik mati dalam pertarungan, daripada lari sebagai pecundang, kata-kata itulah yang kini ada di kepalanya.

Steve berlari menerjang ke arah Assassin yang sudah menunggunya. Gerakan yang begitu frontal dari Steve dengan sangat mudah mampu dihindari oleh Assassin, bahkan beberapa kali pukulan balasannya mengenai badan Steve. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang dideritanya, Steve terus menyerang dengan membabi buta. Namun darah yang mengalir dari kedua pelipisnya yang terluka membuat pandangannya semakin kabur, sehingga semua serangan yang dia layangkan tak satupun menemui sasaran.

Berbanding terbalik dengan Assassin. Dia merasa sudah cukup bermain-main dan sekarang adalah waktu untuk menghabisi lawannya. Sebuah pukulan dari Steve berhasil dihindari dengan mudah, kemudian dia membalas dengan pukulan keras yang telak mengenai perut lawannya. Saat Steve sedikit merunduk menahan sakit, Assassin langsung menambah penderitaan lawannya dengan sebuah uppercut yang lagi-lagi sukses membuat Steve hampir terjengkang ke belakang, namun kemudian tangannya ditangkap oleh Assassin, ditarik dan diberikan sebuah pukulan keras yang bersarang di wajahnya.

Buuuuggghhhh.

“Aaaaaaarrrrkkkhhhhh...!”

Teriakan panjang terdengar dari Steve ketika pukulan dari Assassin berhasil mematahkan tulang hidungnya. Belum cukup sampai disitu, kembali Assassin menarik tangan Steve yang hampir terjatuh dan mengulangi pukulan itu sampai dua kali membuat darah segar mengalir dari sekujur wajah Steve. Masih belum puas, kembali Assassin memberikan sebuah pukulan yang sangat keras di dada Steve hingga membuat salah satu tulang rusuknya patah dan menembus jantungnya.

Steve memuntahkan darah dari mulutnya. Dia jatuh terduduk. Ajalnya sudah di depan mata. Tanpa menunggu lebih lama, Assassin mengarahkan kakinya yang memakai sepatu komando itu untuk melakukan tendangan memutar sekuat tenaga yang bersarang telak di rahang Steve, membuat pria itu terlempar ke belakang, tersungkur di tanah, dan tak bergerak lagi. Steve telah kehilangan nyawanya dengan penuh luka dan wajah bersimbah darah.

“Steveeeeeeeeeee...!”

Terdengar teriakan dari David yang melihat bagaimana saudaranya itu telah tewas di tangan lawannya.

Fuck off you asshole!

“Hey bro, lawanmu disini, ayo selesaikan pertarungan kita,” ucap Insane yang semakin memanas-manasi David.

I’m gonna kill you! I’m gonna kill all of you!

Try, if you can,” jawaban dari Insane membuat David kalap.

David segera menerjang lawannya dan memberikan serangan yang bertubi-tubi. Kemarahan akibat kematian Steve tepat di depan matanya itu membuatnya benar-benar hilang akal. Bunuh! Bunuh! Bunuh! Hanya itu yang kini ada di kepalanya.

Kondisinya sendiripun sebenarnya sudah cukup banyak luka baik di bagian wajah maupun badannya. Namun kini dia semakin tak peduli, dia ingin segera menuntaskan duel dengan Insane untuk selanjutnya menantang Assassin yang telah membunuh saudaranya.

Dikuasai oleh emosi yang luar biasa benar-benar membuat David lepas kendali. Semua serangan balik dari Insane yang mengenainya sama sekali tak dipedulikan. Dia menyerang dan terus menyerang. Hal ini justru membuat Insane semakin senang, karena saat-saat kemenangannya akan datang sebentar lagi. Itulah yang diketahui Insane dari pengalamannya bertarung selama ini.

Hampir sama dengan Assassin, Insane adalah tipe petarung yang senang bermain dengan lawan-lawannya, dalam artian membuat lawannya menderita terlebih dahulu sebelum kemudian dihabisi. Bedanya adalah, jika Assassin tak mau terlalu banyak terluka, Insane justru memberikan wajah dan tubuhnya sebagai samsak bagi lawan-lawannya. Namun dengan tubuh yang sangat kuat, hal itu tak pernah menjadi masalah buatnya, bahkan selalu menjadi pancingan yang selalu sukses mengelabuhi semua lawannya. Insane pun kini merasa bahwa sudah waktunya menghabisi David, namun dia ingin melakukannya dengan cara yang lebih kejam daripada yang dilakukan oleh Assassin kepada Steve.

Kembali David menyerang dengan membabi buta. Pukulan dan tendangan yang bertubi-tubi dia lancarkan kini tak satupun mampu mengenai lawannya. Pada sebuah kesempatan, saat pukulan David berhasil ditahan, Insane memutar tubuhnya hingga kini berada di belakang David, merentangkan tangan kanan yang tadi ditangkapnya, dan sebuah gerakan dari sikunya bersarang dengan keras di siku David.

KRAAAAAAKKK...

“Aaaaaaarrrrkkkhhhhh...!”

Suara melengking David terdengar saat tangan kanannya patah. Dia segera memutar tubuhnya untuk menyerang Insane dengan menggunakan tangan kirinya. Namun sayangnya serangan itu percuma saja, bahkan Insane melakukan hal yang sama dengan menangkap tangan itu, memutar tubuhnya ke belakang David, dan dengan gerakan cepat sikunya kembali menghantam siku David dengan sangat keras.

KRAAAAAAKKK...

“Aaaaaaarrrrkkkhhhhh...!”

Lagi-lagi tangan David berhasil dipatahkan oleh Insane. Tak berhenti disitu, Insane segera merubah posisinya. Kini dia berhadap-hadapan dengan David. Insane melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Assassin kepada Steve, memukuli wajah David hingga tulang hidungnya patah dan wajahnya semakin mengeluarkan banyak darah segar.

Tanpa kedua tangan yang bisa digunakan, David sama sekali tak mampu berbuat apa-apa saat Insane menghujani tubuhnya dengan beberapa pukulan keras. Dadanya serasa remuk, beberapa tulang rusuknya patah dan melukai jantungnya. Darah segar mengalir dari mulut dan hidung David. Saat tubuhnya hendak terjatuh, Insane segera mengangkapnya. Dia memutar tubuh David hingga menghadap ke Steve yang telah tewas.

“Lihat itu saudaramu. Sampaikan salamku padanya yaa, selamat berkumpul dengan ayah kalian di neraka!”

KRAAAAAAKKK...

Tanpa ampun Insane memutar kepala David meremukkan tulang-tulang di lehernya. Seketika itu pula David tewas, menyusul Steve yang terbunuh beberapa saat yang lalu. Kondisinya bahkan lebih mengenaskan ketimbang Steve. Luka-lukanya lebih parah, matanya terbuka lebar menyiratkan penderitaannya sebelum terpisah antara nyawa dan badan. Kini kedua kakak beradik yang mengusung misi membalas dendam atas kematian ayahnya itu harus merelakan kegagalan misinya dan bahkan menyusul ayahnya ke alam baka.

Di lain tempat, satu lagi pertarungan tak seimbang terjadi antara Marto dan Rio. Wajah Rio sudah babak belur dihajar oleh Marto, sedangkan Marto sendiri hanya terkena beberapa pukulan ringan dari Rio yang bahkan tak membuatnya lebam. Marto menyadari bahwa kemampuan Rio yang sedang dihadapinya kini jauh dengan Rio yang sebenarnya. Dulu, selama perlatihan menjadi pasukan khusus kepolisian, hanya Rio yang aslilah yang bisa mengimbanginya dalam duel satu lawan satu, meskipun tak pernah menang atas dirinya. Dan kini, Rio yang dihadapi kemampuannya jauh di bawah itu.

“Uhukh uhukh, tak kusangka, kau hebat juga Marto!”

“Penipu rendahan sepertimu bukanlah tandingan bagiku. Bahkan kamu masih nggak ada apa-apanya dibandingkan Rio yang sebenarnya!”

“Haha, masih saja kamu sebut-sebut dia. Buktinya dia sudah lama mati.”

“Itu semua karena akal bulus kalian saja. Kalau dalam pertarungan yang fair, tak mungkin dia kalah dari kalian!”

“Tidak pernah ada kata fair dalam kamus kami untuk memperoleh apa yang kami inginkan. Termasuk, bagaimana aku berhasil menikmati kedua istrimu, sungguh, benar-benar nikmat, haha.”

“Bajingan! Sudah mau mati masih banyak omong, kuhabisi kau!”

Marto tersulut emosinya mendengar perkataan dari Rio dan langsung kembali menyerangnya. Serangan yang sama sekali tak mampu ditahan oleh Rio. Berkali-bali baik itu pukulan maupun tendangan dari Marto bersarang telak di badannya. Hingga akhirnya sebuah pukulan mengenai wajah dan membuatnya jatuh tersungkur. Rio merangkak mundur menjauhi Marto. Dia menemukan sebuah batu seukuran kepalan tangan, mengambil lalu melemparkannya kepada Marto, namun dapat dihindari dengan mudah.

Kembali Rio bangkit dan saat itu pula Marto langsung menerjangnya dan menghujaninya dengan pukulan dan tendangan yang tak satupun mampu ditahan atau ditangkis oleh Rio. Kembali Rio jatuh tersungkur dengan luka yang semakin banyak dan badan yang semakin terasa sakit. Dalam hati Rio mengumpat dan sudah merasa bahwa dirinya bakal kalah. Tiba-tiba dia melihat sebuah senapan yang berada beberapa meter di belakangnya. Rio berusaha bangkit dan berlari menuju senapan itu untuk mengambilnya.

SZLEEEEBBB...

“Aaaaaaarrrrkkkhhhhh...!”

Baru saja tangan Rio berhasil meraih senapan itu dan memutar badan, sebuah pisau komando menghunus tepat di dadanya hingga menembus jantung. Terlihat olehnya Marto yang tadi melempar pisau itu masih memegang satu buah pisau komando lagi sambil berjalan ke arahnya. Tak mau menyerah begitu saja, dengan sisa tenaganya Rio mencoba mengangkat senapan itu dan mengarahkannya ke Marto, namun belum sempat berbuat lebih jauh kembali Marto melemparkan pisau yang dipegangnya dan tepat menancap di leher Rio, membuatnya roboh seketika. Rio tewas dengan darah yang mengalir dari leher dan dadanya yang tertancap oleh pisau komando.

Hanya tinggal menyisakan satu pertarungan lagi yaitu antara Budi melawan Bastian. Pemandangan yang tersaji hampir sama dengan sebelumnya, dimana terlihat jelas kini Budi sudah bisa mendominasi Bastian. Kemeja putih yang dipakai oleh Bastian telah ternoda oleh banyaknya bercak darah. Pertarungan sudah semakin tidak seimbang lantaran stamina yang dimiliki oleh Bastian ternyata masih kalah jauh dibandingkan Budi.

Budi sendiri sebenarnya juga sudah beberapa kali terkena pukulan dari Bastian hingga wajahnya sedikit lebam dan dari sela-sela bibirnya mengeluarkan darah. Namun tentu saja luka itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan luka yang diderita oleh Bastian.

Duel antara mereka masih berlangsung dengan saling menyerang lawan masing-masing. Stamina Bastian yang mulai melemah membuat pukulannya tak lagi bertenaga seperti sebelumnya. Bahkan untuk menangkis serangan dari Budi pun dia mulai kesusahan, hingga akhirnya sebuah pukulan telak menghantam wajah dan membuatnya tersungkur ke tanah.

Sebelum sempat bangkit dia melihat kondisi di sekitarnya. Dia cukup terkejut melihat ketiga temannya sudah berhasil dikalahkan oleh lawan mereka masing-masing. Bahkan kini ketiganya sudah tergeletak tak bernyawa dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Melihat itu semua justru Bastian tersenyum lebar, bahkan kemudian tawa keras terdengar darinya.

“Hahahahahaha...”

“Hebat Vanquish, kalian memang benar-benar hebat. Tak kusangka kami bisa dikalahkan dengan semudah ini,” ujar Bastian yang belum juga bangkit.

“Luar biasa, benar-benar hebat. Lebih dari 150 orang disini sudah kalian habisi. 150 orang lagi ditambah keempat Mata Angin yang harusnya menyusul dari bawah sudah kalian habisi juga dengan bantuan dari polisi.”

Semua orang masih terdiam mendengar perkataan dari Bastian. Terutama Budi, dia masih menunggu lawannya itu untuk bangkit dan meneruskan pertarungan mereka. Namun Bastian tak juga bangkit, dan masih menertawai kondisinya yang sekarang sudah berada di ambang kekalahan.

“Rencana yang sudah kami susun bertahun-tahun, uang yang sudah begitu banyak kami keluarkan, semuanya hancur berantakan hanya dalam semalam. Kalian benar-benar hebat, aku terlalu meremehkan kalian, hahahaha.”

“Tapi sayangnya, target utama kalian tidak akan terpenuhi,” Bastian menatap ke arah Budi dengan senyum penuh misteri.

“Kalian, terutama kamu Budi, datang kesini untuk menyelamatkan Tiara, dan juga menangkap ayahku Fuadi, tapi sampai sekarang kalian belum mengetahui dimana keberadaan mereka bukan? Aku nggak akan membiarkan kamu menang semudah itu Bud, nggak akan, hahaha.”

Tiba-tiba Bastian meraih sesuatu dari kantong celananya. Sebuah benda kecil berbentuk kotak berwarna hitam yang diatasnya ada sebuah tombol berwarna merah. Bastian tersenyum saat mengeluarkan benda itu namun tidak dengan Budi dan rekan-rekannya. Firasat mereka mendadak menjadi sangat buruk, nampaknya Bastian mempunyai sebuah rencana yang tidak mereka perkirakan sebelumnya.

“Kalian tentu tahu, benda apa ini? Ya, ini adalah detonator. Sekali aku pencet tombol merah ini, maka lokasi istrimu berada sekarang akan langsung meledak, dan tentu saja, istrimu hanya tinggal sebuah nama, hahaha.”

Meskipun sudah memperkirakannya, namun perkataan Bastian barusan tetap saja membuat mereka semua terkejut. Masalahnya adalah, Budi dan rekan-rekannya belum tahu dimana posisi Ara sekarang. Bahkan Shadow yang biasanya tak pernah kesulitan mencari informasi pun juga tak tahu keberadaan Ara. Hal ini membuat mereka harus berhati-hati, memaksa Bastian mengatakan dimana tempat Ara adalah pilihan terbaik untuk saat ini.

“Aku tahu, kalian semua pasti bertanya-tanya dimana posisi Ara. Yang jelas, dia sekarang bersama dengan ayahku dan beberapa orang wanita lainnya. Yah, memang jika tombol merah ini aku pencet, ayahku pun juga akan ikut tewas, tapi itu semua sudah menjadi resiko kami, karena kami tahu, saat kalian menemukannya dalam keadaan hidup pun, kamu pasti akan tetap membunuhnya, bukan begitu Bud?”

“Kalian mau membunuhku, merebut detonator ini lalu melacak keberadaan Ara? Percuma saja, saat ada satu saja peluru menembus tubuhku, tanganku otomatis akan segera memencet tombol merah ini, hahaha.”

Kembali Budi dan rekan-rekannya terdiam, memikirkan bagaimana caranya merebut alat pemicu ledakan itu dari tangan Bastian tanpa dia sempat memencetnya. Memang benar yang dikatakan oleh Bastian, tindakan yang gegabah akan membuatnya memencet tombol itu. Saat itu mereka akan tahu dimana keberadaan Ara, namun tentu saja sudah sangat terlambat untuk menyelamatkannya.

“Berikan benda itu padaku Bas, dan katakan dimana Ara! Mungkin dengan begitu kami tidak akan membunuhmu,” ujar Budi mencoba bernegosiasi.

“Hahaha, kamu pikir aku bodoh? Setelah aku menyerahkan benda ini, aku yakin nyawaku pun akan melayang. Tidak Bud, aku tidak sebodoh itu.”

“Sudahlah Bas, apalagi yang mau kamu lakukan? Semua anak buahmu sudah mati, hanya tinggal kamu dan ayahmu saja. Lebih baik kalian menyerah.”

“Menyerah? Lalu diproses hukum yang ujung-ujungnya dihukum mati? No no no, aku lebih memilih mati karena kau bunuh daripada harus mati karena diadili Bud.”

“Kalau kamu serahkan benda itu dan memberitahu dimana keberadaan Ara, aku nggak akan membunuhmu.”

“Oh ya? Bukankah kamu tadi bilang akan membunuhku untuk kemudian mencari istrimu? Sudah kubilang, aku lebih memilih mati di tanganmu daripada harus dibunuh oleh orang lain. Dan aku akan melakukan sesuatu, agar kamu mau membunuhmu, hahaha.”

“Mau apa kamu Bas? Jangan macam-macam!”

“Semua yang terjadi ini berawal dari dendam Bud. Dendam ayahku pada mertuamu, juga dendam David dan Steve kepada kalian yang telah membunuh ayahnya dulu. Jadi, kupikir semua ini harus diakhiri dengan membalas dendam juga, dan yang akan mengakhiri ini semua adalah kamu, Budi.”

“Apa maksud perkataanmu?!” perasaan Budi semakin tak enak, terlebih saat dilihatnya Bastian tersenyum sambil mengacungkan alat pemicu ledakan itu kepadanya.

“Aku akan membunuh istrimu dengan alat ini, dan setelah itu, bunuhlah aku, hahaha.”

“Jangan lakukan itu Bas, ada ayahmu juga disana.”

“Aku tak peduli, ayahku pun tak peduli. Jika semua ini gagal, maka dia ingin aku yang membunuhnya. Kamu lihat ini, kalian telah berhasil menggagalkan semuanya, dan saatnya bagiku untuk membunuh ayahku, berikut pula istrimu dan para wanita itu, hahaha.”

Budi terdiam, begitu juga dengan rekan-rekannya. Mereka bingung harus berbuat apa, karena sepertinya tindakan apapun tak akan mampu menghentikan Bastian dari keinginannya meledakan tempat Ara berada. Dia sendiri seperti sudah mengakui kekalahannya dan ingin segera mati. Kemudian senyum Bastian terlihat mengembang, ibu jarinya sudah berada di tombol berwarna merah itu.

“Daripada kalian nanti kebingungan, aku akan beritahu dimana mereka berada. Mereka berada di salah satu ruangan yang penuh dengan bom. Saat bom itu meledak, efeknya akan terasa sejauh beberapa meter. Dan ruangan itu tak lain adalah, ruangan paling ujung dari bangunan yang ada di hadapan kalian.”

Seketika mereka semua terkejut, karena ternyata Ara dan Fuadi, juga beberapa wanita lain masih berada disini, di wilayah villa ini. Mereka sudah akan bergerak untuk menuju kesana namun tertahan saat Bastian mengangkat tangannya dan berteriak dengan sangat keras.

“Budi, ucapkan selamat tinggal pada istrimu!”

BLAAAAAAAAAAAARRRRRR

“Tidaaaaaaaaaaaakkkkk! Arraaaaaaaaaaaaa!”

Sebuah ledakan yang sangat besar berasal dari ruangan yang tadi disebutkan oleh Bastian. Ledakan itu benar-benar menghancurkan ruangan itu, namun beruntung posisi mereka terlindungi oleh pepohonan sehingga serpihan dari ledakan itu tak sampai mengenai mereka.

“Hahahaha, kamu lihat itu Bud? Ayo sekarang balaskan dendam istrimu padaku! Bunuh aku Bud, hahahaha.”

“Bajingan kau Bas, kubunuh kau!”

Budi langsung menerjang kearah Bastian. Dia menduduki tubuh itu dan kedua tangannya langsung menghujani wajah Bastian dengan pukulan-pukulan yang sangat keras. Bastian sama sekali tak melawan bahkan terus tertawa hingga Budi berhasil mematahkan hidungnya, baru dia terdiam. Budi masih terus menghajar Bastian dengan penuh emosi hingga tubuh Bastian tak bergerak lagi, namun masih terlihat ada nafasnya walaupun lemah.

“Bud sudah Bud, dia udah mati Bud.”

Hurricane datang untuk menenangkan dan menarik tubuh Budi yang masih terus memukuli Bastian yang sudah tak berdaya itu. Namun ketika tubuhnya berhasil ditarik, Budi justru merebut senapan serbu dan mendorong Hurricane hingga terjerembab. Budi dengan senapan serbu itu kembali mendatangi Bastian. Tanpa ampun tubuh yang sudah tidak berdaya itu ditembaki oleh Budi.

“Anjiiing kamu Bas, bangsaaat! Kubunuh kau! Kubunuuuuhh!”

Tak ada yang berani menghentikan aksi Budi itu. Terus saja dia menembakan senapan yang pelurunya masih cukup banyak itu, hingga kini tubuh Bastian tak karuan lagi bentuknya. Kepalanya hancur, otaknya berhamburan keluar. Tubuh Bastian pun sudah hancur tak berbentuk, bahkan organ dalamnya juga hancur terkoyak oleh peluru itu. Sampai peluru habis Budi masih terus menarik pelatuk senapan itu. Dia tak henti mencaci dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.

Saat itulah Queen mendatanginya. Dia menarik senapan yang dipegang Budi lalu melemparkannya jauh-jauh. Langsung saja Queen memeluk Budi yang masih terisak.

“Hei kalian, cepat periksa kondisi disana! Padamkan api dan identifikasi kondisinya, termasuk jumlah korban!” perintah Queen kepada rekan-rekannya.

Serempak Assassin, Insane, Shadow, dan Hurricane yang dibantu oleh Marto, Ichi, Paidi, Fauzi dan Nickolai menuju ke arah sumber ledakan itu. Sedangkan Fadli masih berada di gerbang mencoba menenangkan Wijaya, Sakti berusaha menenangkan Mila istrinya dan Fitri menenangkan Aini yang histeris saat terjadi ledakan tadi. Sementara itu Queen sendiri masih memeluk dan menenangkan Budi yang masih menangis.

“Udah, jangan kayak gini. Disana ada Ardi lho, jangan sampai dia lihat kamu kayak gini.”

“Hiks, tapi Ara, hiks Ara, aku nggak bisa nyelametin dia.”

“Udah, biar dilihat dan dipastiin sama temen-temen dulu.”

Beberapa saat kemudian setelah berusaha keras memadamkan api, terlihat Shadow kembali menuju ke arah mereka. Queen dan Budi melihatnya bersamaan, dan Shadow hanya menggelengkan kepalanya. Mereka tahu apa artinya itu. Dan semakin pecahlah tangis Budi, begitu juga orang-orang yang menunggu kepastian dari gerbang.

“Araaaa. Aku nggak bisa nyelametin Araa,” Budi memeluk Queen dengan erat melampiaskan perasaannya. Rasa sedih, menyesal dan putus asa. Queen tak bisa berkata apa-apa dan hanya membalas pelukan Budi dengan semakin erat, karena kini matanya pun mulai berair.

“Ara Ndah, Ara udah nggak ada, aku nggak bisa nyelametin dia, hiks,” Budi masih terus menangis dalam pelukan Queen.

“Iya Mas, Indah tahu. Relain Mbak Ara, dia tahu kok Mas Budi udah berusaha sekuat tenaga buat dia. Mas Budi harus kuat, inget masih ada Ardi.”

*****

.....?????
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd